Anda di halaman 1dari 26

TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PIERCING THE

CORPORATE VEIL DALAM PRESPEKTIF TANGGUNG

JAWAB PERSEROAN TERBATAS (PT) TERKAIT

PENGGUNAAN FIDUSIA DAN SAHAM

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Penemuan Hukum

Dosen Pembina:
Prof. Dr. Yudha Bakti, S.H., M.H.

Disusun oleh :
Nin Yasmine Lisasih 110120100040

PROGAM MAGISTER ILMU HUKUM - HUKUM BISNIS


FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2010
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI......................................................................................................... ii

BAB I: PENDAHULUAN.................................................................................... 4

A. Latar Belakang Masalah................................................................... 4

B. Identifikasi Masalah.......................................................................... 7

BAB II: ANALISIS............................................................................................... 9

A. Penerapan Piercing the Corporate Veil dalam Prespektif

Tanggung Jawab Perseroan Terbatas terkait Penggunaan

Fidusia dan Saham.............................................................................. 9

B. Tanggung Jawab PT Terkait Masalah Penggunaan

Fidusia dan Saham................................................................................ 18

BAB III PENUTUP............................................................................................... 21

A. Kesimpulan......................................................................................... 21

B. Saran……………………………………………………………….. 21

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………. 22

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dengan perkembangan problematik yang makin kompleks di dalam

dunia perusahaan akan banyak menimbulkan implikasi yuridis juga terhadap

tanggung jawab dari organ-organ yang ada di dalamnya. Perseroan terbatas (PT)

merupakan jenis perusahaan yang permodalannya terbagi dalam saham. Dalam

Pasal 24 Undang-Undang No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT)

berbunyi “(1) Modal dasar perseroan terdiri atas seluruh nilai nominal saham,

(2) Saham sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikeluarkan atas nama

dan atau atas tunjuk.”. Saham tersebut merupakan modal yang paling penting

bagi eksistensinya sebuah PT.

Ada beberapa tipe dari saham, termasuk Saham Biasa (common stock),

Saham Preferen (preferred stock), Saham Harta (treasury stock), dan saham kelas

ganda (dual class stock). Saham preferen biasanya memiliki prioritas lebih tinggi

dibanding saham biasa dalam pembagian Deviden dan aset, dan kadangkala

memiliki hak pilih yang lebih tinggi seperti kemampuan untuk memveto

penggabungan atau pengambilalihan atau hak untuk menolak ketika saham baru

dikeluarkan (yaitu, pemegang saham preferen dapat membeli saham yang

dikeluarkan sebanyak yang dia mau sebelum saham itu ditawarkan kepada orang

lain). Saham yang biasa dijual di Bursa Efek adalah saham biasa dan saham

4
preferen tidak diperjualbelikan di bursa efek. Struktur kelas ganda memiliki

beberapa kelas saham masing-masing dengan keuntungan dan kerugiannya

sendiri-sendiri. Saham harta adalah saham yang telah dibeli balik dari

masyarakat1

Hal yang tidak kalah penting dalam menjalankan sebuah Perseroan Terbatas

(PT) adalah pertanggung jawaban Direksi Perseroan PT. Selain bertanggung

jawab pada saham yang ada secara eksternal ia juga punya tanggung jawab pada

pihak ketiga. Adapun Tugas dan tanggung jawab Direksi Perseroan Terbatas

terhadap pihak ketiga terwujud dalam kewajiban untuk melakukan kerterbukaan

(disclosure) pada pihak ketiga atas setiap kegiatan perseroan yang dianggap dapat

mempengaruhi kekayaan perseroan. Kewajiban-kewajiban tersebut yaitu :

1. Pada pasal 38 ayat 2 Undang-Undang No.40 tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas yang pada hakikatnya dari pihak perseroan ingin melakukan

pengurangan atas modal dasar yang dikeluarkan atau pun modal yang disetor

dari perseroan.

2. Pada pasal 105 ayat 2 Undang-Undang No.40 tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas yang hakikatnya perseroan ingin melakukan penggabungan,

peleburan dan pengambilalihan

3. Direksi perseroan diwajibkan untuk menyerahkan hasil perhitungan tahunan

perseroan untuk diperiksa oleh akuntan public sebelum perhitungan tersebut

1 .(www.emperordeva.blog.com)
disahkan oleh RUPS2

Dengan demikian penggunaan fidusia dalam mekanisme yang dijalankan

dalam Perseroan Terbatas juga ada pada kewenangan Direksi Perseroan. Seorang

pemegang kuasa yang melaksanakan kewajibannya berdasarkan kepercayaan

yang diberikan oleh pemberi kuasa untuk bertindak sesuai dengan perjanjian

pemberian kuasa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini

berkaitan dengan tanggung jawab direksi sebagai pemegang fiduciary duties dari

pemegang saham perseroan. Dalam hal ini punya tanggung jawab penuh atas

pengurusan dan pengelolaan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan

dan untuk menjalankan tugas dan kewajiban yang diberikan oleh anggaran dasar

perseroan serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Terkait dengan penggunaan fidusia dan saham yang tidak mungkin terlepas

dari PT serta Direksi PT sebagai organ yang mempunyai kewenangan mengurus

dan menjalankan perseroan, penulis tertarik untuk mengkaji statu kasus tentang

penggunaan fidusia dan saham yang melibatkan tanggung jawab Direksi

Perseroan, yaitu kasus yang menimpa PT Ryane. Pada 23 Januari 2003, Prem

memiliki masalah dengan Dana Pensiun. Sengketa ini berawal dari pinjaman PT

Ryane sebesar Rp 3,5 miliar kepada Dana Pensiun. Utang yang jatuh tempo pada

27 Januari 2004 itu dikuatkan dengan perjanjian jaminan fidusia berupa stok

2 Ahmad, Yani dkk. Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2003, hal. 114

6
barang tekstil milik PT Ryane. Berdasarkan perjanjian itu, sepekan kemudian

Dana Pensiun mengeluarkan cek dari Bank BNI senilai Rp 1 miliar dan cek BRI

sebesar Rp 2,5 miliar. Cek ini diterima oleh Direktur Utama PT Ryane, Prem

Ramchand Harjani yang langsung meneken tanda terimanya, tapi Harjani

membantah telah menerima dana dari dua lembar cek itu. Inilah yang kemudian

menjadi perkara berkepanjangan.

Pada 26 Februari 2003, utang itu pun pernah diakui oleh PT Rayne. Buktinya,

PT Ryane pernah mencicil sebesar Rp 105 juta, tapi sejak saat itu PT Ryane tak

pernah lagi membayar cicilan. Dana Pensiun melaporkan PT Ryane ke Bapepam.

Setelah itu, PT Ryane minta berdamai. Utang itu akan dibayar secara pribadi oleh

Harjani dengan cara mencicil sebesar Rp 100 juta per bulan. Dana Pensiun

menolak usulan tadi. Dana Pensiun bermasalah dengan PT Ryane. Sebelumnya,

upaya Dana Pensiun untuk mengeksekusi jaminan fidusia berupa stok barang

tekstil senilai Rp 11,64 miliar juga gagal. Pada tanggal 18 Maret 2004, Dana

Pensiun mengajukan permohonan eksekusi terhadap jaminan fidusia itu ke

Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Permohonan tersebut dikabulkan dan

didelegasikan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, karena aset yang dimaksud

berada di gudang PT Ryane di Tebet, Jakarta Selatan. Namun, ketika juru sita

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hendak mengeksekusi pada 1 Juni 2004,

ternyata barang tekstil seperti yang dimaksud dalam jaminan fidusia sudah tidak

ada. Bahkan, gudangnya pun telah hancur dan kosong.

Berdasar uraian di atas, hukum perusahaan merupakan hal yang penting


dalam menyikapi segala problema terkait mekanisme tanggung jawab terhadap

masalah yang timbul dalam sebuah perusahaan. Perseroan terbatas (PT) adalah

salah satu bentuk perusahaan yang terbagi dalam saham. prosedur dan mekanisme

yang dijalani dalam menjalankannya tidak lepas dari tanggung jawab Direksi PT

yang punya kewenangan penuh. Hal ini terkait wewenang secara internal. Selain

itu ada kewenangnan yang dimiliki oleh Direksi PT berupa eksternal untuk

berhubungan dengan pihak ketiga. Dari arahan ini maka prosedur penggunaan

fidusia juga akan menjadi tanggung jawab dari Direksi PT terkait wewenangnya

tersebut. Dengan melihat semua masalah yang ada maka penulis mengangkat

judul : ”TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PIERCING THE

CORPORATE VEIL DALAM PRESPEKTIF TANGGUNG JAWAB

PERSEROAN TERBATAS (PT) TRKAIT PENGGUNAAN FIDUSIA DAN

SAHAM“

B. Identifikasi Masalah

Dari berbagai uraian di atas maka dapat diambil beberapa identifikasi

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah penerapan piercing the corporate veil dalam prespektif

tanggung jawab perseroan tebatas terkait penggunaan fidusia dan saham?

2. Apakah yang seharusnya menjadi tanggung jawab PT terkait masalah

penggunaan fidusia dan saham?

8
BAB II

ANALISIS

I.Penerapan Piercing the Corporate Veil dalam Prespektif Tanggung Jawab

Perseroan Terbatas terkait Penggunaan Fidusia dan Saham


Berkenaan dengan problematik dari kasus tersebut diatas maka penulis

berpendapat bahwa tanggung jawab Harjani sebagai Direktur Utama PT Ryane

dialihkan menjadi tanggung jawab pribadi adalah titik awal terjadinya

problematik dari penggunaan fidusia dan saham dalam sebuah Perseroan

Terbatas (PT). Harus ditelusuri terlebih dahulu mengenai pengalihan tanggung

jawab perseroan menjadi tanggung jawab pribadi tersebut, apakah dikarenakan

kesalahan dari Direktur itu sendiri atau tidak.

Perseroan terbatas adalah organisasi bisnis yang memiliki badan hukum

resmi yang dimiliki oleh minimal dua orang dengan tanggung jawab yang hanya

berlaku pada perusahaan tanpa melibatkan harta pribadi atau perseorangan yang

ada di dalamnya. Di dalam PT pemilik modal tidak harus memimpin

perusahaan, karena dapat menunjuk orang lain di luar pemilik modal untuk

menjadi pimpinan. Untuk mendirikan PT / perseroan terbatas dibutuhkan

sejumlah modal minimal dalam jumlah tertentu dan berbagai persyaratan

lainnya

Dari pengertian di atas jelas terlihat bahwa tanggung jawab hanya berlaku

pada perusahaan tanpa melibatkan harta pribadi atau perseorangan yang ada di

dalamnya, hal ini berati tidak melibatkan harta Direktur utama perseroan juga.

Namun hal ini tidak berlaku demikian dalam PT Ryane, hutang 3,5 Milyar yang

seharusnya dilunasi oleh perseroan malah dicicil oleh Perm Harjani (Direktur

Utama PT Ryane) 100 juta per bulan. Jika ditinjau dari pengertian tersebut, hak

10
ini tidak diperbolehkan karena merupakan pengalihan tanggung jawab.

Berdasar Pasal 1 UU No. 40/2007 pengertian Perseroan Terbatas

(Perseroan) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan

berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang

seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan

dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Dari pengertian

tersebut, hal penting yang perlu digarisbawahi adalah pada kata “badan hukum”.

Dari pengertian tersebut dapat dianalisis mengenai sebatas mana tanggung

jawab perseroan dan tanggung jawab Direksi.

Badan hukum berbeda dengan badan usaha. Hal yang membedakan antara

badan hukum dengan badan usaha ialah dalam hal pemisahan kakayaan / harta

pribadi, dimana pada badan usaha tidak terdapat pemisahan antara kekayaan

pribadi pemilik dengan kekayaan perusahaan sehingga utang perusahaan

berarti pula utang pemiliknya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seluruh

harta kekayaan pemilik menjadi jaminan bagi semua utang perusahaannya.

Oleh karena itu, pemilik Perusahaan Perorangan/ Perusahaan Dagang memiliki

tanggung jawab yang tidak terbatas. Sebagai contohnya ialah perusahaan

perseorangan, Firma, Commanditer Vennotschap (CV). Lain halnya dengan

badan usaha, badan hukum terdapat pemisahan antara kekayaan pribadi pemilik

dengan kekayaan perusahaan dimana tanggung jawab PT merupakan tanggung

jawab terbatas, yaitu hanya terbatas pada modal yang disetor.


Tanggung jawab pemegang saham, dalam UU Nomor 40 tahun 2007

(UUPT) di atur dalam Pasal 3, sedangkan dalam UU Nomor 1 tahun 1995

(UUPTL) di atur dalam Pasal 3, dan dalam WvK terdapat pada pasal 40 ayat

(2). Berdasarkan pada pasal 3 UUPT dapat di ketahui bahwa pemegang saham

PT bertanggung jawab terbatas sebesar saham yang di milikinya. Disebutkan

dalam pasal 3 ayat (1) UUPT: “Pemegang saham perseroan tidak bertanggung

jawab secara pribadi atas perikatan yang di buat atas nama perseroan dan tidak

bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang dimiliki”.

Pada dasarnya hal sama di atur pula dalam pasal 3 ayat (1) UUPT dengan

kalimat melebihi saham yang di ambilnya, sedangkan pasal 3 ayat (1) UUPT

dengan kalimat melebihi saham yang di miliki. Perbedaan pada istilah di ambil

(UUPTL) dengan dimiliki (UUPT) . Perbedaan tersebut menurut penulis tidak

terlalu mendasar, karena prinsipnya sama, hanya UUPT lebih menekankan

pada pengambilan, barangkali istilah yang dipergunakan lebih tepat, karena

sesuatu yang diambil belum tentu merupakan hak miliknya.3

Sehubungan dengan tanggung jawab pemegang saham tersebut, WvK juga

mengatur yang sama yaitu tanggung jawab pemegang saham adalah tanggung

jawab terbatas tapi dengan redaksi yang agak berbeda. Pasal 40 ayat (2) wVk

menyatakan, para persero ato pemegang saham atau andil tersebut tidak

bertanggung jawab untuk lebih dari pada jumlahnya penuh andil andil itu”.

3 Man S. Sastrawidjaja, Perseroan Terbatas Menurut Tiga Undnag-Undang, Alumni, Bandung, 2008,
hal. 27.

12
Persamaan dari ketiga undang undang tersebut adalah selelu menggunakan

kalimat negatif: tidak bertanggung jawab dan bukan dengan kalimat positif

bertanggung jawab. Ketentuan demikian dapat dibandingkan dengan ketentuan

NBW Nederland yang mengatur penanggung pemegang sahamtidak secara

khusus tetapi dalam rumusan Naamloze Vennotschap. Hal tersebut tampak Art.

64 (2.3.1.1.1 NBW yang berbunyi):

“De naamloze vennoschap is een rechtspersoonlijkheind bezittede

venotsap met een in andelenverdeed maatshappelijk kapitaal, warin ieder

der vennoten voor een of meer overdraangbareaandelen delneemt. De

vennoten a(aandeelhonders) zijin niet persoonlijkaansprakelik voor

hetgeen de vennotshap bij te dragen”

NBW Nederland tersebut juga mempergunakan kalimat negatif dalam

hubungan dengan tanggung jawab pemegang saham yaitu menyebut ”de

vennoten (aandeelhonders) zijin niet persoonlijkaansprakejk” rumusan di atas

juga menyebutkan secara tegas bahwa hukum (een rechtpersoonlijkheind).

Akan tetapi, NBW dalam rumusan tersebut tidak menganut teori perjanjian

sebgaimana di sebutkan dalam pasal 1 angka 1 UUPT dan UUPTL.

Mengenai istilah perseroan terbatas, kata terbatas di sebabkan berlakunya

tanggung jawab pemegang saham dari suatu perseroan. Dengan demikian,

yang terbatas bukan besarnya modal atau kegiatan usahanya tetapi penunjukan

adanya tanggung jawab terbatas dari pemegang saham dan ini merupakan ciri

khas dari suatu PT, seperti halnya pada persekutuan firma yaitu adanya
tanggung jawab rentang atau menenaggung atau bertanggung jawab secara

pribadi dan untuk sepenuhnya (pasal 18 Wvk) dari para sekutu persekutuan

tersebut.

Tentang tanggung jawab terbatas pemegang saham menurut pasal 3 ayat

(1) UUPT di atas terdapat penerobosannya yang diatur dalam pasal 3 ayat (2)

UUPTL. Menurut kedua ketentuan tersebut bahwa pemegang saham tidak

bertanggung jawab secara pribadi tidak berlaku apabila:4

1. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;

2. Pemegang saham bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung

dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi;

3. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan

hukum yang dilakukan oleh perseroan atau;

4. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung atau tidak langsung

secara melawan hukum hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang

mengakibatkan kekayaan perseroan tidak cukup untuk melunasi hutang

perseroan.

Dalam keadaan di atas, berarti pemegang saham bertanggung jawab tidak

terbatas atau bertanggung jawab secara pribadi untuk sepenuhnya. Ketentuan

yang dikenal sebagai penjabaran prinsip piercing the corporate viel tersebut

4 Ibid, hal.29

14
tidak di atur dalam ketentuan WvK tentang perseroan tebatas. Prinsip di atas

atau lazim diterjemahkan sebagai prinsip (asas) penyikapan tabir perusahaan

atau penerobasan tanggung jawab pemegang saham dapat di katakan sebagai

sanksi kepada pemegang saham atau akibat keperdataan bagi pemegang

saham yang melakukan perbuatan perbuatan seperti yang di sebutkan (kecuali

nomor 1) yang pada dasarnya merupakan perbuatan yang melawan hukum.

Dengan adanya akibat hukum demikian dituntut pemegang saham hati hati

dan selalu beritikad baik dalam menjalankan peranan dan kedudukannya

sebagai pemilik perseroan.

Khusus untuk akibat hukum dalam masalah pertama yaitu apabila

perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi. Sebenarnya tugas

untuk menjadi badan hukum merupakan kewenangan dari pengurus atau

pendiri perseroan (yang biasanya diberikan kuasa kepada notaris untuk

mengurusnya). Sehingga bukan merupakan tanggung jawab pemegang saham,

kecuali yang bersangkutan sebagai pengurus/ pendiri.

Direksi merupakan badan pengurus perseroan yang paling tinggi, serta

yang berhak dan berwenang untuk menjalankan perusahaan, bertindak untuk

dan atas nama perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Direksi

bertanggung jawab penuh atas pengurusan dan jalannya perseroan untuk

kepentingan dan tujuan perseroan. Di dalam menjalankan tugasnya tersebut

Direksi diberikan hak dan kekuasaan penuh dengan konsekuensi bahwa setiap
tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh Direksi akan dianggap dan

diperlakukan sebagai tindakan dan perbuatan perseroan sepanjang mereka

bertindak sesuai dengan apa yang ditentukan dalam Anggaran Dasar

perseroan. Selama Direksi tidak melakukan pelanggaran atas Anggaran Dasar

perseroan, maka perseroanlah yang akan menanggung semua akibat dari

perbuatan Direksi tersebut. Sedangkan bagi tindakan-tindakan Direksi yang

merugikan perseroan yang dilakukannya di luar batas dan kewenangan yang

diberikan kepadanya oleh Anggaran Dasar, dapat tidak diakui oleh perseroan.

Dengan ini berarti Direksi bertanggungjawab secara pribadi atas setiap

tindakannya di luar batas kewenangan yang diberikan dalam Anggarn Dasar

perseroan.

Berdasar uraian di atas, menurut penulis secara formal PT lah yang

seharusnya melunasi hutang tersebut, karena dengan status PT sebagai badan

hukum, maka Direksi atau pemegang saham mempunyai tanggung jawab

terbatas yaitu pada saham yang dimiliknya, tetapi bila kewajiban hutang itu

terjadi karena kesalahan direktur, maka Direktur harus tetap bertanggung

jawab secara pribadi dari harta kekayaannya sendiri. Dalam kasus tersebut

kesalahan tidak membayar hutang sudah jelas terletak pada Perm Harjani

dimana pada awalnya ia mengelak telah meminjam hutang senilai 3,5 Milyar

pada Dana Pensiun, dari sini sudah nampak bahwa Direksi mempunyai

iktikad buruk atas nama perseroan, setelah dipersengketakan dan ditemukan

bukti bahwa PT Ryane benar-benar the meminjam hutang dari Dana Pensiun,

16
Harjani mengakuinya kemudian mengajak damai dan berjanji akan melunasi

hutangnya 100juta perbulan dari kekayaan pribadinya. Tetapi pada faktanya

Harjani melalaikan kewajibannya dan tidak mencicil hutang tersebut. Dari

uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Direktur salah dalam kasus

tersebut, terbukti dari :

1. Direksi mengelak bahwa ia mempunyai hutang kepada Dana Pensiun

Hal ini berarti Direksi mempunyai iktikad buruk dalam menjalankan

perusahaan, ia tidak mengakui bahwa ia berhutang kepada Dana Pensiun

padahal jelas-jelas Dana Pensiun mempunyai bukti yang nyata terhadap

hutang tersebut.

2. Direksi berjanji akan mencicil hutangnya Namun ia melalaikan kewajiban

tersebut;

Hal ini berarti Direksi beriktikad buruk terhadap perusahaan dengan wan

prestasi terhadap Dana Pensiun.

3. Direksi menjaminkan fidusia stock barang tekstil yang ternyata setelah

dieksekusi, fidusia tersebut tidak ada / gudang telah hancur dan kosong.

Hal ini terkait dengan Pasal 3 ayat (2) angka 3, bahwa Direksi terlibat

dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan Perseroan, tindakan

penjaminan fidusia yang ternyata kosong ini merupakan statu penipuan

bagi Dana Pensiun.

Dalam keadaan di atas, berarti Perm Harjani harus bertanggung jawab

tidak terbatas atau bertanggung jawab secara pribadi untuk sepenuhnya


dikarenakan perseroan mengalamni kerugian akibat dari kesalahan Direksi

(Perm Harjani) dan hal tersebut dapat dikatakan sebagai penerobosan

tanggung jawab terbatas perseroan atau piercing the corporate veil.

Terkait dengan hal tersebut ada doktrin kata “Ultra vires” yang dapat

dipahami sebagai berikut

”Perbuatan yang berada di luar kecakapan bertindak atau wewenang

perseroan (tidak tercakup dalam maksud dan tujuan perseroan ) adalah

ultra vires. Suatu transaksi ultra vires adalah tidak sah dan batal demi

hukum. Penetapan doktrin ultra vires adalah amat luas, bukan saja yang

dilarang oleh Undang-undang dan anggaran dasar, melainkan juga yang

melampaui batas wewenangnya dan tidak dilarang. Tujuan utama dari

doktrin ultra vires adalah untuk melindungi para investor atau pemegang

saham.

Ketika PT Ryane menyanggupi untuk membayar kembali hutangnya

dengan mencicil seratus juta tiap bulannya tetapi atas nama pribadi, yaitu atas

nama Direksi (Perm Harjani), timbul pertanyaan mengenai

pertanggungjawaban, baik Direksi maupun perseroan itu sendiri. Dapat

dipertanyakan di samping tujuan yang berbeda, apakah Direksi memiliki

kewenangan untuk melunasi hutang perseroan tersebut, hal ini berhubungan

dengan ultra vires.

Pada umumnya suatu perbuatan dikatakan ultra vires bila dilakukan tanpa

wewenang (authority) untuk melakukan perbuatan tersebut. Bagi perseroan

18
perbuatan tersebut adalah ultra vires bila dilakukan di luar / melampaui

wewenang Direksi atau perseroan sebagaimana tercantum dalam anggaran

dan hukum perusahaan. Suatu kontrak yang dibuat oleh perseroan dan

melampaui batas wewenangnya adalah tidak sah (unlawfull). Ultra vires. An

act performed without any authority to act on subject. Acts beyond the scope

of the powers of a corporation, as defined by it’s charter or laws of state of

incorporation.5

Doktrin ultra vires berdampak pada perikatan antara perseroan dan pihak

ketiga, dimana transaksi yang dilakukan bersifat ultra vires. Dalam hal ini

Perm Harjani selaku Direksi telah bertindak melampaui wewenang dengan

mengalihkan tanggung jawab perseroan ke tanggung jawab pribadi. Pihak

ketiga, yaitu Dana Pensiun pun merasa hal ini tidak sesuai dengan peraturan

tentang perseroan terbatas. Suatu transaksi ultra vires adalah tidak sah dan

tidak dapat disahkan kemudian oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Dengan demikian perseroan dapat menolak melaksanakan kewajiban

berdasarkan kontrak. Dalam kasus PT Ryane tentu hal ini tidak dapat

dilakukan karena pemegang saham mayoritas bahkan keseluruhan berada di

tangan Direksi (Perm Harjani) sehingga ia berkuasa menentukan langkah

ataupun perbuatan mewakili Perseroan meskipun hal tersebut merupakan ultra

vires dan dilarang menurut peraturan

Ditinjau dari makna yang terkandung dalam ultra vires itu sendir,

5 Black’s Law Dictionary, page 1522


menurut penulis apa yang dilakukan oleh Direktur Utama PT Ryane tersebut

tidak melanggar doktrin ultra vires, karena Direksi melakukan tindakan

tersebut tidak di luar apa yang diamanatkan dalam Anggaran Dasar dan

perubahannya terutama masalah maksud dan tujuan pendirian PT.

II.Tanggung Jawab PT Terkait Masalah Penggunaan Fidusia dan Saham

Fidusia adalah pegalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar

kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang baik kepemilikannya

dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda. Sedangkan Jaminan fidusia

adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak

berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat

dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.4

Tahun 1996 tentang hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan

Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu yag memberikan

kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor

lainnya. Pemberi Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik

benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Sedangkan Penerima Fidusia adalah

orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang

pembayarannya dijamin dengan benda fidusia6

Menurut Henry Campbell “saham adalah suatu bagian proporsional dari

hak-hak tertentu dalam manajemen dan profit dari suatu perseroan selam

6 Gunawan Widjaja.2000:122-123

20
perseroan tersebut masih eksis dan juga dari assetnya ketika perseroan

dibubarkan”. Fidusia terjadi dengan mengadakan perjanjian kredit yang

mengandung klausul untuk memberikan benda bergerak sebagai jaminan fidusia

dan diikuti dengan perjanjian pinjaman pakai antara kreditur yangbersangkutan

sebagai pemilik atas dasar kepercayaan dan debitur sebagai peminjam pakai 7.

Objek fidusia meliputi benda bergerak atau tidak yaitu; barang bergerak,

berwujud atau tidak berwujud, rumah susun berupa tanah tempat bangunan itu

berdiri, suatu rumah susun yang dibangun di atas tanah hak pakai milik Negara,

tanah hak pakai atas tanah Negara beserta rumah susun yang tidak terdaftar,

perumahan dan tanah girik8. Cara pemindahan saham yaitu ada saham

perusahaan target yang berpindah tangan, sehingga diperlukan transaksi

peralihan hak atas sah atau alternatifnya dapat juga pengisian saham barupa

pihak perusahaan yang menganbil oleh pengontrolan dalam perusahaan target 9.

Paul Scholten berpendapat pertanggung jawaban yang terbatas itu bukan

syarat mutlak untuk menentukan ada tidaknya kedudukan badan hukum.

Dengan adanya pertanggung jawaban yag terbatas atau tertutupnya pertanggung

jawaban secara individual sudah tentu badan itu adalah suatu badan hukum tapi

dalil ini tidak dapat kita gunakan10

Berkaitan dari kedudukan Direksi PT dalam dua hubungan hukum menurut


7 Prof,Dr.Maria,Danun Badrulzaman.1994:78
8 (http://www.majalahtrust.com).
9 Munir, Fuady, Hukum Tentang Merger, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002 hal. 9-10
10 Ridho.R Ali, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan,Perkumpulan,Koperasi,
Yayasan,Wakaf, Alumni, Bandung 1977, Hal. 72
penulis bukan masalah sepanjang kedua hubungan hukum tersebut dapat

diterapkan secara konsisten dan sejalan. Dalam hubungan hukum yang

dirumuskan untuk Direksi PT di satu sisi diperlakukan sebagai penerima kuasa

dari perseroan untuk menjalankan perseroan sesuai dengan kepentingannya

untuk mencapai tujuan perseroan sebagaimana telah digariskan dalam dalam

anggaran dasar perseroan dan di sisi lain diperlakukan sebagai karyawan

perseroan. Dalam hubungan atasan-bawahan suatu perjanjian perburuhan yang

mana berarti Direksi tidak diperkenankan untuk melakukan sesuatu yang tidak

atau bukan menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Disinilah sifat pertanggung

jawaban renteng dan pertanggung jawaban pribadi Direksi PT menjadi sangat

relevan. Dalam hal Direksi melakukan penyimpangan atas “kuasa” dan

“perintah” perseroan untuk kepentingan perseroan. Hal ini juga

mengindikasikan bahwa tanggung jawab dari Direksi PT yang secara internal

dan eksternal dapat dijalankan secara bersamaan. Dalam praktek sering terjadi

sengketa yuridis terkait tanggung jawab yang melibatkan pihak ketiga dengan

penggunaan prinsip fidusia.

Trust adalah kepercayaan yang diberikan kepada seseorang dalam hal ini

kepada trustee untuk kepentingan pihak lain yang disebut “Cestui Que Trust’.

Trust merupakan suatu hubungan fiduciary dalan hubungan dengan suatu harta

benda yang melibatkan seseorang yang menguasai harta benda tersebut dan

punya tugas-tugas secara equity untuk mengadakan pengurusan atas harta benda

tersebut untuk kepentingan pihak lain. Menurut penulis “trust” inilah yang

22
melatar belakangi terjadinya prinsip fidusia dalam mekanisme menjalankan

sebuah keberlangsungan Perseroan Terbatas (PT). Mekanisme hukum yang

jelas harus dilakukan dalam menjalankan pengalihan saham dengan prinsip

fidusia ini. Dalam prakteknya, dalam perjanjian jaminan fidusia diberi

penjelasan bahwa barang itu diterima pihak penerima fidusia pada tempat

barang-barang itu terletak dan pada saat itu juga kreditor menyerahkan barang-

barang itu kepada pemberi fidusia yang atas kekuasaan penerima fidusia telah

menerimanya dengan baik untuk dan atas nama penerima fidusia sebagai

penyimpan. Berkenaan dengan hal ini maka Direksi dan Komisiaris PT hanya

punya kewenangan sejauh yang diberikan oleh undang-undang dan atau anggota

dasar jika ada hal-hal yang tidak tercantum dalam peraturan dan atau anggaran

dasar persroan maka terjadi kewenangan RUPS (teori residu) sebagai kekuatan

yang tertinggi dalam suatu perseroan. Prinsip fidusi juga dapat digunakan dalam

jual beli saham/akusisi yaitu pihak pembeli saham tidak memegang saham di

perusahaan target para pemegang saham tersebut melakukan divestasi yakni

keluar dar perusahaan tersebut dengan membawa uang tunai berupa kompensasi

atau harga penjualan sahamnya.


BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Perm Harjani selaku Direktur PT Ryane harus bertanggung jawab tidak

terbatas atau bertanggung jawab secara pribadi untuk sepenuhnya dikarenakan

perseroan mengalamni kerugian akibat dari kesalahan Direksi (Perm Harjani)

dan hal tersebut dapat dikatakan sebagai penerobosan tanggung jawab terbatas

perseroan atau piercing the corporate veil.

2. Fidusia merupakan bentuk pengalihan hak kepemilikan atas kepercayaan yang

dalam hal ini dapat dikaitkan dengan adanya pengalihan saham yang

merupakan benda tidak berwujud dalam Perseroan Terbatas (PT). Direksi PT

mempunyai tanggung jawab secara internal berkenaan dengan saham yang

digunakan dan tanggung jawab secara eksternal terkait dengan hubungannya

pada pihak ketiga dan dalam hal ini berkaitan dengan prosedur penggunaan

24
fidusia.

B. SARAN

1. Seharusnya Direksi PT dapat bertanggung jawab secara professional baik

secara internal dan eksternal yang melibatkan pihak ketiga agar agar

keberlangsungan Perseroan Terbatas (PT) dapat terjamin dengan baik. Dalam

bertanggung jawab yang dilakukan oleh Direksi PT seharusnya selalu

berdasarkan pada Aggaran Dasar PT, sehinggga akan terlihat jelas mekanisme

kebenaran yuridisnya.

2. Seharusnya jika sebuah Perseroan Terbatas (PT) akan menggunakan prinsip

fidusia dalam mempertahankan keberlangsungan usahanya harus

dipertimbangkan dahulu dampak negative dan positifnya serta dibuat

perjanjian yang jelas tentang prosedur hukumnya, sehingga dapat

mengantipasi masalah yang akan timbul dan justru dapat merugikan PT

tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

SUMBER DARI BUKU

Man S. Sastrawidjaja, Perseroan Terbatas Menurut Tiga Undang-Undang,


Alumni, Bandung, 2008
Amran, Nen, .Beberapa Hal dan Catatan Berupa Tanya Jawab Hukum Bisnis,
Refika Aditama, Bandung, 2003
Ridho.R Ali, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum
Perseroan,Perkumpulan,Koperasi, Yayasan,Wakaf, Alumni, 1977
Munir Fuady ,Hukum Tentang Merger, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002
Ahmad Yani dkk, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2003

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang No.4 Tahun 1994 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
Undang-Undang No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

26
Undang-Undang No.42 Tahun 1994 tentang Jaminan Fidusia
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
Peraturan Pemerintah No. 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan
Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia

SUMBER DARI INTERNET


http// www.emperordeva.blog.com/ diakses 1 Desember 2009
http://www.majalahtrust.com diakses/ 5 Desember 2009

Anda mungkin juga menyukai