Anda di halaman 1dari 31

FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR

Bahan Seminar : Proposal Penelitian


Judul :

Pembawa seminar : Muhammad Reza Fahlevie


No. Pokok : M 121 06 048
Pembimbing : 1. Dr. Ir. Andi Sadapotto, MP.
2. Ir. Sitti Nuraeni, MP.
3.
Hari/Tanggal :
Waktu :
Tempat : Ruang Seminar Fakultas Kehutanan

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ulat sutera (Bombyx mori L.) merupakan penghasil serat berkualitas tinggi
yang belum dapat tertandingi oleh serat sintetis maupun serat alam lainnya, sehingga
dinobatkan menjadi ratu segala serat. Serat tersebut digunakan antara lain sebagai
bahan baku tekstil, benang operasi, parasut, dan kulit buatan (IPB, 2001).
Kegiatan membudidayakan ulatsutera pertama kali dilakukan oleh orang
China. Pada masa pemrintahan Dinasti Han (206 SM – 25 SM) sudah ada pabrik
pemintalan benang sutera. Lewat jalur perdagangan yang termasyhur yaitu jalur
sutera atau silk road, sutera dibawa keluar daratan China disebarkan keseluruh
penjuru dunia. Indonesia sendiri diperkirakan mengenal pensuteraan setelah terljalin
hubungan dagang dengan China dan India (Nazaruddin dan Nurcahyo, 1992).

1
Kokon merupakan hasil pemeliharaan ulat sutera (Bombyx mori L.), dibentuk
dari serat sutera yang dikeluarkan oleh ulat instar 5 akhir (ulat matang), terdiri dari
fibrion dan serisin. Kokon ini merupakan bahan baku benang sutera melalui proses
pementalan (Dentiar, 2009).
Benang sutera dihasilkan dari pemintalan serat kokon. Kokon dapat
mempengaruhi kualitas serat sutera yang dihasilkan. Mutu serat sutera pada akhirnya
akan mempengaruhi harga benang dipasaran. Serat sutera yang baik adalah serat
sutera yang dapat menghasilkan kain sutera yang baik pula, bebas dari cacat kain
yang disebabkan oleh benang dan dengan jumlah limbah yang minim. Menurut
kondisinya kokon dibedakan jadi dua yaitu: kokon yang baik (kokon yang dapat
dipintal) dan kokon tidak baik (tidak dapat dipintal). Kokon yang tidak baik seperti
kokon ganda, kokon berlubang, kokon bernoda dalam, kokon bernoda luar, kokon
berujung tipis, kokon berlapis ganda, kokon yang tipis bagian tengahnya, dan bentuk
kokon yang abnormal (Atmosoedarjo, dkk., 2000).
Mutu kokon dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti mutu bibit, jenis ulat
sutera, teknik pemeliharaan, kualitas dan kuantitas pakan, sarana, pencegahan
penyakit dan keterampilan petani sutera. Sampai saat ini mutu bibit menduduki
peringkat paling atas dari tuntutan perbaikan yang diinginkan petani sutera. Bibit atau
telur yang beredar saat ini adalah hasil persilangan dari induk yang berasal dari
daerah sub tropis/Jepang dan China (Budisantoso, 2001).
Balai Persuteraan Alam Bili-Bili merupakan salah satu produsen ulat sutera di
Sulawesi Selatan telah mempunyai beberapa ras bibit induk yang dapat menghasilkan
bibit yang baik antara lain bibit jenis univoltine asal Rusia. Bibit ini didatangkan ke
Sulawesi Selatan pada tahun 1990. Sampe dkk (1985;1991) mengemukakan bahwa
walaupun jenis bivoltine dan univoltine memiliki kuantitas dan kualitas yang lebih
baik, tetapi ulatnya belum mampu beradaptasi dengan baik terhadap kondisi
lingkungan setempat.
Dengan adanya permasalahan sebagaimana yang telah diuraikan terdahulu,
maka perlu dilakukan percobaan-percobaan dalam rangka meningkatkan mutu bibit

2
tersebut, diantaranya adalah dengan jalan melakukan persilangan. Melalui percobaan
ini dilakukan persilangan antara induk ulatsutera Ras Thailand dengan Ras China
yang bertujuan untuk mendapatkan bibit yang terbaik.
B. Hipotesis

Di Sulawesi Selatan alat yang dugunakan dalam proses pemintalan benang sutera

dikelompokkan menjadi 3 tipe alat pintal yaitu alat pintal tangan, alat pintal kaki, dan

alat pintal mesin (semi otomatis

C. Tujuan dan Kegunaan

3
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistematika dan Jenis Ulatsutera

Wikipedia (2010) menjelaskan bahwa ulat sutera termasuk dalam :


Kingdom : Animalia
Klas : Insecta
Ordo : Lepidotera
Subordo : Ditrysia
Superfamili : bombycoidae
Famili : Bombycidae
Genus : Bombyx
Spesies : mori
Nama Ilmiah : Bombyx mori L.
Omura (1980) dan Anonim (1972) membagi jenis ulat sutera berdasarkan
jumlah generasinya setiap tahun aau voltinismenya, bedasarkan berapakali perganitan
kulit atau moltinismenya, berdasarkan daerah asalnya dan berdasarkan bentuk
persilangannya, yang akan dijelaskan sebagai berikut.
Pembagian jenis ulat sutera berdasarkan voltinismenya adalah sebagai berikut:
1. Univoltine, atau monovoltine, yaitu ulat sutera yang menghasilkan satu
generasi dalam satu tahun. Ulatnya berukuran besar, serat kokonnya
bermutu tinggi tetapi ulatnya hanya tahan dipelihara pada musim tertentu.
2. Bivoltine yaitu ulat sutera yang menghasilkan dua generasi dalam satu
tahun. Masa ulatnya singkat dan kualitas kokonnya lebih baik daripada
univoltine serta dapat tahan bila dipelihara pada berbagai musim.
3. Multivoltine atau polivoltine, yaitu ulatsutera yang menghasilkan tiga
generasi dalam satu tahun. Kokonnya lebih kecil, kualitas dan presentasi
kulit kokonnya rendah, serat kokonnya halus tetapi ulatnya tahan
dipelihara pada iklim yang ekstrim, seperti iklim tropis.
Pembagian jenis ulatsutera berdasarkan moltinismenya adalah sebagai berikut:

4
1. Three molters, yaitu ulatsutera yang mengalami tiga kali pergantian kulit.
Masa ulatnya singkat, tubuh ulat dan kokonnya kecil serta serat kokonnya
halus.
2. Four molters, yaitu ulatsutera yang mengalami empat kali pergantian kulit.
Masa ulatnya sedang, ukuran tubuh dan ulat dan kokonnya juga sedang.
Jenis ulatsutera ini banyak dipelihara.
3. Five molters, yaitu ulatsutera yang mengalami lima kali pergantian kulit.
Masa ulatnya panjang, ukuran tubuh ulat dan kokonnya juga panjang.
Pembagian jenis ulatsutera berdasarkan daerah asalnya adalah sebagai berikut:
1. Jenis Jepang (berasal dari Jepang).
Jenis ini ulatnya mempunyai cirri atau tanda yang khas pada permukaan
kulitnya. Jenis ini pula menghasilkan jumlah telur yang banyak, bentuk
kokonnya lonjong dan berlekuk ditengahnya menyerupai bentuk kacang
tanah dan warna kokonnya umumnya putih tetapi ada pula yang hijau atau
kuning. Masa ulatnya lama dan ukurannya kecil serta kualitas kokonnya
tinggi, ada yang univoltine dan ada pula yang bivoltine.
2. Jenis China (berasal dari China)
Pertumbuhan ulatnya cepat dan agak tahan terhadap suhu yang tinggi
tetapi lemah terhadap keadaan lembab. Bentuk kokonnya bulat atau
lonjong, berwarna putih, kuning atau hijau, seratnya panjang dan halus,
serta daya gulungnya baik. Ada yang univoltine, bivoltine dan ada pula
yang polivoltine dan beberapa yang three molters (mengalami tiga kali
pergantian kulit).
3. Jenis Eropa (berasal dari Eropa, Asia Tengah dan Rusia)
Ukuran telurnya agak besar, masa ulatnya lama terutama pada instar lima.
Tubuh ulatnya besar tetapi lemah terhadap suhu dan kelembaban yang
tinggi. Ukuran kokonnya besar dan sedikit berlekuk, berwarna putih, hijau
atau merah, serta kokonnya halus dan panjang. Semua jenis ini termasuk
univoltine.

5
4. Jenis India (berasal dari India dan Asia Tenggara)
Ulatnya tahan terhadap suhu dan kelembaban yang tinggi. Ukuran ulat dan
kokonnya kecil. Bentuk kokonnya lonjong atau bukat telur berwarna
hijau, kuning atau putih bersih dan berbulu. Serat kokonnya halus dan
presentase kulit kokonnya kecil. Umumnya jenis ini polivoltine.
Pembagian jenis ulatsutera berdasarkan bentuk persilangannya dibedakan atas:
1. A x B : F1 atau hybrid tunggal (kedua induknya ras asli)
2. A x (B x C) : triple hybrid (ras asli x F1 hibrid)
3. (A x B) x (C x D) : doubel hybrid (kedua induknya dari F 1 hibrid yang
berbeda)
4. (A x B) x (A x B) : F 2 hibrid (ke dua induknya berasal dari F1 hibrid yang
sama).

B. Biologi Ulat Sutera

Ulatsutera (Bombix mori L.) dalam siklus hidupnya mengalami


metamorphosis sempurna (holometabola) yang perkembangannya dimulai dari telur,
larva, pupa dan akhirnya menjadi kupu-kupu (Omura, 1967).
1. Telur
Telur ulatsutera berbentuk pipih dan bulat lonjong yang diselubungi oleh korion
yang keras, lebarnya 1 m, panjangnya 1,3 mm dan tebalnya 0,5 mm serta beratnya o,5
mg. Ukuran beratnya sesuai dengan ras dan lingkungannya. Telur yang baru saja
diletakkan induknya berwarna putih kekuningan atau putih susu mengkilat. Telur
yang mengalami hibernasi, dua atau tiga hari kemudian akan berubah menjadi merah
kecoklatan dan baru menetas pada musim semi berikutnya, sedangkan pada telur non
hibernasi tidak mengalami perubahan warna dan menetas 10 hari masa inkubasi pada
suhu 250C dan kelembabannya 80% (Omura, 1980).

6
2. Larva
Larva ulatsutera terdiri dari lima instar. Instar I sampai III dikategorikan ulat kecil
dan instar IV sampai V dikategorikan ulat besar. Larva yang baru saja keluar dari
telur basah, berwarna coklat kehitaman, berambut kelihatan seperti semut di Jepang
disebut gisan dank ego. Larva instar pertama pada hari kedua setelah pemberian
makan pertama (hakitate), berubah warnanya menjadi putih dan menggugurkan
rambutnya (Omura, 1980), stadium larva lebih kurang 23 hari dengan perincian yang
dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Stadium larva F1 hasil persilangan (hybrid) ulatsutera (Bombyx mori L) di


Jepang.

Instar Masa makan Masa tidur Stadium Ulat


(hari) (hari) (hari)

I 3,0 0,5 3,5


II 2,0 1,0 3,0
III 3,0 1,0 4,0
IV 4,0 1,5 5,5
V 7,0 0,0 7,0
sumber : Omura (1980)

Pada akhir perkembangan larva ulatsutera, yakni pada akhir instar V yang disebut
juga ulat matang, bobotnya dapat mencapai 10.000 kali dari larva instar I (kego). Ulat
matang ini akan segera mencari tempat untuk mengokon dengan ,memperlihatkan
perubahan antara lain: tubuhnya tembus cahaya (transparan), berwarna kekuning-
kuningan dan berhenti makan (Omura, 1967).

7
3. Pupa
Ulat yang memintal kokonnya selama tiga hari kemudian setelah meminta
kokonnya ulat berubah menjadi pupa, selanjutnya 10 sampai 12 hari sejak mengokon,
pupa telah berubah menjadi ngengat (Omura, 1967).
Pupa betina mempunyai tanda-tanda yaitu tubuhnya besar sebab sudah berisi telur,
bagian ekornya agak bulat dan lebih berat daripada pupa jantan. Sedangkan pupa
jantan mempunyai tanda-tanda, yaitu tubuhnya relatif kecil dan bagian ekornya agak
lancip (Narasimhanna, 1988; Syamsijah dan kusumaputra, 1978). Narasimhanna
(1988) menjelaskan bahwa pada pupa jantan terdapat tanda “titik” pada ruas
kedelapan dari abdomen bagian ventralnya, sedangkan pupa betina pada bagian yang
sama terdapat tanda “silang”.
4. Ngengat
Ngengat keluar dari kokon setelah 10 sampai 12 hari mengokon, dengan cara
merusak jaringan kokon dengan cairan ludahnya (alkaline saliva) yang dikeluarkan
dari mulutnya (Omura, 1967).
Ngengat jantan dan kupu-kupu betina dapat dibedakan melalui ciri antara lain :
abdomen ngengat jantan lebih sempit/ramping dan memiliki satu titik yang
mengalami pengerasan (chitinous) yang terlihat pada abdomen bagian belakang
apabila ditekan, ngengat ini lebih aktif. Ngengat berukuran lebih besar, abdomennya
lebih berat dan terdapat dua ovipositor pada ujungnya dan kurang aktif bergerak.
Penelusuran ngengat dalam keadaan gelap akan dapat merangsang betina
mengeluarkan telurnya secara maksimal. Lama peneluran 8 jam dan lama berkopulasi
3 sampai 4 jam yang dapat mencegah adanya telur yang tidak dibuahi dan ngengat
betina dapat mengeluarkan telurnya secara maksimal (samsijah dan Kusumaputra,
1978). Menurut Narasimhanna (1988) lamanya ngengat berkopulasi supaya telurnya
fertile sebaiknya 4 sampai 5 jam. Pada keadaan yang demikian, ngengat betina dapat
meletakkan telurna sebanyak 400 sampai 500 butir.

8
C. Ekologi Ulat Sutera

Pemeliharaan ulatsutera sangat erat hubungannya dengan factor lingkungan


seperti suhu dan kelembaban. Menurut Nazaruddin dan Nurcahyo (1992), suhu yang
ideal untuk npemeliharaan ulatsutera berkisar antara 200C sampai 300C dan suhu
seperti ini biasanya terdapat ditempat yang ketinggiannya 400 sampai 800 meter di
atas permukaan laut. Kelembaban udara yang ideal adalah 70 sampai 90 % dan dapat
dijumpai di daerah yang bercurah hujan berkisar 3000 sampai 4000 mm per tahun.
Curah hujan seperti itu berhubungan dengan kelangsungan hidup dan produktifitas
tanaman murbei.
Menurut Omura (1967), pemeliharaan ulatsutera yang terbaik adalah pada
suhu atmosfir sepanjang hari antara 200C sampai 26 0C apabila daun murbei yang
diberikan sebagai makanannya dan tidak tua. Suhu lebih dari 300C atau hujan, tidak
baik untuk pemeliharaan ulatsutera.
Pemberian makanan (pakan) ulatsutera berbeda untuk setiap instar, baik
banyaknya maupun cara pemberiannya. Pada Tabel 2 terlihat posisi daun, ukuran
rajangan dan banyaknya daun yang diberikan serta luas wadah tempat pemeliharaan
pada instar-instar ulatsutera.

9
Tabel 2. Posisi daun, ukuran rajangan dan banyaknya daun murbei untuk pakan serta
luas wadah tempat pemeliharaan ulatsutera (Bombyx mori L.).

Posisi daun Ukuran rajangan Banyaknya Luas wadah tempat


Instar dari pucuk daun (cm) daun pemeliharaan
(kg/boks) (m2/boks)

I daun IV – V 0,5 – 1 2 1
II daun VI – VII 1,5 – 2 5 2
III daun VIII – IX 3–5 30 5
IV semua daun, utuh
dengan rantingnya – 100 9
V semua daun, utuh
dengan rantingnya – 700 16 – 18

Keterangan : Banyaknya ulat atau telur per boks = 20.000


Sumber : Nazaruddin dan Nurcahyo, 1992.

D. Pakan Ulat Sutera

Makanan utama ulatsutera adalah daun Murbei (Morus spp). Daun murbei
yang cocok dengan pertumbuhan ulatsutera terdiri dari zat-zat kimia yang diperlukan
oleh tubuh ulatsutera, mengandung zat lemak dalam jumlah cukup dan untuk
pertumbuhan ulatsutera yang baik diperlukan daun murbei yang sesuai dengan
kebutuhan pada setiap stadium atau instar (Krishnawami, 1973).
Untuk mendapatkan ulat yang sehat sehingga menghasilkan kokon yang
banyak, pada saat stadia ulat kecil perlu diberika makanan yang baik mutunya. Ulat
kecil membutuhkan daun yang lunak yaitu daun yang tumbuh dibagian pucuk cabang.
Jadi daun yang dibutuhkan hanya sebagian kecil saja yaitu ± 10 – 15 % dari luas
kebun yang disediakan untuk ulat besar. Maka untuk efisiensi waktu serta kemudahan
dalam pemeliharaankebun sebaiknya dibuat kebun khusus untuk ulat kecil
(NAsaruddin dan Nurcahyo, 1992).

10
Pada stadia ulat besar membutukan daun yang lebih banyak dibandingkan saat
ulat kecil. Ulat besar membutuhkan makanan yang banyak untuk pembentukan serat
sutera dalam tubuhnya. Jumlah daun yang cukup serta mutu yang baik menjamin
hasil kokon yang tinggi. Pada dasarnya kebun untuk ulat besar bertujuan untuk
meningkatkan produksi kokon dan memperbaiki kualitas filamen kokon (Anonim,
1983 dalam Arif, 1994).
Samsijah dan Kusumaputra (1979) menyatakan bahwa, M. alba mempunyai
kadar protein tinggi pada daun muda 18,66 %, dan daun tua (17,59 %) dibanding
dengan jenis lain, sedangkan kandungan karbohidrat tertinggi terdapat pada M.
cathayana yaitu 56,18 % pada daun muda dan 63,14 % pada daun tua. Pemberian
pakan M. alba kepada ulat kecil dan M. multicaulis terhadap ulat besar memberikan
rendemen pemeliharaan tertinggi dan mutu kokon yang cukup baik.
Pengamatan Nurdin (1980), terhadap rendemen dan mutu kokon bibit F1
(Kinshu x Showa), yang diimpor di Soppeng, Sulawesi Selatan, ternyata bahwa
pemberian makan empat kali sehari, menghasilkan berat kokon 1,89 gram, berat kulit
kokon 0,48 gram dan rendemen 96,58 %. Sedangkan dengan pemberian pakan dua
kali sehari juga menghasilkan rendemen pemeliharaan yang cukup rendah, yaitu
86,58 % karena daun yang tersisa layu, menjadi sampah sehingga penyakit mudah
timbul.
Pemberian pakan M. multicaulis, M. alba, M. chatayana dan M. nigra pada
(F1) dari ras Bili-bili Jepang (BN) dan ras Bili-bili China (BC) tidak berpengaruh
nyata terhadap mortalitas larva, bobot kokon, maupun presentase kulit kokon, namun
ternyata M. multicaulis dan M. alba mempengaruhi mutu serat, yaitu menghasilkan
serat kokon yang panjang masing-masing 1.172,33 m dan 1.125,30 m (Atmosoedarjo,
dkk., 2000).

11
E. Persilangan Ulatsutera

Hibrid ulatsutera merupakan hasil persilangan dari induk-induk yang baik,


kuat dan petumbuhan cepat serta produksi kokonnya tinggi. Jenis yang paling populer
untuk pemeliharaan komersil adalah jenis bivoltine (Anonim, 1983).
Secara turun temurun yang terdapat di dalam genetik ialah pemindahan sifat
atau karakter suatu generasi ke generasi berikutnya, dan karakter tersebut meliputi
karakter morfologis, karakter fisiologis dan karakter psikologis (Yatim, 1986). Pada
ulatsutera ada dua karakter yang dapat diperhatikan, yaitu karakter morfologis dan
karakter ekologis. Yang dimaksud karakter morfologis ulatsutera adalah : warna telur
dan ukurannya, corak tubuh ulat, warna dan ukurannya, bentuk kokon, warna kokon,
ukuran dan bobot kokon. Karakter ekologis ulatsutera antara lain : diapauses telur,
umur ulat, banyaknya pergantian kulit, kualitas kokon dan kualitas serat suteranya
(Anonim, 1972).
Persilangan ulatsutera dimaksudkan untuk memanipulasi gen-gen pada
populasi dalam upaya memperbaiki kandungan dan kuantitas sutera yang mengisolasi
starin-strain yang mempunyai kemampuan komersil (Omura, 1980).
Dewasa ini ada tiga ras yang menjadi ras utama sebagai bahan persilangan
untuk menghasilkan generasi F1 yang lebih unggul, yaitu Ras Jepang, Ras China dan
Ras Eropa atau Ras Rusia. Geneasi F 1 dari ras-ras tersebut lebih baik dari pada
generasi F2nya (Omura, 1980).
Hibrid ulatsutera dari generasi F1 umumnya mempunyai sifat yang lebih tahan
pada lingkungan yang buruk, lebih seragam penetasannya, lebih aktif bertumbuh,
ukuran seratnya lebih besar dan kualitas serta bentuk kokonnya lebih seragam dari
pada induknya. Gejala ini disebut hybrid vigor atau heterosis (Anonim, 1972).
Beberapa metode yang umum digunakan untuk persilangan ulatsutera
(Anonim, 1972), yaitu:
a. Metode pemisahan galur murni
b. Metode ekstraksi galur yang unggul.

12
c. Metode untuk pengujian daya gulung sebutir kokon dari pupa yang tetap
bertahan hidup (Survival).
d. Metode mutasi.
F. Penanganan Pasca Panen

1. Pemanenan Kokon
Kaomini dan Sampe (1988), menyatakan bahwa pemanenan kokon
merupakan kegiatana pasca panen pertama dalam persuteraan alam, yaitu mengambil
kokon dari bingkai tempat kokon. Waktu pemanenan kokon ini adalah hari ke-7 atau
hari ke-8 setelah ulat mulai mengokon. Keterlambatan pemanenan kokon akan
menyebabkan penurunan mutu dan kemungkinan timbulnya kerusakan pada kokon
makin tinggi.
Pemanenan kokon dapat dilakukan dengan mengambil kokon dari tempat
pengokonan. Kokon diperiksa dengan melihat dari arah melawan cahaya, kokon
dengan ulat sutera yang mati dan kotor dibuang. Bila digunakan tempat pengokonan
berombak , alat ini diratakan dengan cara dibentangkan. Kokon yangmati dan berkulit
tipis dibuang. Juga bisa dipanen dengan alat pemanenan kokon yang dijalankan
dengan kaki atau motor listrik (Atmosoedarjo, dkk., 2000).
Penggunaan tempat yang kedap udara seperti halnya plastik akan menyebabkan
kokon lembab dan hal ini memudahkan bakteri dan cendawan hidup dan merusak
kokon. Cara pemanenan dan pengumpulan kokon, juga memberikan kemudahan bagi
pelaksanaan kegiatan selanjutnya, terutama bila kokon pemeliharaan ulat sutera
hendak diolah menjadi benang sutera atau akan dipasarkan (Guntoro, 1994).

2. Membersihkan Kokon

Kokon yang telah dipanen masih diselimuti serabut serat sutera (floss) yang
apabila dibiarkan akan mengabsorbsi air dari udara dan menurunkan mutu kokon.
Kokon juga dapat menyangkut satu sama lain, sehingga menyulitkan penanganannya.
Untuk keperluan tersebut dipergunakan alat pembersih serabut kokon dapat

13
digerakkan dengan tangan, kaki, atau dengan motor listrik (Atmosoedarjo, dkk.,
2000).
Kaomini dan Sampe (1988), menyatakan bahwa untuk mendapatkan hasil
kokon yang benar-benar siap olah atau dipasarkan, maka perlu dilakukan
pembersihan kokon. Cara sederhana dalam pmbersihan kokon adalah dengan
membuang serabut-serabut sutera yang membungkus kokon dengan menggunakan
tangan. Dikatakan juga bahwa cara membersihkan kokon dengan tangan akan
menghasilkan kokon yang benar-benar bersih. Kelemahan cara ini adalah kapasitas
pembersihan yang rendah yakni hanya 8 – 10 kg/jam untuk seorang pekerja yang
terlatih.
3. Pengeringan Kokon
Pengeringan kokon bertujuan untuk mematikan pupa yang ada di dalam agar
tidak berubah menjadi ngengat (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999).
Mengurangi berat kokon menjadi sekitar 40 % dari berat kokon basah (fresh cocoon)
dengan demikian kokon tidak mudah rusak dalam penyimpanan sebelum dipintal
(Sunanto, 1997).
Pengeringan kokon dapat dilakukan secara convensional dan inconvensional.
Secara convensional yaitu dijemur di bawah terik matahari secara bertingakt selama 3
hari dan setiap hari pengeringan dilakukan sekitar 1,5 jam, sedangkan pengeringan
secara inconvensional ada beberapa cara antara lain: a) dengan uap air yaitu kokon
ditempatkan kukusan yang berisi air yang dididihkan dan dibiarkan selama beberapa
jamterpanas oleh uap air sehingga pupa dalam kokon mati atau kokon ditempatkan
dalam ruangan yang uap airnya diperoleh dari sebuah ketel uap yang dialirkan dari
bawah ruangan penguapan, suhu di dalam ruangan sekitar 750C sehingga pupa mati,
setelah pupa-pupanya mati kokon dikeringkan dalam ruangan pengeringan; b) dengan
udara panas yaitu dengan menggunakan alat sederhana atau menggunakan mesin
iseisha cocoon dryer (Sunanto, 1997).

14
4. Seleksi Kokon

Seleksi kokon dimaksudkan untuk memisahkan antara kokon yang baik untuk
dipintal dan kokon yang jelek yang tidak dapat dipintal, seleksi kokon sangat
menentukan benang. Kokon baik adalah kokon tunggal dan bersih, tidak cacat dan
dapat dipintal, sdangkan kokon yang jelek adalah kokon yang belubang, kokon
ganda, kokon tergencet, kokon bernoda dalam, kokon bernoda luar, kokon berujung
tipis, kokon berkulit tipis, kokon berserabut, kokon berlapis ganda (kokon isi dua
pupa), kokon yang tipis bagian tengahnya, kokon yang abnormal dan keseluruhan
kumpulan kokon akan dinilai rendah. Untuk mencegah kerugian ini, kokon harus
diseleksi dengan seksama. Kokon yang rusak atau afkir sebaiknya dibuat serabut
sutera (Atmosoedarjo, dkk, 2000). Menurut Pannengpent (1972), cara pemisahan
kokon yang lain ialah berdasarkan ukuran kokon. Cara ini digunakan kokon yang
berukuran tidak rata. Pemilihan kokon umumnya menggunakan alat pemilihan kokon
(cocoon selector).

G. Pemasakan Kokon dan Proses Reeling


1. Pemasakan Kokon

Kokon dimasak (direbus) dengan tujuan untuk melepaskan filament kokon


yang direkatkan oleh serisin, dengan jalan memasak kokon dengan air panas, atau uap
air panas sehingga kulit kokon mengembang, menjadi lunak dan memungkinkan
filament sutera diurai dan digulung pada reel tanpa menjadi kusut atau putus.
Pemasakan kokon terdiri dari pemasakan awal, pemasakan utama, dan
pemasakan akhir (perendaman, penguapan, dan penyerapan akhir). Pemasakan
pendahuluan bertujuan untuk meresapkan air secara merata kepada kulit kokon.
Proses pemasakan utama bertujuan untuk pengembangan kokonnya dan serisin pada
kulit kokon, dengan pemanasan dan bersamaan dengan itu, menggantikan udara
dengan kokon dengan uap. Tujuan dari pemasakan akhir adalah untuk mengatur

15
pengembangan serisin dan mengganti uap dalam ruangan kokon dengan air panas,
sehingga bentuk kokon tidak ringset (Atmosoedarjo, dkk., 2000).

2. Mesin Pemasak Kokon

Mesin pemasak kokon terdiri dari empat bagian pemosresan


yaitu:perendaman, pemasakan uap, penyesuaian, dan penyempurnaan. Proses
penguapan dilaksanakan di dalam tiga tahap yaitu: sirkulasi uap fase pertama,
sirkulasi uap fase ke dua dan pengeluaran udara. Dengan cara seperti ini dapat
dihindari pemasakan yang kuarng merata dan dapat mengurangi pada pekerjaan
pembetulan filament yang putus pada waktu diproses dari mesin reeling otomatis.
Kapasitas mesin pemasak kokon berkisar antara 20 – 600 kg kokon per 8 jam,
dilengkapi dengan 43 keranjang kokon, berukuran 600 x 200 x 50 cm, terbuat dari
stainless stell (Atmosoedarjo, dkk., 2000).
Mesin pemasak kokon melintang otomatis memiliki kemampuan untuk
menyerap air panas yang tinggi. Hal ini disebabkan adanya bagian alat pemasak yang
dapat digerakkan secara otomatis dengan arah melintang, dengan bantuan rantai yang
terdapat di atas dan di bawah tangkai pemasak kokon. Mesin ini memiliki kapasitas
pemasakan yang besar, disamping kemudahan dalam penanganan perlakuan
perebusan kokon (Sugiarto, 1980).

3. Pemintalan Benang Sutera

Pemintalan adalah suatu proses melepas satu atau lebih filament sutera dari
kokon dan menyatukannya menjadi sehelai benang (sutera mentah atau dupion) dari
panjang yang diinginkan dan ukuran tertentu (Sugiarto, 1980). Jumlah filament kokon
yang disatukan tergantung dari denier sutera yang dimaksud dan denier filament
kokon segar yang dipergunakan. Sebuah kokon yang dpintal dapat menghasilkan
panjang filamen diatas 1000 m tergantung pada jenisnya (Tazima, 1978).

16
Pemintalan bertujuan menghasilkan benang sutera setengah jadi. Pemintalan
dapat menggunakan alat pintal tradisional (alat pintal kaki dan alat pintal tangan),
semi otomatis dan otomatis. Kualitas benang sutera yang dihasilkan berbanding lurus
dengan kualitas alat pintal yang dipakai, operator mesin pintal dan kesadahan air yang
digunakan. Biasanya ditingkan petani atau pengrajin kecil dipakai alat pintal
tradisional dengan atau tanpa modifikasi sedang ditingkan pengusaha benang dipakai
alat semiotomatis dan atau otomatis tergantung skala usahanya (Departemen
Kehutanan dan Perkebunan, 1999).
Alat pintal semiotomatis adalah alat pintal dimana pada alat ini sudah terdapat
denier detector (alat pengontrol ketebalan benang) sehingga ketebalan benang sangat
terjaga selama pemintalan benang berlangsung. Alat ini dalam pengoperasiannya
sebagian besar digerakkan oleh mesin (Byong-Ho, 1989). Pemintalan multi-ends
memiliki kecepatan pemintalan berkisar 50 – 100 m/detik dan suhu air pemintalan 300
– 500C (Sugiarto, 1980). Sedang Omura (1980) dalam Nuraeni (1993) menyebutkan
bahwa, dalam penentuan-penentuan kecepatan pintal optimum selain kapasitas
produksi per jam, harus pula diperhatikan tingkat keteruraian serat sutera.

H. Penggulungan Kembali (Re-reeling)

Proses re-reeling adalah proses pemindahan benang sutera yang sudah dipintal
dari reel dengan keliling yang lebih kecil ke reel yang lebih besar (keliling = 1,5
meter), untuk membuat untaian benang sutera dengan panjang, lebar dan berat sesuai
standar. Juga untuk menuruk menurunkan tegangan yang ada pada reel kecil
(Atmosoedarjo, dkk., 2000).
Prinsip re-reeling adalah mengatur panjang benang yang akan dibuat ukel, dan
mengeringkan benang. Benang sutera yang telah dipintal kembali siap untuk
disimpan atau dipasarkan. Pada umumnya setiap ukel berbobot 40 g benang sutera
mentah (Pannengpet, 1972).

17
I. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Kokon
Banyak faktor yang mempengaruhi penurunan produksi kokon belakangan
ini, antara lain menurunnya mutu bibit. Kualitas bibit itu sendiri tergantung beberapa
hal diantaranya teknik pemeliharaan, kualitas dan kuantitas pakan dan pencegahan
penyakit. Sampai saat ini masalah mutu bibit menduduki peringkat paling atas dari
tuntutan perbaikan yang diinginkan petani sutera (Budisantoso, 2001).

Nasaruddin dan Nurcahyo (1992) menyatakan bahwa, pemindahan ulat ke


tempat pengokonan sebaiknya dilakukan tepat pada saat ulat akan mengokon. Ulat
yang dipindahkan terlalu awal ke tempat pengokonan akan mengganggu ulat lain
yang sudah mengokon, karena ulat yang belum siap mengokon ini hanya akan
berjalan kesana kemari. Sedangkan pemindahan yang terlalu lambat akan
menghasilkan kokon yang tidak sempurna atau kecil-kecil karena sutera dalam
tubuhnya tinggal sedikit. Menurut Atmoseodarjo, dkk., (2000), bila pengokonan
dilakukan pada saat belum matang atau saat lewat matang maka daya pintal
(mudahnya filament kokon terurai pada saat pemintalan) menjadi kurang dan panjang
filament yang didapat akan berkurang juga. Selain itu ulat sutera yang kelewat
matang cenderung membuat kokon rangkap (kokon yang dibuat oleh dua ulat).

Pada waktu di tempat pengokonan ulat sutera mula-mula mulai berputar


mencari tempat pengokon yang baik, kemudian menetap pada tempat yang telah
dipilihnya, beberapa waktu kemudian ulat akan membuat lapisan kokon tipis-tipis.
Meskipun gerakan berputar-putar berlanjut tanpa berhenti, akan tetapi bila ulat sutera
bergantung atau terkena perubahan-perubahan lingkungan yang mendadak kadang-
kadang akan berhenti berputar, yang dapat menyebabkan daya pintal kokon menjadi
rendah. Materi dan struktur tempat pengokonan juga sangat berpengaruh terhadap
kualitas kokon dan filament, persyaratan utama tempat pengokonan adalah sebagai
berikut: kekuatan struktur cocok untuk mengokong, mampu mengontrol kelembaban,

18
member kemudahan untuk memperlakukan ulat pada waktu mengokong dan
kemudahan dalam panen kokon (Atmosoedarjo, dkk., 2000).

Budisantoso (1997), memberikan contoh alat pengokonan mukade (daun


kelapa kering) dan rotary dari karton member hasil yang baik untuk semua parameter
mutu sutera yang diamati, yaitu panjang serat, daya gulug dan rendamen serat. Untuk
alat pengokonan rotary masing-masing diperoleh 940,96 m, 77,69 % dan 19,36 %
sedangkan alat untuk pengokonan mukade 902,75 m, 75,73 % dan 19,36 %.

Kondisi iklim seperti suhu, kelembaban, arus udara dan sebagainya selama
pengokonan berpengauh pada kualitas filament kokon terutama pada kulitas
pemintalan. Sebaiknya ulat sutera yang sedang mengokon mendapat perlakuan
sebagai berikut: suhu 23 – 25 oC, kelembaban 60 – 75 %, sirkulasi udara 0,2 – 1
m/detik dan cahaya remang-remang dengan intensitas 10 – 20 lux. Akan tetapi di
daerah tropic kadang-kadang sukar untuk mempertahankan kisaran suhu ini.
(Atmosoedarjo, dkk., 2000).

Pengendalian lngkungan selama pengokonan merupakan hal yang penting


untuk mendapatkan filament kokon selama ulat berputar-putar. Masa ini mencakup
waktu paling lama 70 jam pada suhu 23 oC, 60 jam pada suhu 23oC dan 50 jam pada
suhu 28oC sesudah memulai pengokonan. Selanjutnya yaitu bagian kedua dari masa
ini, mempunyai pengaruh khusus terhadap kualitas filament, karena itu sesudah
sampah dibuang sampai berakhir waktu berputar-putar suhu ruangan perlu
dipetahankan pada suhu 23 – 25oC dan ruangannya perlu tetap dalam keadaan kering,
dengan mengusahakan ventilasi yag baik. (Atmosoedarjo, dkk., 2000).

Kokon yang reelabilitasnya baik dan kesehatan ulat terpelihara dapat diproleh
jika kondisi agroklimat yang sesuai, aeresi yang baik, teknik pemeliharaan yaitu
pemberian pakan yang sesuai dengan kebutuhan ulat kelembaban udara antara 60 –
70 % tidak akan mengurangi kualitas kokon, tetapi bila mencapai hingga 90 % maka

19
reelabilitas kokon menjadi kurang baik dan kualitas serat sutera dari kokon tersebut
juga rendah. (Katsumata, 1964).

Kesehatan ulat besar juga harus dijaga dengan baik agar dapat diperoleh
kokon yang baik. Kesehatan ulat dapat dijaga dengan dengan perlakuan desinfeksi
dengan menggunakn kaporit 10 yaitu campuran 10 % bagian kaporit dengan 90 %
bagian kapur. Juga jika suhu dan kelembaban memenuhi kebutuhan maka, nafsu
makan ulat besar akan menurun sehingga rentan terhadap penyakit, ukuran kokon
yang dihsilkan kecil dan kadar suteranya rendah.

Kokon yang berkualitas rendah akan berpengaruh sangat besar terhadap daya
gulung, rendamen serat dan panjang serat, di bawah ini akan diuraikan faktor-faktor
penyebabnya:

1. Daya gulung, faktor penyebab rendah tidaknya daya gulung adalah:


a. Ras ulat sutera; daya gulung dari ras yang baik daya gulung berkisar 90 %.
(Choe, 1965).
b. Lingkungan pemeliharaan; daya gulung lebih banyak dipengaruhi oleh
lingkungan pemeliharaan terutama iklim; temperature dan kelembaban.
(Khishnaswami, 1973):
1. Penyebab rendahnya daya gulung adalah perubahan temperature dan
kelembaban yang mendadak terutama pada saat ulat bergati kulit dan pada
saat perubahan ulat menjadi pupa. (Tanaka, 1964).
2. Tingkat kekeringan kokon. (Pennengpet, 1972).
3. Temperature dan kelembaban dalam ruang pengeringan. (Khishnaswami,
1973).
4. Lama penyimpanan kokon, penyimpanan kokon yang terlalu lama akan
menyebabkan kokon berjamur sehingga menyebabkan turunya daya
gulung.
2. Rendemen serat, faktor yang mempengaruhi rendemen serat adalah:

20
a. Ras ulatsutera; ras ulatsutera yang sudah beradaptasi mempunyai rendemen
serat yang lebih baik dibandingkan hasil pesilangan yang baru (KOvalev
dalam Fauzie, 1993).
b. Temperature dan kelembaban, utamannya tingkat kekeringan kokon,
temperature dan kelembaban dalam ruangan pengeringan.
c. Lama pengeringan dan penyimpan kokon.
d. Iklim; di Korea, rendemen berkisar antara 15 – 18 % pada waktu musim semi
dan musim gugur (Choe, 1969). Musim pemeliharaan dan kondisi waktu
panen mempengaruhi rendemen serat (Omura, 1980).
3. Panjang serat, faktor yang mempengaruhi panjang serat adalah:
a. Iklim; iklim di suatu wilayah mempengaruhi panjang serat yang dihasilkan
ulasutera, di Korea panjang serat umumnya berkisar antara 800 – 1000 m pada
musim semi dan 600 – 900 pada musim panas dan musim gugur (Choe,
1969).
b. Ras ulatsutera; ras juga mempengaruhi panjang serat yang dhasilkan (kaomini
dan Sampe, 1988).
J. Mutu Kelas Kokon

Mutu suatu hasil produksi adalah tolak ukur dari hasil itu sendiri dimana
mampu membantu mempertahankan, mengangkat atau bahkan menjatuhkan produksi
dalam persaingan di pasar bebas (Sunanto, 1997). Mutu tidak saja penting bagi para
konsumen, tetapi juga untuk pedagang perantara dan terutama untuk produsen
(Mizuno, 1994).

Mutu kokon sangat beragam dalam transaksi perdagangan kadang-kadang


menyebabkan harga yang dibayarkan oleh konsumen atau yang diterima oleh
produsen tidak seperti yang diharapkan. Bagi konsumen mutu kokon yang diharapkan
adalah kokon yang baik secara visual maupun laboratorium yaitu kokon besar, keras,
daya gulung baik dan rendemen tinggi (Budisantoso, 1997).

21
Omura (1981) dan Byung Ho (1980) menyatakan bahwa, klasifikasi mutu
kokon dibagi ke dalam lima kelas yaitu excellent, 1, 2, 3 dan 4, parameter yang diuji
untuk menentukan kelas kokon meliputi persentase kokon cacat, panjang serat, daya
gulung, ketebalan serat dan rendemen serat, dari beberapa parameter tersebut hanya
panjang serat dan daya gulung yang menentukan kokon tersebut masuk dalam kelas 1
atau 2 dan seterusnya. Menurut Budisantoso (1997), untuk menilai mutu kokon baik
atau tidak maka perlu dibuat suatu standar dengan parameter yang dapat diuji dan
mencerminkan kualitas kokon baik secara visual maupun uji laboratorium.

Penentuan mutu kokon ke dalam kelas mutu adalah dengan mengkombinasikan


hasil pengujian visual dan laboratorium. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Tabel 1 – 5 berikut:

Tabel 1. Klasifikasi Kelas Kokon (Budisantoso, 1997).


Kelas Excellent First Second Third Fourth
(Grade) (amat baik) (1) (2) (3) (4)
Nilai Total 91.5 90.50 – 91.0 89.0 – 90.0 87.0 – 88.5 87.5

Tabel 2. Klasifikasi Kokon Berdasarkan Berat Kokon (Budisantoso, 1997)


No Berat Kokon (gram) Kelas
. (cocoon weight) (Class)
1 ≥2 A
2 1.5 – 1.9 B
3 1 – 1.4 C
4 ≤ 0.9 D

Tabel 2 terlihat bahwa, klasifikasi berat kokon berada di antara 0.9 – 2 gram.
Apabila berat kokon mencapai 2 gram atau lebih maka kokon yang diuji termasuk
kelas A.

22
Tabel 3. Klasifikasi Kokon Berdasarkan Persentase Kulit Kokon (Budisantoso, 1997).
No Kulit Kokon (%) Kelas
. (cocoon shell) (Class)
1 ≥ 25 A
2 20 – 24.9 B
3 15 – 19.9 C
4 ≤ 14.9 D

Tabel 3 terlihat bahwa kokon dengan kulit kokon ≤ 14.9 % masuk ke dalam
kelas D.

Tabel 4. Klasifikasi Nilai Panjang Serat (Budisantoso, 1997).


Panjang 891 – 961 – 1031 – 1101 – 1171 – 1241 – 1271 – 1381 –
< 890 1451
Serat 960 1030 1100 1170 1240 1370 1380 1450
Nilai 38.0 38.5 39.0 39.5 40.0 40.5 41.0 41.5 42.0 42.5

Tabel 4 diuraikan bahwa, apabila panjang serat kokon yang diuji < 850 m
maka kokon tersebut mmpunyai nilai 38.0 begitu pula apabila panjang seratnya antara
891 – 960 m maka nilainya 38.5 dan seterusnya.

Tabel 5. Klasifikasi Nilai Daya Gulung (Budisantoso, 1997).


Daya
< 43 44 -50 51 - 57 58 - 63 64 - 68 69 - 73 74 - 78 79 - 82 83 – 86 < 87
Gulung
Nilai 38.0 38.5 39.0 39.5 40.0 40.5 41.0 41.5 42.0 42.5

Tabel 5 diklasifikasikan daya gulung kokon ke dalam nilai – nilai. Apabila


kokon yang diuji mempunyai daya gulung 43 % atau kurang, maka kokon tersebut
mempunyai nilai 47,0 dan seterusnya. Untuk menentukan termasuk dalam kelas
beberapa kokon yang diuji maka nilai pada Tabel 4 dan 5 dijumlahkan sehingga akan
didapat total nilai dan kemudian dibandingkan dengan table kelas mutu kokon yang
tersaji pada Tabel 1.

III. METODE PENELITIAN

23
A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan bulan Februari
2011 dengan lokasi pengambilan sampel di Desa Sering Kecamatan Donri-donri,
Kabupaten Soppeng dan pengujian kualitas serat dilaksanakan di Balai Persuteraan
Alam di Desa Bili-bili, Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa, Propinsi
Sulawesi Selatan.

B. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain:


1. Mesin Pemintal semi otomatis yang dilengkapi dengan alat Kounter dan Haspel
2. Panic perebusan kokon
3. Timbangan digital
4. Label
5. Gunting
6. Cutter
7. Kompor minyak tanah
8. Kamera digital
9. Sikat
10. Sendok berlubang
11. Kalkulator
12. Alat tulis menulis
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah:
1. Kokon jenis Polivoltine
2. Kantong kokon yang terbuat dari kasa
3. Air

24
C. Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu:


1. Kokon yang telah dipanen dari petani, diseleksi dengan memisahkan antara
kokon yang baik dan kokon yang jelek. Dari hasil seleksi diambil kokon yang
baik, selanjutnya ditimbang.
2. Kokon yang telah diseleksi dimasukkan ke dalam oven samapi pupanya mati.
3. Kokon yang telah dioven di masukkan ke dalam kantong sampel yang telah
diberi label, satu kantong sampel berisi 100 butir kokon.
4. Memanaskan air hingga mendidih dalam panic perebusan dengan temperature
95 – 980C. selanjutnya kokon di masukkan ke dalam air mendidih tersebut,
agar perebusan dapat merata, kokon diaduk dengan menggunakan sendok
berlubang sampai masaknya merata (± 15 menit).
5. Aduk dengan sikat halus agar lapisan sutera bagian luar terkelupas dan ujung-
ujung serat setiap kokon melekat pada sikat.
6. Gumpalan serat akibat penyikatan dipisahkan dan digunting dan ujung-ujung
dari serat untuk dipintal.
7. Kokon yang telah diperoleh ujung seratnya (siap dipintal) dipindahkan ke
dalam baskom yang berisi air panas dengan suhu 40 – 500C.
8. Ujung-ujung serat kokon sebanyak 10 butir ditarik dan disatukan membentuk
satu untaian filament kemudian dimasukkan ke dalam lubang mangkok
porselin.
9. Dari mangkok porselin, ditarik melalui rol penghantar kemudian dililitkan
sebanyak 8 – 20 lilitan sepanjang 1 inchi.
10. Selanjutnya, serat ditarik melalui rol prluncur berikunya dan langsung
dililitkan pada kincir penggulung (haspel) yang sebelumnya melewati
pengatur benang kemudian dipintal.
11. Setelah semua kokon terpintal lalu dicatat angka yang terdapat pada counter.

25
12. Benang sutera hasil pintalan (reeling) selanjutnya direeling lagi membentuk
untaian lebih besar agar kadar airnya berkurang.
13. Tiap untaian benang diukel, didikat lalu ditimbang.

D. Variabel yang Diamati


1. Mutu Kokon
Variabel yang diamati pada penelitian ini adalah:
1. Berat kokon segar (gram)
2. Berat kokon tanpa pupa (gram)
3. Persentase kulit kokon (%).
Berat kokon tanpa pupa
¿ x 100 %
Berat kokon segar

2. Mutu serat
1. Panjang serat (meter)
Panjang benang x jumlah rata−rata per benang
Panjang serat =
Jumlah kokon yang dipintal
- Panjang benang = panjang benang yang tergulung pada haspel.
- Jumlah kokon yang dipintal = jumlah kokon yang diuji – jumlah nilai
konversi I dari kokon sisa.
2. Daya gulung (%)
Jumlah kokon yang dipintal
Daya gulung= x 100 %
Jumlah kokon yang tercantum di kounter
3. Berat serat (gram)
Berat benang sebenarnya
Berat serat =
Jumlah kokon yang dipintal
- Jumlah kokon yang dipintal = jumlah kokon yang diuji – jumlah nilai
konversi II dari kokon sisa.
4. Persentasi Serat dan Rendemen Serat (%)

26
Berat benang+berat benang kokon sisa
Rendemen serat= x 100 %
Berat benang kokon yang diuji
- Berat benan kokon sisa = berat serat x jumlah nilai konversi II dari kokon
sisa.
5. Berat serat (denier)
Berat benang
x 9000
Panjang benang
Berat serat =
Jumlah rata−rata perbenang

Untuk nilai konversi dari kokon sisa dapat dilihat pada table 6.
Tabel 6. Nilai Konversi Kokon Sisa (Budisantoso. 1997)
Nilai Konversi
No. Jenis Kokon Sisa
I II
1 Utuh 1,00 1,00
2 Tebal 0,85 0,80
3 Sedang 0,37 0,28
4 Tipis 0,11 0,06

E. Analisis Data
Untuk mengetahui perbedaan rata-rata berat kokon segar, berat kokon tanpa
pupa, persentase kulit kokon, panjang serat, daya gulung, berat serat, rendamen serat,
berat serat dari dua ras tersebut digunakan uji beda sebagai berikut:
H0 : μ 1 = μ 2
H1 : μ ≠ μ 2
Dengan statistik uji yang digunakan adalah satistik t:

X 1−X 2
t h= 2 2
√(S ¿¿ 1 /n )+(S /n )¿
1 2 2

1) Jika ragam kedua populasi sama digunakan statistik:

27
X 1− X 2
t h= ; db=n1 +n2−2
1 1
Sp +
n1 n2√
( n1−1 ) S21 + ( n 2−1 ) S 22
Sp=
√ n 1+ n2−2
2) Jika ragam kedua populasi tidak sama digunakan statistik:
X 1 −X 2
t h=
S 21 S22
( +
n 1 n2 )
2
S12 S 22

db=
( +
n1 n2 )
S1 2 S 2 2
( ) ( )
n1
+
n2
n 1−1 n2−1
Keterangan:
X1 = rata-rata pengamatan ras China
X2 = rata-rata pengamatan bibit hybrid
S1 = simpangan baku dari hasil pengamatan ras China
S2 = simpangan baku dari hasil pangamatan bibit hybrid
n1 = jumlah pangamatan ras china
n2 = jumlah pengamatan bibit hybrid

Kaidah keputusan yang digunakan untuk taraf nyata α adalah sebagai berikut:
Jika –tl - ½ά < th < tl - ½ά, dimana tl - ½ά diperoleh dari distribusi t dengan db = (n1
+ n2 – 2) dan peluang (1 - ½ά) diputuskan terima H0 untuk harga t lainnya tolak H0.
Penolakan H0 berarti terdapat suatu perbedaan yang nyata dari rata-rata variable yang
diamati antara kedua ras.

28
Budidaya murbai dapat ditinjau dari beberapa jenis tanaman murbei,
pemeliharaan areal tanam, Pengolahan Tanah, Pengadaan Stek Tanaman, Persiapan
Bedengan Atau Media Dalam Polybag, Persiapan Lahan, dan Penanaman Tanaman
Murbei. Dimana budidaya murbei dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Jenis Tanaman Murbei

Terdapat berbagai jenis tanaman murbei (Morus sp) di dunia, namun yang
dianggap unggul di Indonesia adalah sebagai berikut : untuk iklim/daerah panas yaitu
Morus cathayana, Morus khunpai, dan Morus lembang,untuk iklim/daerah sedang
yaitu Morus kanva, Morus kathayana dan Morusmulticaulis; sedangkan untuk
iklim/daerah dingin adalah Morus mufticaulis dan Morus kanva.

2) Pemilihan Areal Tanam

Pemilihan areal untuk penanaman murbei harus memperhatikan faktor iklim


suhu 21 - 300C, kelembaban rata-rata 60%, Transpirasi murbei sangat tinggi maka
dibutuhkan curah hujan rata-rata minimal 1500 mm per tahun. Ketinggian
tempat/tanah 700 m dpl, Jenis tanah adalah Latosol vulkanis/lnseptsol struktur
lempung berpasir pH sekitar 6,5. Lokasi pemeliharaan ulat dekat dengan kebun
murbei kemiringan 15 - 30% dan faktor lingkungan artinya tanaman murbei jauh dari
populasi dan bau racun obat-obatan pertanian.

3) Pengolahan Tanah

Sistem Cemplongan yaitu lubang tanaman di mana tanah hanya diolah pada
bagian yang akan ditanami saja. Kedalaman lubang antara 30 - 40 cm dengan lebar 30
cm. Sistem larikan yaitu pembuatan lubang dengan membuat guludan-guludan sesuai
baris tanaman.

29
4) Pengadaan Stek Tanaman

Pemilihan stek sebaiknya diambil dari tanaman yang berumur di atas 1 tahun
dari cabang yang sehat, lurus dari cabang berumur 4 - 6 butan setelah dipangkas.
Diameter cabang kurang lebih 1 cm. Pengangkutan stek yang diambil dari lokasi yang
jauh perlu mendapat perhatian, yang harus dijaga adalah agar stek tadi tidak kering
selama perjalanan. Salah satu cara dengan jalan ditutup dengan karung basah.
Pengangkutan stek sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari agar tidak kering
dalam perjalanan.

Penyimpanan stek yang tidak langsung ditanam di lapangan sebaiknya di


tempat yang dingin dan lembab serta tidak terkena cahaya matahari langsung.
Pemotongan stek. Bahan stek dipotong sepanjang 20 - 2 cm dengan alat yang tajam
agar tidak pecah.

5) Persiapan Bedengan Atau Media Dalam Polybag

Bedengan dibuat dengan ukuran 100 - 125 cm, dicangkul dengan kedalaman
30 cm. Tanah yang telah gembur diberi pupuk kandang sekitar 2 kg dan 1 ons kapur
untuk setiap M2, selanjutnya diberi Furadan 25 gram dan diberi Hustatian 200 cc
dalam 10 liter air. Polybag yang digunakan berukuran lebar 15 cm dan panjang 25 - 3
cm, diisi dengan tanah yang gembur dicampur dengan pupuk kandang dan sedikit
kapur.

6) Persiapan Lahan

Setelah selama 3 bulan dalam persemaian atau polybag, maka bibit tanaman
sudah slap tanam di lapangan. Penanaman di lapangan dapat dilakukan dengan tiga
sistem yaitu : a. sistem lubang, b. sistem rorak dan c. sistem pengolahan tanah
keseluruhan

30
7) Penanaman Tanaman Murbei

Waktu tanam yang tepat adalah awal atau pertengahan musim hujan kecuali pada
daerah yang terdapat fasilitas irigasi. Penanaman stek murbei seperti halnya tanaman
lain, stek ditancapkan miring 30 pada tempat yang sudah ditentukan sesuai dengan
jarak tanam. Bagian yang ditancapkan adalah 2/3 dari panjang stek. Jarak tanam
secara monokultur adalah 1,5 x 0,75 m ; 1,2 x 0,4m. Jika secara tumpangsari, jarak
tanamnya 1 x 0,75 m ; 2 x 0,6 m ; 3 x 0,5 m (tergantung jenis tanaman tumpang sari).

 sekitar 40 – 60c. Temperatu kurang dari itu harus segera diganti dengan air yang
baru (Dephut, 1995).

31

Anda mungkin juga menyukai