Anda di halaman 1dari 67

71

BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Penentuan Lokasi


5.1.1. Location Quotient (LQ)
Salah satu upaya menuju efisiensi ekonomi pembangunan sektor
pertanian dalam arti luas, dapat ditempuh dengan mengembangkan komoditas
yang mempunyai keunggulan komparatif baik ditinjau dari sisi penawaran
maupun permintaan. Dari sisi penawaran komoditas unggulan dicirikan oleh
superioritas dalam pertumbuhannya pada kondisi biofisik, teknologi dan kondisi
sosial ekonomi petani di suatu wilayah. Sedangkan dari sisi permintaan,
komoditas unggulan dicirikan oleh kuatnya permintaan di pasar baik pasar
domestik maupun internasional (Syafaat dan Supena, 2000 dalam Hendayana,
2003). Kondisi sosial ekonomi yang dimaksud mencakup penguasaan teknologi,
kemampuan sumberdaya manusia, infrastruktur misalnya pasar dan kebiasaan
petani setempat
Superioritas tersebut harus dapat diukur secara kuantitatif dalam kaitannya
dengan komoditas lain dalam wilayah yang lebih luas. Diperlukan cara atau
metode dalam menentukan apakah suatu komoditas tersebut mempengaruhi
perekonomian wilayah setempat. Salah satu teori yang banyak dipakai dalam
menentukan sektor basis dalam wilayah adalah Location Quotient (LQ).
Teknik LQ merupakan salah satu pendekatan yang umum digunakan
dalam model ekonomi basis sebagai langkah awal untuk memahami sektor
kegiatan yang menjadi pemacu pertumbuhan. LQ mengukur konsentrasi relatif
atau derajat spesialisasi kegiatan ekonomi melalui pendekatan perbandingan.
Berdasarkan hasil analisis Location Quotient (LQ) yang menggunakan
data luas areal komoditas kelapa pada 6 kecamatan di wilayah Pesisir Kabupaten
Lampung Barat, diketahui bahwa kelapa merupakan komoditas yang memiliki
pengaruh besar dalam perekonomian wilayah. Hal ini terlihat bahwa dari 6
kecamatan terdapat 43 dari 85 (51 persen) desa Pesisir yang memiliki nilai LQ >
1, sedangkan sisanya (49) memiliki nilai LQ<1. Adapun uraian hasil analisis
sebagai berikut: pada Kecamatan Bengkunat terdapat 10 desa (50 persen) yang
memiliki nilai LQ>1, Kecamatan Pesisir Selatan terdapat 3 desa (30 persen)
72

dengan nilai LQ>1, selanjutnya Kecamatan Pesisir Tengah desa dengan nilai LQ.1
berjumlah 9 desa (45 persen), Kecamatan Karya Penggawa 6 desa (60 persen)
yang memiliki nilai LQ>1, Kecamatan Pesisir Utara terdapat 11 desa ( (68 persen)
yang memiliki LQ>1 dan 4 desa (36 persen) pada Kecamatan Lemong yang
memiliki nilai LQ kelapa>1.
Sebagai daerah dengan mata pencaharian pokok penduduk bertumpu pada
sektor pertanian, peranan komoditas perkebunan lainnya seperti Kopi, Cengkeh,
Lada dan Kelapa Sawit di wilayah pesisir cukup dominan. Hal ini ditunjukkan
dengan nilai LQ>1 pada beberapa desa. Di Kecamatan Bengkunat, terdapat 8
desa yang memiliki nilai LQ>1 untuk komoditas Kopi, 6 desa untuk komoditas
Cengkeh, 5 desa untuk komoditas Lada dan 7 desa memiliki nilai LQ> 1 untuk
komoditas Kelapa Sawit.
Keberadaan komoditas Kopi, Lada, dan Cengkeh merupakan bentuk pola
budidaya masyarakat pesisir yang menggunakan sistem budidaya kebun campuran
dengan tanaman Damar atau dikenal dengan istilah Repong Damar. Tanaman
tersebut merupakan bagian dari usaha budidaya Damar yang tumbuh dengan baik
pada pola kebun campuran Kopi, Lada, Cengkeh dan tanaman buah-buahan
lainnya. Sedangkan Kelapa Sawit di Kecamatan Bengkunat merupakan
perkebunan perusahaan swasta PT. Karya Canggih Mandirutama (PT. KCMU),
yang mengusahakan perkebunan Kelapa Sawit dengan Pola Perkebunan Inti
Rakyat (PIR).
Kecamatan Pesisir Selatan nilai LQ>1 tanaman kelapa hanya terdapat
pada 3 desa, sedangkan tanaman Kopi terdapat 7 desa yang memiliki nilai LQ>1,
3 desa untuk tanaman Cengkeh, dan 5 desa untuk komoditas Lada serta 2 desa
untuk Kelapa Sawit. Seperti halnya Kecamatan Bengkunat, di kecamatan ini pola
pengusahaan tanaman perkebunan dengan sistem Repong Damar.
Peranan sektor perkebunan tidak begitu besar di Kecamatan Pesisir
Tengah, hal ini terbukti dengan nilai LQ>1 hanya terdapat pada beberapa desa
yaitu kelapa 8 desa, Kopi terdapat pada 4 desa, Cengkeh 5 desa, dan 3 desa untuk
tanaman Lada. Sedangkan tanaman Kelapa Sawit belum ada di Kecamatan ini.
Rendahnya peranan sektor perkebunan karena Kecamatan Pesisir Tengah
merupakan wilayah yang relatif lebih maju dari kecamatan lain dalam wilayah
73

pesisir Kabupaten Lampung Barat. Hal ini disebabkan aktifitas ekonomi lebih
bertumpu pada sektor perdagangan komoditas pertanian, kehutanan, dan jasa.
Sebagai kecamatan yang memiliki jumlah desa paling sedikit, Karya
Penggawa, merupakan wilayah penyangga dan pemasok hasil perkebunan untuk
wilayah Pesisir Tengah. Berdasarkan hasil analisis LQ diketahui bahwa desa-desa
yang memiliki nilai LQ>1 untuk komoditas Kelapa terdapat pada 6 desa, Kopi
terdapat 1 desa, Cengkeh 1 desa dan 3 desa untuk komoditas Lada, sedangkan
Kelapa Sawit tidak terdapat di wilayah ini. Rendahnya peranan sektor
perkebunan terutama komoditas Kopi, dan Cengkeh karena sebagian wilayah ini
berada pada daerah hutan Taman Nasional dan pantai.
Kecamatan Pesisir Utara merupakan daerah perbukitan, dimana usaha
budidaya pertanian berada di sekitar hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
Budidaya pertanian di kecamatan ini merupakan campuran antara tanaman
perkebunan dan kehutanan yaitu Damar. Berdasarkan hasil analisis LQ diketahui
bahwa kontribusi beberapa komoditi antara lain: Kelapa dengan nilai LQ>1
terdapat pada 12 desa, kopi dengan 3 desa, Cengkeh terdapat pada 12 desa, dan
Lada terdapat pada 8 desa. Peranan sektor perkebunan sangat besar karena
terdapat satu pulau yaitu Pulau Pisang dimana mata pencaharian penduduk sangat
tergantung pada komoditas Kelapa dan Cengkeh serta perikanan tangkap.
Sedangkan wilayah pegunungan Kecamatan Pesisir Utara didominasi oleh
perkebunan campuran Cengkeh, Kopi dan Damar.
Kecamatan Lemong merupakan wilayah yang berada di sisi paling Utara
Pesisir Kabupaten Lampung Barat dan berbatasan langsung dengan Propinsi
Bengkulu. Wilayah pantai dengan bagian daratan berupa punggung Bukit Barisan
Selatan, maka mata pencaharian masyarakat bergantung pada sektor perkebunan.
Hasil analisis LQ menunjukkan bahwa terdapat 4 desa dengan nilai LQ>1, 4 desa
untuk komoditas kopi, 5 desa untuk komoditas Cengkeh, dan 5 desa untuk
komoditas Lada. Sedangkan Kelapa Sawit belum diusahakan di wilayah ini. Pada
kecamatan Lemong dan Pesisir Utara produksi hasil perkebunan sulit terdata
secara detil karena banyak lahan yang merupakan kawasan hutan lindung dan
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
74

Secara lengkap hasil analisis LQ komoditas kelapa berdasarkan indeks luas panen
dapat dilihat pada Tabel 19 berikut ini.
Tabel 19. Hasil analisis Location Quotient desa-desa pesisir Kabupaten Lampung
Barat.
No NAMA DESA KELAPA KOPI CENGKEH LADA K. SAWIT
KECAMATAN BENGKUNAT
1 W H BELIMBING 1.01 1.47 - 2.10 -
2 BANDAR DALAM 4.43 1.33 1.00 0.80 -
3 KOTA JAWA 0.94 1.40 0.15 2.19 -
4 PENYANDINGAN 0.67 1.33 - 2.39 -
5 SUKAMARGA 0.01 0.97 - 1.62 0.82
6 KOTA BATU 4.08 0.74 11.07 0.40 -
7 PARDASUKA 0.52 0.78 0.30 0.62 1.59
8 RAJABASA 0.28 1.13 12.22 0.37 0.62
9 MULANG MAYA 0.59 2.95 2.20 0.32 0.01
10 NRATU NGARAS 2.94 0.79 13.62 0.48 -
11 G CAHYA KUNINGAN 0.92 0.72 0.27 0.18 1.83
12 N.R. NGAMBUR 1.40 0.14 0.04 0.13 2.18
13 PEKONMON 1.70 0.16 0.11 0.10 2.11
14 SUMBER AGUNG 6.56 0.36 - 0.18 0.66
15 PAGAR BUKIT 0.44 0.65 1.15 0.52 1.71
16 TANJUNG KEMALA 0.64 1.29 0.57 0.53 1.22
17 ULOK MUKTI 0.75 1.29 0.57 0.53 1.22
18 SUKA NEGARA 1.20 0.56 0.45 1.20 0.80
19 MUARA TEMBULIH 1.70 0.16 0.11 0.10 -
20 SUKA BANJAR 1.20 0.59 0.60 0.70 -
KECAMATAN PESISIR SELATAN
21 MARANG 0.50 0.22 0.49 0.47 1.57
22 WAY JAMBU 0.75 0.51 - 1.53 1.26
23 BIHA 1.54 0.71 0.25 0.81 0.77
24 TANJUNG SETIA 2.53 1.41 2.65 - -
25 PAGAR DALAM 0.00 4.44 - - -
26 TANJUNG JATI 0.41 6.27 - - -
27 SUMUR JAYA 1.23 2.21 - 8.42 -
28 PELITA JAYA 0.49 4.80 5.33 4.17 -
29 SUKARAME 0.80 3.60 - 6.84 -
30 N.R TENUMBANG 0.45 4.42 13.10 4.80 -
KECAMATAN PESISIR TENGAH
31 BALAI KENCANA 1.23 0.97 0.60 1.01 -
32 WAY SULUH 1.32 1.57 0.36 0.27 -
33 WAY NAPAL 1.65 - 0.43 - -
34 PADANG HALUAN 1.88 - - - -
35 LINTIK 0.01 0.28 0.53 0.71 -
36 WALUR 1.88 - - - -
37 PEMERIHAN 1.21 0.92 0.70 0.79 -
38 WAY REDAK 1.43 1.42 0.27 - -
39 SERAY 0.16 - 2.48 2.94 -
40 KAMPUNG JAWA 1.88 - - - -
75

Tabel 19 (lanjutan)
41 RAWAS 0.15 - 2.32 3.74 -
42 PASAR KRUI - - - - -
43 SUKANEGARA 0.17 1.45 2.08 - -
44 PAHMUNGAN 0.14 1.93 2.43 - -
45 PAJAR BULAN - - - - -
46 BUMIWARAS - - - - -
47 PENGGAWA V ILIR - - - - -
48 BANJAR AGUNG 0.63 - 2.28 - -
49 ULU KRUI 1.21 0.92 0.70 0.79 -
50 GUNUNG KEMALA 0.13 6.25 0.48 1.44 -
KECAMATAN KARYA PENGGAWA
51 MENYANCANG 2.75 0.13 0.16 0.87 -
52 PENGGAWA V TENGAH 2.87 0.06 0.23 0.39 -
53 LAAY 2.14 0.45 0.62 0.14 -
54 PENGGAWA V ULU 1.97 0.60 0.32 1.46 -
55 PENENGAHAN 0.00 0.98 0.79 3.33 -
56 WAY NUKAK 1.82 0.25 0.91 1.40 -
57 KEBUAYAN 2.18 0.45 0.55 0.25 -
58 WAY SINDI 0.08 1.49 1.44 0.87 -
KECAMATAN PESISIR UTARA
59 WALUR 0.62 1.20 0.50 1.54 -
60 PADANG RINDU 3.61 0.03 0.41 0.46 -
61 KURIPAN 2.88 0.03 1.86 1.50 -
62 NEGERI RATU 2.74 0.16 1.34 1.70 -
63 KERBANG LANGGAR 0.00 1.24 1.23 2.52 -
64 KERBANG DALAM 0.41 0.52 4.28 3.55 -
65 BALAM 1.52 0.55 2.03 1.80 -
66 WAY NARTA 1.31 0.37 3.39 2.50 -
67 KOTA KARANG 2.17 0.29 2.34 1.03 -
68 BATURAJA 0.21 1.48 0.23 0.64 -
69 SUKAMARGA 1.97 - 5.08 - -
70 PEKON LOK 1.43 - 6.47 - -
71 BANDAR DALAM 1.54 - 6.18 - -
72 PASAR PULAU PISANG 1.31 - 6.77 - -
73 SUKADANA 1.40 - 6.53 - -
74 LABUHAN 1.31 - 6.77 - -
KECAMATAN LEMONG
75 PENENGAHAN 0.83 0.93 4.30 1.04 -
76 BANDAR PUGUNG 1.79 0.86 0.78 1.00 -
77 PAGAR DALAM 0.52 1.44 0.65 0.60 -
78 BAMBANG 0.93 0.61 1.13 1.48 -
79 MALAYA 0.00 0.61 1.16 1.58 -
80 CAHAYA NEGERI 0.17 1.26 0.26 0.90 -
81 LEMONG 0.80 1.14 0.60 0.88 -
82 WAY BATANG 5.32 0.49 0.47 0.66 -
83 TANJUNG SAKTI 3.77 0.58 1.08 0.88 -
84 TANJUNG JATI 3.11 0.61 1.39 0.98 -
85 RATA AGUNG 0.03 1.08 0.55 1.13 -
76

Gambaran secara spasial desa-desa lokasi penelitian menunjukkan


kecenderungan pengelompokan (klaster) wilayah yang memiliki nilai LQ>1. Di
Kecamatan Bengkunat desa-desa yang memiliki nilai LQ>1 yaitu: Way Haru dan
Bandar Dalam merupakan desa yang bersebelahan. Desa-desa lain yang memiliki
nilai LQ>1 seperti Kota Batu, Negeri Ratu Ngaras, Negeri Ratu Ngambur, Pekon
Mon dan Sumber Agung juga merupakan lokasi yang secara geografis berada
dalam jarak yang berdekatan. Demikian juga dengan Sukanegara, Muara
Tembulih dan Suka Banjar merupakan desa-desa yang berdekatan.
Kecamatan Pesisir Selatan terdapat 3 desa yang memiliki nilai LQ>1
yaitu: Biha, Tanjung Setia dan Sumur Jaya, yang berdekatan secara geografis satu
sama lainnya. Kecamatan Pesisir Tengah, terdapat beberapa desa yang memiliki
nilai LQ>1 yaitu: Balai Kencana, Way Suluh, Way Napal, Padang Haluan, Walur,
Pemerihan, Way Redak, dan Kampung Jawa secara spasial merupakan desa-desa
yang berdekatan satu sama lain, sedangkan desa Ulu Krui berada pada lokasi yang
agak berjauhan dengan desa-desa lainnya. Pada Kecamatan Karya Penggawa 6
dari 8 desa yang memiliki nilai LQ>1, secara spasial berada dalam jarak yang
berdekatan.
Di lain pihak di Kecamatan Pesisir Utara, 3 desa yang merupakan sentra
Kelapa yaitu Balam, Kota Karang dan Way Narta secara geografis berdekatan
satu sama lain. Desa Kuripan, Negeri Ratu dan Kerbang Langgar juga memiliki
jarak yang saling berdekatan. Sedangkan 6 desa penghasil Kelapa lainnya yaitu:
Pekon Lok, Sukamarga, Labuhan, Pasar Pulau Pisang, Sukadana dan Bandar
Dalam adalah desa-desa di Pulau Pisang. Demikian juga dengan desa-desa di
Kecamatan Lemong yang memiliki nilai LQ>1, terdapat 3 desa yang berdekatan
yaitu: Way Batang, Tanjung Sakti dan Tanjung Jati, sedangkan Bandar Pungung
berada pada wilayah yang relatif agak jauh dengan ketiga desa di atas.
Pola penyebaran komoditas perkebunan, yang cenderung berdekatan
secara administratif disebabkan oleh perluasan areal komoditas sejenis banyak
diusahakan secara turun temurun. Secara lengkap tampilan spasial desa-desa
lokasi penelitian yang memiliki nilai LQ>1 disajikan pada gambar 5.
77

Gambar 5. Hasil analisis Location Quotient (LQ)


78

5.1.2. Analisis Skalogram


Analisis skalogram merupakan salah satu alat untuk mengidentifikasi
pusat pertumbuhan wilayah berdasarkan fasilitas yang dimilikinya, dengan
demikian dapat ditentukan hirarki pusat-pusat pertumbuhan dan aktivitas
pelayanan suatu wilayah. Wilayah dengan fasilitas yang lebih lengkap merupakan
pusat pelayanan, sedangkan wilayah dengan fasilitas yang kurang akan menjadi
daerah belakang (hinterland)
Lampung Barat merupakan salah satu daerah Kabupaten dalam wilayah
Propinsi Lampung yang berada di pantai barat. Keberadaan wilayah yang hampir
78 persen merupakan kawasan lindung ini menjadikan Kabupaten Lampung Barat
mengalami hambatan dalam pembangunan infrastruktur. Topografi yang berbukit
dengan kawasan hutan yang luas membuat banyak desa memiliki kekurangan
dalam hal sarana dan prasarana fisik.
Berdasarkan hasil analisis skalogram diketahui bahwa dari 85 desa di
wilayah Pesisir yang menjadi lokasi penelitian diketahui hanya terdapat 6 desa (7
persen) yang memiliki hirarki wilayah 1 atau berkembang. Adapun desa-desa
tersebut berada dalam wilayah Kecamatan Bengkunat 4 desa, Kecamatan Pesisir
Selatan 1 desa dan 1 desa berada di Kecamatan Pesisir Tengah. Sedangkan
Kecamatan lain seperti Karya Penggawa, Pesisir Utara dan Lemong, berdasarkan
hasil analisis tidak terdapat desa dengan hirarki 1.
Desa-desa yang memiliki hirarki 2 atau relatif berkembang berjumlah 26
desa (31 persen) antara lain di Kecamatan Bengkunat terdapat 7 desa, Pesisir
Selatan 3 desa, Pesisir Tengah 6 desa, Karya Penggawa 3 desa, Pesisir Utara 4
desa dan Kecamatan Lemong 2 desa. Sedangkan sisanya atau 53 desa (62,
persen) merupakan wilayah yang berhirarki 3 atau belum berkembang. Adapun
desa-desa yang memiliki hirarki 3 yaitu Kecamatan Bengkunat 9 desa, Pesisir
Selatan 6 desa, Pesisir Tengah 13 desa, Karya Penggawa 3 desa, Peisir Utara dan
Lemong masing-masing 12 dan 9 desa.
Berdasarkan data di atas diketahui bahwa beberapa desa yang memiliki
hirarki 1 merupakan ibukota kecamatan, seperti halnya Biha yang merupakan
ibukota Kecamatan Pesisir Selatan, Pasar Krui adalah ibu kota Kecamatan Pesisir
Tengah dan Pardasuka yang merupakan ibukota Kecamatan Bengkunat.
79

Sedangkan ibukota Kecamatan Karya Penggawa, Pesisir Utara dan Lemong


masing-masing memiliki hirarki 2.
Desa Pagar Bukit dan Sumber Agung di Kecamatan Bengkunat memiliki
hirarki 1, karena merupakan pusat aktifitas perdagangan dan adanya perusahaan
perkebunan Kelapa Sawit di Kecamatan Bengkunat, sedangkan desa
Penyandingan memiliki hirarki 1 karena berbatasan langsung dengan Kabupaten
Tanggamus, dimana desa ini merupakan pusat perdagangan desa-desa sekitar
seperti Way Haru, Bandar Dalam, Sukamarga dan desa-desa dalam Kabupaten
Tanggamus yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Lampung Barat.
Dengan demikian adalah wajar bila fasilitas tersedia karena aktifnya pergerakan
kegiatan perekonomian setempat.
Menurut Rustiadi et al. (2006), sarana penunjang sangat diperlukan karena
menyangkut lokasi produksi, ditribusi dan pemasaran produk atau komoditi. Pada
kenyataannya sarana penunjang tidak menyebar secara merata dalam satu sistem
ruang, tetapi penyebarnnya tergantung pada permintaan dan permintaan sangat
tergantung pada konsentrasi penduduk. Keadaan ini mengakibatkan timbulya
hirarki pusat-pusat pelayanan.
Hirarki dari pusat pelayanan yang lebih tinggi memiliki sarana pelayanan
yang lebih banyak dan lebih beragam dari pusat pelayanan yang berhirarki lebih
rendah (Rustiadi et al 2006). Hirarki tidak selalu sama dengan hirarki
administratif. Adanya hirarki secara teoritis mencerminkan adanya perbedaan
masa, dimana hirarki yang lebih tinggi mempunyai masa yang lebih besar
daripada yang berhirarki lebih rendah.
Keberadaan fasilitas pendukung dalan rencana lokasi industri sangat
penting karena merupakan kebutuhan primer masyarakat dan wajar harus tersedia,
demi menunjang aktifitas masyarakat sekitar lokasi industri. Satu hal yang
penting adalah bahwa masyarakat sekitar lokasi industri akan menanggung
dampak lingkungan dari aktifitas industri. Secara lengkap gambaran hirarki desa
dalam lokasi penelitian disajikan pada tabel 20 berikut ini.
80

Tabel 20. Hasil analisis Skalogram desa-desa pesisir Kabupaten Lampung Barat.
Jumlah Luas Total Jumlah Jenis Hierarki
No Nama Desa Penduduk Desa (Ha) Fasilitas Fasilitas Wilayah

KECAMATAN BENGKUNAT
1 PENYANDINGAN 2213 960 81.00 26 1
2 PAGAR BUKIT 3711 11008 82.00 27 1
3 PARDA SUKA 2304 7570 84.00 27 1
4 SUMBER AGUNG 1640 7252 34.00 25 1
5 WAY HARU 2888 13550 39.00 18 2
6 BANDAR DALAM 3633 2626 39.00 16 2
7 TANJUNG KEMALA 2550 11550 67.00 20 2
8 G CAHYA KUNINGAN 4490 3215 42.00 21 2
9 N RATU NGAMBUR 2010 2041 64.00 24 2
10 ULOK MUKTI 2860 956 42.00 15 2
11 SUKA BANJAR 2442 1140 43.00 15 2
12 KOTA JAWA 3717 15160 66.00 14 3
13 SUKAMARGA 4105 14400 41.00 14 3
14 RAJA BASA 1201 5413 21.00 11 3
15 MULANG MAYA 772 9023 24.00 13 3
16 NEGERI RATU NGARAS 2337 13500 24.00 10 3
17 KOTA BATU 1520 7000 16.00 10 3
18 PEKON MON 3422 6676 39.00 14 3
19 SUKA NEGARA 1136 1264 29.00 13 3
20 MUARA TEMBULIH 727 1211 10.00 8 3
KECAMATAN PESISIR SELATAN
21 BIHA 4770 2526 117.00 31 1
22 MARANG 4468 4512 98.00 23 2
23 WAY JAMBU 3678 18590 72.00 22 2
24 SUMUR JAYA 1455 9313 42.00 17 2
25 TANJUNG SETIA 1364 6680 21.00 14 3
26 PAGAR DALAM 608 2165 13.00 8 3
27 TANJUNG JATI 332 2165 15.00 12 3
28 PELITA JAYA 1455 9313 31.00 10 3
29 SUKARAME 798 5052 10.00 9 3
30 NR. TENUMBANG 2125 15349 44.00 12 3
KECAMATAN PESISIR TENGAH
31 PASAR KRUI 8598 546 207.00 31 1
32 BALAI KENCANA 1720 984 32.00 18 2
33 WAY REDAK 797 393 23.00 16 2
34 SERAY 1300 492 27.00 16 2
35 KAMPUNG JAWA 2096 345 34.00 22 2
36 RAWAS 1193 464 30.00 15 2
37 ULU KRUI 2833 1803 33.00 22 2
38 WAY SULUH 1505 600 14.00 10 3
39 WAY NAPAL 860 508 17.00 11 3
40 PADANG HALUAN 665 264 19.00 13 3
41 LINTIK 1509 328 26.00 13 3
42 WALUR 526 437 37.00 11 3
81

Tabel 20. (lanjutan)


43 PEMERIHAN 632 513 20.00 12 3
44 SUKANEGARA 840 328 18.00 10 3
45 PAHMUNGAN 976 923 29.00 12 3
46 PAJAR BULAN 380 219 15.00 9 3
47 BUMIWARAS 401 153 17.00 11 3
48 PENGGAWA V ILIR 1292 387 33.00 14 3
49 BANJAR AGUNG 441 164 19.00 9 3
50 GUNUNG KEMALA 2340 1327 53.00 14 3
KECAMATAN KARYA PENGGAWA
51 LAAY 1260 492 34.00 16 2
52 PENENGAHAN 2667 1530 53.00 15 2
53 KEBUAYAN 839 392.5 23.00 15 2
54 WAY SINDI 4409 1913 96.00 20 2
55 MENYANCANG 1160 333 21.00 13 3
56 P. LIMA TENGAH 1047 546 26.00 9 3
57 PENGGAWA LIMA ULU 1380 130.5 26.00 12 3
58 WAY NUKAK 1378 437 21.00 10 3
KECAMATAN PESISIR UTARA
59 KURIPAN 876 2923 42.00 22 2
60 NEGERI RATU 1058 3080 39.00 19 2
61 PASAR PULAU PISANG 849 447 28.00 18 2
62 LABUHAN 737 516 29.00 19 2
63 WALUR 921 4280 32.00 11 3
64 PADANG RINDU 800 2980 23.00 13 3
65 KERBANG LANGGAR 658 3040 20.00 12 3
66 KERBANG DALAM 650 2005 21.00 12 3
67 BALAM 788 2880 19.00 10 3
68 WAY NARTA 402 2615 11.00 7 3
69 KOTA KARANG 918 2704 30.00 17 3
70 BATURAJA 668 2713 20.00 11 3
71 SUKAMARGA 166 779 11.00 10 3
72 PEKON LOK 331 200 18.00 9 3
73 BANDAR DALAM 419 152 18.00 9 3
74 SUKADANA 473 156 15.00 10 3
KECAMATAN LEMONG
75 PENENGAHAN 2222 4561 39.00 17 2
76 LEMONG 3330 1287 42.00 15 2
77 BANDAR PUGUNG 706 2962 18.00 11 3
78 PAGAR DALAM 1176 3209 15.00 11 3
79 BAMBANG 729 2463 22.00 9 3
80 MELAYA 2221 3222 31.00 11 3
81 CAHYA NEGERI 960 7513 28.00 11 3
82 WAY BATANG 782 2556 16.00 8 3
83 TANJUNG SAKTI 213 2334 10.00 9 3
84 TANJUNG JATI 381 2773 12.00 9 3
85 RATA AGUNG 2026 1056 45.00 14 3
Jumlah fasilitas 139,022 292,578 2,926.00 1,206.00
Jumlah desa yang memiliki fasilitas 84.00 84.00
82

Secara spasial sebaran desa-desa berdasarkan hirarki wilayah


menunjukkan bahwa desa-desa dengan hirarki 1 cenderung mengelompok. Pada
wilayah Kecamatan Bengkunat, desa-desa berhirarki 1 berada dalam wilayah yang
berdekatan yaitu yaitu Pagar Bukit dan Pardasuka, kecuali desa Penyandingan.
Namun demikian secara geografis desa Penyandingan berada dalam lokasi yang
tidak terlalu berjauhan dengan kedua desa lainnya.
Kecamatan Pesisir Selatan yang memiliki 1 desa berhirarki 1, yaitu Biha,
sedangkan di Wilayah Kecamatan Pesisir Tengah hanya terdapat 1 desa dengan
hirarki 1 yaitu desa Pasar Krui. Tersedianya fasilitas pendukung di desa-desa
yang berdekatan merupakan hal yang wajar sebagai akibat aktifitas ekonomi dan
pemerintahan lokal. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa desa yang memiliki
hirarki 1 merupakan ibukota kecamatan yang memiliki fasilitas lebih baik dari
desa lainnya. Ketersediaan fasilitas tersebut akan memicu pergerakan ekonomi
daerah sekitar sebagai akibat kegiatan ekonomi dalam hal ini pasar. Dampak
tersebut akan sangat dirasakan oleh desa-desa yang secara geografis berdekatan
dengan ibukota kecamatan. Menurut Rustiadi et al. (2006) aspek spasial adalah
fenomena yang alami. Adalah wajar bila perkembangan suatu wilayah lebih
dipengaruhi oleh wilayah sebelahnya atau lebih dekat dibandingkan wilayah yang
lebih berjauhan akibat adanya interaksi sosial ekonomi penduduk.
Kecamatan Karya Penggawa dan Pesisir Utara merupakan daerah
belakang (hinterland) yang menjadi pemasok produk hasil pertanian ke
Kecamatan Pesisir Tengah. Sebagian besar mata pencaharian pendudukdi ketiga
kecamatan tersebut tergantung pada sektor pertanian dan perikanan laut yang pada
umumnya bersifat tradisonal.
Desa Pasar Krui merupakan pusat aktifitas ekonomi dan Pemerintahan di
Kecamatan Pesisir Tengah, serta memiliki pelabuhan pendaratan ikan, jalur
transportasi laut masyarakat Pulau Pisang dan pusat perdagangan produk
pertanian dan kehutanan. Oleh karena itu sebagai desa dengan hirarki 1, Pasar
Krui menjadi pusat pelayanan bagi desa-desa disekitarnya termasuk desa-desa di
Kecamatan lainnya. Fasilitas pelabuhan, pasar dan sarana sosial lain tersedia di
ibukota Kecamatan Pesisir Tengah ini. Secara lengkap gambaran secara spasial
hasil analisis hirarki wilayah berdasarkan fasilitas disajikan pada gambar 6.
83

Gambar 6. Hasil analisis Skalogram


84

5.1.3. Analisis Kesesuaian Lahan


Dalam analisis kesesuaian lahan, prosedur penilaian kesesuaian lahan
dilakukan dengan pendekatan satuan lahan yang dikemukakan FAO (1976).
Penilaian kelas kesesuaian lahan dilakukan dengan cara mencocokkan (matching)
karakteristik dan kualitas lahan dengan persyaratan tumbuh tanaman tertentu.
Berdasarkan analisis kesesuaian lahan di wilayah Pesisir Kabupaten
Lampung Barat, diketahui bahwa luas areal yang sangat sesuai untuk tanaman
kelapa (S1) 72.231 ha, cukup sesuai (S2) 33.688 ha,sesuai marjinal (S3) 84.973
ha, dan tidak sesuai (N1) seluas 92.801 ha dan Tidak sesuai selamanya (N2)
10.3610 ha. Tabel 21 berikut menunjukkan hasil analisis kesesuaian lahan:
Tabel 21. Hasil Analisis Kesesuaian Lahan Tanaman Kelapa
Keterangan Luas (Ha) Persentase
Sangat Sesuai (S1) 72.231 24,78
Cukup Sesuai (S2) 33.688 11,40
Sesuai Marjinal (S3) 84.973 28,76
Tidak Sesuai Saat ini (N1) 92,801 31,40
Tidak Sesuai Untuk Selamanya (N2) 10.808. 3,66
Jumlah 294.502 100,00

Mengacu pada hasil analisis di atas, potensi lahan untuk tanaman kelapa
sangat luas, dimana wilayah yang sesuai (S1 dan S2) untuk tanaman kelapa
mencapai 105.919 ha. Sedangkan lahan yang sesuai marjinal 84.973 ha.
Berdasarkan data statistik Perkebunan Kabupaten Lampung Barat Tahun
2006, luas areal tanaman kelapa mencapai 6.809,6 ha, kondisi tersebut
menggambar potensi pengembangan areal perkebunan kelapa di wilayah pesisir
masih sangat besar. Potensi tersebut belum tergarap secara maksimal karena
banyak keterbatasan seperti: sarana produksi, sumberdaya manusia, preferensi
petani dan kebijakan pemerintah.
Menurut buku satuan lahan Lembaran Kota Agung Pusat Penelitian Tanah
Departemen Pertanian, dijelaskan bahwa di daerah pesisir Lampung Barat,
merupakan dataran rendah yang terletak pada ketinggian 0-20 meter dari
permukaan laut (m dpl), banyak dijumpai tanah jenis Entisol/Alluvial
(Tropopsamments) yang merupakan tanah belum berkembang dan cocok untuk
perkebunan kelapa. Selanjutnya dibagian Barat pesisir juga dijumpai Grup Teras
Marin yang terletak pada ketinggian 0-200 m dpl dengan jenis tanah utama
85

Dystropepts/Eutropepts yang sangat baik untuk dikembangkan kegiatan pertanian


lahan kering baik semusim dan tahunan. Grup Marin dan Teras Marin ini
memanjang dari bagian selatan menuju arah Utara sampai dengan Kecamatan
Pesisir Utara.
Berdasarkan Peta Satuan Lahan Pusat Penelitian Tanah Departemen
Pertanian, di daerah bagian utara banyak dijumpai jenis tanah Dystropepts,
Hapludult dan Humitropepts. Pembatas kesesuaian lahan di daerah ini adalah
kelerengan yang berkisar antara 30-75 persen. Demikian juga di daerah Timur
Pesisir pembatas utama adalah kelerengan yang berkisar antara 16-30 persen dan
pegunungan yang memiliki kelerengan > 75 persen. Hasil analisis kesesuaian
lahan disajikan pada gambar 7.

5.1.4. Pemilihan Lokasi


Pemilihan lokasi rencana pusat agroindustri didasarkan pada beberapa
kriteria antara lain: dukungan sektor basis komoditas kelapa (LQ), sarana dan
prasarana (Skalogram) dan kesesuaian lokasi pengembangan kelapa. Disamping
itu perlu dipertimbangkan faktor-faktor lain seperti jumlah penduduk yang terkait
dengan tenaga kerja, jarak dan kebijakan pemerintah.
Dalam penelitian ini penentuan lokasi potensial didasarkan pada kriteria
kesesuaian lahan, LQ dan hasil analisis skalogram. Analisis dibatasi oleh kriteria
utama yaitu kesesuaian lahan aktual. Hal ini dasarkan pada beberapa
pertimbangan antara lain: faktor kesesuaian lahan aktual merupakan hal yang
alamiah (given), artinya keberadaanya sudah ada sejak secara alami tanpa adanya
campur tangan manusia. Kesesuaian lahan juga dalam proses evaluasinya
memerlukan persyaratan yang cukup kompleks menyangkut tanah, iklim,
kelerengan, drainase dan lain-lain.
Skalogram merupakan output dari aktifitas budaya manusia dan sifatnya
dapat berubah tergantung kondisi suatu wilayah. LQ lebih menggambarkan
kondisi kegiatan masyarakat yang hasilnya baik berupa barang atau jasa
diperuntukkan bagi masyarakat itu sendiri dalam kawasan kehidupan ekonomi
86

Gambar 7. Hasil analisis Kesesuaian Lahan


87

masyarakat tersebut. Konsep swasembada, mandiri, kesejahteraan dan kualitas


hidup sangat menentukan dalam kegiatan non basis ini.
Kriteria potensi lokasi disusun sebagaimana tabel berikut:
Tabel 22. Kriteria Potensi Lokasi
Kriteria Kesesuaian Location Hirarki
Lahan Quotient (Skalogram)
Potensial 1 S1, S2 LQ>1 I dan II
Potensial 2 S2, S3 LQ<1 III
Potensial 3 S2, S3 LQ<1 III
Tidak Potensial N1, N2 LQ<1 III

Adapun pengertian dari masing-masing adalah sebagai berikut:


Potensial 1 : Pada wilayah tersebut memiliki kesesuaian lahan yang baik untuk
pengembangan kelapa, dimana salah satu indikatornya adalah tanah. Dalam teori
lokasi istilah tanah mengandung pengertian keadaan topografi dan keadaan cuaca
yang terdapat di wilayah tersebut, kesemuanya ini juga akan mempengaruhi lokasi
penempatan suatu industri. Dari struktur ekonomi basis, wilayah potensial 1
merupakan basis komoditas kelapa, dengan kata lain daerah tersebut mampu
mengekspor kelapa ke daerah lain. Dari struktur hirarki, wilayah dengan potensial
1 merupakan daerah yang sudah maju atau berkembang, dimana fasilitas
infrastruktur sudah tersedia.
Potensial 2 : Pada wilayah tersebut memiliki kesesuaian lahan yang baik untuk
pengembangan kelapa, dengan salah satu indikatornya adalah tanah. Dalam teori
lokasi istilah tanah mengandung pengertian keadaan topografi dan keadaan cuaca
yang terdapat di wilayah tersebut, kesemuanya ini juga akan mempengaruhi lokasi
penempatan suatu industri. Dari struktur ekonomi basis, wilayah potensial 2
bukan merupakan basis komoditas kelapa, daerah tersebut belum swasembada
kelapa atau terdapat komoditas lain yang lebih potensial dari komoditas kelapa.
Dari struktur hirarki, wilayah dengan potensial 3 merupakan daerah yang belum
maju atau berkembang, dimana fasilitas infrastruktur belum tersedia. Daerah
potensial 3 masih cocok untuk pengembangan lokasi suatu agroindustri.
88

Potensial 3 : Pada wilayah tersebut memiliki kesesuaian lahan yang baik untuk
pengembangan kelapa, dimana salah satu indikatornya adalah tanah. Dalam teori
lokasi istilah tanah mengandung pengertian keadaan topografi dan keadaan cuaca
yang terdapat di wilayah tersebut, kesemuanya ini juga akan mempengaruhi lokasi
penempatan suatu industri. Dari struktur ekonomi basis, wilayah potensial 3
merupakan non basis komoditas kelapa, daerah tersebut belum mampu
mengekspor kelapa ke daerah lainnya. Dari struktur hirarki, wilayah dengan
potensial 3 merupakan daerah yang masih belum berkembang, yang dicirikan
dengan belum tersedia/kurangnya infrastruktur yang memadai.
Tidak Potensial : Wilayah ini tidak memiliki kesesuaian lahan untuk komoditas
kelapa baik dalam jangka pendek atau bersifat permanen. Dari struktur ekonomi
basis belum mampu mencukupi kebutuhan masyarakat wilayah tersebut akan
komoditas kelapa. Sedangkan dari hirarki wilayah merupakan daerah dengan
infrastruktur yang belum memadai atau belum berkembang. Daerah ini tidak
cocok untuk pengembangan lokasi industri, akibat keterbatasan sarana dan
prasarana pendukung.
Gambaran spasial hasil overlay LQ, Skalogram dan Kesesuaian Lahan yang
menunjukkan alternatif disajikan pada gambar 8.
Berdasarkan hasil overlay peta LQ, Skalogram, dan Kesesuaian lahan
diketahui desa-desa yang memiliki kesesuaian lokasi (Potensial 1) untuk kawasan
Usaha Agro Terpadu meliputi: Desa Biha, Way Jambu, dan Marang Kecamatan
Pesisir Selatan, Sumber Agung dan Negeri Ratu Ngambur Kecamatan
Bengkunat dan Desa Way Redak Kecamatan Pesisir Tengah.
89

Gambar. 8. Hasil Penentuan Lokasi Berdasarkan Over Lay LQ, Skalogram dan
Kesesuaian Lahan
90

Tabel berikut menyajikan hasil pemilihan calon lokasi Kawasan Usaha Agro
Terpadu (KUAT):
Tabel 23. Hasil Analisis Lokasi Potensial
Potensi Nama Desa Jumlah
Potensial 1 NR. Ngambur, Sumber Agung, Marang, Biha, Way 5
Redak
Potensial 2 Pagar Bukit, Penyandingan, Pardasuka, 16
Sukanegara, Way Jambu, Tanjung Setia, Sumur
Jaya, Kp. Jawa, Seray, Walur, Pasar Krui, Balai
Kencana, Way Napal, Laay, Penengahan, Way
Sindi
Potensial 3 GC Kuningan, Pekonmon, Bd Dalam, Kota Jawa, 40
Sukamarga, Tanjung Kemala, Rajabasa, Mulang
Maya, Sukabanjar, Muara Tembulih, Ulok Mukti,
Pelita Jaya, Tanjung Jati, Pagar Dalam, Sukarame,
NR. Tenumbang, Way Suluh, Pemerihan, Lintik,
Rawas, Sukanegara, Bumiwaras, Pajar Bulan,
Padang Haluan, Penggawa V Tgh, Menyancang,
Penggawa V Ulu, Way Nukak, Kebuayan, Walur,
Kuripan, NR. Ratu, Pdg Rindu, Kerbang Langgar,
Kota Karang, Kerbang Dalam, Penengahan, Bandar
Pugung, Lemong, Way Batang, Tanjung Sakti
Tidak NR. Ngaras, Kota Batu, Way Haru, PenggawaV 19
Potensial Ilir, Banjar Agung, Pamungan, Ulu Krui, Way
Narta, Baturaja, Sukamarga, Pekonlok, Bandar
Dalam, Pasar Pulau Pisang, Sukadana, Labuhan,
Balam, Bambang, Pagar Dalam Malaya, Cahaya
Negeri, Tanjung Jati, Rata Agung.

Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa kesesuaian lokasi untuk


kawasan usaha agro terpadu di Kabupaten Lampung Barat terdapat beberapa
alternatif berdasarkan pengelompokan lokasi:
Alternatif Pertama : Kelompok Desa Biha, Marang, Sumber Agung, dan Negeri
Ratu Ngambur. Beberapa hal pendukung alternatif tersebut antara lain: secara
geografis wilayah tersebut saling berdekatan, sehingga dalam pengembangan
dapat dibentuk suatu klaster agroindustri. Dengan kata lain beberapa persyaratan
lokasi sudah sangat memadai.
Diantara pilihan tersebut terdapat Desa Way Jambu yang berada di
antara Biha dan Marang, lokasi ini budidaya kelapa banyak ditumpangsari dengan
91

melinjo. Hal ini cukup memberikan gambaran bahwa alternatif pertama bisa
dijadikan pilihan.
Dari aspek dukungan bahan baku, infrastruktur dan kesesuaian untuk
pengembangan lokasi tersebut sangat memadai karena secara geografis beberapa
wilayah berdekatan satu sama lain. Artinya pemilihan satu lokasi dapat
memberikan Multiplier Effect kepada daerah sekitarnya. Menurut Handoko (2000)
beberapa alasan dalam memilih lokasi oleh industri antara lain: fasilitas dan biaya
transportasi, kedekatan dengan bahan baku, tenaga kerja, kedekatan dengan pasar,
dan lingkungan masyarakat.
Alternatif Kedua : Kelompok Desa Way Redak, Kampung Jawa, Pasar Krui,
Seray, dan Walur. Pada wilayah ini terdapat beberapa hal yang mendukung,
antara lain: daerah tersebut secara administratif berada dalam satu Kecamatan
yaitu Pesisir Tengah. Dari sudut infrastruktur wilayah merupakan daerah yang
relatif lebih dekat dengan ibukota Kabupaten Lampung Barat (35 km) sehingga
memudahkan dalam hal koordinasi. Kota Krui sudah sangat dikenal masyarakat
sebagai kota pelabuhan yang berfungsi sebagai jalur perdagangan pada era tahun
70 an, dimana transportasi laut merupakan jalur utama dalam hal keluar
masuknya barang. Jalur Keberadaan Krui sebagai pusat perdagangan komoditas
pertanian dan kehutanan menjadi salah satu pedukung pemilihan lokasi ini.
Alternatif Ketiga : Pardasuka, Pagar Bukit dan Sukanegara. Pada wilayah ini
secara geografis sangat jauh dari ibukota kabupaten, namun relatif lebih dekat
dengan Bandar Lampung Bila melewati Kabupaten Tanggamus. Secara hirarki
wilayah alternatif ini agak sulit untuk dipilih karena dukungan fasilitas masih
sangat minim.
Pemilihan alternatif lokasi suatu kawasan tidak terlepas dari kesesuaian
secara teknis, ekonomi, sosial dan kebijakan pemerintah. Menurut Djojodipuro
(1992) pemerintah dapat menentukan lokasi industri. Kebijaksanaan ini dapat
mendorong, menghambat, atau melarang kegiatan industri pada lokasi tertentu.
Kebijaksanaan pengaturan yang didasarkan atas pembagian daerah atau zoning
terkait dengan perencanaan pengembangan suatu wilayah.
Selain itu alternatif di atas harus disesuaikan dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Lampung Barat. Berdasarkan Rencana Tata Ruang
92

Wilayah Kabupaten Lampung Barat, Kecamatan Pesisir Tengah dan Pesisir


Selatan diarahkan sebagai sentra pengembangan aneka industri seperti pengolahan
tambang, hasil perikanan dan kerajinan rakyat. Pada wilayah pesisir juga
didukung oleh keberadaan jalur Lintas Barat dalam jangka panjang dapat
mendorong percepatan pengembangan wilayah. Pada dasarnya pilihan atas
alternatif di atas tergantung pada kepentingan Pemerintah Daerah Kabupaten
Lampung Barat selaku pemilik program. Lokasi alternatif berdasarkan hasil
analisis disajikan pada gambar 9 berikut ini.

Gambar. 9. Alternatif Lokasi Kawasan Usaha Agro Terpadu


93

5.2. Analisis Preferensi Masyarakat


Pemilihan produk potensial dalam penelitian ini menggunakan metode
Analytical Hierarchy Process (AHP). Struktur AHP dibangun menggunakan
beberapa kriteria yang menjadi tolok ukur apakah suatu produk layak untuk
dikembangkan.
Dalam menentukan produk agroindustri yang memiliki nilai jual ada
beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu aspek pasar dan pemasarannya, aspek
teknis dan teknologis, aspek manajemen dan aspek ekonomi. Beberapa
pertimbangan yang diperlukan menurut Sutojo (1996) adalah: peluang pasar,
teknologi yang digunakan, lokasi pabrik yang strategis, ketersediaan tenaga kerja
dan modal.
Dalam penelitian ini kriteria-kriteria yang dipertimbangkan didasarkan
pada studi literatur dan konsultasi dengan para pakar, maka terdapat 7 kriteria
yang dipilih yaitu: Peluang Pasar (PP), Kebijakan Pemerintah (KP), Nilai Tambah
(NT), Dampak Lingkungan (DL), Penyerapan Tenaga Kerja (PTK), Kualifikasi
SDM (KS), dan Teknologi Yang digunakan (TEK).
Sedangkan produk-produk agroindustri kelapa yang dipilih berdasarkan
hasil studi literatur dan konsultasi dengan para pakar. Produk-produk tersebut
adalah: Dessicated Coconut/Kelapa Parut Kering (DC), Minyak Kelapa (MK),
Arang Aktif (AA), Santan Kelapa (SK), Coco Fiber (CF), Nata De Coco (NDC)
dan Coco Peat (CP).
Menurut Turban (1993) penyusunan hirarki adalah langkah pendefinisian
masalah yang kompleks sehingga menjadi lebih jelas dan rinci. Hirarki keputusan
disusun berdasarkan pandangan pihak-pihak yang memiliki keahlian dan
pengetahuan di bidang yang bersangkutan. Keputusan yang diambil sebagai
tujuan dijabarkan menjadi elemen-elemen yang lebih rinci hingga menjadi suatu
tahapan yang terstruktur. Hirarki permasalahan akan mempermudah pengambil
keputusan untuk menganalisis dan menarik kesimpulan terhadap permasalahan
tersebut.
Adapun Struktur Hierarki penentuan produk prospektif dalam penelitian
ini digambarkan sebagai berikut:
94

Pemilihan Produk Potensial Dalam


KUAT

PP KP NT DL PTK KS TEK

DC DC MK AA SK CF NDC CP

PRODUK-PRODUK
AGROINDUSTRI KELAPA
PROSPEKTIF

Gambar 10 Struktur Hirarki Pemilihan Produk Propektif


Penilaian urutan kriteria didapat dari pendapat para pakar yang berasal dari
instansi pemerintah Kabupaten Lampung Barat, peneliti agroindustri kelapa, dan
pelaku industri berbasis kelapa.
Pakar-pakar tersebut adalah:
1. Ir. Eric Enrico, MT. pakar yang mewakili Dinas Perindustrian, Perdagangan
dan Pasar kabupaten Lampung Barat
2. Ir. Karyo Kardono, M.Si. pakar yang mewakili Badan Perencanaan Daerah
Kabupaten Lampung Barat
3. Ir. Ahliansyah. Pakar yang mewakili Dinas perkebunan Kabupaten Lampung
Barat
4. Ir. Slameto, M.Si. Pakar yang mewakili Peneiliti Agroindustri Kelapa dari
Badan Pengembangan Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung
5. Ir. Sugiarto pakar yang berasal dari PT. Sari Segar Husada industri pembuatan
Dessicated Coconut dan Santan Kelapa
6. Drs. Yusrizal Roni pakar yang berasal dari PT. Sinar Laut industri yang
menghasilkan Minyak Goreng.
Berdasarkan pendapat para pakar yang didapat melalui wawancara tertulis
dengan metode AHP, dimana penilaian pendapat dilakukan dengan pembobotan
pada tujuh kriteria tersebut, maka didapatkan hasil urutan kriteria yang menjadi
95

penentu pemilihan produk prospektif, sebagaimana ditunjukkan pada tabel


berikut ini:
Tabel 24. Urutan prioritas faktor kriteria penentu pemilihan produk unggulan
Kawasan Usaha Agro Terpadu (KUAT)

Kriteria Deskripsi Bobot Urutan


Peluang Pasar Prospek permintaan pasar baik dalam negeri maupun luar 1
negeri, semakin tinggi peluang pasar, semakin prospektif 0.23
untuk dikembangkan.
Kebijakan Pemerintah Kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam mendukung 2
pengembangan dan pemasaran produk agroindustri 0.17
Nilai Tambah Besarnya keuntungan yang akan diperoleh jika produk 3
tersebut dikembangkan. 0.16
Dampak Lingkungan Dampak lingkungan yang dihasilkan bila suatu produk 4
dikembangkan. 0.12
Penyerapan Tenaga Indikator yang menunjukkan jumlah tenaga kerja yang 5
Kerja terserap oleh agroindustri penghasil produk kelapa yang 0.11
prospektif
Kualifikasi SDM Tingkat kemampuan/keahlian teknik dari SDM yang ada di 6
Kabupaten Lampung Barat dalam agroindustri kelapa 0.10
Teknologi Yang Kriteria ini menunjukkan kemampuan teknologi yang 6
digunakan tersedia dalam menghasilkan produk prospektif, apakah 0.10
sudah operasional atau baru tingkat uji laboratorium

Dari Tabel tersebut terlihat bahwa faktor penentu yang dimiliki oleh
Peluang Pasar sebesar 0,23, diikuti oleh Kebijakan Pemerintah dengan nilai 0,17,
dan Nilai Tambah dengan bobot 0,16. Selanjutnya pada urutan ke empat kriteria
yang dipilih pakar adalah Dampak Lingkungan dengan skor 0,12, Penyerapan
Tenaga Kerja sebesar 0,11, Kualifikasi SDM dengan nilai 0,10 dan diikuti kriteria
Teknologi yang digunakan dengan bobot 0,10.
Pengembangan suatu produk agroindustri harus memperhatikan prospek
pasar karena semakin besar peluang pasar suatu produk, maka hal ini akan
memberikan gambaran bahwa produk tersbut semakin prospektif untuk
dikembangkan. Selain itu peluang pasar sangat penting karena akan menunjukkan
prospek kebutuhan produk agroindustri kelapa yang akan dikembangkan untuk
keperluan pasar dalam negeri maupun ekspor. Faktor peluang pasar sangat
penting untuk mendukung pengembangan sektor agroindustri kelapa, karena
kualitas dan kuantitas yang memadai tidak cukup membantu bila peluang pasar
suatu produk sangat rendah. Selain itu peluang pasar akan dapat meningkatkan
kinerja ekspor dan penambahan devisa negara, serta mendukung pengembangan
agroindustri itu sendiri. Berdasarkan pendapat para pakar, kriteria peluang pasar
mendapat nilai 0,23
96

Kebijakan pemerintah yang mendukung program pengembangan


agroindustri kelapa merupakan salah satu kriteria yang dipakai dalam menentukan
produk prospektif dalam KUAT. Kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam
mengembangkan agroindustri berbasis kelapa sangat tidak diragukan. Hal ini
terlihat dari rencana pengembangan program KUAT.
Program KUAT merupakan sinergi pemerintah pusat melalui Departemen
Perindustrian Republik Indonesia dengan Pemerintah Daerah dalam
mengembangkan klaster agroindustri di luar pulau Jawa. Semakin besar
dukungan pemerintah terhadap pengembangan dan pemasaran produk, semakin
prospektif produk tersebut untuk dikembangkan. Sebaliknya semakin rendah
dukungan pemerintah, maka produk tersebut semakin tidak prospektif. Para pakar
berpendapat dengan memberikan penilaian terhadap kriteria ini 0,17.
Nilai tambah menunjukkan besarnya keuntungan yang akan diperoleh jika
produk tersebut dikembangkan. Dengan demikian akan muncul keyakinan
memperoleh keuntungan yang tinggi dari pelaksanaan kegiatan suatu usaha
dimana pada akhirnya meningkatkan motivasi para investor untuk menanamkan
modalnya. Semakin besar nilai tambah suatu produk, maka akan semakin besar
prospeknya untuk dikembangkan. Pada tabel di atas terlihat bahwa para pakar
memberikan penilaian terhadap kriteria ini dengan skor 0,16.
Salah satu faktor yang menjadi pembatas dalam dalam pengembangan
usaha adalah dampak terhadap lingkungan. Semakin besar dampak lingkungan
atas pengembangan suatu produk, maka semakin tidak prospektif produk tersebut
untuk dikembangkan. Pada penilaian para pakar atas kriteria pengembangan
produk prospektif, dampak terhadap lingkungan menempati urutan ke empat
dengan nilai 0,12.
Kriteria penyerapan tenaga kerja mengandung pengertian jumlah tenaga
kerja yang dapat terserap dengan pengembangan suatu produk. Pendirian usaha
agroindustri yang banyak menyerap tenaga kerja akan menguntungkan
masyarakat di sekitar lokasi program, juga akan membantu pemerintah dalam
mengurangi angka pengangguran. Berdasarkan penilaian para pakar terhadap
kriteria penyerapan tenaga kerja, tampak bahwa para pakar memilih kriteria ini
sebagai prioritas kelima dengan nilai 0,11.
97

Berdasarkan pendapat para pakar, kriteria kualifikasi SDM mendapat nilai


0,10. Hal ini menunjukkan bahwa kualifikasi SDM agroindustri kelapa yang
meliputi tingkat kemampuan teknik dari SDM yang ada di Kabupaten Lampung
Barat bukan merupakan kriteria yang berpengaruh besar dalam menentukan
produk prospektif. Dengan kata lain agroindustri kelapa belum memerlukan
tenaga dengan kemampuan teknik yang spesisifk.
Kriteria terakhir adalah Teknologi yang digunakan, berdasarkan pendapat
para pakar kriteria ini mendapat nilai 0,10. Pada dasarnya kriteria teknologi yang
digunakan perlu dipertimbangkan dalam mendirikan suatu usaha agroindustri, hal
ini menunjukkan kemampuan teknologi proses sudah tersedia. Teknologi yang
digunakan akan mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan, sehingga mampu
bersaing dengan produk sejenis di pasaran.
Hasil penilaian para pakar dalam memilih produk yang potensial untuk
dikembangkan pada Kawasan Usaha Agro Terpadu (KUAT) di Kabupaten
Lampung Barat diketahui bahwa, minyak kelapa dan Dessicated Coconut
merupakan prioritas pertama dan kedua yang layak dikembangkan. Kedua produk
olahan kelapa tersebut memiliki nilai masing-masing 0,215 dan 0,170. Produk
berikutnya yang layak dikembangkan menurut para pakar adalah secara berturut-
turut yaitu arang aktif, santan kelapa, coco fiber, nata de coco dan coco peat
dengan nilai masing-masing yaitu: 0,112, 0,112, 0,105, 0,098, 0,096, dan 0,092.
Dipilihnya Minyak kelapa dan Dessicated Coconut sebagai produk yang
paling prospektif merupakan hal yang wajar karena minyak kelapa merupakan
salah satu dari sembilan bahan pokok (sembako), artinya produk ini sangat
dibutuhkan oleh masyarakat untuk keperluan rumah tangga. Berdasarkan hasil
Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) oleh BPS diketahui bahwa
konsumsi rata-rata perkapita perminggu minyak kelapa di Indonesia tahun 2002
sebesar 0,197 liter, tahun 2005 sebesar 0,195 liter dan 0,198 liter pada tahun 2007.
Hal ini cukup memberikan gambaran bahwa kebutuhan masyarakat akan
minyak goreng sangat besar. Meskipun saat ini terdapat produk alternatif dari
kelapa sawit, namun peranan minyak kelapa sebagai bahan kebutuhan memasak
didapur masih cukup di kalangan masyarakat Indonesia.
98

Dessicated Coconut/Kelapa Parut Kering dipilih oleh pakar sebagai salah


satu produk prospektif karena potensi pasar Dessicated Coconut sangat besar
mengingat produk ini merupakan bahan tambahan untuk produk biskuit.
Besarnya nilai ekspor sebagaimana dijelaskan oleh Asia Pacific Coconut
Community (AAPC), peningkatan nilai ekspor periode 2004-2006 sangat
signifikan. Pada tahun 2004 total ekspor Dessicated Coconut sebesar 30.780 ton
dengan nilai 21.245.000 US Dollar, tahun 2005 mencapai 51.025 ton dengan
nilai 35.939.000 US Dollar dan pada tahun 2006 mencapai 62.249 ton dengan
nilai 36.886.000 US Dollar.
Peningkatan nilai ekspor ini sangat dipengaruhi oleh besarnya permintaan
terutama oleh negara-negara Eropa dan Asia Pasifik. Sebagai produk yang
bernilai ekspor tinggi adalah wajar bila Dessicated Coconut menjadi pilihan dalam
pengembangan agroindustri berbasis kelapa. Menurut Palungkun (1998)
permintaan produk Dessicated Coconut merupakan indikasi cerahnya prospek
pasar, dan Indonesia memiliki potensi untuk merebut peluang yang ditawarkan.
Produk lain yang memiliki prospek untuk dikembangkan menurut para
pakar adalah Arang Aktif, dimana berdasarkan pendapat para pakar memiliki skor
0,112. Arang aktif banyak diperlukan untuk proses pemurnian dalam dunia
industri makanan dan kimia. Menurut APCC (2007) ekspor produk Arang Aktif
Indonesia tahun 2004-2006 terus mengalami peningkatan, dimana tahun 2004
total ekspor mencapai 15.624 ton dengan nilai12.387.000 US Dollar, pada tahun
2005 meningkat menjadi 25.670 ton dengan nilai 16.303.000 US Dollar namun
menurun menjadi 15.529 ton dengan nilai 17.577.000 US Dollar pada tahun 2006.
Pada dasarnya produk Arang dari tempurung kelapa sangat prospektif
untuk dikebangkan ditengah gencarnya isu menipisnya bahan bakar fosil, karena
arang tempurung berpotensi menjadi bahan bakar alternatif pengganti minyak
tanah. Saat ini pemanfaatan Arang Tempurung sebagai pengganti arang kayu dan
minyak tanah belum banyak dilakukan di kalangan masyarakat, sebagan besar
tempurung kelapa terbuang percuma. Oleh karena itu potensi pemanfaatan
produk tempurung kelapa masih sangat besar.
Produk Santan Kelapa adalah bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia
karena berfungsi sebagai bahan pelengkap makanan. Namun komersialisasi
99

produk ini masih sangat kurang. Hal ini tidak terlepas dari belum banyak
tersedianya santan kelapa kemasan. Berdasarkan pendapat para pakar dalam
penelitian ini skor untuk Santan Kelapa 0,112. Produk ini sebenarnya sangat
prospektif untuk dikembangkan, berdasarkan data Statistical Year Book APCC
(2006) ekspor Indonesia pada tahun 2004-2006 terus meningkat. Pada tahun 2004
total ekspor mencapai20.240 ton dengan nilai 15.248.000 US Dollar, meningkat
menjadi 32.480 ton pada tahun 2005 dan mencapai 27.402 ton dengan nilai
21.928.000 US Dollar pada tahun 2006. Disisi lain bagai masyarakat perkotaan
keberadaan santan kelapa kemasan merupakan pilihan yang tepat sebagai
pelengkap masakan karena terbatasnya waktu dalam mengolah kelapa menjadi
santan.
Produk lainnya seperti Coco Fibre menurut para pakar mendapat skor
0,105. Pada dasarnya produk ini sangat banyak diperlukan oleh rumah tangga dan
industri, namun belum difahaminya peluang pasar dan nilai tambahnya, maka
sabut kelapa sampai saat ini masih menjadi limbah di kalangan masyarakat
terutama di wilayah Kabupaten Lampung Barat. Menurut APCC (2007) ekspor
Coco Fibre Indonesia pada periode 2004-2006 sebesar 1.180 ton, 3.550 ton dan
3450 ton.
VCO, Nata De Coco, dan Coco Peat menurut para pakar berada pada
urutan belakang dengan skor 0,098, 0,096, dan 0,092. Produk ini baik untuk
dikembangkan, namun dalam skala industri kelapa terpadu seperti KUAT, ketiga
produk dapat dikembangkan dalam jangka panjang, artinya dalam jangka pendek
pengembangan produk ini belum dapat dilaksanakan. Ke depan melalui
pemberdayaan masyarakat, produk-produk ini dapat dilaksanakan melalui skala
rumah tangga dengan kata lain melalui Usaha Kecil dan Menengah atau industri
rumah tangga.
Program KUAT merupakan upaya Pemerintah Daerah Kabupaten
Lampung Barat melaksanakan percepatan pertumbuhan ekonomi wilayah dengan
motor utama sektor Industri. Selama ini belum terdapat usaha agroindustri yang
berskala menengah dan besar di wilayah ini. Namun demikian terkait dengan
Program KUAT dengan komoditas utama Kelapa, pengembangan produk harus
bersifat terpadu. Dengan kata lain meskipun berdasarkan analisis para pakar
100

cenderung untuk memilih produk Minyak Kelapa dan Dessicated Coconut,


pembangunan agroindustri kelapa harus bersifat terpadu. Bila konsep terpadu
tidak dilaksanakan, maka sasaran dari aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan sulit
tercapai.
Pengembangan agroindustri kelapa dengan produk yang terbatas
menjadikan kelayakan ekonomis sangat sulit tercapai, hal ini disebabkan harga
produk kelapa segar cenderung terus meningkat, terutama dalam 2 tahun terakhir.
Oleh karena itu langkah peningkatan peranan ekonomi rakyat melalui komoditas
kelapa harus dilakukan secara terpadu. Bagaimana peranan pemerintah,
masyarakat dan swasta harus disinergikan sehingga produk kelapa yang
dikembangkan dapat dilaksanakan oleh berbagai pihak, sesuai dengan
ketersediaan teknologi dan sumberdaya yang ada.
Hasil Pemilihan produk prospektif yang akan dikembangkan dalam
Kawasan Usaha Agro Terpadu (KUAT), berdasarkan pendapat para ahli disajikan
pada Tabel berikut ini:
Tabel 25. Urutan Prioritas Pemilihan Produk Kawasan Usaha Agro Terpadu
(KUAT) Kabupaten Lampung Barat

Kriteria Penentu Pemilihan Produk Hasil


Agre Urutan
Peluang Kualifika Nilai Penyrp Tekno Kebija Dampak
Produk gasi Prio
Pasar si SDM Tambah Tenaga logi kan Ling
ritas
Kerja Yang Peme kungan
Diguna rintah
kan
Minyak 0.27 0.16 0.20 0.24 0.17 0.26 0.21 0.215 1
Kelapa
Dessicated 0.16 0.20 0.14 0.17 0.22 0.17 0.12 0.170 2
Coconut
Arang Aktif 0.10 0.07 0.10 0.10 0.07 0.16 0.18 0.112 3
Santan 0.09 0.14 0.11 0.12 0.1 0.1 0.09 0.112 3
Kelapa
Coco Fiber 0.11 0.10 0.16 0.08 0.09 0.10 0.10 0.105 4
VCO 0.09 0.12 0.12 0.08 0.11 0.07 0.09 0.098 5
Nata De 0.09 0.11 0.08 0.12 0.11 0.06 0.10 0.096 6
Coco
Coco Peat 0.09 0.10 0.09 0.09 0.09 0.08 0.10 0.092 7
101

Dari hasil analisis di atas diketahui bahwa Minyak Kelapa dan Dessicated
Coconut merupakan produk unggulan pertama dan kedua dengan nilai masing-
masing 0,215 dan 0,170. Jenis lain yang berpotensi untuk dikembangkan yaitu
Arang Aktif ,Santan Kelapa dan Coco Fiber dengan skor 0,112 , 0,112 dan 0,105.
Terlepas dari hasil analisis di atas terdapat 2 hal yang berbeda yaitu produk
Minyak Kelapa dan Dessicated Coconut dan Santan memiliki bahan baku yang
berasal dari daging buah. Sebaliknya Arang Aktif dan Coco Fiber berasal dari
tempurung dan sabut kelapa. Hal ni menjelaskan bahwa untuk efisiensi
produktifitas pembangunan agroindustri berbasis komoditas kelapa harus
dilakukan secara simultan dan terpadu.
Sebagai sebuah program pembangunan klaster industri yang diharapkan
menjadi trigger (pemicu) pergerakan perekonomian wilayah, maka harus dipilih
produk yang akan dikembangkan sesuai dengan ketersediaan sumberdaya yang
ada. Pemerintah Daerah tidak mungkin akan membangun agroindustri terpadu
secara serentak karena keterbatasan dana. Sedangkan keberadaan masyarakat di
sekitar lokasi program harus dilibatkan dalam proses pembangunan. Oleh karena
itu beberapa pilihan alternatif dalam membangun keterpaduan dapat ditempuh
dengan memberdayakan kelmbagaan masyarakat.
Produk-produk agroindustri yang membutuhkan modal, teknologi dan
sumberdaya manusia yang tinggi dapat dilaksanakan oleh pemerintah dan atau
swasta. Produk-produk tersebut antara lain: Dessicated Coconut, Minyak Kelapa
dan Santan Kelapa. Hal ini penting karena produk tersebut memerlukan Quality
Control dan persyaratan mutu, tingkat higienis yang tinggi. Sedangkan produk
dengan teknologi sederhana dan Quality Cntrol yang kurang ketat, seperti Arang
Aktif, Coco Fiber, Nata De Coco dan Coco Peat dapat dilaksanakan melalui
lembaga masyarakat atau kelompok tani.
Menurut Allolerung dan Lay (1998), pengolahan kelapa skala industri
besar dewasa ini telah mengolah hampir seluruh komponen buah kelapa baik
secara terpadu maupun parsial yang menghasilkan produk bernilai ekonomi dan
pasaran yang luas antara lain: minyak kelapa, Dessicated Coconut (Kelapa Parut),
Santan, Bungkil Tepung Tempurung, Arang Aktif, Serat Sabut dan Nata De Coco.
Pengembangan aneka ragam produk menghasilkan nilai tambah besar, namun
102

tidak berpengaruh terhadap perbaikan pendapatan petani. Hal ini disebabkan


posisi petani hanya sebagai penyedia bahan baku industri. Oleh karena itu
pelibatan petani diharapkan agar mereka apat menikmati nilai tambah tersebut.
Pengembangan pengolahan kelapa terpadu skala pedesaan adalah alternatif
yang memadai untuk dirintis karena ketersediaan bahan baku, sumberdaya
manusia dan teknologi di Kabupaten Lampung Barat. Produk-produk dengan
batasan mutu dan teknologi yang rendah dapat dilaksanakan oleh masyarakat.
Dengan demikian pembangunan kawasan agro usaha terpadu dapat berjalan
efektif dengan biaya yang relatif lebih murah serta melibatkan partisipasi
masyarakat.
Formulasi kerjasama pengolahan kelapa terpadu dengan partisipasi
masyarakat perlu dirumuskan sehingga dapat diperjelas peranan dan
tanggungjawab masing-masing pihak.

5.3. Persepsi Masyarakat Tentang Program KUAT


Berdasarkan hasil wawancara menyangkut rencana program KUAT, dari
30 responden yang terdiri dari 20 orang petani dan 10 pedagang pengumpul pada
6 kecamatan dalam wilayah pesisir diketahui bahwa petani di Kecamatan
Bengkunat, Pesisir Selatan dan Pesisir Tengah dan Karya Penggawa sudah
mengetahui tentang rencana Program KUAT. Sebaliknya responden di
Kecamatan Pesisir Utara dan Lemong cenderung belum mengetahui rencana
tersebut. Pengetahuan petani tentang rencana pemerintah meliputi komoditas
yang akan dikembangkan dan produk yang dipilih yaitu minyak kelapa. Produk
selain minyak kelapa tidak diketahui oleh masyarakat. Menurut pendapat
masyarakat pemerintah akan mengembangkan pabrik minyak kelapa.
Kekurangtahuan masyarakat Pesisir Utara dan Lemong tidak terlepas dari
jarak yang jauh, dan lokasi sentra kelapa berada pada kecamatan Karya
Penggawa, Bengkunat, Pesisir Selatan dan Pesisir Tengah.
Menurut para pedagang pengumpul, pada hampir seluruh kecamatan
mengetahui tentang rencana program KUAT. Hal ini tidak terlepas dari lancarnya
arus informasi di kalangan pedagang pengumpul. Atas dasar tersebut dapat
103

dijelaskan bahwa sosialisasi program berjalan cukup efektif. Hasil analisis


pendapat masyarakat disajikan pada tabel berikut ini:
Tabel 26. Persentase pemahaman petani dan pedagang menyangkut program
KUAT
Petani Pedagang Pengumpul
Rencana Produk Rencana Produk
Kecamatan Program Program
Tahu Tidak Tahu Tidak Tahu Tidak Tahu Tidak
(%) Tahu (%) Tahu (%) Tahu (%) Tahu
(%) (%) (%) (%)
Bengkunat 74 26 60 40 80 20 80 20
Pesisir Selatan 86 14 63 37 90 10 80 20
Pesisir Tengah 89 11 63 37 80 20 60 40
Karya Penggawa 67 33 52 48 40 60 50 50
Pesisir Utara 27 73 20 80 40 60 40 60
Lemong 24 76 21 79 40 60 30 70

Persepsi masyarakat diperlukan dalam upaya pelaksanaan suatu program.


Hal ini terkait dengan kesuksesan pelaksanaan di lapangan. Menurut Handoko
(2000), kesediaan masyarakat suatu daerah menerima segala konsekuensi baik
positif mapupun negatif didirikannya suatu pabrik merupakan suatu syarat
penting. Perusahaan perlu memperhatikan nilai-nilai lingkungan dan ekologi
dimana perusahaan berlokasi. Di lain pihak masyarakat memerlukan industri
sebagai penyedia lapangan kerja dan uang yang dibawa industri ke masyarakat.

5.4. Prospek Pasar Produk Kelapa


5.4.1. Rantai Tata Niaga

Tata niaga Kelapa di Kabupaten Lampung Barat identik dengan


pemasaran produk pertanian yang umumnya bertingkat, yaitu mulai dari petani
sebagai produsen, pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul
kecamatan sampai dengan konsumen dan industri. Pola pemasaran yang panjang
tersebut sangat tidak menguntungkan pihak petani karena semakin panjang rantai
tata niaga, maka marjin yang diterima petani semakin kecil.
Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi penelitian di Kabupaten lampung
Barat, diketahui bahwa terdapat tiga tingkatan pedagang pengumpul yang
berperan dalam tata niaga kelapa sebelum sampai pada konsumen akhir atau
industri. Perdagangan kelapa pada umumnya dimulai dengan transaksi langsung
104

antara petani dengan pedagang desa, dengan sistem harga borongan berupa kelapa
utuh belum di kupas.
Selanjutnya pedagang desa menjual kepada pedagang kecamatan yang
akan membeli dengan cara datang langsung ke pedagang desa. Sistem pembelian
dilakukan dengan cara borongan tanpa memperhatikan ukuran biji kelapa.
Pedagang Kecamatan selanjutnya menjual kepada pedagang kabupaten di Liwa
atau Pasar Fajar Bulan di Kecamatan Way Tenong, yang kemudian dijual kepada
pedagang pengecer. Pedagang pengecer membeli kelapa untuk dipasarkan
langsung ke konsumen. Pada tahapan pemasaran ke konsumen ukuran biji kelapa
menjadi dasar dalam menentukan harga.
Rantai tata niaga kelapa juga terjadi antara pedagang tingkat kecamatan
dengan pedagang pengirim yang akan membawa komoditas kelapa ke industri
berbahan baku kelapa di Bandar Lampung. Industri tersebut merupakan produsen
produk nata de coco, vco, santan kelapa dan desisicated coconut.
Kelapa pecah akan diapkir dan menjadi tanggungjawab pembeli yang
umumnya merupakan pedagang desa, pada tahapan ini kelapa apkir akan diolah
menjadi kopra. Pedagang pengumpul kopra berada di Kelurahan Pasar Krui,
dimana harga jual berkisar antara sebesar Rp. 3.000-3.500/kg tergantung pada
mutu kopra yang dijual. Harga tersebut cenderung tetap dari tahun ke tahun. Bila
kopra tersebut jumlahnya sudah memadai, maka akan dibawa ke Bandar
Lampung atau Kota Metro untuk dijual kepada Industri Minyak Goreng. Namun
seiring dengan harga kelapa yang cukup tinggi, produksi kopra menjadi berkurang
karena petani menjual dalam bentuk kelapa butiran. Sebaliknya bila harga kelapa
butiran rendah, maka petani akan mengolah kelapa menjadi kopra.
Berkurangnya produksi kopra karena secara ekonomi pengolahan kopra
tidak menguntungkan dimana untuk menghasilkan 1 Kg kopra dibutuhkan sekitar
4 butir kelapa, dengan harga jual Rp. 2.000 sampai dengan 3.750/kg. Sedangkan
bila dijual butiran maka harga kelapa Rp. 1.100/butir. Oleh karena itu merupakan
hal yang wajar bila petani tidak mengolah kelapa menjadi kopra di saat harga
kelapa cukup tinggi. Secara lengkap bagan rantai pemasaran kelapa di Kabupaten
Lampung Barat di sajikan pada gambar berikut ini:
105

PETANI
/PRODUSEN

KELAPA PECAH PEDAGANG


/APKIR PENGUMPUL
DESA

KOPRA PEDAGANG
PEDAGANG
KERING PENGUMPUL
PENGECER
KECAMATAN

PEDAGANG PEDAGANG KONSUMEN


PENGUMPUL PENGIRIM
KOPRA

INDUSTRI
INDUSTRI VCO,KELAPA
MINYAK KELAPA PARUT,NATA DE
COCO, DLL

Gambar 11. Rantai Pemasaran Kelapa di Kabupaten Lampung Barat

5.4.2. Marjin Pemasaran


Berdasarkan hasil analisis biaya dan marjin tata niaga di Kabupaten
Lampung Barat diketahui bahwa biaya angkutan merupakan komponen terbesar
dalam biaya pemasaran. Menurut Damanik dan Sientje (1992) besarnya biaya
angkutan produk kelapa disebabkan bentuk fisik kelapa yang berifat kamba (rasio
volume dan bobot sangat besar). Secara geografis wilayah Kabupaten Lampung
Barat memiliki topografi datar sampai dengan berbukit. Besarnya komponen
biaya sesuai dengan jarak tempuh, dimana untuk pedagang desa, jarak tempuh
relatif dekat dengan kata lain masih dalam satu desa. Sedangkan pedagang
kecamatan harus mengangkut lebih jauh dengan jarak 30-80 km. Besarnya biaya
angkut untuk komponen industri disebabkan jarak angkut menuju lokasi industri
berkisar antara 260 km sampai 300 km.
Marjin tata niaga dipisahkan menjadi dua yaitu dari petani sampai dengan
konsumen dan dari petani ke industri. Pemisahan ini dilakukan karena terdapat
106

pedagang pengirim yang ikut dalam proses tata niaga. Pedagang pengirim
mengambil produk kelapa dari pedagang kecamatan. Peran pedagang pengirim
cukup besar, hal ini ditunjukkan dengan besarnya marjin.
Distribusi biaya pemasaran relatif merata kecuali biaya angkut dan harga
beli. Marjin keuntungan tertinggi berada pada level pedagang pengirim yang
mencapai Rp. 300/butir. Hal ini disebabkan besarnya resiko yang dihadapi,
disamping besarnya modal dalam mekanisme pemasaran. Sedangkan marjin
terendah berada pada tingkat pedagang pengumpul desa. Salah satu penyebabnya
adalah adanya biaya pengupasan kulit luar yang harus ditanggung sebelum
pembeli tingkat kecamatan datang. Selain itu dari sisi permodalan pedagang
pengumpul desa relatif memiliki modal yang kecil. Resiko pecah dan apkir juga
menjadi pembatas pedagang level ini untuk menigkatkan marjin keuntungan.
Marjin keuntungan setiap golongan pedagang lebih besar dibandingkan
biaya pemasaran sehingga harga di tingkat petani menjadi relatif rendah.
Damanik dan Sientje (1992) menyatakan bahwa pola tata niaga di atas merupakan
ciri dari pemasaran yang bersifat monopsoni. Harga ditentukan oleh beberapa
atau satu lembaga pemasaran yang dalam hal ini pemilik modal.
Dalam pemasaran kelapa, pedagang pengirim memegang peranan yang
sangat besar dalam menjalankan fungsi tata niaga kelapa, karena mereka inilah
yang menyediakan sebagian besar modal kerja dan menghadapi resiko paling
besar. Resiko inilah yang sering dijadikan alasan untuk menekan harga di tingkat
pedagang pengumpul maupun petani, sebagai akibatnya tata niaga kelapa di
daerah menjadi tidak efisien (Herman dan Saputro (1990) dalam Damanik dan
Sientje (1992).
Disisi lain posisi petani sebagai price taker (penerima harga) menjadikan
pedagang memiliki kekuasaan untuk menentukan harga, selain beberapa petani
telah menerima pembayaran awal harga kelapa sebelum panen. Pola pembayaran
awal banyak dilakukan pada kondisi petani memerlukan dana untuk biaya anak
sekolah atau biaya berobat. Kebutuhan tersebut mendorong petani kelapa
meminjam dana kepada pedagang dengan konsekuensi pembayaran dengan
produk kelapa pada saat panen. Hasil analisis marjin tata niaga kelapa menurut
golongan pedagang disajikan pada tabel berikut:
107

Tabel 27. Hasil Analisis Marjin Pemasaran Produk Kelapa di Kabupaten


Lampung Barat.
Harga Biaya Persentase Persentase
No Uraian
(Rp/butir) (Rp/butir Konsumen Industri
1 Harga jual petani 1,100 - - -
Harga beli pedagang pengumpul
2 Desa 1,100 - 61.11 50.00
Biaya sortir dan membersihkan - 50 7.14 4.55
Biaya angkut/transportasi - 50 7.14 4.55
Keuntungan - 50 7.14 4.55
3 Harga beli pedagang kecamatan 1,250 - 69.44 56.82
Biaya bongkar muat - 50 7.14 4.55
Biaya Angkut/transportasi - 100 14.29 9.09
Keuntungan - 100 14.29 9.09
4 Harga Beli Pedagang Pengecer 1,500 - 83.33
Biaya bongkar muat 50 7.14
Biaya Angkut/transportasi 50 14.29
Keuntungan 200 28.57
5 Harga Beli Konsumen 1,800 - - -
Jumlah Marjin Konsumen 700
6 Harga Beli Pedagang Pengirim 1,250 - - 64.10
Biaya bongkar muat - 100 - 9.09
Biaya Angkut/transportasi - 300 - 27.27
Keuntungan - 300 - 27.27
Harga Beli Industri 1,950 - - -
Jumlah Marjin Industri - 1,100 107.14 100.00

Menurut data statistik Dinas Perkebunan Kabupaten Lampung Barat,


harga kelapa dan kopra pada tahun 2004-2006 rata-rata Rp. 700-1.500-/ butir dan
Rp.1.000- 3.150/kg. Harga tersebut cenderung meningkat terutama pada tahun
2005-2006. Peningkatan tersebut tidak lepas dari bertambahnya konsumsi kelapa
di kalangan masyarakat.
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat diketahui bahwa harga
kelapa di tingkat petani berada pada level di atas Rp. 1.000/butir sejak tahun 2005
sampai dengan sekarang. Bagi petani harga tersebut cukup memberikan gairah
untuk menjadikan kelapa sebagai salah satu alternatif pendapatan. Berikut ini
disajikan perkembangan harga komoditas kelapa di Kabupaten Lampung Barat
tahun 2004-2006.
108

Tabel 28. Harga Pasar Produk Kelapa di Kabupaten Lampung Barat Tahun 2004-
2006
Tahun Produk Satuan Harga Harga Rata-rata
Terendah Tertinggi
2004 Kopra Kg 1,000 1,000 1,000
Kelapa Segar Butir 700 1.000 875
2005 Kopra Kg 4,000 4,000 4,000
Kelapa Segar Butir 1.000 1.300 1.250
2006 Kopra Kg 3,200 4,000 3.150
Kelapa Segar Butir 1,200 1,500 1,230
Sumber: Dinas Perkebunan Kabupaten Lampung Barat

5.5. Keragaan Perkebunan Kelapa di Kabupaten Lampung Barat


Fluktuasi harga yang tidak menentu menyebabkan petani kurang bergairah
untuk meningkatkan produksi tanaman kelapa melalui perawatan. Hal ini terlihat
dari hasil wawancara, seluruh responden menyatakan tidak pernah melakukan
pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit. Pada dasarnya petani
memahami perlunya perawatan, namun harga jual yang tidak menentu dan belum
adanya produk olahan, pertanaman kelapa menjadi penghasilan sampingan selain
usaha tani lainnnya.
Berikut ini disajikan keragaan perkebunan kelapa di Kabupaten Lampung Barat.
1. Perkebunan Kelapa di Kabupaten Lampung Barat seluruhnya merupakan
perkebunan rakyat yang dikelola secara tradisional turun temurun.
2. Luas kepemilikan lahan usaha tani kelapa berkisar antara 1−2 ha per kepala
keluarga, dengan populasi 100-143 pohon/ha. Luas tersebut cenderung akan
berkurang sebagai akibat fragmentasi lahan sejalan dengan sistem bagi waris
yang menjadi budaya.
3. Pola tanam sebagian besar dilakukan secara monokultur, kecuali di
Kecamatan Pesisir Selatan yang dilakukan tumpangsari dengan melinjo dan
kakao. Pola monokultur ini menjadikan pemanfaatan lahan kurang optimal
sehingga produktivitasnya rendah. Petani juga belum menerapkan teknologi
budi daya anjuran karena keterbatasan modal dan adanya keengganan untuk
merawat akibat ketidakpastian harga. Pemeliharaan tanaman masih terbatas
pada penyiangan dengan interval tidak teratur, tanpa pemupukan dan
pengendalian hama dan penyakit.
109

Gambar 12. Perkebunan Kelapa Rakyat di Kabupaten Lampung Barat


4. Perkebunan kelapa petani di Kabupaten Lampung Barat pernah didukung oleh
Proyek Pengembangan dan Rehabilitasi Tanaman Ekspor (PRPTE).
5. Jenis kelapa yang diusahakan adalah kelapa dalam lokal dengan produktivitas
hanya 660-700 kg kopra/ha/tahun atau atau sekitar 2.600-3.000 butir kelapa
segar, jauh di bawah potensi produktivitas yang dimiliki sebesar 2,50 ton
kopra/ha/tahun.
6. Berdasarkan hasil wawancara sebagian besar tanaman kelapa berumur tua
(lebih dari 20 tahun) dan kurang produktif lagi sebagai akibat belum
berjalannya program peremajaan tanaman. Usaha peremajaan terhambat oleh
ketersediaan dan mahalnya harga bibit yaitu berkisar Rp. 5.000 sampai dengan
Rp. 15.000/batang tergantung umur. Selain itu serangan hama babi hutan
pada pertanaman muda dan banyaknya sapi milik masyarakat yang tidak
dikandangkan menjadi hama tanaman kelapa muda.
110

Gambar. 13. Proses Pengupasan Kelapa


7. Produk usaha tani yang dihasilkan masih bersifat terbatas pada kelapa butiran
dan kopra berkualitas rendah. Pemanfaatan hasil samping belum banyak
dilakukan oleh petani, sehingga banyak produk sampingan terbuang percuma
akibatnya nilai tambah dari usaha tani belum diperoleh secara optimal.
8. Pendapatan petani kelapa di Kabupaten Lampung Barat masih rendah dan
fluktuatif sehingga tidak mampu mendukung kehidupan keluarga secara layak.
Pendapatan dari usaha tani kelapa monokultur sebesar Rp2.700.000/ha/tahun
sampai dengan Rp. 3.100.000/ha/tahun atau Rp.225.000/ha/bulan sampai
dengan 258.000/ha/bulan. Hal ini menggambarkan bahwa usaha tani kelapa
belum mampu memberikan penghasilan yang layak. Kondisi ini semakin
mendorong petani utnuk tidak melakukan perawatan intensif karena besarnya
biaya perawatan terutama pupuk dan obat-obatan.
9. Dukungan kelembagaan seperti koperasi dan kelompok tani belum berjalan
dengan baik. Kondisi ini tampak dari ketiadaan koperasi pendukung usaha
tani kelapa dan kelompok tani berbasis kelapa yang aktif.
Namun demikian berdasarkan hasil pengamatan dilapangan saat ini telah
terdapat upaya pemerintah Kabupaten Lampung Barat dalam memberdayakan
111

petani kelapa. Langkah-langkah pemerintah daerah tampak dalam beberapa tahun


terakhir dengan berjalannya program pembinaan antara lain:
1. Pemerintah Daerah telah menyusun Peta Jalan (Road Map) komoditas kelapa
sampai dengan tahun 2011. Road Map ini memberikan penjelasan bahwa
adanya upaya untuk meningkatkan produktiftas dan kesejahteraan petani
kelapa secara terencana.
2. Dinas Perkebunan Kabupaten Lampung Barat memberikan bantuan bibit
kelapa unggul lokal sebanyak 5.000 batang kepada petani pada tahun 2007
dan 10.000 batang pada tahun 2008. Bantuan bibit ini dilakukan untuk turut
membantu dalam meremajakan pertanaman kelapa mayarakat.
3. Adanya upaya perbaikan pola pengusahaan melalui pemberian bantuan bibit
kakao untuk tumpangsari dengan tanaman kelapa, disamping penguatan
kelembagaan kelompok. Tercatat sejak tahun 2002 telah diberdayakan 12
kelompok tani yang melaksanakan pembibitan sebanyak 250.000 batang bibit
kakao.
4. Pemerintah Daerah melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan telah
memberikan bantuan alat pengolahan kelapa terpadu kepada beberapa
kelompok tani.
5. Perencanaan pembangunan Kawasan Usaha Agro Terpadu (KUAT)
bekerjasama dengan Departemen Perindustrian, sebagai bentuk langkah
Pemerintah Daerah mendukung perekonomian wilayah pesisir melalui sektor
industri.

5.6. Analisis Pohon Industri


Analisis pohon industri didasarkan pada keragaman produk turunan dari
kelapa, karena itu tanaman ini dikenal sebagai tanaman serba guna dimana seluruh
bagiannya bermanfaat bagi kehidupan manusia. Pemanfaatan tanaman kelapa
mulai dari batang, daun, akar dan buah. Berbagai manfaat dari bagian-bagian
tersebut antara lain untuk keperluan: pangan, obat-obatan, mebel, kerajinan
tangan, sampai dengan bahan baku industri. Berikut ini disajikan diagram alir
pemanfaatan tanaman kelapa:
112

5.6.1. Daun

Hiasan, Ketupat,
Helai Industri Kerajinan
Daun Tangan Tas, Keranjang

Lidi Industri Kerajinan Sapu Lidi, Tusuk


Daun Tangan Sate

Pelepah Industri Kerajinan Souvenir


Tangan

Gambar 14. Pohon Industri Daun Kelapa

5.6.2. Batang
Pemanfaatan batang kelapa sebagai produk kerajinan sudah sejak lama
dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Produk furniture, alat-alat dapur, peralatan
pertanian sampai dengan bahan bangunan merupakan hal yang umum di kalangan
masyarakat. Industri berbasis pohon kelapa masih dilakukan dalam skala kecil,
yaitu di tingkat perajin rumah tangga sampai dengan usaha-usaha kecil. Pada
gambar berikut disajikan pohon industri produk yang berasal dari batang kelapa.

Bahan-bahan
Bangunan
Industri Kerajinan
Tangan
Bahan
Jembatan

Batang
Furniture, gagang
Cangkul, dll
Industri Kerajinan

Hiasan Dinding,
Asbak

Gambar. 15. Pohon Industri Batang Kelapa

5.6.3. Buah
Buah kelapa memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia terutama
untuk keperluan rumah tangga. Secara umum buah kelapa dibedakan menjadi:
sabut, tempurung, daging buah dan air kelapa.
113

5.6.3.1. Sabut Kelapa


Sabut kelapa merupakan bagian terluar buah kelapa yang membungkus
tempurung kelapa. Ketebalan sabut kelapa berkisar 5-6 cm yang terdiri atas
lapisan terluar (exocarpium) dan lapisan dalam (endocarpium). Endocarpium
mengandung serat-serat halus yang dapat digunakan sebagai bahan pembuat tali,
karung, pulp, karpet, sikat, keset, isolator panas dan suara, filter, bahan pengisi
jok kursi/mobil/kasur dan papan hardboard. Satu butir buah kelapa menghasilkan
0,4 kg sabut yang mengandung 30% serat. Komposisi kimia sabut kelapa terdiri
atas selulosa, lignin, pyroligneous acid, gas, arang, ter, tannin, dan potasium .
Salah satu produk yang dapat diolah dari tanaman kelapa adalah serabut
kelapa. Namun saat ini pemanfaatan serabut kelapa masih sangat kurang di
kalangan masyarakat. Hal ini diakibatkan kurangnya pemahaman tentang nilai
ekonomi produk ini. Disisi lain teknologi dan informasi pasar tentang serabut
kelapa belum banyak diketahui oleh masyarakat.
Produk primer dari pengolahan sabut kelapa terdiri atas serat (serat
panjang), bristle (serat halus dan pendek), dan debu abut. Serat dapat diproses
menjadi serat berkaret, matras, geotextile, karpet, dan produk-produk
kerajinan/industri rumah tangga. Matras dan serat berkaret banyak digunakan
dalam industri jok, kasur, dan pelapis panas.

5.6.3.2. Coco Peat (Debu Sabut)


Debu sabut dapat diproses jadi kompos dan cocopeat, dan particle
board/hardboard. Coco peat digunakan sebagai substitusi gambut alam untuk
industri bunga dan pelapis lapangan golf. Di samping itu, bersama bristle dapat
diolah menjadi hardboard (Nur et al. 2003 dalam Mahmud dan Ferry, 2007).
Produksi yang dihasilkan adalah sabut kelapa dan debu (coco peat). Setiap 1 kg
sabut membutuhkan 5 butir kelapa, dan setiap 1 kg debu sabut membutuhkan 16
butir kelapa. Pada Gambar berikut ini disajikan pohon industri sabut kelapa.
114

Sapu, Keset, sikat


Serat
Industri Kerajinan
Panjang Matras, Tambang

Genteng
Sabut Serat
Industri Kerajinan
Pendek
Hard Board

Coco Peat/Media
Debu Tanam
Industri Kerajinan
Sabut
Kompos

Gambar. 16 Pohon Industri Sabut Kelapa

5.6.3.3. Arang Aktif


Arang tempurung kelapa adalah produk yang diperoleh dari pembakaran
tidak sempurna terhadap tempurung kelapa. Sebagai bahan bakar, arang lebih
menguntungkan dibanding kayu bakar. Arang memberikan kalor pembakaran
yang lebih tinggi, dan asap yang lebih sedikit. Arang dapat ditumbuk, kemudian
dikempa menjadi briket dalam berbagai macam bentuk. Briket lebih praktis
penggunaannya dibanding kayu bakar. Arang dapat diolah lebih lanjut menjadi
arang aktif, dan sebagai bahan pengisi dan pewarna pada industri karet dan
plastik.
Tempurung kelapa yang dulu hanya digunakan sebagai bahan bakar,
sekarang sudah merupakan bahan baku industri cukup penting. Produk yang
dihasilkan dari pengolahan tempurung adalah arang, arang aktif, tepung
tempurung dan barang kerajinan. Arang aktif dari tempurung kelapa memiliki
daya saing yang kuat karena mutunya tinggi dan tergolong sumber daya yang
terbarukan. Pada gambar berikut disajikan pohon industri produk tempurung
kelapa (Mahmud dan Ferry, 2007).
115

Hiasan Dinding,
Tas, Ikat Pinggang
Industri Kerajinan
Tangan
Asbak, peralatan
makan
Tempurung
Arang Aktif, Briket

Industri Kimia

Asap Cair

Gambar. 17 Pohon Industri Tempurung Kelapa


Karbon aktif merupakan bahan baku olahan dari tempurung kelapa yang
banyak digunakan dalam berbagai industri antara lain obat-obatan, makanan,
minuman dan pengolahan air. Manfaat arang aktif secara kimiawi berguna untuk
proses pemurnian cairan, penjernihan air, dan penyaringan gas-gas kotor.
Pembuatan karbon aktif dilakukan melalui aktivasi dari arang tempurung.
Dalam pembuatannya arang tempurung dimasukkan ke dalam suatu tabung.
Produksi yang dihasilkan adalah arang tempurung. Setiap 1 kg arang tempurung
membutuhkan 24 butir tempurung kelapa.

5.6.3.4. Daging Buah


Daging buah kelapa merupakan produk primer yang banyak dimanfaatkan
dari kelapa. Saat ini ekspor produk kelapa Indonesia didominasi oleh hasil
industri yang memanfaatkan daging buah kelapa. Berikut ini disajikan gambar
pohon industri berbahan daging kelapa.
116

Industri Minyak Goreng


Makanan Margarin
Kopra Minyak
Kelapa
Industri Sabun Cuci,
Kimia Shampo

Daging Kelapa Industri Campuran Biskuit,


Buah Parut Makanann Kue Kering

Santan Industri Biskuit, Kue Kering


Makanann

Gambar. 18 Pohon Industri Daging Buah Kelapa

5.6.3.5. Air Kelapa


Volume air yang terdapat pada kelapa dalam sekitar 300 ml, kelapa
Hibrida 230 ml, dan kelapa Genjah 150 ml. Air kelapa dimanfaatkan untuk
pembuatan minuman ringan, jelly, ragi, alkohol, nata de coco, dextran, anggur,
cuka, ethyl acetat, dan sebagainya. Komposisi kimia air kelapa adalah; specific
grafity 1,02 %, bahan padat 4,71 %, gula 2,56 %, abu 0,46 %, minyak 0,74 %,
protein 0,55 %, dan senyawa khlorida 0,17%. Air kelapa yang dapat diolah untuk
menghasilkan beberapa produk bernilai ekonomi seperti minuman ringan, cuka,
dan nata de coco. Nata de coco sendiri selain sebagai makanan berserat, juga
dapat digunakan dalam industri akustik. Saat ini nata de coco telah berkembang
mulai dari skala industri rumah tangga hingga industri besar (Tenda et al. 1999
dalam Mahmud dan Ferry, 2007).
Nata De Coco

Industri
Makanan
Kecap,
Asam Cuka
Air Kelapa
Dekstrosa

Industri
Farmasi
Obat Penurun
Panas

Gambar. 19. Pohon Industri Air Kelapa


117

Berdasarkan hasil kajian literatur dan diskusi dengan pakar kelapa, maka
didapat beberapa produk olahan yang berasal dari daging kelapa dan memiliki
nilai ekonomi, serta prospek pasar, baik domestik maupun ekspor. Adapun
produk tersebut adalah: Dessicated Coconut (Kelapa Parut), Minyak Kelapa, Nata
De Coco, Virgin Coconut Oil (VCO). Berikut ini disajikan deskripsi tentang
produk-produk tersebut:

5.6.4. Dessicated Coconut (Kelapa Parut)


Istilah Dessicated Coconut mungkin kurang akrab di telinga masyarakat
Indonesia. Sebenarnya produk ini sudah diproduksi oleh pengusaha Indonesia
sejak tahun 1960 an. Dessicated Coconut atau Kelapa Parut Kering adalah daging
buah kelapa yang dihaluskan, dikeringkan, dan diproses secara higienis. Produk
ini dikenal dalam empat ukuran yaitu; sangat halus, halus, sedang, kasar, dengan
bentuk potongan memanjang, keping, tipis dan parutan (Palungkun, 1992).
Pengolahan Dessicated Coconut meliputi beberapa tahap seperti seleksi
awal, pemisahan daging buah, pemotongan dan pencucian,sterilisasi,
penghancuran, pengeringan serta pengemasan. Berbagai manfaat dari dessicated
coconut antara lain: sebagai bahan tambahan pembuatan biskuit dan kue kering,
manisan kelapa, krim kelapa dan makanan ringan lain seperti coconut chips.

5.6.5. Minyak Kelapa


Minyak kelapa merupakan produk penting yang banyak dibutuhkan oleh
rumah tangga dan industri terutama industri makanan. Sebagai salah satu
komponen dari sembilan bahan pokok (sembako), saat ini keberadaannya sedang
banyak dibicarakan. Langkanya produk minyak goreng di pasaran telah
mendorong peningkatan harga. Manfaat minyak kelapa di kalangan masyarakat
Indonesia adalah sebagai media untuk memasak di dapur. Sebagai bahan untuk
menggoreng minyak kelapa merupakan elemen penting dalam pemenuhan
kebutuhan dasar manusia yaitu makan. Oleh karena itu manfaat minyak goreng
sangat besar. Selain itu minyak kelapa berguna sebagai bahan baku industri
kosmetik, sabun dan bahan kimia lainnya.
118

5.6.6. Nata De Coco


Di Indonesia pemanfaatan air kelapa belum maksimal, karena banyak yang
terbuang percuma. Namun akhir-akhir ini sudah banyak upaya memanfaatkan air
kelapa untuk diolah menjadi produk yang bernilai tinggi yaitu Nata De Coco. Di
Philipina air kelapa sudah dimanfaatkan untuk pembuatan minuman ringan, jelly,
ragi alkohol, dekstran, anggur, cuka, ethyl acetat dan lain-lain (Palungkun, 1992).
Nata De Coco mempunyai arti krim yang berasal dari air kelapa. Krim ini
dibentuk oleh mikroorganisme Acetobacter xylinum melalui proses fermentasi.
Mikroorganisme membentuk gel pada permukaan larutan yang mengandung gula.
Pembentukan Nata De Coco terjadi karena proses pengambilan glukosa dari
larutan gula dalam air kelapa oleh Acetobacter xylinum. Nata De Coco sebenarnya
tidak mempunyai nilai gizi yang berarti bagi manusia, oleh sebab itu produk ini
hanya dipakai sebagai sumber makanan rendah energi untuk keperluan diet.

5.6.7. Santan Kelapa


Penggunaan santan kelapa sebagai bahan masakan sudah merupakan hal
yang umum di kalangan masyarakat Indonesia. Santan kelapa dipergunakan
untuk bahan makanan, dan pelengkap pembuatan kue. Oleh karena itu
keberadaan santan kelapa sudah menjadi bagian dari budaya kuliner masyarakat
Indonesia. Dengan kata lain banyak bahan makanan dan kue terasa kurang
nikmat tanpa tambahan santan kelapa.
Teknik pembuatan santan kelapa terus berkembang, mulai dari manual
hingga kini menggunakan mesin. Namun cara-cara tersebut menghasilkan santan
yang tidak tahan lama karena hanya dalam beberapa jam saja, santan akan berbau
tengik. Untuk mengatasi masalah tersebut santan kelapa diawetkan dalam bentuk
pasta dan dikemas dalam kaleng atau botol. Di Lampung industri pembuatan
santan kelapa sudah berkembang sejak tahun 1990 an. Saat ini tercatat PT. Sari
Segar Husada sebagai produsen santan kelapa, dimana sebagian besar produknya
di ekspor.
119

5.6.8. Virgin Coconut Oil (VCO)


Virgin Coconut Oil atau minyak kelapa murni terbuat dari daging kelapa
segar. Prosesnya semua dilakukan dalam suhu relatif rendah. Daging buah
diperas santannya. Santan ini diproses lebih lanjut melalui proses fermentasi,
pendinginan, tekanan mekanis atau sentrifugasi. Penambahan zat kimiawi
anorganis dan pelarut kimia tidak dipakai serta pemakaian suhu tinggi berlebihan
juga tidak diterapkan. Hasilnya berupa minyak kelapa murni yang rasanya lembut
dan bau khas kelapa yang unik. Apabila beku warnanya putih murni dan dalam
keadaan cair tidak berwarna atau bening (WWW.VCO BALIWAE.COM).
Virgin Coconut Oil (VCO) merupakan salah satu produk diversifikasi
kelapa yang akhir-akhir ini sedang menjadi primadona karena beberapa
khasiatnya, disamping harganya yang tinggi cukup menggiurkan untuk
diusahakan. VCO lebih banyak dimanfaatkan sebagai bahan suplemen dan bahan
baku farmasi serta kosmetik daripada sebagai minyak goreng. Saat ini nilai
jualnya dapat meningkat lebih 500% dibanding minyak kelapa biasa yang
harganya Rp. 7000/liter (BPTP Lampung, 2006).
Berbagai macam penyakit dapat dicegah dengan mengkonsumsi VCO
karena adanya kandungan asam lemak rantai sedang seperti asam laurat dalam
VCO tersebut. Beberapa khasiat dari VCO adalah membunuh berbagai virus,
bakteri, jamur dan ragi penyebab berbagai penyakit, mencegah hipertensi,
diabetes, sakit jantung, kanker, lever dan mencegah pembesaran kelenjar prostat.

5.7. Analisis Permintaan (Demand)


Secara umum permintaan suatu komoditas pertanian dalam suatu negara
merupakan penjumlahan dari permintaan domestik (dalam negeri) dan permintaan
untuk ekspor (luar negeri). Bagi negara-negara maju umumnya mampu memenuhi
kebutuhan pangan penduduknya, sehingga kelebihan produksi dapat dialokasikan
untuk memenuhi permintaan pasar luar negeri (ekspor). Sementara itu bagi
negara-negara berkembang termasuk Indonesia, permintaan terhadap komoditas
pertanian cenderung untuk memenuhi permintaan dalam negeri, bahkan untuk
beberapa komoditas pemenuhan kebutuhan dalam negeri masih harus didatangkan
dari luar negeri (impor). Dalam penelitian ini permintaan akan dibedakan menjadi
120

dua yaitu permintaan domestik dan permintaan akan ekspor. Permintaan domestik
secara garis besar dibedakan menjadi permintaan langsung (konsumsi
rumahtangga) dan permintaan turunan (tidak langsung) yaitu permintaan untuk
bahan baku industri (Rachman, 2004).
Permintaan untuk konsumsi rumah tangga dihitung dari rata-rata konsumsi
per kapita pada tahun tertentu untuk komoditas kelapa dikalikan dengan jumlah
penduduk pada pertengahan tahun yang bersangkutan.

Permintaan
Ekspor
Permintaan Langsung
Permintaan /Konsumsi Rumah
Produk Kelapa Tangga
Permintaan
Domestik
Permintaan Tidak
Langsung/Turunan

Gambar. 20. Diagram Alur Permintaan Produk Kelapa

5.7.1. Konsumsi Produk Kelapa


Permintaan produk kelapa untuk konsumsi rumah tangga merupakan hasil
perkalian antara konsumsi perkapita pertahun dengan jumlah penduduk pada
tahun yang bersangkutan. Dalam penelitian ini konsumsi produk kelapa dibagi
menjadi dua yaitu wilayah Kabupaten lampung Barat dan Propinsi Lampung,
sedangkan jenis produk yang dihitung yaitu minyak kelapa dan kelapa butiran.
Data jumlah penduduk dan jumlah konsumsi perkapita diperoleh dari badan Pusat
statistik. Berikut ini disajikan Perkembangan Permintaan Produk Kelapa Dalam
untuk Konsumsi Rumah Tangga di Kabupaten Lampung Barat.
121

Tabel 29. Konsumsi Produk Kelapa Per Kapita Kabupaten Lampung Barat

Tahun Kelapa Butiran Minyak Kelapa


Σ Penduduk Butir/Kap Total Σ Penduduk Liter/Kap Total
2001 371,787 6.60 2,455,281 71,787 3.74 1,391,971
2002 377,298 8.79 3,315,695 377,298 4.58 1,726,516
2003 382,706 9.41 3,602,029 382,706 3.85 1,472,653
2004 388,113 11.28 4,379,467 388,113 4.00 1,554,004
2005 393,520 7.90 3,110,382 393,520 4.21 1,657,506
Sumber : BPS

KONSUMSI KELAPA BUTIRAN DI KABUPATEN LAMPUNG


BARAT TAHUN 2001-2005

5,000,000
VOLUME (BUTIR)

4,000,000
3,000,000 Σ Penduduk
2,000,000 Konsumsi

1,000,000
-
2001 2002 2003 2004 2005
TAHUN

KONSUMSI MINYAK GORENG DI KABUPATEN LAMPUNG


BARAT TAHUN 2001-2005

2,000,000
VOLUME (LITER)

1,500,000
Σ Penduduk
1,000,000
Konsumsi
500,000

-
2001 2002 2003 2004 2005
TAHUN

Gambar. 21 dan 22 Grafik Konsumsi Kelapa Minyak Goreng di Kabupaten


Lampung Barat

Pengukuran konsumsi produk kelapa butiran dan minyak di Propinsi


Lampung dihitung berdasarkan jumlah penduduk dikalikan dengan tingkat
konsumsi per kapita per tahun. Data konsumsi diperoleh dari Survei sosial
ekonomi nasional (SUSENAS) 2007 Badan Pusat Statistik.
122

Perkembangan Permintaan Produk Kelapa Dalam untuk Konsumsi Rumah


Tangga di Propinsi Lampung. Tabel berikut ini menyajikan data perkembangan
tingkat konsumsi kelapa butiran dan minyak kelapa di Propinsi Lampung Tahun
2001-2005
Tabel. 30. Perkembangan Konsumsi Kelapa dan Minyak Kelapa di propinsi
Lampung Tahun 2001-2005.
Tahun Kelapa Butiran Minyak Kelapa
Σ Penduduk Butir/Kap Total Σ Penduduk Liter/Kap Total
2001 3,465,901 6.60 22,888,810 3,465,901 3.74 12,976,333
2002 3,504,260 8.79 30,795,437 3,504,260 4.58 16,035,494
2003 3,534,975 9.41 33,271,185 3,534,975 3.85 13,602,584
2004 3,563,313 11.28 40,208,424 3,563,313 4.00 14,267,505
2005 3,596,432 7.90 28,426,199 3,596,432 4.21 15,148,172
Sumber : BPS

Konsumsi kelapa butiran di Propinsi Lampung berkisar antara 6,6 butir per
kapita per tahun sampai dengan 11,28 butir per kapita per tahun. Tingginya
konsumsi terjadi pada tahun 2004. Pada gambar berikut ditunjukkan
perkembangan tingkat konsumsi kelapa butiran di Propinsi Lampung Tahun
2001-2005.

KONSUMSI KELAPA BUTIRAN DI PROPINSI LAMPUNG


TAHUN 2001-2005

50,000,000
VOLUME (BUTIR)

40,000,000
30,000,000 Σ Penduduk
20,000,000 Konsumsi

10,000,000
-
2001 2002 2003 2004 2005
TAHUN

Gambar. 23. Grafik Konsumsi Kelapa di Propinsi Lampung

Perkembangan tingkat konsumsi minyak goreng di Propinsi Lampung


pada tahun 2001-2005 cenderung relatif konstan yaitu berkisar antara 12.976.333
liter sampai dengan 16.035.494 liter. Angka tertinggi terjadi pada tahun 2002
yaitu 16.035.494 liter. Tingginya konsumsi kelapa butiran di Propinsi Lampung
tidak terlepas dari sikap masyarakat Lampung khususnya daerah pesisir yang
123

selalu menggunakan santan sebagai bagian dari bumbu masakan penduduk.


Fenomena ini membuat tingkat konsumsi kelapa cenderung meningkat setiap
tahun seiring dengan pertumbuhan penduduk. Pada gambar berikut disajikan
perkembangan konsumsi minyak goreng di Propinsi Lampung tahun 2001-2005.

KONSUMSI MINYAK GORENG DI PROPINSI LAMPUNG TAHUN


2001-2005

20,000,000
VOLUME (LITER)

15,000,000
Σ Penduduk
10,000,000
Konsumsi
5,000,000

-
2001 2002 2003 2004 2005
TAHUN

Gambar. 24. Grafik Konsumsi Kelapa di Propinsi Lampung

5.7.2. Eskpor Produk Kelapa


Propinsi Lampung merupakan salah satu daerah penghasil produk
pertanian di Indonesia. Produk pertanian sebagian diekspor dalam bentuk produk
non olahan, juga diekspor dalam bentuk hasil industri. Produk olahan kelapa yang
diekspor dari Propinsi Lampung adalah Dessicated Coconut, Nata De Coco,
Arang Tempurung, Coco Fiber, dan Santan Kelapa. Perkembangan ekspor
produk olahan kelapa di Propinsi Lampung disajikan pada Tabel berikut ini:
Tabel. 31. Ekspor Produk Kelapa Propinsi Lampung Tahun 2001-2006
VOLUME (TON) Rata-Rata
PRODUK KELAPA Pertumbu
2001 2002 2003 2004 2005 2006
han (%)
Oil Cake, and Other 21,016.00 10,050.00 18,252.83 - 10,280.13 26,902.24 18.23
Solid Residue/Kopra A
Dessicated Coconut 2,180.49 2,898.44 1,544.15 258.47 2,220.90 5,031.28 5.90
Kelapa Butiran - - 24.49 - - - -
Coco Fiber - - - 10.79 - 38.22 -
Arang Tempurung 3,690.41 7,078.54 9,115.96 1,702.16 50.00 - (12.15)
Produk Kelapa Lain 12.25 69.00 168.20 314.76 115.00 3,434.96 716.24

Sumber Departemen Perdagangan (diolah)


Perkembangan ekspor tersebut dipengaruhi oleh terus tumbuhnya industri
pengolahan kelapa di Propinsi Lampung. Industri tersebut antara lain PT. Wong
124

Coco yang memproduksi Nata De Coco, PT. Sari Segar Husada yang
memproduksi Dessicated Coconut dan Santan Kelapa dan PT. Sinar Laut yang
memproduksi minyak kelapa. Berkembangnya industri tersebut semakin
meningkatkan aktifitas pengolahan kelapa, selain tumbuhnya usaha kecil yang
mengolah sabut kelapa, arang tempurung dan VCO. Pada gambar berikut
disajikan grafik perkembangan ekspor produk kelapa dari Propinsi Lampung pada
tahun 2001-2006.

EKSPOR PRODUK KELAPA PROPINSI LAMPUNG

30,000,000
25,000,000 COPRA COCONUT A
VOLUME (TON)

COCONUT DESSICATED
20,000,000
KELAPA BUTIRAN
15,000,000
PRODUK KELAPA LAIN
10,000,000
TEMPURUNG KELAPA
5,000,000 ARANG TEMPURUNG
-
2001 2002 2003 2004 2005 2006
TAHUN

Gambar. 25. Grafik Ekspor Produk Kelapa Propinsi Lampung

Ekspor produk kelapa Propinsi Lampung didominasi oleh kopra,


Dessicated Coconut, dan arang tempurung. Berdasarkan data di atas volume
ekspor cenderung tidak stabil. Salah satu hambatan ekspor kelapa di Propinsi
Lampung adalah kotinyuitas ketersediaan bahan baku. Kontinyuitas sangat
dipengaruhi oleh produksi di tingkat petani, karena sebagian besar produksi
kelapa berasal dari perkebunan rakyat. Kenyataan ini akan berpengaruh terhadap
Supply dan Demand produk kelapa oleh industri, disamping tingginya jumlah
konsumsi di kalangan masyarakat.
Dari data ekspor di atas terjadi penurunan tajam pada tahun 2004,
sebaliknya berdasarkan data konsumsi pada tahun yang sama terjadi peningkatan
yang besar. Fenomena ini menunjukkan bahwa rendahnya nilai ekspor produk
kelapa seperti kopra dan dessicated coconut, karena meningkatnya konsumsi
kelapa di masyarakat (Tabel 29).
Perkembangan perdagangan produk kelapa tidak hanya bersifat lokal
propinsi Lampung tetapi juga dalam skala nasional. Berdasarkan data dari Asia
125

Pacific Coconut Community (APCC) Indonesia merupakan salah satu produsen


kelapa dan produk olahan terbesar di dunia.
Negara-negara pengimpor produk kelapa Indonesia antara lain Eropa:
Bulgaria, Prancis, Jerman Georgia, Italia, Kazakhstan Latvia, Lithuania, Belanda
Protugal Rusia, Spanyol, Swedia, Ukraina dan lain-lain, Amerika antara lain:
Brazil, Meksiko, Nicaragua, Amerika Serkat. Negara-negara impotrir dari Afrika
adalah: Aljazair, Mesir, Maroko, Mozambik, Tanzania, Tunisia dan lain-lain, dan
negara-negara Importir dari Asia adalah: RRC, Australia, Timor Leste,
Hongkong, India Iran Jepang, Yordania Korea Selatan, Malaysia, Selandia Baru
Pakistan Papua Nugini, singapura, Sri Langka, Siria, Taiwan, Thailand, Vietnam
dan lain-lain.
Menurut APCC kontribusi sektor kelapa terhadap ekspor Indonesia
cenderung berfluktuasi. Pada tahun 2001-2006 berkisar antara 0,33 sampai
dengan 0,65 persen dengan rata-rata pada periode tersebut yaitu sebesar 0,40
persen. Meskipun relatif kecil, namun kontribusi ini dapat terus meningkat
seiring dengan pertumbuhan agroindustri berbasis kelapa.
Data perkembangan ekspor produk minyak kelapa Indonesia tahun 2001 sampai
dengan 2006 adalah sebagai berikut:
Tabel. 32. Perkembangan Permintaan Ekspor Produk Kelapa Indonesia Tahun
2001-2006
Volume (Ton) Rata-Rata
Produk Kelapa 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Pertum
buhan (%)
Minyak Kelapa 385,140 434,972 321,535 443,762 745,742 519,556 12.52
Dessicated 35,683 50,410 37,286 30,780 51,025 62,249 17.11
Coconut
Karbon Aktif 12,104 11,544 12,157 15,624 25,670 15,529 10.80
Coco Fiber 73 78 281 1,067 3,550 3,450 155.34
Santan 10,500 24,100 20,340 20,240 32,480 27,402 31.65
Kelapa Segar 16,613 32,891 38,321 31,619 30,799 83,600 53.17
Kopra 23,884 40,045 25,107 36,139 3,550 3,450 (3.74)

Sumber: Statistical Year Book APCC (diolah)

Gambar berikut menyajikan perkembangan secara grafis ekspor produk


kelapa Indonesia tahun 2001-2006.
126

PERKEMBANGAN EKSPOR PRODUK KELAPA INDONESIA


TAHUN 2001-2006

100,000
Dessicated Coconut
VOLUME (TON) 80,000
Karbon Aktif
60,000 Coco Fiber
40,000 Santan
Kelapa Segar
20,000
Kopra
-
2001 2002 2003 2004 2005 2006
TAHUN

Gambar. 26. Grafik Ekspor Produk Kelapa Indonesia

PERKEMBANGAN EKSPOR MINYAK KELAPA INDONESIA


TAHUN 2001-2006

800,000
700,000
VOLUME (TON)

600,000
500,000
400,000 Minyak Kelapa
300,000
200,000
100,000
-
2001 2002 2003 2004 2005 2006
TAHUN

Gambar. 27. Grafik Ekspor Minyak Kelapa Indonesia

Trend permintaan terhadap ekspor produk kelapa Indonesia mengalami


fluktuasi, hal ini dipengaruhi oleh kondisi pasar dunia, negara-negara pesaing dan
produksi kelapa rakyat. Menurut Muslim (2006) Indonesia mengalami penurunan
ekspor sebagai akibat perubahan struktur impor negara tujuan (efek struktural)
dan menurunnya daya saing (efek kompetitif).
Berdasarkan data ekpor di atas, maka dapat dianalisis proyeksi permintaan
ekspor produk kelapa Indonesia di pasar internasional. Proyeksi menggunakan
pendekatan estimasi trend. Estimasi trend menggunakan metode Kuadrat Terkecil
(Least Squares). Pemilihan metode ini karena metode ini menggunakan apa yang
secara matematik digambarkan sebagai Line of Best Fit.
127

Berdasarkan analisis trend dengan metode Kuadrat Terkecil, maka didapat


data proyeksi permintaan sebagaimana disajikan pada table berikut ini:
Tabel. 33. Hasil Analisis Trend Permintaan Ekspor Produk Kelapa Dengan
Metode Kuadrat Terkecil.
Volume (Ton) Rata-Rata
Produk Kelapa 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Pertum
buhan (%)
Minyak Kelapa 529,338 532,147 534,957 537,766 540,575 543,385 0.53
Dessicated 64,801 68,482 72,163 75,844 79,525 83,205 5.13
Coconut
Karbon Aktif 24,936 26,631 28,325 30,020 31,715 33,410 6.03
Coco Fiber 5,083 5,726 6,368 7,011 7,653 8,295 10.30
Santan 40,886 44,265 47,644 51,022 54,401 57,780 7.16
Kelapa Segar 78,274 85,052 91,831 98,610 105,389 112,167 7.46
Kopra 82,309 89,042 95,775 102,509 109,242 115,975 7.10

Pada gambar 27 dan 28 berikut disajikan grafik proyeksi permintaan Minyak


Kelapa dan Produk Olahan Kelapa lainnya Tahun 2008-2013.

PROYEKSI PERMINTAAN EKSPOR MINYAK KELAPA


INDONESIA TAHUN 2008-2013

545,000
VOLUME (TON)

540,000
535,000
Minyak Kelapa
530,000

525,000
520,000
2008 2009 2010 2011 2012 2013
TAHUN

PROYEKSI PERMINTAAN EKSPOR PRODUK KELAPA


INDONESIA TAHUN 2008-2013

140,000
120,000 Dessicated Coconut
VOLUME (TON)

100,000 Karbon Aktif


80,000 Coco Fiber
60,000 Santan
40,000 Kelapa Segar
20,000
Kopra
-
2008 2009 2010 2011 2012 2013
TAHUN

Gambar 27 dan 28. Grafik Proyeksi Permintaan Produk Kelapa Indonesia


128

Berdasarkan data ekspor produk kelapa di atas terlihat bahwa trend


permintaan ekspor Indonesia cenderung meningkat, meskipun terdapat sedikit
penurunan pada beberapa tahun tertentu. Menurut Muslim (2006) pada dasarnya
ekspor produk kelapa Indonesia tidak terspesialisai pada produk tertentu, karena
permintaan impor dari suatu negara sangat ditentukan oleh kebutuhan industri di
negara tersebut. Dengan demikian peranan barang substitusi sangat berpengaruh
terhadap produk agroindustri berbasis kelapa yang digunakan sebagai bahan baku
di negara-negara maju.
Proyeksi permintaan ekspor produk kelapa Indonesia diperkirakan akan
terus mengalami peningkatan. Beberapa hal yang mendukung peningkatan
tersebut menurut Muslim (2006) antara lain:
1. Indonesia merupakan produsen kelapa terbesar di dunia, trend produksi terus
meningkat, sedangkan negara-negara lain seperti, Malaysia, Meksiko dan
Srilanka mengalami penrunan.
2. Ekspor produk Dessicated Coconut, Crude Coconut Oil, Kopra, dan Arang
tempurung masih didominasi oleh Indonesia.
3. Dalam hal ekspor produk agroindustri berbasis kelapa, Indonesia memiliki
spesialisasi pada tujuan negara China (Kopra); Malaysia (Kelapa Segar dan
Arang Aktif), Rusia (Kopra) dan Singapura (Arang Kayu).
Hal-hal tersebut di atas mengindikasikan bahwa walaupun trend ekspor
dipengaruhi oleh produksi dalam negeri, namun prospek pasar luar negeri masih
sangat besar. Semakin berkurangnya produksi kelapa di negera-negara anggota
Asian and Pacific Coconut Community merupakan peluang bagi Indonesia untuk
meningkatkan perolehan devisa dari komoditas kelapa.
Upaya ini harus didukung oleh kebijakan pengembangan agroindustri
berbasis kelapa, tanpa mengabaikan sisi On Farm yang memainkan peranan
penting dalam menunjang produksi agroindustri. Berdasarkan tabel 31-32 di atas
terlihat bahwa ekspor rata-rata produk kelapa Indonesia sangat bervariasi
(bahkan terdapat pertumbuhan negatif). Ekspor produk kelapa Lampung terlihat
pada tabel 31., produk yang cenderung stabil yaitu Oil Cake, and Other Solid
Residue/Kopra A dan Dessicated Coconut. Sedangkan secara nasional produk
129

variabilitas pertumbuhan terdapat nilai negatif yaitu kopra (-3,74), sedangkan


Coco Fiber mencapai rata-rata 155,34 persen.
Berdasarkan hasil proyeksi perkembangan ekspor tahun 2008-2013
pertumbuhan terendah dicapai minyak kelapa yaitu 0,53 persen, dan tertinggi
terdapat pada produk Coco Fiber yaitu 10,30 persen (Tabel 33).
Ekspor produk agroindustri kelapa Indonesia memberikan sumbangan
yang cukup berarti terhadap ekspor nasional. Berdasarkan data APCC tahun 2006
selama kurun waktu 2002-2006, kontribusi sektor perkelapaan terhadap ekspor
nasional mencapai 2,08 persen dari ekspor nasional dengan rata-rata 0,42 persen
per tahun.
Pertumbuhan rata-rata permintaan ekspor produk kelapa Indonesia baik
lokal Propinsi Lampung maupun Nasional cenderung terus meningkat. Oleh sebab
itu Pemerintah Pusat dan Daerah seyogyanya dapat meningkatkan upaya
pemenuhan permintaan ekspor tersebut. Langkah ini dapat ditempuh dengan
merevitalisasi agroindustri berbasis kelapa. Di sisi lain penanganan sisi On Farm
juga harus dilakukan secara serius meliputi perbaikan kultur teknis budidaya sejak
pembibitan, perawatan dan penanganan pasca panen.
Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat, trend permintaan
ekspor yang besar tersebut merupakan peluang terkait dengan rencana
pembangunan Kawasan Usaha Agro Terpadu Berbasis Komoditas Kelapa ini.
Luas areal dan produktifitas kelapa rakyat di Kabupaten Lampung Barat Tahun
2005, yang mencapai 6.326 Ha dengan produksi mencapai 2.413,0 ton, dan
produktifitas 681 Kg/Ha/Tahun dalam bentuk Kopra, tergolong sangat rendah.
Produktifitas optimal kelapa dapat mencapai 1,5-2,0 ton kopra/ha/tahun atau
setara 7.000-10.000 butir /ha/tahun.
Berdasarkan analisis kesesuaian lahan kelapa diketahui bahwa di wilayah
pesisir Kabupaten Lampung Barat, lahan yang sesuai (S1-S3) mencapai 190.892
ha atau 64,94 persen dari luas wilayah pesisir. Luas areal eksisting perkebunan
kelapa rakyat di Kabupaten Lampung baru mencapai 6.326 ha. Dengan demikian
potensi pengembangan masih sangat besar. Hal ini menjadi peluang dari sisi
budidaya dalam rangka mendukung program KUAT. Menurut buku Road Map
komoditas kelapa di Kabupaten Lampung Barat proyeksi penambahan luas areal
130

yaitu 5 persen per tahun sampai dengan tahun 2011. Pada Tahun 2011
diproyeksikan areal perkebunan kelapa akan bertambah sebesar 1,879.10 ha.
Dari angka tersebut 1,082.38 atau 57,6 persen diarahkan ke wilayah pesisir.
Angka tersebut relatif kecil, namun diharapkan dapat memberikan dampak
terhadap pengembangan areal dan wilayah setempat.
Oleh karena itu produk yang dianggap sebagian masyarakat sebagai pohon
kehidupan ini perlu mendapat perhatian yang serius oleh pemerintah. Besarnya
pangsa ekspor harus dimanfaatkan dengan cepat oleh pemerintah dan masyarakat
perkelapaan, ditengah semakin lemahnya isu pengembangan kelapa terkait
dengan maraknya pengembangan kelapa sawit oleh perusahaan swasta.
Pemenuhan kebutuhan ekspor produk kelapa memerlukan kerja keras para
stakeholder usaha tani kelapa. Hal ini terkait dengan kontinyuitas produksi,
karena di Kabupaten Lampung Barat seluruh areal perkebunan kelapa merupakan
usaha tani rakyat, dengan skala kecil dan teknologi sederhana. Namun demikian
gairah petani kelapa akan semakin tinggi bila ada jaminan kepastian harga dan
kemudahan pemasaran produk.

5.8. Arahan Pengembangan Kawasan Usaha Agro Terpadu


Pembangunan suatu kawasan agroindustri terpadu pada prinsipnya
merupakan langkah mempercepat pertumbuhan suatu wilayah dengan motor
penggerak ekonomi dari sektor industri. Konsep tersebut sangat tepat bila
dilaksanakan pada daerah dengan sumberdaya yang memadai untuk
kelangsungan proses produksi, disamping kebijakan pemerintah setempat.
Pembangunan klaster agroindustri membutuhkan biaya dan harapan yang
besar di masyarakat. Berdasarkan hal tersebut arahan program pengembangan
kawasan perlu disusun sesuai dengan potensi dan kondisi yang ada. Melalui
Pembangunan Kawasan Agrousaha Terpadu diharapkan dapat menjadi salah satu
solusi dalam upaya peningkatan nilai tambah komoditas kelapa.
Arahan pembangunan klaster agro usaha terpadu di Kabupaten Lampung
Barat berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan berdasarkan : lokasi, produk
terpilih, pelaku kegiatan, dan prospek pemasaran. Secara rinci dapat dilihat pada
Tabel berikut ini:
131

Tabel. 34. Arahan Pengembangan Kawasan Agro Usaha Terpadu


Uraian Pelaku Tujuan Arahan
Pembangunan Kawasan Pemerintah Daerah Meningkatkan Nilai Kawasan Agrousaha
Agrousaha Terpadu Tambah Produk Terpadu
Kelapa, Memacu
Pertumbuhan Eko
nomi Wilayah
Pemilihan Lokasi Pemerintah Daerah Memudahkan koordi Alternatif 1: Desa
nasi, ketersediaan Biha, Marang
bahan baku, Sumber Agung dan
kedekatan dengan NR. Ngambur
lokasi pemasaran Alternatif 2:
Meningkatkan Desa Way Redak,
Keuntungan Usaha Kampung Jawa,
Pasar Krui, Seray,
dan Walur.
Pemilihan Produk Prospektif Pengelola KUAT Pemilihan Produk Produk dengan
yang memiliki nilai Quality Contorl ketat
tambah dan pasar dilakukan oleh
yang dapat dikelola manajemen Kawasan
oleh manajemen seperti: Dessicated
Kawasan Coconut, Minyak
Kelapa, Santan
Kelapa
Petani/UKM Pemanfaatan hasil Produk dengan
sampingan produk teknologi dan modal
kelapa dengan target yang tidak terlalu
pasar lokal dan besar seperti :Coco
ekspor, serta dapat Fiber, Arang Aktif,
dilakukan oleh Nata De Coco, Coco
petani/kelompok tani Peat, VCO, dikelola
oleh UKM/
Masyarakat.
Prospek Pemasaran
- Rantai Tata Niaga Kelapa Pemerintah Daerah Mengetahui sistem Mengurangi rantai
UKM, Pengusaha pemasaran produk tata niaga yang
Swasta kelapa, sehingga panjang melalui
dapat dilakukan peningkatan nilai
perbaikan sistem tambah agar produk
yang tepat dapat diolah.
- Identifikasi Permintaan Produk Pemerintah Daerah Pemilihan produk Minyak Kelapa,
Olahan Kelapa UKM, Pengusaha yang bernilai jual Dessicated Coconut,
Swasta skala ekspor Santan Kelapa,
berdasarkan data-data Arang Aktif, Coco
statistic perdagangan Fiber, Kopra
produk kelapa
Persepsi Masyarakat Pemerintah Daerah, Mengupayakan Melibatkan peran
Lembaga Penelitian, program dapat serta masyarakat
Petani diterima oleh dalam proses pem
masyarakat secara bangunan penge
sosial dan budaya. lolaan sampai dengan
pemanfaatan hasil
Kondisi Eksisting Perkebunan Pemerintah Daerah Mendapatkan Melaksanakan pen
Kelapa Lembaga Penelitian, gambaran kondisi dekatan pada sisi On
Petani eksisting perkebunan Farm melalui per
kelapa rakyat, baikan sistem budi
sehingga pemilihan aya untuk men
program dapat dukung agroindustri
berjalan efektif
132

Pemilihan lokasi untuk kawasan agroindustri kelapa merupakan


wewenang Pemerintah Daerah. Tanpa perencanaan lokasi yang tepat perusahaan
pengelola dapat terjebak pada persoalan biaya yang tinggi, kondisi sosial
masyarakat tidak kooperatif, jarak ke konsumen yang jauh dan kurangnya
kontinyuitas bahan baku yang berakibat tidak efisiennya proses produksi.
Berdasarkan hasil analisis alternatif lokasi yaitu Alternatif 1: Desa Biha, Marang
Sumber Agung dan NR. Ngambur, sedangkan Alternatif 2: Desa Way Redak,
Kampung Jawa, Pasar Krui, Seray, dan Walur. Namun keputusan final berada di
tangan pemerintah daerah yang akan memilih lokasi paling ekonomis dan secara
sosial dapat diterima masyarakat.
Pemilihan produk prospektif didasarkan pada pendapat para ahli dan
analisis permintaan produk olahan komoditas kelapa dalam. Dessicated Coconut,
Minyak Kelapa, dan Santan Kelapa merupakan hasil olahan yang banyak
dibutuhkan oleh pasar lokal maupun ekspor. Namun demikian produk-produk
tersebut memerlukan teknologi dan pengawasan mutu serta biaya produksi yang
besar. Oleh karena itu maka sebaiknya produksi dilakukan oleh perusahaan di
dalam kawasan.
Sebaliknya produk dengan teknologi dan modal yang tidak terlalu besar
seperti : Coco Fiber, Arang Aktif, Nata De Coco, Coco Peat, VCO, dikelola oleh
UKM/ Masyarakat. Keterlibatan pihak UKM dan masyarakat dapat mendorong
percepatan pemanfaatan hasil olahan komoditas kelapa, disamping dapat
meningkatkan misi sosial perusahaan. Produk-produk di atas sangat prospektif
karena memiliki pasar lokal dan ekspor, selain itu pengembangannya
memanfaatkan bagian lain dari daging buah kelapa, sehingga mendukung
keterpaduan pemanfaatan komoditas kelapa.
Peningkatan pemahaman dan persepsi masyarakat tentang program ini
penting dilakukan pemerintah, karena menyangkut komoditas dalam suatu
wilayah sehingga seharusnya dipahami oleh berbagai stakeholder. Sedangkan
keragaan perkebunan kelapa merupakan gambaran awal yang perlu diketahui
oleh Pemerintah Daerah dalam menyusun arahan guna mendukung program
pengembangan kawasan agroindustri terpadu berbasis komoditas kelapa.
133

Rantai tata niaga kelapa di Kabupaten Lampung Barat yang bersifat


monopsoni, merupakan fenomena umum dalam sistem pamasaran produk
pertanian di Indonesia. Kondisi yang kurang menguntungkan pihak petani seperti
ini dapat dikurangi melalui peran aktif Pemerintah Daerah dalam
memberdayakan petani kelapa. Diharapkan melalui pembangunan kawasan agro
industri terpadu ini permasalahan tersebut secara perlahan dapat tertangani.
Menurut Soekartawi (2005), sebagai motor penggerak pembangunan
pertanian, agroindustri diharapkan akan dapat memainkan peranan penting dalam
kegiatan pembangunan daerah, baik sasaran pemerataan pembangunan,
petumbuhan ekonomi maupun stabilitas nasional. Banyak harapan telah
ditumpukkan pada agroindustri, namun harapan besar tersebut perlu melihat
potensi yang ada. Untuk mengubah potensi tersebut menjadi kenyataan, berbagai
apspek harus dikaji lebih mendalam apakah agroindustri yang dikembangkan
tersebut dapat menjalankan peranannya seperti yang diharapkan.
Pembangunan agroindustri kelapa selama ini belum memberikan pengaruh
pada peningkatan kesejahteraan petani, hal ini disebabkan petani hanya sebagai
pemasok bahan baku, dan belum terlibat dalam peningkatan nilai tambah. Disisi
lain keberadaan masyarakat di sekitar lokasi pabrik belum berpartisipasi secara
aktif, karena keberadaan industri merupakan milik swasta yang memerlukan
tenaga terampil. Partisipasi aktif masyarakat dalam proses peningkatan nilai
tambah produk kelapa juga perlu dirumuskan dalam kawasan agrousaha terpadu
di Kabupaten Lampung Barat. Pembangunan klaster kelapa terpadu dengan
berbagai elemen yang dapat berperan dengan motor utama pengelola kawasan,
merupakan salah satu model pembangunan wilayah berbasis komoditas.
Kawasan industri seringkali juga dikenal dengan istilah klaster. Sementara
klaster dapat diartikan sebagai pusat perekonomian dalam suatu wilayah yang
merupakan kelompok perusahaan, yang ditandai oleh tumbuhnya pengusaha-
pengusaha yang menggunakan teknologi lebih maju, berkembang spesialisasi
proses produksi pada perusahaan-perusahaan dan kegiatan ekonominya saling
terkait dan saling mendukung.
Dalam klaster yang telah berkembang dengan baik, kelompok usaha yang
terdapat dalam kesatuan geografis bukan saja melibatkan usaha yang saling terkait
134

mulai dari hulu sampai hilir, tetapi juga terdapat aktivitas-aktivitas jasa yang
menunjang seperti lembaga penelitian dan pengembangan yang menunjang
aktivitas usaha dalam klaster (Taufiq, 2004). Secara tersirat, klaster industri
menunjukkan bahwa kompetensi pelaku usaha menjadi syarat utama bagi
penciptaan keunggulan kompetitif. Kompetensi ini juga mencerminkan
pemahaman nilai-nilai dan perilaku usaha, pengalaman, pengetahuan dan
kapasitas usaha.
Faktor lokasi juga menentukan tingkat perkembangan klaster. Klaster
yang ada di daerah perdesaan umumnya mempunyai usaha produktif yang sangat
terbatas akibat kelangkaan sumberdaya manusia dan prasana.
Pihak-pihak yang dapat terlibat dalam proses peningkatan nilai tambah
kelapa secara terpadu antara lain: Pemerintah Daerah, Manajemen Pengelola
Kawasan, Lembaga Pendampingan Petani, Lembaga Penelitian dan
Pengembangan, Lembaga Sosial Perkelapaan, UKM, Lembaga Keuangan, dan
Kelompok Petani/Masyarakat Petani Kelapa.
Peranan masing-masing dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Pemerintah Daerah : sebagai pemilik program sekaligus regulator dalam
wilayah setempat, peranan pemerintah daerah lebih banyak sebagai
koordinator dan motivator pelaksanaan jalannya klaster agrousaha terpadu.
Semakin berkembang klaster, maka peranan Pemerintah Daerah akan semakin
berkurang.
2. Pengelola kawasan usaha agro terpadu : pengelola dan pelaksana produksi
kawasan berfungsi sebagai produsen produk berteknologi dan Quality Control
yang ketat. Pengelola kawasan dapat berbentuk badan usaha milik daerah
(BUMD). Selain untuk membantu proses produksi, menurut Dirdjojuwono
(2004) pengelola kawasan dapat memberikan jasa pelayanan kepada investor
dalam kawasan industri antara lain: 1) menjual tanah kavling siap bangun
dalam kawasan, 2) menyewakan kavling siap bangun, 3) menyewakan
bangunan untuk usaha industri, 4) menjual bangunan untuk usaha industri, dan
5) menyewakan lahan untuk material dan barang produksi jadi (stockyard).
3. Lembaga Pendamping Petani : merupakan organisasi non pemerintah yang
berfungsi membantu petani dalam produksi hasil olahan. Lembaga
135

pendamping merupakan organisasi yang berlokasi di sekitar kawasan, dan


memahami kondisi sosial dan ekonomi petani/kelompok masyarakat yang
didampingi. Selain itu Lembaga Perguruan Tinggi setempat dapat berperan
sebagai pendamping masyarakat.
4. UKM (Usaha Kecil dan Menengah) : merupakan kelompok usaha individu
ataupun kelompok yang mengolah produk samping kelapa. Produk tersebut
berasal dari sabut kelapa, tempurung dan air kelapa.
5. Lembaga Keuangan : merupakan lembaga yang memberikan pinjaman
pembiayaan bagi proses produksi di tingkat kelompok tani/masyarakat petani
kelapa. Lembaga keuangan dapat berbentuk Koperasi, Bank atau penyedia
jasa keuangan yang ditunjuk pemerintah daerah.
6. Lembaga Penelitian dan Pengembangan Teknologi : merupakan institusi yang
bertanggungjawab dalam pengembangan teknologi di bidang produk
perkelapaan. Lembaga ini dapat berupa Balai Pengkajian dan Teknologi
Pertanian (BPTP) yang bernaung di bawah Departemen Pertanian, atau Balai
Besar Industri Agro yang berada di bawah Departemen Perindustrian serta
Perguruan Tinggi yang ikut serta dalam melakukan penelitian di bidang
perkelapaan.
7. Lembaga Sosial Perkelapaan : merupakan organisasi masyarakat dan profesi
yang bergerak di bidang komoditas kelapa. Lembaga tersebut dapat berupa
Kelompok Tani Kelapa, Forum Kelapa Indonesia (FOKPI) dan APCC dapat
berperan dalam mendukung pemberdayaan petani kelapa. Dalam sistem ini
keberadaan lembaga ini diharapkan dapat membantu petani dalam
meningkatkan peranan kelembagaan.
8. Petani Kelapa : merupakan individu ataupun kelompok tani yang
membudidayakan kelapa. Petani berfungsi sebagai mitra dalam penyediaan
bahan baku, proses jual beli melalui kesepakatan harga antara kedua belah
pihak, dengan prinsip kesetaraan.
9. Sistem : merupakan hubungan antar pelaku dalam kawasan klaster
agroindustri yang saling menguntungkan, kooperatif dan saling membina.
Berjalannya sistem akan memberikan dampak pada keberlangsungan kegiatan
produksi di kawasan.
136

Secara skematis keterpaduan pengembangan kawasan usaha agro terpadu


di Kabupaten Lampung Barat ditunjukkan pada gambar berikut ini:

PASAR NASIONAL /
INTERNASIONAL PEMERINTAH
DAERAH

PRODUK MINYAK PRODUK SERABUT,


KELAPA, DESSICATED ARANG, NATA DE
COCONUT, SANTAN COCO, COCO PEAT
KELAPA

Pengelola UKM
PENDAMPING PETANI

Kawasan
Usaha Agro
Terpadu
SABUT KELAPA,
) TEMPURUNG DAN
AIR KELAPA
KELAPA
BUTIRAN

Kelompok Kelompok
Tani/Masyarakat Tani/Masyarakat
Petani Kelapa Petani Kelapa

LEMBAGA SOSIAL Lembaga Lembaga Litbang


PERKELAPAAN Keuangan Teknologi

Gambar 29. Bagan alir pengelolaan kawasan usaha agro terpadu.

Penjelasan gambar di atas adalah sebagai berikut: Pengelola kawasan


membeli produk kelapa bulat dari masyarakat. Kelapa selanjutnya dikupas untuk
diambil daging buahnya dan diolah menjadi Dessicated Coconut, Minyak Kelapa
atau Santan Kelapa. Air, tempurung dan sabut kelapa dikembalikan kepada
UKM untuk diolah menjadi produk Coco Fiber, Arang Aktif, Nata De Coco dan
Coco Peat, dengan standar mutu yang ditetapkan.
137

Penanganan produksi di tingkat UKM didampingi oleh Lembaga


Pendamping agar standar mutu yang ditetapkan oleh pengelola kawasan.
Pendampingan terhadap kelompok meliputi: manajemen, pengelolaan keuangan
dan pemberdayaan. Lembaga ini mendapatkan imbalan berupa Fee dari
kelompok yang didampinginya. Pengelola kawasan akan menampung produk
olehan dari UKM dan memasarkan pada pasar nasional ataupun ekspor.
Harga produk olahan UKM ditentukan oleh pengelola kawasan dengan
sistem terbuka tergantung kondisi pasar ekspor. Keterbukaan dilakukan dengan
secara transparan kepada UKM tentang kondisi pasar produk di tingkat dunia.
Hal ini berguna untuk menjamin kepercayaan di tingkat petani, kegagalan
kemitraan selama ini karena lemahnya keterbukaan terutama di tingkat
perusahaan.
Pemerintah daerah berperan mengawasi proses perjalanan kemitraan,
menjadi mediator bagi berbagai pihak serta mengkoordinir instansi teknis lainnya
dalam wilayah Kabupaten Lampung Barat dalam mendukung program-program
guna keberlangsungan pembangunan klaster. Lembaga keuangan berfungsi
memberikan pinjaman kepada petani dan UKM. Pembiayaan dapat berupa
pinjaman berbunga lunak dengan jaminan dari pemerintah daerah. Melalui
pembiayaan ini, UKM mendapat kepastian permodalan tanpa harus terjerat pada
rentenir. Sedangkan lembaga penelitian berfungsi dalam mengkaji teknologi
terbarukan dalam kegiatan produksi.
Dalam proses pengembangan ke depan, pengelola kawasan akan
memainkan peranan yang lebih besar dalam melayani UKM dan para investor.
Melalui jenis pelayanan atau jasa yang akan dijual pengelola kawasan dapat
melakukan survei pasar, kira-kira jasa apa yang dapat dijual dalam kawasan usaha
agro terpadu di Kabupaten Lampung Barat. Dalam menentukan biaya pelayanan
(service charge), pengelola kawasan harus berkoordinasi dengan pemerintah
daerah dan investor sehingga harga yang ditetapkan dapat disepakati oleh
berbagai pihak. Pada prinsipnya pengelola kawasan akan menjadi fasilitator
dalam proses pemanfaatan untuk pengembangan dan investasi di dalam kawasan.
Arahan tersebut diharapkan dapat meningkatkan optimalisasi pemanfaatan produk
primer dan ikutan tanaman kelapa.di wilayah Kabupaten Lampung Barat.

Anda mungkin juga menyukai