BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
dengan nilai LQ>1, selanjutnya Kecamatan Pesisir Tengah desa dengan nilai LQ.1
berjumlah 9 desa (45 persen), Kecamatan Karya Penggawa 6 desa (60 persen)
yang memiliki nilai LQ>1, Kecamatan Pesisir Utara terdapat 11 desa ( (68 persen)
yang memiliki LQ>1 dan 4 desa (36 persen) pada Kecamatan Lemong yang
memiliki nilai LQ kelapa>1.
Sebagai daerah dengan mata pencaharian pokok penduduk bertumpu pada
sektor pertanian, peranan komoditas perkebunan lainnya seperti Kopi, Cengkeh,
Lada dan Kelapa Sawit di wilayah pesisir cukup dominan. Hal ini ditunjukkan
dengan nilai LQ>1 pada beberapa desa. Di Kecamatan Bengkunat, terdapat 8
desa yang memiliki nilai LQ>1 untuk komoditas Kopi, 6 desa untuk komoditas
Cengkeh, 5 desa untuk komoditas Lada dan 7 desa memiliki nilai LQ> 1 untuk
komoditas Kelapa Sawit.
Keberadaan komoditas Kopi, Lada, dan Cengkeh merupakan bentuk pola
budidaya masyarakat pesisir yang menggunakan sistem budidaya kebun campuran
dengan tanaman Damar atau dikenal dengan istilah Repong Damar. Tanaman
tersebut merupakan bagian dari usaha budidaya Damar yang tumbuh dengan baik
pada pola kebun campuran Kopi, Lada, Cengkeh dan tanaman buah-buahan
lainnya. Sedangkan Kelapa Sawit di Kecamatan Bengkunat merupakan
perkebunan perusahaan swasta PT. Karya Canggih Mandirutama (PT. KCMU),
yang mengusahakan perkebunan Kelapa Sawit dengan Pola Perkebunan Inti
Rakyat (PIR).
Kecamatan Pesisir Selatan nilai LQ>1 tanaman kelapa hanya terdapat
pada 3 desa, sedangkan tanaman Kopi terdapat 7 desa yang memiliki nilai LQ>1,
3 desa untuk tanaman Cengkeh, dan 5 desa untuk komoditas Lada serta 2 desa
untuk Kelapa Sawit. Seperti halnya Kecamatan Bengkunat, di kecamatan ini pola
pengusahaan tanaman perkebunan dengan sistem Repong Damar.
Peranan sektor perkebunan tidak begitu besar di Kecamatan Pesisir
Tengah, hal ini terbukti dengan nilai LQ>1 hanya terdapat pada beberapa desa
yaitu kelapa 8 desa, Kopi terdapat pada 4 desa, Cengkeh 5 desa, dan 3 desa untuk
tanaman Lada. Sedangkan tanaman Kelapa Sawit belum ada di Kecamatan ini.
Rendahnya peranan sektor perkebunan karena Kecamatan Pesisir Tengah
merupakan wilayah yang relatif lebih maju dari kecamatan lain dalam wilayah
73
pesisir Kabupaten Lampung Barat. Hal ini disebabkan aktifitas ekonomi lebih
bertumpu pada sektor perdagangan komoditas pertanian, kehutanan, dan jasa.
Sebagai kecamatan yang memiliki jumlah desa paling sedikit, Karya
Penggawa, merupakan wilayah penyangga dan pemasok hasil perkebunan untuk
wilayah Pesisir Tengah. Berdasarkan hasil analisis LQ diketahui bahwa desa-desa
yang memiliki nilai LQ>1 untuk komoditas Kelapa terdapat pada 6 desa, Kopi
terdapat 1 desa, Cengkeh 1 desa dan 3 desa untuk komoditas Lada, sedangkan
Kelapa Sawit tidak terdapat di wilayah ini. Rendahnya peranan sektor
perkebunan terutama komoditas Kopi, dan Cengkeh karena sebagian wilayah ini
berada pada daerah hutan Taman Nasional dan pantai.
Kecamatan Pesisir Utara merupakan daerah perbukitan, dimana usaha
budidaya pertanian berada di sekitar hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
Budidaya pertanian di kecamatan ini merupakan campuran antara tanaman
perkebunan dan kehutanan yaitu Damar. Berdasarkan hasil analisis LQ diketahui
bahwa kontribusi beberapa komoditi antara lain: Kelapa dengan nilai LQ>1
terdapat pada 12 desa, kopi dengan 3 desa, Cengkeh terdapat pada 12 desa, dan
Lada terdapat pada 8 desa. Peranan sektor perkebunan sangat besar karena
terdapat satu pulau yaitu Pulau Pisang dimana mata pencaharian penduduk sangat
tergantung pada komoditas Kelapa dan Cengkeh serta perikanan tangkap.
Sedangkan wilayah pegunungan Kecamatan Pesisir Utara didominasi oleh
perkebunan campuran Cengkeh, Kopi dan Damar.
Kecamatan Lemong merupakan wilayah yang berada di sisi paling Utara
Pesisir Kabupaten Lampung Barat dan berbatasan langsung dengan Propinsi
Bengkulu. Wilayah pantai dengan bagian daratan berupa punggung Bukit Barisan
Selatan, maka mata pencaharian masyarakat bergantung pada sektor perkebunan.
Hasil analisis LQ menunjukkan bahwa terdapat 4 desa dengan nilai LQ>1, 4 desa
untuk komoditas kopi, 5 desa untuk komoditas Cengkeh, dan 5 desa untuk
komoditas Lada. Sedangkan Kelapa Sawit belum diusahakan di wilayah ini. Pada
kecamatan Lemong dan Pesisir Utara produksi hasil perkebunan sulit terdata
secara detil karena banyak lahan yang merupakan kawasan hutan lindung dan
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
74
Secara lengkap hasil analisis LQ komoditas kelapa berdasarkan indeks luas panen
dapat dilihat pada Tabel 19 berikut ini.
Tabel 19. Hasil analisis Location Quotient desa-desa pesisir Kabupaten Lampung
Barat.
No NAMA DESA KELAPA KOPI CENGKEH LADA K. SAWIT
KECAMATAN BENGKUNAT
1 W H BELIMBING 1.01 1.47 - 2.10 -
2 BANDAR DALAM 4.43 1.33 1.00 0.80 -
3 KOTA JAWA 0.94 1.40 0.15 2.19 -
4 PENYANDINGAN 0.67 1.33 - 2.39 -
5 SUKAMARGA 0.01 0.97 - 1.62 0.82
6 KOTA BATU 4.08 0.74 11.07 0.40 -
7 PARDASUKA 0.52 0.78 0.30 0.62 1.59
8 RAJABASA 0.28 1.13 12.22 0.37 0.62
9 MULANG MAYA 0.59 2.95 2.20 0.32 0.01
10 NRATU NGARAS 2.94 0.79 13.62 0.48 -
11 G CAHYA KUNINGAN 0.92 0.72 0.27 0.18 1.83
12 N.R. NGAMBUR 1.40 0.14 0.04 0.13 2.18
13 PEKONMON 1.70 0.16 0.11 0.10 2.11
14 SUMBER AGUNG 6.56 0.36 - 0.18 0.66
15 PAGAR BUKIT 0.44 0.65 1.15 0.52 1.71
16 TANJUNG KEMALA 0.64 1.29 0.57 0.53 1.22
17 ULOK MUKTI 0.75 1.29 0.57 0.53 1.22
18 SUKA NEGARA 1.20 0.56 0.45 1.20 0.80
19 MUARA TEMBULIH 1.70 0.16 0.11 0.10 -
20 SUKA BANJAR 1.20 0.59 0.60 0.70 -
KECAMATAN PESISIR SELATAN
21 MARANG 0.50 0.22 0.49 0.47 1.57
22 WAY JAMBU 0.75 0.51 - 1.53 1.26
23 BIHA 1.54 0.71 0.25 0.81 0.77
24 TANJUNG SETIA 2.53 1.41 2.65 - -
25 PAGAR DALAM 0.00 4.44 - - -
26 TANJUNG JATI 0.41 6.27 - - -
27 SUMUR JAYA 1.23 2.21 - 8.42 -
28 PELITA JAYA 0.49 4.80 5.33 4.17 -
29 SUKARAME 0.80 3.60 - 6.84 -
30 N.R TENUMBANG 0.45 4.42 13.10 4.80 -
KECAMATAN PESISIR TENGAH
31 BALAI KENCANA 1.23 0.97 0.60 1.01 -
32 WAY SULUH 1.32 1.57 0.36 0.27 -
33 WAY NAPAL 1.65 - 0.43 - -
34 PADANG HALUAN 1.88 - - - -
35 LINTIK 0.01 0.28 0.53 0.71 -
36 WALUR 1.88 - - - -
37 PEMERIHAN 1.21 0.92 0.70 0.79 -
38 WAY REDAK 1.43 1.42 0.27 - -
39 SERAY 0.16 - 2.48 2.94 -
40 KAMPUNG JAWA 1.88 - - - -
75
Tabel 19 (lanjutan)
41 RAWAS 0.15 - 2.32 3.74 -
42 PASAR KRUI - - - - -
43 SUKANEGARA 0.17 1.45 2.08 - -
44 PAHMUNGAN 0.14 1.93 2.43 - -
45 PAJAR BULAN - - - - -
46 BUMIWARAS - - - - -
47 PENGGAWA V ILIR - - - - -
48 BANJAR AGUNG 0.63 - 2.28 - -
49 ULU KRUI 1.21 0.92 0.70 0.79 -
50 GUNUNG KEMALA 0.13 6.25 0.48 1.44 -
KECAMATAN KARYA PENGGAWA
51 MENYANCANG 2.75 0.13 0.16 0.87 -
52 PENGGAWA V TENGAH 2.87 0.06 0.23 0.39 -
53 LAAY 2.14 0.45 0.62 0.14 -
54 PENGGAWA V ULU 1.97 0.60 0.32 1.46 -
55 PENENGAHAN 0.00 0.98 0.79 3.33 -
56 WAY NUKAK 1.82 0.25 0.91 1.40 -
57 KEBUAYAN 2.18 0.45 0.55 0.25 -
58 WAY SINDI 0.08 1.49 1.44 0.87 -
KECAMATAN PESISIR UTARA
59 WALUR 0.62 1.20 0.50 1.54 -
60 PADANG RINDU 3.61 0.03 0.41 0.46 -
61 KURIPAN 2.88 0.03 1.86 1.50 -
62 NEGERI RATU 2.74 0.16 1.34 1.70 -
63 KERBANG LANGGAR 0.00 1.24 1.23 2.52 -
64 KERBANG DALAM 0.41 0.52 4.28 3.55 -
65 BALAM 1.52 0.55 2.03 1.80 -
66 WAY NARTA 1.31 0.37 3.39 2.50 -
67 KOTA KARANG 2.17 0.29 2.34 1.03 -
68 BATURAJA 0.21 1.48 0.23 0.64 -
69 SUKAMARGA 1.97 - 5.08 - -
70 PEKON LOK 1.43 - 6.47 - -
71 BANDAR DALAM 1.54 - 6.18 - -
72 PASAR PULAU PISANG 1.31 - 6.77 - -
73 SUKADANA 1.40 - 6.53 - -
74 LABUHAN 1.31 - 6.77 - -
KECAMATAN LEMONG
75 PENENGAHAN 0.83 0.93 4.30 1.04 -
76 BANDAR PUGUNG 1.79 0.86 0.78 1.00 -
77 PAGAR DALAM 0.52 1.44 0.65 0.60 -
78 BAMBANG 0.93 0.61 1.13 1.48 -
79 MALAYA 0.00 0.61 1.16 1.58 -
80 CAHAYA NEGERI 0.17 1.26 0.26 0.90 -
81 LEMONG 0.80 1.14 0.60 0.88 -
82 WAY BATANG 5.32 0.49 0.47 0.66 -
83 TANJUNG SAKTI 3.77 0.58 1.08 0.88 -
84 TANJUNG JATI 3.11 0.61 1.39 0.98 -
85 RATA AGUNG 0.03 1.08 0.55 1.13 -
76
Tabel 20. Hasil analisis Skalogram desa-desa pesisir Kabupaten Lampung Barat.
Jumlah Luas Total Jumlah Jenis Hierarki
No Nama Desa Penduduk Desa (Ha) Fasilitas Fasilitas Wilayah
KECAMATAN BENGKUNAT
1 PENYANDINGAN 2213 960 81.00 26 1
2 PAGAR BUKIT 3711 11008 82.00 27 1
3 PARDA SUKA 2304 7570 84.00 27 1
4 SUMBER AGUNG 1640 7252 34.00 25 1
5 WAY HARU 2888 13550 39.00 18 2
6 BANDAR DALAM 3633 2626 39.00 16 2
7 TANJUNG KEMALA 2550 11550 67.00 20 2
8 G CAHYA KUNINGAN 4490 3215 42.00 21 2
9 N RATU NGAMBUR 2010 2041 64.00 24 2
10 ULOK MUKTI 2860 956 42.00 15 2
11 SUKA BANJAR 2442 1140 43.00 15 2
12 KOTA JAWA 3717 15160 66.00 14 3
13 SUKAMARGA 4105 14400 41.00 14 3
14 RAJA BASA 1201 5413 21.00 11 3
15 MULANG MAYA 772 9023 24.00 13 3
16 NEGERI RATU NGARAS 2337 13500 24.00 10 3
17 KOTA BATU 1520 7000 16.00 10 3
18 PEKON MON 3422 6676 39.00 14 3
19 SUKA NEGARA 1136 1264 29.00 13 3
20 MUARA TEMBULIH 727 1211 10.00 8 3
KECAMATAN PESISIR SELATAN
21 BIHA 4770 2526 117.00 31 1
22 MARANG 4468 4512 98.00 23 2
23 WAY JAMBU 3678 18590 72.00 22 2
24 SUMUR JAYA 1455 9313 42.00 17 2
25 TANJUNG SETIA 1364 6680 21.00 14 3
26 PAGAR DALAM 608 2165 13.00 8 3
27 TANJUNG JATI 332 2165 15.00 12 3
28 PELITA JAYA 1455 9313 31.00 10 3
29 SUKARAME 798 5052 10.00 9 3
30 NR. TENUMBANG 2125 15349 44.00 12 3
KECAMATAN PESISIR TENGAH
31 PASAR KRUI 8598 546 207.00 31 1
32 BALAI KENCANA 1720 984 32.00 18 2
33 WAY REDAK 797 393 23.00 16 2
34 SERAY 1300 492 27.00 16 2
35 KAMPUNG JAWA 2096 345 34.00 22 2
36 RAWAS 1193 464 30.00 15 2
37 ULU KRUI 2833 1803 33.00 22 2
38 WAY SULUH 1505 600 14.00 10 3
39 WAY NAPAL 860 508 17.00 11 3
40 PADANG HALUAN 665 264 19.00 13 3
41 LINTIK 1509 328 26.00 13 3
42 WALUR 526 437 37.00 11 3
81
Mengacu pada hasil analisis di atas, potensi lahan untuk tanaman kelapa
sangat luas, dimana wilayah yang sesuai (S1 dan S2) untuk tanaman kelapa
mencapai 105.919 ha. Sedangkan lahan yang sesuai marjinal 84.973 ha.
Berdasarkan data statistik Perkebunan Kabupaten Lampung Barat Tahun
2006, luas areal tanaman kelapa mencapai 6.809,6 ha, kondisi tersebut
menggambar potensi pengembangan areal perkebunan kelapa di wilayah pesisir
masih sangat besar. Potensi tersebut belum tergarap secara maksimal karena
banyak keterbatasan seperti: sarana produksi, sumberdaya manusia, preferensi
petani dan kebijakan pemerintah.
Menurut buku satuan lahan Lembaran Kota Agung Pusat Penelitian Tanah
Departemen Pertanian, dijelaskan bahwa di daerah pesisir Lampung Barat,
merupakan dataran rendah yang terletak pada ketinggian 0-20 meter dari
permukaan laut (m dpl), banyak dijumpai tanah jenis Entisol/Alluvial
(Tropopsamments) yang merupakan tanah belum berkembang dan cocok untuk
perkebunan kelapa. Selanjutnya dibagian Barat pesisir juga dijumpai Grup Teras
Marin yang terletak pada ketinggian 0-200 m dpl dengan jenis tanah utama
85
Potensial 3 : Pada wilayah tersebut memiliki kesesuaian lahan yang baik untuk
pengembangan kelapa, dimana salah satu indikatornya adalah tanah. Dalam teori
lokasi istilah tanah mengandung pengertian keadaan topografi dan keadaan cuaca
yang terdapat di wilayah tersebut, kesemuanya ini juga akan mempengaruhi lokasi
penempatan suatu industri. Dari struktur ekonomi basis, wilayah potensial 3
merupakan non basis komoditas kelapa, daerah tersebut belum mampu
mengekspor kelapa ke daerah lainnya. Dari struktur hirarki, wilayah dengan
potensial 3 merupakan daerah yang masih belum berkembang, yang dicirikan
dengan belum tersedia/kurangnya infrastruktur yang memadai.
Tidak Potensial : Wilayah ini tidak memiliki kesesuaian lahan untuk komoditas
kelapa baik dalam jangka pendek atau bersifat permanen. Dari struktur ekonomi
basis belum mampu mencukupi kebutuhan masyarakat wilayah tersebut akan
komoditas kelapa. Sedangkan dari hirarki wilayah merupakan daerah dengan
infrastruktur yang belum memadai atau belum berkembang. Daerah ini tidak
cocok untuk pengembangan lokasi industri, akibat keterbatasan sarana dan
prasarana pendukung.
Gambaran spasial hasil overlay LQ, Skalogram dan Kesesuaian Lahan yang
menunjukkan alternatif disajikan pada gambar 8.
Berdasarkan hasil overlay peta LQ, Skalogram, dan Kesesuaian lahan
diketahui desa-desa yang memiliki kesesuaian lokasi (Potensial 1) untuk kawasan
Usaha Agro Terpadu meliputi: Desa Biha, Way Jambu, dan Marang Kecamatan
Pesisir Selatan, Sumber Agung dan Negeri Ratu Ngambur Kecamatan
Bengkunat dan Desa Way Redak Kecamatan Pesisir Tengah.
89
Gambar. 8. Hasil Penentuan Lokasi Berdasarkan Over Lay LQ, Skalogram dan
Kesesuaian Lahan
90
Tabel berikut menyajikan hasil pemilihan calon lokasi Kawasan Usaha Agro
Terpadu (KUAT):
Tabel 23. Hasil Analisis Lokasi Potensial
Potensi Nama Desa Jumlah
Potensial 1 NR. Ngambur, Sumber Agung, Marang, Biha, Way 5
Redak
Potensial 2 Pagar Bukit, Penyandingan, Pardasuka, 16
Sukanegara, Way Jambu, Tanjung Setia, Sumur
Jaya, Kp. Jawa, Seray, Walur, Pasar Krui, Balai
Kencana, Way Napal, Laay, Penengahan, Way
Sindi
Potensial 3 GC Kuningan, Pekonmon, Bd Dalam, Kota Jawa, 40
Sukamarga, Tanjung Kemala, Rajabasa, Mulang
Maya, Sukabanjar, Muara Tembulih, Ulok Mukti,
Pelita Jaya, Tanjung Jati, Pagar Dalam, Sukarame,
NR. Tenumbang, Way Suluh, Pemerihan, Lintik,
Rawas, Sukanegara, Bumiwaras, Pajar Bulan,
Padang Haluan, Penggawa V Tgh, Menyancang,
Penggawa V Ulu, Way Nukak, Kebuayan, Walur,
Kuripan, NR. Ratu, Pdg Rindu, Kerbang Langgar,
Kota Karang, Kerbang Dalam, Penengahan, Bandar
Pugung, Lemong, Way Batang, Tanjung Sakti
Tidak NR. Ngaras, Kota Batu, Way Haru, PenggawaV 19
Potensial Ilir, Banjar Agung, Pamungan, Ulu Krui, Way
Narta, Baturaja, Sukamarga, Pekonlok, Bandar
Dalam, Pasar Pulau Pisang, Sukadana, Labuhan,
Balam, Bambang, Pagar Dalam Malaya, Cahaya
Negeri, Tanjung Jati, Rata Agung.
melinjo. Hal ini cukup memberikan gambaran bahwa alternatif pertama bisa
dijadikan pilihan.
Dari aspek dukungan bahan baku, infrastruktur dan kesesuaian untuk
pengembangan lokasi tersebut sangat memadai karena secara geografis beberapa
wilayah berdekatan satu sama lain. Artinya pemilihan satu lokasi dapat
memberikan Multiplier Effect kepada daerah sekitarnya. Menurut Handoko (2000)
beberapa alasan dalam memilih lokasi oleh industri antara lain: fasilitas dan biaya
transportasi, kedekatan dengan bahan baku, tenaga kerja, kedekatan dengan pasar,
dan lingkungan masyarakat.
Alternatif Kedua : Kelompok Desa Way Redak, Kampung Jawa, Pasar Krui,
Seray, dan Walur. Pada wilayah ini terdapat beberapa hal yang mendukung,
antara lain: daerah tersebut secara administratif berada dalam satu Kecamatan
yaitu Pesisir Tengah. Dari sudut infrastruktur wilayah merupakan daerah yang
relatif lebih dekat dengan ibukota Kabupaten Lampung Barat (35 km) sehingga
memudahkan dalam hal koordinasi. Kota Krui sudah sangat dikenal masyarakat
sebagai kota pelabuhan yang berfungsi sebagai jalur perdagangan pada era tahun
70 an, dimana transportasi laut merupakan jalur utama dalam hal keluar
masuknya barang. Jalur Keberadaan Krui sebagai pusat perdagangan komoditas
pertanian dan kehutanan menjadi salah satu pedukung pemilihan lokasi ini.
Alternatif Ketiga : Pardasuka, Pagar Bukit dan Sukanegara. Pada wilayah ini
secara geografis sangat jauh dari ibukota kabupaten, namun relatif lebih dekat
dengan Bandar Lampung Bila melewati Kabupaten Tanggamus. Secara hirarki
wilayah alternatif ini agak sulit untuk dipilih karena dukungan fasilitas masih
sangat minim.
Pemilihan alternatif lokasi suatu kawasan tidak terlepas dari kesesuaian
secara teknis, ekonomi, sosial dan kebijakan pemerintah. Menurut Djojodipuro
(1992) pemerintah dapat menentukan lokasi industri. Kebijaksanaan ini dapat
mendorong, menghambat, atau melarang kegiatan industri pada lokasi tertentu.
Kebijaksanaan pengaturan yang didasarkan atas pembagian daerah atau zoning
terkait dengan perencanaan pengembangan suatu wilayah.
Selain itu alternatif di atas harus disesuaikan dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Lampung Barat. Berdasarkan Rencana Tata Ruang
92
PP KP NT DL PTK KS TEK
DC DC MK AA SK CF NDC CP
PRODUK-PRODUK
AGROINDUSTRI KELAPA
PROSPEKTIF
Dari Tabel tersebut terlihat bahwa faktor penentu yang dimiliki oleh
Peluang Pasar sebesar 0,23, diikuti oleh Kebijakan Pemerintah dengan nilai 0,17,
dan Nilai Tambah dengan bobot 0,16. Selanjutnya pada urutan ke empat kriteria
yang dipilih pakar adalah Dampak Lingkungan dengan skor 0,12, Penyerapan
Tenaga Kerja sebesar 0,11, Kualifikasi SDM dengan nilai 0,10 dan diikuti kriteria
Teknologi yang digunakan dengan bobot 0,10.
Pengembangan suatu produk agroindustri harus memperhatikan prospek
pasar karena semakin besar peluang pasar suatu produk, maka hal ini akan
memberikan gambaran bahwa produk tersbut semakin prospektif untuk
dikembangkan. Selain itu peluang pasar sangat penting karena akan menunjukkan
prospek kebutuhan produk agroindustri kelapa yang akan dikembangkan untuk
keperluan pasar dalam negeri maupun ekspor. Faktor peluang pasar sangat
penting untuk mendukung pengembangan sektor agroindustri kelapa, karena
kualitas dan kuantitas yang memadai tidak cukup membantu bila peluang pasar
suatu produk sangat rendah. Selain itu peluang pasar akan dapat meningkatkan
kinerja ekspor dan penambahan devisa negara, serta mendukung pengembangan
agroindustri itu sendiri. Berdasarkan pendapat para pakar, kriteria peluang pasar
mendapat nilai 0,23
96
produk ini masih sangat kurang. Hal ini tidak terlepas dari belum banyak
tersedianya santan kelapa kemasan. Berdasarkan pendapat para pakar dalam
penelitian ini skor untuk Santan Kelapa 0,112. Produk ini sebenarnya sangat
prospektif untuk dikembangkan, berdasarkan data Statistical Year Book APCC
(2006) ekspor Indonesia pada tahun 2004-2006 terus meningkat. Pada tahun 2004
total ekspor mencapai20.240 ton dengan nilai 15.248.000 US Dollar, meningkat
menjadi 32.480 ton pada tahun 2005 dan mencapai 27.402 ton dengan nilai
21.928.000 US Dollar pada tahun 2006. Disisi lain bagai masyarakat perkotaan
keberadaan santan kelapa kemasan merupakan pilihan yang tepat sebagai
pelengkap masakan karena terbatasnya waktu dalam mengolah kelapa menjadi
santan.
Produk lainnya seperti Coco Fibre menurut para pakar mendapat skor
0,105. Pada dasarnya produk ini sangat banyak diperlukan oleh rumah tangga dan
industri, namun belum difahaminya peluang pasar dan nilai tambahnya, maka
sabut kelapa sampai saat ini masih menjadi limbah di kalangan masyarakat
terutama di wilayah Kabupaten Lampung Barat. Menurut APCC (2007) ekspor
Coco Fibre Indonesia pada periode 2004-2006 sebesar 1.180 ton, 3.550 ton dan
3450 ton.
VCO, Nata De Coco, dan Coco Peat menurut para pakar berada pada
urutan belakang dengan skor 0,098, 0,096, dan 0,092. Produk ini baik untuk
dikembangkan, namun dalam skala industri kelapa terpadu seperti KUAT, ketiga
produk dapat dikembangkan dalam jangka panjang, artinya dalam jangka pendek
pengembangan produk ini belum dapat dilaksanakan. Ke depan melalui
pemberdayaan masyarakat, produk-produk ini dapat dilaksanakan melalui skala
rumah tangga dengan kata lain melalui Usaha Kecil dan Menengah atau industri
rumah tangga.
Program KUAT merupakan upaya Pemerintah Daerah Kabupaten
Lampung Barat melaksanakan percepatan pertumbuhan ekonomi wilayah dengan
motor utama sektor Industri. Selama ini belum terdapat usaha agroindustri yang
berskala menengah dan besar di wilayah ini. Namun demikian terkait dengan
Program KUAT dengan komoditas utama Kelapa, pengembangan produk harus
bersifat terpadu. Dengan kata lain meskipun berdasarkan analisis para pakar
100
Dari hasil analisis di atas diketahui bahwa Minyak Kelapa dan Dessicated
Coconut merupakan produk unggulan pertama dan kedua dengan nilai masing-
masing 0,215 dan 0,170. Jenis lain yang berpotensi untuk dikembangkan yaitu
Arang Aktif ,Santan Kelapa dan Coco Fiber dengan skor 0,112 , 0,112 dan 0,105.
Terlepas dari hasil analisis di atas terdapat 2 hal yang berbeda yaitu produk
Minyak Kelapa dan Dessicated Coconut dan Santan memiliki bahan baku yang
berasal dari daging buah. Sebaliknya Arang Aktif dan Coco Fiber berasal dari
tempurung dan sabut kelapa. Hal ni menjelaskan bahwa untuk efisiensi
produktifitas pembangunan agroindustri berbasis komoditas kelapa harus
dilakukan secara simultan dan terpadu.
Sebagai sebuah program pembangunan klaster industri yang diharapkan
menjadi trigger (pemicu) pergerakan perekonomian wilayah, maka harus dipilih
produk yang akan dikembangkan sesuai dengan ketersediaan sumberdaya yang
ada. Pemerintah Daerah tidak mungkin akan membangun agroindustri terpadu
secara serentak karena keterbatasan dana. Sedangkan keberadaan masyarakat di
sekitar lokasi program harus dilibatkan dalam proses pembangunan. Oleh karena
itu beberapa pilihan alternatif dalam membangun keterpaduan dapat ditempuh
dengan memberdayakan kelmbagaan masyarakat.
Produk-produk agroindustri yang membutuhkan modal, teknologi dan
sumberdaya manusia yang tinggi dapat dilaksanakan oleh pemerintah dan atau
swasta. Produk-produk tersebut antara lain: Dessicated Coconut, Minyak Kelapa
dan Santan Kelapa. Hal ini penting karena produk tersebut memerlukan Quality
Control dan persyaratan mutu, tingkat higienis yang tinggi. Sedangkan produk
dengan teknologi sederhana dan Quality Cntrol yang kurang ketat, seperti Arang
Aktif, Coco Fiber, Nata De Coco dan Coco Peat dapat dilaksanakan melalui
lembaga masyarakat atau kelompok tani.
Menurut Allolerung dan Lay (1998), pengolahan kelapa skala industri
besar dewasa ini telah mengolah hampir seluruh komponen buah kelapa baik
secara terpadu maupun parsial yang menghasilkan produk bernilai ekonomi dan
pasaran yang luas antara lain: minyak kelapa, Dessicated Coconut (Kelapa Parut),
Santan, Bungkil Tepung Tempurung, Arang Aktif, Serat Sabut dan Nata De Coco.
Pengembangan aneka ragam produk menghasilkan nilai tambah besar, namun
102
antara petani dengan pedagang desa, dengan sistem harga borongan berupa kelapa
utuh belum di kupas.
Selanjutnya pedagang desa menjual kepada pedagang kecamatan yang
akan membeli dengan cara datang langsung ke pedagang desa. Sistem pembelian
dilakukan dengan cara borongan tanpa memperhatikan ukuran biji kelapa.
Pedagang Kecamatan selanjutnya menjual kepada pedagang kabupaten di Liwa
atau Pasar Fajar Bulan di Kecamatan Way Tenong, yang kemudian dijual kepada
pedagang pengecer. Pedagang pengecer membeli kelapa untuk dipasarkan
langsung ke konsumen. Pada tahapan pemasaran ke konsumen ukuran biji kelapa
menjadi dasar dalam menentukan harga.
Rantai tata niaga kelapa juga terjadi antara pedagang tingkat kecamatan
dengan pedagang pengirim yang akan membawa komoditas kelapa ke industri
berbahan baku kelapa di Bandar Lampung. Industri tersebut merupakan produsen
produk nata de coco, vco, santan kelapa dan desisicated coconut.
Kelapa pecah akan diapkir dan menjadi tanggungjawab pembeli yang
umumnya merupakan pedagang desa, pada tahapan ini kelapa apkir akan diolah
menjadi kopra. Pedagang pengumpul kopra berada di Kelurahan Pasar Krui,
dimana harga jual berkisar antara sebesar Rp. 3.000-3.500/kg tergantung pada
mutu kopra yang dijual. Harga tersebut cenderung tetap dari tahun ke tahun. Bila
kopra tersebut jumlahnya sudah memadai, maka akan dibawa ke Bandar
Lampung atau Kota Metro untuk dijual kepada Industri Minyak Goreng. Namun
seiring dengan harga kelapa yang cukup tinggi, produksi kopra menjadi berkurang
karena petani menjual dalam bentuk kelapa butiran. Sebaliknya bila harga kelapa
butiran rendah, maka petani akan mengolah kelapa menjadi kopra.
Berkurangnya produksi kopra karena secara ekonomi pengolahan kopra
tidak menguntungkan dimana untuk menghasilkan 1 Kg kopra dibutuhkan sekitar
4 butir kelapa, dengan harga jual Rp. 2.000 sampai dengan 3.750/kg. Sedangkan
bila dijual butiran maka harga kelapa Rp. 1.100/butir. Oleh karena itu merupakan
hal yang wajar bila petani tidak mengolah kelapa menjadi kopra di saat harga
kelapa cukup tinggi. Secara lengkap bagan rantai pemasaran kelapa di Kabupaten
Lampung Barat di sajikan pada gambar berikut ini:
105
PETANI
/PRODUSEN
KOPRA PEDAGANG
PEDAGANG
KERING PENGUMPUL
PENGECER
KECAMATAN
INDUSTRI
INDUSTRI VCO,KELAPA
MINYAK KELAPA PARUT,NATA DE
COCO, DLL
pedagang pengirim yang ikut dalam proses tata niaga. Pedagang pengirim
mengambil produk kelapa dari pedagang kecamatan. Peran pedagang pengirim
cukup besar, hal ini ditunjukkan dengan besarnya marjin.
Distribusi biaya pemasaran relatif merata kecuali biaya angkut dan harga
beli. Marjin keuntungan tertinggi berada pada level pedagang pengirim yang
mencapai Rp. 300/butir. Hal ini disebabkan besarnya resiko yang dihadapi,
disamping besarnya modal dalam mekanisme pemasaran. Sedangkan marjin
terendah berada pada tingkat pedagang pengumpul desa. Salah satu penyebabnya
adalah adanya biaya pengupasan kulit luar yang harus ditanggung sebelum
pembeli tingkat kecamatan datang. Selain itu dari sisi permodalan pedagang
pengumpul desa relatif memiliki modal yang kecil. Resiko pecah dan apkir juga
menjadi pembatas pedagang level ini untuk menigkatkan marjin keuntungan.
Marjin keuntungan setiap golongan pedagang lebih besar dibandingkan
biaya pemasaran sehingga harga di tingkat petani menjadi relatif rendah.
Damanik dan Sientje (1992) menyatakan bahwa pola tata niaga di atas merupakan
ciri dari pemasaran yang bersifat monopsoni. Harga ditentukan oleh beberapa
atau satu lembaga pemasaran yang dalam hal ini pemilik modal.
Dalam pemasaran kelapa, pedagang pengirim memegang peranan yang
sangat besar dalam menjalankan fungsi tata niaga kelapa, karena mereka inilah
yang menyediakan sebagian besar modal kerja dan menghadapi resiko paling
besar. Resiko inilah yang sering dijadikan alasan untuk menekan harga di tingkat
pedagang pengumpul maupun petani, sebagai akibatnya tata niaga kelapa di
daerah menjadi tidak efisien (Herman dan Saputro (1990) dalam Damanik dan
Sientje (1992).
Disisi lain posisi petani sebagai price taker (penerima harga) menjadikan
pedagang memiliki kekuasaan untuk menentukan harga, selain beberapa petani
telah menerima pembayaran awal harga kelapa sebelum panen. Pola pembayaran
awal banyak dilakukan pada kondisi petani memerlukan dana untuk biaya anak
sekolah atau biaya berobat. Kebutuhan tersebut mendorong petani kelapa
meminjam dana kepada pedagang dengan konsekuensi pembayaran dengan
produk kelapa pada saat panen. Hasil analisis marjin tata niaga kelapa menurut
golongan pedagang disajikan pada tabel berikut:
107
Tabel 28. Harga Pasar Produk Kelapa di Kabupaten Lampung Barat Tahun 2004-
2006
Tahun Produk Satuan Harga Harga Rata-rata
Terendah Tertinggi
2004 Kopra Kg 1,000 1,000 1,000
Kelapa Segar Butir 700 1.000 875
2005 Kopra Kg 4,000 4,000 4,000
Kelapa Segar Butir 1.000 1.300 1.250
2006 Kopra Kg 3,200 4,000 3.150
Kelapa Segar Butir 1,200 1,500 1,230
Sumber: Dinas Perkebunan Kabupaten Lampung Barat
5.6.1. Daun
Hiasan, Ketupat,
Helai Industri Kerajinan
Daun Tangan Tas, Keranjang
5.6.2. Batang
Pemanfaatan batang kelapa sebagai produk kerajinan sudah sejak lama
dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Produk furniture, alat-alat dapur, peralatan
pertanian sampai dengan bahan bangunan merupakan hal yang umum di kalangan
masyarakat. Industri berbasis pohon kelapa masih dilakukan dalam skala kecil,
yaitu di tingkat perajin rumah tangga sampai dengan usaha-usaha kecil. Pada
gambar berikut disajikan pohon industri produk yang berasal dari batang kelapa.
Bahan-bahan
Bangunan
Industri Kerajinan
Tangan
Bahan
Jembatan
Batang
Furniture, gagang
Cangkul, dll
Industri Kerajinan
Hiasan Dinding,
Asbak
5.6.3. Buah
Buah kelapa memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia terutama
untuk keperluan rumah tangga. Secara umum buah kelapa dibedakan menjadi:
sabut, tempurung, daging buah dan air kelapa.
113
Genteng
Sabut Serat
Industri Kerajinan
Pendek
Hard Board
Coco Peat/Media
Debu Tanam
Industri Kerajinan
Sabut
Kompos
Hiasan Dinding,
Tas, Ikat Pinggang
Industri Kerajinan
Tangan
Asbak, peralatan
makan
Tempurung
Arang Aktif, Briket
Industri Kimia
Asap Cair
Industri
Makanan
Kecap,
Asam Cuka
Air Kelapa
Dekstrosa
Industri
Farmasi
Obat Penurun
Panas
Berdasarkan hasil kajian literatur dan diskusi dengan pakar kelapa, maka
didapat beberapa produk olahan yang berasal dari daging kelapa dan memiliki
nilai ekonomi, serta prospek pasar, baik domestik maupun ekspor. Adapun
produk tersebut adalah: Dessicated Coconut (Kelapa Parut), Minyak Kelapa, Nata
De Coco, Virgin Coconut Oil (VCO). Berikut ini disajikan deskripsi tentang
produk-produk tersebut:
dua yaitu permintaan domestik dan permintaan akan ekspor. Permintaan domestik
secara garis besar dibedakan menjadi permintaan langsung (konsumsi
rumahtangga) dan permintaan turunan (tidak langsung) yaitu permintaan untuk
bahan baku industri (Rachman, 2004).
Permintaan untuk konsumsi rumah tangga dihitung dari rata-rata konsumsi
per kapita pada tahun tertentu untuk komoditas kelapa dikalikan dengan jumlah
penduduk pada pertengahan tahun yang bersangkutan.
Permintaan
Ekspor
Permintaan Langsung
Permintaan /Konsumsi Rumah
Produk Kelapa Tangga
Permintaan
Domestik
Permintaan Tidak
Langsung/Turunan
Tabel 29. Konsumsi Produk Kelapa Per Kapita Kabupaten Lampung Barat
5,000,000
VOLUME (BUTIR)
4,000,000
3,000,000 Σ Penduduk
2,000,000 Konsumsi
1,000,000
-
2001 2002 2003 2004 2005
TAHUN
2,000,000
VOLUME (LITER)
1,500,000
Σ Penduduk
1,000,000
Konsumsi
500,000
-
2001 2002 2003 2004 2005
TAHUN
Konsumsi kelapa butiran di Propinsi Lampung berkisar antara 6,6 butir per
kapita per tahun sampai dengan 11,28 butir per kapita per tahun. Tingginya
konsumsi terjadi pada tahun 2004. Pada gambar berikut ditunjukkan
perkembangan tingkat konsumsi kelapa butiran di Propinsi Lampung Tahun
2001-2005.
50,000,000
VOLUME (BUTIR)
40,000,000
30,000,000 Σ Penduduk
20,000,000 Konsumsi
10,000,000
-
2001 2002 2003 2004 2005
TAHUN
20,000,000
VOLUME (LITER)
15,000,000
Σ Penduduk
10,000,000
Konsumsi
5,000,000
-
2001 2002 2003 2004 2005
TAHUN
Coco yang memproduksi Nata De Coco, PT. Sari Segar Husada yang
memproduksi Dessicated Coconut dan Santan Kelapa dan PT. Sinar Laut yang
memproduksi minyak kelapa. Berkembangnya industri tersebut semakin
meningkatkan aktifitas pengolahan kelapa, selain tumbuhnya usaha kecil yang
mengolah sabut kelapa, arang tempurung dan VCO. Pada gambar berikut
disajikan grafik perkembangan ekspor produk kelapa dari Propinsi Lampung pada
tahun 2001-2006.
30,000,000
25,000,000 COPRA COCONUT A
VOLUME (TON)
COCONUT DESSICATED
20,000,000
KELAPA BUTIRAN
15,000,000
PRODUK KELAPA LAIN
10,000,000
TEMPURUNG KELAPA
5,000,000 ARANG TEMPURUNG
-
2001 2002 2003 2004 2005 2006
TAHUN
100,000
Dessicated Coconut
VOLUME (TON) 80,000
Karbon Aktif
60,000 Coco Fiber
40,000 Santan
Kelapa Segar
20,000
Kopra
-
2001 2002 2003 2004 2005 2006
TAHUN
800,000
700,000
VOLUME (TON)
600,000
500,000
400,000 Minyak Kelapa
300,000
200,000
100,000
-
2001 2002 2003 2004 2005 2006
TAHUN
545,000
VOLUME (TON)
540,000
535,000
Minyak Kelapa
530,000
525,000
520,000
2008 2009 2010 2011 2012 2013
TAHUN
140,000
120,000 Dessicated Coconut
VOLUME (TON)
yaitu 5 persen per tahun sampai dengan tahun 2011. Pada Tahun 2011
diproyeksikan areal perkebunan kelapa akan bertambah sebesar 1,879.10 ha.
Dari angka tersebut 1,082.38 atau 57,6 persen diarahkan ke wilayah pesisir.
Angka tersebut relatif kecil, namun diharapkan dapat memberikan dampak
terhadap pengembangan areal dan wilayah setempat.
Oleh karena itu produk yang dianggap sebagian masyarakat sebagai pohon
kehidupan ini perlu mendapat perhatian yang serius oleh pemerintah. Besarnya
pangsa ekspor harus dimanfaatkan dengan cepat oleh pemerintah dan masyarakat
perkelapaan, ditengah semakin lemahnya isu pengembangan kelapa terkait
dengan maraknya pengembangan kelapa sawit oleh perusahaan swasta.
Pemenuhan kebutuhan ekspor produk kelapa memerlukan kerja keras para
stakeholder usaha tani kelapa. Hal ini terkait dengan kontinyuitas produksi,
karena di Kabupaten Lampung Barat seluruh areal perkebunan kelapa merupakan
usaha tani rakyat, dengan skala kecil dan teknologi sederhana. Namun demikian
gairah petani kelapa akan semakin tinggi bila ada jaminan kepastian harga dan
kemudahan pemasaran produk.
mulai dari hulu sampai hilir, tetapi juga terdapat aktivitas-aktivitas jasa yang
menunjang seperti lembaga penelitian dan pengembangan yang menunjang
aktivitas usaha dalam klaster (Taufiq, 2004). Secara tersirat, klaster industri
menunjukkan bahwa kompetensi pelaku usaha menjadi syarat utama bagi
penciptaan keunggulan kompetitif. Kompetensi ini juga mencerminkan
pemahaman nilai-nilai dan perilaku usaha, pengalaman, pengetahuan dan
kapasitas usaha.
Faktor lokasi juga menentukan tingkat perkembangan klaster. Klaster
yang ada di daerah perdesaan umumnya mempunyai usaha produktif yang sangat
terbatas akibat kelangkaan sumberdaya manusia dan prasana.
Pihak-pihak yang dapat terlibat dalam proses peningkatan nilai tambah
kelapa secara terpadu antara lain: Pemerintah Daerah, Manajemen Pengelola
Kawasan, Lembaga Pendampingan Petani, Lembaga Penelitian dan
Pengembangan, Lembaga Sosial Perkelapaan, UKM, Lembaga Keuangan, dan
Kelompok Petani/Masyarakat Petani Kelapa.
Peranan masing-masing dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Pemerintah Daerah : sebagai pemilik program sekaligus regulator dalam
wilayah setempat, peranan pemerintah daerah lebih banyak sebagai
koordinator dan motivator pelaksanaan jalannya klaster agrousaha terpadu.
Semakin berkembang klaster, maka peranan Pemerintah Daerah akan semakin
berkurang.
2. Pengelola kawasan usaha agro terpadu : pengelola dan pelaksana produksi
kawasan berfungsi sebagai produsen produk berteknologi dan Quality Control
yang ketat. Pengelola kawasan dapat berbentuk badan usaha milik daerah
(BUMD). Selain untuk membantu proses produksi, menurut Dirdjojuwono
(2004) pengelola kawasan dapat memberikan jasa pelayanan kepada investor
dalam kawasan industri antara lain: 1) menjual tanah kavling siap bangun
dalam kawasan, 2) menyewakan kavling siap bangun, 3) menyewakan
bangunan untuk usaha industri, 4) menjual bangunan untuk usaha industri, dan
5) menyewakan lahan untuk material dan barang produksi jadi (stockyard).
3. Lembaga Pendamping Petani : merupakan organisasi non pemerintah yang
berfungsi membantu petani dalam produksi hasil olahan. Lembaga
135
PASAR NASIONAL /
INTERNASIONAL PEMERINTAH
DAERAH
Pengelola UKM
PENDAMPING PETANI
Kawasan
Usaha Agro
Terpadu
SABUT KELAPA,
) TEMPURUNG DAN
AIR KELAPA
KELAPA
BUTIRAN
Kelompok Kelompok
Tani/Masyarakat Tani/Masyarakat
Petani Kelapa Petani Kelapa