Anda di halaman 1dari 48

BAB II

DIPLOMASI JEPANG INDONESIA

Hubungan diplomasi yang terjalin antara Jepang dan Indonesia sudah

berlangsung lama dan pada tahun 2008 yang lalu hubungan ini memasuki tahun

emasnya. Umur hubungan kedua negara ini bahkan melebihi umur organisasi

Internasional yang mengayomi negara-negara di Asia Tenggara yang kita kenal

dengan sebutan ASEAN.

Hubungan yang demikian lama terjalin menyebabkan hubungan keduanya

sangat kompleks. Hal ini menimbulkan kesulitan untuk melihatnya dari satu sudut

pandang saja. Kita tidak bisa melihat sudut pandang dari satu negara saja tetapi juga

kedua negara tersebut. Setidaknya kita harus dapat melihat sudut itu dari sudut yang

mungkin terlihat sangat sederhana.

Untuk itulah pada bab II ini, akan dijelaskan mengenai hubungan diplomasi

Jepang Indonesia dimulai dari pengertian diplomasi, kultur (budaya) yang dimiliki

kedua negara yang pastinya memberikan pengaruh terhadap cara berdiplomasi kedua

negara, dan sejarah yang megiringi hubungan kedua negara dalam hubungan

diplomasi.

2.1 Pengertian Diplomasi

Seperti yang telah dikemukakan pada bab yang terlebih dahulu, dipomasi

memiliki banyak pengertian menurut banyak pakar. Pertma-tama sangatlah baik untuk

mengetahui asal muasal dari kata diplomasi. Diplomasi diyakini berasal dari kata

Yunani yaitu diploun yang berarti melipat. Menurut Nicholson (Roy, 1995:1), pada

masa Romawi semua paspor, yang melewati jalan milik negara dan surata-surat jalan

dicetak pada piringan logam dobel, yang dilipat dan dijahit menjadi satu dengan cara

Universitas Sumatera Utara


yang khas. Surat jalan logam ini disebut diplomos. Selanjutnya kata ini berkembang

dan mencakup pula dokumen-dokumen resmi yang bukan logam, khususnya

memberikan hak istimewa tertentu atau menyangkut perjanjin dengan bangsa asing

diluar bangsa Romawi.

Perjanjian-perjanjian ini semakin menumpuk, arsip kekaisaran menjadi beban

dengan dokumen-dokumen yang tidak terhitung banyaknya. Oleh karena itu, dirasa

perlu untuk memperkerrjakan seseorang yang terlatih untuk mengindeks,

menguraikan, dan memeliharanya. Isi surat resmi negara yang dikumpulkan disimpan

dalam arsip yang berhubungan dengan hubungan Internasional yang dikenal dengan

sebutan diplomaticus atau diplomatique pada abad pertengahan. Siapapun yang

berhubungan dengan surat-surat tersebut dikatakan sebagai milik res diplomatique

atau bisnis diplomatik.

Dari peristiwa ini lama kelamaan kata diplomasi dihubungkan dengan

manajemen Internasional dan siapapun yang ikut mengaturnya dianggap sebagai

diplomat. Penggunaan kata-kata yang memberikan gambaran diatas adalah baru-baru

ini saja. Menurut Earnest Satow dalam Roy (1995: 1), Burke memakai kata

‘diplomasi’ untuk menunjukkan keahlian atau keberhasilan dalam melakukan

hubungan Internasional dan perundingan di tahun 1796. Kemungkinan besar itu

adalah pertmakalinya penggunaan kata dalam bahasa Inggris dengan arti yang kita

ketahui saat ini. Ia juga mengatkan ‘lembaga dipomatik’ pada tahun yang sama contoh

paling awal adalah pengguaan kata ‘jasa diplomatik’ yang menunjukkan cabang

pelayana sebagai negara yang menyediakan personil-personil misi tetap diluar negri

yang dijumpai dalam ‘Annual Registar’ tahun 1987.

Para pakar memberi definisi yang berbeda terhadap kata diplomasi. The

Oxford English Dictionary memberi konotasi sebagai berikut: ‘manajemen hubungan

Universitas Sumatera Utara


Internasional melalui negoisasi; yang mana hubungan ini diselaraskan dan diatur oleh

duta besar dan para wakil buisnis atau diplomat’. Menurut The Chamber’s Twentieth

Century Dictionary (Roy, 1995:2), diplomasi adalah ‘the art of negotiation, especially

of treaties between statespolitical skill’ (seni berunding khususnya tentang perjanjian

antara negara-negara ; keahlian politik).

Sir Earnest Sartow mengatakan diplomasi adalah ‘the application of official relations

between the government of independent states’ (penerpan dan kepandaian dan taktik

pada pelaksanaan hubungan resmi antara pemerintah negara-negara berdaulat (Roy,

1995:2).

Harlord Nicholson, salah seorang pengkaji dan praktisi yang pandai dalm hal

diplomasi di abad kedua puluh menegaskan bahwa dalam bahasa yang lebih mukathir,

kata diplomasi diambil secara gegabah untuk menunjukkan palinhg tidak lima hal.

Yang pertama menyangkut ; (1)politik luar negri, (2) negoisasi, (3) mekanisme

pelaksanaan negoisasi tersebut, dan (4) suatu cabang dinas luar negri. Ia selanjutnya

mengatkan bahwa interprestasi yang kelima adalah merupakan suatu kualitas yang

abstrak pemberian, yang dalam arti baik mencakup keamana dalam pelaksanaan

negoisasi Internasional ; dan dalam arti yang buruk mencakup tindakan taktik yang

lebih licik. Tetapi akhirnya Nicholson menerima definisi yang diberikan oleh The

Oxford English Dictionary yang ia anggap cukup luas untuk mencakup aspek-aspek

yang berbeda dari diplomasi (Roy, 1995:3).

KM Panikar dalm bukunya The Principle of Diplomacy menyatakan

“Diplomasi dalam hubungannya dengan politik Internasional adalah seni

mengedepankan kepentingan negara dalam hubungannya dengan negara lain”.

Svarlien telah mendefinisikan diplomasi sebagai “seni dan ilmu perwakilan negara

dan perundingan”. Kata yang sama juga telah dipakai untuk menyatakan secara umum

Universitas Sumatera Utara


keseluruhan kompleks hubungan luar negrisuatu negara yaitu departemen luar negri

termasuk perwakilan luar negrinya” (Roy, 1991: 3).

Ivo D.Duchacek berpendapat, “diplomasi biasanya didefinisikan sebagai

pelaksanaan politik luar negri suatu negara, kadang-kadang juga dihubungkan dengan

perang. Oleh karena itulah, Clausewitz, seorang filsuf Jerman , dalam pernyataannya

yang terkenal mengatkan bahwa perang merupakan kelanjutan dipomasi melalui

sarana lain (Roy, 1995:3).

Menurut Sukarwarsini Djelantik (2008: 3) diplomasi memiliki kaitan yang erat

dengan politik luar negri karena diplomasi merupakan implementasi dari kebijakan

luar negri yang dilakukan penjabat-penjabat resmi yang terlatih.

S.L Roy (1995:5), mengajak melihat penegrtian diplomasi-diplomasi

sebelumnya dan menyimpulkan pandangan mengenai diplomasi sebagai berikut:

Diplomasi, yang sangat erat hubunagnnya dengan


hubungan antar Negara adalah seni mengedepankan
kepentingan suatu Negara melalui negoisasi dengan cara-
cara damai apabila mungkin, dalam berhubungan dengan
Negara lain. Apabila cara-cara damai gagal untuk
memperoleh tujuan yang diinginkan, diplomasi
mengizinkan penggunaan ancaman atau kekuatan nyata
sebagai cara untuk mencapai tujuan-tujuannya.

Seorang diplomat India pada zaman India Kuno yang bernama Kautilya

Menekankan empat tujuan diplomasi yaitu acquistion (perolehan), preservation

(pemeliharaan), augmentation (penambahan), dan proper distribution (pembagian

yang adil). Menurutnya, tujuan dari diplomasi adalah untuk mencapai Siddhi yang

memiki arti kebahagiaan.

Universitas Sumatera Utara


2.2 Jepang dan Indonesia sebagai Dua Buah Negara di Asia

2.2.1 Letak negara Jepang dan Indonesia

Jepang dan Indonesia adalah dua buah negara yang memiliki beberapa

kesamaan. Jepang dan Indonesaia adalah dua buah negara yang sama-sama berada di

Benua Asia dan mereupakan negara kepulauan. Kedua negara ini melakukan

hubungan diplomasi yang sangat erat hingga saat ini. Sangat baik jika kita mengetahui

sudut geografis negara ini. Berikut penjelasannya.

a. Letak negara Jepang

Jepang adalah suatu negara kepulauan dengan pulau-pulau besar dan kecil.

Sebagai negar kepulauan, Jepang mempunyai persamaan dengna bangsa-bangsa

lainnya yang berada di Asia Tenggara, khusunya Filipna dan Indonesia. Keadaan ini

sedikit banyak memberikan pandangan hidup serta faktor-faktor geopolitik Jepang

(Suryohadiprojo, 1982:1).

Kepulauan Jepang terletak di lepas pantai timur benua Asia, membentang

seperti busur yang ramping seanjang 3.800 kilometer, dari 20° sampai 45°33´ lintang

utara. luas totalnya adalah 377.815 kilometer persegi sedikit lebih banyak dari luas

Inggris, hanya sepersembilan dari luas India dan seperduapuluh dari luas Amerika

Serikat dan kurang dari 0,3% dari luas daratan bumi. Kepualuan ini terdiri dari empat

pulau utama, Honshu, Hokkaido, Kyushu dan Shikoku (berturut-turut dari yang

terbesar sampai yang terkecil) juga sejumlah gugusan pulau yang berjumlah sekitar

3900 pulau yan lebih kecil lagi. Pulau Honshu memiliki luas lebih dari 60% dari

seluurh kepulauan Jepang (International Society for Educational Information, 1989:1).

Hampir semua bagian daerah Jepang mengenal 4 musim yang berbeda. musim

panas yang hangat dan lembab, mulai sekitar pertengahan bulan Juli. Sebelumnya

terdapat musim hujan selam hampir satu bulan, kecuali di Hokkaido, pulau yang

Universitas Sumatera Utara


paling utara yang sama sekali tidak mengenal musim hujan, musim semi dan musim

gugur adalah musim terbaik sepanjang tahun, dengan hari-hari yang berhawa lembut

dan matahari yang cerah diseluruh negri. Akan tetapi, pada bulan September mungkin

saja terjadi badaiu taufan yang mendera tanah daratan dengan hujan lebat dan angin

dahsyat (International Society for Educational Information, 1989: 2).

Topografi Jepang yang rumit berlainan dengan iklimnya yang relatif baik.

Pulau-pulau Jepang merupakan bagian suatu deretan gunung yang panjang yang

terangkai mulai dari Asia Tenggara sampai jauh ke Alaska. Hal ini yang

menyebabkan negeri ini memiliki garis pantai yang panjang dan berbatu denga

banyak pelabunhan yang kecil tetapi at baik. Tercipta banyak daerah pegunungna

dengan sejumlah besar lembah, sungai yang deras dan danau yang jernih. Kawasan

gunung meliputi sekitar 70% dari seluruh luas tanah Jepang menurut survai lembaga

Survai Geografi Kementrian Pembanguna Jepang pada tahun 1972. lebih dari 532

gunung tersebut tingginya melebihi 2000 meter diatas permukaan laut, Gunung Fuji

adalah gunung tertinggi dengan tinggi mencapai 3776 meter (International Society for

Educational Information, 1989: 2).

Topografi yang rumit ini memberikan Jepang pemandangan yang indah yang

kadang-kadang dramatis. danau pegunungan yang bersalju, jurang berbatu-batu dan

sungai yang bergelora, puncak gunung yang kasr dengan air terjun yang indah permai.

Semua itu menjadi sumber inspirasi dan kesenangan yang tiada henti-hentinya baik

bagi orang Jepang maupun bagi orang lain yang bukan berasal dari Jepang

(International Society for Educational Information, 1989: 2)

Universitas Sumatera Utara


b. Letak negara Indonesia

Indonesia memiliki 17.504 pualu besar dan kecil, sekitart 600 diantaranya tiak

berpenghuni, yang menyebar disekitar khalustiwa, yang memberikan cucxa tropis.

posisi Indonesia terletak pada koordinat 6ºLU-11º08´ dan dari 95ºBB-141º45´BT serta

terletak di antara dua benua Asia dan benua Austarlia. wilayah Indonesia terbentang

sepanjang 3.977 mil di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Luas daratan

Indonesia adalah 1.922.570km² dan luas perairannya 3.257.483km². Pulau terpadat

penuduknya adalah pulau Jawa, dimana setengah populasi Indonesia hidup. Indonesia

terdiri dari 5 pulau besar yaitu Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.

Batas utara Indonesia adalah Maklaysia, Sinagpura, Filipna dan Laut Cina

Selatan. Batas selatan Indonesia adalah Australia, Timor Leste dan Samudera

Indonesia. Batas di sebelah timur adalah Papua Nugini, Timor Leste dan Samudera

Pasifik. Lokasi Indonesia juga terletak di lempeng tektonikj yang berarti Indonesia

rawan dengan gempa bumi yang dapat menimbulkan tsunami. indonesia juga banyak

memiliki gunung berapi, salah satu gunung berapi yang terkenal adalah gunung

Krakatau yang terletak di selat Sunda antra pulau Sumatera dan Jawa (wikipedia,

http://id.wikipedia.org/wiki.Indonesia: 1).

Indonesia mempunyai sumber daya alam yang besar di luar pulau Jawa,

termasuk minyak mentah, gas alam, timah, tembaga, dan emas. Indonesia pengekspor

gas alam terbesar kedua di dunia, meski akhir-akhir ini menjadi negar pengimpor

minyak mentah. Hasil pertanian yang utama adalah beras, teh, kopi, rempah-rempah

dan karet. Sektor jas adalah sektor yang menyumbang PDB terbesar, yang mencapai

45,3% dari PDB tahun 2005. sedangkan sektor industri menyumbang 40,7% dan

sektor pertanian menyumang 14%. Meskipun demikian, sektor pertanian

memperkerjakan lebih banyak orang daripada sektor-sektor lainny, yaitu 44,3% dari

Universitas Sumatera Utara


95 juta tenaga kerja. Sektor jasa memperkerjakan 36,9%, dan sisanya sektor industri

sebesar18,8%.

Wilayah Indonesia memiliki keanekaragaman makhluk hidup yang tinggi

sehingga disebut dengan istilah Mega Biodisvery atau kenekaragaman makhluk hidup

yang tinggi. Kekayaan makhluk hidup Indonesia menempati ranking keyiga setelah

Brasil dan Zaire (wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki.Indonesia: 5).

Secara historis, prosedur dan gaya runding yang berbeda-beda telah

menimbulkan banyak kesulitan dalam tata hubungan antara Amerika serikat dengan

Jepang dan, lebih umum lagi antara Timur dan Barat, baik dalam diplomasi

Internasional maupun interaksi komersial. Ungkapan ’kenalilah musuhmu, kenalilah

dirimu sendiri’ berlaku dalam sekian banyak dalam sekian banyak keadaan, termasuk

dalam perundingan, dan kita perlu sekali menunjang usaha-usaha buat mendorong

agar politik luar negri Jepang didasarkan pada suatu pemahaman yang memadai atas

perbedaan berbagai kultural (Kinhide, 1981:2). Hal ini tidak hanya mempengaruhi

hubungan Jepang dengan negara Barat tetapi juga hubungan Jepang dengan sesama

negara Timur.

Pengaruh kultur dalam hubungan diplomasi ini dicoba untuk disimulasikan

pada Universitas Northwestern di Amerika Serikat. Usaha untuk mengembangkan

suatu model tata hubungan Internasional telah melahirkan simulasi antar bangsa. Ada

dua simulasi yang digunakan, yang pertama adalah simulasi antar bangsa yang

melibatkan para peminat ilmiah atau diplomat yangberpartisipasi mengambil peranan

sebagai perdana mentri dan mentri luar negri dari suatu negara yang berkecimpung

dalam berbagai jenis perundingan kebudayaan Amerika tandingan (Kinhide, 1981; 2-

3).

Universitas Sumatera Utara


Yang kedua adalah simulasi kebudayaan Amerika versus kebudayaan

Amerika tandingan. Dalam simulasi itu, orang yang memiliki budaya non amerika

dalam sebuah simulasi perundingan. Berbeda dengan simulasi pertam dimana para

diplomat membawa kepentngan-kepentingan negara yang diwakilinya, simulasi kedua

lebih mengungkapkan adanya pengaruh budaya dalam gaya runding atau

perundingan dipomasi (Kinhide, 1981:3-5).

Mushakoji Kinhide (1981:1) mengungkapkan pendapatnya sebagai berikut;

Taktala para perunding sudah berhadap-hadapan di depan


meja, yang mereka bawa bukan hanya sekedar catatan-
catatan dan sekian kertas-kekerja penunjang. Suatu bagian
intetgral dari bekal mereka adalah kepribadian, dan
serangkum aturan permainan serta amsumsi-amsumsi
kebudayaan yang telah membentuknya.
Jepang adalah pewaris beberapa tipologi dalam masalah kebudayaan. Suatu

contoh kalsik menyangkut perbedaan Jepang dengan Amerika Serikat, ialah

pembedaan ”kultur rasa bersalah” (guilt culture) dan ”kultur rasa malu” (shame

culture) yang dikembangkan oleh Ruth Benedict. Tipologi-tipologi yang lebih

muktahir mencakup kultur yang membedaan ’masyrakat vertikal’ dan ’masyarakat

horizontal’ yang diciptakan oleh Nakane Chie dari Universitas Tokyo. Kinhide sendiri

mengungkapkan satu tipologi lagi yaitu ’kultur erabi’ dan ’kultur awase’ (Kinhide,

1981:2)

Dalam diplomasi atau perundingan, sebagaimana yang dikatakan oleh Kinhide

tidak dapat hanya melihat salah satu pihak yang melakukan perundingan. Kedua belah

pihak harus diperhatikan karena kesepakatan dalam perundingan ditentukan oleh

keduanya. Pada paragaraf yang terdahulu, sudah dibahas secara sederhana mengenai

keberadaan beberapa kultur Jepang yang mempengaruhi diplomasi Jepang keluar

negaranya. Sedangkan Indonesia adalah negara yang sangat berbeda dari Jepang.

Universitas Sumatera Utara


Jepang adalah negara homogen yang memiliki satu bahasa. Sedangkan Indonesia

terdiri dari beragam suku bangsa dan bahasa yang lazim disebut heterogen. Oleh

karena itu sulit menentukan kebudayaan yang mendasari diplomasi

Indonesia.

Supaya lebih jelas, dibuat penjelasan dan keterangan pada sub bab selanjutnya

mengenai kultur yang dimiliki oleh kedua negara.

2.2.2 Kultur Jepang

a. Kultur Awase

Kinhide(1981:2) megungkapkan sebuah tipologi yaitu ’kultur erabi’ dan

’kultur awase’. Erabi diambil dari kata erabu (選ぶ) yang memiliki arti memilih,

sedangkan kata awase diambil dari kata au (合う) yang memiliki arti memadukan dan

juga menyesuaikan sesuatu dengan yang lain. Jepang adalah negara yang menganut

kultur awase.

Menurut pandangan ideal erabi, manusia bisa bebas memanipulasi

lingkungannya untuk tujuan-tujuannya sendiri. Pandangan ini memiliki arti suatu

rangkaian prilaku apbila seseorang menetapkan tujuannya, menyusun suatu rencana

untuk mencapai tujuan tersebut, dan kemudian bertindak mengubah lingkungn itu

sejalan dengan rencana dan kehendaknya. Pandangan erabi juga terdiri dari tatanan

logis yang terdiri dari konsep-konsep dan lawan-lawannya; panas atau dingin, manis

atau tak manis, besar lawan kecil dan seterusnya. Oleh karena itu ketika menyusun

suatu rencana tindakan untuk mengubah lingkungan, adalah wajar mengambil

keputusan dengan pertimbangan ” Apakah lebih baik hangat atau dingin? Apakah

saya ingin manis atau tidak manis? Lumayan besar atau lumayan kecil?”. pemikiran

seperti membuktikan kalau erabi adalah logika untuk memilih yang terbaik dari

Universitas Sumatera Utara


serangkaian alternatif yang terdiri dari serangkaian pilihan dari berbagai dichotomy

(bercabang dalam dua bagian).

Awase berbeda dengan erabi dimana awase adalah kultur yang menolak

gagasan kalau manusia dapat memanipulasi lingkungannya dan sebagi gantinya

mengharuskan ia menyesuaikan diri dengannya. Menurut jalur pikiran ini, lingkungan

tidaklah ditandai dengan konsep-konsep dikotomi seperti panas lawan dingin. Yang

dipandangnya benar, ialah bahwa bisa agak panas atau agak dingin, sedikit manis atau

tidak manis, lumayan besar atau lumayan kecil; dengan kata lain, lingkungan terdiri

dari satu kontinum gradasi yang tidak begitu kentara dan gampang berubah. Awase

adalah logika yang berusaha memahami serta menyimak rangkaian gradasi perubahan

yang tidak begitu kentara ini (Kinhide, 1981: 7).

Orang Jepang biasanya tidak menetapkan tujuan-tujuan yang jelas dalam

hubungan mereka sendiri, karenaitulah maka penolakan mereka atas pendikotomian

logika erabi membuat pemikiran mereka menjadi kabur dan tidak jelas bagi orang

Eropa dan Amerika. Daripada berkata Hon o kashite kure (Pinjami saya buku itu),

orang Jepang boleh jadi berkata Chotto kashite kure (saya hanya ingin melihatnya)

dan daripada berkata Ano shibai wa kunakatta (sandiwara itu tidak menarik), mereka

akan bilang Sore hodo omoswanai (saya kira sandiwara tu tidak begitu menarik).

Sebaliknya, orang Jepang merasa bahwa orang Amerika, dengan logika erabi-nya,

cendrung membuat perbedaan dalam ukuran-ukuran tertentu yang sangat simplitis dan

dikotomis (monogote o wakiru) (Kinhide, 1981:7).

Dalam kebudayaan awase, orang tidak hanya menyesuaikan dirinya dengan

lingkungan alamnya tetapi juga dengan lingkungan sosialnya. Sebaliknya, orang

berkebudayaan erabi berharap agar orang lain yang mengerti dan menyesuaikan diri

dengan mereka. Dalam pembicaraan awase atau urusan dengan dagang, persetujuan

Universitas Sumatera Utara


diberi ruang gerak dan diperlakukan secara fleksibel dan longgar. Masyarakat Jepang

hidup dengan tidak membuat waktu menjadi eskak dan tidak memberikan perhatian

yang ketat atas keentuan-ketentuan kontrak. Pelanggaran kecil seringkali diabaikan

(ome ni miru). Itulah yang menyebakan kencendrungan mencari dan memberikan

perlakuan khusus bisa dilihat sebagai sesuatu yang pokok bagi masyarakat awase

(Kinhide, 1981: 9).

Dilihat dari sudut lain, bertentangan dengan standarisasi vokabuler dalam

masyrakat erabi, logika awase tidaklah bergantung kepada arti-arti kata yang sudah

dibakukan. Setiap ungkapan memiliki berbagai nuansa dan dipandang hanya sebagai

tanda-tanda yang mengisyarakatkan realitas dan bukanya bukannya menerangkan

realitas itu secara pasti. Kata-kata tidak ditangkap sesuai yang ada di permukaanya;

kita perlu menafsirkan arti yang terkandung didalnya. Bertentangan dengan

kebudayaan erabi yang nilai-nilai dipermukaan tidak dipercaya dan kita diharap

berjalan sesuia dengan itu, didalam masyarakat awase mungkin kita dapat

”mendengar satu menangkap sepuluh” (sasshi ga hayai) dipandang sebagai kebajikan,

dengan kata lain menyesuaikan dengan posisi seseorang sebelum itu secara logis dan

jelas (Kinhide, 1981: 9-10).

Duta besar Kurusu dalam Kinhide (1981:10) secara menarik mengingatkan

kegagalan perundingan antara Jepang dengan Rusia sebelum pecahnya perang Pasifik

dikarenakan masing-masing perunding susah mengambil posisi atau kedudukan yang

tepat. Dia menggambarkan dengan analogi, orang Jepang mengundang orang Barat

untuk naik ke ruang tingkat dua. Saat para tamu itu kelihatan ragu-ragu untuk naik,

orang Jepang tetap mengajak mereka naikkeatas, karena setidak-tidaknya

pemandangan akan lebih baik jika dilihat dari atas. Namun, orang Barat ingin

mengetahui pemandangan apa yang mereka akan dapatkan terlebih dahulu sebelum

Universitas Sumatera Utara


mereka setuju naik tangga menuju ruang tersebut. Akibatnya, perundingan tersebut

gagal. Dalam bentuk alegoris cerita ini, memperlihatkan suatu kesalahan pemanduan

yang mendasar diman kebudayaan erabi saling beradapan dengan kebudayan awase

dalam ahap pertama perundingan (Kinhide, 1981:10).

Para ahli psikologi Amerika yang mengkhususkan diri dalam penelitian

mengenai proses perundingan umumnya mengandaikan bahwa tahap pertama dari

perundingan haruslah berupa perumusan masalh. Dengan kata lain, perundingan

dimulai hanya jika para perunding atau kedua belah pihak telah mengetahui jenis

”pandangan” apa yang akan muncul. Ini9 tidaklah mesti demikian dalam kebudayaan

awase. Di Jepang, sekalipun kedua belah pihak setidak-tidaknya sudah punya sedikit

gambaran tentang apa yang akan dibicarakan sebelum prundinag dimulai, tetapi

pemakaian umum dari ungkapan-ungkapan seperti, Tonikaku,ome ni kakatta ue

de...(”Mari, begtu kita duduk bersama...”)dan ome ni kakaranakutte wa, kuwasii koto

wa....(”Tanpa berdetil,...”), menunjukkan bahawa orang Jepang umumnya

menginginkan pihak lain ”menaiki tangga” sebelum membicarakan persoalan-

persoalan. Mereka menghedaki kesedaian kedua belah pihak untuk saling

menyesuaikan diri (awaseru) dalam hal situasui tanpa prasyarat dan prakonsepsi

(Kinhide, 1981: 10).

Saat kedua belah pihak sudah berada di meja perundingan, pendekatan ala

barat (erabi) ialah mengemukakan secara langsung atau lebih tepatnya membicarakan

persoalan-persoalan terlebih dahulu. Pendekatan awase tidaklah demikian. Dalam

pendekatan awase, yang petama kali dilakukan adalah menetapakan apakah para

perunding sudah sama-sama siap untuk saling menyesuaikan diri dengan posisi

lawannya masing –masing. Aturan bisnis pertama di Jepang adalah menciptakan

Universitas Sumatera Utara


hubungna pribadi kedua belah pihak yang memungkinan mereka berbicara secara

terbuka didalam suasan asaling memberi dan saling menerima (Kinhide, 1981:10-11).

Perbedaan-perbedaan seperti yang dikatakan pada paragraf-paragaraf

sebelumnya adalah di awal perundiangan. Perbedaan kedua adalah bagaimana

perundiangan dilakukan. Pandangan erabi berasumsi bahwa perundingan akn berjalan

melau pernyataan posisi yang jelas dari kedua belah pihak, hal ini bertentangan

dengan pandangan awase yang lebih menyukai penafsiran atas posisi pihak

sebaliknya tanpa keterangan yang jelas. Tentu saja dalam kebudayaan Amerika,

meskipun tidak boleh memikirkan kepentingan diri sendiri, dengan sepenuhnya

mengabaikan masalah-masalah dari pihak lainnya. Meskipun demikian, menurut

etiket dan etika perundingan erabi, kita tidaklah perlu bersimpati dengan pihak sana.

Sebagai gantinya, sudah dipandang cukup untuk secara jujur dan sepenuhnya

mengutarakan alasan-alasan posisi kita sendiri kepada pihak lainnya. Di Jepang,

perasaan yang ada adalah ”Anda menyesuaikan diri dengan posisi saya dan saya akan

menyesuaikan posisis saya dengan posisi anda”.

Orang Jepang sering menggunakan ungkapan seperti Otachiba o jubun

koryoshite (”dengan sepenuhnya mempertimbangkan posisi anda...”), atau Tokubetsu

ni otorihokarai shimashou...(”Saya kan memberikan layanan-layanan khusus

untukmu kali ini..”). Dari sis lainnya, oang Jepan juga menggunakan ungkapanseperti

Watashikushi no tachiba o gokanno itadaitte...(”Pertimbangkanlah keadaan saya...)

dan kochira no jijou mo gokensatsu kudasame, soko ohitotsu...(”Kasihilah keadaan

saya dan jika mungkin berilah pengecualian..).

Dalam kebudayaan erabi kontrak dipandang sebagi pilihan terakhir dari pihak-

pihak yang berundingdan dipandang mengikat, dalam kebudayan awase kontrak

hanyalah suatu manifestasai dari hubungan awase yang akrab antar pihak-pihak yang

Universitas Sumatera Utara


bersangutan. Tata hubungan awase yang akrab memungkinkan para peserta untuk

sling memberikan pengecualian dan kesimpulan kontarak yang sesungguhnya

mendorong kedua belah pihak untuk mencari konsens-konsensi lebih jauh. Sehiingga

tidak jarang, orang-orang Jepang tidak henti-hentinya berunding untuk memperoleh

syarat-syarat yang lebih menguntungkan setelah kontarak disepakati (Kinhide,

1981:11-12)

Sejumlah perbedaan juga terlihat di dalam tatanan logika keseluruhan dari

perundingan. Bertentangan dengan gaya erabi dimana tiap pihak berusaha

menyempurnakan sertra menjelaskan posisinya secara resmi. Pihak-pihak yang

berpran di dalam perundinna awase cendrung memisahkan dimensi formal dari

hubungan dengan kandungannya yang sesungguhnya. Meskipun kata-kata diberi

kridibilitaas formal tertentu dalam beberapa hal, makna luarnya trkadang ditolak demi

saling-saling pengertian akan realitas situasi. Sementara gaya erabimenekankan hasl

formal dari suatu perundingan, pola awase mencakup suatu pemahamn implisit akan

jurang antara bentuk dengan hakikat (Kinhide, 1981:12).

Dalam gaya awase, pendekatan pada masalah menyertakan asumsi bahwa

”dalam teori memang demikin caranya, tetapi kenyataannya..”. Gaya awase

meletakkan tekanan pada sekian keadaan khusus yang membedakan tiap kasus konkrit

dan berfungsi membuat prinsip-prinsip umum tidak bisa diterapkan. Pendekatan

awase jika salah dikelola, bisa membat kita hanyut disepanjang rentetan pristiwa.

Akan tetapi perundingan awase punya kelebihan yang memungkinkan pihak lain

untuk menyesuaikan diri. Pendekatan awase juga memperhitungkan perbedaan teori

antar teori dengan perubahan keadan. Sebab ia tidak mempersyaratkan adanya

pernyatan posisi secara jelas, ia mmberikan cukup banyak pelonggaran untuk tidak

hentinya menafsirkan pendirian seseorang. Ini adalah kelebihan yang jelas

Universitas Sumatera Utara


dibandingkan dengan keterus-terangan eabi yang bersahaja. Tentu saja ada batas.

Begitu ketidak percayaan pihak lain mencapai suatu titik tertentu, perundingan pun

gagal dan soal-soal poko sama-sama dikobankan dengan soal-soal tidak pokok.

b. Kultur Haji no Bunka

Kultur haji no bunka adalah kultur Jepang yang dikemukakan oleh Ruth

Benedict, seorang ahli antropologi yang berasal dari Amerika. Dalam bukunya yang

berjudul Cristnshium and the Sword, ia menggambarkan dengan jelas pola-pola

kebudayaan Jepang. Tentu saja hal ini juga terlihat dalam hubungan diplomasi Jepang.

Tentu saja hal ini juga terlihat dalam hubungna diplomasi Jepang terhadap negara-

negara lain termasuk Indonesia. Haji no bunka (恥 の文化) terdiri atas dua kanji modern

yaitu kanji haji (恥) dan bunka (文化). Kanji haji menurut kamus besar kanji (Nicholson

, 2005: 734) memiliki arti malu. Sedangkan bunka menurut kamus kanji modern

(Nicholson, 2005: 462) memiliki arti budaya. Apabila kedua kata ini digabungkan

secara harfiah memiliki arti shame culture atau budaya malu.

Ada perbedaan pandangan yang cukup besar antara orang-orang Barat denga

orang-orang Timur. Dalam masalah sejarah, orang Barat cendrung mengtakan kalu

mereka adalah pewaris sejarah. Berbeda dengan orang-orang Timur yang mengatakan

berutang kepada sejarah. Masyrakat Barat menilai pemujaan trehadap roh nenek

moyang hanyalah pemujaan biasa kepada roh-roh yang sudah meninggal. Bagi

masyarakat Timur, itu bukanlah pemujaan biasa tetapi hal itu juga merupakan

pengakuan ritual bahwa manusia sangat berutang kepada segala sesuatu yang terjadi

sebelumnya (Benedict, 1979: 104).

Lagi pula orang tidak berutang kepada masa lampau saja; setiap kontak sehari-

hari dengan orang lain menambah keberuntungannya di masa kini. Keputusan-

Universitas Sumatera Utara


keputusan dan tindakan-tindakannya bersumber dari utangnya ini. Keberuntungan ini

adalah titik yang fundamental. Di Jepang, bergantung kepada pengakuan akan tempat

seseorang di dalam jaringan besar dari saling keberutangan tersebut yang mencakup

baik nenek moyang maupun oraang-orang sezaman. Hal ini terlihat sederahana tetapi

rumit. Padanya pun diletakkan tanggung jawab yang besar (Benedict, 1979: 104-105).

Bangsa Jepang memiliki banyak kata yang artinya ”kewajiban”. Kata-kata itu

bukanlah sinonim an kata-katanya yang spesifik tidak mempunyai terjemahan yang

tepat dalam bahasa Inggris, karena gagasan yang diutrakan asing bagi orang Barat.

Kata ”kewajiban”, yang mencakup utang seseorang dari yang paling besar sampai

yang paling kecil adalah on. Didalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi

”kewajiban” dan ”kesetiaan” sampai ”keramahan” dan ”cinta kasih”, teaepi kata-kata

ini mengubah pengertian yang sebenarnya (benedict, 1979: 105).

Dalam semua pemakaianya, on mengandung arti sebagai beban, suatu utang,

sesuatau yang harus dipikul seseorang sebaik mungkin. Seseorang menerima on dari

atasannya atau setidaknya orang setingkat, menimbulkan perasaan bahwa orang itu

lebih rendah dari pada si pemberi on. Kalau mereka mengatakan, ”Saya mengenakan

on terhadapnya” maka yang mereka maksudkan adalah mengatakan ” Saya memikul

suatu beban kewajiban terhadapnya”, dan mereka menyebut kreditor atau dermawan

itu sebagi ’orang on’-nya (Benedict, 1979: 105). ”mengingat on seseorang” mungkin

merupakan pencurahan murni dari rasa pengbdian yang timbal

balik.

On selalu dipakai dalam pengertian pengabdian tanpa batas, kalau itu

menyangkut utang yang terbesar dan terutama, yaitu ”on kekaisaran ” orang tadi. Ini

adalah utang seseorang kepada kaisarnya, yang harus diterima orang itu dengan kasih

yang mendalam. Orang Jepang merasa mustahil seseorang akan berterimakasih

Universitas Sumatera Utara


kepada negerinya, senang akan kehidupannya, senang akan hal-hal besar dan kecil

yang menyangkut dirinya, tanpa mengingat mereka menerima-menerima keuntungan

ini. Dalam seluruh Jepang, orang yang paling utama diantara sesamanya ini, pada

siapa seseorang berutang, adalah atasan tertinggi dalam lingkup kehidupan seseorang

tadi. Negara Jepang modern telah memakai semua cara untuk memusatkan perasaan

ini kepada Kaisar. (Benedict, 1979: 107).

Orang juga mengenakan on terhadap orang-orang yang lebih rendah

tingkatnya dari pada Kaisar. Tentu saja ada on yang diterima dari orang tua masing-

masing. Inilah dasar dari bakti dan hormat filial bangsa-bangsa Timur yang

menempatkan orang tua pada suatu posisi yang strategis atas anak-anaknya. On ini

dijabarkan sebagi utang anak-anak terhadap orang tuanya dan mereka berusaha mati-

matian untuk menebusnya. Karena itu, anak-anaklah yang harus berusaha untuk patuh

(benedict, 1979: 108).

Orang juga mempunyai on khusus kepada guru dan tuannya (nushi). Kedua-

duanya telah membantu dia untuk maju dan orang mengenakan on terhadap mereka,

yang dimasa depan mungkin mengharuskan orang tersebut untuk memenuhi suatu

permintaan mereka, pada saat mereka mengalami kesulitan, atau barangkali untuk

memberikan bantuan kepada salah seorang sanak saudaranya yang muda, setelah

mereka tiada. Orang harus berusaha keras untuk melaksanakan kewajiban itu dan

utangnya tidak berkurang dengan berlalunya waktu. Bahkan sebaliknya, semakin lama

utang itu semakin bertambah. On itu seakan mengumpulakn sejenis riba. On kapada

siap saja adalah hal yang serius. Seperti yang biasa mereka katakan, ”Orang tidak

pernah dapat menebus sepersepuluh ribu dari on-nya”. On adalah beban yang berat

dan ”kekuasaan on”, meskipun senantiasa melanggar pilihan-pilihan pribadi, dianggap

selalu benar (Benedict, 1979: 109).

Universitas Sumatera Utara


Kelancaran berfungsinya etika ini bergantung kepada kemampuan setiap orang untuk

menganggap dirinya sebagai orang yang berutang banyak tanpa merasa tidak terlalu

enak saat menebus kewajiban-kewajiban yang ditanggungnya. Adat kebiasaan yang

menyertainya dan dijalankan dengan giat memungkinkan bangsa Jepang untuk moral

mereka sampai suatu taraf yang tidak masuk akal bagi seorang Barat (Benedict, 1979:

109).

Orang tidak suka denga seenaknya menyandang arti utang budi yang

terkandung dalam on. Mereka selalu berbicara ”membuat orang mengenakan on” dan

sering terjemahan yang paling mendekai adalah ”memaksakan kepada orang lain”. Di

Jepang istilah ini berarti memberi sesuatu kepada orang atau berbuat baik kepada

orang itu. Orang Jepang paling tidak menyukai perbuatan-perbuatan baik dari orang

yang tidak dikenalnya, karena dengan tetangga dalam hubungan-hubungan hirarkis

yang sudah mantap, orang tahu dan telah menerima kerumitan on. Tetapi dengan

kenalan biasa atau orang yang hampir setingkat, hal ini menyinggung perasaan

(Benedict, 1979:110).

Didalam hubungan struktural yang diterima, rasa berutang yang besar yang

terkandung dalam on sering mendorong orang untuk meyerahkan segala-galanya yang

ada dalam dirinya sebagai imbalan. Walaupun demikian, cukup berat menjadi orang

yang berutang, dan karena itu orang mudah tersinggung (Benedict, 1979: 113).

Dengan berbagai perasaan apapun, on dapat ditanggung selama ” si pemberi on”

sebenarnya adalah dirinya sendiri; ia sudah diberi tempat dalam pola hirarki ”saya”,

atau ia melakukan sesuatu yang dapat saya lakukan, seperti mengembalikan topi saya

yang terbawa angin, atau ia seseorang yang mengagumi saya. Sekali indefikasi-

indefikasi ini runtuh on merupakan luka yang membusuk. Seremeh apa pun yang

terjadi, terlebih baik jika menyukainya. Setiap orang Jepang mengetahui bahwa jika

Universitas Sumatera Utara


seseorang membuat on terlalu berat, apa pun situasinya, maka orang itu akan

melakukan kesulitan (Benedict, 1979: 115). Setiap perbuatan baik yang diterima

seseorang, menjadikan orang itu berutang. Seperti dikatakan oleh pribahasa mereka,

”diperlukan suatu tingkat kemurahan hati yang tidak terjangkau tingginya dan yang

sudah dibawa sejak lahir, untuk menerima on” (benedict, 1979: 120).

On adalah utang dan harus dibayar kembali; tetapi di Jepang, semua

pembayran kembali dianggap berada dalam kategori lain. Untuk bangsa Jepang, rasa

berutang yang utam dan yang selalu ada, yaitu on, berbeda sekali dengan pembayaran

kembali secara aktif dan ketat yang disebut-sebut dalam serentetan konsep-konsep

lain. Rasa berutang seseorang dalam serentetan konsep-konsep lain. Rasa berutang

seseorang (on) bukan merupakan kebajikan; pembayaran kembali itulah yang

dianggap sebagai kebajikan. Kebajikan dimulai pada saat orang itu memusatkan

dirinya secara aktif untuk menebus utang itu (Benedict, 1979: 121).

Bangsa Jepang membagi kedalam kategori-kategori yang jelas, masing-masing

denga peraturannya yang berlainan, pembayran kembali on itu, yang jumlah dan

jangka waktu pembayrannya tidak terbatas, dan on mana yang sama secara kuantitatif,

serta mana yang harus dibayar pada kesempatan-kesempatan yang khusus.

Pembayaran tanpa batas atas utang ini disebut gimu dan tentang itu mereka

mengatakan, ”Orang tidak dapat membayar dari sepersepuluh ribu dari on ini”. Gimu

seseorang mengelompokkan dua jenis kewajiban yang berbeda: pembayran on kepada

orangtua sendiri, yang adalah ko, dan pembayaran kembali on kepada Kaisar, yang

adalah chu. Kewajiban kedua gimu ini adalah suatu keharusan dan merupakan nasib

universal seseorang; bahkan pendidikan dasar di Jepang dikatakan sebagai

”pendidikan gimu” karena tidak ada kata lain yang lebih tepat mengrtikan kata

”wajib”. Pristiwa-pristiwa dalam hidup seseorang dapat mengubah detail-detail gimu

Universitas Sumatera Utara


orang itu, tetapi secara otomatis, gimu terdapat pada pada semua orang dan berada

diatas semua kejadian yang tidak disengaja. Kedua bentuk gimu itu adalah tanpa

syarat (Benedict, 1979:122-123).

Bangsa Jepang sangat tegas tentang hal ini; orang membayar kembali utang-

utang keapda nenek moyangnya dengan cara meneruskan kepada anak-anaknya,

asuhan yang telah diterimanya sendiri. Tidak ada kata yang mengungkapkan

”kewajiban bapak terhadap anak-anaknya” dan semua tugas seperti itu dicakup oleh

ko kepada oarang tuanya orang tau. Bakti filial meletakkan semua tanggung jawab

yang banyak ke atas pundak kepala keluarga untuk mencari nafkah bagi anak-

anaknya, mendidik putra-putranya dan adik-adik lelakinya mengurus pengelolaan

tanah keluarga, memberiakn tempat berlindung kepada sanak keluarga yang

memerlukannya dan tugas sehari-hari yang serupa (Benedict, 1979: 130).

Pembatasan yang ketat dari keluarga yang dilembagakan di Jepang, secara

tajam membatasi jumlah orang terhadap siapa seseorang mempunyai gimu ini. Kaisar

haruslah berupa bapak keramat yang jauh dari semua pertimbangan sekuler. Kesetiaan

seseorang kepadanya, yaitu chu, yang merupakan kebajikan tertinggi, harus menjadi

pikirang yang membahagiakan mengenai seorang bapak yang baik, yang tidak dinodai

oleh kontak-kontak dengan dunia (Benedict, 1979: 130-

131).

Semua usaha telah dilakukan di Jepang modern untuk mempersonifikasikan

chu dan secara khusus menunjukkannya pada diri Kaisar. Kaisar pertama setelah

restorasi adalah Kaisar yang konsekuen dan berwibawa dan selama pemerintahannya

yang panjang dengan mudah ia menjadi lambang pribadi bagi rakyatnya.

Pemunculannya sekali-sekali di muka umum disambut dengan upacara pemujaan

lengkap. Dengan segala cara ini, Kaisar dijadiakan sebuah lambang yang berada di

Universitas Sumatera Utara


luar jangkauan segala macam pertentangan di dalam negeri (Benedict, 1979:

135).

Chu menyediakan sebuah sistem ganda dalam hubungan antara hamba sahaya

dan Kaisar. Si hamba mengadah ke atas, langsung kepada Kaisarnya tanpa

perantaraan siapa pun; secara pribadi, hamba ni ”menentramkan hati Kaisar” melalui

tindakan-tindakannya. Di dalam pemerintahan sipil, chu mendukung apa saja, dari

kematian sampai pajak. Pemungutan pajak, petugas polisi, pejabat-pejabat wajib

militer adalah saluran-saluran melalui mana seorang hamba sahaya menyerahkan chu.

Orang Jepang berpendapat bahwa patuh pada hukum merupakan pembayaran kembali

atas utangnya yang terbesar, yaitu ko-on (Benedict, 1979: 136-137).

”Giri” begitu pepatah Jepang, ” adalah yang paling berat untuk ditanggung”.

Seseorang harus membayar kembali giri sebagaimanadia harus membayar kembali

gimu, tetapi giri sebagaimana dia harus membayar kembali gimu, tetapi giri itu adalah

serentetan keawjiban yang berlainan warnanya. Giri memiliki dua pembagian yang

jelas yaitu giri kepada dunia dan giri kepada nama sendiri. Giri kepada dunia secar

harfiah dikatakan dengan ” membayar kembali giri” adalah kewajiban seseorang

untuk membayar on kepada sesamanya. Giri kepada nama sendiri adalah kewajiban

untuk tetap membersihkan nama serta reputasi seseorang dari noda fitnah, semacam

’kehormatan” (Benedict, 1979: 141).

Secara umum, giri kepada dunia dapat digambarkan sebagai dipenuhinya

hubungan-hubungan yang bersifat kontrak, sangat kontras dengan gimu yang

dirasakan sebagai pemenuhan kewajiban-kewajiban berdasarkan hubungan akrab

yang dialami seseorang sejak lahirnya. Jadi, giri mencakup semua kewajiban yng

menjadi tanggungan seesorang kepada keluarga mertuanya sedangkan gimu kepada

keluarga kandungnya. Seperti dikatakan oleh seorang Jepang, ”Kalau seorang putra

Universitas Sumatera Utara


deawsa berbuat sesuatu untuk ibunya sendiri, itu adalah karena dia mencintai ibunya

dan karena hal itu, itu bunkanlah giri. Seseorang tidak bekerja untuk giri kalau ia

melakukan dengan tulus hati”. Akan tetapi orang memenuh kewajibannya terhadap

mertuanya secara tepat karena bagaimanpun juga ia harus menghindari celaan yang

ditakuti; ”orang yang tidak tahu giri” (benedict, 1979: 141-142).

Giri memang cukup keras dan ”penuh keengganan”, sehingga pernyataan

”karena giri” saja sudah cukup bagi orang Jepang untuk menggambarkan hubungan

yang membenani itu. Bukan saja kewajiban terhadap mertua merupakan giri;

kewajiban terhadap paman, biib, keponakan pria dan wanita berada dalam kategori

sama. Hubungan tradisional giri yang besar, yang oleh banyak orang Jepang bahkan

dianggap lebih penting daripada giri terhadap mertua, adalah giri seorang pengikut

terhadap tuannya dan giri terhadap sesama rekan prajurit. Itu adalah kesetiaan yang

diwajibkan atas seseorang terhadap atasannya dan rekan-rekannya yang setaraf.

Kewajiban giri ini diagungkan dalam banyak bacaan tradisional. Ia diindetifikasikan

sebagai kebajikan seorang samurai (Benedict, 1979: 144).

Peraturan-peraturan giri merupakan peraturan-peraturan pembayaran kembali

yang wajib. Kalau seseorang dipaksa untuk dengan giri , maka dianggap ia

mungkinharus mengesampingkan rasa keadilannya dan seriang berakata, ” Saya tidak

dapat berbuat benar(gi) karena giri. Peraturan-peraturan itu tidak mengharuskan

orang berbuat baik dari dalam hatinya. Mereka mengatakan harus bahwa orang harus

melakukan giri, karena kalau tidak, ia akan disebut orng tidak tahu giri dan akan

dibuat malu didepan umum. Yang harus membuat giri ditaati adalah; apa kata orang

tentang itu. Mem,ang. ” giri terhadapadunia” sering muncul dalam terjemahan Inggris

dengan ”sejalan dengan pendapat umum”, dan kamus menterjemahkan dengan

Universitas Sumatera Utara


kalimat ”Memang harus begitu karena itu adalah giri terhadap dunia” dengan ”Orang

yang tidak menerima tindakan yang lain” (Benedict,, 1979: 148).

Bangsa Jepang menganggap seesorang telah bangkrut apabila tidak dapat

membayar giri, dan setiap kontak dalam kehidupan dapat menimbulkan giri dengan

satu atau lain cara. Pembayaran kembali giri dianggap sebagai suatu pembayaran

kembali yang sama jumlahnya. Dalam hal ini, giri sangat berbeda dengan gimu, yang

secara kira-kira pun tidak akn pernah dapat dilunaskan, apapun yang dilakukan oleh

seseorang. Akan tetapi, giri tidak tanpa batas. Bangsa Jepang melarang pemberian

hadiah yang bernilai lebih dari hadiah yang sebelumnya diterima. Orang tidak

menjadi semakin terhoramat dengan mengembalikan ”beludru murni”. Salah satu

komentar terburuk yang dapat dikatakan orang tentang suatu hadiah adalah bahwa si

pemberi ”telah membayar emabali ikan teri dengan ikan kakap”. Begitu juga hal-hal

dengan giri (Benedict, 1979: 148-149).

Giri terhadap nama seseorang adalah kewajiban untuk menjaga reputasinya

supaya tidak bernoda. Giri ysang ini adalah sederetan kebajikan, seakan-akan saling

bertentangan dalam pandangan orang Barat, tetapiyang dalam pandangan orang

Jepang mempunyai suatu keastuan, karena merupakan kewajiban-keawjiban yang

bukan pembayaran kemabali terhadap kebaikan yang diterima; kewajiban-keawjban

itu berada ”diluar lingkup on”. Kewajiban-keawjiban itu adalah tindakan-tindakan

yang tetap menjaga reputasai baik seseorang tanpa mendasarkannya kepada suatu

utang tertentu yang sebelumnya dipunyai orang itu terhadap orang lain. Oleh karena

itu, tercakup di dalamnya melaksanakan segala persyaratan etiket menurut ”tempat

seseorang yang sesuai”, misalnya, kalau merasa sakit sama sekali tidak

memperlihatkannya, dan mempertahankan reputasi dalam profesi atau keahlian. Giri

terhadap nama juga menuntut tindakan-tindakan yang menghilangkan noda atau cela;

Universitas Sumatera Utara


noda itu mengotori nama seseorang dan karena itu harus dihilangkan. Noda itu dapat

memaksa seseorang untuk membalas dendamkepada orang yang merugikan namanya

ataumemeaksa seseorang untuk melakukan bunuh diri,dan diantara kedua ekstrem ini

terdapat segala macam kemungkina tindakan. Akan tetapi, orang tidak dapat

meremehakn sesuatu yang bersifat kompromi (Benedict, 1979: 152).

Bangsa Jepang tidak memilik istilah tersendiri untuk apa yang dinamakan

”giri terhadap nama”. Mereka hanya melukiskannya sebagai giri ”diluar lingkup on”.

Kalau orang mengorabanan miliknya. Keluarganya dan hidupnya sendiri demi

kehormatan,maka ia seoran yang bajik dengan sesungguhnya. Akan tetapi giri terhdap

nama, yang dalam kebudayaan didampingi rasa permusuahn serata menanti dengan

waspada, bukanlah kebajikan khas Asia. Ini adalah kebudayaan yang murni hanya

dimiliki oleh bangsa Jepang (Benedict, 1979: 152-154).

Arti sepenuhnya dari giri terhadap nama tidak dapat dimengerti tanpa

menempatkan dalam konteksnya semua kebajiakn nonagresi yang di Jepang disebut

dengan giri ini. Pembalasan hanyala suatu kebajikan yang mungikn diwajibkan pada

suatu kesempatan. Giri ini juga mencakup banyak tingkah laku yang tenang dan

terkendali. Tidak memperlihatkan perasaaan, pengendalian diri yang diharuskan arti

seorang Jepang yang mempunyai harga dri, merupakan bagian dari giri terhadap

nama. Giri terhadap nama juga mengaruskan seseorang untuk hidup sesuai denga

tempatnyadalam hidup ini. Kalau orang gagal dalam giri ini, ia tidak berahk untuk

menghormati dirinya sendiri. (Benedict, 1979: 155-156).

Giri terhadap nama juga berarti memenuhi banyak macam ikatan selain

ikatan yang ada hubungnya deangan tempat yang sesuai. Seorang yang berutang daoat

mempertaruhka giri terhadap namanya ketika ia meminta pinjaman; satu generasi yan

glalu biasa dikatakn orang bahwa ”Saya setuju untuk ditertawakan di depan umum

Universitas Sumatera Utara


kalau saya gagal membayar jumlah ini”.n kalau ia gagal membayar kembali, ia tidak

secara harfiah dijadikan bahan tertawaan umum; di Jepang tidak ada tiang cacian

umum. Akan tetapi, menjelang Tahun Baru, yaitu tanggal jatuh tempo semua utang,

orang yang tidak membayar utangnya itu, mungkin akan melakukan bunuh diri untuk

”membersihkan namanya”. Di Jepang giri terhadap nama seorang profesional sangat

besar tuntutannya, tetapi giri tidak perlu dipelihara dengan standar profesinal yang

tingi seperti di Amerika (Benedict, 1979: 158).

Berbagai jenis tata krama diatur untuk menhindarkan situasi-situasi yang

dapat menimbulkan rasa malu dan yang mungkin menyangkut giri terhadap namanya.

Situasi-situasi ini, yang diperkecil kemungkinannya seminimal mungkin, mencakup

lebih banyak daripada persaingan langsung. Mereka berpendapat bahwa seorang tuan

rumah harus menyambut tamunya dengan penyambutan ritual tertentu serta dalam

busana yang baik. Karena itu, seseorang yang bertamu kepada petani yang sedang

mengenakan pakaian pekerjaannya, harus menunggu beberapa saat. Si petani tdak

akan memperlihatkan tanda bahwa ia mengenal tamunya sampai ia mengenakan

pakaian yang baik dan mengatur tata cara yang patut (Benedict, 1979: 164).

Di Jepang tujuan yang selalu didambakan adalah kehoramatan. Perlu sekali

memiliki wibawa. Cara-cara yang dipakai untuk mnecapai tujuannya itu adalah alat

yang diambil lalu diletakkan kembali sesuai dengan keperluan keadaan. Kalau situasi

berubah, bangsa Jepang dapat mengubah orientasnya dan berjalan ke arah yang baru.

Bagi mereka, mengubah halauan bukan merupakan masalah moral sebagaimana

halnya denga bangsa Barat (Benedict, 1979: 180).

Agresi bangsa Jepang lain sekali sumbernya. Mereka sangat membutuhkan

penghoramtan di dunia. Mereka melihat bahwa kekuatan militer telah menghasilkan

respek bagi negara-negara dan mereka mengambil halauan untuk menyamai negara-

Universitas Sumatera Utara


negara besar itu. Mereka harus lebih pada gurunya karena sumber-sumber daya

mereka tidak banyak dan teknologinya primitif. Kegagalan mereka dalam usaha besar

ini, berarti bahwa agresi bukanlah cara mencapai kehormatan. Giri selalu erarti

penggunaan agresi atau menjalin hubungan-hubungan ketakziman, dan dalam

kekalahan, bangsa Jepang beralih dari yang satu ke yang lain, jelasa tanpakekerasan

psikis teradap dirinya sendiri. Tujuannya masih tetap nama baik mereka (Benedict,

1979: 181).

Seperti bulan, giri mermiliki bagian yang gelap membuat Jepang menerima

Undang-Undang Eksklusif Amerika dan Perjanjian Persamaan Angkatan Laut sebagai

penghinaan nasional yang keterlaluan, dan yang merangsangnmya untuk membuat

progaram perang yang mencelakakan itu. Bagiannya yang cerah memungkinkan

itikad baik yang ditunjukkan untuk menerima akibat penyerahan di tahun 1945.

Jepang tetapi berttindak sesuai dengan wataknya (benedict, 1979: 183).

Setelah membahas keseluruhan mengenai on, gimu, dan giri mungkin ada

kesulitan untuk memahaminya. Oleh karean itu, dibawah ini ada sebuah penjelasan

yang dapat membantu pemahaman agar lebih jelas sehingga tidak menimbulkan

kerancuan.

On: kewajiban-kewajiban yang timbul secara pasif. Seseorang “menerima on”,

seseorang “mengenakan on”, artinya: on adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh

si penerima yang pasif.

Ko on. On yang diterima dari kaisar

Oya on. On yang diterima dari orangtua.

Nushi no on. On yang diterima dari majikan atau tuan.

Shi no on. On yang diterima dari guru.

Universitas Sumatera Utara


On yang diterima dalam semua hubungan dengan orang lain selam hidup

si penerima.

Catatan: semua orang dari siapa si penerima menerima on, menjadi on

jin atau ”orang-on” dati si penerima.

pemenuhan on. Si penerima on ”membayar kembali” utang–utang; ia ”memenuhi

kewajiban ini” terhadap orang-on nya; artinya: ini adalah kewajiban yang dilihat dari

sudut pembayarannya kembali secara aktif. Ada dua jenis on:

Gimu. Pembayaran kembali yang maksimal sekalipun dari kewajiban ini dianggap

masih belum cukup, dan tidak ada batas waktu pembayarannya.

Chu. Kewajiban terhadap kaisar, hukum dan negara.

Ko. Kewajban terhadap orang tua dan nenek moyang (yang

dimaksud: terhadap keturunanya).

Nimmu. Kewajiban terhadap pekerjaan seseorang .

Giri. Utang-utang ini wajib dibayar dalam jumlah yangsama dengan kebaikan yang

diterima, ada batas waktu pembayarannya

1. Giri terhadap dunia.

Kewajiban terhadap tuan pelindung.

Kewajiban terhadap sanak keluarga jauh.

Kewajiban terhadap orang-orang bukan keluarga karena on yang

diterima dari mereka, misalnya hadiah uang, suatu kebaikan,

pekerjaan yang mereka sumbangkan (dalam suatu kelompok kerja

Kewajiban terhadap keluarga yang tidak begitu dekat (paman, bibi,

kemenakn pria dan wanita) walaupun on yang doterima bukan

berasal dari mereka, melainkan nenek moyang yang sama.

Universitas Sumatera Utara


2. Giri terhadap nama seseorang. Ini adalah versi Jepang dari die Ehre.

Kewajiban seseorang untuk ”membersihakan” reputasinya dari

penghinaan atau tuduhan atas kegagalan, yaitu kewajiban membalas

dendam.

Kewajiban seseorang untuk tidak menunjukkan atau mengakui

kegagalan atau ketidak tahuannya dalam melaksanakan jabatan.

Kewajiban seseorang untuk mengindahkan sopan santun Jepang,

misalnya melaksanakan semua prilaku ketakziman, tidak hidup di atas

tempatnya yang sesuai, mengekang pengungkapan emosi pada

kesempatan atau suasana yang tidak cocok, dan seterusnya.

c. Kultur Masyarakat Horizontaldan Masyarakat Vertikal

Sebelumnya telah dibahasmengenai kultur awase dan kultur haji no bunka

yang merupakan dua kultur yang dimiliki oleh bangsa Jepang. Selain kedua kultur

tersebut ada sebuah kultur agi yang dikemukakan oleh Chie Nakane, seorang profesor

yang berasal dari univertitas Tokyo. Ia mencoba menyusun suatu gambarn struktural

mengenai masyarakat Jepang dengan cara memadukan ciri-ciri besar yang menonjol

yang terdapat dalam kehidupan orang Jepang (Nakane, 1981: vii).

Fakta-fakta tersebut diperolehnya dari sejumlah tipe persekutuan yang ada di

Jepang. Persekutuan itu antara lain perusahaan-perusahaan industri, organisasi-

organisqasi pemerintah, lembaga-lembaga pendidikan, persekutuan keagamaan,

pertai-partai pollitik, persekutuan-persekutuan desa, rumah tangga-rumah tangga

perorangan dan seterusnya yang terdapat di Jepang. Sepanjang penyelidikannya

terhadap kelompok-keompok dalam bidang-bidang yang begitu beraneka warna, ia

memusatkan analisanya pada tingkah laku perorangan dan hubungan antar manusia

Universitas Sumatera Utara


yang merupakan pangkaln baik bagi oerganisasi kelompok maupun bagi

kecenderungan-kecenderungan struktural yang mengusai perkembangan kelompok

(Nakane, 1981: viii).

Daya hidup struktur sosial ini dapat dilihat jelas dalam cara hubungan sosial

antar manusia, yang dapat menentukan keaneka ragaman yang mungkin terjadi dalam

organisasi-organisasi kelompok dalam keadaan yang brubah-ubah. Daya hidup ini

mengungkapkan uraian orientasinilai dasar yang tidak dapat dipisahkan dari

masyarakat yang meruapkan tenaga pendorong perkembangan masyarakat. Ketabahan

sosial itu tergantaung kepada taraf intergrasi dan jangka waktu sejarah suatu

masyarakat (Nakane, 1981: xi).

Chie Nakane melakukan pendekatan terhadap persoalan ini denagn sarana

analisis struktural, dan bukan dengan memberikan penjelasan yang bersifat kultural

maupun historis. Tema buku ini adalah penggarapan yang dinamakan olehnya dengan

sebutan prinsip vertikal dalam masyarakat Jepang. Dalam pandangannya, ciri yang

paling karakteristik dalam organisasi sosial Jepang timbul dari ikatan tunggal dalam

hubungan tunggal yang distingtif dengan orang atau kelompok yang lain. Jalannya

hubungan macam ini adalah sesuai dengan struktur masyarakat Jepang yang unk itu

secara keseluruhan, yang berbeda dengan struktur masyarakat yang berkasta dan

berkelas (Nakane, 1981: xii).

Seperti dalam pembentukan rumah tangga, pembentukan kelompok atas

dasar elemen kerangka menyangkut kemungkinan menerima anggota baru dengan

atribut berbeda, dan dalam pada itu menyangkut kemungkina mendepak anggota

dengan atribut yang sama. Pristiwa demikian sering terjadi, terutama didalam

lingkungan pertanian tradisional dan pedagang. Orang luar, sekalipun ikatan

Universitas Sumatera Utara


kekeluargaannya sangat jauh dapat menjadi ahli waris dan pengganti. Bahkan seorang

pelayan dapat menjadei ahli waris (Nakane, 1981: 1).

Akan tetapi, hubungan kekeluargaan yang biasanya dianggap ikatan primer

dan mendasar di Jepang tamaknya digantikan oleh hubungan kerjasama yang

dasarnya adalah pekerjaan, dimana tersangkut segi-segi pokok kehidupan sosial dan

ekonomi. Di sini akan kita temui lagi unit yang sangat p[enting dalam masyarakat

Jepang, yaitu kelompok kerjasama berdasarkan kerangka. Inilah prinsip pokok yang

menjadi dasar pembangunan masyarakat Jepang (Nakane, 1981: 3).

Pendeknya, prinsip-prinsip struktur kelompok sosial Jepang jelas terpotret

pada struktur rumah tangga. Konsep lembaga rumah tangga tradisional, ie, tetap

bertahan dalam indetitas kelompok macam-macam yang disebut uchi, suatu bentuk

ungkapan dari ie. Fakta itu menunjukkan bahwa pembentukan kelompok-kelompok

sosial atas dasar kerangka yang tetap merupakan ciri struktur sosial dalam masyarakat

Jepang. Di antara kelompok-kelompok yang lebih besar dari rumah tangga, ada

kelompok yang digambarkan menurut konsep menengah, ichizoku-roto (satu

kelompok keluarga dan mereka mempertahankannya). Ide struktur kelompok seperti

yang diungkapkan dalam istilah itu merupakan suatu contoh istimewa dari kelompok

sosial berdasarkan kerangka. Tentu saja konsep itu merupakan konsep suatu rumah

tangga di mana para anggota keluarga dan orang-orang luar yang dijadikan anggota

keluarga tidak dipisahkan melainkan membentuk suatu kelompok kerja terpadu.

Hubungan in sama dengan hubungan antara anggota keluarga dan para kerani atau

pembantu dalam suatu antitesis dari suatu kelompok yang secara eksklusif terbentuk

berdasarkan garis kekeluargaan atau silsilah (Nakane, 1981: 4).

Di dalam masyarakat modern yang dianggap sama dengan ie dan ichizoku-

roto adalah kelompok seperti ”keluaraga besar kereta api”, yang menojolkan Japanese

Universitas Sumatera Utara


National Railways, suatu himpunan yang mencakup baik para pekerja maupun

manajemen yang menyebut kelmpok ini ”keselarasan buiruh dan manajemen”.

Walaupun sering dikatakan bahwa lembaga keluarga tradisional ie telah lenyap, tetapi

konsep ie masih bertahan dal masyarakat modern. Suatu perusahaan dianggap sebagai

suatu ie, semua pekerjanya dianggap sebagai anggota rumah tangga, sedangkan

majikan menjadi kepala rumah tangga (Nakane, 1981:4).

Tentu saja industrialisasi menghasilkan suatu organisasi tipe baru yang

struktur formalnya mungkin sama dengan yang terdapat dalam masyarakat barat

modern. Akan tetapi, hal ini tidak harus berarti mengubah struktur informalnya yang

sebagian besar mempertahan kan struktur tradisional seperti yang kita lihat dalam

kasus Jepang ini. Hal ini menunjukkan bahwa struktur sosial dasar tetap berlaku

kendati terdapat banyak perubahan besar dalam organisasi sosial (Nakane, 1981: 5).

Disamping tuntutan awal akan kertangka yang kuat dan taahan lama,

selanjutnya diperlukan usaha untu memperkokoh kerangka itu dan membuat unsur

kelompok lebih kompak lagi. Secara teoritis hal ini dapat dilakukan dengan dua cara.

Cara yang pertama adalah mempengaruhi para anggota dalam kerangka itu

sedemikian rupa sehingga mempunyai perasaan kesatuan, cara yang kedua adalah

menciptakan organisasi intern yang akan mengikat individu-individu dalam kelompok

satu dengan yang lain dan kemudian memperkuat organisasi ini. dalam prakteknya

kedua hal ini dilakukan bersama-sama (Nakane, 1981: 7).

Orang-orang yang berbeda atributnya dapa dibuat merasa menjadi anggota

elompok yangsama. Perasaan ini dikukuhkan, dengan menekankan kesadaran akan

”kita” terhadap ”mereka, yaitu orang–orang luar, dan dengan mempertajam rasa

bersaiang dengan kelompok sejenis lainnya. Dengan cara ini dalam hati orang

berkembang ikatan sebagai ”anggota dari himpunan yang sama” (Nakane, 1981: 7).

Universitas Sumatera Utara


Rasa perpaduan kesatuan kelompok seperti yang telah ditunjukkan dalam

mekanisme oprasioanal keluarga dan perusahaan, merupakandasar yang ensesial bagi

keikutsertaan emosinal dari orang perorang dalam kelompok itu; rasa perpaduan itu

ikut membina suatu dunia yang tertututup dan menghasilakan pengasingan atau

kebebasan kelompok yang kuat. Hal inilah yang menyuburkan adat kebiasaan rumah

tangga dan perusahaan. Dua hal yang disebut terakhir itu pada gilirannya ditekankan

dalam berbagai moto yang mempertebal rasa persatuan dan solidaritas kelompok itu.

Jadi lebih memperkokoh kelompok itu (Nakane, 1981: 22).

Selaras dengan itu kebebasan keompok dan stabilitas kerangka yang

diperkuat oleh rasa persatuan itu menciptakan jurang pemisah antara orang–orang

kelompok itu dengan orang–orang kelompok lain dari atribut yang sama tetapi berada

di luar kerangka; sementara itu jarak orang-orang yang berbeda atributnya yang

berada di dalam kerangka makin dipersempit dan berfungsinya setiap kelompok yang

dibentuk atas dasar atribut yang sama dilumpuhkan. Para pekerja, suka atau tidak

suka, harus tetap bersama kelompok (Nakane, 1981: 22).

Satu contoh yang lebih ekstrem mengenai sikap prilaku kelompok adalah

dinginnya orang Jepang (yang tidak semata-mata sikap acuh tak acuh, melainkan rasa

bermusuan yang aktif) yang mengherankan, rasa jijik dan penolakan yangakan mereka

tunjukakn pada orng asing dari pulau lain, atau pada mereka yang hidup dalam

”buraku” (dulu kelompok sosial yang dikucilkasn tetapi sekarang sudah dianggap

secara hukum sama dengan yang lain meskipun masih juga didiskriminasikan). Disini

sikap sempurna mengasingkan orang dari luar dunia ”kita” dilembagakan (Nakane.

1981: 23).

Jadi dalam masyarakat Jepang tidak ada ikatan dalam kelompok individual

satuterhadap yang lain, tetapi juga ikatan yang menghimpun individu-individu satu

Universitas Sumatera Utara


terhadap yang lain. Ciri satu ikatan dalam hubungan sosial merupakan dasar dari cita-

cita berbagai kelompok yang bermacam-macam, dalam satu masyarakat keseluruhan

(Nakane, 1981: 25).

Dalam arti abstrak, tipe pokok hubungan antar manusia dapat dibagi-bagi

menurut cara mengatur berbagai ikatan, menjadi dua ikatan yaitu kategori: vertikal

dan horizontal. Kedua kategori ini bersifat linear. Konsep dasar ini dapat diterapkan

pada macam-macam hubungan antarpribadi. Misalnya, hubungan antara anak dan

orang tua adalah hubungan vertikal, hubungan antara saudara kandung adalah

horisontal. Hubungan antara atasan dan bawahan disebut hubungan horisontal

sedangkan hubungan antara rekan sejawat adalah hubungan horisontal. Kedua jenis

hubungan ini merupakan faktor yang amat penting dalam tata huubungan dan

merupakan inti struktur suatu kelompok. Bergantung kepada masyarakatnya,

kelihatan bahwa salah satu jenis hubungan dalam masa tertentu memiliki fungsi yang

lebih penting daripada jenis hubungan lainnya, tetapi kadang-kadang kedua faktor ini

sama fungsinya (Nakane, 1981: 26-27).

Nakane Chie (1981: 175-176) menjabarkan secara jelas bagaimana orang

Jepang membutuhkan persahabatan.

Orang Jepang sangat membutuhkan persahabatan. Mereka


membentuk persahabatan atas dasar persamaan tempat kerja,
seksi atau lembaga. Diluar itu dapat dikatakan orang luar.
Persahabatan orang Jepang bersifat sensitif atau lebih banyak
memeras pikiran daripada tenaga karena perasaannya yang luar
biasa. Mereka cenderung menyembunyikan keinginan dan
perasaan yang sesungguhnya.
Bila seseorang kebetulan membuat kesalahan dalam pekerjaannya, kawan-

kawan sekelompoknya akan melindunginya. Bahkan dalam hal-hal yang semakin

serius, sekalipun sesungguhnya tidak ada alasan yang masuk akal untuk dapat

Universitas Sumatera Utara


mempertanggung jawabkan tindakan atau perbuatannya itu, kelompoknya akan tetap

melindungi dengan kekuasaan yang mereka miliki dan mereka tidak segan-segan

mencari alasan untuk membenarkannya, betapapun tidak masuk akal emosinalnya.

Mereka pada tiap waktu memihak kepadanya secara gigih belum tentu karena dia

benar, tetapi semata-mata atas dasar bahwa ia termasuk kelompok mereka (Nakane,

1981: 174).

2.2.3 Kultur Indonesia

Negara Indonesia adalah negara yang memiliki banyak keunikan. Sebagai

negara yang berada diantara dua samudra dan dua benua, Indonesia memiliki posisi

yang sangat strategis baik secara geografis dan ekonomi. Hal ini lebih ditunjang lagi

dengan iklim tropis yang dimiliki Indonesia. Iklim ini menyebabkan negara Indonesia

memiliki kesuburan yang menunjang pertanian dan kehutanan. Sejak dahulu kala,

Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki hasil alam dengan harga yang sangat

tinggi dan dincar oleh negara-negara Asing dimulai dari kedatangan bangsa Portugis

ke Indonesia. Hal ini juga yang mendorong negara-negara tersebut datang dan

menjajah negara ini.

Indonesia sama seperti Jepang adalah negara kepulauan yang terdiri atas

banyak pulau dan dipisah oleh lautan. Kesatuan politis Negara Kesatuan Republik

Indonesia terdiri atas 6000 buah pulau yang terhuni dari jumlah keseluruhan sekitar

13.667 buah pulau. Tetapi berbeda dengan Jepang yang homogen (satu ras atau suku),

Indonesia adalah negara yang terdiri atas berbagai macam suku dan bahasa. Secara

spesifik keadaan sosial budaya Indonesia sangat kompleks, mengingat penduduk

Indonesia kurang lebih sudah di atas 200 juta dalam 30 kesatuan suku bangsa.

Universitas Sumatera Utara


Hal ini terjadi mungkin dikarenakan keadaan iklim dan geografis Indonesia.

Indonesia adalah negara tropis yang memiliki banyak areal hutan yang lebat. Hal ini

menyebabkan sekelompok orang disuatu wilayah bisa saja tidak pernah bertemu atau

berhubungan dengan sekelompok orang di wilayah lain dalam areal hutan yang sama.

Setiap kelompok akhirnya membentuk bahasa dan kebiasaannya sendiri walaupun

mungkin memilki kesamaan tetapi tidak ada yang memiliki kesamaan sampai seratus

persen. Hal ini dapat dilihat di pulau Irian dan Kalimantan. Dua pulau ini terkenal

dengan areal hutannya yang luas dan juga jumlah suku yang banyak. Suku dayak di

Kalimantan saja misalnya, memiliki banyak variasi walaupun mereka mengatakan diri

mereka sebagi suku dayak. Contoh lainnya adalah suku Batak yang berada di

Sumatera, terdiri atas 5 suku batak seperti Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak,

Batak Simalungun, dan Batak Mandailing.

Demikianlah, Indonesia sebagai sebuah “nation state” yang menurut Benedict

Anderson merupakan sebuah imajinasi. Kenyataan di dalam “nation state” terdapat

komunitas dalam kemajemukan (heterogeneity), perbedaan (diversity). Dengan

demikian bahasa Indonesia merupakan suatu pengertian tanda budaya yang

didalamnya penuh dengan perbedaan (hibriditas). Hampir sebagian besar penduduk

Indonesia tinggal di daerah “rural” sehingga budaya heterogen pedesaan sangat

mewarnai pola tutur bahasa Indonesia. Kenyataan menunjukkan tidak semua

masyarakat Indonesia hidup di daerah industri dan berperan sebagai masyarakat

industrial, masyarakat informatif, dan bagian dari masyarakat global (Wurianto,

2008:2).

Dapat dibayangkan bahwa Indonesia yang dijadikan sebagi bahasa nasional

belum tentu sudah tersosialisasikan pada 6000 pulau tersebut, mengingat sebagian

besar bermukim di pedesaan. Hanya 10-15% penduduk indonesia yang bermukim di

Universitas Sumatera Utara


daerah urban. Indonesai sudah tentu bukan hanya Jawa dan Bali saja, karena kenyatan

Jawa mncakup 8% penduduk urban. Satu contoh sak mengenai sebuah kalimat yaitu “

Gemah Ripah Loh Jinawi” yang sering digunakan dalam kosa kata bahasa Indonesia

yang menggambarkan kesuburan Indonesia, antara penutur Jawa dan Sunda memiliki

konsep yang berbeda. Dalam konsep Jawa “Gemah Ripah Loh Jinawi, Subur kang

Sarwa Tinandur, Murah kang Sarwa Tinuku, Tata Tentrem Kerta Raharja”,

sementara saudara-saudara dari Sunda mengekspresikan dalam “ Tata Tentrem Kerta

Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi , Rea Ketan Rea Keton Buncir Leuit Loba Duit”

yang artinya saudara dari suku Sunda yang lebih memahami. Sementara itu di

Sumatera Barat dengan adat Minangkabau yang didalamnya terdapat suatu sistem

yang sempurna dan bulat, dalam berbahasa sangat memperhatikan raso, pareso, malu

dan sopan, sehingga bahasa Indonesia yang dituturkannya pun sangat terkait dengan

psikologi budaya Minangkabau (Wurianto, 2008: 2).

Semua contoh diatas dapat menunjukkan keberagaman Indonesia. Hal diatas

masih menyangkut bahasa yang dimiliki tiga suku yang berada di Indonesia. Dalam

penerjemahan itu pun harus mempertimbangkan aspek budaya setiap suku.

Bagaimana dengan budaya diplomasi Indonesia? Bagaimana menyampaikan

kebulatan pendapat seluruh Indonesia di kancah internasional? Jika diplomat yang

dikirim berasal dari suku Batak, apakah ia hanya akan membawa indetitasnya sebagai

suku Batak di dunia Internasional?

Sangatlah sulit untuk menjawab pertanyaan tersebut, tetapi Indonesia memiliki

Pancasila sebagai permesatu Indonesia. Pancasila memang bukan budaya Indonesia

tetapi ideologi Indonesia. Keduanya memiliki kekuatan yang sama. Pancasila, selama

NKRI ada tetaplah bagian yang tidak terpisahkan dari Indonesia. Dia adalah indetitas

Indonesia dan mencakup cita-cita bangsa Indonesia dan tentu saja memiliki pesan dari

Universitas Sumatera Utara


setiap suku di Indonesia yang menginginkan kedamaian dan kesejahtraan di Indonesia

dan Dunia. Maka pertanyaan diatas dapat dijawab. Setiap diplomat Indonesia pergi ke

Dunia Internasional dengan membawa indetitasnya sebagai seorang warga negara

Indonesia, bukan sebagai orang Batak ataupun orang Jawa, bukan sebagai orang

Papua ataupun orang Dayak, ia murni seorang manusia Indonesia.

Dalam undang-undang Republik Indonesia No.37 tahun 1999 ditetapkan dasar

dari politik luar negri Republik Indonesia yaitu Pancasila dan Undang-undang 1945.

sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat,

pelaksanaan hubungan luar negeri didasarkan pada asas kesamaan derajat, saling

menghormati, saling tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing, seperti

yang tersirat di dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Bahwa sesuai

dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, salah satu tujuan Pemerintah

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mewujudkan

tujuan itu Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia selama ini telah

melaksanakan hubungan luar negeri dengan berbagai negara dan organisasi regional

maupun internasional. Pelaksanaan kegiatan hubungan luar negeri, baik regional

maupun international, melalui forum bilateral atau multilateral, diabadikan pada

kepentingan nasional berdasarkan prinsip politik luar negeri yang bebas aktif

(admin@legalitas.org diakses 2009).

Pada pasal satu sampai pasal empat dalam undang-undang tersebut

menjelaskan dasar hubungan diplomasi Indonesia. Berikut kutipan dari pasal satu

samapi empat undang-undang tersebut:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 37 TAHUN 1999
TENTANG

Universitas Sumatera Utara


HUBUNGAN LUAR NEGERI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Hubungan Luar Negeri adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional dan
internasional yang dilakukan oleh Pemerintah di tingkat pusat dan daerah, atau
lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha, organisasi politik, organisasi
masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau warga negara Indonesia.
2. Politik Luar Negeri adalah kebijakan, sikap, dan langkah Pemerintah Republik
Indonesia yang diambil dalam melakukan hubungan dengan negara lain, organisasi
internasional, dan subyek hukum internasional lainnya dalam rangka menghadapi
masalah internasional guna mencapai tujuan nasional.
3. Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang
diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Republik
Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subyek hukum
internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah
Republik Indonesia yang bersifat hukum publik.
4. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang hubungan luar negeri
dan politik luar negeri.
5. Organisasi Internasional adalah organisasi antar pemerintah.

Pasal 2

Universitas Sumatera Utara


Hubungan Luar Negeri dan Politik Luar Negeri didasarkan pada Pancasila, Undang-
Undang Dasar 1945, dan Garis-garis Besar Haluan Negara.

Pasal 3
Politik Luar Negeri menganut prinsip bebas aktif yang diabadikan untuk kepentingan
nasional.

Pasal 4

Politik Luar Negeri dilaksanakan melalui diplomasi yang kreatif, aktif, dan antisipatif,
tidak sekedar rutin dan reaktif, teguh dalam prinsip dan pendirian, serta rasional dan
luwes dalam pendekatan.

Melihat kutipan tersebut sangatlah jelas kalau Indonesia menjadikan Pancasila

dan Undang-undang 1945 sebagai dasar negara dan segala aspek kehidupan berbangsa

dan bernegara termasuk dalam hubungan luar negri atau dengan kata lain hubungan

diplomasinya. Undang-undang dikutip dari sumber terpercaya yaitu Direktur Jendral.

Peraturan Perundang-undangan yang diakses dari admin@legalitas.org sebagai situs

resminya. Indonesia juga menyatakan kembali Prinsip Politik Indonesia Dalam

Partisipasinya Pada ITU (International Telecomunication United) atau Organisasi

Telekomunikasi Internasional di Plenipotentiary Conference ITU 2006 di Antalya ,

Turki dikutip dari Departemen Direktur Jendral Pos dan Telekomunikasi yang berada

dalam situs resminya http://www.postel.go.id/update/id/baca_info.asp?id_info=496.

Maka Sangatlah jelas disini kalau dalam politik luar negrinya Indonesia tidak

mengenakan indetitas kesukuan bahkan agama.

2.3 Sejarah Diplomasi Jepang Indonesia

Hubungan diplomasi yang dijalin oleh negara Indonesia dengan negara Jepang

sudah mencapai umur setengah abad. Hubungan yang demikian lama tentu saja

Universitas Sumatera Utara


memiliki sejarah yang sangat panjang. Seperti yang dikatakan oleh Nevins dalam

Nazir (1988 :55) sejarah adalah pengetahuan yang tetap terhadap apa yang telah

terjadi. Sejarah adalah deskripsi yang terpadu dari keadaan-keadaan atau fakta-fakta

masa lampau yang ditulis berdasarkan penelitian serta studi yang kritis untuk mencari

kebenaran. Hal ini sangat penting untuk diketahui untuk mengntisipasi kesalahan-

kesalahan yang terjadi di masa lalu agar tidak terjadi di masa kini dan di masa yang

akan datang.

2.3.1 Awal Hubungan Diplomasi Jepang Indonesia

Pada abad kesembilan belas sampai tahun 1920-an, negara Jepang adalah

negara yang belum lama mengalami restorasi. Pengalihan kekuasaan dari shogun

(pejabat militer tertinggi di Jepang) kepada kaisar juga pembukaan diri besar-besaran

kepada dunia luar setelah kurang lebih 350 tahun menutup diri memberikan dampak

yang cukup besar. Banyak pemuda-pemudi Jepang yang mencari kehidupan ekonomi

yaang lebih baik di Hindia Belanda (Indonesia dalam masa penjajahan Belanda).

Didominasi oleh pekerja wanita Jepang yang bekerja sebagai wanita penghibur bagi

pekerja perkebunan (Anonim, 2008: 34).

Orang Jepang, yang semula merupakan warga kelas dua di Hindia Belanda

bersama-sama dengan orang China dan Arab (Timur Asing), berubah statusnya pada

akhir abad ke-19 menjadi “The Most Favoured Nation” yang sejajar dengan bangsa

Barat. Kemudian pemerintah Hindia Belanda pun mengeluarkan larangan pekerjaan

prostitusi karena merebaknya berbegai penyakit. Hal ini mengubah sikap dan mata

pencarian orang Jepang di Hindia Belanda menjadi “lebih terhormat”, sebagian

beralih dari menjadi pembantu rumah tangga atau menjadi nyai pejabat Belanda.

Perdagangan Jepang terus berkembang dengan munculnya toko-toko dan

berkembangnya perusahaan besar Jepang yang membuka cabang di Hindia Belanda.

Universitas Sumatera Utara


Sedangkan Indonesia yang masih merupakan jajahan Belanda mengalami

kesengsaraan. Pada tahun 1830-1870 Indonesia memasuki masa Culture stelsel. Pada

tahun 1870-1900, Indonesia memasuki masa ekonomi liberal (Anonim, 2008: 34).

Pada tahun 1930-an sampai awal 1940, dilatar belakangi oleh paham ultra

nasionalisme, munculah generasi muda militer Jepang yang menduduki posisi

strategis, dengan karakater “anti-Barat” yang sangat kuat. Dunia Internasional pada

masa itu memberikan tekanan yang kuat terhadap Jepang secara ekonomi dan militer.

Sedangkan latar belakang di Indonesia pada saat itu, pemerintahan Hindia Belanda

bertindak dengan sangat represif terhadap gerakan radikal pemuda Indonesia. Hal ini

menyebabkan Indonesia menjadi bersifat kooperatif terhadap Pemerintahan Hindia

Belanda (Anonim, 2008: 34).

Pada masa yang sama, Jepang melakukan gerakan ekspansif yang politis. Jepang

melakukan kegiatan propaganda melalui pers di Hindia Belanda dan memberikan

dukungan terhadap pemuda Indonesia dengan beasiswa belajar ke Jepang. Jepang

memberikan perhatian terhadap kelompok dan organisasi Islam. Jepang juga

melakukan gerakan spionese (mata-mata) untuk mengamati keadaan masyarakat

Indonesia dan system pertahanan Hindia Belanda (Anonim, 2008: 34).

Secara ekonomi, pada tahun 1930-an Jepang juga melancarkan ekspansinya ke

Hindis Belanda dengan berbagai cara. Jepang mendominasi pasar Hindia Belanda

dengan menjual produk-produknya yang murah ke pasaran. Jepang menguasai rute

pelayaran dan perdagangan strategis. Beroperasinya perusahaan Jepang yang

mengolah hasil hutan dan hasil laut Hindia Belanda. Banyak Bank Jepang yang

mendukung kegiatan perekomian Jepang di Hindia Belanda. Jepang juga melakukan

diplomasi ekonomi dengan mengirim dua delegasi ekonominya ke Hindia Belanda

pada tahun 1940 dan 1941 karena kebutuhan mendesak Jepang akan hasil bumi dari

Universitas Sumatera Utara


Hindia Belanda, terutama minyak. Karena banyaknya upaya yang dilakukan Jepang

termasuk dukungannya kepada organisasi pemuda menimbulkan “good image” (imej

baik) terhadap Jepang di Hindia Belanda di mata Indonesia. Karakter baik orang

Jepang tersebut dikenal lewat interaksi orang Indonesia dengan pedagang atau tuan

toko Jepang yang tampak ramah dan baik (Anonim, 2008: 34).

Dilatar belakangi ideologis Jepang, Jepang memiliki cita-cita menjadi

pemimpin bangsa-bangsa di Asia. Secara ekonomis, Jepang berambisi

memenangkanperang Asia Timur Raya melawan Barat untuk menjamin tersedianya

bahan mentah untuk kepentingn industry dan operasi militernya. Jepang pada

akhirnya berhasil menduduki wilayah-wilayah Asia Pasifik. Kemenangan Jepang atas

wilayah Asia Pasifik dan kedatangannya di Indonesia pada awlanya diterima dengan

sangat baik oleh bangsa Indonesia. Hal ini dilatar belakangi oleh imej baik yang

dibawa Jepang saat pemerintahan Hindia Belanda juga adanya ramalan kalau Jepang

adalah negara yang akan membebaskan Indonesia dari penjajahan (Anonim, 2008:

34).

Pada akhirnya, “good image” yang ditunjukkan Jepang pada masa pemerintahan

Belanda hilang dan digantikan dengan kenyataan yang menyakitkan. Jepang datang

layaknya negara-negara lain yang datang ke Indonesia yang tergila-gila dengan

kekayaan melimpah negara Indonesia, menjajah Indonesia dengan sangat kejam.

Jepang menjajah Indonesia selama tiga setengah tahun tetapi penderitaan yang

ditimbulkan melebihi kesengsaraan 350 tahun dijajah Hindia Belanda. Selama masa

penjajahan itu, secara politik Jepang membagi Indonesia menjadi tiga wilayah

administrasi yang beerdiri sendiri, dengan penguasa militr sebagai pemegang

kekuasaab tertinggi. Jepang melakukan penataan kembali pemerintahan dalam negeri

dari tingkat keresidenan (Shu) hingga rukun tetangga (Tonarigumi). Didalam

Universitas Sumatera Utara


kemiliteran, Jepang merekrut dan melatih pemuda-pemuda Indonesia secara militer,

dengan membentuk satuan-satuan semi militer maupun militer yang beranggotakan

para pemuda maupun pemudi Indonesia. (Anonim, 2008: 34)

Di bidang ekonomi, Jepang menerapkan ekonomi perang (“War Economic

Policy”) di Indonesia dengan tujuan untuk mengerahkan semua sumber daya alam dan

sumber daya manusia yang berada di Indonesia untuk kepentingan memenanggkan

perang dan bukan untuk kepentingan Indonesia. Di segi social, Jepang mengrahkan

sumber daya manusia u ntuk tenaga romusha (tenaga kerja paksa) dan jugun ianfu

(pekerja tuna susila). Jepang juga menggunakan masyarakat, baik dari kalangan elite

maupun tingkat bawah untuk dijadikan tenaga propagandis Jepang melalui organisasi-

organisasi bentukan mereka. Di segi budaya, Jepang melarang kebudayaan Barat dan

berupaya mengembangkan kebudayaan tadisional Indonesia untuk tujuan propaganda

(Anonim, 2008: 34).

Pada tahun 1945, Jepang menyatakan kalah dalam perang yang kita kenal

sebagai Perang Dunia II. Pernyataan kalah ini tidak lama setelah penjatuhan bom

nuklir diatas kota Hiroshima danNagasaki. Pernyataan kalah perang ini menandai

akhir penjajahan Jepang di Indonesia. Indonesia yang mendengar pernyataan ini lewat

radio segera memprokalmirkan kemerdekaan.

Pada pertengahan tahun 1945 sampai dengan 1950-an, keadaan Jepang sangat

parah setelah kekalahannya dalam perang tersebut. Mereka melakukan upaya

pembangunan dan pemulihan di dalam negri setelah kekalahan yang meluluh

lantakkan negara dan ekonomi mereka. Sedangkan Indonesia saat itu sedang

disibukkan oleh perang melawan kedatangan tentara Belanda dan pergolakan-

pergolakan daerah, serta pertentangan antar elite nasional. Dikarenakan kekejaman

Jepang selama penjajahannya, memberikan imej buruk terhadap Jepang di mata

Universitas Sumatera Utara


indonesia. Walaupun demikian, memang ada kesadaran, bahwa penjajahan Jepang itu

memberikan dampak positif terhadap kehidupan bangsa Indonesia, terutama secara

militer dan mental dalam menghadapi kedatangan tentara sekutu dan Belanda saat

revolusi 1945-1949.

Pada awal 1950-an, kedua negara mulai membahas masalah pampasan perang

sebagai bentuk penggantian kerugian yang diakibatkan oleh Jepang di Indonesia pada

masa perang. Indonesia membuka kantor perwakilan Indonesia di Tokyo dilanjutkan

dengan Konsulat Jendral sebagai langkah awal mempermudah perundingan mengenai

pampasan perang (Anonim, 2008: 34)

Sejak bergabung dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1956, Jepang

telah memainkan peranan penting sebagai anggota masyarakat Internasional. Jepang

juga menjadi anggota G8. Hubungan dengan negara-negara Asia lain merupakan

prioritas khusus bagi Jepang. Jepang aktif terlibat dalam berbagai kegiatan yang

ditunjukkan untuk mencapai perdamaian, kemakmuran, dan stabilitas di dunia. Jepang

memberikan konstribusi bagi penyelesaian isu-isu global, misalnya memerangi

terorisme, membantu menjamin pertumbuhan ekonomi dunia, dan melindungi

lingkungan.

Pada bulan April 1958, diadakan penandatangan pembukaan hubungan

diplomatik antara Jepang dengan Indonesia. Sejak 1958, kedua Negara banyak

melakukan penandatangan persetujuan dan pertukaran nota, yang mengatur tentang

kerja sama ekonomi. Kedua negara menyepakati pampasan perang sebesar lebih

kurang 400 juta dollar AS. 223,08 juta dollar AS, dalam bentuk barang, modal dan

jasa, sisanya dalam bentuk pinjaman lunak. Beberapa kategori program yang

disepakati dalam perjanjian pampasan perang antara lain; transportasi dan

Universitas Sumatera Utara


komunikasi, pengembangan tenaga, pengembangan industri, pengembangan pertanian

dan perikanan, pertambangan dan jasa atau pelayanan (Anonim, 2008: 34).

2.3.2 Permasalahan dalam Hubungan Diplomasi Jepang Indonesia

Hubungan Diplomasi Jepang dengan Indonesia memang sudah berlangsung

lama. Tetapi tetap saja tidak terlepas dari permasalahan. Permasalahan yang terjadi

sangat banyak tetapi tidak sampai membawa keduanya dalam hubungan paling buruk

berupa pemutusan hubungan diplomatik kedua Negara. Buktinya, kedua negara masih

tetap menjalin hubungan diplomatik hingga saat ini.

Permasalahan yang paling awal dalam hubungan kedua negara adalah imej

buruk yang ditinggalkan Jepang di masa penjajahannya. Catatan masa lalu itu dengan

segala eksesnya, termasuk yang masih sering digugat sampai saat ini. Seperti yang

dikatakan sebelumnya, penjajahan Jepang di Indonesia sangatlah menyengsarakan

rakyat Indonesia. Mulai dari kekejaman yang dialami para pekerja paksa yang dikenal

dengan nama romusha sampai dengan pelecahan seksual yang dialami perempuan

Indonesia yang dihimpun dalam jugun ianfu. Permasalahan ini tidak akan pernah

dapat dilupakan bahkan dihapus oleh sejarah hubungan diplomatik kedua negara. Hal

tersebut akan selalu diingat oleh rakyat Indonesia (Sukarjapura, 2008: 33).

Permasalahan yang lain adalah tragedi 15 Januari tahun 1974 yang dikenal

dengan Pristiwa Malari. Tragedi Malari adalah salah satu lembaran hitam hubungan

Indonesia denag Jepang, yang juga terkait denga sejarah masa lalu kedua Negara.

Ekspansi ekonomi Jepang yang luar biasa di Indonesia diasosiasikan kembali dengan

penjajahan Jepang terhadap Republik Indonesia, tetapi dalam bentuk lain, yaitu

penjajahan ekonomi (Sukarjapura, 2008: 33).

Universitas Sumatera Utara


Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) adalah peristiwa

demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974.

Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Tanaka Kakuei sedang

berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut

kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.

Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk

pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM Jepang itu berangkat dari

Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari

Bina Graha ke pangkalan udara. Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on

Indonesia (IGGI), Jan P. Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal

asing. Klimaksnya, kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan

kerusuhan (Anonim, 2008:1).

Kasus 15 Januari 1974 yang lebih dikenal “Peristiwa Malari”, tercatat

sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan. Sebanyak 807

mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 bangunan rusak. Sebanyak 160 kg

emas hilang dari sejumlah toko perhiasan (Adam, 2008: 1). Pristiwa Malari tidak

terlepas dari potret hubungan kedua negara yang tetap saja asimetris. Jepang dengan

dana bantuan pembangunannya (ODA) sangat berperan besar dalam proses

pembangunan di Indonesia. Sebaliknya, kekayaan alam Indonesia dalam bentuk gas,

minyak, dan lainnya sebagian besar dijual ke Jepang (Sukarjapura, 2008: 33).

Di sisi lain, ODA Jepang itu pun sebagian besar diberikan dalambentuk

pinjaman (berkisar antara 65-68 persen) sehingga Republik Indonesia praktis terus

menumpuk utang kepada Jepang untuk membiyai pembangunannya, terutama pada

era pemerintahan Soeharto. Dalam kondisi demikian, “perlawanan” dilakukan

sejumlah warga Indonesia dengan membuat dan menampilkan film yang

Universitas Sumatera Utara


menggambarkan kekejaman Jepang saat menjajah Republik Indonesia. Hasilnya

hubungan Republik Indonesia dengan Jepang praktis terganggu karena banyak politisi

Jepang yang gerah dan menganggap ada “aksi perasaan anti Jepang” di Indonesia

pada akhir 1983 hiungga awal 1984. Akan tetapi, hubungan ekonomi kedua Negara

yang sangat kuat tidak lantas membuat hubungan kedua Negara terganggu

(Sukarjapura, 2008: 33) .

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai