CDM Sebagai Sumber Pendanaan Pembangunan Hutan: Conferences of The Parties To The Climate Convention

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 4

CDM sebagai Sumber Pendanaan Pembangunan Hutan

Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim /United Nations Frameworks
Convention on Climate Change (UNFCCC ) telah ditanda tangani oleh 154 wakil negara pada
tanggal 21 Maret 1994, sejak itu UNFCCC telah mempunyai kekuatan hukum dan menjadi suatu
badan yang resmi. Indonesia telah meratifikasi UNFCCC dengan Undang-Undang No. 6 Tahun
1994 tentang Perubahan Iklim. Konvensi internasional tersebut bertujuan untuk menstabilkan
emisi Green House Gasses (GHG) dunia ke atmosfer pada tingkat tertentu sehingga tidak
membahayakan sistem iklim bumi.
Pada tanggal 16 Februari 2005, Kyoto Protokol yang diprakarsai oleh UNCFCCC) mulai
berlaku. Kyoto Protocol bertujuan untuk mengatasi permasalahan perubahan iklim di dunia.
Sebanyak 37 negara industri (Annex 1) dari 164 negara yang meratifikasi perjanjian untuk
mengurangi emisi GHG dibawah level 1990 selama periode 2008 sampai 2012. Setiap negara
Annex I memiliki komitmen untuk membatasi atau mengurangi emisi gas rumah kaca dengan
melakukan kebijakan dalam negeri dan langkah-langkah untuk mengurangi emisi gas rumah
kaca. Dalam pelaksanaannya, setiap Annex I harus berusaha meminimalkan dampak merugikan
terhadap negara lain, khususnya negara berkembang. Annex I menyediakan sumber daya
keuangan tambahan untuk memajukan pelaksanaan komitmen oleh negara-negara berkembang.
Baik Annex I dan non-Annex I harus bekerja sama dalam bidang pengembangan dan penerapan
teknologi ramah lingkungan, penelitian dan pengamatan sistematis mengenai sistem iklim, serta
pendidikan, pelatihan, dan kesadaran masyarakat tentang perubahan iklim. Meskipun negara-
negara berkembang yang besar seperti China, India, dan Brazil mengeluarkan GHG dunia dalam
jumlah besar dan terus meningkat, tetapi sekarang ini negara berkembang tidak memiliki
kewajiban untuk mengurangi emisi. Isu dari komitmen Negara berkembang tersebut telah
diperdebatkan dalam tiga Conferences of the Parties to the Climate Convention (COPs 8,
9, dan 10). Keberlangsungan Kyoto Protocol setelah 2012 akan tergantung dari Annex 1 dan
Negara berkembang perjanjian yang akan datang mengenai isu tersebut (Santili et al, 2005)
Negara Annex I dalam mengurangi emisi GHG di Negara berkembang menyediakan
suatu investasi dalam energi dan penghijauan hutan kembali melalui “Clean Development
Mechanism”.
CDM merupakan bentuk komitmen kemitraan antara Negara Annex 1 dan Non-Annex 1
untuk menurunkan GHG, salah satunya melalui kegiatan kehutanan. CDM bertujuan untuk
membantu negara maju/industri memenuhi sebagian kewajibannya menurunkan emisi GHGs;
membantu negara berkembang dalam upaya menuju pembangunan berkelanjutan dan kontribusi
terhadap pencapaian tujuan Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC). CDM adalah satu-satunya
mekanisme dibawah Kyoto Protocol, yang menawarkan win-win solution antara negara maju
dengan negara berkembang dalam rangka pengurangan emisi gas rumah kaca (GHGs), dimana
negara maju menanamkan modalnya di negara berkembang dalam proyek-proyek yang dapat
menghasilkan pengurangan emisi GHGs, dengan imbalan CER (Certified Emission Reductions).
Mekanisme pendanaan CDM dapat melalui tiga cara, yaitu:
a. Bilateral: antar Pemerintah, antar swasta (dengan persetujuan Pemerintah), dan antara
Pemerintah dengan swasta.
b. Multilateral: pool dana dari negara industri (Pemerintah atau swasta) pada 'Lembaga
Independen' dan lembaga ini menyalurkan dana untuk proyek CDM.
c. Unilateral: host country melaksanakan proyek pengurangan emisi GHGs dengan biaya
sendiri, yang dapat dipasarkan melalui pasar bebas.
CDM adalah peluang investasi modal asing untuk mendukung program-program
prioritas, penciptaan lapangan kerja dengan adanya investasi baru, jadi tidak ada kewajiban bagi
Indonesia untuk mengikuti. Kewajiban Indonesia dalam hal ini bukan dalam konteks CDM tetapi
kewajiban sebagai peratifikasi UNFCCC tetapi berkewajiban memberikan laporan nasional
secara periodik tentang hasil inventarisasi gas rumah kaca (sektor energi dan non-energi), serta
upaya yang telah dilakukan dalam rangka menekan dampak negatif perubahan iklim. Sedangkan
sebagai negara non-annex I (negara berkembang), Indonesia belum diwajibkan untuk
menurunkan emisi gas rumah kacanya, dan berhak untuk mendapatkan bantuan dana (misal
melalui GEF dll) untuk capacity building, transfer teknologi dalam rangka menekan dampak
negatif perubahan iklim, peningkatan kualitas lingkungan, serta peningkatan daya saing.
Di sektor Kehutanan, CDM dapat diarahkan untuk mendukung:
a. Pembangunan hutan tanaman pada lahan hutan yang rusak,
b. Rehabilitasi areal bekas kebakaran,
c. Rehabilitasi hutan mangrove dan hutan gambut,
d. Agroforestry,
e. Penerapan RIL (Reduced Impact Logging),
f. Peningkatan permudaan alam,
g. Perlindungan terhadap forest reserve yang rawan perambahan, perlindungan terhadap
hutan yang rawan kebakaran dan perambahan

Dari sisi kepentingan nasional, CDM tidak menguntungkan apabila negara industri
menggunakan dana ODA (Official Development Assistane). Sesuai dengan Agenda 21 UNCED
(Komisi Ekonomi dan Pembangunan PBB), sumber dana kemitraan global menuju 'sustainable
development' adalah diluar ODA/Official Development Assistance (new & additional terhadap
ODA funding). Tetapi dalam kenyataannya jumlah pemberian dana ODA semakin menurun sejak
awal tahun 1990-an, yang kemungkinan dialihkan untuk membiayai komitmen lainnya, misal ke
Global Environment Facility (GEF) untuk membiayai komitmen dibawah CCC (Konvensi
Perubahan Iklim), CBD (Konvensi Keanekaragaman Hayati), CCD (Konvensi Penanggulangan
Desertifikasi). Pengalihan dan ODA ke GEF untuk membiayai komitmen negara industri
dibawah konvensi-konvensi diatas sebenarnya sudah menyalahi komitmen yang telah dibuat
negara-negara industri sebelumnya yang dipertegas pada UNCED tahun 1992 tentang alokasi
0,7% dari GNP-nya untuk 'ODA funding'. Sedangkan penggunaan 'ODA funding' untuk
membiayai CDM oleh negara maju merupakan pengalihan beban yang seharusnya tidak dipikul
oleh negara berkembang.
Risiko adalah faktor penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan transaksi CDM
dan ini pun menjadi pertimbangan bagi investor untuk ikut dalam suatu kegiatan CDM. Risiko
terbesar dalam kegiatan CDM adalah kegagalan proyek dalam menyediakan CER yang telah
dibeli di muka oleh investor. Karenanya, peran asuransi menjadi penting untuk menanggulangi
risiko ini. Beberapa jenis risiko dan ketidakpastian dalam pelaksanaan CDM adalah:
• Kebijakan - Perkembangan yang terjadi dalam negosiasi internasional (Kyoto process)
berjalan dengan cepat. Oleh karena itu sangat penting untuk terus memonitor
perkembangan negosiasi yang terjadi agar kebijakan yang diterapkan tidak berdampak
negatif bagi pelaksanaan CDM.
• Pasar - pasar yang berkembang masih belum ‘matang’ mengingat CDM merupakan hal
yang baru. Hal ini juga mengakibatkan ketidakpastian harga.
• Teknis – beberapa contoh risiko dan ketidakpastian ini adalah faktor eksternal seperti
bencana alam yang mempengaruhi proyek, prosedur manajemen pada level proyek, dll.
• Proyek – di tingkat proyek, risiko yang dihadapi misalnya adalah ketidakstabilan harga
produk serta terjadinya leakage.
Proyek CDM berlokasi di pasar negara berkembang, sebuah proyek akan menghadapi
resiko negara. Di Indonesia, emisi gas karbon sudah mencapai 36 juta ton CO 2 per tahunnya.
Proyek CDM yang berpotensi di negara ini yaitu energi terbarukan, dan peningkatan efisiensi
energi. Namun sayangnya, masih ada beberapa hambatan penerapan CDM di Indonesia, seperti
masalah institusional, masalah ekonomi, teknik dan kebijakan. Hal tersebut didukung dengan
peringkat country risk Indonesia yang rendah, sehingga masih banyak hambatan-hambatan
investasi asing seperti CDM.

Anda mungkin juga menyukai