Anda di halaman 1dari 10

TEORI-TEORI KEPEMIMPINAN

Teori-teori kepemimpinan yang mendominasi pembahasan kepemimpinan sebelum tahun 1900,


menjadi pendahulu munculnya teori-teori kepemimpinan yang menekankan sifat-sifat pemimpin.
Untuk melengkapi pandangan tersebut , para ahli teori mulai memberikan perhatian yang lebih
besar pada faktor-faktor situasional dan lingkungan. Selanjutnya , dikembangkan pula teori-teori
integrasi antara manusia dan situasi, psikoanalisis, pencapaian peran, perubahan, tujuan dan
berbagai kebetulan yang menyebabkan orang bisa menjadi pemimpin.
Adapun teori-teori kepemimpinan yaitu :
Y Teori kepemimpinan V-Room&Yeton Modern
Y Teori kepemimpinan Contingensi of Leadhership (Fiedler)
Y Teori kepemimpinan Path-goal
Teori Kepemimpinan Vroom & Yetton
Teori kepemimpinan Vroom&Yetton disebut juga Teori Normatif (Normative Theory), karena
mengarah kepada pemberian suatu rekomendasi tentang gaya kepemimpinan yang sebaiknya
digunakan dalam situasi tertentu. Yaitu berfokus pada tingkat partisipasi yang diperbolehkan
oleh pemimpin dalam pengambilan keputusan dan seleksi pendekatan yang akan
memaksimalkan manfaat yang akan didapat kelompok dan pada waktu yang bersamaan,
meminimalisasi gangguan pencapaian tujuan kelompok. .
Teori ini juga memberikan serangkaian aturan untuk menentukan bentuk dan banyaknya
pengambilan keputusan partisipatif dalam situasi yang berbeda – beda.( Robbins, Stephen P,
2003.)
Model yang menjelaskan bagaimana seorang pemimpin harus memimpin dalam berbagai situasi.
Model ini menunjukkan bahwa tidak ada corak kepemimpinan tunggal yang dapat diterapkan
pada semua situasi. (Gibson, Ivancevich, & Donelly, 1996.)
Teori Kepemimpinan Vroom&Yetton ini merupakan salah satu teori contingency. Menurut teori
ini, gaya kepemimpinan yang tepat ditentukan oleh corak persoalan yang dihadapi oleh macam
keputusan yang harus diambil. Model teori ini dapat digunakan untuk :
- membantu mengenali berbagai jenis situasi pemecahan persoalan secara berkelompok ( group
problem solving situation)
- menyarankan gaya – gaya kepemimpinan mana yang dianggap layak untuk setiap situasi. Ada
tiga perangkat parameter yang penting yaitu klasifikasi gaya kepemimpinan, kriteria efektivitas
keputusan, kriteria penemukenalan jenis situasi pemecahan persoalan.
Vroom& Yetton, menyajikan lima gaya pengambilan keputusan, yaitu :
Y A-I
Ciri – ciri :
Anda memecahkan persoalan atau mengambil keputusan sendiri dengan menggunakan informasi
yang pada waktu itu ada pada anda.
Y A-II
Ciri – ciri :
Anda memperoleh informasi yang diperlukan dari bawahan, lalu memutuskan pemecahannya
sendiri. Anda dapat atau tidak mengatakan kepada bawahan apa persoalannya sewaktu
memperoleh informasi dari mereka. Peran yang dimainkan bawahan anda dalam pengambilan
keputusan adalah memberikan informasi yang diperlukan, dan bukan mengajukan atau menilai
alternative – alternative pemecahan.
Y C – I
Ciri – ciri :
Anda memberitahukan persoalan kepada beberapa bawahan yang relevan secara pribad,
memperoleh gagasan dan saran mereka tanpa mengumpulkan mereka dalam satu kelompok.
Kemudian Anda mengambil keputusan yang mungkin atau tidak mencerminkan pengaruh dari
bawahan anda.
Y C – II
Ciri – ciri :
Anda memberitahukan persoalan kepada bawahan sebagai satu kelompok , memperoleh gagasan
dan saran mereka secara kolektif. Kemudian anda mengambil keputusan yang mungkin atau
tidak mencerminkan pengaruh dari bawahan anda.
Y G – II
Ciri – ciri :
Anda memberitahukan persoalan kepada bawahan sebagai satu kelompok. Bersama-sama
meraka anda menghasilkan dan menilai berbagai alternative pemecahan dan berusaha untuk
mencapai suatu kesetujuan atau consensus mengenai satu pemecahan. Peran anda mirip seorang
ketua. Anda tidak mencoba untuk mempengarhi kelompok untuk menerima pemecahan Anda,
dan anda bersedia untuk menerima dan melaksanakan setiap pemecahan yang didukung oleh
seluruh anggota kelompok.
Kriteria efektivitas keputusan dalam teori ini mencakup mutu dari keputusan, penerimaan
keputusan oleh bawahan atau kesediaan mereka untuk melaksanakan keputusan, dan jumlah
waktu yang diperlukan untuk sampai pada pemecahannya. Berikut ini adalah aturan yang
mempengaruhi kelayakan dari gaya kepemimpinan :
a) Aturan Informasi – Pemimpin
Jika mutu dari keputusan penting dan pemimpin tidak memiliki informasi atau kecakapan untuk
memecahkan persoalan sendiri, maka gaya kepemimpinan A-I tidak sesuai.
b) Aturan Kesesuaian
Jika mutu dari keputusan penting, jika para bawahan tidak mau berusaha untuk mencapai tujuan
organisasi sewaktu mereka mencoba memecahkan persoalan, maka G-II tidak merupakan gaya
kepemimpinan yang layak.
c) Aturan Persoalan – Tidak Berstruktur
Jika mutu dari keputusan penting dan persoalan tidak berstruktur , sedangkan pada saat yang
sama pemimpin tidak memiliki kecakapan atau informasi yang diperlukan untuk memecahkan
persoalan sendiri, maka metode untuk memecahkan persoalan harus memberikan peluang kepada
bawahan yang memiliki informasi yang diperlukan untuk saling berinteraksi. Dalam situasi ini
gaya kepemimpinan A-I, A-II dan C-I tidaklah cocok.
d) Aturan Penerimaan
Jika penerimaan dari satu pemecahan oleh para bawahan adalah penting dan terdapat suatu
ketidakpastian tentang akan diterimanya suatu keputusan otokratik, maka gaya kepemimpinan A-
I dan A-II tidak layak untuk digunakan.
e) Aturan Konflik
Jika penerimaan dari suatu pemecahan oleh kelompok adalah pening dan jika suatu keputusan
otokratik tidak akan diterima, dan jika ada kemungkinan ketidaksetujuan anatara bawahan yang
berusaha memecahkan persoalan, maka gaya kepemimpinan harus memberikan kesempatan
kepada pihak – pihak yang tidak setuu untuk mengatasi perbedaan mereka, dan memberikan
kepada mereka pengetahuan selengkapnya dari persoalan. Dibawah kondisi ini gaya
kepemimpinan A-I, A-II dan C-I tidak layak digunakan.
f) Aturan Kewajaran
Jika penerimaan oleh kelompok penting tetapi mutu dari keputusan tdak penting, maka gaya
kepemimpinan harus memberikan peluan kepada bawahan untuk berinteraksi dan berunding
tentang apa pemecahan yang wajar. Jika di bawah kondis ini tidak dapat dipastikan bahwa suatu
keputusan otokratik akan diterima, maka gaya kepemimpian A-I, A-II, C-I, dan C-II tdak sesuai.
g) Aturan Prioritas – Penerimaan
Jika penerimaan dari pemecahan penting, tidak dapat dipastikan sebagai hasil dari suatu
keputusan otokratik, dan jika bawahan berkemauan untuk mengarah ke tujuan organisasi dalam
mencarai suatu pemechan, maka gaya kepemimpinan yang diinginkan adalah yang memberikan
kesamaan hak kepada anggota tanpa merugikan mutu pemecahan, karena ini akan menghasilkan
penerimaan yang lebih besar dari keputusan. Dengan demikian gaya kepemimpinan A-I, A-II, C-
I, dan C-II tidak akan sesuai.

Teori kepemimpinan Contingensi of Leadhership (Fiedler)

Model teori ini dikembangkan oleh Fiedler. Model ini menyatakan bahwa gaya kepemimpinan
yang paling efektif tergantung pada situasi yang dihadapi dan perubahan gaya bukan merupakan
suatu hal yang sulit. Model ini serupa sekali dengan gaya kepemimpinan situasional dari Hersey
dan Blanchard. Konsepsi kepemimpinan situasional ini melengkapi pemimpin dengan
pemahaman dari hubungan antara gaya kepemimpinan yang efektif dengan tingkat kematangan
(maturity) pengikutnya. Perilaku pengikut atau bawahan ini amat penting untuk mengetahui
kepemimpinan situasional, karena bukan saja pengikut sebagai individu bisa menerima atau
menolak pemimpinnya, akan tetapi sebagai kelompok, pengikut dapat menentukan kekuatan
pribadi apapun yang dimiliki pemimpin. Teori-teori kontingensi berasumsi bahwa berbagai pola
perilaku pemimpin (atau ciri) dibutuhkan dalam berbagai situasi bagi efektivitas kepemimpinan.
Model ini menyatakan bahwa keefektifan suatu kelompok bergantung pada :
• hubungan dan interaksi pemimpin dengan bawahannya
• sejauh mana pemimpin mengendalikan dan mempengaruhi suatu situasi.
Dalam hal yang pertama yaitu hubungan dan interaksi pemimpin dengan bawahanya dapat
dinilai dengan kuesioner LPC ( Least Prefered Coworker ). Skor pada Lpc ini dapat digunakan
untuk mengidenfikasikan Gaya Kepemimpinan (jarak psikologis antara pemimpin dengan
bawahan, apakah pemimpin berorientasi pada tugas / hubungan).
- Jika skor LPC Tinggi, maka pemimpin berorientasi pada hubungan ( relationship oriented )
- Jika skor LPC Rendah, maka pemmpin berorientasi pada tugas ( task oriented )
Sedangkan untuk hal yang kedua yaitu sejauh mana pemimpin mengendalikan dan
mempengaruhi suatu situasi , ditentukan oleh tiga variabel situasi :
1. Hubungan Pemimpin – Anggota ( Leader – Member Relations )
2. Struktur Tugas ( Task Structure )
3. Kekuasaan Kedudukan ( Position Power )
Dari skor LPC dan situasi dapat disimpulkan bahwa :
- Pemimpin dengan skor LPC Rendah ( Pemimpin yang berorientasi pada tugas ) dapat berhasil
dalam situasi kelompok yang menguntungkan maupun yang tidak menguntungkan
- Pemimpin dengan skor LPC Tinggi ( Pemimpin yang berorientasi pada hubungan ) dapat
berhasil dalam situasi kelompok yang moderat derajat keuntungannya
LPC Contingency Model dari Fiedler berhubungan dengan pengaruh yang melunakkan dari tiga
variabel situasional pada hubungan antara suatu ciri pemimpin (LPC) dan kinerja pengikut.
Menurut model ini, para pemimpin yang berskor LPC tinggi adalah lebih efektif untuk situasi-
situasi yang secara moderat menguntungkan, sedangkan para pemimpin dengan skor LPC rendah
akan lebih menguntungkan baik pada situasi yang menguntungkan maupun tidak
menguntungkan. Leader Member Exchange Theory menjelaskan bagaimana para pemimpin
mengembangkan hubungan pertukaran dalam situasi yang berbeda dengan berbagai pengikut.
Hersey and Blanchard Situasional Theory lebih memusatkan perhatiannya pada para pengikut.
Teori ini menekankan pada perilaku pemimpin dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya
dan hubungan pemimpin pengikut.
Leader Participation Model menggambarkan bagaimana perilaku pemimpin dalam proses
pengambilan keputusan dikaitkan dengan variabel situasi. Model ini menganalisis berbagai jenis
situasi yang mungkin dihadapi seorang pemimpin dalam menjalankan tugas kepemimpinannya.
Penekanannya pada perilaku kepemimpinan seseorang yang bersifat fleksibel sesuai dengan
keadaan yang dihadapinya.
Fiedler memperkenalkan tiga variabel yaitu:
- Task structure : keadaan tugas yang dihadapi apakah structured task atau unstructured task
- Leader-member relationship : hubungan antara pimpinan dengan bawahan, apakah kuat (saling
percaya, saling menghargai) atau lemah.
- Position power : ukuran aktual seorang pemimpin, ada beberapa power yaitu:
• legitimate power : adanya kekuatan legal pemimpin
• reward power : kekuatan yang berasal imbalan yang diberikan pimpinan
• coercive power : kekuatan pemimpin dalam memberikan ancaman
• expert power : kekuatan yang muncul karena keahlian pemimpinnya
• referent power : kekuatan yang muncul karena bawahan menyukai pemimpinnya
• information power : pemimpin mempunyai informasi yang lebih dari bawahannya.
Dari hasil penelitian, Fiedler menyimpulkan bahwa pendekatan yang berorientasikan tugas lebih
efektif bila kondisi kelompok sangat menguntungkan (pemimpin baik/hubungan kelompok baik,
posisi pemimpin kuat, dan struktur buruk/relasi kelompok buruk , posisi pemimpin lemah dan
tugas yang tidak jelas). Kepemimpinan yang berorientasi kelompok lebih disukai/baik bila
kondisi relatif stabil, yang dengan demikian perhatian dapat dicurahkan pada preservasi relasi
kelompok, upaya pencegahan konflik, dan pekerjaan yang tidak efisien yang kemudian dapat
membuat keadaan kelompok menjadi tidak harmonis.

PATH-GOAL THEORY
Robert House mengemukakan Path- Goal Theory yang menyaring elemen-elemen dari penelitian
Ohio State tentang kepemimpinan pada inisiating structure dan consideration serta teori
pengharapan motivasi. Teori ini menjelaskan bahwa efektivitas seorang pemimpin didasarkan
atas kemampuannya di dalam menimbulkan kepuasan dan motivasi para anggota kelompok,
dengan menggunakan rancangan insentif untuk penghargaan dan hukuman bagi mereka yang
berhasil atau gagal dalam mencapai tujuan kelompok. Untuk mencapai tujuan tersebut seorang
pemimpin diwajibkan untuk menggunakan perilaku kepemimpinan yang berbeda sesuai dengan
tuntutan situasi. Perilaku pemimpin akan diterima oleh anggota kelompok sejauh mereka
menganggap itu sebagai sumber kepuasan langsng atau kepuasan pada masa yang akan datang.
Robert House memulai teorinya dengan formulasi awal sebagai berikut :
Fungsi motivasi pemimpin terdiri dari peningkatan imbalan pribadi kepada bawahan atas
pencapaian tugasnya, membuat jalan yang lebih mudah untuk mendapatkan imbalan tersebut,
dengan memberi penjelasan, mengurangi hambatan, dan meningkatkan peluang untuk
mendapatkan kepuasan pribadi.
Walaupun model kepemimpinan kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan model-
model sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian
model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling efektif
antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan variabel situasional.
Dasar dari teori ini adalah bahwa merupakan tugas pemimpin untuk membantu anggotanya
dalam mencapai tujuan mereka dan untuk memberi arah dan dukungan atau keduanya yang
dibutuhkan untuk menjamin tujuan mereka sesuai dengan tujuan kelompok atau organisasi
secara keseluruhan. Istilah path-goal ini datang dari keyakinan bahwa pemimpin yang efektif
memperjelas jalur untuk membantu anggotanya dari awal sampai ke pencapaian tujuan mereka,
dan menciptakan penelusuran disepanjang jalur yang lebih mudah dengan mengurangi hambatan
dan pitfalls (Robbins, 2002).
Perilaku pemimpin akan memberikan motivasi sepanjang (1) membuat bawahan merasa butuh
kepuasan dalam pencapaian kinerja yang efektif, dan (2) menyediakan ajaran, arahan, dukungan
dan penghargaan yang diperlukan dalam kinerja efektif (Robins, 2002). Untuk pengujian
pernyataan ini, Robert House mengenali empat perilaku pemimpin. Pemimpin yang berkarakter
directive-leader, supportive leader, participative leader dan achievement-oriented leader.
Berlawanan dengan pandangan Fiedler tentang perilaku pemimpin, House berasumsi bahwa
pemimpin itu bersifat fleksibel. Teori path-goal mengimplikasikan bahwa pemimpin yang sama
mampu menjalankan beberapa atau keseluruhan perilaku yang bergantung pada situasi (Robins,
2002).
Model kepemimpinan path-goal berusaha meramalkan efektivitas kepemimpinan dalam berbagai
situasi. Menurut model ini, pemimpin menjadi efektif karena pengaruh motivasi mereka yang
positif, kemampuan untuk melaksanakan, dan kepuasan pengikutnya. Teorinya disebut sebagai
path-goal karena memfokuskan pada bagaimana pimpinan mempengaruhi persepsi pengikutnya
pada tujuan kerja, tujuan pengembangan diri, dan jalan untuk menggapai tujuan.
Teori Pengharapan (Expectancy Theory) menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku individu
dipengaruhi oleh hubungan antara usaha dan prestasi (path-goal) dengan valensi dari hasil (goal
attractiveness). Individu akan memperoleh kepuasan dan produktif ketika melihat adanya
hubungan kuat antara usaha dan prestasi yang mereka lakukan dengan hasil yang mereka capai
dengan nilai tinggi. Model path-goal juga mengatakan bahwa pimpinan yang paling efektif
adalah mereka yang membantu bawahan mengikuti cara untuk mencapai hasil yang bernilai
tinggi.
Model path-goal menganjurkan bahwa kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar:
1. Fungsi Pertama; adalah memberi kejelasan alur. Maksudnya, seorang pemimpin harus mampu
membantu bawahannya dalam memahami bagaimana cara kerja yang diperlukan di dalam
menyelesaikan tugasnya.
2. Fungsi Kedua; adalah meningkatkan jumlah hasil (reward) bawahannya dengan memberi
dukungan dan perhatian terhadap kebutuhan pribadi mereka.
Untuk membentuk fungsi-fungsi tersebut, pemimpin dapat mengambil berbagai gaya
kepemimpinan. Empat perbedaan gaya kepemimpinan dijelaskan dalam model path-goal sebagai
berikut (Koontz et al dalam Kajanto, 2003)
Kepemimpinan pengarah (directive leadership)
Pemimpinan memberitahukan kepada bawahan apa yang diharapkan dari mereka,
memberitahukan jadwal kerja yang harus disesuaikan dan standar kerja, serta memberikan
bimbingan/arahan secara spesifik tentang cara-cara menyelesaikan tugas tersebut, termasuk di
dalamnya aspek perencanaan, organisasi, koordinasi dan pengawasan.
Kepemimpinan pendukung (supportive leadership)
Pemimpin bersifat ramah dan menunjukkan kepedulian akan kebutuhan bawahan. Ia juga
memperlakukan semua bawahan sama dan menunjukkan tentang keberadaan mereka, status, dan
kebutuhan-kebutuhan pribadi, sebagai usaha untuk mengembangkan hubungan interpersonal
yang menyenangkan di antara anggota kelompok. Kepemimpinan pendukung (supportive)
memberikan pengaruh yang besar terhadap kinerja bawahan pada saat mereka sedang mengalami
frustasi dan kekecewaan.
Kepemimpinan partisipatif (participative leadership)
Pemimpin partisipatif berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan saran-saran dan ide
mereka sebelum mengambil suatu keputusan. Kepemimpinan partisipatif dapat meningkatkan
motivasi kerja bawahan.
Kepemimpinan berorientasi prestasi (achievement-oriented leadership)
Gaya kepemimpinan dimana pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mengharapkan
bawahan untuk berprestasi semaksimal mungkin serta terus menerus mencari pengembangan
prestasi dalam proses pencapaian tujuan tersebut.
Dengan menggunakan salah satu dari empat gaya di atas, dan dengan memperhitungkan faktor-
faktor seperti yang diuraikan tersebut, seorang pemimpin harus berusaha untuk mempengaruhi
persepsi para karyawan atau bawahannya dan mampu memberikan motivasi kepada mereka,
dengan cara mengarahkan mereka pada kejelasan tugas-tugasnya, pencapaian tujuan, kepuasan
kerja dan pelaksanaan kerja yang efektif.
Terdapat dua faktor situasional yang diidentifikasikan kedalam model teori path-goal, yaitu:
personal characteristic of subordinate and environmental pressures and demmand (Gibson,
2003).
• Karakteristik Bawahan
Pada faktor situasional ini, teori path-goal memberikan penilaian bahwa perilaku pemimpin akan
bisa diterima oleh bawahan jika para bawahan melihat perilaku tersebut akan merupakan sumber
yang segera bisa memberikan kepuasan atau sebagai suatu instrumen bagi kepuasan-kepuasan
masa depan. Karakteristik bawahan mencakup tiga hal, yakni:
1) Letak Kendali (Locus of Control)
Hal ini berkaitan dengan keyakinan individu sehubungan dengan penentuan hasil. Individu yang
mempunyai letak kendali internal meyakini bahwa hasil (reward) yang mereka peroleh
didasarkan pada usaha yang mereka lakukan sendiri. Sedangkan mereka yang cenderung letak
kendali eksternal meyakini bahwa hasil yang mereka peroleh dikendalikan oleh kekuatan di luar
kontrol pribadi mereka. Orang yang internal cenderung lebih menyukai gaya kepemimpinan
yang participative, sedangkan eksternal umumnya lebih menyenangi gaya kepemimpinan
directive.
2) Kesediaan untuk Menerima Pengaruh (Authoritarianism)
Kesediaan orang untuk menerima pengaruh dari orang lain. Bawahan yang tingkat
authoritarianism yang tinggi cenderung merespon gaya kepemimpinan yang directive, sedangkan
bawahan yang tingkat authoritarianism rendah cenderung memilih gaya kepemimpinan
partisipatif.
3) Kemampuan (Abilities)
Kemampuan dan pengalaman bawahan akan mempengaruhi apakah mereka dapat bekerja lebih
berhasil dengan pemimpin yang berorientasi prestasi (achievement-oriented) yang telah
menentukan tantangan sasaran yang harus dicapai dan mengharapkan prestasi yang tinggi, atau
pemimpin yang supportive yang lebih suka memberi dorongan dan mengarahkan mereka.
Bawahan yang mempunyai kemampuan yang tinggi cenderung memilih gaya kepemimpinan
achievement oriented, sedangkan bawahan yang mempunyai kemampuan rendah cenderung
memilih pemimpin yang supportive.
• Karakteristik Lingkungan
Pada faktor situasional ini path-goal menyatakan bahwa perilaku pemimpin akan menjadi faktor
motivasi terhadap para bawahan, jika:
1) Perilaku tersebut akan memuaskan kebutuhan bawahan sehingga akan memungkinkan
tercapainya efektivitas dalam pelaksanaan kerja.
2) Perilaku tersebut merupakan komplimen dari lingkungan para bawahan yang dapat berupa
pemberian latihan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan untuk mengidentifikasikan
pelaksanaan kerja.
Karakteristik lingkungan terdiri dari tiga hal, yaitu:
1) Struktur Tugas
Struktur kerja yang tinggi akan mengurangi kebutuhan kepemimpinan yang direktif.
2) Wewenang Formal
Kepemimpinan yang direktif akan lebih berhasil dibandingkan dengan participative bagi
organisasi dengan strktur wewenang formal yang tinggi
3) Kelompok Kerja
Kelompok kerja dengan tingkat kerjasama yang tinggi kurang membutuhkan kepemimpinan
supportive.

Sumber :
• http://putrititania.ngeblogs.com/2009/10/26/kepemimpinan/
Diposkan oleh evita dewi ardyaningrum di 02:20 0 komentar

Sabtu, 24 Oktober 2009


Teori Mc Gregor (teori X dan Y) dan Teori Sistem 4, Rensis Likert

Nama kelompok :
• Putri Sri Dewi (10507313)
• Evita Dewi A (10507079)
• Uli M.Z (10507317)
• Restyka (10507200)

Definisi/Pengertian Teori Perilaku Teori X dan Teori Y (X Y Behavior Theory) Douglas


McGregor

Teori perilaku adalah teori yang menjelaskan bahwa suatu perilaku tertentu dapat membedakan
pemimpin dan bukan pemimpin pada orang-orang. Konsep teori X dan Y dikemukakan oleh
Douglas McGregor dalam buku The Human Side Enterprise di mana para manajer / pemimpin
organisasi perusahaan memiliki dua jenis pandangan terhadap para pegawai / karyawan yaitu
teori x atau teori y.

A. Teori X
Teori ini menyatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk pemalas yang tidak suka
bekerja serta senang menghindar dari pekerjaan dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Pekerja memiliki ambisi yang kecil untuk mencapai tujuan perusahaan namun menginginkan
balas jasa serta jaminan hidup yang tinggi. Dalam bekerja para pekerja harus terus diawasi,
diancam serta diarahkan agar dapat bekerja sesuai dengan yang diinginkan perusahaan.

B. Teori Y
Teori ini memiliki anggapan bahwa kerja adalah kodrat manusia seperti halnya kegiatan sehari-
hari lainnya. Pekerja tidak perlu terlalu diawasi dan diancam secara ketat karena mereka
memiliki pengendalian serta pengerahan diri untuk bekerja sesuai tujuan perusahaan. Pekerja
memiliki kemampuan kreativitas, imajinasi, kepandaian serta memahami tanggung jawab dan
prestasi atas pencapaian tujuan kerja. Pekerja juga tidak harus mengerahkan segala potensi diri
yang dimiliki dalam bekerja.

Penelitian teori x dan y menghasilkan teori gaya kepemimpinan ohio state yang membagi
kepemimpinan berdasarkan skala pertimbangan dan penciptaan struktur. Teori Z dapat anda baca
di artikel lain di situs organisasi.org ini. Gunakan fasilitas pencarian yang ada untuk menemukan
apa yang anda butuhkan.

menurut asumsi teori X dari McGregor ini bahwa orang-orang ini pada hakekatnya adalah:
1. Pada dasarnya pegawai tidak menyukai pekerjaan, jika mungkin berusaha menghindarinya.
2. Karena pegawai tidak menyukai pekerjaan, maka mereka harus dipaksa, dikendalikan, atau
diancam dengan hukuman untuk mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan.
3. Para pegawai akan mengelakkan tanggung jawab dan mencari pengarahan yang formal
sepanjang hal itu terjadi.
4. Kebanyakan pegawai menempatkan rasa aman diatas faktor lain yang berhubungan dengan
pekerjaan yang akan memperlihatkan sedikit ambisi.

Untuk menyadari kelemahan dari asumí teori X itu maka McGregor memberikan alternatif teori
lain yang dinamakan teori Y. Secara keseluruhan asumís teori Y mengenai manusia adalah
sebagai berikut:
1. Pekerjaan itu pada hakekatnya seperti bermain dapat memberikan kepuasan kepada orang.
Keduanya bekerja dan bermain merupakan aktiva-aktiva fisik dan mental. Sehingga di antara
keduanya tidak ada perbedaan, jira keadaan sama-sama menyenangka.
2. Manusia dapat mengawasi diri sendiri, dan hal itu tidak bisa dihindari dalam rangka mencapai
tujuan-tujuan organisasi.
3. Kemampuan untuk berkreativitas di dalam memecahkan persoalan-persoalan organisasi secara
luas didistribusikan kepada seluruh karyawan.
4. Motivasi tidak saja berlaku pada kebutuhan-kebutuhan social, penghargaan dan aktualisasi diri
tetapi juga pada tingkat kebutuhan-kebutuhan fisiologi dan keamanan.
5. Orang-orang dapat mengendalikan diri dan kreatif dalam bekerja jika dimotivasi secara tepat.
Dengan memahami asumís dasar teori Y ini, McGregor menyatakan selanjutnya bahwa
merupakan tugas yang penting bagi menajemen untuk melepaskan tali pengendali dengan
memberikan kesempatan mengembangkan potensi yang ada pada masing-masing individu.
Motivasi yang sesuai bagi orang-orang untuk mencapai tujuannya sendiri sebaik mungkin,
dengan memberikan pengarahan usaha-usaha mereka untuk mencapai tujuan organisasi.
Empat Sistem – Rensis Likert

Gaya kepemimpian yaitu sikap dan tindakan yang dilakukan pemimpin dalam menghadapi
bawahan. Ada dua macam gaya kepemimpinan yaitu gaya kepemimpinan yang berorientasi pada
tugas dan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada karyawan.

Dalam gaya yang ber orientasi pada tugas ditandai oleh beberapa hal sebagai berikut:
- Pemimpin memberikan petunjuk kepada bawahan.
- Pemimpin selalu mengadakan pengawasan secara ketat terhadap bawahan.
- Pemimpin meyakinkan kepada bawahan bahwa tugas-tugas harus dilaksanakan sesuai
dengan keinginannya.
- Pemimpin lebih menekankan kepada pelaksanaan tugas daripada pembinaan dan pe-
ngembangan bawahan.

Sedangkan gaya kepemimpinan yang berorientasi kepada karyawan atau bawahan


ditandai dengan beberapa hal sebagai berikut.
- Pemimpin lebih memberikan motivasi daripada memberikan pengawasan kepada
bawahan.
- Pemimpin melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan.
- Pemimpin lebih bersifat kekeluargaan, saling percaya dan kerja sama, saling
menghormati di antara sesama anggota kelompok.

Sebagai pengembangan, maka para ahli berusaha dapat menentukan mana di antara
kedua gaya kepemimpinan itu yang paling efektif untuk kepentingan organisasi atau
perusahaan. Salah satu pendekatan yang dikenal dalam menjalankan gaya kepemimpinan
adalah ada empat sistem manajemen yang dikembangkan oleh Rensis Likert. Empat sistem
tersebut terdiri dari:
- Sistem 1, otoritatif dan eksploitif:
manajer membuat semua keputusan yang berhubungan dengan kerja dan memerintah
para bawahan untuk melaksanakannya. Standar dan metode pelaksanaan juga secara
kaku ditetapkan oleh manajer.
- Sistem 2, otoritatif dan benevolent:
manajer tetap menentukan perintah-perintah, tetapi memberi bawahan kebebasan
untuk memberikan komentar terhadap perintah-perintah tersebut. berbagai fleksibilitas untuk
melaksanakan tugas-tugas mereka dalam batas-batas dan
prosedur-prosedur yang telah ditetapkan.
- Sistem 3, konsultatif:
manajer menetapkan tujuan-tujuan dan memberikan perintah-perintah setelah hal-hal itu
didiskusikan dahulu dengan bawahan. Bawahan dapat membuat keputusan - keputusan mereka
sendiri tentang cara pelaksanaan tugas. Penghargaan lebih digunakan untuk memotivasi bawahan
daripada ancaman hukuman.
- Sistem 4, partisipatif:
adalah sistem yang paling ideal menurut Likert tentang cara bagaimana organisasi seharusnya
berjalan. Tujuan-tujuan ditetapkan dan keputusan-keputusan kerja dibuat oleh kelompok. Bila
manajer secara formal yang membuat keputusan, mereka melakukan setelah mempertimbangkan
saran dan pendapat dari para anggota kelompok. Untuk memotivasi bawahan, manajer tidak
hanya mempergunakan penghargaan-penghargaan ekonomis tetapi juga mencoba memberikan
kepada bawahan perasaan yang

Anda mungkin juga menyukai