KELOMPOK 8
DEPARTEMEN FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, Sang
Pencipta alam semesta, manusia, dan kehidupan beserta segala isinya, karena berkat
pimpinan, bimbingan, bantuan, izin serta bimbingan-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah dengan judul “Bakteri Patogen Pada Saluran Pernapasan” ini tepat pada
waktunya.
Pada kesempatan ini, Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Bpk Dr. Maksum Radji, M.Biomed selaku dosen mata kuliah
Mikrobiologi atas bimbingannya serta semua pihak yang telah membantu dalam proses
penyelesaian makalah ini baik secara langsung maupun tidak langsung.
Topik pada makalah ini adalah bakteri patogen, khususnya mengarah pada
pembahasan mengenai bakteri penyebab infeksi pada saluran pernapasan. Kami
mengumpulkan data-data dari berbagai sumber seperti buku, internet, maupun orang-
orang yang memiliki kemampuan lebih mendalam mengenai topik yang kami bahas.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan wawasan yang
lebih luas kepada pembaca. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini
masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu Penulis mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari para pembaca demi peningkatan kualitas makalah.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ii
ABSTRAK . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . vi
I. Pendahuluan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
I.1. Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
.1
I.2. Rumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. .1
I.3. Tujuan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
.2
I.4. Metode
Penulisan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
I.5. Sistematika
Penulisan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
II. Pembahasan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .3
II.1. Streptococcus . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. .3
II.2. Mycobacterium tuberculosis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. .7
II.3. Streptococcus
pneumoniae . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 11
II.4. Haemophilus
influenza . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 13
II.5. Mycoplasma
pneumoniae . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 16
II.6. Corynebacterium
diphtheriae . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .20
II.7. Bordetella pertussis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
.25
II.8. Legionella
pneumophila . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 31
III. Penutup . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 35
III.1. Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
35
III.2. Saran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
35
iii
ABSTRAK
a
PENDAHULUAN
I. 1. LATAR BELAKANG
Bernapas adalah sebuah proses yang dilakukan oleh sebagian besar mahluk
hidup di muka bumi ini. Dalam prosesnya, bernapas juga memerlukan suatu sistem
yang kita kenal sebagai sistem pernapasan. Di dalam sistem pernapasan, kita memiliki
apa yang disebut sebagai saluran pernapasan. Saluran pernapasan merupakan sebuah
saluran yang berawal dari hidung ataupun mulut dan berakhir di paru-paru.
Penyebab infeksi ini bisa bermacam-macam dan salah satunya adalah bakteri.
Ada berbagai macam bakteri yang bisa menyebabkan infeksi pada saluran pernapasan.
Bakteri-bakteri ini bisa menular melalui berbagai cara seperti melalui udara, droplet,
air, dan lain-lain. Terdapat beberapa bakteri penyebab infeksi saluran pernapasan,
diantaranya Streptococcus, Mycobacterium tuberculosis, Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenza, Corynebacterium diphtheriae, Mycoplasma pneumonia,
Bordetella pertussis, dan Legionella pneumophila.
I. 2. RUMUSAN MASALAH
1
2
I. 3. TUJUAN PENULISAN
I. 5. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan makalah ini terdiri dari tiga bab, yaitu Bab I:
Pendahuluan, terdiri atas Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan,
Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan. Bab II: Pembahasan, serta Bab III:
Penutup, yang terdiri atas Kesimpulan dan Saran.
BAB II
PEMBAHASAN
II. 1. STREPTOKOKUS
Streptokokus adalah patogen penting karena banyak infeksi hebat yang
disebabkannya dan karena komplikasi yang mungkin terjadi setelah sembuh dari
infeksi akut itu. Komplikasi yang terjadi setelah infeksi streptokokus meliputi demam
reumatik dan glomerulonefritis akut.
Ciri-ciri Utama
Mikroba bersifat Gram-positif, bentuk kokus dengan penataan tunggal,
berpasangan atau berantai. Lazimnya bersifat fakultatif anaerob, katalase-negatif dan
fermentatif.
Mikroba ini banyak ditemukan di alam dan juga sebagai mikroba komensal
pada hewan. Streptococcus yang bersifat patogen dapat ditemukan pada kulit, mukosa
mebran, traktus genitalis dan saluran pencernaan.
Sifat Biakan
Beberapa galur Streptococcus hanya dapat tumbuh dalam keadaan anaerobik.
Kelompok ini agak berbeda dengan Streptococcus lainnya yang lazimnya bersifat
anaerobik oleh karena tidak dapat mensintesis senyawa “heme”. Kelompok
Streptococcus anaerobik ini tidak dapat mensintesis sitokromdan dengan demikian
tidak dapat melakukan fosforilasi oksidatif yang ditengahi oleh sitokrom-ETS.
Berdasarkan sifat ini, maka untuk mengisolasi Streptococcus seringkali ditambahkan
inhibitor sitokrom yaitu Na-azide.
Hemolisis
Daya kerja Streptococcus pada eritrosit kuda merupakan salah-satu dasar
identifikasi kelompok ini. Pada umumnya galur yang bersifat patogen menghasilkan
hemolisisn yang melisiskan eritrosit kuda. Ini disebut beta-hemolisis dan ditandai oleh
zone terang disekeliling koloni pada biakan agar darah.
Pada kelompok vriridans akan terlihat
3
hemofilis-alpha yang ditandai oleh
perubahan warna kehijauan di sekitar kolonisetelah 18-24 jam bila diinkubasikan pada
suhu 370 C. Bila Streptococcus kelompok ini kemudian diinkubasikan pada suhu yang
rendah maka akan terlihat zone jernih di luar zone kehiajauan. Zone hijau ini tidak akan
berubah warna meskipun diinkubasikan lebih lama.
Sifat hemolisis ini paling jelas terlihat pada koloni yang ditumbuhkan pada
biakan agar tuang.
Infeksi Biogenik
Kelompok bakteri yang terutama menghasilkan nanah adalah staphylococcus,
streptococcus dan corynebacterium. Bila bakteri piogenik merasuki jaringan maka akan
terjadi proses peradangan yang ditandai dilatasi vaskuler dan peningkatan jumlah
neutrofil dan plasma. Neutrofil akan melingkupi bakteri dengan proses fagositosis.
Dalam proses fagositosis ini ada bakteri yang dihancurkan tetapi ada juga bakteri yang
resisten terhadap enzim lisozim dan berkembang biak dalam neutrofil. Bakteri ini ada
yang berbentuk toksin, sehingga menghancurkan neutrofil. Enzim yang dikeluarkan
oleh neutrofil akan menyebabkan pencairan dari jaringan sel yang mati dan juga sel-sel
fagosit. Sel dan jaringan yang mencair ini terlihat sebagai nanah yang kental dan
bewarna kuning. Sifat kental dari nanah ini disebabkan deoksiribonukleoprotein dari
inti sel yang rusak dan mati.
Berbagai penyakit yang ditimbulkan oleh infeksi streptococcus dipengaruhi
oleh port d’entrée, jenis hewan dan species streptococcus. Tiga macam penyakit yang
memperlihatkan gejala yang berbeda ialah “strangles” pada kuda, “jowl abcesses” pada
babi dan anthritis. Infeksi streptococcus biasanya bersifat setempat, namun demikian
dapat terjadi kematian akibat septicemia atau bakteriaemia.
II. 2. MYCOBACTERIUM
Komponen Mycobacteria
Mikroba ini tidak menghasilkan eksotoksin. Kandungan lipidnya sangat tinggi
(20-40% dari berat kering) bahan ini diduga sebagai penyebab resistensi pertahanan
humoral, desinfektans, larutan asam dan basa.
Dinding sel yang tebal dari mycobacterium kaya akan asam mikolat dan asam
lemak lainnya, sehingga menyebabkan mikroba ini bersifat hidrofobik dan bersifat
impermeable terhadap zat warna.
Lipida yang terdapat pada mycobacterium ialah :
1. Asam Mikolat
2. LIlin D
3. Mikosida
4. Glikolipida
7
Patogenesis
Manifestasi penyakit tergantung pada masuknya mikroba. Jika terjadi melalui
inhalasi, maka paru-paru dan limfoglandula tracheobronchial yang terserang. Jika
melalui ingesti, maka jalur infeksi terjadi melalui limfoglandula mesenterium, dinding
usus dan hati melalui sistem portal. Mikroba dari limfoglandula dapat mencapai duktus
thorasikus melalui infeksi umum. Hipersensitivitas dan kekebalan seluler digertak
disertai dengan penghambatan perkembangbiakan
8 dan penyebaran mikroba. “Delayed
hypersensitivity” yang disebabkan jumlah antigen yang banyak menyebabkan
kerusakan jaringan. Pada umumnya lokus infeksi bersifat mikroskopik dan dapat
menghilang dengan sendirinya. Namun, beberapa mikroorganisme dapat bertahan
sehingga mengakibatkan tuberkel yang bersifat karakteristik.
Patogenitas Mycobacterium tuberculosis
Mikroba ini dapat menginfeksi manusia, primata dan kera. Primata dan kera
dapat ditulari oleh manusia. Ternak disensitisasi oleh manusia. Pada babi infeksi terjadi
melalui sisa makanan tercemar, gejala terlihat pada limfoglandula di daerah kepala.
Ayam jarang terinfeksi. Anjing dan kucing dapat terinfeksi. Hewan percobaan, marmot
bersifat peka terhadap infeksi M. tuberculosis.
Cara Pemeriksaan
Perlakuan pada bahan terduga harus hati-hati karena kemungkinan penularan.
Pemeriksaan langsung pada bahan tersangka dilakukan dengan pewarnaan tahan-asam.
Isolasi
Diagnosis tuberkulosis sering kali didasarkan pada ditemukannya mikroba
tahan-asam di lesion yang bersifat karakteristik. Bila bahan terduga berupa nodula,
maka digunakan ”mortar” dengan pasir halus dan steril. Pada gerusan ditambahkan 10
ml 4% NaOH yang mengandung merah fenol, kemudian pusingkan. Sedimen
dinetralisasikan dengan HCl 2N selama paling lama 30 menit. Sedimen ini kemudian
diinokulasikan ke medium LOewenstein-jensen dan diinkubasikan pada 37ºC selama 6-
8 minggu.
Identifikasi
Identifikasi didasarkan pada sifat biakan, pertumbuhan dan ciri biokimia.
Peneguhan biasanya dilakukan di laboratorium rujukan.
Sifat Biakan
Koloni terlihat kering, berbutir, dan subur. Permukaan koloni terlihat kasar dan
9
bewarna kuning. Pertumbuhan pada media padat dengan suhu inkubasi 37ºC terlihat
setelah 2 minggu.
Resistensi
Pada umumnya mycobacteria bersifat resisten terhadap berbagai faktor fisik dan
desinfektan kimia. Resisten ini disebabkan oleh kandungan lipida dalam dinding sel.
Bahan yang mengandung tuberkulosis tetap hidup dalam karkas yang membusuk dan
tanah lembab selam 1-4 tahun. Dalam tinja sapi yang kering mikroba ini dapat bertahan
selam 150 hari. Pembekuan tidak mempengaruhi daya hidup mikroba. Kekeringan
mempengaruhi daya hidup mikroba bila dilakukan bersamaan dengan sinar matahari.
Mikroba ini resisten terhadap asam dan basa, namun fenol (5%), lisol (3%), dan kresol
berdya kerja sedang.
Pengobatan
Penggunaan obat mungkin tidak dapat diterapkan pada hewan. Obat yang paling
ampuh dalam pengobatan tuberculosis adalah isoniazid. Obat ini digunakan bersama
para-aminosalisilat atau ethambutol dan kadangkala bersama dengan streptomycin
merupakan “triple therapy”. Pengobatan dapat diberikan selam 3 tahun, namun untuk
streptomycin pengobatan dilakukan untuk beberapa bulan saja.
Beberapa galur dapat menjadi resisten terhadap streptomycin dan gangguan
terhadap syaraf pendengaran dapat terjadi. Selain itu terdapat pula galur yang resisten
terhadap isoniazid. Rifampin juga merupakan obat manjur dan dapat digabung dengan
ioniazid. Penggabungan kedua obat ini sering diberikan pada hewan penderita di kebun
binatang.
Pencegahan
Di lapangan, diagnosis dilakukan dengan uji tuberkulin yang didasarkan pada
“Delayed-hypersensitivity”. Beberapa macam tuberculin dapat digunakan, semuanya
mengandung protein mycobacterium yang menyebabkan hewan terinfeksi menjadi
hipersensitif . “Old Tuberculin” menurut Koch merupakan filtrat dari biakan M.
tuberculosis yang berumur 8 minggu.
Kekebalan 1
0
Meskipun antibody diproduksikan dalam tuberkulosis, imunitas terutama
disebabkan (Cell Mediated Immunity) CMI. Vaksin yang terutama digunakan ialah
vaksin BCG yang merupakan M. bovis yang hidup dan diatenuasikan dengan
menumbuhkannya pada biakan kentang-gliserin empedu dengan pemindahan berulang
kali. Vaksin ini digunakan untuk pencegahan penyakit pada pedet.
Hipersensitivitas terhadap tuberkulin menunjukan resistensi terhadap
tuberkulin. Reaksi ini terkadang bersifat negatif bila tingkat infeksinya parah ataupun
bila terdapat kelemahan tedapat pada CMI.
Klasifikasi
Kingdom : Bakteri
Filum : Frimicutes
Kelas : Cocci
Ordo : Lactobacillales
Famili : Streptococcaceae
Genus : Streptococcus
Pada tahun 1881, George Sternberg dan Louis Pasteur menemukan bakteri ini
dalam saliva manusia di tempat yang terpisah. Walaupun mereka dapat membuat
septikemia dengan menyuntikkan kuman ini pada kelinci, namun mereka tidak
menghubungkannya dengan penyakit pneunomia. Kemudian pada tahun 1886 diketahui
bahwa kuman ini dapat menyebabkan pneumonia lobaris, oleh Frunkel dan
Weischselbaum di tempat yang terpisah juga.
Manifestasi Klinis
Patologi
1
Angka kematian pada pneumonia tergantung pada ras, seks, umur dan keadaan
2
umum penderita, tipe kumannya, luasnya bagian paru-paru yang terkena, ada tidaknya
septikemia, ada tidaknya komplikasi, pemberian terapi spesifik, dan faktor-faktor
lainnya.
Pengobatan
Penisilin merupakan obat yang sangat efektif. Yang berbahaya bila terjadi
infeksi sekunder oleh Stafilokokus yang resisten terhadap penisilin dan antibiotika
lainnya. Dosis yang lebih tinggi diperlukan untuk mengobati meningitis agar dapat
mencapai selaput otak. Namun, akhir-akhir ini pneumokokus sudah resisten terhadap
banyak preparat antibiotika, misalnya tetrasiklin, eritromisin, dan linkonmisin.
Peningkatan resistensi terhadap penisilin juga terlihat pada Pneumokokus yang diisolasi
dari New Guinea.
Klasifikasi
Divisi : Bakteri
Kelas : Schizomicetes
Ordo : Eubacteriales
Famili : Haemophilunaceae
Genus : Haemophilus
1
3
Koloni Kuman dan Sifat Biakan
Penyeberan
Infeksi oleh H. influenzae terjadi setelah mengisap droplet yang berasal dari
penderita baru sembuh, atau carrier, yang biasanya menyebar secara langsung saat
bersin atau batuk. H. influenzae menyebabkan sejumlah infeksi pada saluran pernafasan
bagian atas seperti faringitis, otitis media, dan sinusitis yang terutama penting pada
1
4
penyakit paru kronik. Meningitis karena H. influenzae jarang terjadi pada bayi berumur
kurang dari 3 bulan dan tidak umum dijumpai pada anak-anak diatas umur 6 tahun.
Pada anak-anak, selain meningitis, H. influenzae tipe b juga menyebabkan penyakit
bacterial epiglottitis akut.
Manifestasi Klinis
Diagnosis
Pengobatan
1
5
satu atau kombinasi obat-obat ini, namun kepekaan kumannya sendiri dan hasil suatu
terapi tidak dapat diperkirakan. Terapi untuk anak atau bayi yang terinfeksi meningitis
karena Hbi dapat diberikan dexamethasone atau campuran dari cefotaxime
sodium/ceftriaxone sodium/ampicillin dengan chloramphenicol.
Klasifikasi
Kingdom : Bacteria
Divisi : Firmicutes
Kelas : Mollicutes
Ordo : Mycoplasmatales
Famili : Mycoplasmataceae
Genus : Mycoplasma
1
6
Mycoplasma dapat tumbuh atau berkembang biak dalam perbenihan tanpa sel,
dan pertumbuhannya dihambat oleh antibodi spesifik. Kuman ini mempunyai afinitas
selektif untuk sel epitel saluran nafas misalnya bronkus, bronkiolus, dan alveolus yang
akan menghasilkan hidrogen peroksida (H2O2). Pada umumnya bersifat anaerob
fakultatif dengan suhu pertumbuhan optimal 36-37° C dan pH optimum 7. Untuk
pertumbuhannya diperlukan kolesterol dan asam lemak rantai panjang, sedangkan
sumber energi utama didapatkan dari glukosa atau arginin.
Koloni Kuman
Epidemiologi
Patologi
1
7
dan bronkiolitis yaitu penebalan dinding bronkus karena edeme, penyempitan
pembuluh darah, dan infiltrat dari mononuklear.
Gambaran Klinis
Komplikasi pulmonal yang paling sering terjadi adalah Pleural effusi ringan,
sedangkan komplikasi berat menyebabkan bronkiolitis obliterans dan respiratori
distress sindrom pada orang dewasa yang dapat menyebabkan kematian. Komplikasi
gastrointestinal jarang terjadi, gejala ringan berupa diare, mual, muntah, dan anoreksia.
Pada darah, hemolitik anemi dapat terjadi pada pasien yang memiliki titer Aglutinin
dingin yang sangat tinggi, penurunan angka hematrokrit hingga 50% juga dapat terjadi
pada minggu ke 2-3 perjalanan penyakit. Komplikasi pada kulit jarang terjadi dan
bersifat sementara, terlihat rash yang bervariasi dari makular, vesikular, dan eritema
multiforme mayor (Stevens-Johnson Symdrome)
1
8
Diagnosis
Pengobatan
1. Antibiotika
1
9
Pemberian obat di atas dalam jangka waktu pendek menunjukkan hasil yang
baik, tapi mikroorganisme ini bisa tidak segera hilang dari sputum atau hapusan
tenggorokan, sehingga dapat mempengaruhi fungsi paru di kemudian hari. Obat baru
yang sekarang ini banyak dipakai adalah Roxytromycin, yang ternyata cukup efektif
terhadap M. Pneumoniae dengan sedikit efek samping. Dosis yang diberikan 5-10
mg/kg BB/hari dibagi dalam 2 dosis secara oral, diberikan selama 7-14 hari.
2. Simtomatik, yaitu :
a. Istirahat
c. Antitussive
d. Asupan cairan
Pencegahan
Kuman difteri berbentuk batang ramping berukuran 1,5-5 um x 0,5-1 um, tidak
berspora, tidak bergerak, termasuk Gram positif, dan tidak tahan asam. C. Diphtheriae
bersifat anaerob fakultatif, namun pertumbuhan maksimal diperoleh pada suasana
aerob. Pembiakan kuman dapat dilakukan dengan perbenihan Pai, perbenihan serum
Loeffler atau perbenihan agar darah. Pada perbenihan-perbenihan ini, strain mitis
bersifat hemolitik, sedangkan gravis dan intermedius tidak. Dibanding dengan kuman
lain yang tidak berspora, C. Diphtheriae lebih tahan terhadap pengaruh cahaya,
pengeringan dan pembekuan. Namun, kuman ini mudah dimatikan oleh desinfektan.
Epidemiologi
Difteri terdapat di seluruh dunia dan sering terdapat dalam bentuk wabah.
Penyakit ini terutama menyerang anak umur 1-9 tahun. Difteri mudah menular dan
menyebar melalui kontak langsung secara droplet. Banyak spesies Corynebacteria
dapat diisolasi dari berbagai tempat seperti tanah, air, darah, dan kulit manusia. Strain
patogenik dari Corynebacteria dapat menginfeksi tanaman, hewan, atau manusia.
Namun hanya manusia yang diketahui sebagai reservoir penting infeksi penyakit ini.
Bakteri ini umumnya ditemukan di daerah beriklim sedang atau di iklim tropis, tetapi
2
juga dapat ditemukan di bagian lain dunia.1
Penentu Patogenitas
1. Invasi jaringan lokal dari tenggorokan, yang membutuhkan kolonisasi dan proliferasi
bakteri berikutnya. Sedikit yang diketahui tentang mekanisme kepatuhan terhadap
difteri C. diphtheriae tapi bakteri menghasilkan beberapa jenis pili. Toksin difteri juga
mungkin terlibat dalam kolonisasi tenggorokan.
Patogenesis
Organisme ini menghasilkan toksin yang menghambat sintesis protein seluler
dan bertanggung jawab atas kerusakan jaringan lokal dan pembentukan membran.
Toksin yang dihasilkan di lokasi membran diserap ke dalam aliran darah dan
didistribusikan ke jaringan tubuh. Toksin yang bertanggung jawab atas komplikasi
utama dari miokarditis dan neuritis dan juga dapat menyebabkan rendahnya jumlah
trombosit (trombositopenia) dan protein dalam urin (proteinuria).
2
2
Gambaran klinis
Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari (jangkauan, 1-10 hari). Untuk tujuan klinis, akan
lebih mudah untuk mengklasifikasikan difteri menjadi beberapa manifestasi, tergantung pada
tempat penyakit.
1) Anterior nasal difteri : Biasanya ditandai dengan keluarnya cairan hidung mukopurulen
(berisi baik lendir dan nanah) yang mungkin darah menjadi kebiruan. Penyakit ini
cukup ringan karena penyerapan sistemik toksin di lokasi ini, dan dapat diakhiri
dengan cepat oleh antitoksin dan terapi antibiotik.
2) Pharyngeal dan difteri tonsillar : Tempat yang paling umum adalah infeksi faring dan
tonsil. Awal gejala termasuk malaise, sakit tenggorokan, anoreksia, dan demam yang
tidak terlalu tinggi. Pasien bisa sembuh jika toksin diserap. Komplikasi jika pucat,
denyut nadi cepat, pingsan, koma, dan mungkin mati dalam jangka waktu 6 sampai 10
hari. Pasien dengan penyakit yang parah dapat ditandai terjadinya edema pada daerah
submandibular dan leher anterior bersama dengan limfadenopati.
3) Difteri laring : Difteri laring dapat berupa perpanjangan bentuk faring. Gejala termasuk
demam, suara serak, dan batuk menggonggong. membran dapat menyebabkan
obstruksi jalan napas, koma, dan kematian.
4) Difteri kulit : Difteri kulit cukup umum di daerah tropis. Infeksi kulit dapat terlihat oleh
ruam atau ulkus dengan batas tepi dan membran yang jelas. Situs lain keterlibatan
termasuk selaput lendir dari konjungtiva dan daerah vulvo-vagina, serta kanal auditori
eksternal.
Diagnosis klinik difteri tidak selalu mudah ditegakkan oleh klinikus-klinikus dan sering
terjadi salah diagnosis. Hal ini terjadi karena strain C. Diphtheriae baik yang toksigenik
maupun nontoksigenik sulit dibedakan, lagipula spesies Corynebacterium yang lain
pun secara morfologik mungkin serupa. Karena itu bila pada pemeriksaan mikroskopik
ditemukan kuman khas difteri, maka hasil presumtif adalah: ditemukan kuman-kuman
tersangka difteri. Hal ini menunjukkan pentingnya dilakukan diagnosis laboratorium
secara mudah, cepat, dan dengan hasil yang dipercaya untuk membantu klinikus.
Walaipun demikian, diagnosis laboratorium harus dianggap sebagai penunjang bukan
pengganti diagnosis klinik agar penanganan penyakit dapat cepat dilakukan. Hapusan
tenggorok atau bahan pemeriksaan lainnya harus diambil sebelum pemberian obat
antimikroba, dan harus segera dikirim ke laboratorium.
Pengobatan
Antitoksin difteri diproduksi dari kuda, yang pertama kali digunakan di Amerika
Serikat pada tahun 1891. Pengobatan difteri dilakukan dengan pemberian antitoksin yang
tepat jumlahnya dan juga cepat. Antitoksin dapat diberikan setelah diagnosis presumtif
keluar, tanpa perlu menunggu diagnosis laboratorium. Hal ini dilakukan karena toksin
dapat dengan cepat terikat pada sel jaringan yang peka, dan sifatnya irreversibel karena
ikatan tidak dapat dinetralkan kembali. Jadi penggunaan antitoksin bertujuan untuk
mencegah terjadinya ikatan lebih lanjut dari toksin dalam sel jaringan yang utuh dan
akan mencegah perkembangan penyakit.
Pencegahan infeksi bakteri ini dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan diri
dan tidak melakukan kontak langsung dengan pasien terinfeksi. Selain itu, imunisasi
aktif juga perlu dilakukan. Imunisasi pertama dilakukan
pada bayi berusia 2-3 bulan dengan pemberian 2 dosis APT
(Alum Precipitated Toxoid) dikombinasikan dengan toksoid
tetanus dan vaksin pertusis. Dosis kedua diberikan pada saat
anak akan bersekolah.Imunisasi pasif dilakukan dengan
menggunakan antitoksin berkekuatan 1000-3000 unit pada
orang tidak kebal yang sering berhubungan dengan kuman
yang virulen, namun penggunaannya harus dibatasai pada
keadaan yang memang sanagt gawat. Tingkat kekebalan
seseorang terhadap penyakit difteri juga dapat diketahui dengan melakukan reaksi
Schick.
Kingdom : Eubacterium
Filum : Coccobacillus
Kelas : Bacillus
Ordo : Coccobacillus
Famili : Alcaligenaceae
Genus : Bordetella
Penyakit pertusis atau batuk rejan (whooping chough) atau batuk seratus hari
merupakan penyakit akut saluran pernapasan yang ditandai dengan batuk paroksismal.
Di dunia terjadi sekitar 30 sampai 50 juta kasus per tahun, dan menyebabkan kematian
2
pada 300.000 kasus (data dari WHO). Penyakit ini biasanya terjadi pada anak berusia di
5
bawah 1 tahun. 90 persen kasus ini terjadi di negara berkembang dan merupakan
penyakit yang menular.
Penyakit ini disebabkan oleh Bordetella pertussis yang untuk pertama kalinya
diasingkan oleh Bordet dan Gengou pada tahun 1906. Penyakit-penyakit serupa
berhasil ditemukan kemudian, yaitu yang disebabkan oleh Bordetella parapertussis dan
Bordetella bronchiseptica. Standarisasi waksin serta penggunaannya secara luas sangat
menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit ini. Bakteri ini mengandung beberapa
komponen yaitu Peitusis Toxin (PT), Filamentous Hemagglutinin (FHA),
Aglutinogen, endotoksin, dan protein lainnya.
• Endotoksin yang sifatnya termostabil dan terdapat dalam dinding sel kuman.
Sifat endotoksin ini mirip dengan sifat endotoksin-endotoksin yang dihasilkan
oleh kuman negative gram lainnya.
Struktur antigen
Epidemiologi
2
Penularan 7
Pertusis menular melalui droplet batuk dari pasien yg terkena penyakit ini dan
kemudian terhirup oleh orang sehat yg tidak mempunyai kekebalan tubuh, antibiotik
dapat diberikan untuk mengurangi terjadinya infeksi bakterial yg mengikuti dan
mengurangi kemungkinan memberatnya penyakit ini (sampai pada stadium catarrhal)
sesudah stadium catarrhal antibiotik tetap diberikan untuk mengurangi penyebaran
penyakit ini, antibiotik juga diberikan pada orang yg kontak dengan penderita,
diharapkan dengan pemberian seperti ini akan mengurangi terjadinya penularan pada
orang sehat tersebut.
Patogenesis
• Stadium kedua biasanya berlangsung selama 1-6 minggu dan ditandai dengan
peningkatan batuk paroksismal. Suatu batuk paroksismal yang khas adalah
dimana dalam jangka waktu 15-20 detik terjadi 5-20 batuk beruntun biasanya
diakhiri dengan keluarnya lender/muntah serta tidak ada kesempatan untuk
bernafas diantara batuk-batuk tersebut. Tarikan nafas setelah batuk biasanya
menimbulkan bunyi yang keras.
Diagnosis laboratorium
Pada saat ini, eritromisin merupakan obat pilihan. Pemberian antibiotika ini
akan menyingkirkan kuman-kuman tersebut dari nasofaring dan karenanya dapat
mempersingkat masa penularan/penyebaran kuman.
Prognosis
Sebagian besar penderita mengalami pemulihan total, meskipun berlangsung
lambat. Sekitar 1-2% anak yang berusia dibawah 1 tahun meninggal. Kematian terjadi
karena berkurangnya oksigen ke otak (ensefalopati anoksia) dan bronkopneumonia.
Klasifikasi
Kingdom : Bacteria
Filum : Proteobacteria
Ordo : Legionellales
Famili : Legionellaceae
Genus : Legionella
Karakteristik
Bakteri ini termasuk bakteri aerobic dan tidak mampu menghidrolisis gelatin
ataupun memproduksi urease. Bakteri 3 ini juga termausk bakteri yang nonfermentatif.
1 berautofluoresensi. Selain itu bakteri ini juga
Bakteri ini juga tidak berpigmen dan tidak
merupakan enzim yang mengkatalis proses redoks atau bisa juga disebut sebagai
katalase positif dan menghasilkan beta-laktamase.
Epidemiologi
Bakteri ini ditemukan secara alami di alam, biasanya di air. Bakteri ini tumbuh
subur di air hangat, seperti di kolam air panas, menara pendingin, atau bagian dari
system pendingin bangunan besar. Bakteri ini ditemukan di sungai dan juga kolam,
keran air panas dan dingin, tangki air panas, dan juga tanah di lokasi penggalian.
Patogenesis
Penularan
3
Penyakit ini tampaknya menyebar
2 melalui udara dari tanah atau sumber air.
Semua penelitian hingga saat ini telah menunjukkan bahwa penularan dari orang ke
orang tidak terjadi. Orang dari segala usia dapat terkena penyakit ini. Namun yang
biasanya terkena adalah orang-orang dengan usia lanjut ( diatas 65 tahun) ataupun
orang-orang dengan system imun yang lemah terhadap penyakit. Terkadang perokok,
orang-orang yang mengalami penyakit paru yang kronis (misal emfisema), dan orang-
orang yang menggunakan obat penekan system kekebalan (misal setelah operasi
transplantasi) juga mempunyai resiko lebih tinggi terkena penyakit ini. Penyakit ini
jarang terjadi pada orang yang sehat.
Wabah ini terjadi ketika dua atau lebih orang menjadi sakit di tempat yang
sama pada waktu yang sama, seperti pasien di rumah sakit terkena penyakit ini.
Bangunan Rumah Sakit memiliki sistem air yang kompleks, dan banyak orang di
rumah sakit telah memiliki penyakit yang meningkatkan resiko mereka untuk infeksi
legionella.
Penularan pada manusia antara lain melalui aerosol di udara, atau minum air
yang mengandung Legionella. Selain itu dapat pula terjadi melalui aspirasi air yang
terkontaminasi, inokulasi langsung melalui peralatan pernafasan atau melalui
pengompresan luka dengan air yang terkontaminasi. Contoh lain adalah dengan
menghirup uap dari sauna di spa atau hotel yang tidak dibersihkan secara seksama
dengan desinfektan.
Gejala
Masa inkubasi penyakit ini berkisar antara 1 sampai 10 hari, namun biasanya
berkisar antara 5 sampai 6 hari. Penyakit ini dapat memiliki gejala seperti bentuk lain
dari pneumonia sehingga sulit untuk mendiagnosis pada awalnya. Tanda-tanda
penyakit ini bisa mencakup demam tinggi, menggigil dan batuk. Bahkan pada beberapa
orang ada yang menderita nyeri otot dan sakit kepala.
Infeksi ringan yang disebabkan oleh sejenis bakteri legionella disebut Pontiac
Fever. Gejala Demam Pontiac biasanya berlangsung selama 2 sampai 5 hari dan bisa
juga menyertakan demam, sakit kepala, dan nyeri otot, namun tidak ada pneumonia.
Gejala pergi sendiri tanpa pengobatan dan tanpa menyebabkan masalah lebih lanjut.
Diagnosis
3
Legionellosis sering menyebabkan gejala yang mirip dengan yang disebabkan
3
oleh organisme lain, termasuk jenis virus influenza dan bakteri pneumonia lainnya.
Selain itu tes laboratorium khusus diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis tidak
selalu diminta. Diagnosis tergantung pada tes laboratorium yang sangat khusus yang
melibatkan dahak pasien atau mendeteksi organism dalam urin. Tes laboratorium rutin
tidak akan mengidentifikasi bakteri Legionella.
Sedangkan sera (serum) telah digunakan baik untuk studi aglutinasi serta
untuk mendeteksi langsung dari bakteri dalam jaringan dengan menggunakan antibody
fluorescent-labelled. Antibody spesifik pada pasien juga dapat ditentukan dengan uji
antibody fluoresen tidak langsung. ELISA dan ter mikroaglutinasi juga telah berhasil
ditetapkan.
BAB III
3
4
PENUTUP
III.1. KESIMPULAN
Singkatnya, materi pembelajaran pada bakteri yang memasuki tubuh melalui
saluran pernafasan ini merupakan materi dasar yang wajib untuk dipelajari dan
dipahami secara mendalam. Materi yang secara umum mencakup Streptococcus,
Haemophilus influenza, Mycobacterium tuberculosis, Bardetela pertussis,
Streptococcus pneumoniae, Corynebacterium dipththeriae, Mycoplasma pneumonia,
Legionella pneumophila merupakan bakteri yang dpaat menyebabkan penyakit pada
saluran pernafasan. Materi-materi dasar dalam pelajaran mikrobiologi ini berguna
untuk mempelajari materi selanjutnya yang tentu saja lebih rumit. Dalam makalah ini
materi duraikan secara singkat agar para pembaca lebih mudah memahaminya.
III.2. SARAN
Dengan adanya makalah sederhana ini, penyusun mengharapkan agar para
pembaca dapat memahami materi bakteri yang memasuki tubuh melalui saluran
pernafasan ini dengan mudah. Saran dari penyusun agar para pembaca dapat menguasai
materi singkat dalam makalah ini dengan baik, kemudian pembaca dapat mengetahui
cara pencegahan dari penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang memasuki saluran
pernafasan dan mengetahui cara mengobatinya.
DAFTAR35PUSTAKA
http://www.cdc.gov/legionella/patient_facts.htm
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/148_16PemeriksaanSpesimenSerumDa
rah.pdf/148_16PemeriksaanSpesimenSerumDarah.html
http://www,wikipedia.org
http://www.bmb.leeds.ac.uk/mbiology/ug/ugteach/icu8/introduction/bacteria
.html
http://www.who.int/immunization/REH_47_8_pages.pdf
http://emedicine.medscape.com/article/218271-overview
http://www.healthsystem.virginia.edu/UVaHealth/peds_infectious/hii.cfm
Ryan KJ; Ray CG (editors) (2004). Sherris Medical Microbiology. McGraw Hill
http://www.cdc.gov/ncidod/aip/research/spn.html
http://en.wikipedia.org/wiki/Corynebacterium_diphtheriae
http://textbookofbacteriology.net/diphtheria_2.html
3
6