Anda di halaman 1dari 6

ARTIKEL UTAMA PROF. HUALA ADOLF! SH! LL.

M, PHD

PERLINDUNCAN HUKUM TERHADAP INVESTOR DALAM MASALAH ~IUKUM KEPAILITAN: TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL DAN PENERAPANNYA
The Insolvency Law has the purpose to assure a certaintu, orderliness, steadiness, and legalprotection for many parties doing business in Indonesia, considering capital used by businessmen mostly comes from such sources as bank, investment, bond and another legal way, accordingly it has caused increasing loan problems within community. The problem related to insolvenClj case-has been regulated by the Law No. 3712004. TIle regulation is arranging a protection to creditor and debitor in case ofbankruptClJ. Legal assurance over creditor and debtor is meant also to protecti local and foreigp. investors who have invested their money for doing business in Indonesia. This is in accordance to international civil code, arrangement governing a cross border insolvency. There arean interrelatedness and relevancy between insolvency law and international law particularly iniemational trade agreement, for example, in condition where asset of insolvent corporation taken place in some countries, or condition where some creditors have diffrel'entcountry to that of insolvent debtor. Interconnection between bankruptcy and international civil law lays on how foreign judicial decision valid in any other country. What is foreign judicial decision upon the insolvent debtor executable in Indonesia?
Perlindungan hukum terhadap kreditor dan debitor berarti juga memberikan jaminan kepada para investor domestik maupun asing yang menanamkan uangnya dalam kegiatan bisnis di Indonesia. Hal ini sejalan dengan asas hukum perdata internasional yang mengatur masalah kepailitan lintas batas (cross-border inso lvency). Ada keterkaitan dan relevansi antara hukum kepailitan dengan hukum intemasional khususnya hukurn perjanjian dagang intemasional misalnya, keadaan dimana aset perusahaan yang dinyatakan pailit berada di beberapa negara, atau keadaan dimana beberapa kreditor berada di negara yang berbeda dengan debitor yang dipailitkan. Keterkaitan masalah kepailitan dengan hukum perdata internasional terletak pada bagaimana keberlakuan putusan pailit pengadilan asing .di suatu negara. Apakah putusan pailit dari pengadilan asing dapat dieksekusi atas debitor pailit di Indonesia? mengaturnya, memang hukum internasional dalam pengertian publik,' tidaklah sepenuhnya dapat diterapkan. Masalah kepailitan adalah murni masalah privat. Masalah ini lahir karena . tidak mampunya debitor melunasinya kewajiban utangnya kepada kreditor. Peran dan kehadiran hukum intemasional di dalarn masalah kepailitan ini akan relevan rnanakala masalah kepailitan ini terkait unsur asing. Dengan kemajuan teknologi komunikasi dan globalisasi ekonorni, masalah kepailitan dapat pula menjadi tunduk pada ranah hukum perdata internasional atau hukum transaksi bisnis internasional atau lintas batas negara. Istilah yang digunakan dalam bidang hukum kepailitan ini adalah "Cross-Border lnsotoencf'" atau penulis Anglo Saxon menyebutnya dengan istilah "Transnational Insolvency."3 Dalam globalisasi ekonomi, dunia usaha menghendaki adanya kepastian hukurn, terrnasuk kepastian hukum dalam masalah kepailitan. Masalabnya adalah, hukum nasional sedikit banyak dirasakan
JURNAL HUKUM BISNIS

A. Permasalahan Judul tulisan ini seolah memperlihatkan dua sudut pandang yang berseberangan. Pertama, masalah hukurn kepailitan yang ranahnya berada di bidang hukurn perdata, Kedua, hukurn internasional yang objek utarna pengaturannya adalah hubunganhubungan lint as batas di antara subjek hukurn internasional yang ranahnya berada di bidang hukurn

publik.
Tujuan utama tulisan ini adalah menunjukkan bahwa dua sudut pandang yang berseberangan tersebut tidaklah betul. Ada keterkaitan erat dan relevan antara hukum internasional dengan masalah kepailitan serta menunjukkan peran hukum intemasional di dalam membantu masalah-masalah hukurn kepailitan yang sifatnya lintas batas. B. Penerapan Hukum Internasional: , Perjanjian Internasional Tinjauan
24

dari

substansi

atau

materi

yang

ARTIKEL UTAMA

kurang memberi kepastian hukurn dalarn hal terkait lebih dari satu nasionalitas dan di dalarrmya menyangkut masalah keuangan yang sangat besar' Hukum nasional antara satu negara dengan negara lain sedikit banyak juga berbeda dari objek yang mengatur masalah kepailitan. Perbedaan objek pengaturan ini, terrnasuk di dalarnnya lembaga penyelesaian sengketanya kurang begitu kondusif di dalarn memberi kepastian hukum." Upaya menjembatani masalah ini, organisasi antar pemerintah atau swasta baik yang lingkupnya multilateral maupun bilateral berupaya menciptakan berbagai aturan atau instrumen yang sifatnya transnasional. Aturan atau instrumen yang mengatur lintas batas inilah tunduk pada prinsip-prinsip hukurn internasional. Hukurn internasional antara lain meletakkan prinsip-prinsip hukurn bagairnana kerja sarna tersebut kernudian dituangkan dalam bentuk formal yang kemudian disebut dengan perjanjian internasional. Maksud perjanjian internasional adalah "perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukurn intemasional yang dibuat secara tertulis serta menirnbulkan hak dan kewajiban di bidang hukurn publik." 6 Instrumen perjanjian intemasional yang meletakkan hak dan kewajiban bagi negara beserta akibat-akibat hukurn dari adanya pelanggaran terhadap perjanjian internasional, tunduk pada hukurn internasional, Instrumen tertulis yang telah berlaku sebagai hukurn kebiasaan intemasional adalah Konvensi Wina tentang Perjanjian (Vienna Convention on the Law of Treaties) tahun 1969. Indonesia dan negaranegara urnumnya tidak meratifikasi konvensi ini. Meski tidak meratifikasinya, aturan-aturan konvensi telah diterirna oleh masyarakat internasional sebagai instrumen hukurn kebiasaan internasional sehingga dengan statusnya demikian negara-negara di dalarn melaksanakan perjanjian internasional, mau tidak mau, mengacu kepada muatan Konvensi Wina.' Upaya perjanjian internasional sebagai instrumen untuk mengatur kerja sarna di bidang kepailitan antara lain tampak pada berbagai perjanjian intemasional yang telah dibuat masyarakat intemasional baik yang lingkupnya multilateral maupun regional, baik yang sifatnya hard law maupun soft-law. Secara singkat instrurnen perjanjian internasional tersebut adalah: (a) Lingkup Instrumen Hukurn Internasional Regional, rnisalnya saja di benuaAmerika terdapat the Montevideo Treaties (1889dan 1940), di negaranegara Skandinavia terdapat Convention between Denmark, Finland, Iceland, Norway and Sweden regarding Bankruptcy (1933yang diubah pada 1977 dan 1982). Di negara-negara Uni Eropa terdapat
JURNAL HUKUM BISNIS

the European Convention on Certain International Aspects of Bankruptcy (1990).8 (b) Lingkup Instrumen Hukurn Intemasional Multilateral, rnisalnya saja adalah peran dua lembaga penting yang berupaya meletakkan aturan hukurn kepailitan yang sifatnya lintas batas negara adalah, pertama, UNCITRAL. UNCITRAL telah mengeluarkan UNCITRAL Model Law on CrossBorder Insolvency (1998). Kedua, International Bar Association (IBA). IBA telah mengeluarkan the Model International Insolvency Cooperation Act (M1CA)tahun 1988.9
C. Penerapan Hukum Internasional: Perlindungan Investor

Terdapat kaitan erat antara penerapan hukurn intemasional (publik) dengan perlindunganinvestor terutarna investor asing yang terkait atau berkepentingan dengan adanya masalah kepailitan. Personal hukum seseorang investor (asing) tunduk pada status hukum negaranya. Adalah kewajiban (utama) suatu negara untuk melindungi warganya di manapun warganya pun berada. Kewajiban memberikan perlindungan hukurn inilah digariskan oleh hukurn intemasional. Perlindungan hukum internasional terhadap investor urnumnya menyangkut rninimal5 (lima) prinsip dalam hukurn intemasional berikut: (1) Perlindungan diplomatik Perlindungan suatu negara terhadap wargan~ di manapun warganya berada diberikan dalam bentuk perlindungan diplomatik. Perlindungan seperti ini diberikan suatu negara terhadap warga negaranya sekarang ini semaldn meningkat sebagai akibat dari meningkatnya aktivitas ekonomi. Malah Amerika Serikat dan Inggris, misalnya, telah sejak lama membentuk suatu komisi penuntut (Claim Commissions), yang dibentuk berdasarkan the United States-United Kingdom Jay Treaty tahun 1794 untuk memecahkan masalah-masalah pelanggaran perlakuan terhadap orang asing di antara mereka. Di negara-negara maju sendiri ada pula yang telah membentuk komisi penuntutan nasional untuk memberikan ganti rugi berupa lump-sums yang diterima dari negara lain sebagai hasil dari penyelesaian tuntutan-tuntutan mereka.'? Adanya komisi penuntut intemasional atau nasional dan dengan ada-nya perlindungan diplomatik telah memungkinkan warga negara yang berada di luar negeri dibantu apabila mereka mengalami kerugian atau mengalami perlakuan yang melanggar hukurn 11. Latar belakang atau alasan dimungkinkannya suatu negara melindungi warga negaranya dari perlakuan yang kurang baik dari negara asing serta menuntut ganti rugi adalah karena adanya doktrin
25

ARTIKEL UTAMA

tentang tanggung jawab negara yang terkait dengan kebangsaan (Nationality of claims) (lihat tulisan di bawah). (2) Standar Minimum Perlindungan Prinsip standar minimum perlindungan sebenarnya adalah prinsip yang sudah diterima dalam hukum internasional, tetapi apa yang menjadi standar dari perlindungan minimum ini masih terdapat banyak pendapat atau perbedaan pandangan. Upaya untuk meluruskan perbedaan itu, dicoba diluruskan oleh Garcia Amador. Beliau merumuskan dua prinsip perlakuan terhadap orang/warga negara asing: 1) bahwa orang asing harus menikmati hak-hak serta jaminan yang sarna dengan warga negara yang bersangkutan. Per- . lakuan yang diberikan tersebut adalah penghormatan terhadap hakhak asasi/ fundamental manusia yang diakui dan ditetapkan dalam hukum internasional. 2) tanggungjawabintemasional suatu negara akan timbul apabila hak-hak asasi/fundamental manusia tersebut dilanggar. 12 (3) Prinsip Exhaustion of Local Remedies Prinsip ini mensyaratkan: sudah menjadi hukum kebiasaan internasional bahwa sebelum diajukannya klaim/tuntutan ke pengadilan intemasional, langkah-langkah penyelesaian sengketa ("local remedies rule") yang tersedia atau yang diberikan oleh negara harus terlebih dulu ditempuh (exhausted). Tindakan ini dilakukan baik untuk memberi kesempatan kepada negara itu untuk menyelesaikan suatu sengketa (termasuk sengketa kepailitan terkait dengan tulisan ini) menurut sistem hukumnya.P Dalam hukum intemasional, prinsip atau rule mengenai local remedies ditegaskan dalam sengketa the Interhandel case (1959). Dalam sengketa ini Mahkamah Intemasional menegaskan: "Before resort may be had to an international court ... the state where the violation occurred should have an opportunity to redress it by its own means, within the framework of its own domestic legal system (Cetak
ll •

miring oleh penulis)." Dalam sengketa the Interhandel case (1959),Mahkamah Intemasional mengungkapkan pula dua hal penting lain dari local remedies rule ini. Pertama, local remedies rule dewasa ini sudah merupakan hukum kebiasaan intemasional yang sudah mapan ("well established rule of customary internationallaw"),15 Kedua, Mahkamah mengungkapkan pula bahwa aturan local remedies ini sangatlah penting karena ia memberi kesempatan kepada negara pelanggar kewajiban internasional untuk memperbaiki pelanggarannya sesuai dengan caranya sendiri menurut hukum nasionalKetentuan tentang exhaustion of local remedies ini tampak dalam sengketa the Ambatielos Arbitration (1956) antara Yunani dan Inggris. Ambatielos (warga negara Yunani) did uga telah lalai dalam melaksanakan kewajibannya dalam transaksi jual beli kapal dengan perusahaan Inggris. Sengketa diajukan ke pengadilan Inggris. Pengadilan memenangkan perusahaan Inggris pada tingkat pertama dan tingkat banding. Ambatielos lalu membawa sengketa ini ke badan arbitrase intemasional berdasarkan petjanjian antara Yunani dan Inggris tahun 1886dan 1926. Badan arbitrase menolak mengadili tuntutan Ambtielos dengan alasan, antara lain, karen a ia tidak sepenuhnya menggunakan cara penyelesaian yang tersedia menurut hukum Inggris (dalam hal ini Mahkamah Agung). (4) Prinsip Tanggung Jawab Negara Menurut hukum internasional suatu negara adalah berdaulat. Negara memiliki kekuasaan tertinggi di dalam wilayahnya, tetapi kekuasaan tertinggi itu bukannya tidak terbatas. Di balik kekuasaan tersebut terdapat kewajiban untuk tidak menyalahgunakan kekuasaan, Apabila ini terjadi, maka negara tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Prinsip tanggung [awab negara dapat terjadi karena bersandar pada 2 (dua) pilar kembar, yaitu: 1) hubungan suatu negara dengan tindakan-tinda.TURNAL HUKUM BISNIS

nya."

26

ARTIKEL UTAMA kan yang melanggar hukum atau kelalaian ya~g dilakukan pejabat-pejabatnya; dan 2) kemampuannegara untuk mengklaim atas nama warga negaranya. Suatu negara wajib melindungi warga negaranya dan menuntut negara lain apabila negara tersebut memperlakukan warga-negaranya dengan tidak baik. Dalam hal ini, apabila suatu negara mengklairn negara lain, maka negara tersebut menegaskan haknya yang terdapat di dalam hak warga negaranya, untuk penghormatan terhadap hukum intemasional. Prinsip ini ditegaskan dalam sengketa the Mavrommatis Palestine Concessions (1924). Dalam kasus ini Mahkamah lnternasional Permanen menyatakan sebagai berikut: di Palermo, Sisilia. Raytheon menanamkan modalnya di ELSI sebesar 7,42 miliar Lira. Di perusahaan ini Raytheon adalah pemilik saham mayoritas atau lebih dari 99 persen; sedangkan sekitar 1persen saham sisanya dimiliki oleh anak perusahaa Raytheon, yaitu Machlett Laboratories. Dari jumlah modal yang ditanarnnya tersebut, sebagian besamya, lebih dari 65 persen, berasal dari pinjaman dari berbagai bank komersial di Italia. ELSI memproduksi perala tan elektronik dan menjualnya ke berbagai negara di dunia. Meski mendapat keuntungan, ELSI tidak mampu membayar utangnya kepada bank. Untuk memperta-hankan perusahaan dan tenaga kerja yang dipekerjakannya sekitar 1000 pekerja Italia, ELSI melobi pemerintah Italia untuk membantu keberlangsungan perusahaan. Negosiasi dan lobi dilangsungkan secara intensif, tetapi hasilnya tidak banyak membantu. Keadaan semakin buruk sehingga sempat meresahkan tenaga kerja dan menimbulkan gejolak. Keadaan ini mendorong dewan direksi merencanakan likuidasi ELSI pada 16 Maret 1968. Langkah ini ditempuh untuk menghindari kerugian yang terus menumpuk. Keputusan direksi ini diperkuat oleh pemegang saham pada 28 Maret 1968. Pada 1 April 1968, walikota Palermo mengeluarkan perintah untuk mengambil-alih pabrik dan aset kekayaan ELSI untuk jangka waktu 6 bulan. Perintah . ini didasarkan pada hukum Italia UU Nomor 2248 tahun 1865 yang memberi kewenangan kepada pejabat administratif Italia untuk mengelola harta swasta ('private property') demi kepentingan publik yang besar ('grave public necessity').21 Manajemen ELSI menolak perintah pengambilalihan tersebut. ELSI menganggap perintah tersebut tidak sah. Ketika pemohonan ELSI ini tidak ada tanggapan, ELSI membawa rna salah ini kepada Gubernur Palermo (the Prefect of Palermo). Narnun demikian Gubernur Palermo tidak memberi jawaban. Pada 25 April 1968 ELSI mengajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Palermo. Pengadilan pada putusannya tanggal 16 Mei 1968 mengabulkan permohonan dan menunjuk kurator untuk mewakili kepentingan para kreditor atas aset ELSI. Pengadilan pun melelang aset ELSI. Namun dalam 3 kali acara lelang, tidak ada pembeli pun yang tertarik. Akhirnya sebuah perusahaan BUMN yang baru dibentuk, Industria Elleronica Telecommunicazioni S.p.A (ELTEL), mernohon untuk menyewa pabrik terse but. Pengadilan mengabulkan permohonan ini, Pada bulan Mei 1969, ELTEL mengusulkan kepada kurator untuk membeli ELSI seharga 4,105 miliar Lira. Pengadilan Kepailitan menyetujui pembelian ini,
27

"by taking up the case of one of its subjects and by resorting to diplomatic protection or international judicial proceedings on his behalf, a state is in reality asserting its own rights, its rights to ensure in the person of its subjects, respect for the rules of internatioanllaw ... " 17 (5) Prinsip Ganti Rugi (Kompensasi)

Prinsip ganti rugi adalah prinsip hukum umum dalam hukum internasional. Prinsip ini sudah diakui lama sebagai salah satu prinsip bukan saja mapan dan klasik. Meskipun demikian, prinsip ini masih menyisakan masalah mengenai berapa jurnlah ganti rugi yang harus dibayarkan oleh suatu negara terhadap negara lainnya. Prinsip ini akan lahir apabila suatu perbuatan negara, baik yang aktif maupun pasif, mengakibatkan kerugian terhadap negara lain. Akibat perbuatan tersebut melahirkan tanggung jawab intemasional suatu negara terhadap negara lain. Salah satu bentuk tanggung jawab tersebut adalah membayar ganti rugi atau kompensasi. D.·Penerapan Hukum Internasional: Sengketa ELSI (1989) di Mahkamah Internasional Sengketa Elettronica Sicula S.p.A. (ELSI)18sebenarnya adalah sengketa penanaman modal antara pemerintah Arnerika Serikat (AS) sebagai pemohon dan pemerintah Italia sebagai termohon. Sengketa diselesaikan di hadapan Mahkamah lnternasional (International Court of Justice). Sengketa penanaman modal ini terkait erat dengan kasus kepailitan terhadap perusahaan penanaman modal AS di Italia." 1. Fakta Hukum/" Pada tahun 1952 perusahaan pembuat peralatan elektronik AS, Raytheon Company, menandatangani perjanjianlisensi dan bantuan teknikdengan sebuah perusahaan lokal Italia. Dalam perkembangannya, perjanjian ini ditingkatkan dengan dibentuknya suatu perusahaan baru yaitu ELSI, berkedudukan
JURNAL HUKUM BISNIS

ARTIKEL UTAMA Setelah proses pembelian ELS1, Gubernur Palermo mengeluarkankeputusan yangmenyatakan bahwa upaya pengambil-alihan adalah tidak sah. Walikota mengajukan banding terhadap putusan tersebut ke DPR (the Italian Council of State) dan Presiden. Permohonan banding ini ditolak dengan alasan seorang walikota tidak memiliki dasar hukum untuk mengajukan banding terhadap keputusan Gubemur. Dengan mendasarkan keputusan Gubernur Palermo, Kurator ELS1 mengajukan gugatan ganti rugi terhadap pemerintah dan Pemda Italia di Pengadilan. Ganti rugi ditujukan untuk kerugian yang diderita karena adanya pengambil-aIihan terhadap ELSI dan para kreditomya, berkurangnya nilai pabrik dan peralatannya. Pengadilan Palermo menolak gugatan ini. Di tingkat banding, pengadilan banding mengabulkan gugatan dengan memberi ganti rugi sebesar 114 juta Lira. Mahkamah Agung Italia memperkuat jumlah ganti rugi tersebut Pihak Raytheon menganggap jumlah tersebut terlalu kecil." 2. Masalah Hukum di Mahkamah Intemasional Raytheon mengadukan masalah ini kepada pemerintah AS berdasarkan hukum intemasional. Langkah pertama yang dilakukan AS adalah penyelesaian masalah melalui negosiasi. AS mengirim nota diplomatik dan perundingan langsung dengan pemerintah Italia dengan tujuan menyelesaikan masalah ini secara bilateral. Langkah ini tidak memberi hasil. Setelah upaya negosiasi gagal, AS membawa masalah ini ke Mahkamah Intemasional. Penyerahan sengketa ini didasarkan kepada perjanjian bilateral AS dan Italia tahun 1948 mengenai Persahabatan, Perdagangan dan Navigasi (Friendship, Commerce and Navigation). Pasal XXVI Perjanjian FeN menetapkan Mahkamah Internasional sebagai lembaga penyelesaian sengketanya." Dalam perrnohonannya, AS merrrinta Mahkamah untuk pertama, memutuskan bahwa tindakan pemerintah Italia mengambil alih ELS1 merupakan tindakan yang melanggar Perjanjian FeN 1948; kedua, meminta untuk mengabulkan tuntutan ganti rugi. 3. Putusan dan Pertimbangan Hukum Mahkamah Dalam putusannya, Mahkamah berpendapat, pertama, tindakan pemerintah Italia bukan merupakan tindakan yang melanggar Perjanjian FeN. Kedua, Mahkamah menolak permohonanAS untuk memberikan ganti rugi. PertimbanganHukumMahkamah secara singkat adalah sebagai berikut: (1) Pemohon (AS) antara lain menyatakan bahwa 28 tindakan pemerintah (dan Pemda) Italia merupakan pelanggaran Perjanjian FeN adalah tindakan diskriminatif terhadap ELSF4 Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah melihat apa yang dilakukan pemerintah Italia selama kurun waktu tahun 1960-an termasuk tindakan pengambil-alihan ELSI tidak dipandang sebagai tindakan diskriminasi yang melanggar Perjanjian FeN. Selama kurun waktu itu, banyak perusahaan lokal Italia yang mengalami kesulitan keuangan dan tindakan pengambil-alihan perusahaan IOKal tersebut seringkali dilakukan oleh para wall kota." Tindakan pemerintah Italia tidak terbukti sebagai tindakan diskrirninatif. Kedua, masalah yang menghalangi Raytheon dan Machlett sebagai pemegang saham ELS1 untuk menjual harta kekayaannya sehubungan karena adanya pengambil-alihan oleh walikota Palermo, Mahkamah berpendapat alasan ini lemah, Mahkamah berpendapat, kesulitan pemegang saham menjual harta miliknya bukan karena tindakan pengambil-alihan, tetapi semata-mata karena ELS1 sedang mengalami kesulitan keuangan yang genting ('precarious financial state/) yang membuka peluang pailit." Di samping itu, di dalam kepailitan, hak untuk menjual harta kekayaan ELS1, tidak lagi dimiliki perusahaan (ELS1), tetapi ada pada kurator. Oleh karena itu, Mahkamah memutuskan bahwa, pertama, tindakan pemerintah Italia tidak melanggar Perjanjian FeN. Kedua, karena alasan permohonan di atas ditolak, Mahkamah tidak melihat alasan untuk mengabulkan permohonan tuntutan ganti rugi." E. Catatan Penutup

Dari uraian dan putusan ELS1 di atas, terangkum beberapa catatan berikut: 1. Hukum internasional meletakkan prinsip-prinsip hukum perjanjian internasional tentang bagaimana negara-negara dapat bekerja sarna di dalam menangani masalah kepailitan yang sifatnya lintas batas (Cross-Border Insolvency atau

International Insolvency);

2. Hukum intemasional memberi prinsip-prinsip hukum perlindungan kepada investor (sebagai pemegang saham) berupa peletakanprinsip perlindungan diplomatik; prinsip standar minimum perlindungan: prinsip exhaustion of local remedies; prinsip tanggung jawab negara; dan prinsip ganti rugi. 3. Penerapan hukum internasional dalam kasus ELS1 tampak di dalam mengupayakan memberikan perlindungan hukum dari perlakuan suatu tinda~an admini~tratif suatu pemerintah yang merugikan kepentingan warga negara asing
JURNAL HUKUM BISNIS

ARTIKEL UTAMA

termasuk warga negara asing yang mengalami pailit.


Daftar Pustaka
Arechaga and Tanzi, 'International State Responsibility,' in: M. Bedajoui (ed.), International Law: Achievements and Prospects, Paris: UNESCO, Martinus NijhoffPubl., 1991. Braucher, Jean, 'Harmonizing the Business Bank-ruptcy Systems of Developed and Developing Nations: Some Issues/ 17 N.Y.1. Sch. J. Int'l & Compo 1. 473'(1997). Brownlie, Clarendon Ian, Principles of Public International Law, Oxford Press, 1998.

1. 473'(1997). 6 Pasal1 (a) UU Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Bandingkan dengan definisi perjanjian internasional (Treaty) menurut Konvensi Wina 1969,Article 2 (1) (a): 'treaty' means an

international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation". 7 Indonesia memiliki UU Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Intemasional. Muatan UU ini praktis sama dengan muatan Konvensi
Wma 1969 ini. 8 Lihat lebih lanjut: UNCITRAL, Note by Secretariat: Cross-Border Insolvency, A/CN.9/398, 19 May 1994, hlm, 4; Lihat pula Samuel A. Caulfield, "Fraudulent and Preferential Conveyances of the Insolvent Multiantional Corporation," 17 N. Y1. Sch. J. Int'l & Compo 1. 571 (1997), khususnya hlm, 608-610. 9 Samuel A. Caulfield, Ibid., hlm, 604. 10 MisaInya saja, the United States Commission, suatu badan yang dibentuk oleh Amerika Serikat - Mexico atau the Franco - American Claims Commission yang dibentuk oleh Perancis dan Mexico atau Mixed Claims Commission antara Jerman dan Amerika Serikat. 11 Shaw, International Law, London: Butterworths, 419,420. 1986, him.

Caufield, Samuel A, "Fraudulent and Preferential Conveyances of the Insolvent Multiantional Cor-poration," 17 N.Y.1. Sch. J. & Comp. 1. 571 (1997).

un

Clement,

Zack A, November 2006 Background Me-morandllm

Jor the International Insolvency Institute's Proposal to UNICTRAL Concerning International Insolvency/Arbitration, New York:
June 11-12, 2007. Dixon, Martin, Textbook on Blackstone, 4th., ed., 2000.

International

Law, London:

ICJ, Elettronica Sicula S.p.A (ELSI) Case, ICJ Reports (1989). Kaczorowska, Bailey, 2002. Alina, Public International Law, Lon-don: Old

12 Yearbook of lLC, 1957 Vol II,PP.l 04, 112-13 sebagaimana dikutip oleh shaw, op.cit.,hlm. 427-8. 13 Shaw, Op.cit., him. 424. 14 Terkutip dalam David H. Ott, Public International Law in the Modern World, London: Pitman, 1987, hlm, 178.

Mochtar Kusurnaatmadja, Bandung: Binacipta, 1981.

Pengantar Hukum lnier-nasionai,

15 The Interhandel case (1959) ICJ Rep. 1959, p. 27, terkutip


dalam Arechaga and Tanzi, 'International State Responsibility,' in: M. Bedajoui (ed.), International Law: Achievements and Prospects, Paris: UNESCO, Martinus NijhoffPubl., 1991, him. 373. 16 Areehaga and Tanzi, Op.cit., him. 373. 17 Shaw, Op.cit., hIm. 420-421. 18 Elettronica Sicula S.p.A (ELSI) Case, ICJ Reports (1989). 19 Sengketa ini tidak begitu mendapat ulasan intensif dalam buku teks standar hukum internasional. Sengketa ini hanya dikutip di beberapa halaman saja dalam buku tcks umumnya, misalnya: Ian Brownlie, Principles of Public International Law, Oxford Clarendon Press, 1998, him. 501,534,541,729; Martin Dixon, Textbook on International Law, London: Blackstone, 4th., ed., 2000, hlm, 87,247,271 atau Alina Kaezorowska, Public International Law, London: Old Bailey, 2002, hIm. 191,210, 359. \ 20 Sengkcta ELSI ini dapat diakses pada website Mahkamah Internasional pada: <Httpr//www.icj-cij.org/>. 21 Para. 30, ICJ Reports. 22 Dalam argumentasinya, Raytheon menganggap jurnlah 114 juta Lira ini sebagai "trental' payment" (para. 43, ICJ Reports.) 23 Para. 48, ICJ Reports. Article XXVI FCN AS dan Italia berbunyi sebagai berikut: "Any dispute between the High Contracting

Ott, David H, Public International Law in the Modern World, London: Pitman, 1987. Shaw, M.N., International Law, London: Butter-worths, 1986.

UNCITRAL, Model Law on Cross-Border Insolvencies (1998). UNCITRAL, Note by Secretariat: Cross-Border InsolvenClj, A/
CN.9/398, 19 May 1994. Winkler, Matteo M., "From Whipped to Multibillion Euro Financial Collapse: The European Regula tion on Transnational Insolvency in Action" 26 BerkeleJjJ. Int'l 1. 352 (2008). Catatan Kaki

CI, Mochtar Kusumaatmadja, Penganiar Hukum lnternasional, Bandung: Binadpta, 1981, hlm. 1 et.seq. 2 Lihat mlsalnya UNCITRAL, 'Model Law on Cross-Border Insolvencies' (1998).
3 Lihat misalnya tulisan: Matteo M. Winkler, "From Whipped to Multibillion Euro Financial Collapse: The European Regulation on Transnational Insolvency in Action" 26 BerkeleJj J. Int'l 1. 352 (2008). 4 Matteo M. Winkler, Ibid. (Winkler dalam tulisannya ini memberi contoh sengketa terkenal yang menarik perhatian publik luas, yaitu sengketa 'Eurofood'). 5 Lihat: Zack A. Clement, November 2006 Background Memoran-

dum for the International Insolvency Institute's Proposal to UNICTRAL Concerning International Insolvency/Arbitration, New York June 11-12,2007, hlm. 2. Bahkan Braucher mengusulkan
per1u adanya harmonisasi hokum kepailitan nasional antara negara maju dan negara berkembang, Iihat lebih lanjut: Jean Braucher, 'Harmonizing the Business Bankruptcy Systems of Developed and Developing Nations: Some Issues: 17N. Y.1. Sch. J. Int'l & Compo JURNAL HUKUM BISNIS

24 25 26 27

Parties as to the interpretation or the application of this Treaty, which the High Contracting Parties shall not satisfactorily adjust by diplomacy, shall be submitted to the International Court of Justice, unless the High Contracting Parties shall agree to settlement by some other pacific means." Para. 133,ICJ Reports. Para. 134, ICJ Reports. Para. 135, ICJ Reports. Para. 136, ICJ Reports. 29

Anda mungkin juga menyukai