Anda di halaman 1dari 9

Pembangunan Hukum Nasisonal

PEMBANGUNAN hukum nasional secara implisit mencerminkan bahwa sampai saat ini
di Indonesia masih terjadi proses perubahan sosial menuju ke arah modernisasi yang
dikemas dalam proses legislasi yang teratur dan berkesinambungan dengan memasukkan
aspek sosiokultural yang mendukung arah perubahan tersebut.

Filosofi yang dianut dalam pembangunan hukum nasional selama kurang lebih 30 (tiga
puluh) tahun yaitu konsep hukum pembangunan yang menempatkan peranan hukum
sebagai sarana pembaruan masyarakat, belum mengalami perubahan, dan bahkan belum
pernah diuji kembali keberhasilannya. Hal ini merupakan salah satu tugas utama yang
mendesak (sense of urgency) yang harus dilaksanakan oleh pemerintah (Departemen
Kehakiman), terlebih dengan cepatnya perubahan sistem politik dan sistem
ketatanegaraan yang telah terjadi sejak masa reformasi.

Telah terjadi perubahan paradigma dalam kehidupan politik dan ketatanegaraan di


Indonesia yaitu dari sistem otoritarian kepada sistem demokrasi, dan dari sistem
sentralistik ke dalam sistem otonomi. Perubahan paradigma tersebut sudah tentu
berdampak terhadap sistem hukum yang dianut selama ini yang menitikberatkan kepada
produk-produk hukum yang lebih banyak berpihak kepada kepentingan penguasa
daripada kepentingan rakyat dan produk hukum yang lebih mengedepankan dominasi
kepentingan pemerintah pusat daripada kepentingan pemerintah daerah.

Di samping perubahan paradigma tersebut juga selayaknya kita (cendekiawan hukum dan
praktisi hukum) ikut mengamati fenomena-fenomena yang terjadi di dalam percaturan
politik dan kehidupan ketatanegaraan di Indonesia karena terhadap masalah ini kita
sering "alergi" dan mengabaikannya, sedangkan kehidupan perubahan sistem politik dan
sistem ketatanegaraan berdampak mendasar terhadap perkembangan sistem hukum.
Fenomena yang saya maksud, pertama, kecenderungan sistem otonomi menjadi lebih
diperluas sehingga dapat menjadi federalisme; dan kedua, kecenderungan sistem
multipartai yang berdampak terhadap sistem kabinet presidensial yang selama ini dianut
dalam UUD 1945. Kecenderungan ini sudah terjadi dalam kabinet Gotong Royong di
bawah Presiden Megawati yaitu dengan sistem koalisi. Fenomena ketiga, kecenderungan
pemisahan (bukan pembedaan) secara tegas (separation bukan differentiation) antara
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Fenomena ketiga sangat berpengaruh terhadap law
making process (LMP), dan law enforcement process (LEP). Fenomena keempat,
masuknya pengaruh-pengaruh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ke dalam
pengambilan keputusan pemerintah dan proses legislasi. Fenomena kelima, adanya Tap
MPR RI yang memerintahkan kepada Presiden untuk melaksanakan pemberantasan KKN
dan menciptakan pemerintah yang bersih dan berwibawa semakin menambah beban
pemerintah yang tidak kecil di masa kini dan masa mendatang.

Kelima fenomena yang telah saya uraikan di atas merupakan bahan kajian untuk
mengantisipasi kemungkinan wujud sistem hukum dan sistem penegakan hukum di masa
yang akan datang. Hal ini saya pandang sangat penting karena kita sering mengalami
inertia dalam mengantisipasi perkembangan kehidupan masyarakat baik di bidang
politik, sosial, maupun ekonomi.

Dalam awal uraian telah saya kemukakan adanya perubahan sistem hukum yang
mendasar. Perubahan dimaksud merupakan konsekuensi logis dari perubahan kedua
sistem terdahulu. Walau demikian, tidaklah berarti bahwa perubahan sistem hukum
tersebut merupakan perubahan yang serta-merta, tetapi harus ada persiapan yaitu
penataan yang bersifat komprehensif dan tidak parsial terhadap sistem hukum yang kini
dianut, seperti halnya proses legislasi yang telah dilaksanakan pemerintah sejak era
reformasi tahun 1980-an.

Pembangunan hukum nasional masa reformasi saat ini merupakan masa transisi dari
sistem pemerintahan sebelumnya kepada sistem demokrasi yang mengedepankan
transparansi, akuntabilitas, dan hak asasi manusia, serta membuka akses publik kepada
kinerja pemerintahan. Konsepsi hukum pembangunan yang menitikberatkan kepada
hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat pada masa tahun 1970-an tanpa penjelasan
lebih jauh mengenai bentuk atau wujud masyarakat bagaimana yang dikehendaki ke
depan, maka konsepsi hukum demikian akan sangat rentan terhadap penyalahgunaan
kekuasaan oleh eksekutif dan yudikatif. Hal ini sudah terjadi dengan munculnya peristiwa
perampasan hak-hak rakyat baik di bidang politik, ekonomi, dan sosial di masa lampau
dengan alasan untuk pembangunan nasional melalui berbagai peraturan perundang-
undangan atau keputusan pemerintah.

Keadaan ini menjadi lebih kompleks karena reformasi yang dibangun sejak tahun 1998
terbukti sangat cepat tanpa melalui masa transisi yang cukup untuk mengendapkan dan
mendalami esensi reformasi tersebut baik di bidang politik, ekonomi, sosial, maupun
HAM. Banyak pihak termasuk kaum cendekiawan saat itu sudah tidak sabar menunggu
dan ingin cepat agar pemerintah melaksanakan reformasi dalam keempat bidang tersebut
tanpa memberikan kesempatan bernapas, apalagi untuk mengendapkan dan mendalami
secara hati-hati seluruh tuntutan reformasi tersebut. Sementara kita ketahui, reformasi
yang dituangkan ke dalam Ketetapan MPR RI itu pun belum dapat diselesaikan secara
tuntas oleh pemerintah. Bahkan ada keraguan di antara para pemikir dan kaum birokrasi
tentang validitas bahan-bahan acuan dan data yang telah digunakan dalam penyusunan
Ketetapan MPR RI tersebut yang secara fundamental telah mengubah arah dan tujuan
pembangunan nasional pada umumnya dan pembangunan hukum pada khususnya.
Apalagi, jika dilihat dari segi waktu yang sangat singkat dengan jumlah anggota MPR RI
kurang lebih sebanyak 500 (lima ratus) orang yang berasal dari berbagai partai dan
golongan disertai kepentingan yang bervariasi.

Dalam konteks kondisi seperti itu, tidaklah dapat dihindari terjadinya anomali mengenai
cita reformasi khususnya di bidang hukum; ditambah lagi dengan kenyataan, bahwa
dalam hubungan internasional tuntutan reformasi hukum sesuai dengan komitmen
internasional tidak kunjung selesai atau terpenuhi. Keadaan ini sering dirasakan ketika
pemerintah harus berpacu dengan waktu, bahkan dalam hitungan hari.
Dalam keadaan yang terdesak tanpa ada pilihan untuk kembali (point of no return) di
tengah reformasi di bidang hukum, sekelompok masyarakat yang menamakan kelompok
proreformasi atau prodemokrasi belum memberikan pemahaman kepada masyarakat luas
tentang esensi dari reformasi itu sendiri, bahkan cenderung memahami reformasi itu
sebagai demokrasi an sich, tanpa mempertimbangkan kultur dan karakteristik budaya
bangsa ini. Lebih jauh pemahaman tentang penegakan tatanan kehidupan yang
demokratis seakan dipahami sebagai menghalalkan pemaksaan kehendak sekalipun
dengan cara kekerasan untuk mencapai suatu tujuan di balik alasan klasik, untuk
kepentingan rakyat.

Dalam konteks kondisi demikian, masalah hukum dalam pembangunan nasional dewasa
ini berbeda secara mendasar dengan kondisi pada saat pertama pembangunan hukum
nasional dideklarasikan. Ada 4 (empat) masalah mendasar yang mendesak dan segera
harus diselesaikan, yaitu pertama, masalah reaktualisasi sistem hukum yang bersifat
netral dan berasal dari hukum lokal (hukum adat dan hukum Islam) ke dalam sistem
hukum nasional di satu sisi dan di sisi lain juga terhadap hukum yang bersifat netral yang
berasal/bersumber dari perjanjian internasional.

Kedua, masalah penataan kelembagaan aparatur hukum yang masih belum dibentuk
secara komprehensif sehingga melahirkan berbagai ekses antara lain egoisme sektoral
dan menurunnya kerja sama antaraparatur hukum secara signifikan. Hal ini disebabkan
oleh miskinnya visi dan misi aparatur hukum, antara lain tentang pengertian due process
of law, impartial trial, transparency, accountability, dan the right to counsel.

Ketiga, masalah pemberdayaan masyarakat baik dalam bentuk meningkatkan akses


masyarakat ke dalam kinerja pemerintahan maupun peningkatan kesadaran hukum
masyarakat. Kedua hal tersebut dapat dimasukkan sebagai "budaya hukum" dan
merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan satu sama lain karena peningkatan akses
masyarakat tanpa disertai peningkatan kesadaran hukum akan menimbulkan ekses
pemaksaan kehendak, bahkan memunculkan karakter anarkisme.

Keempat, masalah pemberdayaan birokrasi atau yang saya sebut, beureucratic


engineering (BE) dalam konteks peranan hukum dalam pembangunan. Pemberdayaan
dilingkungan birokrasi ini sangat penting antara lain di dalam menjalankan Tap MPR RI
Nomor XI/MPR RI/1999 dan Tap MPR RI Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi
Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN serta bagaimana melaksanakan
secara konsisten UU RI Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih
dan bebas dari KKN.

Seharusnya dipahami bentuk esensinya. Sebab kedua Ketetapan MPR RI tersebut


memuat "perubahan sikap" (attitude) penyelenggara negara untuk tidak melakukan KKN.
Masalah keempat ini dalam konteks perkembangan politik dan penegakan hukum di
Indonesia sangat strategis dan menentukan keberhasilan pembangunan nasional pada
umumnya karena dengan cara demikian ia dapat mengisi kelemahan konsep hukum
pembangunan yang hanya menitikberatkan kepada "hukum sebagai sarana perubahan
sosial" dan tidak mempertimbangkan pendekatan BE. Dengan pendekatan BE, konsep
"panutan" atau "kepemimpinan" (leadership) dapat diwujudkan secara bersamaan dan
sekaligus dengan konsep perubahan dan pemberdayaan masyarakat (social engineering)
melalui hukum sebagai sarana pembaharuan.

Dengan demikian, hukum sebagai sarana pembaharuan sekaligus diharapkan dapat


menciptakan harmonisasi antara dua pasangan yaitu birokrasi dan masyarakat dalam satu
wadah yang saya sebut "bureaucratic and social engineering"; birokrasi memberikan dan
melaksanakan keteladanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan masyarakat
mengikuti dan patuh kepada birokrasi. Sepanjang perjalanan lebih dari 30 (tiga puluh)
tahun sejak Orde Baru sampai sekarang, masalah yang sangat krusial dan menghambat
penegakan supremasi hukum adalah sulitnya diperoleh "keteladanan" atau dalam arti
luas, "kepemimpinan". Hal ini pula yang menghambat kepatuhan masyarakat dalam
memelihara dan mengemban tugas sebagai satu bangsa (one nation) yang menjunjung
tinggi supremasi hukum, transparansi, akuntabilitas, dan menjunjung tinggi HAM.

Potret Buram Sistem Hukum dan Peradilan Indonesia

Dimanapun, lembaga peradilan diharapkan menjadi tempat bagi masyarakat


mendapatkan keadilan dan menaruh harapan. Namun, realitanya jauh dari harapan.
Justru, pengadilan dianggap sebagai tempat yang berperan penting menjauhkan
masyarakat dari keadilan. Orang begitu sinis dan apatis terhadap lembaga peradilan.
Harapan akan memperoleh kebenaran dan keadilan pun pupus ketika ditemukan adanya
permainan sistematis yang diperankan oleh segerombolan orang yang bernama mafia
peradilan. Pengadilan perkara korupsi mantan Dirut Jamsostek Ahmad Djunaedi yang
mengamuk dan berteriak telah memberikan uang Rp 600 juta kepada jaksa yang
sebagiannya, yakni Rp 250 juta digunakan untuk memesan hakim adalah bukti bahwa
keberadaan mafia peradilan bukanlah isapan jempol. Disinyalir, menurut hampir semua
lapisan aparat penegak hukum terlibat mulai dari polisi, jaksa, hakim, panitera, hingga
advokat mulai dari tingkat daerah sampai di Mahkamah Agung.

Daniel Kaufman dalam laporan Bureaucarti Judiciary Bribery tahun 1998 menyebutkan,
korupsi di peradilan Indonesia memiliki ranking paling tinggi di antara negara-negara
seperti Ukraina, Venezeula, Rusia, Kolombia, Mesir, Yordania, Turki, dan seterusnya.
Bahkan, hasil survei nasional tentang korupsi yang dilakukan Partnership for Governance
Reform pada 2002 juga menempatkan lembaga peradilan di peringkat lembaga terkorup
menurut persepsi masyarakat. Hal tersebut diperkuat dengan laporan Komisi Ombudsman
Nasional (KON) tahun 2002, bahwa berdasarkan pengaduan masyarakat menyebutkan
penyimpangan di lembaga peradilan menempati urutan tertinggi, yakni 45%
dibandingkan lembaga lainnya. Bahkan data terakhir yang dilansir Komisi Yudisial
menyebutkan bahwa 2.440 hakim atau sekitar 40 persen dari total 6.100 hakim
dikategorikan bermasalah, yang pada akhirnya membuat praktek hukum diwarnai judicial
corruption

Pada saat yang bersamaan kita juga melihat adegan yang melukai rasa keadilan. Koruptor
kakap banyak yang dibebaskan berkeliaran, sementara pencuri kelas teri hampir tak
pernah lolos dari hukuman. Dalam catatan ICW, selama kurun waktu 1999 hingga 2006,
ada 142 pelaku korupsi yang dibebaskan oleh 133 hakim di berbagai daerah . Pengadilan
terhadap Abu Bakar Ba’asyir yang sudah berusia lanjut dan sakit-sakitan tetap
dipaksakan berjalan, sebaliknya pengadilan terhadap Soeharto malah dihentikan.

Tidak hanya itu, saat ini mencari keadilan seperti mencari sebatang jarum yang hilang
dalam tumpukan jerami, rumit, berbelit-belit, penuh tikungan dan jebakan, yang berujung
kekecewaan dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Menumpuknya
belasan ribu perkara di Mahkamah Agung , tidak hanya menunjukkan banyaknya
permasalahan hukum dan kejahatan di negeri ini, akan tetapi juga karena panjang dan
berbelitnya proses peradilan. Inilah diantaranya penyebab hilangnya kepercayaan
masyarakat terhadap hukum. Tindakan main hakim sendiri (eigenrechting) yang
dilakukan oleh masyarakat khususnya terhadap kejahatan jalanan (street crimes) adalah
bukti ketidakhormatan dan ketidakpercayaan mereka terhadap hukum (disrespecting and
distrusting the law).

Realita sistem hukum dan peradilan di negeri ini, nampaknya tergambarkan dalam
penelitian yang dilakukan oleh The Asia Foundation & AC Nielsen yang antara lain
menyatakan: 49% sistem hukum tidak melindungi mereka (the legal system does not
protect them), 38% tidak ada persamaan dimuka hukum (there is no such thing as
equality before the law), 57% sistem hukum masih tetap korup (the legal system is just as
corrupt as it has always been) problem.

Penyebab Kebobrokan

Paling tidak ada 4 sebab kebobrokan sistem hukum dan peradilan di Indonesia,
diantaranya:

1. Landasan Hukum

Sistem hukum dan peradilan di Indonesia sangat dipengaruhi dan dilandasi oleh
sistem hukum dan peradilan Barat yang sekular, yakni bersamaan dengan
kemunculan sistem demokrasi pada abad gelap pertengahan’ (the dark middle age)
yang memberikan kebebasan kepada rakyat untuk menetapkan hukum tanpa terikat
oleh ajaran agama (Kristen). Sumber pokok Hukum Perdata di Indonesia (Burgerlijk
Wetboek) berasal dari hukum perdata Perancis, yaitu Code Napoleon (1811-1838),
yang karena pendudukan Perancis di Belanda berlaku di juga negeri Belanda (1838).
Sementara di Indonesia, mulai berlaku sejak 1 Mei 1848 bersamaan dengan
penjajahan Belanda. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP atau Wetboek van
Strafrecht yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1918 setelah sebelumnya diberlakukan
tahun 1873 juga merupakan copy dari KUHP untuk golongan Eropa (1867) dan
KUHP untuk golongan Eropa juga merupakan copy dari Code Penal, yaitu Hukum
Pidana di Perancis zaman Napoleon (1811). Begitu juga dengan hukum acara perdata
dan pidana yang juga berasal dari Barat, walaupun dengan penyesuaian.

Dengan demikian menjadi jelas, bahwa sistem hukum dan peradilan di Indonesia
merupakan produk Barat Sekular yang mengesampingkan Al-Khaliq sebagai pencipta
manusia, alam semesta dan kehidupan ini. Sehingga dapat dipastikan produk hukum
yang dikeluarkan pasti tidak (akan) sempurna dan memiliki banyak kelemahan.

2. Materi dan Sanksi Hukum

Penyebab kebobrokan berikutnya adalah materi hukum sebagai konsekuensi dari


sumber hukum yang sekular. Setidaknya tercermin dalam beberapa hal berikut:

a) Materi dan Sanksi Hukum Tidak Lengkap

Ketidaklengkapan mengatur semua hal, bukan hanya akan menimbulkan kekacauan,


akan tetapi akan memicu tindak kejahatan yang lain dan memiliki dampak yang luas.
Sebagai contoh, dalam KUHP Pasal 284, yang termasuk dalam kategori perzinahan
(persetubuhan di luar nikah) yang dikenakan sanksi hanyalah pria dan atau wanita
yang telah menikah, itupun jika ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan.
Jika yang berzinah salah satu atau keduanya belum menikah dan dilakukan atas dasar
suka-sama suka, maka tidak dikenakan sanksi. Saat ini fenomena seks bebas di
kalangan remaja (kumpul kebo), lalu hamil di luar nikah dan berujung pengguguran
kandungan (aborsi), diduga kuat karena tidak adanya sanksi atas mereka.

Contoh lain, tidak adanya aturan tentang pergaulan laki-laki dan perempuan termasuk
batasan aurat, sehingga berdampak pelecehan terhadap perempuan. Tidak adanya
hukuman bagi peminum khamr yang menyebabkan rusaknya akal masyarakat dan
memicu tindak kriminal, tidak ada sanksi bagi yang murtad, sehingga agama mudah
dilecehkan, dan banyak lagi permasalahan masyarakat yang tidak diatur sehingga
berpotensi rusaknya individu dan masyarakat.

b) Sanksi Hukum Tidak Menimbulkan Efek Jera

Salah satu tujuan diterapkannya sanksi bagi pelaku kejahatan, agar pelaku tidak
mengulangi perbuatannya lagi. Untuk itu, seharusnya pelaku dihukum dengan sanksi
yang membuat jera. Sebagai contoh, pembunuhan yang disengaja (Pasal 338 KUHP)
hanya dikenakan sanksi paling lama penjara 15 tahun, Pencurian (Pasal 362 KUHP)
hanya dikenakan sanksi penjara paling lama 5 tahun. Hubungan badan (perzinahan)
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 284 KUHP, hanya dikenakan sanksi paling
lama 9 bulan penjara.
Sanksi yang tidak menimbulkan efek jera sebagaimana contoh diatas alih-alih
menekan angka kejahatan, yang terjadi malah jumlah penjahat dan residivis terus
meningkat yang berakibat pemerintah kewalahan untuk membiayai makan para
napi/tahanan. Bahkan negara harus hutang sebesar 144,6 milyar kepada rekana1n
LP/rutan.
Hal tersebut tentunya juga diperkuat dengan sistem pemidanaan penjara yang justru
memberi peluang terpidana mengulangi kejahatan yang pernah dilakukan. Di penjara,
terpidana bukan hanya dapat bebas ’belajar’ trik melakukan kejahatan yang lebih
besar, bahkan disinyalir saat ini penjara malah menjadi tempat yang nyaman
melakukan pelecehan seksual, seperti kasus sodomi dan lesbi, kasus pemerasan, dan
kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Kasus-kasus kejahatan itu tidak
hanya terjadi di antara narapidana, tetapi juga bisa dengan pihak lain, seperti pegawai
LP atau pengunjung.

c) Hukum Hanya Mementingkan Kepastian Hukum dan Mengabaikan


Keadilan.

Sistem hukum di Indonesia mengharuskan bahwa hukum harus menjamin kepastian


hukum dan harus bersendikan keadilan. Kepastian hukum artinya produk dan
ketentuan hukum haruslah memiliki landasan hukum, keadilan berarti setiap produk
dan ketentuan hukum haruslah memenuhi rasa keadilan masyarakat, dan tidak
merugikan. Realitanya hingga kini, para ahli hukum ’bingung’ untuk menentukan
mana yang harus didahulukan, kepastian hukum atau keadilan? Banyak ketentuan
yang dihasilkan di negeri ini yang memiliki kepastian hukum akan tetapi mengusik
rasa keadilan bahkan merugikan. Hal tersebut sangat wajar terjadi, karena dalam
sistem hukum sekular seluruh produk hukum dibuat oleh manusia. Alih-alih
menghasilkan produk hukum yang memberikan keadilan, yang ada produk hukum
hanyalah dijadikan alat memuaskan kepentingan para pembuatnya.
Sebagai contoh, Perda K-3 seringkali dijadikan alat aparat untuk menindas rakyat
dengan cara menggusur rumah penduduk dan mengusir PKL tanpa memberikan
solusi memuaskan. UU Migas (No. 22/2001) yang memberikan peluang kepada asing
melakukan kegiatan usaha hulu dan hilir mengakibatkan kebijakan yang merugikan
rakyat, yakni kebijakan kenaikan harga BBM hingga penghapusan subsidi. UU
Sumber Daya Air (No. 7/2004) akan berdampak komersialisasi air yang pasti
bebannya akan ditanggung rakyat dan sederet UU dan Peraturan lainnya.
d) Tidak Mengikuti Perkembangan Zaman

Sebagai konsekuensi dari ketidaksempurnaan pembuat hukum, yakni akal manusia,


hukum yang diterapkan di Indonesia seringkali mengalami perubahan karena tidak
lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Banyak ketentuan dalam KUHP yang sudah
usang mengharuskan adanya UU baru yang ‘menyempurnakan’, seperti UU Korupsi,
UU Pers, UU KDRT, dll. Undang-undang Korupsi yang sudah mengalami 3 kali
perubahan dan UU Pencucian Uang yang berubah hanya dalam kurun waktu setahun
(2002-2003) adalah bukti konkret, bahwa hukum buatan manusia memang sangat
rentan mengalami perubahan karena harus menyesuaikan dengan kondisi.

Tidak hanya itu, perubahan atau pembuatan undang-undang baru selalu dibarengi
dengan pengeluaran anggaran negara yang tidak sedikit. Sebagai contoh, menurut
Agung Laksono anggaran pembahasan RUU Pemerintahan Aceh yang berasal dari
pemerintah sebesar Rp 3 milyar dan dari DPR sebesar Rp 500 juta. Tidak cukup
dengan itu, Depdagri pun mengucurkan uang sebesar Rp 250 juta yang diberikan
masing-masing Rp 5 juta kepada 50 orang anggota pansus.

3. Sistem Peradilan

a. Peradilan yang Berjenjang


Di Indonesia, struktur pengadilan berjenjang, yakni upaya hukum yang
memungkinkan terdakwa yang tidak puas terhadap vonis hakim mengajukan banding.
Dengan upaya hukum tersebut, keputusan yang telah ditetapkan sebelumnya bisa
dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi. Dengan mekanisme tersebut diharapkan
menghasilkan kepastian hukum dan keadilan. Yang terjadi sebaliknya, yakni
ketidakpastian hukum karena keputusan hukum dapat berubah-ubah sesuai jenjang
pengadilan, juga akan berujung pada simpang siurnya keputusan hukum; kepastian
hukum yang didambakan masyarakat pun semakin lama didapatkan, karena harus
melalui rantai peradilan yang sangat panjang. Fenomena ini akan dengan cepat
disergap oleh pelaku mafia peradilan—entah para jaksa, hakim, maupun pengacara—
yang menjadikannya sebagai bisnis basah.

a. Pembuktian yang Lemah dan Tidak Meyakinkan

Pembuktian haruslah bersifat pasti dan meyakinkan, agar keputusan yang dihasilkan
pun pasti dan meyakinkan. Seharusnya persangkaan atau dugaan seperti dalam
pembuktian kasus perdata serta keterangan ahli dalam dalam kasus pidana,
dihapuskan, karena persangkaan hanya akan menghasilkan ketidakpastian dan
keterangan ahli seharusnya diposisikan hanya sekedar informasi (khabar) saja.

a. Tidak ada persamaan di depan hukum

Persamaan di depan hukum (equality before the law) tanpa memandang status dan
kedudukan merupakan sebuah keharusan. Di Indonesia ada ketentuan, bahwa jika ada
pejabat negara –setingkat bupati dan anggota DPRD—tersangkut perkara pidana
harus mendapatkan izin dari Presiden. Aturan ini cenderung diskriminatif dan
memakan waktu serta justru menunjukkan bahwa equality before the law hanyalah
isapan jempol.

4. Perilaku Aparat

Penyebab kebobrokan yang cukup serius adalah bobroknya mental aparat penegak
hukum, mulai dari polisi, panitera, jaksa hingga hakim. Bahkan data terakhir yang
dilansir Komisi Yudisial menyebutkan bahwa 2.440 hakim atau sekitar 40% dari total
6.100 hakim dikategorikan bermasalah, yang pada akhirnya membuat praktek hukum
diwarnai judicial corruption.

Untuk mengantisipasi dan dan melakukan pengawasan terhadap aparat hukum di


Indonesia dibentuklah berbagai macam komisi sebagai state auxilary bodies antara
lain Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Hukum Nasional, KPKPN (sudah
dibubarkan) dan KPK. Tidak cukup sampai disitu saja, tuntutan publik juga diarahkan
untuk pembentukan lembaga pengawasan eksternal lembaga penegak hukum.
Tuntutan inilah yang ada pada akhirnya direspon oleh pembentuk

Undang-Undang dengan mengamanatkan pembentukan komisi, misalnya Komisi


Yudisial pembentukannya dimanatkan oleh konstitusi, Komisi Kepolisian
diamanatkan oleh UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI mengmanatkan
pembentukan Komisi Kejaksaan meskipun sifatnya tidak wajib. Sebagai tindak lanjut
dari amanat pasal 38 UU Nomor 16 tahun 2004 (meskipun tidak imperatif) Presiden
mengeluarkan Peraturan Presiden RI No. 18 tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan
Republik Indonesia.

Apakah dengan adanya mekanisme tersebut akan menghilangkan praktek mafia


peradilan? Memang, adanya berbagai komisi yang diantaranya memiliki fungsi
melakukan pengawasan terhadap aparat penegak hukum memang merupakan sebuah
terobosan yang memiliki ’niat baik’, akan tetapi ’niat baik’ saja nampaknya tidak
cukup. Sebagai contoh, belum lagi Komisi Yudisial berjalan efektif, sudah muncul
masalah baru, yakni perseteruan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung (MA).

Sesungguhnya, selain sistem pengawasan berbasis sistem, permasalahan mendasarnya


justru karena tidak ada pengawasan yang melekat dan berdimensi ruhiyah.
Konsekwensi dari sistem hukum dan peradilan sekular yang menafikan keberadaan
Allah mengakibatkan mereka melakukan sesuatu tanpa memperhatikan benar-salah,
baik-buruk apalagi halal-haram. Logika sederhananya, kalau hukum dibuat manusia,
yang memerintahkan mentaati aturan adalah manusia, apa hubungannya dengan Allah
dan akhirat?!

dipertahankan lagi, karena kerusakannya bukan hanya terletak pada kebobrokan moral
aparat, akan tetapi dari kerusakan asas/landasannya yang pasti akan berbuah sistem dan
aturan yang rusak pula.

Anda mungkin juga menyukai