Ahmadiyah, salah satu aliran Islam di Indonesia dengan pengikut golongan ini
yang mencapai sekitar angka dua juta mendapat tantangan besar dalam perkembangan
dakwahnya di Indonesia. Sebagian masyarakat Indonesia, terutama penganut agama
Islam mempertanyakan kejelasan ajaran Ahmadiyah, bahkan sudah ada yang
menganggap ajaran Ahmadiyah itu sesat dan menyesatkan. Artinya, ajaran ahmadiyah
telah keluar dari nilai-nilai ajaran Islam yang selama ini mereka kembangkan. Terjadi
berbagai penolakan diberbagai daerah, baik itu secara halus maupun kasar hingga
menjurus kepada tindak kriminal. Ormas-ormas Islam yang mengatasnamakan
‘melindungi’ ajaran Islam agar tidak disesatkan oleh Ahamadiyah secara brutal
menyerang para pengikut ajaran Ahmadiyah. Banyak terjadi kasus kekerasan,
perusakan, penganiayaan, bahkan pembunuhan yang dilatarbelakangi kasus ini. Seperti
yang terjadi di Pandenglang, Kuningan, Cikeusik, Monas, dan berbagai daerah di
Indonesia. Semua beralasan bahwa Ahmadiyah sesat. Sebenarnya sudah ada Surat
Keputusan Bersama Tiga Menteri tentang status Ahmadiyah, yang atas nama
Pemerintah Indonesia, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung
Indonesia pada tanggal 9 Juni 2008 telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama, yang
memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatannya yang
bertentangan dengan Islam. Namun, agaknya SKB itu belum terkawal dengan baik
sehingga belum dipatuhi oleh subjek-subjek didalam SKB itu.
Menarik untuk dibahas dalam ‘isu-isu kebenaran’ mengenai Ahmadiyah ini, baik
itudari segi Hukum, Teologi, maupun Sosial Budaya yang berkembang sejalan dengan
lahir dan berkembangnya ajaran Ahmadiyah dari dulu sampai sekarang, sampai terjadi
konflik hebat yang tak kunjung dapat diselesaikan. Namun disini, penulis akan lebih
fokus pada masalah filosofi yang melatarbelakangi terjadi tragedy Ahmadiyah itu sendiri.
Mana sebenarnya letak ‘kebenaran’ yang diperebutkan kedua belah pihak (Ahmadiyah
dan Islam), maupun Pemerintah sebagai regulator kehidupan beragama legal formal di
Indonesia.
Ada pula yang menyebutkan bahwa Kota suci Jemaat Ahmadiyah adalah Qadian
dan Rabwah. Namun tidak demikian adanya, kota suci Jemaat Ahmadiyah adalah sama
dengan kota suci umat Islam lainnya, yakni Mekkah dan Madinah
Berbicara mengenai kebenaran, maka kita harus lebih dulu mengetahui hakekat
kebenaran itu sendiri, hal-hal apa saja yang menyebabkan sesuatu hal dianggap benar,
maupun hal-hal apa saja yang menyebabkan sesuatu itu tidak benar, atau sesuatu yang
sudah benar gugur status kebenarannya. Kita sering menganggap bahwa kebenaran
adalah sesuatu yang kita anggap sebagai yang memang sudah demikian wajarnya (taken
for granted). Banyak para ahli yang memaparkan ide tentang sudut pandang kebenaran
termasuk bagaimana membuktikannya
Pengertian benar menurut etika (ilmu akhlak) ialah hal-hal yang sesuai /cocok
dengan peraturan-peraturan secara objektif “Benar” adalah satu tak ada dua benar yang
bertentangan, mungkin salah satunya saja yang benar atau kedua-duanya salah 3. Jadi
kebenaran itu pada dasarnya satu dan yang bermacam macam tersebut hanyalah
2
Buku: Klarifikas Tadzkirah hlm. 18
bagaimana cara menyapai kebenaran tersebut. Apabila benar itu kriterianya adalah
peraturan, maka adalah wajar apabila kita dapati didunia ini yang berlainan. Bahkan
mungkin bertentangan antara benar menurut waktu yang lain atau benar menurut
sesuatu golongan dengan benar menurut golongan yang lain, sebab peraturannya
berlainan. Secara objektif, bahwa benar hanyalah satu dan tak mungkin mengandung
perlawanan didalamnya, maka pada hakikatnya yang benar itu adalah pasti dan hanya
satu, yang dibuat maha satu, peraturan yang dibuat oleh manusia yang bersifat relatif
adalah benar apabila tidak bertentangan dengan peraturan objektif yang dibuat oleh
Tuhan. Dalam fisafat, pengajian tentang standar kebenaran amat penting karena salah
satu definisi filsafat adalah cinta kebenaran.
Karl Popper, filosof Jerman menegaskan bahwa pemikiran yang sudah dianggap
benar itu harus digugat kembali, caranya adalah dengan mengadakan dekontruksi
pemikiran yaitu mengadakan pengkajian ulang terhadap data data yang terkumpul.
Suatu teori yang sudah dianggap benar, maka teori itu harus tahan uji (testable). Yakni
dengan mencari data baru yang bertentangan dengan itu kalau data itu bertentangan
dengan teori yang ada maka otomatis teori itu tersebut batal (refutability) sebaliknya
kalau data itu cocok dengan teori lama. Maka teori itu semakin kuat (corrobartion)
Harus kita pahami lebih dahulu bahwa meskipun kebenaran ilmiah sifatnya lebih
sahih, logis, terbukti, terukur dengan parameter yang jelas, bukan berarti bahwa
kebenaran non-ilmiah atau filasat selalu salah. Malah bisa saja kebenaran non-ilmiah
dan kebenaran filsafat terbukti lebih “benar” daripada kebenaran ilmiah yang disusun
dengan logika, penelitian dan analisa ilmu yang matang. Disini penulis akan lebih jauh
membahas tentang kebenaran berdasarkan tiga aspek, yaitu : kebenaran ilmiah,
kebenaran non-ilmiah, dan kebenaran filsafat.
KEBENARAN ILMIAH
Teori Koherensi
3
Uchjana Effendy, Onong. M.A. (2003) Ilmu, Teori dan filsafat, komunikasi. Citra Aditya Bakti:
Bandung
Suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan ini koheren atau konsisten
dengan pernyataan sebelumnya dianggap benar. Jika kita mengangap bahwa “
semua manusia itu akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar maka
pernyataan sih fulan adalah seorang manusia dan sih fulan pasti akan mati,
adalah benar pula sebab koheren atau konsisten dengan pernyataan pertama.
Teori Korespondensi
Suatu pernyataan adalah benar jikalau materi yang terkena oleh Persyaratan itu
berkorespondesi (Berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan itu.
Bahwa jakarta adalah ibukota RI, itu adalah benar berkorespondesi dengan
fakta. Teori korespondensi ini pada umumya di anut oleh para pengikut
realisme, Diantara pelopor teori korespondensi ini adalah Plato, Aristoteles,
Moore, Russel, dan Ramsey teori ini dikembangkan oleh Bertrand Russell
(1872-1970)
Teori Pragmatik
KEBENARAN NON-ILMIAH
Kebenaran Karena Kebetulan: Kebenaran yang didapat dari kebetulan dan tidak
ditemukan secara ilmiah. Tidak dapat diandalkan karena kadang kita sering
tertipu dengan kebetulan yang tidak bisa dibuktikan. Namun satu atau dua
kebetulan bisa juga menjadi perantara kebenaran ilmiah, misalnya penemuan
kristal Urease oleh Dr. J.S. Summers.
Kebenaran Karena Akal Sehat (Common Sense): Akal sehat adalah serangkaian
konsep yang dipercayai dapat memecahkan masalah secara praktis.
Kepercayaan bahwa hukuman fisik merupakan alat utama untuk pendidikan
adalah termasuk kebenaran akal sehat ini. Penelitian psikologi kemudian
membuktikan hal itu tidak benar.
Kebenaran Agama dan Wahyu: Kebenaran mutlak dan asasi dari Allah dan
Rasulnya. Beberapa hal masih bisa dinalar dengan panca indra manusia, tapi
sebagian hal lain tidak.
Kebenaran Intuitif: Kebenaran yang didapat dari proses luar sadar tanpa
menggunakan penalaran dan proses berpikir. Kebenaran intuitif sukar dipercaya
dan tidak bisa dibuktikan, hanya sering dimiliki oleh orang yang berpengalaman
lama dan mendarah daging di suatu bidang. Contohnya adalah kasus patung
Kouros dan museum Getty diatas.
Kebenaran Karena Trial dan Error: Kebenaran yang diperoleh karena
mengulang-ulang pekerjaan, baik metode, teknik, materi dan paramater-
parameter sampai akhirnya menemukan sesuatu. Memerlukan waktu lama dan
biaya tinggi.
Kebenaran Spekulasi: Kebenaran karena adanya pertimbangan meskipun
kurang dipikirkan secara matang. Dikerjakan dengan penuh resiko, relatif lebih
cepat dan biaya lebih rendah daripada trial-error.
Kebenaran Karena Kewibawaan: Kebenaran yang diterima karena pengaruh
kewibawaan seseorang. Seorang tersebut bisa ilmuwan, pakar atau ahli yang
memiliki kompetensi dan otoritas dalam suatu bidang ilmu. Kadang kebenaran
yang keluar darinya diterima begitu saja tanpa perlu diuji. Kebenaran ini bisa
benar tapi juga bisa salah karena tanpa prosedur ilmiah.
KEBENARAN FILSAFAT
Realisme: Mempercayai sesuatu yang ada di dalam dirinya sendiri dan sesuatu
yang pada hakekatnya tidak terpengaruh oleh seseorang.
Naturalisme: Sesuatu yang bersifat alami memiliki makna, yaitu bukti
berlakunya hukum alam dan terjadi menurut kodratnya sendiri.
Positivisme: Menolak segala sesuatu yang di luar fakta, dan menerima sesuatu
yang dapat ditangkap oleh pancaindra. Tolok ukurnya adalah nyata, bermanfaat,
pasti, tepat dan memiliki keseimbangan logika.
Materialisme Dialektik: Orientasi berpikir adalah materi, karena materi
merupakan satu-satunya hal yang nyata, yang terdalam dan berada diatas
kekuatannya sendiri. Filosofi resmi dari ajaran komunisme.
Idealisme: Idealisme menjelaskan semua obyek dalam alam dan pengalaman
sebagai pernyataan pikiran.
Pragmatisme: Hidup manusia adalah perjuangan hidup terus menerus, yang
sarat dengan konsekuensi praktis. Orientasi berpikir adalah sifat praktis, karena
praktis berhubungan erat dengan makna dan kebenaran.
KESIMPULAN
Bukankah juga menurut Kebenaran Agama dan Wahyu, yang artinya Kebenaran
mutlak dan asasi dari Allah dan Rasulnya. Beberapa hal masih bisa dinalar dengan panca
indra manusia, tapi sebagian hal lain tidak. Itu berarti manusia sekarang ini tidak berhak
secara subjektif memutuskan satu ajaran ini sesat, sedang yang lain tidak. Karena
berdasarkan Kebenaran Wahyu, kebenaran hakiki itu adalah milik Allah, Yang Maha
Benar. Jadi yang mengetahui secara mutlak apakah ajaran yang dikembangkan oleh
Mirza Ghulam itu merupakan sesat atau tidak.
Menarik apa yang dikatakan oleh Mehdi Ha’ iri Yazdi, Profesor filsafat di
Universitas Teheren yakni tentang kebenaran Iluminasi yaitu dalam iluminasi kebenaran
tidak memiliki objek diluar dirinya tetapi objek itu sendiri adalah objek subjektif yang
ada pada dirinya4
4
Ha’iri Yazdi, Mehdi. (1994) Ilmu Hudhuri. Mizan: Bandung
Maka, menurut pandangan pribadi penulis yang sangat subjektif ini, penulis
menyatakan tidak berani masuk keranah ‘memutuskan’ ajaran Ahmadiyah itu salah atau
benar. Mereka berhak untuk menjalanjakan ajaran sesuai kepercayaan yang mereka
percayai. Karena seperti yang tertuang dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia
pasal 29 ayat 2 yang berbunyi : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”5. Namun, bila dilihat dari sudut pandang Islam, dan Ahmadiyah
masih bersikeras menyatakan bahwa Ahmadiyah merupakan bagian dari Islam, maka
masyarakat Islam boleh menolak itu sampai akhirnya menjatuhkan vonis “sesat dan
menyesatkan” terhadap ajaran Ahmadiyah, semata-mata untuk melindungi kemurnian
ajaran Islam sebagai agama dan wahyu Allah yang diturunkan lewat Nabi Muhammad
SAW dan dipercayai hamper 1/3 penduduk bumi.
REFERENSI
5
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan Amandemennya
ISU-ISU KRUSIAL TENTANG KEBENARAN
“KETIDAKBENARAN AJARAN AHMADIYAH DILIHAT DARI TEORI KEBENARAN ILMIAH”
DOSEN :
PROF. DRS. PAWITO PH.D DAN SRI HERWINDYA BASKARA S.SOS. M.SI.
OLEH :
D0210074
SURAKARTA
2011