Anda di halaman 1dari 13

1

MEWASPADAI BOVINE SPONGIFORM ENCEPHALOPATHY


SEBAGAI PENYAKIT PRION BERSIFAT ZOONOSIS

Oleh

Sayu Putu Yuni Paryati

ABSTRAK

Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) atau umum disebut dengan


penyakit sapi gila (Mad Cow Disease) adalah suatu penyakit degeneratif kronik
yang menyerang sistem saraf pusat (SSP) pada sapi. Agen penyebab BSE
berukuran lebih kecil dibandingkan pada partikel virus dan tidak dapat
menimbulkan respon kekebalan atau reaksi peradangan pada induk semangnya,
sehingga deteksi melalui darah atau cairan tubuh tidak dapat dilakukan.
Sejalan dengan meningkatnya kasus, semakin banyak ahli yang
mendukung teori protein atau prion (prion hypothesis) sebagai penyebab BSE.
Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyebaran prion disease pada hewan
dan manusia dapat terjadi melalui: penularan prion dari hewan ke hewan, karena
hewan mengkonsumsi pakan yang berasal dari hewan penderita dan penularan
prion dari hewan ke manusia, terjadi karena orang mengkonsumsi produk-produk
asal hewan penderita BSE.
Untuk menurunkan angka kasus TSE pada orang, dilakukan dengan
menghindari perjalanan ke daerah-daerah atau negara-negara yang tertular
BSE. Selain itu, juga menghindari mengkonsumsi produk-produk yang berasal
dari sapi atau hewan yang kemungkinan terinfeksi BSE, serta pemilihan bagian-
bagian dari produk sapi yang akan dikonsumsi juga perlu dilakukan.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) atau umum disebut dengan

penyakit sapi gila (Mad Cow Disease) adalah suatu penyakit degeneratif kronik

yang menyerang sistem saraf pusat (SSP) dari sapi. Penyakit ini tergolong ke

dalam kelompok penyakit Transmissible Spongiform Encephalopathy (TSE) yang

mempunyai bentuk berbeda-beda pada spesies hewan yang berbeda. Namun,

telah diyakini bahwa semua bentuk TSE berkaitan erat dengan adanya suatu
2

bentuk abnormal dari protein yang disebut dengan prion, sehingga TSE juga

disebut dengan prion disease (Buschmann et al. 1998). Akumulasi dari protein

abnormal ini akan membentuk suatu bentukan seperti bunga karang (sponge)

yang dapat menyebabkan gangguan pada otak dan bahkan kematian hewan

penderita. Penyakit ini mempunyai masa inkubasi yang panjang, antara empat

sampai lima tahun, tetapi dapat mengakibatkan kematian dalam waktu seminggu

sampai sebulan sejak hewan memperlihatkan gejala sakit (Soeroso 2010).

Penyakit TSE pada orang pertama kali didiagnosa pada tahun 1920 dan

dinamakan dengan istilah Creutzfeld-Jacob Disease (CJD). Kejadian penyakit

yang bersifat klasik (Classical CJD/cCJD) sangat jarang terjadi, yaitu satu orang

per satu juta individu per tahun. Penderita umumnya berusia lebih dari 60 tahun.

Belum diketahui adanya penderita yang sembuh dari penyakit ini.

Pada sapi, BSE pertama kali dilaporkan pada tahun 1986, di Inggris.

Diyakini bahwa kejadian penyakit berasal dari penggunaan makanan tambahan

yang mengandung tepung daging dan tulang yang terkontaminasi oleh agen TSE

(WHO 1997).

Pada awal tahun 1990, para peneliti di Inggris mencatat adanya penyakit

yang memperlihatkan gejala seperti cCJD tapi disertai dengan beberapa ciri yang

khas. Sebagian besar penyakit ini ditemukan pada penderita yang berusia lebih

dari 20 tahun. Dan pada tahun 1996, para peneliti menyebutnya sebagai variasi

baru dari CJD atau disebut dengan vCJD. Penyebabnya adalah karena

mengkonsumsi daging sapi atau produk-produk dari sapi yang terinfeksi oleh

BSE.
3

Tujuan

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengumpulkan berbagai informasi

mengenai penyakit BSE, termasuk perkembangan dan penyebarannya di dunia

sehingga dapat diketahui upaya-upaya pencegahannya yang efektif serta

membatasi penyebaran penyakit ini.

Manfaat

Tulisan ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat

tentang penyakit prion, sehingga dapat meningkatkan kewaspadaan masyarakat

terhadap penyakit menular. Manfaat lain yaitu dapat memberikan masukan bagi

pemerintah dan para penentu kebijakan di dalam menetapkan dan menerapkan

aturan-aturan khususnya dalam hal import hewan dan bahan-bahan asal hewan

dengan mempertimbangkan kemungkinan adanya penyebaran penyakit yang

berbahaya yang ditularkan dari hewan atau bahan asal hewan.

KAJIAN PUSTAKA

Etiologi

Agen penyebab TSE banyak diperdebatkan oleh para peneliti. Ada 3 teori

mengenai penyebab TSE, yaitu : 1). Virus unconventional; 2). Prion atau suatu

protein abnormal yang tidak memiliki asam nukleat dan resisten terhadap K

proteinase; dan 3). Virion atau sejenis virus tidak lengkap dan mempunyai asam

nukleat (WHO, 1997). Identifikasi terhadap berbagai strain dari agen penyebab

dengan melihat masa inkubasinya yang khas dan distribusi gangguan

neuropatologi pada mencit yang diinfeksi, mendukung teori yang terakhir ini.

Akan tetapi, sejalan dengan meningkatnya kasus, semakin banyak ahli yang

mendukung teori protein / prion (prion hypothesis).


4

Banyak ahli yang berpendapat, bahwa TSE terjadi karena adanya

replikasi protein membran seluler (teori protein atau prion hypothesis). Agen

penyebab BSE berukuran lebih kecil dibandingkan dengan partikel virus dan

tidak dapat menimbulkan respon kekebalan atau reaksi peradangan pada induk

semangnya, sehingga deteksi melalui darah / cairan tubuh tidak dapat dilakukan.

Tingkat resistensi agen ini sangat tinggi terhadap berbagai prosedur inaktifasi,

misalnya iradiasi sinar ultra violet dan ionisasi, temperatur yang ekstrim, ethanol,

formaldehid dan proses autoclave yang standar (Soeroso 2010).

Teori tentang prion (proteinaceus infectious particles) mulai berkembang

sejak tahun 1982 di Universitas California. Prion merupakan suatu molekul

protein berukuran kecil yang tidak mempunyai asam nukleat tetapi mempunyai

kemampuan transformasi pada molekul protein menjadi bentuk abnormal.

Mekanisme terjadinya transformasi dan replikasi prion tidak diketahui. Demikian

juga mengenai batasan-batasan untuk membedakan prion normal dan prion

abnormal, sampai saat ini masih belum jelas. Namun, dari beberapa hasil

penelitian dijelaskan bahwa prion sendiri merupakan suatu partikel patogenik

infeksius yang menyebabkan terjadinya gangguan.

Baik prion normal maupun yang abnormal, mempunyai berat molekul

sekitar 33 – 35 kD. Keduanya mempunyai sekuen asam amino, rantai

karbohidrat dan glycosyl phosphatidylinositol (GPI) yang sama. Perbedaan dapat

dilihat dari proses digesti menggunakan K-proteinase, dimana PrPC dapat

didigesti secara sempurna, sedangkan bentuk abnormal (PrPSc) tidak.

Disamping itu, keberadaan PrPSc selalu dikaitkan dengan kasus scrapie.

(Priosoeryanto 1999).
5

Patofisiologi

Bentuk abnormal dari protein prion berupa protein prion patogenik yang

mengandung partikel-partikel prion yang disebut PrPSc (Sc, berasal dari Scrapie),

karena pertama kali diisolasi dari kasus scrapie pada kambing dan domba. Pada

orang, prion abnormal ini disebut dengan PrPCJD. Protein PrPCJD dan PrPSc dapat

dikembangkan dari protein prion isoform seluler normal yang disebut PrPC

sebagai hasil dari modifikasi post-translantional pada strukturnya melalui

konformasi pada ikatan beta. Protein PrPC diekspresikan secara konstitutif

selama kehidupan postnatal. Meskipun isoform protein normal juga merupakan

protein prion, hal ini tidak berarti bahwa akan selalu terjadi transformasi menjadi

isoform patogenik abnormal. Pada kenyataannya, konversi PrPC menjadi PrPSc

sangat jarang terjadi (Priosoeryanto 1999).

Gen seluler yang mengekpresikan PrPC pada orang disebut dengan

PRNP dan pada hewan disebut gen prnp. Pada kedua gen ini terdapat open

reading frame (ORF) yang memberi kode untuk protein. Mutasi komplek pada

ORF dari gen PRNP, secara genetik dikaitkan dengan kejadian prion disease

pada orang yang bersifat familial. Protein prion yang mengalami mutasi dan

mengakibatkan gangguan neuropatologi serta mempunyai kemampuan

membentuk partikel prion disebut dengan delta PrP (∆ PrP). Jadi, prion yang

terbentuk pada kasus prion disease yang bersifat sporadik dan terjadi karena

adanya infeksi, prion mengandung PrPCJD atau PrPSc. Sedangkan pada kasus

prion disease yang bersifat herediter (familial), prion mengandung ∆ PrP

(Priosoeryanto 1999).

Sekitar 6 sampai 15 % dari kasus CJD merupakan CJD familial,

disebabkan oleh adanya mutasi gen PRNP (Mikol 1999). Pada kasus ini,

akumulasi PrP yang mengalami mutasi (∆ PrP) sebagian besar diekspresikan


6

pada saraf. Gen juga dapat mengalami insersi oleh sejumlah pasangan

oktapeptida (Mikol 1999).

Sebagian besar kasus CJD sporadik dan belum dapat dibuktikan

penyebabnya, apakah oleh adanya infeksi atau diturunkan secara genetik.

Namun diyakini, bahwa beberapa kasus CJD sporadik erat kaitannya dengan

umur dan terjadinya mutasi PRNP pada sel tunggal. Selain itu, juga karena

adanya metabolisme yang menyimpang dari PrPC dan konversi spontan dari

PrPC menjadi PrPCJD (Priosoeryanto 1999).

Patologi dan Gejala Klinis

Prion disease dapat menyerang hewan dan manusia dan bersifat

zoonosis, yaitu menular dari hewan ke manusia atau sebaliknya dari manusia ke

hewan. Patologi dan gejala klinis dapat bervariasi tergantung tingkat keparahan

dan bagian otak yang terserang. Berbagai gejala dan perubahan patologi yang

dapat diamati pada hewan dan manusia adalah sebagai berikut:

1. Domba dan kambing

Bentuk prion disease pada hewan pertama kali ditemukan pada domba

dan kambing, disebut dengan scrapie. Penyakit ini ditandai dengan adanya

gejala ataksia, tremor, lemah, bulu kusam dan beberapa gejala lainnya. Secara

patologi, menunjukkan terjadinya vakuolisasi pada sel-sel saraf. Pengamatan

histologi memperlihatkan tanda-tanda hilangnya sel-sel saraf, spongiosis dan

gliosis. Hilangnya sel-sel saraf dapat terjadi pada bagian neocortex, cerebellar

cortex, thalamus dan neostriatum. Spongiosis sangat sering terjasi, terlihat

sebagai vakuola-vakuola yang mengelilingi sel saraf, biasanya terlihat di daerah

neocortex, ganglia basal, thalamus, hypothalamus dan cerebellum (Mikol 1999).


7

2. Sapi

Mad cow disease atau BSE pada sapi mempunyai masa inkubasi yang

panjang, antara beberapa bulan sampai beberapa tahun, umumnya antara 2

sampai 8 tahun. Penyakit BSE menyerang otak dan sistem saraf pusat sapi.

Gejala yang terlihat menunjukkan adanya perubahan temperamen dan

gangguan-gangguan saraf, misalnya nervous, inkoordinasi, kesulitan berdiri dan

kehilangan berat badan yang diakhiri dengan kematian yang dapat terjadi antara

2 minggu sampai 6 bulan sejak terlihatnya gejala klinis. Pada sapi laktasi, juga

terjadi penurunan produksi susu.

Pengamatan secara patologi, menunjukkan bahwa otak yang terinfeksi

mempunyai konsistensi seperti spon atau bunga karang karena sel-sel otak

(saraf) mengalami perubahan, membentuk batang padat dan lubang-lubang di

antaranya, sehingga jaringan otak tampak berlubang-lubang. Jaringan otak

mengalami vakuolisasi dan astrositosis (Bukhari 2010). Vakuolisasi dapat terjadi

baik pada badan sel saraf maupun pada neurofil di daerah abu-abu (grey

matter). Jumlah dan ukuran vakuola pada neurofil paling besar terdapat di bagian

batang otak, diikuti dengan diencephalon dan cortex. Infeksi BSE dapat

ditemukan pada otak, tulang belakang dan retina sapi yang terinfeksi secara

alami. Pada hewan percobaan, juga dapat ditemukan pada ileum bagian distal

dan otot (Priosoeryanto 1999).

3. Manusia

Pada manusia, kasus TSE dikelompokkan berdasarkan salah satu dari

gejala dan kelainan saraf yang ditemukan, yaitu : Creutzfeld-Jacob Disease

(CJD), varian Creutzfeld-Jacob Disease (vCJD), Kuru, Gerstmann-Straussler-

Scheinker disease dan Fatal Familial Insomia (FFI). Gejala klinis yang dapat

diamati yaitu:
8

a. Creutzfeld-Jacob Disease (CJD) : ditandai adanya gejala dimensia

yang bersifat sangat progresif dan berbagai gangguan saraf yang

diakhiri dengan kematian dalam beberapa tahun. Secara patologi,

dapat dilihat adanya vakuolisasi pada neurofil bagian kortek dan

sub kortek dari grey matter dengan sedikit atau tanpa adanya plak

amyloid. CJD dapat terjadi secara genetik (familial) maupun

secara sporadik karena terinfeksi oleh agen penyebab.

Berbagai gejala awal yang bersifat non spesifik pada masa

prodomal dapat terlihat pada kasus CJD, di antaranya kelelahan

(fatique), gangguan tidur dan gangguan ingatan, perubahan

tingkah laku, vertigo dan ataksia. Pada umumnya, terlihat gejala-

gejala yang lebih khas, seperti kemunduran mental dengan gejala

dimensia serta gangguan motorik. CJD dapat memperlihatkan

gejala yang sangat bervariasi.

b. varian Creutzfeld-Jacob Disease (vCJD): Pada bulan Maret 1996,

Spongiform Encephalopathy Advisory Committee (SEAC) di

United Kingdom, mengidentifikasi 10 kasus CJD yang merupakan

bentuk baru dari CJD, yaitu varian (vCJD). Penyakit ini berbeda

dengan kasus CJD sebelumnya, yaitu : penderita berumur jauh

lebih muda dibandingkan dengan penderita CJD (Will et al. 1996).

Pada umumnya, penderita CJD berumur lebih dari 63 tahun,

sedangkan penderita vCJD rata-rata berumur 27,5 (antara 16 –

42) tahun. Kematian pada kasus vCJD umumnya terjadi sekitar 13

bulan setelah munculnya gejala sakit, pada CJD klasik berkisar 6

bulan. Pemeriksaan aktifitas elektris secara

electroencephalographic (EEG) pada otak, tidak menunjukkan


9

adanya abnormalitas, berbeda dengan yang terjadi pada CJD.

Dan walaupun secara patologi dapat dilihat perubahan-perubahan

yang sama dengan kasus CJD, namun pada vCJD ditemukan plak

yang terdiri dari agregasi protein prion (Anonimus 1999).

c. Gerstmann-Straussler-Scheinker (GSS) merupakan kasus TSE

dengan gejala dimensia dan gangguan-gangguan saraf dan

secara patologi memperlihatkan adanya plak amyloid pada sel-sel

saraf.

d. Fatal Familial Insomia (FFI) pada umumnya adalah penyakit yang

bersifat herediter, lebih sering menunjukkan gejala insomia

dibandingkan dimensia. Namun kelainan patologi yang

ditunjukkan mirip dengan CJD. Sedangkan Kuru, merupakan CJD

yang penyebarannya terjadi melalui mekanisme kanibalisme di

kalangan masyarakat Kuru, Papua New Guinea (Priosoeryanto

1999).

e. Kuru: pada umumnya memperlihatkan gejala hampir sama pada

semua kasus, yaitu ditandai dengan kelumpuhan, kontraksi otot

wajah, dan kehilangan pengendalian motorik yang menghasilkan

ketidakmampuan untuk berjalan dan makan. Korban kuru menjadi

kurus secara progresif. Penduduk Fore Selatan menyebut

penyakit ini “penyakit gemetaran (trembling sickness)” dan

“penyakit tertawa (laughing sickness).” Gambaran penyakit

tertawa karena buktinya bahwa otot-otot wajah dari korban tertarik

sehingga terlihat seperti suatu senyuman. Kematian hampir selalu

terjadi 6-12 bulan sebagai onset gejala (Uli, 2009).


10

Penyebaran Penyakit

Catatan epidemiologi menunjukkan, bahwa penyebaran BSE yang terjadi

di Inggris berasal dari makanan tambahan berupa tepung daging dan tulang

yang terkontaminasi yang digunakan sebagai sumber protein. Agen kontaminan

diduga berasal dari sapi atau domba penderita scrapie, yang sebelumnya tidak

teridentifikasi menderita TSE. Meskipun secara epidemiologi penularan penyakit

terjadi melalui makanan terkontaminasi, namun diyakini bahwa penularan juga

dapat terjadi secara maternal, misalnya dari induk domba diturunkan kepada

anaknya. Pada domba percobaan, infeksi BSE juga dapat dilakukan per oral,

namun secara alami kasus ini belum pernah ditemukan pada domba. Mengingat

bahwa orang juga gemar makan makanan yang berasal dari otak domba atau

sapi, maka tidak tertutup kemungkinan orang tertular BSE melalui oral. (WHO

1997). Belum pernah ditemukan kasus penularan BSE secara horisontal melalui

kontak dari sapi penderita ke sapi lainnya.

Kejadian vCJD banyak dikaitkan dengan kasus BSE pada sapi. Meskipun

bahan makan spesifik yang dapat menularkan agen BSE kepada orang belum

dapat diidentifikasi, namun diyakini bahwa kasus vCJD terjadi karena penularan

agen infeksius yang berasal dari makanan terkontaminasi seperti otak dan

sumsum tulang belakang (CDC, 2002).

Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyebaran prion disease pada

hewan dan manusia dapat terjadi melalui beberapa cara, yaitu : 1). Penularan

prion dari hewan ke hewan. Kenyataan menunjukkan bahwa kasus penyakit

terjadi karena hewan mengkonsumsi pakan yang berasal dari hewan penderita.

Inokulasi jaringan otak yang terinfeksi BSE juga menunjukkan terjadinya penyakit

yang sama pada hewan percobaan.; 2). Penularan prion dari hewan ke manusia,

terjadi karena orang mengkonsumsi produk-produk asal hewan penderita BSE.


11

Produk-produk yang terkontaminasi ini dapat berupa makanan maupun bahan-

bahan biologik lainnya, seperti enzim dan vaksin yang menggunakan bahan

jaringan otak sebagai media tumbuh; dan 3). Penularan prion dari orang ke

orang. Hal ini dapat terjadi secara infeksius melalui proses kanibalisme (Kuru),

iatrogenic (didapat), misalnya dari alat bedah yang terkontaminasi, transplantasi

dan terapi hormon. Penyakit juga dapat bersifat herediter, diturunkan dari ibu ke

Kasus vCJD yang terjadi di Inggris dan Perancis menunjukkan adanya

kaitan yang erat antara BSE dengan vCJD, karena hampir semua penderita

vCJD pernah mengkonsumsi produk-produk sapi dalam waktu 10 tahun terakhir

di wilayah tertular BSE. Penelitian pada tikus menunjukkan adanya kesamaan

masa inkubasi, gejala klinis dan kelainan-kelainan pada jaringan otak yang

ditimbulkan akibat diinfeksi dengan jaringan yang diambil dari penderita BSE

maupun vCJD. Hal ini membuktikan adanya kesamaan strain antara BSE

dengan vCJD. Sedangkan strain CJD klasik yang bersifat sporadik dan scrapie,

tidak memiliki kesamaan dengan vCJD mapun BSE.

PENUTUP

Kesimpulan:

1. Prion disease merupakan penyakit degenaratif yang mematikan dan sampai

saat ini belum pernah dilaporkan adanya kesembuhan dari penderita

penyakit ini.

2. Prion disease merupakan penyakit zoonosis, dengan gejala klinis dan

kelainan patologi yang bervariasi pada hewan dan manusia, tergantung dari

tingkat keparahan dan bagian otak yang terinfeksi.

3. Tindakan preventif (pencegahan) merupakan upaya yang tepat untuk

menekan terjadinya kasus ini.


12

Saran:

1. Untuk menurunkan angka kasus vCJD pada orang, dilakukan dengan

menghindari perjalanan ke daerah-daerah atau negara-negara yang tertular

BSE.

2. Peraturan tentang pelarangan import hewan atau bahan asal hewan dari

negara-negara tertular prion disease perlu diperketat pelaksanaannya agar

penyebaran penyakit ini ke Indonesia dapat dicegah.

3. Selain itu, juga menghindari mengkonsumsi produk-produk yang berasal dari

sapi atau hewan yang kemungkinan terinfeksi BSE. Pemilihan bagian-bagian

dari produk sapi yang akan dikonsumsi juga perlu dilakukan, misalnya

mengkonsumsi bagian daging jauh lebih aman dibandingkan dengan otak

dan produk berupa burger.

DAFTAR PUSTAKA

Bukhari, SA. 2010. Kuru, Penyakit Langka Akibat Otak Manusia.


http://www.detikhealth.com/read/2010/12/23/145846/1531799/763/kur
u-penyakit-langka-akibat-makan-otak-manusia?l993306763 [diunduh
tanggal 20 Desember 2010]

Buschmann A, Kuczius T, Bodemer W, Groschup. 1998. Cellular Prion Proteins


of Mammalian Species Display an Intrinsic Partial Proteinase K
Resistance. Biochemical and Biophysical Research Communications
253:693-702.

CDC. 2002. Probable in a U.S. Resident. Center for Disease Control and
Prevention. Morbidity and Mortality Weekly Report.
www.netdoctor.co.uk/hilaryjones/secondopinion/cjd.htm [diunduh tanggal
14 Juni 2005].

Mikol J. 1999. Neuropathology of prion diseases. Biomed & Pharmacother.


53:19-26.

Priosoeryanto BP. 1999. Prion Diseases in Human (Creutzfeldt-Jakob


Disease/CJD) and Cattle (Bovine Spongiform Encephalopathy/BSE/Mad
Cow) and Its Implication on Food Safety and Public Health. The Scientific
Seminar of PPI Gottingen. Gottingen.
13

Soeroso S. 2010. Benarkah penyakit sapi gila menular pada manusia? Info-
Dokter.com - Informasi Kesehatan Indonesia - Santoso Soeroso.htm

Uli, CM. 2009. Fenomena Penyakit Kuru. In Anthropology, Medical Sciences,


Psychology, Social Problems.

WHO. 1997. Report of WHO Consultation on Medicinal and other Products in


Relation to Human and Animal Transmissible Spongiform
Encephalopathies..Communicable Disease. Surveillance and Response
(CSR). Genewa, Switzerland

Will RG, Ironside JW, Zeidler M, Cousens SN, Estibeiro K, Alperovitch A, Poser
S, Pocchiari M, Hofman A, Smith PG. 1996. A new variant of Creutzfeldt-
Jakob disease in the UK. Lancet. 347:921-925.

RIWAYAT PENULIS

Dr. Sayu Putu Yuni Paryati, drh., M.Si, lahir di Tabanan pada tanggal 4
Juni 1965. Penulis adalah dosen Kopertis Wilayah IV Jawa Barat dan
Banten yang dipekerjakan di Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal
Achmad Yani, Cimahi.

Anda mungkin juga menyukai