Anda di halaman 1dari 7

Empowering Assurance:

W hen Social A ssurance M eet E mpowerment


Menggagas Sistem Jaminan Sosial yang Memberdayakan
Hilmi Sulaiman Rathomi

I. PENDAHULUAN
Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen
bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan
hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya. (Siti
Siti Fadilah Supari, Sistem Kesehatan Nasional 2009)
2009

Kesehatan bukanlah segala-galanya, namun segalanya tidak akan berarti tanpa


kesehatan. Sebagai salah satu modal dan pijakan utama untuk pencapaian
produktivitas yang maksimal, derajat kesehatan yang optimal adalah sesuatu yang
layak dan harus diperjuangkan. Mulai dari lingkup individu, komunitas, hingga bangsa,
segala hal yang mampu mendorong ke arah terwujudnya derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya harus diupayakan. Dengan sumber daya manusia yang sehat,
pendidikan hingga level tertinggi akan dapat diraih, dan hal ini tentu akan
berimplikasi positif pada produktivitas yang meningkat.

United Nation Development Program (UNDP) telah menetapkan Human Development


Index (HDI) sebagai parameter baik-tidaknya sumber daya manusia di suatu negara.
Dalam HDI ini, 3 komponen utama yang dinilai adalah aspek kesehatan, pendidikan,
dan ekonomi. Tentu saja bukan tanpa alasan yang adekuat mengapa UNDP akhirnya
mengadopsi konsep yang dikembangkan oleh peraih nobel Amartya Sen ini sebagai
standar baku pengukuran di level internasional. Karena menyadari benar bahwa
ketiga komponen ini adalah modal utama bagi percepatan pembangunan suatu
bangsa, dan terdapat kesalingtergantungan antara ketiganya, maka UNDP
memutuskan untuk menggunakan indikator ini dalam melakukan assessment
pembangunan SDM di suatu negara.
Sebagai salah satu komponen yang diperhitungkan dalam HDI, sudah seharusnyalah
seluruh komponen bangsa mengalokasikan perhatian yang cukup dalam bidang
kesehatan. Karena ketika pembangunan kesehatan terpinggirkan, maka rangkaian
mata rantai untuk menciptakan produktivitas pada level tertinggi akan terputus. Dan
sayangnya, statistik yang ada menyebabkan kita tidak bisa memungkiri bahwa
pembangunan kesehatan kita belum optimal.

II. TANTANGAN PEMBANGUNAN KESEHATAN DI INDONESIA


INDONESIA
Berbagai indikator menunjukkan secara gamblang bahwa bangsa ini belum cukup
sehat. Life expectancy kita belum terlalu tinggi, masih bertahan pada poin 68,7 tahun.
Angka kematian bayi masih ada di level 34 per 1000 kelahiran, dan angka kematian
ibu ada di level 228 per 100.000 kelahiran. Meskipun terus memperlihatkan adanya
peningkatan, namun kondisi yang ada belumlah sesuai dengan harapan dan target
yang ingin dicapai.

Berbagai tantangan yang dijumpai dan harus diselesaikan dalam menuntaskan misi
pembangunan kesehatan di Indonesia antara lain adalah:
1. Disparitas status kesehatan
Angka-angka yang disebut di awal tadi adalah statistik nasional. Jika kita rinci per
daerah, maka akan kita dapatkan gap yang cukup mengejutkan antara daerah satu
dengan yang lain. Sebagai contoh, jika angka kematian bayi di DKI Jakarta bisa
mencapai level 26 per 1000 kelahiran, di Nusa Tenggara Barat angka ini menembus
level 107 per 1000 kelahiran. Hal ini menjadi gambaran betapa terdapat disparitas
yang luar biasa dalam derajat kesehatan di masyarakat kita. Dan jika suatu saat data
secara nasional mengatakan bahwa derajat kesehatan kita sudah cukup baik, maka
kita tetap belum boleh bersuka cita, mengingat adanya kondisi disparitas ini.
2. Beban ganda penyakit
Penyakit infeksi masih mendominasi angka kesakitan yang dialami oleh masyarakat
kita. Sementara itu, dalam waktu yang simultan, prevalensi penyakit-penyakit
degeneratif yang diakibatkan oleh pola hidup dan konsumsi yang kurang sehat,
menunjukkan kenaikan yang signifikan. Kondisi ini jelas membuat negara keteteran,
karena harus menghadapi dua beban sekaligus, memberantas penyakit menular,
sekaligus mengatasi penyakit degeneratif.
3. Akses pelayanan kesehatan yang belum optimal
Keterjangkauan masyarakat kita terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas,
baik dari sisi kewilayahan maupun secara pembiayaan masih kurang. Mayoritas
penduduk “hanya” bisa mengakses puskesmas (35,5%) karena kendala jarak dan
biaya.
4. Perilaku masyarakat yang belum melakukan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS)
Masih ada 6% Rumah Tangga (RT) yang tidak memiliki akses air bersih, hanya 51% RT
yang mengikuti jarak jamban – sumber air minum ideal (10 meter), hanya 61% RT
yang memiliki fasilitas BAB sendiri, dan baru 38,7% RT yang menerapkan PHBS
secara keseluruhan. Dengan semua statistik ini, tentu berat jika kita mengharapkan
terwujudnya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat.
5. Political Will: This is what we are lacking
Cakupan asuransi kita secara nasional baru 26%, mayoritas anggaran kementrian
kesehatan terserap pada pos Direktorat Jenderal Pelayanan Medik (55%). Artinya,
pemerintah memang masih bertahan untuk mengalokasikan sebagian besar suntikan
dana pada hal-hal yang tangible dan populis, yakni sisi kuratif dan rehabilitatif. Belum
menggeser prioritas pada tingkat hulu, yaitu aspek promotif dan preventif.

III. MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS (MDGS): KEMANA KITA MENUJU


Diantara 8 tujuan pembangunan yang tertuang dalam MDGs yang telah disepakati
oleh 189 pemimpin dunia pada tahun 2000, tiga diantaranya adalah tujuan dalam
bidang kesehatan; menurunkan angka kematian anak, meningkatkan derajat
kesehatan ibu, dan memerangi HIV, malaria, dan penyakit menular lain. Ketiga tujuan
MDGs dari aspek kesehatan ini adalah komponen yang sifatnya investasi jangka
panjang, dan hanya akan dapat dicapai dengan upaya-upaya yang sifatnya preventif.

Penyebab terbanyak angka kematian anak adalah permasalahan neonatus, mulai dari
kelahiran prematur, asfiksia, dan penyebab lain. Porsi terbesar penyebab kematian
ibu adalah perdarahan pada saat persalinan. Dan penyebab tingginya penularan HIV,
malaria, serta penyakit lain adalah karena upaya pencegahan penularan yang
minimal, termasuk pengetahuan yang kurang tentang penyakit itu sendiri. Dan
keseluruhan proses ini dapat diputus dengan upaya penatalaksanaan pada tingkat
hulu, mulai dari edukasi penyakit, penerapan PHBS, peningkatan cakupan
imunisasi/vaksinasi, penggalakan pelaksanaan ante natal care yang teratur, dan
seterusnya.

IV. ASURANSI: MEMBUAT ORANG MERASA NYAMAN DENGAN SAKIT


Sejak beberapa tahun belakangan ini, dunia kedokteran Indonesia diajak untuk mulai
menggeser paradigma profesinya, dari paradigma sakit menjadi paradigma sehat.
Tugas dokter dan seluruh tenaga medis bukan lagi terfokus pada menangani dan
mengobati orang sakit, tetapi mendorong masyarakat untuk senantiasa hidup sehat.
Cost yang dikeluarkan untuk meng-cover biaya pengobatan orang yang sakit tentu
jauh lebih besar dibandingkan biaya untuk melakukan maintenance terhadap
kesehatan individu. Sayangnya, belum semua komponen bangsa terlibat dalam
pergeseran paradigma ini, mulai dari pemerintah hingga masyarakat.

Salah satu komponen yang erat kaitannya dengan masalah pembiayaan kesehatan
adalah perkara jaminan kesehatan atau asuransi. Dengan menerapkan sistem jaminan
dan asuransi kesehatan, pembiayaan kesehatan kita akan jauh lebih efisien dan bisa
mengantisipasi ketidakamanan sosial yang diakibatkan oleh gangguan kesehatan.
Hanya dengan membayarkan sejumlah premi tertentu, maka kita akan terbebas dari
risiko mengeluarkan biaya dalam jumlah besar ketika mengalami hal-hal yang tidak
diinginkan seperti sakit, kecelakaan, atau meninggal dunia. Sayangnya, kondisi
asuransi dan jaminan sosial/kesehatan yang ada pada saat ini belum mengakomodasi
2 aspek utama dalam tujuan pembangunan kesehatan; keterlibatan seluruh
komponen bangsa dan menciptakan kesadaran untuk hidup sehat.

Dari aspek keterlibatan masyarakat, seperti yang sudah disebut di atas, coverage
asuransi kita secara nasional baru mencapai angka 26%. Artinya, 74% masyarakat kita
berada pada posisi tidak aman ketika suatu saat mereka jatuh pada kondisi yang
tidak diinginkan, seperti sakit, cacat karena kecelakan, atau meninggal dunia
(golongan yang tidak terproteksi asuransi ini biasa dikenal dengan golongan sadikin –
sakit jadi miskin-).
Salah satu kriteria jaminan sosial yang baik, yang mengakomodasi tujuan
pembangunan kesehatan adalah adanya keterlibatan seluruh komponen bangsa, atau
yang dikenal dengan universal coverage. Beruntung sebentar lagi kita akan memiliki
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang sudah rampung penggarapan undang-
undangnya. Demi memenuhi amanah UUD ’45, SJSN yang akan mulai diterapkan
pada 2014 ini ditargetkan mampu memenuhi aspek universal coverage, dimana
seluruh masyarakat akan dan harus ter-cover dalam skema jaminan sosial nasional ini.
Dalam sistem ini, masyarakat ditargetkan untuk memiliki jaminan kesehatan,
kecelakaan kerja, hari tua, pensiun, dan kematian.

Kriteria kedua dari tujuan pembangunan kesehatan yang seharusnya diakomodasi


oleh sistem asuransi adalah mendorong terciptanya kesadaran untuk hidup sehat.
Jika kita amati, pola kerja badan penyelenggara asuransi yang ada di masyarakat kita
pada saat ini sangat pasif dan cenderung “jaga gawang”. Seperti halnya arisan, dana
premi yang disetor dan terkumpul akan “dinikmati” oleh peserta asuransi hanya
apabila dia sakit. Jika tidak, maka pemanfaatan dana tadi tidak akan terlalu dirasakan
oleh peserta. Kondisi seperti ini jelas belum sejalan dengan upaya penyadaran
masyarakat untuk hidup sehat. Karena dengan adanya jaminan yang bersifat pasif
seperti ini, masyarakat yang ter-cover asuransi justru akan merasa aman untuk sakit,
karena sudah ada yang menanggung biaya pelayanan kesehatan yang akan
dijalaninya, berapapun besarnya. Belum jelas apakah ada upaya dari masyarakat
untuk menjaga kesehatannya secara mandiri, karena dari pihak eksternal pun tidak
ada dorongan untuk itu.

V. EMPOWERING ASSURANCE: Wacana Asuransi yang Memberdayakan


Dari wacana yang dikembangkan di atas, maka terlihat perlunya model baru sistem
jaminan sosial dan kesehatan yang lebih aktif dan “hidup”. Dana yang disetor oleh
masyarakat dan diamanahkan untuk digunakan demi menjamin kesehatan mereka,
harus digunakan sesuai dengan amanahnya. Karena sesuai dengan definisi dari WHO,
bahwa sehat adalah keadaan sejahtera sempurna fisik, mental, dan sosial yang tidak
hanya tebatas pada kondisi bebas dari penyakit dan kelemahan. Dengan demikian,
yang harus di-cover oleh asuransi bukan hanya jaminan untuk mengakses pelayanan
kesehatan ketika sakit, tetapi juga mengakomodasi upaya pencapaian derajat
kesehatan yang maksimal. Sesuai dengan Ottawa Charter -yang merupakan hasil dari
Konferensi Promosi Kesehatan Internasional yang pertama-, bahwa sehat merupakan
alat untuk mencapai produktivitas tertinggi. Oleh karena itu, asuransi kesehatan harus
mampu mendorong terciptanya produktivitas yang maksimal, bukan hanya menjadi
sistem buffer untuk ketidakproduktifan yang terjadi akibat kondisi sakit.

Jika selama ini dana premi yang terkumpul cenderung diendapkan


(atau diinvestasikan ke pasar modal) dan dijadikan profit bagi lembaga
penyelenggara asuransi ketika dana tersebut masih bersisa, maka pola seperti ini
harus segera diubah. Karena sebagaimana amanat UU SJSN, tujuan badan
penyelenggara jaminan bukanlah untuk meraih profit, dan indikator keberhasilannya
bukanlah return on investment (ROI), tapi seberapa besar manfaatnya untuk
masyarakat. Pemanfaatan dana yang sudah di-pool harus dioptimalkan agar bisa
dinikmati kembali oleh peserta jaminan. Oleh karena itulah, badan penyelenggara
jaminan harus memfasilitasi berbagai program yang mampu mengakselerasi
peningkatanan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat.

Dalam dunia kedokteran, dikenal 5 level pencegahan penyakit, yakni health


promotion, specific protection, early diagnosis and prompt treatment, disability
limitation, dan rehabilitation. Dan sesuai dengan pertimbangan cost-effectiveness,
maka alokasi penggunakan dana yang sudah terkumpul, harus lebih banyak
digunakan untuk level pencegahan yang lebih awal, mulai dari promosi kesehatan
hingga diagnosis dini. Dana ini dapat dialokasikan untuk program-program
pencegahan dan promosi kesehatan yang sudah memiliki evidence yang sahih dalam
peningkatan derajat kesehatan, seperti upaya peningkatan cakupan imunisasi untuk
penyakit-penyakit menular, kampanye smoking cessation, pembangunan fasilitas air
bersih dan jamban, food fortification untuk beberapa jenis mineral seperti yodium,
besi, asam folat, dan zinc, skrining berbagai jenis penyakit yang berpotensi menyerap
banyak biaya, kampanye PHBS di tatanan rumah tangga dan sekolah, hingga edukasi
penanganan pertama secara mandiri berbagai penyakit untuk setting di rumah
tangga. Dengan demikian, selain biaya yang dikeluarkan untuk pos kuratif akan jauh
berkurang karena rendahnya angka kesakitan masyarakat, manfaat asuransi akan
lebih dirasakan secara langsung oleh peserta dan hal ini sangat menunjang
terwujudnya tujuan pembangunan kesehatan untuk mencapai masyarakat yang mau
dan mampu untuk hidup sehat. Dan skema ini bisa pula di-support dengan konsep
dokter keluarga yang bertanggunjawab pada kesehatan sejumlah kepala keluarga
untuk meng-cover sisi pelayanan kesehatannya.

Selain itu, hal lain yang perlu digarisbawahi juga adalah poin integrasi antara jaminan
kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Jika universal coverage, yakni kepesertaan yang
bersifat wajib bagi seluruh masyarakat diterapkan, pada tahap awal implementasi
akan mustahil jika seluruh warga membayar sendiri premi asuransinya. Akan ada
warga miskin yang tidak mampu membayar premi asuransi, dan golongan ini harus
ditanggung dan dibayarkan preminya oleh negara. Maka dari itulah, harus ada alokasi
dana yang digunakan pula untuk kegiatan-kegiatan pemberdayaan dari aspek
pendidikan dan ekonomi, agar masyarakat miskin tadi lama kelamaan mampu untuk
mandiri dan ke depannya bisa membiayai sendiri premi asuransinya. Dengan
demikian, beban negara untuk sektor “charity” akan lebih ringan dan negara dapat
lebih produktif karena bisa mengalokasikan pembelanjaan pada pos-pos investasi
yang lebih menghasilkan pendapatan untuk digunakan bagi kesejahteraan rakyat dan
kemajuan bangsa.

Wallahua’lam bisshowab.

Anda mungkin juga menyukai