Anda di halaman 1dari 13

UNIVRSITAS MERCU BUANA

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI


PROGRAM STUDI BROADCASTING
PROGRAM KELAS KARYAWAN
2
MODUL KULIAH
MK. STUDI MEDIA

POKOK BAHASAN
MEDIA DAN MODEL KOMUNIKASI
Oleh: Afdal Makkuraga Putra

1. MODEL AGENDA SETTING


Salah satu teori yang berkenaan dampak kognitif ini adalah teori agenda
setting. Penganjur teori ini, Maxwell McCombs dan Donal Shaw mengatakan
bahwa media massa mampu membentuk opini publik audience melalui cara
penempatan isu-isu tertentu (S. Djuarsa Sendjaja, 1998)
Kedua teoritisi itu menuliskan bahwa audiense tidak hanya mempelajari
berita-berita dan hal-hal lainnya melalui media massa, tetapi juga mempelajari
seberapa besar arti penting diberikan pada suatu isu atau topik dari cara media
massa memberikan penekanan terhadap topik tersebut (S. Djuarsa Sendjaja, 1998)

Teori ini dimulai dengan suatu asumsi bahwa media massa menyaring
berita, artikel, atau tulisan yang akan disiarkan. Secara selektif oleh gatekeepers
seperti penyunting, redaksi dan bahkan wartawan sendiri menentukan mana yang
pantas diberitakan dan mana yang tidak pantas diberitakan dan mana yang harus
disembunyikan. Setiap kejadian atau isu diberi bobot tertentu dengan panjang
penyajian (durasi dalam TV dan radio, ruang dalam majalah dan koran) dan cara
penonjolan (ukuran judul, letak pada surat kabar, frekuensi pemuatan dan posisi
dalam surat kabar) (Djalaluddin Rahmat, 2000).

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraI


STUDI MEDIA
Bila misalnya Inul Daratista dimunculkan secara terus menerus, disiarkan
rata-rata lebih satu jam sehari di setiap stasiun TV, di sorot oleh program
infotainment secara besar-besaran, dan menghiasi headline koran dan majalah
lengkap dengan fotonya, maka Inul Daratista sedang ditonjolkan sebagai Diva
Dangdut Indonesia. Namun, pada saat yang sama bencana wabah diare di
Tasikmalaya hanya dimuat di sudut kolom kecil halaman belakang di koran, tidak
disiarkan oleh radio, atau hanya disiarkan melalui running text di TV, maka peristiwa
wabah diare bisa disebut disepelekan atau disembunyikan oleh media. Bagaimana
media massa menyajikan peristiwa tersebut, itulah yang disebut sebagai agenda
media.

Karena publik (pembaca, penonton dan pendengar) memperoleh


kebanyakan informasi melalui media massa, maka agenda media tentu berkaitan
dengan agenda publik. Ageda public diketahui dengan menanyakan kepada
anggota masyarakat apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka bicarakan dengan
orang lain, atau apa yang mereka anggap sebagai masalah yang tengah menarik
perhatian masyarakat.

Asumsi agenda setting memiliki kelebihan karena mudah dipahami dan


relatif mudah untuk diuji. Dasar pemikirannya adalah di antara berbagai topik yang
dimuat media massa, topik yang mendapat lebih banyak perhatian dari media akan
lebih lebih akrab bagi pembacanya dan akan dianggap penting dalam suatu
periode waktu tertentu, dan akan terjadi sebaliknya bagi topik yang kurang
mendapat media.
Salah satu penelitian McComb dan Shaw dengan menggunakan kerangka
teori Agenda Setting adalah penelitian tentang kampanye pemilihan presiden
Amerika Serikat di Chapel Hill, North Carolina, pada tahun 1968. Mereka menguji
100 responden. Setiap responden diminta menulis 15 isu-isu pokok yang responden
anggap penting.

Saat yang sama McComb dan Shaw membuat analisis isi tentang kampanye
para kandidat presiden terhadap lima surat kabar, dua majalah dan dua televisi
yang melayani daerah Chapel Hill. Isi media digolongkan dalam dua kategori isu:
mayor dan minor. Mayor adalah tulisan-tulisan menjadi headline, ditempatkan di
halaman muka surat kabar atau menjadi laporan utama majalah, dan diliput lebih

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraI


STUDI MEDIA
dari 45 menit di televisi. Sedangkan minor adalah berita yang kecil yang tidak
memenuhi kreteria di atas.
Selanjutnya, data wawancara responden dan analisis isi dibandingkan.
Hasilnya menujukkan bahwa terdapat korelasi yang sangat kuat antara topik mayor
media dengan penetuan pilihan berdasarkan kesesuain pikiran responden (0,967).
Sedangkan korelasi dengan topic minor adalah 0,979 (Severin & Tankard, 1997,
Lowery & Defleur, 1995).
Contoh kasus untuk Indonesia, adalah ada satu survey yang menarik yang
dilakukan oleh Media Indonesia dan Metro TV terhadap opini masyarakat berkaitan
maraknya pemberitaan kiminal menjelang lebaran 2006 atau tepatnya 12 Oktober
2006. Survei dilakukan di enam kota besar dengan jumlah responden 447 orang
dewasa yang dipilih secara acak melalui buku telepon. Hasilnya menunjukkan
bahwa 72 % responden menjawab khawatir akan menjadi korban pencurian, 69%
kecopetan dikendaraan, 63 % perampokan, 61% pemerasan.

Saat responden ditanya apakah kota tempat tinggal Anda semakin aman
atau semakin tidak aman? Sebanyak 51% responden menjawab lingkungan tempat
tinggalnya makin tidak aman, 32 % responden menjawab semakin aman, 15%
menjawab sama saja dan 2% tidak tahu (www.metrotvnews.com)

Karena agenda setting, berkaitan dengan dengan agenda media, maka


menurut Shomaekaer dan Reese, Agenda Media ditentukan oleh lima faktor
(Severin & Tankard, 1997, Lowery & Defleur, 1995):
1. Indvidual media worker (gatekeeper), adalah orang-orang yang bekerja dibalik
newsroom
2. Media routines, adalah berkaitan misalnya,ketersediaan space, nilai berita,
standar obyektivitas media dsb
3. Organizational influences on content, berkaitan dengan aspek komersial yang
menjadi tujuan sebuah media.
4. Influences on content from outside of media organization, berhubungan
dengan content dari media-media besar yang lain
5. Influence of ideology, berkaitan ideologi yang dianut suatu negera

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraI


STUDI MEDIA
2. Model Uses and Gratification

Pendekatan Uses and Gratification pertama kali dijelaskan dalam artikel


Elihu Katz yang diterbitkan tahun 1959. Atikel Katz tersebut merupakan reaksi atas
tuduhan Bernad Barelson yang mengatakan dengan provokatif bahwa penelitian
komunikasi telah mati. Katz lalu mengatakan bahwa bila di masa lalu penelitian-
penelitian komunikasi terpusat pada pertayaan „apa yang dilakukan oleh media
terhadap audience/khalayak“, maka kini penelitian komunikasi saatnya membalik
pertanyaan „apa dilakukan khalayak terhadap media?“ (Tankard and Severin,
1997;330)

Studi Uses and Gratification sebenarnya memusatkan perhatian pada


penggunaan (uses) isi media untuk mendapatkan pemenuhan (gratification) atas
kebutuhan seseorang. Dalam hal ini, sebagian besar perilaku khalayak akan
dijelaskan melalui berbagai kebutuhan (needs) Dan kepentingan (interest) individu.
Meskipun demikian perlu dipahami bahwa ini adalah suatu fenomena mengenai
proses penerimaan (pesan dari media), oleh karenanya pendekatan ini tidak
mencakup atau mewakili keseluruhan proses komunikasi.

Menurut Mc Quail dalam S. Djuarsa Sendjaja menyebutkan bahwa ada dua


hal dibalik kebangkitan pendekatan ini. Pertama, adanya oposisi terhadap asumsi
yang deterministik mengenai efek media, yang merupakan bagian dominannya
peran individu yang kita kenal dalam model komunikasi dua tahap. Kedua, adanya
keinginan untuk lepas dari perdebatan yang kering dan terasa steril mengenai
penggunaan media massa yang hanya didasarkan atas selera individu. Dalam hal
ini, pendekatan uses and gratification memberikan suatu alternatif untuk
memandang pada hubungan antara isi media dan khalayak, dan pengkategorian isi
media menurut fungsinya daripada sekadar tingkat selera yang berbeda (S. Djuarsa
Sendjaja, 1998:211)

Katz, Blumler dan Gurevitch dalam Djalaluddin Rahmat merumuskan


asumsi-asumsi dasar dari teori ini:

(1) Khalayak dianggap aktif, artinya, sebagian penting dari penggunaan


media massa diasumsikan mempunyai tujuan

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraI


STUDI MEDIA
(2) Dalam proses komunikasi massa banyak inisiatif untuk mengaitkan
pemuasan kebutuhan dengan pemilihan media terletak pada anggota khalayak

(3) Media massa harus bersaing dengan sumber-sumber lain untuk


memuaskan kebutuhannya. Kebutuhan yang dipenuhi media hanyalah bagian
dari rentangan kebutuhan manusia yang lebih luas.

(4) Banyak tujuan pemilihan media massa disimpulkan dari data yang
diberikan anggota khalayak; artinya, orang dianggap cukup mengerti untuk
melaporkan kepentingan dan motif pada situasi-situasi tertentu

(5) Penilaian tentang arti kultural dari media massa harus ditangguhkan
sebelum diteliti lebih dahulu orientasi khalayak (Djalaludin Rahmat, 1992:205).

Selanjutnya, Katz, Blumler dan Gurevitch dalam Tankard and Severin, dan
S. Djuarsa Sendjaja menggambarkan logika yang mendasari penelitian uses and
gratifications: (1). Kondisi psikologis dan sosial seseorang yang (2) kebutuhan yang
menciptakan (3) harapan-harapan terhadap (4) media massa dan sumber-sumber
lainnya, yang membimbing kepada (5) perbedaan pola penggunaan media (atau
keterlibatan dalam aktivitas lainnya) yang akhirnya akan menghasilkan (6)
pemenuhan kebutuhan dan (7) kosekuensi lainnya termasuk yang tidak diharapkan
sebelumnya (Tankard and Severin, 1997:332, S. Djuarsa Sendjaja, 1998:212).

Versi lain dari pendekatan Uses and Gratification dikemukakan oleh Karl Erik
Rosengren yang memodifikasi elemennya menjadi 11 elemen seperti yang
digambarkan berikut (S. Djuarsa Sendjaja, 1998:213)

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraI


STUDI MEDIA
1. Kebutuhan mendasar tertentu Dalam interaksinya dengan

2. Berbagai kombinasi antara


Dan juga dengan
karakteristik intra dan ekstra individu

3. Struktur masyarakat, termasuk


menghasilkan
struktur media

4. Berbagai kombinasi persoalan individu dan

5. Persepsi mengenai solusi bagi Kombinasi persoalan dan solusinya


persoalan tersebut menujukkan

6. Berbagai motif untuk mencari


Yang menghasilkan
pemenuhan atau penyelesaiaan persoalan

7. Perbedaan pola konsumsi media dan

8. Perbedaan pola perilaku lainnya Yang menyebabkan

9. Perbedaan pola pemenuhan Yang dapat mempengaruhi

10. Kombinasi karakteristik intra dan


Yang sekaligus akan mempengaruhi pula
ekstra individu

11. Struktur media dan berbagai struktur politik,


kultural dan ekonomi dlm masyarakat

Teori Uses and Gratification juga diperkaya oleh dua ilmuwan komunikasi
dari University of Kentucky, Philip Palmgreen dan J.D Rayburn, H. Kedua pakar ini
memodifikasi teori ini dengan model Gratification Sought and Gratification Obtained
atau disingkat GS dan GO. Berikut modelnya:

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraI


STUDI MEDIA
Beliefs

X Gratifications Media Perceived


Sought (GS) Use Gratifications
Obtained (GO)

Evaluations

Sumber: http://en.wikibooks.org/wiki/communication_theory/

Menurut McQuail, model ini dibedakan atas dua hal; mencari kepuasan (GS)
dan memperoleh kepuasan (GO). Bilamana GO lebih tinggi dari GS maka terjadi
tingkat kepuasan khalayak tinggi dan tingkatan perhatian dan pernghargaan yang
tinggi terhadap media.

Kelemahan/kekurangan dari teori ini:

(1) Teori ini tidak memperhitungkan seluruh rangkaian proses komunikasi

(2) Teori ini tidak memperhitungkan stimuli dari media dan hanya fokus pada
penerimaan khalayak saja.

(3) Terlalu melebih-lebihkan rasionalitas dan keaftifan anggota khalayak


sebagai penggunaan media. Teori ini tidak mengukur bilamana terdapat
khalayak yang tidak aktif menggunakan media.

(4) Teori ini tidak terlalu memperhatikan lingkungan eksternal khalayak.


Misalnya, relasi sosial keluarga menentukan pola tontonan TV dalam sebuah
keluarga. Bila ayah dominan dalam rumah tangga, maka biasanya sang ayah
yang menentukan program yang akan ditonton. Demikian juga halnya dengan
kualitas penerimaan pesawat TV dan ketersediaan media cetak.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraI


STUDI MEDIA
3 MODEL STIMULUS-RESPONS
Prinsip stimulus-respon pada dasarnya merupakan suatu prinsip belajar
yang sederhana, dimana efek merupakan reaksi terhadap stimulus tertentu.
Dengan demikian seseorang dapat mengharapkan atau memperkirakan suatu
kaitan ert antara pesan-pesan media dan reaksi audiens. Elemen-elemen utama
dari teori ini adalah: (a) pesan (stimulus); (b) seorang penerima/receiver
(organisme); dan (c) efek (response)

Prinsip stimulus respon ini merupakan dasar dari teori jarum suntuik
hipodermik. Teori klasik mengenai proses terjadinya efek media massa yang sangat
berpengaruh. Dalam teori ini isi media dipandang sebagai obat yang disuntikkan ke
dalam pembuluh audiens, yang kemudian diasumsikan akan berekasi seperti yang
diharapkan.
Dibalik konsepsi ini sesungguhnya terdapat dua pemikiran yang mendasarinya:
(1) gambaran mengenai suatu masyarakat modern yang merupakan agregasi
dari individu-individu yang relatif terisolasi (atomized) yang bertindak
berdasarkan kepentingan pribadinya, yang tidak terlalu terpengaruh oleh
kendala dan ikatan sosial
(2) Suatu Pandangan yang dominan mengenai media massa yang seolah-
seolah sedang melakukan kampanye untuk memobilisasi prilaku sesuai
dengan tujuan dari berbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat (biro
iklan, pemerintah, parpol dan sebagainya)

Dari pemikiran tersebut, dikenal apa disebut ”masyarakat masa” dimana


prinsip stimulus-respons mengasumsikan bahwa pesan dipersiapkan dan
didistribusikan secara sistematik dan dalam skala yang luas. Sehingga secara
serempak pesan tersebut dapat tersedia bagi sejumlah besar individu, dan
bukannya ditujukan pada orang per orang. Penggunaan teknologi untuk reproduksi
dan distribusi diharapkan dapat memaksimalkan jumlah penerimaan dan respons
oleh audience. Dalam hal ini tidak diperhitungkan kemungkinan adanya intervensi
dari struktur social atau kelompok dan seolah-olah terdapat kontak langsung antara
media dan individu. Konsekuensinya, seluruh individu yang menerima pesan
dianggap sama/seimbang. Jadi hanya agregasi jumlah yang dikenal, seperti
konsumen, supporter, dan sebagainya. Selain itu diasumsikan pula bahwa terpaan
pesan-pesan media, dalam tingkat tertentu, akan menghasilkan efek. Jadi kontak
dengan media cenderung diartikan dengan adanya pengaruh tertentu dari media,

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraI


STUDI MEDIA
sedangkan individu yang tidak terjangkau oleh terpaan media tidak akan
terpengaruh.

Pada tahun 1970, Melvin DeFleur melakukan nodifikasi terhadap teori


stimulus-respons dengan teorinya yang dikenal sebagai perbedaan individu dalam
komunikasi massa (individual differences). Disini diasumsikan bahwa pesan-pesan
media berisi stimulus tertentu yang berinteraksi secara berbeda-beda dengan
karakteristik pribadi dari para anggota audience. Teori DeFleur ini secara eksplisit
telah mengakui adanya intervensi variabel-variabel psikologis yang berinteraksi
dengan terpaan media massa dalam menghasilkan efek.

Berangkat dari teori individu dan stimulus-respons ini, DeFleur


mengembangkan model psikodinamik yang didasarkan pada keyakinan bahwa
kunci dari persuasi yang efektif terletak pada modifikasi struktru psikologis internal
dari individu. Melalui modifikasi inilah respons tertentu yang diharapkan muncul
dalam perilaku individu akan tercapai. Esensi dari model ini adalah fokusnya pada
variabel-variabel yang berhubungan dengan individu sebagai penerima pesan,
suatu kelanjutan dari asumsi sebab-akibat, dan mendasarkan pada perubahan
sikap sebagai ukuran bagi perubahan perilaku.

4. KOMUNIKASI DUA TAHAP DAN PENGARUH ANTARPRIBADI


Teori ini berawal dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Paul Lazarfeld dan
kawan-kawannya mengenai efek media massa dalam suatu kampanye pemilihan
Presiden Amerika Serikat pada tahun 1940. Studi tersebut dilakukan dengan asumsi
bahwa proses stimulus respons bekerja dalam menghasilkan efek media massa.
Namun hasil penelitian menunjukkan sebaliknya. Efek media massa ternyata
rendah, dan asumsi stimulus-respons tidak cukup menggambarkan realitas
audience media massa dalam penyebaran arus informasi dan pembentukan
pendapat umum.

Dalam analisisnya terhadap hasil penelitian tersebut, Lazarfeld kemudian


mengajukan gagasan mengenai ‘komunikasi dua tahap’ (two step flow) dan konsep
‘pemuka pendapat’. Temuan mereka mengenai kegagalan media massa
dibandingkan dengan pengaruh kontak antarpribadi telah membawa kepada
gagasan bahwa ‘seringkali informasi mengalir dari radio dan surat kabar kepada

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraI


STUDI MEDIA
para pemuka pendapat, dan dari mereka kepada orang-orang lain yang kurang aktif
dalam masyarakat’. Pemikiran ini kemudian dilanjutkan dengan penelitian yang lebih
serius dan re-evaluasi terhadap teori stimulus-respons dalam konteks media massa.

Teori dan penelitian-penelitian komunikasi dua tahap memiliki asumsi-asumsi


sebagai berikut:
1. Individu tidak terisolasi dari kehidupan social, tetapi merupakan anggota dari
kelompok-kelompok social dalam berinteraksi dengan orang lain.
2. Respons dan reaksi terhadap pesan dari media tidak akan terjadi secara
langsung dan segera, tetapi melalui perantaraan dan dipengaruhi oleh
hubungan-hubungan social tersebut.
3. Ada dua proses yang berlangsung, yang pertama mengenai penerimaan dan
perhatian, dan yang kedua berkaitan dengan respons dalam bentuk
persetujuan atau penolakan terhadap upaya mempengaruhi atau
penyampaian informasi.
4. Individ tidak bersikap sama terhadap pesan/kampanye media, melainkan
memiliki berbagai peran yang berbeda dalam proses komunikasi, dan
khususnya, dapat dibagi atas mereka yang secara aktif menerima dan
meneruskan/menyebarkan gagasan dari media, dan mereka yang semata-
mata hanya mengandalkan hubungan personal dengan orang lain sebagai
panutannya.
5. Individu-individu yang berperan lebih aktif (pemuka pendapat) ditandai oleh
penggunaan media massa yang lebih besar, tingkat pergaulan yang lebih
tinggi, anggapan bahwa dirinya berpengaruh terhadap orang-orang lain, dan
memiliki peran sebagai sumber informasi dan panutan.

Secara garis besar, menurut teori ini massa tidak bekerja dlaam suatu situasi
kevakuman social, tetapi memiliki suatu akses ke dalam jaringan hubungan social
yang sangat kompleks, dan bersaing dengan sumber-sumber gagasan,
pengetahuan, dan kekuasaan, yang lainnya.

5. DIFUSI INOVASI
Salah satu aplikasi komunikasi massa terpenting adalah berkaitan dengan
proses adopsi inovasi. Hal ini relevan untuk masyarakat yang sedang berkembang
maupun masyarakat maju, karena terdapat kebutuhan yang terus-menerus dalam

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraI


STUDI MEDIA
perubahan social dan teknologi, untuk mengganti cara-cara lama dengan teknik-
teknik baru. Teori ini berkaitan dengan komunikasi massa karena dalam berbagai
situasi di mana efektivitas potensi perubahan yang berawal dari penelitian ilmiah
dan kebijakan publik, harus diterapkan oleh yang pada dasarnya berasa di luar
jangkauan langsung pusat-pusat inovasi atau kebijakan publik. Dalam
pelaksanaannya, sasaran dari upaya difusi inovasi umumnya petani dan anggota
masyarakat pedesaan. Praktik-praktik awal difusi inovasi dilakukan di Amerika
Serikat pada dasawarsa 20-an dan 30-an, dan sekarang banyak digunakan untuk
program-program pembangunan di negara-negara yang sedang berkembang.

Teori ini pada prinsipnya adalah komunikasi dua tahap, jadi di dalamnya
dikenal pula adanya pemuka pendapat atau yang disebut juga dengan istilah agen
perubahan. Oleh karenanya teori ini sangat menekankan pada sumber-sumber non-
media (sumber personal, misalnya tetangga, teman, ahli, dsb.), dan biasanya
mengenai gagasan-gagasan baru yang dikampanyekan untuk mengubah perilaku
melalui penyebaran informasi dan upaya mempengaruhi motivasi dan sikap. Everett
M. Rogers dan Floyd G. Shoemaker (1973) merumuskan kembali teori ini dengan
memberikan asumsi bahwa sedikitnya ada 4 tahap dalam suatu proses difusi
inovasi, yaitu:

Pengetahuan: kesadaran individu akan adanya inovasi dan adanya


pemahaman tertentu tentang bagaimana inovasi tersebut
berfungsi.
Persuasi: individu membentuk/memiliki sikap yang menyetujui atau
tidak menyetujui inovasi tersebut.
Keputusan: individu terlibat dalam aktivitas yang membawa pada suatu
pilihan untuk mengadopsi atau menolak inovasi.
Konfirmasi: individu akan mencari pendapat yang menguatkan keputusan
yang telah diambilnya, namun dia dapat berubah dari
keputusan yang telah diambil sebelumnya jika pesan-pesan
mengenai inovasi yang diterimanya berlawanan satu dengna
lainnya.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraI


STUDI MEDIA
Teori ini mencakup sejumlah gagasan mengenai proses difusi inovasi
sebagai berikut:

Pertama, teori ini membedakan tiga tahapan utama dari keseluruhan proses
ke dalam tahapan anteseden, proses, dan konsekuensi. Tahapan yang pertama
mengacu kepada situasi atau karakteristik dari orang yang terlibat yang
memungkinkannya untuk diterpa informasi tentang suatu inovasi dan relevansi
informasi tersebut terhadap kebutuhan-kebutuhannya. Misalnya, adopsi inovasi
biasanya lebih mudah terjadi pada mereka yang terbuka mencari informasi baru.
Tahapan kedua berkaitan dengan proses mempelajari, perubahan sikap dan
keputusan. Di sini nilai inovatif yang dirasakan akan memainkan peran penting,
demikian pula dengan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam system
sosialnya. Jadi, kadangkala peralatan yang secara teknis dapat bermanfaat, tidak
diterima oleh suatu masyarakat karena alasan-alasan moral atau cultural, atau
dianggap membahayakan struktur hubungan social yang telah ada. Tahapan
konsekuensi dari aktivitas difusi terutama mengacu pada keadaan selanjutnya jika
terjadi adopsi inovasi. Keadaan tersebut dapat berupa terus menerima dan
menggunakan inovasi, atau kemudian berhenti menggunakannya lagi.

Kedua, perlu dipisahkannya fungsi-fungsi yang berbeda dari ‘pengetahuan’,


‘persuasi’, ‘keputusan’, dan ‘konfirmasi’, yang biasanya terjadi dalam tahapan
proses, meskipun tahapan tersebut tidak harus selesai sepenuhnya/lengkap. Dalam
hal ini, proses komunikasi lainnya dapat juga diterapkan. Misalnya beberapa
karakteristik yang berhubungan denga tingkat persuasi. Orang yang tahu lebih awal
tidak haru para pemuka pendapat, beberapa penelitian menunjukkan bahwa ‘tahu
lebih awal’ atau ‘tahu belakangan/tertinggal’ berkaitan dengan tingkat isolasi social
tertentu. Jadi, kurangnya integrasi social seseorang dapat dihubungkan dengan
‘kemajuannya’ atau ‘ketertinggalannya’ dalam masyarakat.

Ketiga, difusi inovasi biasanya melibatkan berbagai sumber komunikasi yang


berbeda (media massa, advertensi atau promosi, penyuluhan, atau kontak-kontak
social yang informal), dan efektivitas sumber-sumber tersebut akan berbeda pada
tiap tahap, serta untuk fungsi yang berbeda pula. Jadi, media massa dan advertensi
dapat berperan dalam menciptakan kesadaran dan pengetahuan, penyuluhan
berguna untuk mempersuasi, pengaruh antarpribadi berfungsi bagi keputusan untuk

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraI


STUDI MEDIA
menerima atau menolak inovasi, dan pengalaman dalam menggunakan inovasi atau
sebaliknya.

Keempat, teori ini melihat adanya ‘variabel-variabel penerima’ yang


berfungsi pada tahap pertama (pengetahuan), karena diperolehnya pengetahuan
akan dipengaruhi oleh kepribadian atau karakteristik social. Meskipun demikian,
setidaknya sejumlah variabel penerima akan berpengaruh pula dalam tahap-tahap
berikutnya dalam proses difusi inovasi. Ini terjadi juga dengan ‘variabel-variabel
system sosial’ yang berperan terutama pada tahap awal (pengetahuan) dan tahap-
tahap berikutnya.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Afdal Makkuraga PutraI


STUDI MEDIA

Anda mungkin juga menyukai