POKOK BAHASAN
MEDIA DAN MODEL KOMUNIKASI
Oleh: Afdal Makkuraga Putra
Teori ini dimulai dengan suatu asumsi bahwa media massa menyaring
berita, artikel, atau tulisan yang akan disiarkan. Secara selektif oleh gatekeepers
seperti penyunting, redaksi dan bahkan wartawan sendiri menentukan mana yang
pantas diberitakan dan mana yang tidak pantas diberitakan dan mana yang harus
disembunyikan. Setiap kejadian atau isu diberi bobot tertentu dengan panjang
penyajian (durasi dalam TV dan radio, ruang dalam majalah dan koran) dan cara
penonjolan (ukuran judul, letak pada surat kabar, frekuensi pemuatan dan posisi
dalam surat kabar) (Djalaluddin Rahmat, 2000).
Saat yang sama McComb dan Shaw membuat analisis isi tentang kampanye
para kandidat presiden terhadap lima surat kabar, dua majalah dan dua televisi
yang melayani daerah Chapel Hill. Isi media digolongkan dalam dua kategori isu:
mayor dan minor. Mayor adalah tulisan-tulisan menjadi headline, ditempatkan di
halaman muka surat kabar atau menjadi laporan utama majalah, dan diliput lebih
Saat responden ditanya apakah kota tempat tinggal Anda semakin aman
atau semakin tidak aman? Sebanyak 51% responden menjawab lingkungan tempat
tinggalnya makin tidak aman, 32 % responden menjawab semakin aman, 15%
menjawab sama saja dan 2% tidak tahu (www.metrotvnews.com)
(4) Banyak tujuan pemilihan media massa disimpulkan dari data yang
diberikan anggota khalayak; artinya, orang dianggap cukup mengerti untuk
melaporkan kepentingan dan motif pada situasi-situasi tertentu
(5) Penilaian tentang arti kultural dari media massa harus ditangguhkan
sebelum diteliti lebih dahulu orientasi khalayak (Djalaludin Rahmat, 1992:205).
Selanjutnya, Katz, Blumler dan Gurevitch dalam Tankard and Severin, dan
S. Djuarsa Sendjaja menggambarkan logika yang mendasari penelitian uses and
gratifications: (1). Kondisi psikologis dan sosial seseorang yang (2) kebutuhan yang
menciptakan (3) harapan-harapan terhadap (4) media massa dan sumber-sumber
lainnya, yang membimbing kepada (5) perbedaan pola penggunaan media (atau
keterlibatan dalam aktivitas lainnya) yang akhirnya akan menghasilkan (6)
pemenuhan kebutuhan dan (7) kosekuensi lainnya termasuk yang tidak diharapkan
sebelumnya (Tankard and Severin, 1997:332, S. Djuarsa Sendjaja, 1998:212).
Versi lain dari pendekatan Uses and Gratification dikemukakan oleh Karl Erik
Rosengren yang memodifikasi elemennya menjadi 11 elemen seperti yang
digambarkan berikut (S. Djuarsa Sendjaja, 1998:213)
Teori Uses and Gratification juga diperkaya oleh dua ilmuwan komunikasi
dari University of Kentucky, Philip Palmgreen dan J.D Rayburn, H. Kedua pakar ini
memodifikasi teori ini dengan model Gratification Sought and Gratification Obtained
atau disingkat GS dan GO. Berikut modelnya:
Evaluations
Sumber: http://en.wikibooks.org/wiki/communication_theory/
Menurut McQuail, model ini dibedakan atas dua hal; mencari kepuasan (GS)
dan memperoleh kepuasan (GO). Bilamana GO lebih tinggi dari GS maka terjadi
tingkat kepuasan khalayak tinggi dan tingkatan perhatian dan pernghargaan yang
tinggi terhadap media.
(2) Teori ini tidak memperhitungkan stimuli dari media dan hanya fokus pada
penerimaan khalayak saja.
Prinsip stimulus respon ini merupakan dasar dari teori jarum suntuik
hipodermik. Teori klasik mengenai proses terjadinya efek media massa yang sangat
berpengaruh. Dalam teori ini isi media dipandang sebagai obat yang disuntikkan ke
dalam pembuluh audiens, yang kemudian diasumsikan akan berekasi seperti yang
diharapkan.
Dibalik konsepsi ini sesungguhnya terdapat dua pemikiran yang mendasarinya:
(1) gambaran mengenai suatu masyarakat modern yang merupakan agregasi
dari individu-individu yang relatif terisolasi (atomized) yang bertindak
berdasarkan kepentingan pribadinya, yang tidak terlalu terpengaruh oleh
kendala dan ikatan sosial
(2) Suatu Pandangan yang dominan mengenai media massa yang seolah-
seolah sedang melakukan kampanye untuk memobilisasi prilaku sesuai
dengan tujuan dari berbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat (biro
iklan, pemerintah, parpol dan sebagainya)
Secara garis besar, menurut teori ini massa tidak bekerja dlaam suatu situasi
kevakuman social, tetapi memiliki suatu akses ke dalam jaringan hubungan social
yang sangat kompleks, dan bersaing dengan sumber-sumber gagasan,
pengetahuan, dan kekuasaan, yang lainnya.
5. DIFUSI INOVASI
Salah satu aplikasi komunikasi massa terpenting adalah berkaitan dengan
proses adopsi inovasi. Hal ini relevan untuk masyarakat yang sedang berkembang
maupun masyarakat maju, karena terdapat kebutuhan yang terus-menerus dalam
Teori ini pada prinsipnya adalah komunikasi dua tahap, jadi di dalamnya
dikenal pula adanya pemuka pendapat atau yang disebut juga dengan istilah agen
perubahan. Oleh karenanya teori ini sangat menekankan pada sumber-sumber non-
media (sumber personal, misalnya tetangga, teman, ahli, dsb.), dan biasanya
mengenai gagasan-gagasan baru yang dikampanyekan untuk mengubah perilaku
melalui penyebaran informasi dan upaya mempengaruhi motivasi dan sikap. Everett
M. Rogers dan Floyd G. Shoemaker (1973) merumuskan kembali teori ini dengan
memberikan asumsi bahwa sedikitnya ada 4 tahap dalam suatu proses difusi
inovasi, yaitu:
Pertama, teori ini membedakan tiga tahapan utama dari keseluruhan proses
ke dalam tahapan anteseden, proses, dan konsekuensi. Tahapan yang pertama
mengacu kepada situasi atau karakteristik dari orang yang terlibat yang
memungkinkannya untuk diterpa informasi tentang suatu inovasi dan relevansi
informasi tersebut terhadap kebutuhan-kebutuhannya. Misalnya, adopsi inovasi
biasanya lebih mudah terjadi pada mereka yang terbuka mencari informasi baru.
Tahapan kedua berkaitan dengan proses mempelajari, perubahan sikap dan
keputusan. Di sini nilai inovatif yang dirasakan akan memainkan peran penting,
demikian pula dengan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam system
sosialnya. Jadi, kadangkala peralatan yang secara teknis dapat bermanfaat, tidak
diterima oleh suatu masyarakat karena alasan-alasan moral atau cultural, atau
dianggap membahayakan struktur hubungan social yang telah ada. Tahapan
konsekuensi dari aktivitas difusi terutama mengacu pada keadaan selanjutnya jika
terjadi adopsi inovasi. Keadaan tersebut dapat berupa terus menerima dan
menggunakan inovasi, atau kemudian berhenti menggunakannya lagi.