Anda di halaman 1dari 3

Kondisi lingkungan alam Pulau Jawa benar-benar mengalami kerusakan, saat musim kemarau berlangsung hampir

segalanya menjadi kering kerontang. Tapi begitu musim hujan tiba, banjir menghancurkan segalanya, sebenarnya
permasalahan ini bisa diprediksi dan diantisipasi sekaligus melakukan langkah-langkah dan program mitigasi yang
sistimatis yang bisa dipertangungjawabkan secara ilmiah untuk mencegah eskalasi kerugian yang lebih besar.
Sekarang ini hampir tiap hari kita mendengar dan melihat melalui media elektronika dan membaca melalui media
cetak tentang bencana banjir yang menyapu pantai utara pulau Jawa. Saat musim kemarau yang lalu kita juga
hampir tiap hari disuguhi oleh berita-berita tentang kekeringan yang membuat masyarakat sangat kesulitan dalam
mendapatkan air baik itu untuk kepentingan irigasi bahkan untuk kebutuhan sanitasi dan air minum.

Masyarakat harus berjalan berkilo-kilo meter hanya untuk mendapatkan sepikul dua pikul air yang memenuhi syarat
untuk kebutuhan sanitasi dan air minum mereka. Setiap anggota masyarakat hanya memperoleh sedikit air karena
terbatasnya sumber-sumber air yang harus dibagi dengan sesama mereka.

Gambaran ini telah terjadi di hampir pelosok pulau Jawa. Saat musim kering sejauh mata memandang kita bisa
melihat kawasan sepanjang pantai utara pulau Jawa benar-benar kering kerontang, puhon-pohon di hutan bagaikan
pilar-pilar kontstruksi, lahan pesawahan menjadi bongkahan tanah-tanah kering, kaum tani mengalami gagal panen.
Kekeringan tidak hanya menyapu kawasan pedesaan tapi juga menghantam lingkungan perkotaan, suplai air bersih
di Jakarta, Surabaya dan kota-kota besar lainnya menjadi sangat terbatas dan distribusinya tersendat-sendat tapi
mereka masih beruntung karena mereka mempunyai akses pada air minum dalam kemasan dan air isi ulang yang
ditawarkan di kota-kota besar meskipun dengan harga yang lebih tinggi. Tapi bagaimana dengan kaum miskin yang
jauh dari jangkauan suplai air bersih?

Ibarat sudah jatuh ketimpa tangga, itulah nasib sial yang dialami oleh sebagian penduduk di pulau Jawa khususnya
yang berdomisili di sepanjang pantai Utara. Mulai dari Jawa bagian Barat sampai ke Timur, setelah kekeringan
berlalu maka muncul musim hujan, tapi dasar memang nasib, musim hujan ini bukanlah membawa berkah yang
turun dari langit tapi justru menjadi bencana yang jauh lebih parah dari musim kering sebelumnya.

Dari ketersediaan air yang serba terbatas menjadi bencana banjir yang menebar penderitaan dan kerugian di mana-
mana. Ironisnya banjir datang setiap tahun dengan luas areal lahan yang semakin tahun semakin meluas dengan
eskalasi kerugian yang semakin meningkat. Sedangkan langkah-langkah dan program mitigasi baik itu terhadap
bencana banjir maupun kekeringan sepertinya tidak ada sama sekali. Akibatnya bencana banjir dan kekeringan
adalah peristiwa rutin yang harus kita hadapi setiap tahunnya.

Kekeringan yang menghantam kawasan di Pulau Jawa sebenarnya tidak datang secara tiba-tiba. Berdasar hasil
perhitungan keseimbangan air atau keseimbangan air berbanding dengan permintaan air atas ketersediaan air yang
dilakukan oleh Direktorat Sumber Daya Air dan Irigasi Bappenas pada tahun 2003 menunjukkan bahwa total
permintaan air di Pulau Jawa dan Bali 38,4 milyar meter kubik selama musim kering. Permintaan hanya dicukupi
sekitar 25,3 milyar kubik atau sekitar 66 persen dan diperkirakan akan jau lebih tinggi pada tahun 2020 sebagai
akibat pertumbuhan jumlah penduduk dan peningkatan aktivitas ekonomi. permintaan air ini meliputi kebutuhan
rumah tangga, aktivitas industri, pertanian, perikanan dan peternakan.

Kekeringan secara umum disebabkan oleh faktor perubahan iklim global yang dinyatakan melalui penyimpangan
musim hujan dan kemarau dari pola yang biasanya, faktor lainnya adalah kerusakan kondisi lingkungan serta
infrastruktur dan manajemen sumber daya air, seperti; kerusakan kawasan tangkapan air yang berakibat pada
berkurangnya atau menghilangnya kapasitas tangkapan dan penyimpanan air; kwalitas infrastruktur air yang rendah;
ekspolitasi cadangan air bawa tanah yang berlebihan yang menyebabkan penurunan permukaan tanah yang
berakibat intrusi air laut dan mencemari air bawa tanah; dan terjadinya salah urus dalam menejemen hidrologi.
Ketika musim hujan tiba diharapkan menjadi bulan-bulan yang penuh berkah yang membawah kehidupan menjadi
lebih baik, tanah yang tadinya kering mulai menjadi subur dan roda ekonomi masyarakat pedesaan mulai berputar
dan petani mulai menanam di tanah pertanian yang semula dibiarkan menganggur. Tapi tiba-tiba banjir mulai
membuat Pak Tani cemas dan frustasi khususnya di kawasan yang menjadi langganan banjir tiap tahunnya. Para
ahli mengatakan bahwa penyebab banjir adalah bervariasi dari kawasan yang satu dengan kawasan lainnya. Faktor-
faktor yang menyebabkan banjir adalah adanya pendangkalan dasar sungai akibat sedimentasi; buruknya sistem
drainase; adanya arus balik; dan akibat dari fasilitas kendali banjir yang buruk dan tidak efektif.

Hampir semua sungai di Jawa membawahi beban sedimen dalam jumlah yang amat besar yang dialirkan mulai dari
hulu sampai menuju laut. Akibatnya sedimen yang mengendap mendangkalkan sungai yang selanjutnya
menurunkan kapasitas daya muat aliran air, penambangan pasir juga membuat kerusakan dasar sungai, yang
semuanya berakibat pada gagalnya badan sungai dalam mengalirkan air dalam jumlah yang sangat besar, air
selanjutnya meluap melewati atau menghancurkan tanggul-tanggul menuju lahan pertanian, jalan raya dan
perumahan. Tanggul-tanggul yang dibangun di sepanjang tepi sungai hanya melindungi kawasan yang lebih tinggi
dari ancaman banjir tapi tidak cukup untuk melindungi bahkan menjadi ancaman yang serius pada kawasan yang
lebih rendah karena membuat sistem drainase menjadi tidak efektif sebagai akibat terjadinya arus balik yang
menyebabkan air mengalir menuju kawasan yang lebih rendah.

Banjir bisa juga terjadi jika kawasan tangkapan air menghilang, hutan yang gundul sebagai akibat eksploitasi dan
penebangan hutan secara berlebihan memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap bencana banjir. Dengan
menghilangnya sumber-sumber tangkapan air maka air dalam jumlah besar akan langsung menuju aliran sungai,
kondisi ini menyebabkan meluapnya aliran sungai menuju kawasan hilir sedangkan kapasitas daya tampung pada
kawasan hilir seperti kota-kota yang ada di pantai utara sebelum air mengalir ke laut jauh dari mencukupi maka banjir
tak bisa dihindari.

Berdasarkan laporan Departemen PU, banjir di Jawa seringkali melanda kawasan pantai Utara dan Selatan, daerah
cekungan dan kota-kota besar. Tahun 2002 ada 74 kejadian banjir yang merendam 81,9 ribu hektar kawasan
perumahan dan lahan pertanian, tahun 2003 menjadi 91,3 ribu hektar sedangkan banjir yang terjadi pada akhir 2007
menenggelamkan 12 kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang merupakan banjir yang terburuk yang terjadi di
Pulau Jawa sepanjang 60 tahun terakhir sebagai akibat meluapnya sungai Bengawan solo yang kemudian disusul
dengan terjadinya banjir di Indramayu dan Pasuruan pada bulan Januari dan Pebruari ini Kabupaten Situbondo
disapu oleh banjir bandang dengan total angka kerugian masih belum jelas. Yang jelas ratusan ribu hektar bahkan
jutaan hektar kawasan sepanjang Pulau Jawa ditenggelamkan oleh banjir bandang ini.

Pengendalian banjir melalui pendekatan infrastruktur yang diterapkan oleh Pemerintah sama sekali tidak ada
manfaatnya dalam mencegah meluasnya eskalasi banjir dan menghindari kerugian yang lebih besar. Ada banyak
proyek pengendalian banjir di pulau Jawa ini, yang meliputi; Proyek pengendalian banjir Jawa bagian Selatan di
Jawa Tengah; Proyek pengendalian Banijir Citarum di Bandung Selatan; Proyek Pengendalian Banjir Ciliwung-
Cisadane dan Proyek Banjir Kanal Timur di Jakarta; serta proyek pembangunan perkotaan seperti Proyek
Pembangunan Perkotaan Bandung (BUDP) dan Proyek Pembangunan Perkotaan Surabaya (SUDP) dan proyek-
proyek pengendalian banjir lainnya seperti Brantas dan Pekalen Sampean di JawaTimur yang menelan total dana
tidak hanya ratusan milyar rupiah tapi trilyunan rupiah.

Pertanyaannya, apakah ini sebagai akibat kualitas infrastruktur kendali banjir yang buruk, ataukah percepatan
pembangunan infrastruktur tidak mampu mengimbangi frekuensi terjadinya banjir yang semakin memburuk setiap
tahunnya, ataukah sebagai akibat gagalnya penegakan aturan hukum di bidang lingkungan dan kehutanan, ataukah
ketiga-tiganya? Belum lagi program mitigasi yang seharusnya dilaksanakan di daerah-daerah rawan banjir atau di
kawasan yang secara potensial menghadapi ancaman banjir sepertinya tidak pernah dilaksanakan. Oleh karena itu
kami sebagai peneliti muda ang ingin mengatasi ancaman dari dampak banjir dan kekeringan yaitu kesulitan
memperoleh air bersih, akan membuat suatu inovasi baru di bidang sumur ................................. yang dapat secara
mudah mengeluarkan air dari daerah yang kekeringan dan kesulitan air bersih. Kami juga akan membuat susunan
alat ini tidak begitu rumit, agar warga dapat dengan mudah membuat sendiri jadi, akan tercipta desa yang mandiri.

Anda mungkin juga menyukai