Anda di halaman 1dari 27

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas berkat rahmat,
hidayah, dan inayyah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “
Euthenesia “ tepat waktu. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Pendidikan Agama.

Makalah yang kami buat ini tak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk
itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ns. Susana , S.Kep selaku coordinator mata kuliah Pendidikan Agama


2. Orangtua yang senantiasa memberi doa dan semangat kepada penulis
3. Teman-teman A10.2
4. Teman-teman kelompok 11 yang telah menyumbangkan pikiran demi
terselesainya makalah ini

Kami menyadari bahwa tiada gading yang tak retak. Begitu pula dengan
makalah ini pasti ada kekurangannya. Oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Akhir kata
semoga makalah ini dapat berguna, tidak hanya bagi penulis tetapi juga bagi
pembaca.

Semarang . Desember 2010

Penulis

25
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Secara umum, kematian adalah suatu topik yang sangat ditakuti


oleh publik. Hal demikian tidak terjadi di dalam dunia kedokteran atau
kesehatan. Dalam konteks kesehatan modern, kematian tidaklah selalu
menjadi sesuatu yang datang secara tiba-tiba. Kematian dapat
dilegalisir menjadi sesuatu yang definit dan dapat dipastikan tanggal
kejadiannya. Euthanasia memungkinkan hal tersebut terjadi.
Membunuh bisa dilakukan secara legal. Itulah euthanasia,
pembuhuhan legal yang sampai kini masih jadi kontroversi.
Pembunuhan legal ini pun ada beragam jenisnya.

Praktek eutanasia sebenarnya telah dimulai pada tahun yang sama


(kira-kira abad 4 SM), beberapa tempat seperti Yunani dan Roma
eutanasia merupakan tindakan yang dibolehkan secara hukum.
Sampai saat ini eutanasia merupakan polemik, etik dan perdebatan
panjang yang tidak pernah terselesaikan, pro-kontra mengenai
eutanasia sepertinya tidak akan pernah usai, kecuali beberapa negara
yang menyetujui praktek ini, Belanda misalnya.
Di Amerika Serikat dikenal adanya beberapa organisasi yang
menentang eutanasia yang dibantu oleh dokter; American Medical
Association dan The New York State Committee on Bioethical Issues
telah menentang praktek eutanasia secara bertahun-tahun, bagi mereka
praktek bunuh diri atas permintaan pasien maupun keluarga tidak
boleh dilakukan, tindakan ini sama halnya dengan melakukan
pembunuhan. Organisasi ini menekankan penting dilakukan
pengobatan secara terus-menerus untuk mempertahankan hidup pasien

25
(life-sustaining treatment).
Bagi beberapa orang yang mendukung eutanasia beranggapan
bahwa cara eutanasia lebih manusiawi dibandingkan melihat pasien
kesakitan (sekarat) dalam waktu yang panjang, eutanasia dianggap
sebagai satu-satunya cara “mempermudah” dan mempersingkat rasa
sakit tersebut. Mereka beranggapan bahwa rasa sakit yang diderita
secara berkepanjangan yang telah diidap pasien, maka eutanasia
dilakukan untuk mengakhiri atau mengurangi penderitaan itu dengan
cara mengakhiri hidup pasien yang lebih baik dibanding melihat pasien
kesakitan (sekarat).
Pada jaman modern, isu awal perdebatan mengenai eutanasia
sendiri secara terbuka mencuat di Journal of the American Medical
Association pada tahun 1988, dimana jurnal tersebut membahas
kematian pasien yang bernama Debbie yang sekarat mengidap kanker
ovarium, dalam kasus tersebut seorang dokter yang tidak disebut
identitasnya telah menyuntik morfin dalam dosis yang mematikan.
Alasannya karena merasa iba melihat Debbie sekarat karena
penyakitnya.
Kasus tersebut memicu New England Journal of Medicine setahun
kemudian untuk mempublikasikan pernyataan beberapa dokter bahwa
tindakan eutanasia bukanlah tindakan tidak bermoral bila dokter
melakukan cara-cara yang perlu untuk mengakhiri hidup pasien yang
sakit (sekarat) dan tidak mempunyai harapan untuk hidup lagi.
Tahun-tahun berikutnya beberapa laporan lain mulai membuka
diri, seperti terprovokasi, eutanasia menjadi pembicaraan mendalam
pada masyarakat dunia, media massa berperan serta dalam
menyebarkan isu-isu eutanasia secara meluas.

B. TUJUAN

25
Adapun tujuan dari pembahasan euthenesia adalah :

1. Menjelaskan pengertian euthanasia dan jenisnya


2. Mengetahui bentuk penggunaan euthanasia
3. Dapat membedakan pandangan mengenai euthanasia menurut
Islam dan dunia kedokteran
4. Dapat menyelesaikan kasus yang berhubungan dengan
euthanasia untuk orang sakit
5. Aspek legal penggunaan Euthanasia

25
BAB II

EUTHANASIA

I. PENGERTIAN EUTHANASIA

25
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan
thanatos, yang berarti “kematian” (Utomo, 2003:177). Dalam bahasa Arab dikenal
dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Euthanasia adalah tindakan
mengakhiri hidup seorang individu secara tidak menyakitkan, ketika tindakan
tersebut dapat dikatakan sebagai bantuan untuk meringankan penderitaan dari
individu yang akan mengakhiri hidupnya.

a. Ada empat metode euthanasia:

a.1 Euthanasia sukarela: ini dilakukan oleh individu yang secara sadar
menginginkan kematian.

a.2 Euthanasia non sukarela: ini terjadi ketika individu tidak mampu untuk
menyetujui karena faktor umur, ketidak mampuan fisik dan mental.
Sebagai contoh dari kasus ini adalah menghentikan bantuan makanan dan
minuman untuk pasien yang berada di dalam keadaan vegetatif (koma).

a.3 Euthanasia tidak sukarela: ini terjadi ketika pasien yang sedang sekarat
dapat ditanyakan persetujuan, namun hal ini tidak dilakukan. Kasus
serupa dapat terjadi ketika permintaan untuk melanjutkan perawatan
ditolak.

a.4 Bantuan bunuh diri: ini sering diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk
euthanasia. Hal ini terjadi ketika seorang individu diberikan informasi
dan wacana untuk membunuh dirinya sendiri. Pihak ketiga dapat
dilibatkan, namun tidak harus hadir dalam aksi bunuh diri tersebut. Jika
dokter terlibat dalam euthanasia tipe ini, biasanya disebut sebagai ‘bunuh
diri atas pertolongan dokter’. Di Amerika Serikat, kasus ini pernah
dilakukan oleh dr. Jack Kevorkian.

b. Euthanasia dapat menjadi aktif atau pasif:

25
b.1 Euthanasia aktif menjabarkan kasus ketika suatu tindakan dilakukan
dengan tujuan untuk menimbulkan kematian. Contoh dari kasus ini adalah
memberikan suntik mati. Hal ini ilegal di Britania Raya dan Indonesia.

b.2 Euthanasia pasif menjabarkan kasus ketika kematian diakibatkan oleh


penghentian tindakan medis. Contoh dari kasus ini adalah penghentian
pemberian nutrisi, air, dan ventilator.

 Argumen Pro Euthanasia

Kelompok pro euthanasia, yang termasuk juga beberapa orang cacad,


berkonsentrasi untuk mempopulerkan euthanasia dan bantuan bunuh diri. Mereka
menekankan bahwa pengambilan keputusan untuk euthanasia adalah otonomi
individu. Jika seseorang memiliki penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau
berada dalam kesakitan yang tak tertahankan, mereka harus diberikan kehormatan
untuk memilih cara dan waktu kematian mereka dengan bantuan yang diperlukan.
Mereka mengklaim bahwa perbaikan teknologi kedokteran merupakan cara untuk
meningkatkan jumlah pasien yang sekarat tetap hidup. Dalam beberapa kasus,
perpanjangan umur ini melawan kehendak mereka.

Mereka yang mengadvokasikan euthanasia non sukarela, seperti Peter


Singer, berargumentasi bahwa peradaban manusia berada dalam periode ketika
ide tradisional seperti kesucian hidup telah dijungkir balikkan oleh praktek
kedokteran baru yang dapat menjaga pasien tetap hidup dengan bantuan
instrumen. Dia berargumen bahwa dalam kasus kerusakan otak permanen, ada
kehilangan sifat kemanusian pada pasien tersebut, seperti kesadaran, komunikasi,
menikmati hidup, dan seterusnya. Mempertahankan hidup pasien dianggap tidak
berguna, karena kehidupan seperti ini adalah kehidupan tanpa kualitas atau status
moral.

25
Falsafah Utilitarian Singer menekankan bahwa tidak ada perbedaan moral
antara membunuh dan mengizinkan kematian terjadi. Jika konsekuensinya adalah
kematian, maka tidak menjadi masalah jika itu dibantu dokter, bahkan lebih
disukai jika kematian terjadi dengan cepat dan bebas rasa sakit.

 Oposisi terhadap Euthanasia

Banyak argumen anti euthanasia bermula dari proposisi, baik secara


religius atau sekuler, bahwa setiap kehidupan manusia memiliki nilai intrinsik dan
mengambil hidup seseorang dalam kondisi normal adalah suatu kesalahan.
Advokator hak-hak orang cacad menekankan bahwa jika euthanasia dilegalisasi,
maka hal ini akan memaksa beberapa orang cacad untuk menggunakannya karena
ketiadaan dukungan sosial, kemiskinan, kurangnya perawatan kesehatan,
diskriminasi sosial, dan depresi. Orang cacad sering lebih mudah dihasut dengan
provokasi euthanasia, dan informed consent akan menjadi formalitas belaka dalam
kasus ini. Beberapa orang akan merasa bahwa mereka adalah beban yang harus
dihadapi dengan solusi yang jelas. Secara umum, argumen anti euthanasia adalah
kita harus mendukung orang untuk hidup, bukan menciptakan struktur yang
mengizinkan mereka untuk mati.

Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu


euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter
mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh
pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah
sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan
medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang
biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya
akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang

25
memang sudahparah (Utomo2003:176).
Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan
rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini,
dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter
memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat
menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus
(Utomo,2003:178).
Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien
yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat
disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien.
Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien
yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi,
sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi.
Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan
dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis
masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah
ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai
dana pengobatan yang sangat tinggi (Utomo,2003:176).
Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit
yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada
harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru
yang jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian,
jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya
(Utomo,2003:177).
Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan
dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat
disembuhkan. Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan
euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik
kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di
sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar kode

25
etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain
merupakan tindak pidana di negara mana pun. (Utomo, 2003:178).

II. Pandangan Syariah Islam


Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala
persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap
euthanasia, baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif.

A. Euthanasia Aktif

Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam


kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu
untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas
permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang
mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun
membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT:

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk


membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam :
151)

“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain),
kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha


Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).

25
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter
melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori
pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah)
dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan
mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati
karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :

“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang


dibunuh.” (QS Al-Baqarah : 178)

Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash


(dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka
mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau
memaafkan/menyedekahkan.

Firman Allah SWT : “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari
saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah : 178)

Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di
antaranya dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i
(Al-Maliki, 1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham
(uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1
dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1
dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113).
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu
kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan
kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik
itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia.
Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak

25
mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya,
yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada
seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan,
maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan
kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan
Muslim).

C. Euthanasia Pasif

Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam


praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan
berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada
gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien.
Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya
dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien.
Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama,
mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib.
Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan
ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180).
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub
(Tidak wajib). Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi
Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada
qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib),
tapi tuntutan yag tidak tegas (sunnah).
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW
bersabda :

“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia


ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)

25
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat.
Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya
tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai
kaidah ushul :

Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab

“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-
Nabhani, 1953)

Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam
hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib.
Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa
perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak
berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang
perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya
aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh].
Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu
mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa
kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku
akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap
[saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak
tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan
dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir
ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah,
bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub),
bukan wajib. (Zallum, 1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk
dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini
hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis

25
keadaannya?
Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah
menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak
menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan
sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah
termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian
otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan
bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap
tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ
ini pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu
kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya
sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan
dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ
otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut
alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa
dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum,
1998:69;Zuhaili,1996:500;Utomo,2003:182). Namun untuk bebasnya tanggung
jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi
adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien
tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak
penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah,1992:522-523).

III. CONTOH KASUS EUTHANASIA

Contoh kasus Euthenesia pasif :

1. Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan
koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk
sembuh. Atau orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika

25
tidak diobati akan dapat mematikan penderita. Dalam hal ini, jika
pengobatan terhadapnya dihentikan akan dapat mempercepat
kematiaannya.

2. Seseorang yang kondisinya sangat kritis dan akut karena menderita


kelumpuhan tulang belakang yang biasa menyebabkan kelumpuhan pada
kedua kaki dan kehilangan kontrol pada kandung kencing dan usus besar.
Penderita penyakit ini senantiasa dalam kondisi lumpuh dan selalu
membutuhkan bantuan khusus selama hidupnya. Atau penderita
kelumpuhan otak yang menyebabkan keterbelakangan pikiran dan
kelumpuhan badannya dengan studium beragam yang biasanya penderita
penyakit ini akan lumpuh fisiknya dan otaknya serta selalu memerlukan
bantuan khusus selama hidupnya. Dalam keadaan demikian ia dapat saja
dibiarkan tanpa diberi pengobatan yang mungkin akan dapat membawa
kematiannya.

Dalam contoh tersebut, “penghentian pengobatan” merupakan salah satu bentuk


eutanasia pasif. Menurut gambaran umum, para penderita penyakit seperti itu
terutama anak-anak tidak berumur panjang, maka menghentikan pengobatan dan
mempermudah kematian secara pasif itu mencegah perpanjangan penderitaan si
anak atau kedua orang tuanya.

Dengan demikian masalahnya sama seperti cara-cara eutanasia pasif


lainnya. Karena itu, eutanasia untuk seperti ini adalah bukan termasuk kategori
eutanasia aktif yang diharamkan. Dengan demikian, tindakan tersebut dibenarkan
syari’ah dan tidak terlarang terutama bila peralatan bantu medis tersebut hanya
dipergunakan pasien sekadar untuk kehidupan lahiriah yang tampak dalam
pernapasan dan denyut nadi saja, padahal bila dilihat secara medis dari segi
aktivitas maka pasien tersebut sudah seperti orang mati, tidak responsif, tidak

25
dapat mengerti sesuatu dan tidak merasakan apa-apa, karena jaringan otak dan
sarafnya sebagai sumber semua aktivitas hidup itu telah rusak.

Membiarkan si sakit dalam kondisi seperti itu hanya akan menghabiskan


biaya dan tenaga yang banyak serta memperpanjang tanggungan beban. Selain itu
juga dapat menghalangi pemanfaatan peralatan tersebut oleh pasien lain yang
membutuhkannya. Di sisi lain, penderita yang sudah tidak dapat merasakan apa-
apa itu hanya menjadikan sanak keluarganya selalu dalam keadaan sedih dan
menderita, yang mungkin sampai puluhan tahun lamanya.

Contoh kasus Euthenesia aktif :

1. Seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa
hingga penderita sering pingsan. dalam hal ini dokter yakin bahwa yang
bersangkutan akan meningggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat
dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan
rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.
2. Orang yang mengalami keadaan koma yang sangat lama, misalnya karena
bagian otaknya terserang penyakit atau bagian kepalanya mengalami
benturan yang sangat keras. Dalam keadaan demikian ia hanya mungkin
dapat hidup dengan mempergunakan alat pernafasan, sedangkan dokter
ahli berkeyakinan bahwa penderita tidak akan dapat disembuhkan.

Alat pernafasan itulah yang memompa udara ke dalam paru-parunya dan


menjadikannya dapat bernapas secara otomatis. Jika alat pernapasan tersebut
dihentikan (dilepas), maka penderita sakit tidak mungkin dapat melanjutkan
pernafasannya sebagai cara aktif memudahkan proses kematiannya.

25
Dengan demikian melalui euthanasia aktif berarti manusia mengambil hak
Allah Swt yang sudah menjadi ketetapanNya. Memudahkan proses kematian
secara aktif seperti pada contoh pertama tidak diperkenankan oleh syari’ah. Sebab
yang demikian itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan
membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara
overdosis atau cara lainnya.

Dalam hal ini dokter telah melakukan pembunuhan yang haram


hukumnya, bahkan termasuk dosa besar. Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas
dari kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada
si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun dokter
tidaklah lebih pengasih dan penyayang dari pada Allah Al-Khaliq. Karena itu
serahkanlah urusan tersebut kepada Allah, karena Dia-lah yang memberi
kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang
telah di tetapkan-Nya.

Eutanasia demikian juga menandakan bahwa manusia terlalu cepat


menyerah pada keadaan (fatalis), padahal Allah swt menyuruh manusia untuk
selalu berusaha atau berikhtiar sampai akhir hayatnya. Bagi manusia tidak ada
alasan untuk berputus asa atas suatu penyakit selama masih ada harapan, sebab
kepadanya masih ada kewajiban untuk berikhtiar. Dalam hadits Nabi sw
disebutkan betapapun beratnya penyakit itu, tetap ada obat penyembuhnya.(HR
Ahmad dan Muslim)

Dalam prakteknya, para dokter tidak mudah melakukan euthanasia ini,


meskipun dari sudut kemanusiaan dibenarkan adanya euthanasia dan merupakan
hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan (sesuai
dengan Deklarasi Lisboa 1981). Akan tetapi dokter tidak dibenarkan serta merta
melakukan upaya aktif untuk memenuhi keinginan pasien atau keluarganya
tersebut. Hal ini disebabkan oleh dua hal, pertama, karena adanya persoalan yang
berkaitan dengan kode etik kedokteran, disatu pihak dokter dituntut untuk
membantu meringankan penderitaan pasien, akan tetapi dipihak lain

25
menghilangkan nyawa orang merupakan pelanggaran terhadap kode etik itu
sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain dalam perundang-
undangan merupakan tindak pidana , yang secara hukum di negara manapun,
tidak dibenarkan oleh Undang-undang.

Secara umum ajaran Islam diarahkan untuk menciptakan kemaslahatan


hidup dan kehidupan manusia, sehingga aturannya diberikan secara lengkap, baik
yang berkaitan dengan masalah keperdataan maupun pidana. Khusus yang
berkaitan dengan keselamatan dan perihal hidup manusia, dalam hukum pidana
Islam (jinayat) ditetapkan aturan yang ketat, seperti adanya hukuman qishash,
hadd, dan diat.

Dalam Islam prinsipnya segala upaya atau perbuatan yang berakibat


matinya seseorang, baik disengaja atau tidak sengaja, tidak dapat dibenarkan,
kecuali dengan tiga alasan; sebagaimana disebutkan dalam hadits: “Tidak halal
membunuh seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga alasan, yaitu:
pezina mukhshan (sudah berkeluarga), maka ia harus dirajam (sampai mati);
seseorang yang membunuh seorang muslim lainnya dengan sengaja, maka ia
harus dibunuh juga. Dan seorang yang keluar dari Islam (murtad), kemudian
memerangi Allah dan Rasulnya, maka ia harus dibunuh, disalib dan diasingkan
dari tempat kediamannya” (HR Abu Dawud dan An-Nasa’i)

Selain alasan-alasan diatas, segala perbuatan yang berakibat kematian


orang lain dimasukkan dalam kategori perbuatan ‘jarimah/tindak pidana’
(jinayat), yang mendapat sanksi hukum. Dengan demikian euthanasia karena
termasuk salah satu dari jarimah dilarang oleh agama dan merupakan tindakan
yang diancam dengan hukuman pidana. Dalil syari’ah yang menyatakan
pelarangan terhadap pembunuhan antara lain Al-Qur’an surat Al-Isra’:33, An-
Nisa’:92, Al-An’am:151. Sedangkan dari hadits Nabi saw, selain hadits diatas,
juga hadits tentang keharaman membunuh orang kafir yang sudah minta suaka
(mu’ahad).(HR.Bukhari).

25
Pada prinispnya pembunuhan secara sengaja terhadap orang yang sedang
sakit berarti mendahului takdir. Allah telah menentukan batas akhir usia manusia.
Dengan mempercepat kematiannya, pasien tidak mendapatkan manfaat dari ujian
yang diberikan Allah Swt kepadanya, yakni berupa ketawakalan kepada-Nya
Raulullah saw bersabda: “Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu
musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan maupun penyakit, bahkan
duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya
dengan musibah yang dicobakannya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).

Hal itu karena yang berhak mematikan dan menghidupkan manusia


hanyalah Allah dan oleh karenanya manusia dalam hal ini tidak mempunyai hak
atau kewenangan untuk memberi hidup dan atau mematikannya. (QS.Yunus:56,
Al-Mulk:1-2).

Adapun memudahkan proses kematian dengan cara euthanasia pasif


sebagaimana dikemukakan dalam pertanyaan, maka semua itu termasuk dalam
kategori praktik penghentian pengobatan. Hal ini didasarkan pada keyakinan
dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak
memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah
terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat. Masalah ini terkait dengan
hukum melakukan pengobatan yang diperselisihkan oleh para ulama fikih apakah
wajib atau sekedar sunnah.

Menurut jumhur ulama mengobati atau berobat dari penyakit hukumnya


sunnah dan tidak wajib. Meskipun segolongan kecil ulama ada yang
mewajibkannya, seperti kalangan ulama syafi’iyah dan hanbali sebagaimana
dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah.

Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama:
berobat ataukah bersabar? Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar
(tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadist Abbas yang diriwayatkan
dalam kitab shahih dari seorang wanita yang menderita epilepsi. Wanita itu

25
meminta kepada Nabi agar mendoakannya, lalu beliau menjawab: “Jika engkau
mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga, dan jika
engkau mau, akan saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.”
Wanita itu menjawab akan bersabar dan memohon kepada Nabi untuk medoakan
kepada Allah agar ia tidak minta dihilangkan penyakitnya namun tetap terjaga
auratnya sehingga tidak tersingkap ketika kambuh.

Disamping itu, terdapat banyak contoh dari kalangan sahabat dan tabi’in
yang tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan di antara mereka ada yang
memilih sakit, seperti Ubay bin Ka’ab dan Abu Dzar Al-Ghifari. Sikap demikian
tidak ditegur ataupun diprotes oleh kalangan sahabat ataupun generasi tabai’in
lainnya sebagaimana dikupas oleh Imam Al-Ghazali dalam satu bab tersendiri
yang berjudul “Kitab at-Tawakal” dalam kitab Ihya ‘Ulumuddinnya.

Dalam hal ini hukum berobat atau mengobati penyakit yang lebih tepat
adalah pada dasarnya wajib terutama jika sakitnya parah, obatnya efektif
berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh sesuai dengan perintah Allah Swt
untuk berobat. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi saw dalam masalah
pengobatan sebagaimana yang di kemukakan oleh Imam Ibnul Qoyyim dalam
kitabnya Zadul-Ma’ad. Dan paling tidak, petunjuk Nabi saw, tersebut minimal
menunjukkan hukum sunnah.

Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya sunnah ataupun wajib
apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika secara
perhitungan akurat medis yang dapat dipertanggungjawabkan sudah tidak ada
harapan sembuh, sesuai dengan sunnatullah dalam hukum kausalitas yang
dikuasai para ahli seperti dokter ahli maka tidak ada seorang pun yang
mengatakan sunnah berobat apalagi wajib.

Apabila penderita sakit kelangsungan hidupnya tergantung pada


pemberian berbagai macam media pengobatan dengan cara meminum obat,
suntikan, infus dan sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan buatan dan

25
peralatan medis modern lainnya dalam waktu yang cukup lama, tetapi
penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu
tidak wajib dan tidak juga sunnah sebagaimana difatwakan oleh Syeikh Yusuf Al-
Qardhawi dalam Fatawa Mu’ashirahnya, bahkan mungkin kebalikannya yakni
tidak mengobatinya itulah yang wajib atau sunnah.

Dengan demikian memudahkan proses kematian (taisir al-maut) semacam


ini dalam kondisi sudah tidak ada harapan yang sering diistilahkan dengan qatl ar-
rahma (membiarkan perjalanan menuju kematian karena belas kasihan), karena
dalam kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter maupun orang lain.
Tetapi dokter ataupun orang terkait lainnya dengan pasien hanya bersikap
meninggalkan sesuatu yang hukumnya tidak wajib ataupun tidak sunnah, sehingga
tidak dapat dikenai sanksi hukuman menurut syari’ah maupun hukum positif.
Tindakan euthanasia pasif oleh dokter dalam kondisi seperti ini adalah jaiz (boleh)
dan dibenarkan syari’ah apabila keluarga pasien mengizinkannya demi
meringankan penderitaan dan beban pasien dan keluarganya.

Hal ini terkait dengan contoh kedua dari eutanasia aktif terdahulu yaitu
menghentikan alat pernapasan buatan dari pasien, yang menurut pandangan dokter
ahli ia sudah “mati” atau “dikategorikan telah mati” karena jaringan otak ataupun
fungsi syaraf sebagai media hidup dan merasakan telah rusak. Kalau yang
dilakukan dokter tersebut semata-mata menghentikan alat pengobatan, hal ini
sama dengan tidak memberikan pengobatan.

Pendapat ini telah dikemukakan sejak lama oleh Syeikh Al-Qardhawi


kepada sejumlah pakar fikih dan dokter dalam suatu seminar yang
diselenggarakan oleh sebuah yayasan Islam untuk ilmu-ilmu kedokteran di
Kuwait. Para peserta seminar dari kalangan ahli fikih dan dokter sepakat
menerima pendapat tersebut.

25
Adapun hukum wajib shalat bagi orang yang tidak sadar dan tidak dapat
merasakan apa-apa adalah tidak berlaku lagi sampai ia sadar kembali. Namun jika
tidak kembali sadar maka ia tidak terkenai kewajiban tersebut.

IV. ASPEK LEGAL PENGGUNAAN EUTHANASIA

A. Euthanasia dipandang dari aspek HAM

Hak asasi merupakan hak yang dimiliki oleh setiap manusia sejak lahir.
Setiap manusia tentunya memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mati.
Namun, hak asasi manusia lebih sering dikaitkan dengan hak untuk hidup
,akan tetapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak untuk mati.

Dalam berbagai hal, kematian lebih sering dihubungkan dengan pelanggaran


hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang mana
cenderung menyalahkan tenaga medis, khususnya pihak dokter. ( Wibudi,
2008 ).

Jika kita lihat secara sepintas, memang melakukan euthanasia pada pasien
merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia, khususnya hak untuk
hidup. Karena secara tidak langsung, tindakan ini dapat diartikan merampas
hak hidup manusia. Namun, adanya hak untuk hidup, secara tidak langsung
seharusnya ada juga hak untuk mati. Terlebih lagi jika untuk menghindarkan
diri dari segala ketidaknyamanan khususnya penderitaan akibat penyakit yang
diderita pasien, yang mana menrut medis sudah tidak ada harapan untuk
sembuh.

Oleh karena itu, dari aspek Hak asasi manusia, euthanasia tidak dapat
dipandang sebelah mata sebagai tindakan yang melanggar HAM, karena hak
manusia bukan hanya hak untuk hidup namun juga hak untuk mati. Ditambah
lagi jika tindakan euthanasia tersebut telah mendapat persetujuan dari pasien
itu sendiri.

25
B. Euthanasia Menurut Hukum di Indonesia ( KUHP)

Aturan hukum mengenai masalah euthanasia ini sangat berbeda-beda di


seluruh dunia dan seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma
budaya dan tersedianya perawatan atau tindakan medis. Di beberapa negara,
tindakan ini dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya dianggap
melanggar hokum ( Wibudi, 2008 ).

Di Indonesia, persoalan euthanasia masih belum mendapatkan tempat yang


diakui secara yuridis (Farid, 2008). Secara yuridis formal dalam hukum pidana
positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu euthanasia
yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri (voluntary
euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP
(Titto,2006) .

Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan :

“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri
yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut dapat disimpulkan


bahwa pembunuhan atas permintaan korban / pasien sekalipun tetap diancam
pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di
Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang karena
dianggap sebagai tindak pidana.

Selain ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan
untuk menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP yang
menyatakan (Tittto,2006) :

25
“Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya
bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum”.

Pasal ini menegaskan bahwa dalam hukum positif di Indonesia melarang


tindakan euthanasia aktif .

Selajutnya, dalam ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan
Pasal 306 (2) ditegaskan bahwa tindakan euthanasia pasif juga dilarang oleh
hukum positif di Indonesia (Tittto,2006).

Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan,

“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam


keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan
kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”.

Dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan,

“Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara


maksimal sembilan tahun”.

25
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Eutanasia demikian juga menandakan bahwa manusia terlalu cepat menyerah


pada keadaan (fatalis), padahal Allah swt menyuruh manusia untuk selalu
berusaha atau berikhtiar sampai akhir hayatnya. Bagi manusia tidak ada alasan
untuk berputus asa atas suatu penyakit selama masih ada harapan, sebab
kepadanya masih ada kewajiban untuk berikhtiar. Dalam hadits Nabi sw
disebutkan betapapun beratnya penyakit itu, tetap ada obat penyembuhnya.
(HR Ahmad dan Muslim) . Karena bagaimanapun dokter tidaklah lebih
pengasih dan penyayang dari pada Allah Al-Khaliq. Karena itu serahkanlah
urusan tersebut kepada Allah, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada

25
manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah di tetapkan-
Nya.

B. Saran

Dalam hal ini dokter telah melakukan pembunuhan yang haram hukumnya,
bahkan termasuk dosa besar. Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas dari
kategori pembunuhan meskipun yanng mendorongnya itu rasa kasihan kepada
si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Bagaimanapun dokter
tidaklah lebih pengasih dan penyayang dari pada Allah Al-Khaliq. Karena itu
serahkanlah urusan tersebut kepada Allah, karena Dia-lah yang memberi
kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang
telah di tetapkan-Nya.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.eramuslim.com/konsultasi/fikih-kontemporer/hukum-euthanasia-
dan-kode-etik-kedokteran.htm

http://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia

http://netsains.com/2007/11/euthanasia-dan-kematian-bermartabat-suatu-
tinjauan-bioetika/

http://shinta91.wordpress.com/2010/04/28/isu-kontemporer/

25
25

Anda mungkin juga menyukai