Anda di halaman 1dari 16

c 


   
 
 c 
 

 !""

 #  $%& #

Masyarakat luas tentunya belum


terlupakan yang belum lama ini terjadi kehebohan seputar isu penarikan atau pemberhentian
pemutaran Film Asing terutama dari Hollywood di Indonesia.

Isu penghentian suply Film Asing ke Indonesia, tentu saja mencengangkan banyak pihak,
terutama para pelaku film, pecinta sinema, hingga para pelaku yang bergelut di dunia layar
lebar. Spontan isu ini melebar menjadi topik-topik perbincangan hangat di kalangan pemerhati
film.

Budayawan sekaligus pemain film Sujiwo Tedjo, seperti dikutip inilah.com, menganggap
penarikan film Hollywood merupakan kesewenang-wenangan fihak Amerika Serikat (AS).
Padahal menurutnya, sekalipun pajak film naik, produsen film Hollywood tetap untung.
³Jadi menurut aku itu cuma kesewenang-wenangan pihak Amerika saja dan pasti mereka akan
menang,´ ujar Sujiwo Tedjo di Jakarta, Ahad (20/2/2011).

Namun melangkah maju dari amarah Sudjiwo Tedjo, fakta ³menyakitkan´ dari pecinta film di
Indonesia mengundang silang sengketa di antara mereka. Mereka terjebak pada dominasi dua
pendapat yang nyaris bertabrakan; antara yang mendukung dengan yang menolak, yang gembira
dengan nestapa.

Kalangan yang mendukung pemberlakuan pemberhentian pasokan film asing melihat bahwa hal
ini adalah peluang emas bagi perfilman Indonesia untuk dapat maju dengan pesat. Tidak hanya
itu, mereka menganggap bahwa importir perfilman asing terlalu serakah karena berusaha untuk
tidak menyetujui kenaikan pembebanan pajak yang nantinya akan diterapkan.

Berbeda pendapat dari kalangan kontra, fihak yang menolak memiliki argumen nyaris bertolak
belakang. Pada dasarnya kubu yang melayangkan aksi penolakan terbagi pada dua tema.
Pertama, mereka menolak karena berhentinya pasukan film asing ke Indonesia akan
menandakan matinya kreatifitas sineas muda.

Mereka melihat bahwa sineas muda Indonesia berpeluang berada pada jurang stagnasi kreatifitas
mengingat mereka kini tidak lagi memiliki informasi update tentang trend film dunia. Film
Indonesia selama ini tidak juga memberikan warna baru yang bisa menandingi laju perkemangan
film-film Holywood, kata mereka.

Sedangkan, aktris kawakan, Jajang C. Noer, dalam wawancaranya di Metro TV beberapa waktu
lalu menyatakan tidak ada kaitannya antara pemberhentian film asing dengan majunya film
Indonesia. Jajang ingin mendebat kalau tidak mau dibilang menunda optimisme sebab selama ini
ia menilai tidak ada kaitan berarti antara melesatnya film Indonesia simetris dengan
menjamurnya film Asing di bumi pertiwi.

Bahkan Norca Massardi, orang yang kita kenal aktif sebagai juri film, memiliki perspektif lain.
Ia melihat pada konten lebih jauh pada laju perekenomian bioskop-bioskop di Indonesia.

³Bioskop 21 Cineplex punya sekitar 500 layarnya di Indonesia. Sebagai pihak yang diberi hak
untuk menayangkan film impor akan kehilangan pasokan ratusan judul film setiap tahun. Itu
layar akan menganggur, bahkan bisa ditutup kalau tidak ada yang bisa ditayangkan.´ kata
Noorca Masardi sebagai juru bicara 21 Cineplex, seperti dikutip seputarkita. Info, 19 Februari
2011.

Pria yang lahir 56 tahun lalu ini, menyimpulkan bahwa penyelenggara bioskop adalah fihak
yang akan dirugikan dari dampak pemberhentian pasokan film asing. Bioskop selama ini
menjadi salah satu bagian dari pergerakan ekonomi nasional dalam bidang hiburan.

Sebagaimana diketahui, setiap kopi film impor yang masuk ke Indonesia, selama ini sudah
dikenakan bea masuk + pph + ppn sebesar 23,75% dari nilai barang. Selain itu, selama ini,
pemerintah melalui Ditjen Pajak dan Kemenkeu juga selalu menerima pembayaran pajak
penghasilan 15% dari hasil eksploitasi setiap film impor yang diedarkan di Indonesia.

Seperti dikutip kompas.com 18 Februari lalu, tindakan ekspor film diambil lantaran MPA
(Motion Picture Association, yang berwenang melakukan peredaran film Hollywood di
Indonesia) merasa keberatan dengan peraturan pajak bea masuk atas hak distribusi film impor di
Indonesia yang berlaku efektif bulan kemarin. MPA protes dan menilai produk mereka
seharusnya bebas bea masuk impor.

Argumentasi MPA, kemudian dibantah Heri Kristiono selaku Direktur Teknis Kepabeanan.
Seperti dikutip forum.kompas.com, 20 Februari 2011, Heri Kristiono mengatakan bahwa
pengenaan bea masuk bukan hal baru, melainkan aturan lama yang mengacu pada ratifikasi
Artikel 7 kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Menyambung daripada itu semua, Noorca berharap pemerintah bisa mempertimbangkan


kembali ketentuan baru tersebut sehingga bisa terus memberikan ruang kepada publik untuk
mendapatkan hak hiburan seluas-luasnya.

³Prihatin atas keputusan pihak asing yang tidak mau lagi mendistribusikan filmnya ke Indonesia,
kami yang bergerak di bidang bioskop hanya bisa berharap dan berdo¶a semoga pihak MPA bisa
kembali mendistribusikan film ke Indonesia,´ lanjut Noorca Masardi.

Pertanyaannya kemudian adalah dimanakah posisi kita sebagai umat muslim melihat gejala ini?
Apa sikap kita melihat tantangan global sudah ada depan mata kita? Saya berharap jawabannya
adalah kita menolak film asing asing sekaligus juga tidak mendung asumsi bahwa ini adalah
arus untuk memajukan film nasional.

Logikanya sederhana saja; betulkah Motion Picture Association yang bernaung di Amerika
Serikat tidak mampu membayar pajak dari negara ³kecil´ seperti Indoseia. Masuk nalarkan
Amerika yang selama ini terkenal melemparkan faham hedonisme dan hura-hura lewat film-
filmnya merasa frutasi hanya karena pembiayaan pajak bea masuk + pph + ppn sebesar 23,75%
dari nilai barang.

Atau jangan-jangan ini adalah bagian dari konspirasi, taktik, strategi mereka yang ingin melihat
jutaan remaja Indonesia, dewasa, pemuda-pemuda muslim, dan wanita berjilbab turun ke jalanan
mengemis agar Holywood kembali ke Indonesia. Semuanya ini mereka lakukan demi membuka
mata kita semua: Siapakah raja dan tempat bergantung sesungguhnya masyarakat Indonesia
selama ini?

Kita lupa siapakah Motion Picture Association. Kita lupa siapakah adikuasa sebenarnya di balik
nama besar mereka, dan kita lupa apa misi mereka sesungguhnya. Motion Picture Association of
America (MPAA) tidak lain adalah asosiasi Zionis dalam kancah perdagangan nirlaba Amerika
Serikat yang bertujuan memajukan kepentingan bisnis lewat studio film.

Ia didirikan pada tahun 1922 sebagai asosiasi perdagangan untuk industri film Amerika.
Sementara itu, Motion Picture Export Association of America (Asosiasi Ekspor film Amerika,
disingkat MPA) dibentuk tahun 1945 untuk memajukan pemasaran film Amerika di seluruh
dunia, dan membuka proteksi impor di berbagai negara terhadap film Amerika Serikat.

Anggota MPAA sendiri terdiri dari enam studio besar Hollywood yang terkait erat dengan
Jaringan Yahudi Internasional dalam kancah perfilman di antaranya: The Walt Disney
Company, Sony Pictures, Paramount Pictures (Viacom²DreamWorks), 20th Century Fox
(News Corporation, Universal Studios (NBC Universal, dan Warner Bros. (Time Warner).

Oleh karena itu kita sebagai umat muslim tidak boleh alpa terhadap yang dikatakan Samuel
Zweimmer, Ketua Umum Asosiasi Agen Yahudi pada sambutan pembukaan Konferensi
Yerusalem di tahun 1935 jauh sebelum invasi perfilman Zionisme melanglang buana ke seluruh
dunia, khususnya Indonesia.

Bayangkan mereka sudah merancang bagaimana faham-faham Zionis akan disebarkan ke


berbagai manca negara melalui media apapun. Ketika kita tidur, ketika kita belajar, ketika kita
beraktifitas, mereka secara rapih memasang ancang-ancang bagaimana suatu saat kelak
masyarakat muslim akan jauh dari agamanya, dan bertekuk lutut didepan wajah mereka, tanpa
masyarakat sadari.

³  
 
   
         
  
   

  
 
       
           
       

    
      
  
 

         
 
   
    

  
     
    
 
    
           
          
 
   
!          
      "  
 
 
 
  
  #" $  %  &
% $
'        
      ´

Dan keniscayaan pidato itu sekarang ada di depan mata kita. Tidak usah jauh-jauh: Di Layar
Kaca Perfilman Indonesia.

Di depan mata anak-anak masyarakat kita yang mengantri tiket untuk menonton film Indonesia
dan Amerika tapi mensisipkan faham kabbalah, theosofi, hingga ateisme.

Semuanya itu dikemas halus dan rapih untuk tujuan secara menghibur, dan diam-diam menikam
Islam.

Yahudi memang memiliki banyak cara menjauhkan umat Islam dari agamanya. Kita dahulu
masih melihat film-film Indonesia mengobral cinta utopis belaka. Namun seiring trend dan laju
liberalisme yang pesat, tengoklah kita bisa menyaksikan deretan film-film yang menyudutkan
Islam tanpa melihat akar persoalan. Dan tak jarang cover film-film ini dipenuhi deretan award
dari kontes Film Internasional.

  ' $
Film ³3 Do¶a 3 Cinta´ (2008),
misalnya, film besutan Nurman Hakim ini meraih penghargaan Grand Prize of the International
Jury pada International Festival of Asian Cinema Vesoul, Perancis. Menurut Nurman Hakim dan
Nan Achnas, salah satu juri dari India yang trauma terhadap kejadian penyanderaan di Mumbai
mengucapkan terima kasih atas film tersebut karena mengingatkan pentingnya menjaga
kerukunan dan saling menghormati keyakinan yang berbeda.

Padahal film ini begitu benderang menyudutkan pesantren. Dikisahkan salah seorang pengajar di
pesantren melakukan homoseksual dengan santrinya. Tidak hanya itu, ada pula adegan ciuman
serta prilaku tak senonoh seorang santri saat mengintip tubuh anak perempuan sang kyai.

Terakhir, Nurman Hakim malah membesut Film terbarunya Khalifa (2010). Film ini menurut
pengamatan jelas tidak imbang menjelaskan konteks poligami dan seakan menggiring bahwa
wanita bercadar bersuamikan teroris. Padahal banyak pula wanita bercadar di Indonesia tidak
menyetujui tindakan terorisme.

v  
Walhasil media menyudutkan Islam melalui media layar lebar bisa
beragam cara. Invasi media liberalisme sangat terasa setelah Film Perempuan Berkalung Sorban
(PBS) melayangkan kontroversi. Akan tetapi, Hanung Bramantyo, sang sutradara, tak lama lagi
akan melahirkan film yang lebih heboh dari PBS. Sebuah film dengan gambar besar kalimat
tanda tanya dilanjutkan dengan ungkapan ³Masih Pentingkah Kita Berbeda´ akan rilis di
Bioskop-bioskop Indonesia mulai 7 April 2011 belum lama ini.

Dari tampilan gambar yang disajikan dalam trailernya, tampak sebuah gereja, masjid, dan
kelenteng bergantian hadir. Namun dibalik tampilan tempat ibadah berbagai agama itu ada
ucapan yang nantinya jelas-jelas akan faham bahwa mau dibawa ke mana arah film ini.
Simaklah, bait yang dilontarkan oleh seorang aktor tersebut berikut ini:

³%    
 
 
 

 
          
       


       

         ´

Menariknya, narasi itu dihembuskan berbarengan dengan adegan seorang wanita Kristiani
beribadah di gereja, pemuda ketika tengah mengaji, lalu disambut seorang ibu yang tengah
melaksanakan ritual di Klenteng. Ketika kita sambung adegan ini bersamaan dengan
kalimat:        

       
 
       , jelas apa pesan yang diinginkan oleh Hanung Bramantyo:
Kesatuan agama-agama. Sebuah mitos dari Kabbalah Yahudi untuk menciptakan kedamaian
dunia yang kini berubah nama beken seperti Pluralisme Agama, Multikulturalisme, hingga
Inklusivisme. Padahal gagasan PAGANIS (Pluralisme, Multikulturalisme, dan Inklusivisme) tak
lain adalah upaya melenyapkan agama-agama menuju satu agama saja, yang bernama Yahudi.
Ini termaktub dalam protocol of zion ke 14.

   

             
!       
      
     
 
   "  
 
   (
   "
         

Gagasan pluralisme jua menjadi trademark Film My
Name Is Khan. Film ini rilis tahun 2010 lalu di bawah perusahaan Yahudi Fox Search Light.
Menariknya kendati film ini dirilis oleh perusahaan Yahudi, banyak umat muslim terpukau atas
aksi Shahrukh Khan.

Film yang banyak dibintangi aktris papan atas India ini dikatakan sebagai sebuah film yang
patut diapresiasi oleh umat muslim karena menceritakan seorang mu¶min sejati yang
memperjuangkan nasibnya di Amerika. Perlakuan diskriminasi, marjinalisasi dan intimidasi
penduduk Amerika terhadap muslim pendatang pasca tragedi 11 September disebut-sebut
menginspirasi sang sutradara, Karan Johar, untuk membuka mata dunia.

Pertanyaannya adalah betulkah Film My Name Is Khan ditujukan untuk membangkitakan rasa
persaudaraan dan simpati terhadap umat muslim atau ini hanya sebuah alih-alih dari misi
sesungguhnya, yaitu doktrinasi pemahaman Pluralisme Agama? Apakah kita yakin, Fox Search
Light yang notabene adalah jaringan bisnis Zionis dalam dunia hiburan memiliki niyat tulus
untuk mensyi¶arkan agama Islam di muka bumi? Dan masuk logikakah Zionis yang selama ini
justru tertawa melihat umat Islam tersudut dalam tragedi 9/11, bangkit lalu menyatakan
penyesalannya dan menggantikan penyesalan itu dengan menelurkan film ini? Mari kita cermati
baik-baik.

Dalam Film berdurasi 160 menit itu, Khan kecil, digambarkan hidup dalam situasi penuh konflik
antara agama Islam dan Hindu. Saat itu ia mendengar sekelompok umat muslim tengah marah,
dengan mengatakan, ³musnahkan dan hancurkan«.´. Mendengar suara-suara penuh amarah itu,
Khan kecil selalu mengulangnya sampai tiba di rumah.

Ibu Khan sangat kaget dan melarang Khan berbicara seperti itu. Maka sang Bunda memberikan
pelajaran yang akan mengubah seluruh jalan hidup Khan selanjutnya, dengan mengatakan
kepada Khan kecil, ³Di dunia ini hanya ada dua perbedaan, yaitu kebaikan dan kejahatan. Baik,
manakala seseorang berbuat kebaikan, dan Jahat manakala seseorang berbuat kejahatan, jadi
tidak ada Muslim dan Hindu.´

Jika kita tidak cermat membacanya, Film ini bisa merusak aqidah dan mengantarkan penonton
pada kesimpulan bahwa standar kebaikan dan keburukan terletak pada nilai-nilai kemanusiaan.
Akhirnya dengung ini sekarang menggema di seantero dunia lewat ungkapan: Lebih baik
menjadi humanis daripada relijius tapi jahat. Lebih baik tak berTuhan, daripada beragama tapi
tak manusiawi.

Hamid Fahmi Zarkasy, dalam tulisannya Religius-Humanis, mengatakan bahwa di Barat


memang telah terjadi perubahan orientasi masyarakat dari teosentris (Tuhan sebagai pusat)
menjadi anthroposentris (manusia sebagai pusat). Dengan doktrin empirisisme, Tuhan dianggap
tidak riel, sedangkan manusia begitu riel dan kasat mata. Membela Tuhan, mementingkan
Tuhan, menghormati Tuhan atau mensucikan Tuhan dianggap sia-sia dan tidak ada gunanya.
Sebab dalil orang-orang Humanis persis dengan para pengusung PAGANIS: ³Tuhan tidak perlu
dibela karena sudah Maha Kuasa´.

Selain film Tanda Tanya, sebelumnya nuansa pluralisme


agama juga hadir dalam film ³Tiga Hati, Dua Dunia, Satu Cinta.´ Lewat Film yang disutradari
Benni Setiawan ini, dikisahkan jalinan cinta antara Rosid dan Delia terjadi kala mereka masih
menjadi mahasiswa di sebuah kampus. Ketertarikan antara Rosid dan Delia bermula dari
karakter yang dimiliki masing-masing. Rosid adalah pemuda nyentrik dengan rambut kribo yang
ingin menjadi penyair. Sedangkan Delia adalah pemudi manis dan cenderung pendiam yang
kepincut dengan sya¶ir-sya¶ir Rosid.

Namun cerita cinta keduanya terhalang jurang yang tidak bisa mereka lalui. Mereka berbeda
agama. Rosid berasal dari keluarga Arab-Betawi Muslim yang kuat memegang kuat tradisi. Dan
dalam diri Delia mengalir darah Manado yang Katolik. Cerita makin dramatis ketika orang tua
mereka tidak menyetujui jalinan cinta terlarang itu. Namun perbedaan itu tidak menghalangi
mereka untuk melanggengkan cinta di antara keduanya.

Jadi di film ini, bahwa agama memang sudah tidak lagi menjadi persoalan penting dan prioritas
dalam mengarungi bahtera rumah tangga seperti kata Madame Balavatsky, pengusung theosofi,
bisa jadi betul. Sebab Agama sudah tidak dianggap relevan sebagai sebuah prinsip, apalagi
prinsip cinta. Padahal Allah jelas memberi tuntunan bagi kita dalam memilih pasangan yang
baik.

Firman Allah SWT (yang artinya): ³           
        
   
  
   
          "  " 
 (dengan wanita-wanita mukmin)       
 
  
"    
   %   
   
$     
  
 )*  $ 
     * (perintah-perintahNya) 
        
   ´ (QS 2 Al-Baqarah: ayat 221)

ãc(%  )

Makar Zionis yang melalaikan umat Islam lewat film-film Hollywood, ternyata kini berada di
atas angin. Sebab saat ini, mereka tidak usah pusing-pusing mengobrak-abrik Islam lewat tangan
mereka sendiri. Saya jadi teringat ucapan Nirwan Syafrin, Ustadz muda lulusan Malaysia yang
kini aktif membendung faham liberalisme Islam di Indonesia. Ia pernah berujar, ³Dulu kita
masih kafir dengan dibiayai (beasiswa) mereka, sekarang kita kafir dengan biaya sendiri´. Saya
lantas termenung dan bergumam dalam hati, ³Bahkan kita dikafirkan masal dalam sebuah
gedung bioskop.´ Ironis, padahal Allah SWT mengingatkan semua manusia: ³    

   
       
      ´ (QS
17 Al-Isra¶; ayat 36)

v  ( * 
 

Eksodus film-film tak seronok juga patut dicermati. Kalau


anda melihat film-film asing, hampir di setiap penayangannya menyisipkan dua hal: Kalau tidak
adegan ranjang pasti ada kecupan. Dulu kita mengenal film Basic Instinct, di Indonesia muncul
Jakarta Undercover. Dulu ada film Scary Movie, di Indonesia Tukang Jamu Gendong berubah
menjadi hantu cabul. Di Amerika ada film Syaithan berpakaian rok mini. Di Indonesia?
Selayaknya tidak usah disebut namanya, hampir berjumlah ratusan. Selain judulnya
menggelikan, semakin menambah rasa malu di sebagai umat.

Dan sekiranya bisa dilihat dari mulai adegan cium saja, kini film Indonesia ikut-ikutan
mengadopsi. Sebut saja film 18+, Virgin, bahkan di film Cokelat Stroberi, laki-laki sesama laki-
laki berciuman. Dalihnya trademark.

Pertanyaannya kemudian adalah kenapa pornografi yang dipilih? Alasannya sangat jelas, karena
Zionis tahu betul efek pornografi memiliki tingkatan yang lebih mengkhawatirkan ketimbang
narkoba. Bayangkan dampak dari pornografi bisa menimbulkan visualisasi tayangan ke dalam
otak anak dalam jangka waktu sangat lama.

Otak adalah satu-satunya sistem yang kuat mengakomodir optimalisasi imaji anak yang melekat
dalam jangka cukup panjang dan mendalam. Ekses dari hal ini adalah bahwa otak manusia akan
berada di bawah kontrol yang mampu menghancurkan konsentrasi. Seorang pecandu pornografi
minimal mesti mengikuti program rehabilitasi minimal sekitar 18 bulan.

Dalam seminar mengenai dampak pornografi terhadap kerusakan


otak di Jakarta 2 Maret 2009, ahli bedah syaraf dari Rumah Sakit San Antonio, Amerika Serikat,
Donald L. Hilton Jr, MD pernah mengatakan bahwa adiksi (kecanduan) mengakibatkan otak
bagian tengah depan yang disebut Ventral Tegmental Area (VTA) secara fisik mengecil. Adiksi
apa kemudian yang mengkhawatirkan? Adiksi pornografi. Pornografi, lanjut Donald Hilton,
mampu menciptakan perubahan konstan pada neorotransmiter dan melemahkan fungsi kontrol.

Rupanya, ini yang membuat orang-orang yang sudah kecanduan tidak bisa lagi mengontrol
perilakunya. Kondisi itu, tidak terjadi secara cepat dalam waktu singkat namun melalui beberapa
tahap yaitu kecanduan dengan ditandai dengan tindakan sederetan tingkah impulsif, ekskalasi
kecanduan, desensitisasi dan akhirnya penurunan perilaku.

Apakah pornografi yang dimaksud hanya berlaku pada film full porno? Sayangnya tidak!
Gambaran, adegan, kisah dalam film-film bioskop Indonesia yang menampilkan atris-artis
berpakaian mini, komedi seksi, juga turut mempengaruhi fungsi mendalam dari otak manusia.
Menurut Kepala Pusat Inteligensia Departemen Kesehatan, Dr. Jofizal Jannis, menyatakan
bahwa sistem otak bersifat adaptif dan fleksibel. Inilah ketepatgunaan otak. Ia mampu menerima
info positif dan negatif yang pada akhirnya menjadi manifestasi pada pembentukan perilaku dan
karakteristik seseorang.

Kondisi inilah yang memang merupakan salah satu taktik Zionis. Mereka ingin bahwa remaja
Indonesia secara pemikiran sudah di bawah kontrol. Undermind control itulah yang menemukan
caranya melalui pornografi. Film berubah menjadi sebuah tayangan kepada transfer ideologi.
Dari sobekan tikek menjadi inflitrasi. Pornografi bukan sekedar hiburan, pornografi adalah nilai.

Makanya itu tak heran di antara kita melihat bagaimana LSM-LSM asing sangat bergelora jika
sudah bicara memberi dukungan terhadap invasi film porno dengan dalih Hak Asasi Manusia
dan kebebasan berekspresi.

v   #+,v  

Berkaca dari pada itu, minimal ada dua film bergenre mesum-ideologis yang mewarnai hingar
bingar dalam pentas perfilman Indonesia modern. Pertama sebuah film berjudul ³Mereka Bilang
Saya Monyet´. Film ini, film posmo. Berangkat dari Novel karangan Djenar Maesa Ayu, aktris
kondang yang tak lain kerap menelurkan kisah beraroma feminisme dan seronok. Novel ini
ingin mendebat arti moralitas sesungguhnya.

Karenanya, alih-alih ingin mengangkat hak perempuan, film ini justru banyak menampilkan
adegan tidak senonoh. Sekalipun demikian, entah alasan apa yang membuat Lembaga Sensor
Film justru meloloskan film ini, bahkan film yang dirilis Desember 2007 tersebut menerima
tujuh nominasi sekaligus pada ajang Festival Film Indonesia 2008. Empat di antaranya berhasil
memenangkan berbagai kategori yang ditawarkan, termasuk Aktris Terbaik untuk Titi Sjuman.

Selain itu, film dengan bungkus feminisme namun


bermaterikan pornografi juga diangkat lewat Film ³Perempuan Punya Cerita´. Sebenarnya film
yang diproduksi Kalyana Shira ini merupakan kumpulan empat film pendek tentang perempuan
Indonesia dari segala umur dan kehidupan. Tentunya, dengan mengambil angle sebuah kisah
penindasan perempuan, film ini menggiurkan bagi aktifis feminis untuk mengangkat hak-hak
perempuan.

Film berjudul Cerita Dari Jogjakarta, misalnya. Alih-alih memberikan pelajaran bagi remaja,
film ini justru mempertontonkan seorang siswi diperebutkan dan dihamili oleh empat remaja
sekaligus. Dan menariknya untuk menentukan siapa yang harus bertanggung jawab, nasib sang
perempuan dipertaruhkan hanya lewat sebuah undian. Na¶udzubillahi min dzaalik.

Kalau sudah begini, logikanya ia hanya menampilkan fakta sekaligus menampilkan blunder.
Dalam Islam, fakta porno, tidak boleh ditampilkan, apalagi mau dijadikan keteladanan.

c  % # % 

Pendanaan film-film seksualitas sebenarnya tidak dilakukan oleh bangsa sendiri. Minimal ada
back up dari dana asing untuk menyuburkan film-film tersebut. Kasus ini terjadi pada pegelaran
Q! Film Festival, sebuah tragedi bernama festival film homo yang pertama kali terjadi di Negara
mayoritas muslim ini. Terakhir, acara ini dilaksanakan pada tanggal 24 September 2010.

Bahkan, jika anda masuk ke website Q Film Festival http://www.q-munity.org, anda akan
langsung terkejut karena festival ini rupanya sudah berlangsung sembilan tahun di Jakarta.
Sampai-sampai menurut salah satu harian, Festival ini menjadi bagian dari bianglala kehidupan
urban Jakarta sekaligus sebagai aset penting agenda kesenian yang seharusnya menjadi
kebanggaan Ibu Kota.
Acara Q! Film Festival pada tahun 2010 yang terlaksana di Goethe Institut Jakarta, sempat
dikecam oleh Front Pembela Islam (FPI). FPI mengatakan bahwa penyelenggaraan festival ini
meresahkan masyarakat yang notabene mayoritas muslim. FPI kemudian melayangkan gugatan
dan hendak membubarkan pergelaran mesum tersebut jika tidak dihentikan.

Namun rupanya, meski mendapat protes keras dan ancaman pembubaran, panitia acara festival
film Q tetap tak bergeming. Mereka bersikeras melanjutkan kegiatan sesuai jadwal kendati
kecaman datang dari berbagai fihak. Bahkan, Komnas Perempuan melalui rilisnya menyatakan
bahwa tudingan FPI justru salah alamat.

³Acara ini tidak ada hubungannya dengan moralitas. Demi kepentingan kehidupan bernegara
yang menjujung tinggi hukum, HAM, dan Demokrasi, Komnas Perempuan menghimbau agar
setiap fihak membuka ruang dialog yang santun dan beradab´ ungkap mereka.
Uniknya, dukungan terhadap acara tersebut tidak saja menjadi monopoli Komnas Perempuan.
Tercatat sederetan lembaga pembela hak-hak atas nama perempuan dan kebebasan berekspresi
bersuara lantang ikut melontarkan pernyataan sikap. Mereka menekankan kalau Q! Film Festival
merupakan festival seni yang menyajikan informasi dan karya seni tentang fenomena
keberagaman manusia.

Jadi tidak ada hubungannya dengan moralitas. Kesamaan visi dan tujuan itulah yang
mengantarkan mereka merapatkan barisan membela Festival Film Thoghut itu dalam wadah
bernama Q-Community. Dari sekian Lembaga-lembaga itu tercatat nama-nama seperti Goethe-
Institut, Centre Culturel Francais, Erasmus Huis, Dewan Kesenian Jakarta (Kineforum),
Subtitles, KONTRAS, Arus Pelangi, Gaya Nusantara, Komnas HAM, Komnas Perempuan,
Jurnal Perempuan, Kartini Asia Network, Perempuan Mahardika, Institut Ungu, Ardhanary
Institute, Institut Pelangi Perempuan, GWL±INA, Institute for Defense Security and Peace
Studies (IDSPS), Ratna Sarumpaet Crisis Center, Human Rights of New York dan Berlin Film
Festival.

Dari sini kita bisa melihat sederetan lembaga asing


dalam mendukung pelaksanaan Q! Film Festival. Kiprah institusi tersebut menjadi motor
penggerak acara berskala internasional ini, baik dalam bidang pendanaan, promosi, sampai
pembelaan. Sutradara Festival, John Badalu, sendiri mengakui kalau pendanaan festival film ini
berasal dari kelompok-kelompok asing.

´Pendanaan festival film ini berasal dari kelompok-kelompok asing. Kami memutar film di
pusat-pusat asing. Kelompok radikal tidak akan berani menyerang kita. Jika mereka
melakukannya, ini sama saja menyerang negara asing,´ ujarnya.

Peran LSM-LSM atau Yayasan Internasional untuk menggalang karya-karya Film anak bangsa
memang bukan barang baru. Film Perempuan Berkalung Sorban yang dirilis Januari 2009 adalah
satu kasus tertentu. Film yang hadir lewat garapan sutradara Hanung Bramantyo ini bahkan
sudah didanai oleh Ford Foundation sejak masih berwujud novel.

Ford Foundation memang terkenal gencar merekrut anak-anak muda kreatif Indonesia. Para
sineas muda yang ingin mengangkat film-film seputar seksualitas, keseteraan gender, kearifan
lokal, dan lain sebagainya akan diberikan suntikan dana segar dalam proses pembuatannya.

Namun, kendati tetap berkilah mereka mengaku sebagai organisasi Nirlaba, namun Ford
Foundation memliki aset yang cukup menggiurkan. Menurut Wikipedia, cadangan devisa
lembaga yang berpusat di New York ini mencapai US$ 13.7 dan US$ 530 juta di antaranya
dalam bentuk hibah. Dari sinilah kemudian mereka menyebarkan misinya melalui proyek film-
film sarat ideologis kufar ke berbagai negara.

Selain membiayai Film PBS, Perempuan Punya Cerita, Lembaga mantel Zionis ini juga
membiayai film pembelaan terhadap hak waria berjudul Working Girls (Perempuan Pencari
Nafkah). Dalam salah satu segmen dalam film ini berjudul Ulfie Pulang Kampung. Bercerita
tentang perjalanan seorang waria dalam dua kehidupan, kisah ini ingin membawa penonton
melihat waria dan pengidap AIDS dari perspektif berbeda. Karena itu tak heran, bukan
mengajak sang waria untuk bertaubat, film arahan Daud Sumolang dan Nitta Nazyra C. Noer ini
malah mempopulerkan penggunaan kondom agar para waria terhindar dari penyakit AIDS.

Ford Foundation sebenarnya tidak bekerja sendiri di Indonesia, dalam mengkampanyekan isu
feminisme, kesetaraan gender, hingga homoseksualitas. Tercatat organisasi yang kini dipimpin
bekerjasama dengan Human Rights Watch New York.

Human Rights Watch of New York sendiri adalah salah satu lembaga humanisme sekular yang
berpusat di New York. Salah satu rekam jejaknya terlihat saat mereka demikian gigih dalam
membela pergelaran Q! Film Festival di Indonesia, termasuk juga ketika membela Ahmadiyah
baru-baru ini.

4
  


Dengan gejala ini, umat muslim harus waspada. Konspirasi kaum Zionis dalam dunia perfilman
mesti disikapi dengan bagaimana setiap umat membentengi keluarga dengan aqidah dan tauhid
yang lurus. Terbukti film memakai label Islam pun tidak juga bertujuan untuk syi¶ar da¶wah.

Tentu ini bukan berarti kita tidak boleh berkreasi. Islam menghargai kreativitas manusia, namun
suatu kewajiban bersama juga jangan pernah lupa bahwa ada qa¶idah-qa¶idah syar¶i yang harus
menjadi dasar setiap manusia menelurkan gagasannya. Terlebih saat ini sistem Dajjal sedang
berjalan dengan berdiri membangun kekuatannya melalui invasi perfilman dunia.

Semoga kaum muslimin selalu diberikan hidayah dan penerangan oleh Allah SWT untuk bisa
mengendus misi mereka, walau mereka berdalih: ³Ini film Islam kok, kebebasan berekspresi
kok, demi toleransi umat beragama kok.´

Setelah kita mengetahui, selayaknya mohon ampunan yang khusyu¶: Ya Allah lindungilah
keluarga kami dari fitnah akhir zaman. Dimana sesuatu yang baik dikatakan buruk, dan
keburukan dilapisi dengan dalih kebenaran. Ya Rabb, hanya kepadaMulah kami bergantung.
Hanya kepadaMulah kami memohon ampun dan pertolongan. ² Wallahu a¶lam bisshawab.
² (m3©201104)

Berikut ditampilkan rekaman video yang mengungkap undercontrol mind yang begitu hebatnya
mempengaruhi anak - anak dan adik - adik kita yang tak terasa telah menyaksikan tayangan
porno dalam bawah sadar mereka. Sungguh ini langkah Zionis yang mulus tak terbayangkan
oleh kita. Untuk itu, kita perlu jeli mengawasi mereka. Dalam tayangan tersebut, tampak kartun
Walt Disney menayangkan aurat dan gambar porno.
?

Anda mungkin juga menyukai