Anda di halaman 1dari 4

 

Pada pasien krisis hipertensi terjadi peningkatan tekanan darah yang mencolok tinggi, umumnya tekanan
darah sistolik lebih dari 220 mmHg dan atau tekanan darah diastolik lebih dari 120-130 mmHg, dan
peningkatannya terjadi dalam waktu yang relatif pendek. Selain itu, dalam penatalaksanaan, yang lebih
penting daripada tingginya tekanan darah adalah adanya tanda kerusakan akut organ target.
Kegawatan Hipertensi dan Hipertensi Mendesak
Ditinjau dari segi prognosis dan penatalaksanaan krisis hipertensi dapat dibagi menjadi kegawatan
hipertensi (hypertensive emergencies) dan hipertensi mendesak (hypertensive urgencies).
Kegawatan hipertensi (hypertensive emergencies) adalah hipertensi berat yang disertai disfungsi akut
organ target, seperti iskemia koroner, strok, perdarahan intraserebral, edema paru, atau gagal ginjal akut,
seperti terlihat pada Tabel 2. Kegawatan hipertensi memerlukan penurunan tekanan darah yang segera,
dalam beberapa jam, dengan obat antihipertensi secara intravena. Hipertensi mendesak (hypertensive
urgencies) adalah hipertensi berat yang tidak disertai tanda disfungsi organ target. Pada hipertensi
mendesak penurunan tekanan darah dapat dilakukan secara lebih perlahan dalam beberapa jam atau hari,
dengan obat antihipertensi secara per oral, atau kadang-kadang parenteral.
Patofisiologi
Penyebab krisis hipertensi masih belum jelas. Diduga peninggian mendadak resistensi vaskuler sistemik,
yang dapat terjadi pada pasien yang tidak patuh minum obat antihipertensi, meningkatkan kadar zat
vasokonstriktor seperti norefinefrin, angiotensin II, dan hormon antinatriuretik. Sebagai akibat peninggian
tekanan darah yang mencolok terjadi nekrosis fibrinoid arteriol yang akan menyebabkan kerusakan
endotel, pengendapan platelet dan fibrin, serta kehilangan fungsi autoregulasi, yang akhirnya
menimbulkan iskemia organ target. Iskemia akan merangsang pengeluaran zat vasoaktif lebih lanjut
sehingga terjadi proses sirkulus visiosa vasokonstriksi dan proliferasi miointima. Jika tidak dikendalikan
akan terjadi ekstravasasi pada organ target dan atau terjadi infark.

II. DEFENISI DAN KLASIFIKASI KRISIS HIPERTENSI (10,12,13,15)

Secara praktis krisis hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan perioritas pengobatan, sebagai berikut

1. Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD Diastolik > 120 mmHg, disertai kerusakan berat
dari organ sasaran yag disebabkan oleh satu atau lebih penyakit/kondisi akut (tabel I). Keterlambatan
pengobatan akanmenyebebabkan timbulnya sequele atau kematian. TD harus diturunkan sampai batas
tertentu dalam satu sampai beberapa jam. Penderita perlu dirawat di ruangan intensive care unit atau
(ICU).

2. Hipertensi urgensi (mendesak), TD diastolik > 120 mmHg dan dengan tanpa kerusakan/komplikasi
minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan dalam 24 jam sampai batas yang aman memerlukan
terapi parenteral. (tabel II).

Dikenal beberapa istilah berkaitan dengan krisis hipertensi antara lain :

1. Hipertensi refrakter : respons pengobatan tidak memuaskan dan TD > 200/110 mmHg, walaupun
telah diberikan pengobatan yang efektif (triple drug) pada penderita dan kepatuhan pasien.

2. Hipetensi akselerasi : TD meningkat (Diastolik) > 120 mmHg disertai dengan kelainan funduskopi
KW III. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke fase maligna.

3. Hipertensi maligna : penderita hipertensi akselerasi dengan TD Diastolik > 120 – 130 mmHg dan
kelainan funduskopi KW IV disertai papiledema, peniggian tekanan intrakranial kerusakan yang cepat
dari vaskular, gagal ginjal akut, ataupun kematian bila penderita tidak mendapat pengobatan. Hipertensi
maligna, biasanya pada penderita dengan riwayat hipertensi essensial ataupun sekunder dan jarang terjadi
pada penderita yang sebelumnya mempunyai TD normal.

4. Hipertensi ensefalopati : kenaikan TD dengan tiba-tiba disertai dengan keluhan sakit kepala yang
sangat, perubahan kesadaran dan keadaan ini dapat menjadi reversible bila TD diturunkan.

Tabel I : Hipertensi emergensi ( darurat )

TD Diastolik > 120 mmHg disertai dengan satu atau lebih kondisi akut.

 ™ Pendarahan intra pranial,


 ombotik CVA atau pendarahan subarakhnoid.
 ™ Hipertensi ensefalopati.
 ™ Aorta diseksi akut.
 ™ Oedema paru akut.
 ™ Eklampsi.
 ™ Feokhromositoma.
 ™ Funduskopi KW III atau IV.
 ™ Insufisiensi ginjal akut.
 ™ Infark miokard akut, angina unstable.
 ™ Sindroma kelebihan Katekholamin yang lain :
- Sindrome withdrawal obat anti hipertensi.
- Cedera kepala.
- Luka bakar.
- Interaksi obat.

Tabel II : Hipertensi urgensi ( mendesak )

 ™ Hipertensi berat dengan TD Diastolik > 120 mmHg, tetapi dengan minimal atau tanpa
kerusakan organ sasaran dan tidak dijumpai keadaan pada tabel I.
 ™ KW I atau II pada funduskopi.
 ™ Hipertensi post operasi.
 ™ Hipertensi tak terkontrol / tanpa diobati pada perioperatif.

Tingginya TD yang dapat menyebabkan kerusakan organ sasaran tidak hany dari tingkatan TD aktual,
tapi juga dari tingginya TD sebelumnya, cepatnya kenaikan TD, bangsa, seks dan usia penderita.
Penderita hipertensi kronis dapat mentolelir kenaikan TD yang lebih tinggi dibanding dengan
normotensi, sebagai contoh : pada penderita hipertensi kronis, jarang terjadi hipertensi ensefalopati,
gangguan ginjal dan kardiovaskular dan kejadian ini dijumpai bila TD Diastolik > 140 mmHg.
Sebaliknya pada penderita normotensi ataupun pada penderita hipertensi baru dengan penghentian obat
yang tiba-tiba, dapat timbul hipertensi ensefalopati demikian juga pada eklampsi, hipertensi ensefalopati
dapat timbul walaupun TD 160/110 mmHg.
. PATOFISIOLOGI ( 10, 11 )

Ada 2 teori yang dianggap dapat menerangkan timbulnya hipertensi

ensefalopati yaitu :

1. Teori “Over Autoregulation”

Dengan kenaikan TD menyebabkan spasme yang berat pada arteriole mengurangi aliran darah ke otak
(CDF) dan iskemi. Meningginya permeabilitas kapiler akan menyebabkan pecahnya dinding kapiler,
udema di otak, petekhie, pendarahan dan mikro infark.

2. Teori “Breakthrough of Cerebral Autoregulation” bila TD mencapai threshold

tertentu dapat mengakibtakan transudasi, mikoinfark dan oedema otak, petekhie, hemorhages, fibrinoid
dari arteriole.

Aliran darah ke otak pada penderita hipertensi kronis tidak mengalami perubahan bila Mean Arterial
Pressure ( MAP ) 120 mmHg – 160 mmHg, sedangkan pada penderita hipertensi baru dengan MAP
diantara 60 – 120 mmHg. Pada keadaan hiper kapnia, autoregulasi menjadi lebih sempit dengan batas
tertinggi 125 mmHg, sehingga perubahan yang sedikit saja dari TD menyeb abkan asidosis otak akan
mempercepat timbulnya oedema otak.

GANGGUAN HEMODINAMIK PADA KRISIS HIPERTENSI ( 10 )

Tekanan darah ditentukan oleh 2 faktor utama yaitu : Cardiac output ( C.O ) dan systemic vasculer
resistance ( SVR ). Cardiac output ditentukan oleh Stroke Volume ( SV ) dan Hearth Rate ( HR ).
Resistensi perifer terjadi akibat peripheral vascular resistensi ( PVRB) dan renal vascular resistence
( RVR ).

TD = CO >< SVR

SV HR PVR RVR

Pada HT primer, CO berkurang 25% dan VR bertambah 20 – 25%. Pada hipertensi maligna, SVR
bertambah akibat sekunder dari perubahan struktur hipertensi kronis dan perubahan perubahan
vasekonstriksi akut.

Secara logika disukai obat anti hipertensi yang dapat memperbaiki gangguan hemodinamik pada krisis
hipertensi. Obat yang mengurangi SVR tanpa mengurangi CO lebih disukai oleh sebagian besar
penderita krisis hipertensi dengan kekcualian bagi disecting aneurysma aorta. Obat yang menambah SVR
dan mengurangi CO seperti beta blocker tanpa intrinsic sympathomimetic activity ( ISA ) haruslah
dihindari karena akan menyebabkan eksaserbasi gangguan hemodinanamik seperti payah jantung,
kongestive dan oedem paru.

Status volume cairan ( 6, 10 )

Umumnya kebanyakan penderita krisis hipertensi mempunyai intravaskuler volume depletion, oleh
karena itu jangan diberi terapi diuretika, kecuali bila secara klinis dibuktikan adanya volume over load
seperti payah jantung kongestif atau oedema paru. Perlu diketahui bahwa pembatasan cairan dan garam (
natrium ) serta diretika pada hipertensi maligna akan menyebabkan bertambahnya volume depletion
sehingga bukannya menurunkan TD malah meningkatkan TD. Pemberian diuretika dapat dilakukan bila
setelah diberikan obat anti hipertensi non diuretikal beberapa hari dan telah terjadi reflex volume
retention.

Gejala klinis
Hypertensive emergencies umumnya terjadi pada penderita yang telah lama menderita hipertensi tak
terkontrol. Namun berapakah batasan tekanan darah yang dapat menimbulkan kerusakan organ, sangat
individual sifatnya. Demikian juga dengan gejala yang dirasakan, dapat berbeda satu sama lain. Gejala
tersering adalah berupa nyeri dada, dispnea, dan gejala defisit neurologis. 1
Jika penderita krisis hipertensi berkunjung ke dokter, ia akan mendapat pemeriksaan menyeluruh
khususnya terhadap organ-organ yang berpotensi menjadi organ target komplikasi. 2

1. Jantung: pemeriksaan edem paru, bising jantung, pemeriksaan elektrokardiografi


2. Neurologis: sakit kepala hebat, penurunan kesadaran dan delirium, pemeriksaan CT scan
3. Mata: pemeriksaan retina dan papil saraf optik
4. Ginjal: bruit renal, laboratorium fungsi ginjal

Jika ditemukan kelainan pada satu atau beberapa organ, maka kasusnya dapat
digolongkan hypertensive emergency  yang artinya pasien harus dirawat di rumah sakit (ICU). 2
 
Tindakan terhadap hypertensive urgency
Penderita hypertensive urgency tidak perlu dirawat inap, tetapi tetap harus dipantau bagaimana ia
meminum obatnya. Target tekanan darah adalah sekitar 160/110 mmHg. Yang terpenting adalah jangan
sampai tekanan arterial rata-rata (MAP, mean arterial pressure) turun lebih dari 25% dalam 24 jam.
Terapi biasa diberikan per oral, dimulai dengan dosis rendah. Kadang-kadang diperlukan dosis
inkremental, sampai akhirnya tercapai dosis yang optimal. Obat-obatan yang digunakan: ACE inhibitors
(captopril),nicardipine, labetalol, clonidine, dan nifedipine.2
 
Tindakan terhadap hypertensive emergency
Penderita hypertensive emergency  harus ditangani segera untuk meminimalisasi sekuelae. Terapi
hendaknya disesuaikan karena respons tiap individu berbeda-beda. Prinsip penurunan tekanan darah
harus sesegera namun bersyarat.1,2 Vaidya dan Ouellette (2007) menggunakan patokan penurunan MAP
10% pada jam pertama, diikuti dengan 15% pada 2-3 jam berikutnya. Adapun syarat penurunan tekanan
darah adalah tidak boleh diturunkan terlalu drastis agar tidak terjadi komplikasi hipoperfusi. Obat-obatan
yang digunakan di sini adalah parenteral, antara
lain: enalaprilat, esmolol, fenoldopram, labetalol,nicardipine, nitroglycerin, Na
nitroprusside, clevidipine, nifedipine, danhydralazine.2

Anda mungkin juga menyukai