Anda di halaman 1dari 17

Senin, 19 Januari 2009

KOOPERATIF LEARNING

A. Latar Belakang

Dalam dunia pendidikan, paradigma lama mengenai proses belajar


mengajar bersumber pada teori (atau mungkin lebih tepatnya, asumsi) tabula
rasa Jhon Locke. Locke mengatakan bahwa pikiran seorang anak seperti kertas
kosong yang putih bersih dan siap menunggu coretan-coretan gurunya. Dengan
kata lain, otak seorang anak ibarat botol kosong yang siap di isi dengan segala
ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan sang guru. Berdasarkan asumsi ini dan
asumsi yang sejenisnya, banyak guru melaksanakan kegiatan belajar mengajar
seperti memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, mengisi botol kosong
dengan pengetahuan, mengotak-ngotakkan siswa, dan memacu siswa dalam
kompetisi bagai ayam aduan.

Tuntutan dalam dunia pendidikan sudah banyak berubah. Kita tidak bisa
lagi mempertahankan paradigma lama tersebut. Teori, penelitian, dan
pelaksanaan kegiatan belajar mengajar membuktikan bahwa para guru sudah
harus mengubah paradigma pengajaran. Pendidik perlu menyusun dan
melaksanakan kegiatan belajar mengajar berdasarkan beberapa pokok
pemikiran antara lain pengetahuan ditemukan, dan dikembangkan oleh siswa,
siswa membangun pengetahuan secara aktif, pengajar perlu berusaha
mengembangkan kompetensi dan kemampuan siswa, dan pendidikan adalah
interaksi pribadi di antara para siswa dan interaksi antara guru dan siswa.

Banyak guru menyatakan bahwa mereka telah melaksanakan metode


belajar kelompok. Mereka telah membagi para siswa dalam kelompok dan
memberikan tugas kelompok. Namun, guru-guru ini mengeluh bahwa hasil
kegiatan-kegiatan ini tidak seperti yang mereka harapkan. Siswa bukannya
memanfaatkan kegiatan tersebut dengan baik untuk meningkatkan pengetahuan
dan kemampuan mereka, malah memboroskan waktu dengan bermain,
bergurau, dan sebagainya. Para siswa pun mengeluh tidak bisa bekerja sama
dengan efektif dalam kelompok. Siswa-siswa yang rajin dan pandai merasa
pembagian tugas dan penilaian kurang adil, sedangkan siswa yang kurang rajin
dan pandai merasa minder bekerja sama dengan teman-temannya yang lebih
mampu.

Tidak semua kerja kelompok bisa dianggap sebagai belajar dengan


metode cooperative learning. Keinginan baik para guru untuk mengaktifkan
siswa perlu dihargai. Namun, para guru juga perlu dibekali dengan latar
belakang, landasan pemikiran, dan penerapan metode pembelajaran
cooperative learning untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal.

1
Berdasarkan hal tersebut di atas , maka penyusun akan memaparkan
dalam makalah ini tentang pembelajaran cooperative learning.

B. Model Pembelajaran Cooperative Learning

Falsafah yang mendasari model pembelajaran cooperative learning adalah


dalam pendidikan adalah falsafah homoni socius. Berlawanan dengan teori
Darwin, falsafah ini menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Kerja
sama merupakan kebutuhan yang sangat penting artinya bagi kelangsungan
hidup. Tanpa kerja sama, tidak akan ada individu, keluarga, organisasi, atau
sekolah. Tanpa kerjasama, makalah ini tidak akan bisa di susun. Tanpa kerja
sama, kehidupan ini sudah punah.

Ironisnya, model pembelajaran cooverative learning belum banyak diterapkan


dalam pendidikan walaupun orang Indonesia sangat membanggakan sifat
gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat. Kebanyakan pengajar enggan
menerapkan sistem kerja sama di dalam kelas karena beberapa alasan. Alasan
yang utama adalah kekawatiran bahwa akan terjadi kekacauan di kelas dan
siswa tidak belajar jika mereka ditempatkan dalam grup. Selain itu, banyak orang
mempunyai kesan negatif mengenai kegiatan kerja sama atau belajar dalam
kelompok. Banyak siswa juga tidak senang disuruh bekerja sama dengan yang
lain. Siswa yang tekun merasa harus bekerja melebihi siswa yang lain dalam
grup mereka, sedangkan siswa yang kurang mampu merasa minder ditempatkan
dalam satu grup dengan siswa yang lebih pandai. Siswa yang tekun juga merasa
temannya yang kurang mampu hanya menumpang saja pada hasil jerih payah
mereka.

Model pembelajaran cooperative learning tidak sama dengan sekadar belajar


dalam kelompok. Ada unsur-unsur dasar pembelajaran cooperative learning
yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-
asalan. Pelaksanaan prosedur model cooperative learning dengan benar akan
memungkinkan pendidik mengelola kelas dengan lebih efektif.

1. Unsur-Unsur Model Pembelajaran Cooperative Learning

Roger dan David Johnson mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa
di anggap cooperative learning. Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur
model pembelajaran cooperative learning harus di terapkan, yaitu saling
Ketergantungan Positif, tanggung Jawab perseorangan, tatap muka, komunikasi
antar anggota, dan evaluasi proses kelompok.

a. Saling Ketergantungan Positif

Keberhasilan suatu karya sangat bergantung pada usaha setiap anggotanya.


Wartawan mencari dan menulis berita, redaksi, dan tukang ketik mengetik tulisan
tersebut.Rantai kerja sama ini berlanjut terus sampai dengan mereka yang di

2
bagian percetakan dan loper surat kabar.Semua orang ini bekerja demi tercapai
satu tujuan yang sama,yaitu terbitnya sebuah surat kabar dan sampainya surat
kabar tersebut ditangan pembaca.

Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif,pengajar perlu ,menyusun tugas


sedemikian rupa sehingga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan
tugasnya sendiri agar yang lain bisa mencapai tujuan mereka.Dalam metode
Jigsaw, Aronson menyarankan jumlah anggota kelompok dibatasi sampai
dengan empat orang saja dan keempat anggota ini di tugaskan membaca bagian
yang berlainan. Keempat anggota ini lalu berkumpul dan bertukar imformasi.
Selanjutnya, pengajar akan mengevaluasi mereka mengenai seluruh bagian.
Dengan cara ini, mau tidak mau setiap anggota merasa bertanggung jawab
untuk menyelesaikan tugasnya agar yang lain bisa berhasil.

b. Tanggung Jawab Perseorangan

Unsur ini merupakan akibat langsung dari unsur yang pertama. Jika tugas dan
pola penilaian di buat menurut prosedur model pembelajaran cooprative learning,
setiap siswa akan merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik.
Kunci keberhasilan metode kerja kelompok adalah persiapan guru dalam
penyusunan tugasnya.

Berbeda dengan bila guru yang masuk ke kelas dan menugaskan siswanya
untuk saling berbagi tanpa persiapan, pelajar yang efektif dalam model
pembelajaran cooperative learning membuat persiapan dan menyusun tugas
sedemikian rupa sehingga masing-masing anggota kelompok harus
melaksanakan tanggung jawabnya sendiri agar tugas selanjutnya dalam
kelompok bisa melaksanakan. Dalam teknik Jigsaw yang di kembangkan
Aronson misalnya, bahan bacaan dibagi menjadi empat bagian dan masing-
masing siswa mendapat dan membaca satu bagian. Dengan cara demikian,
siswa yang tidak melaksanakan tugasnya akan di ketahui dengan jelas dan
mudah. Rekan-rekan dalam satu kelompok akan menuntutnya untuk melaksakan
tugas agar tidak menghambat yang lainnya.

c. Tatap Muka

Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan,dan


mengisi kekurangan masing-masing.Setiap anggota kelompok mempunyai latar
belakang pengalaman, keluarga, dan sosial-ekonomi yang berbeda satu dengan
yang lainnya. Perbedaan ini akan menjadi modal utama dalam proses saling
memperkaya antar anggota kelompok.Sinergi tidak bisa di dapatkan begitu saja
dalam sekejap, tetapi merupakan proses kelompok yang cukup panjang. Para
anggota kelompok perlu di beri kesempatan untuk saling mengenal dan
menerima satu sama lain dalam kegiatan tatap muka dan intraksi pribadi.

d. Komunikasi Antar Anggota

3
Unsur ini juga menghendaki agar para pembelajar di bekali dengan berbagai
keterampilan berkomunikasi. Sebelum menugaskan siswa dalam
kelompok,pengajar perlu mengajarkan cara-cara berkomunikasi. Tidak setiap
siswa mempunyai keahlian mendengarkan dan berbicara. Keberhasilan suatu
kelompok juga bergantung pada kesediaan para anggota untuk saling
mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat mereka.

Ada kalanya pembelajar perlu diberi tahu secara eksplisit mengenai cara-cara
berkomunikasi secara efektif seperti bagaimana caranya menyanggah pendapat
orang lain tanpa harus menyinggung perasaan orang tersebut. Masih banyak
orang yang kurang sensitif dan kurang bijak sana dalam menyatakan pendapat
mereka.Tidak ada salahnya mengajar siswa beberapa ungkapan positif atau
sanggahan dalam ungkapan yang lebih halus.

Keterampilan berkomunikasi dalam kelompok ini juga merupakan proses


panjang. Pembelajar tidak bisa di harapkan langsung menjadi komunikator yang
andal dalam waktu sekejap. Namun, proses ini merupakan proses yang sangat
bermanfaat dan perlu di tempuh untuk memperkaya pengalaman belajar dan
pembinaan perkembangan mental dan emosional para siswa.

e. Evaluasi Proses Kelompok

Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengepaluasi


proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar selanjutnya bisa
bekerja sama dengan lebih efektif.Waktu evaluasi ini tidak perlu di adakan setiap
kali ada kerja kelompok,tetapi bisa di adakan selang beberapa waktu setelah
beberapa kali pembelajar terlibat dalam kegiatan pembelajaran cooperatif
learning.

2. Pengelolaan Kelas Cooperative Learning

Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kelas model
cooperative learning, yakni pengelompokan, semangat cooperative learning, dan
penataan ruang kelas.

a. Pengelompokan

Praktik-praktik sesat dalam pengelompokan di dalam ataupun antar kelas patut


di sesalkan. Demi kemudahan,guru ataupun pimpinan sekolah sering membagi
siswa dalam kelompok-kelompok homogen berdasarkan prestasi belajar mereka.
Praktik ini di kenal dengan ability grouping dan telah banyak di soroti oleh para
pakar dan peneliti dewasa ini

Ability grouping adalah praktik memasukkan beberapa siswa dengan


kemampuan yang setara dalam kelompok yang sama. Praktik ini bisa di lakukan
pada pembagian kelompok di dalam satu kelas atau pembagian kelas dalam

4
satu sekolah. Jadi, di dalam satu kelas ada kelompok siswa pandai dan
kelompok lemah. Atau ada kelas-kelas unggulan dan ada pula kelas –kelas
berbelakang di dalam satu sekolah. Praktik-praktik ini malah sering menjadi
kebiasaan yang di banggakan di beberapa sekolah unggulan di Indonesia
ataupun di luar negeri yang ingin menonjolkan kelas khusus mereka yang terdiri
dari anak-anak cerdas dan berbakat.

Di balik segala manfaatnya, pengelompokan homogen ternyata mempunyai


banyak dampak negatif. Para pakar dan peneliti pendidikan mulai menyoroti
praktik ini dalam dekade terakhir dan menyarankan agar praktik ini tidak di
teruskan lagi karena dampak negatifnya. Yang pertama-tama, praktik ini jelas
bertentangan denga misi pendidikan. Pengelompokan berdasarkan kemampuan
sama dengan pemberikan cap. atau label pada tiap-tiap peserta didik. Label ini
bisa menjadi vonis yang di berikan terlalu dini, terutama bagi peserta didik yang
di masukkan dalam kelompok yang kurang mampu. Padahal, penilaian guru
pada saat membuat keputusan dalam pengelompokan belum tentu benar dan
tidak mingkin bisa mencerminkan kemampuan siswa yang sesungguhnya dan
menyeluruh. Label ini juga bisa menjadi self-fullfilling prophecy (ramalan yang
menjadi kenyataan).Karena di masukkan dalam kelompok yang lemah,seorang
siswa bisa merasa tidak mampuh, patah semangat, dan tidak mau berusa lagi.

Yang kedua, pakar pendidikan John Dewey mengatakan bahwa sekolah


seharusnya menjadi miniatur masyarakat.Oleh karena itu,sekolah atau ruang
kelas sejauh mungkin perlu mencerminkan keanekaragaman dalam masyarakat.
Dalam masyasrakat, berbagai macam manusia dengan tingkatan kemampuan
dan keterbatasan yang berbeda-beda saling berinteraksi, bersaing, dan bekerja
sama. Selama masa pendidikan sekolah, seorang peserta didik perlu di
persiapkan untuk menghadapi kenyataan dalam masyarakat ini.

Menurut Scott Gordon dalam bukunya History and Phisolophy of Social Science
(1991), pada dasarnya manusia senang berkumpul dengan yang sepadan dan
membuat jarak dengan yang berbeda. Namun, pengelompokan dengan orang
lain yang sepadan dan serupa ini bisa nmenghilangkan kesempatan anggota
kelompok untuk memperluas dan memperkaya diri, karena dalam kelompok
homogen tidak terdapat banyak perbedaan yang bisa mengasah proses berpikir,
bernegosiasi, berargumentasi, dan berkembang.

Pengelompokan heterogenitas (kemacamragaman) merupakan ciri-ciri yang


menonjol dalam metode pembelajaran cooperative learning. Kelompok
heterogenitas bisa dibentuk dengan memperhatikan keanekaragaman gender,
latar belakang agama sosio-ekonomi dan etnik, serta kemampuan akademis.
Dalam hal kemampuan akademis, kelompok pembelajaran cooperative learning
biasanya terdiri dari satu orang berkemampuan akademis tinggi, dua orang
dengan kemampuan sedang, dan satu lainnya dari kelompok kemampuan
akademis kurang.

5
Secara umum, kelompok heterogen disukai oleh para guru yang telah memakai
metode pembelajaran cooperative learning karena beberapa alasan. Pertama,
kelompok heterogen memberikan kesempatan untuk saling mendukung. Kedua,
kelompok ini meningkatkan relasi dan interaksi antara, agama, etnik, dan gender.
Terakhir, kelompok heterogen memudahkan pengelolaan kelas karena dengan
adanya satu orang orang yang berkemampuan akademis tinggi, guru
mendapatkan satu asisten untuk setiap tiga orang.

Salah satu kendala yang mungkin dihadapi guru dalam hal pengelompokan
heterogen adalah keberatan dari pihak siswa yang berkemampuan akademis
tinggi (atau orang tua mereka pada tingkat sekolah dasar). Siswa dari kelompok
ini bisa merasa “rugi” dan dimanfaatkan tanpa bisa mengambil manfaat apa-apa
dalam kegiatan belajar cooperatve learning karena rekan-rekan mereka dalam
kelompok tidak lebih pandai dari mereka. Tidak jarang, protes ini juga
disampaikan kepada guru baik secara langsung maupun tidak. Kepada siswa
ataupun orang tua semacam ini, perlu dijelaskan bahwa sebenarnya siswa
dengan kemampuan akamis tinggi pun akan menarik manfaat secara kognitif
atau efektif dalam kegiatan belajar Cooperative Learning bersama siswa lain
dengan kemampuan yang kurang. Mengajar adalah guru yang terbaik. Dengan
mengajarkan apa yang seseorang baru pelajari, dia akan lebih bisa menguasai
atau menginternalisasi pengetahuan dan keterampilan barunya. Secara efektif,
siswa berkemampuan akademis tinggi juga perlu melatih diri untuk bisa bekerja
sama dan berbagi dengan mereka yang kurang.kemampuan bekerja sama ini
akan sangat bermanfaat nantinya dalam dunia kerja dan kehidupan
bermasyarakat.

Jumlah anggota dalam satu kelompok bervariasi mulai dari 2 sampai dengan 5,
menurut kesukaan guru dan kepentingan tugas . Tentu saja, masing-masing
mempunyai kekurangannya.

Kelompok Berpasangan

Kelebihan:

• meningkatkan partisipasi akan cocok untuk tugas sederhana


• lebih banyak kesempatan untuk konstribusi masing-masing anggota
kelompok
• interaksi lebih mudah
• lebih mudah dan cepat membentuknya.

Kekurangan:
• banyak kelompok yang melapor dan perlu dimonitor
• lebih sedikit ide yang muncul
• jika ada perselisihan,tidak ada penengah

Kelompok Bertiga

6
kelebihan :

• Jumlah ganjil ;ada penengah


• Lebih banyak kesempatan untuk konstribusi
• masing-masing anggota kelompok
• Intraksi lebih mudah

Kekurangan:
• Banyak kelompok yang akan melapor dan dimonitor
• Lebih sedikit ide yang muncul
• Lebih mudah dan cepat membentuknya

Kelompok Berempat

kelebihan :

• Mudah dipecah menjadi berpasangan


• Lebih banyak muncul
• Lebih banyak tugas yang bisa dilakukan
• Guru mudah memonitor

Kekurangan:
• Membutuhkan lebih banyak waktu
• Membutuhkan sosialisasi yang lebih baik
• Jumlah genap bisa menyulitkan proses pengambilan suara
• Kurang kesempatan untuk mentribusiin individu
• Siswa mudah melepaskan diri dari keterlibatan dan tidak memperhatikan

Kelompok Berlima

kelebihan :

• Jumlah ganjil memudahkan proses pengambilan suara Lebih banyak


muncul
• Lebih banyak tugas yang Bisa dilakukan
• Guru mudah memonitor Konstribusi.
• Membutuhkan lebih banyak waktu

Kekurangan:
• Membutuhkan sosialisasi yang lebih baik
• Siswa mudah melepaskan diri dari keterlibatan dan tidak
memperhatikan
• Kurang kesempatan untuk individu

b. Semangat Gotong Royong

7
Agar kelompok bisa bekerja secara efektif dalam proses pembelajaran gotong
royong,masing-masing anggota kelompok perlu mempunyai semangat gotong
royong.Seperti dijelaskan didepan,semangat ini tidak diperoleh dalam
sekejap.Semangat gotong royong ini bisa dirasakan dengan Pembina niat dan
kiat siswa dalam bekerja sama dengan siswa-siswa yang lainnya.

Niat siswa bisa di bina dengan beberapa kegiatan yang bisa membuat relasi
masing-masing anggota kelompok lebih erat yakni kesamaan kelompok, identitas
kelompok, sapaan dan sorak kelompok.

1) Kesamaan Kelompok

Kelompok akan yang mereka bersatu jika mereka bisa menyadari kesamaan
yang mereka punyai.Kesamaan ini tidak berarti menyeragamkan semua
keinginan, minat, dan kemampuan anggota kelompok. Justru untuk bisa melihat
persamaan yang mereka punyai, masing-masing anggota kelompok harus bisa
melihat rekan-rekannya yang lain terlebih dahulu. Beberapa kegiatan bisa
dilakukan untuk memberi kesempatan kepada para siswa agar lebih mengenal
satu sama lain dengan lebih baik dan akrab. Merasa diri mengenal dan diterima
oleh kelompoknya merupakan hal yang sangat penting bagi terlaksananya kerja
sama dalam kelompok.

(1) Wawancara kelompok

siswa bisa mewawancarai satu sama lain mengenai banyak hal, seperti arti
nama mereka, cita-cita dan impian, saudara, makanan kesukaan, jenis olahraga
kesukaan, binatang peliharaan, dan sebagainya. Jika perlu, guru juga bisa
mengarahkan siswa dengan jenis pertanyaan yang bisa dipakai dalam
wawancara.

Dalam kegiatan ini, siswa saling memperkenalkan temanya setelah melakukan


kegiatan yang pertama (wawancara kelompok). Anggota kelompok duduk
melingkar. Salah satu siswa mulai dengan memperkenalkan teman yang duduk
disebelah kirinya. Misalnya,’ini ferippa. Dia suka makan bakmi. Dia mengagumi
Marie Currie.’ Demikian seterusnya.

(2) Lempar Bola

Anggota kelompok duduk melingkar. Salah satu siswa memegang bola kecil
(bisa juga dibuat dari meremas kertas buram ) dan melemparkanya kesalah satu
temanya. Setelah melempar, siswa tersebut menanyakan beberapa hal,
misalnya’ siapa tokoh yang paling kamu kagumi?’ setelah siswa kedua
menjawab, dia akan melempar bola ketemanya yang lain dan menanyakan.
Demikian seterusnya.

(3) Jendela kesamaan

8
Dibalik semua keunikan dan perbedaan masing-masing siswa yang harus
dihargai, pasti ada beberapa persamaan diantara mereka dalam satu kelompok
setelah kegiatan-kegiatan perkenalan, para anggota kelompok bisa mencari
kesamaan diantara mereka proses ini bisa dilaksanan untuk mencari identitas
kelompok masing-masing kelompok bisa mencari kesamaan dalam kelompo
mereka sendiri yang tidak dimili oleh kelompok yang lain. Salah satu kegiatan
untuk mencari kesamaan ini adalah jendela kesamaan (kagan,1992)

Kegiatan ini bisa dilakukan dalam kelompok berempat salah satu siswa
menggambar empat persegi panjang ditengah-tengah selebar kertas. Siswa
kedua menarik garis dari sudut dihubungkan ke empat bagian diberi no 1,2,3,dan
4.

Siswa pertama mulai dengan menanyakan sesuatu yanmg mungkun menjadi


kesamaan dalam kelompok mereka misalnya, ‘apakah kita semua suka bermain
laying-layang?’ jika keempat anggota kelompok menjawab ‘ya,’ siswa yang
menanyakan menuliskan,’ main layang-layang’ dibagian 4. jika hanya dua
anggota kelompok menjawab’ ya,’ siswa menuliskanya dibagian 2. Kemudian,
siswa kedua mengajukan pertanyaan lain yang mungkin menjadi kesamaan
mereka dan melakukan yang sama seperti diatas. Proses diteruskan sampai
mereka menemukan beberapa kesamaan. Selanjutnya, mereka menentukan
satu kesamaan yang tidak dipunyai oleh kelompok lain dan menuliskan
kesaamaan ini sebagai identitas kesatuan mereka dalam bagian tengah kertas
(empat persegi panjang).

(2) Identitas kelompok

Berdasarkan kesamaan mereka, kelompok bisa merundingkan nama yang tepat


untuk kelompok mereka misalnya, “Albert Einsten Bermain Layang-Layang.
“Setiap anggota kelompok harus dimintai pendapat dan keputusan tidak boleh
dibuat jika ada yang tidak setuju dengan nama yang dipilih.

(3). sapaan dan sorak kelompok

Untuk lebih mempererat hubungan dalam kelompok, siswa bisa disuruh


menciptakan sapaan dan sorak khas kelompok. Menyapa tidak harus dengan
berjabat tangan. Siswa bisa didorong mengembangkan kreativitas mereka
dengan menciptakan cara menyapa rekan-rekan dalam satu kelompok yang
disesuaikan dengan identitas kelompok mereka. Demikian pula dengan sorak
kelompok. Siswa bisa membuat ungkapan sederhana namun meriah, misalnya’
hebat…hebat…hebat…sehebat Einstein!’

Sapaan dan sorak kelompok ini bisa dipakai berulang-ulang selama tahun ajaran
untuk beberapa keperluan. Kelompok bisa memberi semangat salah satu
rekanya yang dipanggil maju oleh guru. Ada kalanya pula suasana kel;as
menjadi jenuh dan membosankan. Dalam saat-saat seperti ini, guru bisa

9
membangunkan siswa-siswa yang mengantuk dan menghidupkan semangat
belajar siswa dengan meluangkan beberapa detik saja untuk sapaan dan sorak
kelompok.

2) Penataan Ruang Kelas

Dalam metode pembelajaraan Cooperative Learning penataan ruang kelas perlu


memperhatikan prinsip-prinsip tertentu. Bangku perlu ditata sedemikian rupa
sehingga semua siswa bisa melihat guru/papan tulis dengan jelas, bisa melihat
rekan-rekan kelompoknya dengan baik, dan berada dalam jangkauan
kelompoknya dengan merata kelompok bisa dekat satu sama lain , tetapi tidak
menggangu kelompok yang lain dan guru bisa menyediakan sedikit ruang
kosong disalah satu bagian kelas untuk kegiatan lain.

3. Teknik-Teknik Pembelajaran Cooperative Learning

Berbagai teknik pembelajaran cooperative learning dipaparkan di bawah ini.


Teknik-teknik yang dipaparkan di bawah ini bisa dipakai berulang-ulang dengan
berbagai bahan pelajaran, situasi, ataupun siswa.

a. Mencari Pasangan

Apa itu mencari Pasangan?

Teknik belajar mengajar mencari pasangan {Make a match} di kembangkan oleh


lorna Curran {1994}. Salah satu keunggulan teknik ini adalah siswa mencari
pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang
menyenangkan.Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan
untuk semua tingkatan usia anak didik.

b. Bertukar pasangan

Apa itu bertukar Pasangan?

Teknik belejar mengajar bertukar pasangan memberi siswa kesempatan untuk


bekerja sama dangan orang lain.Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata
pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik

c. Berpikir-Berpasangan-Berempat

Apa itu Berpikir-Berpasangan-Berempat?

Teknik belajar mengajar Berpikir – Berpasangan - Berempat dikembangkan oleh


Frank Lyman {Think-Pair-Share} dan spencer kagan {Think-Pair-Square} sebagai
struktur

10
Kegiatan pembelajaran cooperative learning. Teknik ini memberi siswa
kesempatan untuk bekerja sendiri serta bekerja sama dengan orang lain.
Keunggulan lain dari teknik ini adalah optimalisasi partisipasi siswa.Dengan
metode klasikal yang memungkinkan hanya satu siswa maju dan membagikan
hasilnya untuk seluruh kelas,teknik Berpikir-Berpasangan-Berempat ini memberi
kesempatan sedikitnya delapan kali lsbih banyak kepada setiap siswa untuk
dikenali dan menunjukan partisipasi mereka kepada orang lain.

Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua
tingkatan usia anak didik.

d. Berkirim salam dan Soal

Apa itu berkirim salam dan soal?

Teknik belajar mengajar berkirim salam dan soal memberi siswa kesempatan
untuk melatih pengetahuan dan ketermpilan mereka.Siswa membuat pertanyaan
sendiri sehingga akana merasa lebih terdorong untuk belajar dan menjawab
pertanyaan yang dibuat oleh teman sekelasnya.

Kegiatan berkirim salam dan soal cocok untuk persiapan menjelang tes dan
ujian. Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua
tingkatan usia anak didik.

e. Kepala Bernomor

Apa itu Kepala Bernomor?

Teknik belajar mengajar Kepala Bernomor{Numbered Heads} dikembangkan


oleh spencer kagan (1992). Teknik ini diberikan kesempatan kepada siswa untuk
saling membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat.
Selain itu, teknik ini juga mendorong siswa untuk meningkatkan semangat kerja
sama mereka. Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk
semua tingkatan usia anak didik.

f. Kepala Bernomor Terstruktur

Apa itu kepala Bernomor Terstruktur?

Penulis mengembangkan teknik belajar mengajar Kepala Bernomor Terstruktur


sebagai modifikasi kepala Bernomor yang dipakai oleh spencer kagan. Teknik
Kepala Bernomor Terstruktur ini memudahkan pembagian tugas. Dengan teknik
ini, siswa belajar melaksanakan tanggung jawab pribadinya dalam saling
keterkaitan dengan rekan-rekan kelompoknya. Teknik ini bisa digunakan dalam
semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik.

11
g. Dua Tinggal Dua Tamu

Apa itu Dua Tinggal Dua Tamu?

Teknik belajar mengajar Dua Tinggal Dua Tamu (Two Stay Two Stray)
dikembangkan oleh spencer kagan (1992) dan bisa digunakan bersama dengan
teknik kepala Bernomor. Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran
dan untuk semua tingkatan usia anak didik.

Struktur Dua Tinggal Dua Tamu memberi kesempatan kepada kelompok untuk
membagikan hasil dan informasi dengan kelompok lain. Banyak kegiatan belajar
mengajar yang diwarnai dengan kegiatan-kegiatan individu. Siswa bekerja
sendiri dan tidak diperbolehkan melihat pekerjaan siswa yang lain. Padahal
dalam kenyataan hidup diluar sekolah, kehidupan dan kerja manusia saling
bergantung satun dengan yang lainya. Christophorus Columbus tidak akan
menemukan benua Amerika jika tidak bergerak oleh penemuan Galileo Galilei
yang menyatakan bahwa bumi itu bulat. Einstein pun mendasarkan teori-teorinya
pada teori Newton

h. Keliling Kelompok

Apa itu Keliling kelompok?

Teknik bagian belajar mengajar Keliling Kelompok bis adigunakan dalam semua
mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik

Dalam kegiatan Keliling Kelompok, masing-masing anggota kelompok


mendapatkan kesempatan untuk memberikan kontribusi mereka dan
mendengarkan pandangan dan pemikiran anggota yang lain.

i. Kancing Gemerincing

Apa itu kancing Gemerincing?

Teknik belajar mengajar Kancing Gemerincing dikembangkan oleh spencer


kagan (1992). Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk
semua tingkatan usia anak didik.

Dalam Kegiatan Kancing Gumerincing, masing-masing anggota kelompok


mendapatkan kesempatan untuk memberikan kontribusi mereka dan
mendengarkan pandangan dan pemikiran anggota yang lain. Keunggulan lain
dari teknik ini adalah untuk mengatasi hambatan pemerataan kesempatan yang
sering mewarnai kerja kelompok. Dalam banyak kelompok, sering ada anggota
yang terlaludominan dan banyak bicara. Sebaliknya, juga ada anggota yang
pasif dan pasrah saja pada rekanya yang lebih dominant. Dalam situasi seperti
ini, pemerataan tanggung jawab dalam kelompok mbisa tidak tercapai karena

12
anggota yang pasif akan terlalu menggantungkan diri apa rekanya yang
dominan. Teknik belajar mengajar Kancing Gumerincing bahwa setiap siswa
mendapatkan kesempatan untuk berperan serta.

j. Keliling Kelas

Apa itu keliling kelas ?

Teknik belajar mengajar Keliling Kelasbisa digunakan dalam semua mata


pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik. Namun, jika digunakan
untuk anak-anak tingkat dasar. Teknik ini perlu disertai dengan manajemen kelas
yang baik supaya tidak terjadi kegaduhan.

Dalam kegioatan Keliling Kelas, masing-masing kelompok mendapoatkan


kesematan untuk memamerkan hasil kerja mereka dan melihat hasil kerja
kelompok lain.

k. Lingkaran Kecil Lingkaran besar

Apa itu Lingkaran Kecil Lingkaran Besar?

Teknik mengajar Lingkaran Kecil Lingkaran Besar (Inside Outside Circle)


dikembangkan oleh spencer kagan untuk memberikan kesempatan pada siswa
agar saling berbagi informasio pada saat yang bersamaan. Pendekatan ini bisa
digunakan dalam berbagai macam mata pelajaran, seperti ilmu pengetahuan
social, agama, matematika, dan bahasa. Bahan pelajaran yang paling cocok
digunakan dengan teknik ini adalah bahan yang membutuhkan pertukaran
pikiran dan informasi antar siswa.

Sakah satu keunggulan teknik ini adalah adanya struktur yang jelas dan
memungkinkan siswa untuk berbagi dangan pasangan yang jelas berbeda
dengan singkat dan teratur. Selain itu, siswa bekerja dengan sesame siswa
dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk
mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi. Lingkaran
Kecil Lingkaran Besar bisa digunakan untuk semua tingkatan usia anak didik dan
sangat disukai, terutama oleh anak-anak.

l.Tari Bambu

Apa itu Tari Bambu?

Teknik ini diberi nama Tari Bambu, karena siswa berjajar dan saliung
berhadapan dan model yang mirip seperti dua potong bamboo yang digunakan
dalam tari bamboo Filipina yang juga popular di beberapa daerah di Indonesia.
Dalam kegiatan belajar mengajar dengan teknik ini, siswa saling berbagi
informasi pada saat yang bersamaan. Pendekatan ini bisa digunakan dalam

13
beberapa mata pelajaran, seperti ilmu pengetahuan sosial, agama, matematika,
dan bahasa. Bahan pelajaran yang paling cocok digunakan dengan teknik ini
adalah bahan yang membutuhkan pertukaran pengalaman, pikiran, dan
informasi antar siswa.

Salah satu keunggulan dari teknik ini adalah adanya struktur yang jelas dan
memungkinkan siswa untuk berbagi ndengan pasangan yang berbeda dengan
singkat dan dan teratur. Siswa bekerja dengan sesame siswa dalam suasana
gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah
informasidan meningkatkan keterampilan berkomunikasi. Tari Bambu bisa
digunakan untuk semua tingkatan usia anak didik

m. Jigsaw

Apa itu jigsaw?

Teknik mengajar jigsaw di kembangkan oleh aronson et al. Sebagai metode


cooperative learning. Teknik ini bisa digunakan dalam pengajaran membaca,
menulis, mendengarkan, ataupun berbicara. Teknik ini menggabungkan kegiatan
membaca,menulis,mendengarkan dan berbicara. Pendekatan ini bisa pula
digunakan dalam beberapa mata pelajaran, seperti ilmu pengetahuan alam, ilmu
pengetahuan sosial, matematika, agama, dan bahasa.Teknik ini cocok untuk
semua kelas / tingkatan.

Dalam teknik ini,guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman


siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran
menjadi lebih bermakna.Selain itu,siswa bekerja dengan sesama siswa dalam
suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah
informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi.

n. Bercerita Berpasangan

Apa itu Bercerita Berpasangan?

Teknik mengajar Bercerita Berpasangan {Paired Storytelling} dikembangkan


sebagai pendekatan interaktif antara siswa, mengajar, dan bahan pelajaran
{Lie,1994}. Teknik ini bisa digunakan dalam pengajaran membaca, menulis,
mendengarkan, ataupun berbicara. Teknik ini menggabungkan kegiatan
membaca,menulis, mendengarkan ,dan berbicara. Pendekatan ini bisa pula
digunakan dalam beberapa mata pelajaran, seperti ilmu pengetahuan sosial,
agama, dan bahasa. Bahan pelajaran yang paling cocok digunakan dengan tenik
ini adalah bahan yang bersifat naratif dan deskriptif. Namun, hal ini tidak
menutup kemungkinan dipakainya bahan-bahan yang lainnya.

Dalam teknik ini, guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman
siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran

14
menjadi lebih bermakna.Dalam kegiatan ini,siswa dirangsang untuk
mengembangkan kemampuan berpikir dan berimajinasi.buah-buah pemikiran
mereka akan dihargai sehingga siswa merasa makin terdorong untuk belajar.
Selain itu, siswa bekerja dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong
dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan
meningkatkan keterampilan berkomunikasi. Bercerita berpasangan bisa
digunakan untuk semua tingkatan usia anak didik.

4. Model Evaluasi Belajar Cooperative Learning

Alternatif lain yang perlu ditambahkan untuk mengimbangi atau mengganti


sistem peringkat adalah sistem pendidikan cooperative learning. Sistem ini
menganut falsafah homo homini socius. Berlawanan dengan teori Darwin,
falsafah ini menekankan saling ketergantungan antar makhluk hidup.

Kerja sama merupakan kebutuhan yang sangat penting artinya bagi


kelangsungan hidup. Tanpa kerja sama, tak akan ada individu, keluarga,
warganisasi, atau masyarakat. Tanpa kerja sama, keseimbangan lingkungan
hidup akan terancam punah.

Ironisnya, model evaluasi cooperative learning belum banyak diterapkan dalam


dunia pendidikan kita walaupun kita sering membanggakan nilai-nilai gotong
royong dalam budaya bangsa Indonesia.Kebanyakan guru enggan menerapkan
sistem kerja kelompok karena beberapa alasan. Salah satunya adalah penilaian
yang dianggap kurang adil. Siswa yang tekun dan pandai merasa dirugikan
karena temannya yang kurang mampu dan berusaha hanya nunut pada hasil
jerih payah mereka, sedangkan siswa yang kurang mampu, merasa seperti
benalu.

Sebenarnya, ketidakadilan ini tidak perlu terjadi dalam kerja kelompok jika guru
benar-benar menerapkan prosedur sistem pengajaran/penilaian Coomperative
Learning. Dalam buku yang berjudul coomperative learning, rogen dan David
Johnson mengatakan tidak semua kerja kelompok bisa dianggap coomperative
learning. Ada beberapa prosedur dan unsur yang harus diterapkan dalam sistem
pengajaran coomperative learning. Di antaranya adalah tanggung jawab pribadi
dan kesaling tergantungan positif.

Dalam penilaian, siswa mendapat nilai pribadi dan nilai kelompok. Siswa bekerja
sama dengan metode coomperative learning. Mereka saling membantu dalam
mempersiapkan diri untuk tes. Kemudian, masing-masing mengerjakan tes
sendiri-sendiri dan menerima nilai pribadi.

Nilai kelompok bisa dibentuk dengan beberapa cara. Pertama, nilai kelompok
bisa diambil dari nilai terendah yang didapat oleh siswa dalam kelompok. Kedua,
nilai kelompok juga bisa diambil dari rata-rata nilai semua anggota kelompok,
dari’ sumbangan’ setiap anggota. Kelebihan kedua cara tersebut adalah

15
semangat gotong royong yang ditanamkan. Dngan cara ini, kelompok bisa
berusaha lebih keras untuk membantu semua anggota dalam mempersiapkan
diri untuk tes. Namun ,kekurangannya adalah perasaan negatif dan tadak adil
siswa yang mampu akan merasa dirugikan oleh nilai rekannya yang
rendah,sedangkan siswa yang lemah mungkin bisa merasa bersalah karena
sumbangan nilainya paling rendah.

Untuk menjaga rasa keadilan ada cara lain yang bisa dipilih.Setiap anggota
menyumbangkan poin di atas nilai rata-rata mereka sendiri.misalnya, nilai rata-
rata si A adalah 60 dan kali ini dia mendapat 65, dia akan menyumbangkan 5
poin untuk kelompok. Ini berarti setiap siswa, pandai ataupun lamban,
mempunyai kesempatan untuk

Memberikan kontribusi. Siswa lambab tak akan merasa minder terhadap rekan-
rekan mereka karena mereka juga bisa memberikan sumbangan. Malahan
mereka akan merasa terpacu untuk meningkatkan kontribusi mereka dan dengan
demikian menaikan nilai pribadi mereka sendiri.

Metode pembelajaran dan penilaian gotong royong perlu lebih sering dipakai
dalam dunia pendidikan. Agar bisa kondusif bagi proses pendewasaan dan
pengembangan siswa, sistem belajar perlu memperhatikan pula aspek-aspek
afektif. Sistem pringkat hanya menekankan pada hasil belajar yang bersifat
kognitif, sedangkan sistem individu mulai memperhatikan aspek afektif untuk
mencapai hasil-hasil kognitif. Namun patut disadari sistem individu ini bisa
membawa dampak afektif lainnya. Sistem pendidikan gotong royong merupakan
alternatif menarik yang bisa mencegah tumbuhnya keagresifan dalam sistem
kompotisi dan keterasingan dalam sistem individu tanpa mengorbankan asfek
kognitif.

C. Simpulan

Seperti kata pakar pendidikan, Jhon Dewey, sekolah merupakan miniatur


masyarakat. Banyak nilai yang didapatkan sesorang siswa dalam ruang kelas
akan terbawa terus dan tercemin terus dalam tindakan orang tersebut dalam
kehidupan bermasyarakatnya. Berdasarkan asumsi ini, dapat disimpulkan
seorang pengajar mempunyai peranan yang sangat besar ikut membina
kepribadian anak didiknya. Sudah saatnya para pengajar mengevaluasi cara
pengajaran mereka dan menyadari dampaknya. Sampai saat ini, metode
pembelajaran cooperative learning belum banyak diterapkan di sekolah. Jika
sekolah juga bertujuan untuk menghasilkan manusia yang bisa berdamai dan
bekerja sama dengan sesamanya, metode pembelajaran cooperative learning
perlu lebih sering dipakai.

Selain itu, suasana positif yang timbul dari metode pembelajaran cooperative
learning bisa memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencintai pelajaran

16
dan sekolah/guru. Dalam kegiatan-kegiatan yang menyenangkan ini, siswa
merasa lebih terdorong untuk belajar dan berpikir.

Daftar Pustaka

Depdiknas.2005. Materi Pelatihan Terintegrasi Bahasa dan Sastra

Indonesia: Buku 1. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas.2005. Materi Pelatihan Terintegrasi Bahasa dan Sastra Indonesia:


Buku 3. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas.2008. Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik

Pengembangan KTSP. Jakarta: BP. Putra Bhakti Mandiri.

Lie, Anita. 2004. Cooperative Learning: Mempraktikan Cooverative

Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: Grasindo.

Soemanto, Wasty.1998. Psikologi Pendidikan: Landasan Kerja Pemimpin

Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.


Diposkan oleh Toni R. di 04:03

17

Anda mungkin juga menyukai