Anda di halaman 1dari 5

Tak Putus Dirundung Malang

Sutan Takdir Alisahjbana

Roman karya Sutan Takdir Alisyahbana ini pertama kali diterbitkan oleh Penerbit
Balai Pustaka tahun 1929. Roman ini berkisah tentang sebuah keluarga yang selalu
dirundung kemalangan. Novel yang bersetting daerah Bengkulu ini secara ringkas dapat
dipaparkan sebagai berikut.
Adalah Syahbudin, duda dengan dua orang anak, kesabaran dan ketabahan adalah jiwa
kekuatan, dia ditinggal mati oleh istrinya karena terlalu pahit akan kemiskinan yang
dipikulnya. Kehidupan Syahbudin dapat dilalui tanpa istrinya. Kesibukan kesana-kemari
mencari pekerjaan dan mengurusi 2 orang anak membuat dia lalai akan api kecil disudut
ruangan beralaskan kayu sehingga membakar istana kecilnya dengan cepat. Dengan
semangatnya yang tersisa 70% dia masih mampu membuat istana kecil dan mungil
berlantaikan tanah dan tidur beralaskan tikar.
Pekerjaan Syahbudin hanyalah dengan mencari buah kelapa ke negeri seberang. Ia
tiada pernah meninggalkan anaknya. Laminah dan Mansur selalu bersenang hati bila berada di
sisi ayahnya. Akan tetapi hasil tak cukup buat makan seminggu.
Dalam mencari kehidupan yang mapan, Syahbudin pergi merantau dan meninggalkan
2 anaknya itu. Laminah dan Mansur sungguh sedih dan menangis atas kepergian ayahnya.
Mereka berdua sudah dipasrahkan yaitu pada adik kandung Syahbudin yang biasa dipanggil
madang dan beristrikan Jesipah.
Dalam beberapa bulan ayahnya kembali ke negeri tanah kelahiran. Uang yang
didambakan kini berganti dengan kecemasan dan ketakutan pada penyakit yang diderita
Syahbudin. Apalah daya, ilmu nenek Zaleka, dukun yang termahir tidak dapat menghalangi
tugas malaikat pencabut nyawa. Syahbudin meninggal. Lengkap sudah penderitaan Laminah
dan Mansur tanpa keluarga di dunia ini.
Pada usia 15 tahun anak yatim piatu itu hidup masih berada di tangan Madangnya.
Dalam usia masih dini mereka dipaksa untuk bekerja yang berat hingga tulang muda itu tanpa
pernah diberi waktu untuk beristirahat sedikitpun.
Pada suatu hari, Masduki anak Jesipah yang masih kecil itu gemar sekali bermain
dengan Laminah seperti halnya anak desa lainnya. Mainan itu terbuat dari kulit jeruk. Dengan
senang hati Marzuki memainkannya. Tanpa terasa kaki Marzuki tergores oleh pisau yang ada
didekat Laminah. Anak kecil itu menangis tak terkendali. Darah Laminah seakan berhenti
melihat kejadian itu, rasa takut dan khawatir akan apa yang akan dilakukan oleh Jesipah nanti.
Tapi syukur rasa ketakutan kini tiada lagi karena Jesipah telah berbohong pada suaminya
tentang kejadian itu. Beberapa jam Laminah masih dapat merasakan ketenangan jiwanya.
Sungguh sangat disayang Marzuki telah menceritakan kebenarannya kepada ayahnya. Bagai
petir di siang hari, menggelegar suara Pamannya bercampur amarahnya memanggil Jesipah
dan Laminah. Tanpa banyak kata, pukulan yang tak terelakkan terus-menerus mengenai tubuh
Jesipah, berganti pada Laminah. Punggung yang masih lentur kini terbebani kayu berukuran
besar tanpa bisa dihitung lagi. Jesipah dan Laminah diusir dari rumahnya ditambahkan caci
makian dan pukulan untuk kesekian kali. Entah kenapa Laminah hanya diam dan membisu
tidak dapat melarikan diri dari tangan Pamannya itu.
Mansur seharian berada di pantai mencari sesuatu yang dapat dimakan oleh
keluarganya di rumah sedari pagi tanpa sesuap nasi dan setetes air yang masuk diperutnya.
Seorang kakak tentu merasakan apa yang dirasakan oleh adiknya, begitu juga Mansur.
Dengan terburu-buru dia berlari-lari menuju rumah. + 200 jarak menuju rumah, ia mendengar
suara tangis dan jeritan Laminah yang sedang dipukul oleh Pamannya. Mansurpun segera
menarik tangan Pamannya dengan sekuat tenaga. Tanpa pertimbangan lagi Mansur mangajak
Laminah untuk meninggalkan rumah yang penuh penyiksaan itu dan dibawanya ke rumah
Datuk Hatim.
Dengan senang hati Datuk dan Andung Saripah menerima mereka. Kesehatan
Laminah sangat buruk. Karena terlalu banyak derita yang dialami Laminah, dengan tekat
yang bulat Mansur berniat meninggalkan negeri ketahun karena Pamannya itu selalu
mencarinya.
Dalam angin malam mansur kerumah Jesipah lewat pintu belakang dan meminta izin
pergi ke Bengkulu. Jesipah resah karena di Bengkulu itu tak ada sanak famili. Memang berat
bagi mereka meninggalkan Jesipah dan tanah kelahirannya.
Laminah dan Mansur mengembara dari dusun ke dusun melewati hutan lebat dan jalan
berbatu tajam. Sampai menjelang gelap mereka menginap di beranda orang Cina. Suasana
alam telah terdengar membangunkan impian mereka. Persawahan masih tetap ditelusuri dan
masuklah mereka ke kebun yang amat luas yang tidak pernah ditemui sebelumnya. Mereka
duduk sebentar merasakan angin di bawah pohon Limau. Penjaga kebun bernama Mamak
Patik, menghampiri dan bertanya pada mereka. Mamak patik sangat baik, rasa kasihan
melihat mereka yang tak tahu harus melangkah kemana lagi. Mamak Patik membawa ke
rumah untuk sementara sampai mereka mendapat pekerjaan.
Lama mencari pekerjaan yang mereka harapkan akhirnya mereka peroleh yakni
pekerjaan menjadi pelayan di toko roti. Pekerjaan baru itu membuatnya lupa akan kemiskinan
yang selama ini mereka rasakan. Mereka berdua mendapatkan makan dan tempat tinggal
secara gratis. Mansur bekerja untuk mengantarkan barang kesana-kemari di sekitar Bengkulu.
Bulan berganti bulan Laminah tumbuh menjadi gadis remaja yang sangat menarik,
para bujang pekerja toko itu sangat suka dengan Laminah tapi tentunya takut dengan
kakaknya. Tiap hari pekerja toko itu selalu berebut mendapatkan Laminah. Dengan kebaikan
dan kasih sayang tak lupa hartanya mereka berikan buat gadis idaman itu.
Dalam beberapa hari ini Laminah merasa khawatir tak tentu sebabnya. Kurang tidur
dan sering kali kedinginan seakan ada firasat bahaya yang akan menimpanya seperti mimpi-
mimpi ngeri yang selalu menghantuinya.
Seminggu yang lalu Tokeh menerima seorang pekerja kuli kontrak, Sarmin namanya.
Semua kehidupannya tergantung pada kekuatan tulangnya dan bersemboyan “hari ini untuk
hari ini, besok dapat kita berfikir”. Dengan datangnya Sarmin, Laminah makin hari semakin
tak senang. Seakan hidupnya dalam bahaya ketakutan.
Kesenangan hidup yang dikecamnya dalam beberapa hari ini seakan kembali senyap.
Mansur merasa kasihan melihat adiknya. Laminah dan Mansur bersepakat untuk bekerja
ditoko itu sampai akhir bulan.
Pekerjaan dilakukan seperti biasa. Laminah ke belakang dan membersihkan piring.
Sarmin mengikutinya dan berniat untuk merampas kegadisannya. Laminah sangat takut
dengan adanya Sarmin di sampingnya. Dengan secepat kilat Sarmin berusaha menodai gadis
itu. Hanya jeritan yang keluar dari mulut Laminah dan berusaha untuk lari dari genggaman
tangan kekar Sarmin. Para pekerja tidak berani menolongnya karena takut dengan kekuatan
Sarmin.
Laminah kini hanya diam dan menangis menyesali akan peristiwa itu. Mansur tiada
mengerti akan sikap Laminah dan meminta Laminah untuk menceritakan apa yang
dialaminya. Tanpa menunggu lama Mansur membawa pisau berniat untuk membunuh
Sarmin. Mereka saling mengadu kekuatan dan bersilat kuda. Tiada lagi yang dapat
memisahkannya kecuali dengan pistol Tokeh. Karena kesalahan ada dipihak Sarmin, maka dia
dikeluarkan dari toko itu.
Malam telah larut dan terjadi tragedi pada diri Laminah. Ia yang sudah tak tahan lagi
menanggung noda kehidupannya tanpa berpikir panjang Laminah menceburkan dirinya
kedalam lautan yang tak terbatas. Laminah bunuh diri.
Mansur mendengar kabar tentang adik kesayangannya, tanpa pikir panjang, ia ingin
mati di pelabuhan laut seperti adik kesayangannya. Iapun pergi ke laut dimana tempat adiknya
menceburkan diri dan terjadilah apa yang ia harapkan.

Dari cerita novel di atas kita dapat mengambil nilai-nilai kehidupan yang dapat kita
jadikan cerminan untuk menjadi cerminan atau motifasi untuk kita. Disamping itu kita dapat
mengetahui nilai Negative yang juga dapat menjadikan contoh bagi kita untuk tidak
mengikuti hal Negative tersebu.

Nilai negatif dari cerita ini adalah:


 Mansur dan Laminah mudah putus asa dan mengambil jalan yang keliru, bunuh diri
 Kekejaman hawa nafsu pekerja toko terhadap Laminah

Setiap sesuatu itu dapat diambil hikmahnya:


 Dalam menghadapi liku-liku kehidupan hendaknya selalu sabar dan tabah tanpa lupa
dengan ikhtiar dan tawakal
 Suatu usaha harus kita coba dalam beberapa hal
 Kemiskinan bukanlah penghalang bagi keberhasilan
 Rasa sayang Mansur terhadap Laminah tidak bisa dipisahkan, selalu dalam kesetiaan

Novel diatas ini bagus sekali untuk dibaca oleh kalangan remaja islam, karena
mengandung banyak amanah yang terkandung dalam hidup dan dapat menjadi pelejaran. Kita
dapat memahami bahwa Takdir kehidupan tiada yang dapat memvonis hanya bisa dirasakan
dimasa dulu hingga sekarang, masa depan. Waallahu a’alam.

Riwayat Pengarang : 
Sutan Takdir Alisjahbana (STA) menamatkan HKS di Bandung (1928), meraih Mr.
dari Sekolah Tinggi di Jakarta (1942), dan menerima Dr. Honoris Causa dari UI (1979) dan
Universiti Sains, Penang, Malaysia (1987). Diberi nama Takdir karena jari tangannya hanya
ada 4.
Pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka (1930-1933), kemudian
mendirikan dan memimpin majalah Pujangga Baru (1933-1942 dan 1948-1953), Pembina
Bahasa Indonesia (1947-1952), dan Konfrontasi (1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di
Palembang (1928-1929), dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di UI (1946-
1948), guru besar Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas
Nasional, Jakarta (1950-1958), guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas,
Padang (1956-1958), dan guru besar & Ketua Departemen Studi Melayu Universitas Malaya,
Kuala Lumpur (1963-1968)

Sumber Artikel :
http://mkpd.wordpress.com/2007/06/17/tak-putus-dirundung-malang/
http://69jobs.co.cc/tag/37-tak-putus-dirundung-malang
http://akucreative.blogspot.com/2011/03/37-tak-putus-dirundung-malang.html

Anda mungkin juga menyukai