Anda di halaman 1dari 8

Tenaga Kerja Indonesia (disingkat TKI) adalah sebutan bagi warga negara Indonesia yang

bekerja di luar negeri (seperti Malaysia, Timur Tengah, Taiwan, Australia dan Amerika
Serikat) dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Namun
demikian, istilah TKI seringkali dikonotasikan dengan pekerja kasar. TKI perempuan
seringkali disebut Tenaga Kerja Wanita (TKW).

TKI sering disebut sebagai pahlawan devisa karena dalam setahun bisa menghasilkan devisa
60 trilyun rupiah (2006) [1], tetapi dalam kenyataannya, TKI menjadi ajang pungli bagi para
pejabat dan agen terkait. Bahkan di Bandara Soekarno-Hatta, mereka disediakan terminal
tersendiri (terminal III) yang terpisah dari terminal penumpang umum. Pemisahan ini
beralasan untuk melindungi TKI tetapi juga menyuburkan pungli, termasuk pungutan liar
yang resmi seperti punutan Rp.25.000,- berdasarkan Surat Menakertrans No
437.HK.33.2003, bagi TKI yang pulang melalui Terminal III wajib membayar uang jasa
pelayanan Rp25.000. (saat ini pungutan ini sudah dilarang)

Pada 9 Maret 2007 kegiatan operasional di bidang Penempatan dan Perlindungan TKI di luar
negeri dialihkan menjadi tanggung jawab BNP2TKI. Sebelumnya seluruh kegiatan
operasional di bidang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri
dilaksanakan oleh Ditjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri (PPTKLN)
Depnakertrans.

Kupang (ANTARA News) - Selama ini negara telah maksimal melindungi Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
di luar negerit, tetapi terbentur oleh komitmen kuat para pemangku kepentingan dalam mencegah
praktik komersialisasi TKI, kata Ketua Asosiasi Pengusaha Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI) Nusa
Tenggara Timur Abraham Paul Lyanto, Kamis.

Anggota DPD RI itu mengatakan dalam pasal 5 ayat (1) UU nomor 39 Tahun 2004, pemerintah
bertugas mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan dan
perlindungan TKI di luar negeri.

Bahkan pasal 6 Undang-undang nomor 39 tahun 2004menegaskan pemerintah bertanggung jawab


meningkatkan upaya perlindungan TKI di luar negeri.

Secara yuridis formal, katanya, negara telah memberi perlindungan terhadap para duta devisa
negara itu, namun praktiknya TKI di luar negeri masih diperalat pihak-pihak yang ingin memperkaya
diri sendiri sekalipun melanggar hukum.

Pihak yang memperalat TKI itu adalah sponsor dan makelar eks TKI luar negeri dan PJTKI ilegal.

"Bayangkan kalau sistim rekruitmen dan penempatan TKI luar negeri dilakukan secara tidak resmi
oleh oknum-oknum tersebut dengan kewajiban membayar perorang kepada sponsor mencapai Rp15
juta maka upaya perlindungan terhadap TKI di luar negeri dari hari ke hari ibarat upaya menegakkan
benang basah," katanya.

Untuk itu, pemangku kepentingan mulai Kapolri, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Badan
Nasional Perlindungan dan Penempatan TKI (BNP2TKI), Imigrasi dan lembaga terkait lainnya perlu
berkomitmen memberantas praktik-praktik itu. (*)
Soal perlindungan TKI, apa ada perubahan?
Mengenai perlindungan tenaga kerja Indonesia, ini jelas masalah politik luar negeri yang
sangat-sangat penting karena mengusik dan menjadi perhatian kita semua. Jadi, mengenai
perlindungan warga, keberpihakan akan menjadi prioritas nomor satu, nomor dua, nomor
tiga, empat, lima dan seterusnya, bagi politik luar negeri Indonesia. Jangan sampai ada satu
orang pun tenaga kerja Indonesia yang merasa telantar, terabaikan, tidak diperhatikan. Tetapi,
tentunya jangkauan dari mesin diplomasi Indonesia terbatas, jumlah perwakilan

terbatas, jumlah diplomatnya juga terbatas, sedangkan masalah banyak.


Masalah-masalah TKI ini kan awalnya juga dari dalam negeri kita sendiri. Tapi dari
banyaknya keterbatasan itu, jangan menjadi suatu alasan bagi kita untuk tidak bekerja. Justru
kita harus bekerja lebih keras lagi. Politik luar negeri Indonesia ke depan akan terus
memberikan perhatian utama pada masalah tenaga kerja kita ini. Tapi, bukan berarti ada
jaminan tidak akan ada masalah ke depan. Justru ini pasti masih banyak tantangan kita, tapi
diplomasi kita akan terus bekerja. (natalia santi)

UU Nomor: 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar
Negeri

Pasal 3

              Penempatan dan perlindungan calon TKI/TKI bertujuan untuk :  


a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
  b. menjamin dan melindungi calon TKI/TKI sejak di dalam negeri, di negara tujuan, sampai kembali
ke tempat asal di Indonesia;
  c. meningkatkan kesejahteraan TKI dan keluarganya.

   Setiap calon TKI/TKI mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk :

  a. bekerja di luar negeri;   b. memperoleh informasi yang benar mengenai pasar kerja luar negeri
dan prosedur penempatan TKI di luar negeri;   c. memperoleh pelayanan dan perlakuan yang sama
dalam penempatan di luar negeri;   d. memperoleh kebebasan menganut agama dan keyakinannya
serta kesempatan untuk menajalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang dinutnya;

Setiap calon TKI/TKI mempunyai kewajiban untuk : a. menaati peraturan perundang-undangan baik
di dalam negeri, maupun di negara tujuan; b. menaati dan melaksanakan pekerjaannya sesuai
dengan perjanjian kerja; c. membayar biayan pelayanan penempatan TKI diluar negeri sesuai dengan
peraturan perundang-undangan; dan d. memberitahukan atau melaporkan kedatangan, keberadaan
dan kepulangan TKI kepada Perwakilan Republik Indonesia dinegara tujuan.

Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia kembali dibuat geram lantaran kembali terkuaknya
kabar penganiayaan TKI di Saudi Arabia. Kasus Sumiyati, dan dua puluh ribu lebih TKI
korban penganiayaan menjadi bukti lemahnya perlindungan yang diberikan pemerintah.
Sementara itu pemerintah Arab, melalui kedutaan besarnya menyatakan bahwa sesungguhnya
mereka tidak menerima segala bentuk penganiayaan. Hukum Arab juga tidak main-main
terhadap pelaku penganiayaan. Lantas apa yang membuat para majikan tega melakukan
tindakan yang tidak manusiawi itu?
Dari sisi hukum kita telah melihat ketidakseimbangan perlakuan yang diterima TKI
Indonesia. Hal itu terlihat jelas dari jenis vonis hukuman yang dijatuhkan terhadap majikan
yang melakukan penganiayaan. Kemudian dari sisi budaya kita akan mencoba melihat
bagaimana para majikan memandang TKI. Artinya kita akan melihat bagaimana pandangan
para majikan terhadap kedudukan pembantu rumah tangga mereka.
Dalam istilah islam, dikenal istilah budak. Budak mempunyai tugas melayani tuannya, dalam
hal apapun termasuk kepuasan seksual. Sebagai gantinya seorang majikan berkewajiban
memberi makan dan menjamin keamanan budak yang menjadi tanggungannya. Islam juga
mengijinkan untuk memberikan pukulan, yang tidak melukai, kepada budak yang tidak patuh.
Pada masa sekarang, tidak sedikit orang yang menganggap pekerja rumah tangga sebagai
budak. Memeperlakukan mereka seakan robot yang tidak kenal istirahat. Mengeksploitasi
mereka tanpa memberikan perlindungan yang memadai. Sebagai contoh adalah kasus TKI
yang sering dialami TKI kita. Tidak sedikit dari mereka yang bekerja hampir 20 jam per hari.
Ini adalah bentuk eksploitasi pekerja karena jauh melampaui batas maksimal kerja. Perlakuan
tersebut sudah membudaya dan dianggap lumrah bagi sebagian orang. Sehingga tercipta
sebuah pemikiran bahwa pembantu mempunyai kedudukan yang sama dengan budak.
Mungkin mereka juga beralasan bahwa islam tidak menghapuskan adanya budak. Atas dasar
inikah majikan sekarang memperlakukan TKI seenaknya?. Menganggapnya sebagai budak
sekaligus mempunyai hak terhadap mereka para pekerja.
Sekalipun majikan menganggap mereka sebagai budak, apakah tindakan penganiayaan yang
mereka lakukan dibenarkan oleh islam? Bagaimana pandangan islam sendiri terhadap budak?

Islam sama sekali tidak membenarkan segala bentuk penganiayaan. Terhadap budak
sekalipun. Makanya Rasululloh pun berpesan di akhir kehidupannya untuk berhati-hati
terhadap budak setelah beliau memperingatkan manusia akan perkara sholat. Begitu agung
ajaran islam. Ia tidak menghapus perbudakan yang telah ada bertahun-tahun di tanah arab.
Namun ia juga memberikan pahala yang tiada terkira bagi siapa yang mau memerdekaan
budaknya. Bahkan pernah sampai kepada kita sebuah cerita khalifah yang bersedia dibalas
oleh budaknya akibat tindakan yang dinilainya salah. Begitulah pandangan islam terhadap
budak, yang kedudukannya tentu tidak sederajat dengan orang merdeka.
Kemudian kita kembali kepada permasalahan inti, perlakuan para majikan kepada para
pembantunya. Setelah kita mengetahui kedudukan dan penilaian islam terhadap budak, tentu
lebih tidak tepat jika seorang pembantu yang kedudukan mereka sederajat mereka perlakukan
dengan tidak semestinya. Bahkan lebih tidak pantas lagi jika mereka sampai menganiaya para
pembantu mereka.

Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/anthropology/2140539-polemik-tki-di-
indonesia/#ixzz1MOACfbRG
Pemerintah dalam melaksanakan program penempatan TKI ke LN gag serius dan kurang
berkoordinasi dengan baik dengan pihak-pihak PJTKI, Pemda, Depnakertrans, Imigrasi, Dirjen
Binapenta, perusahaan transportasi dan Polisi. Perlindungan terhadap TKI/TKW juga masih kurang
karena masih banyak kasus penipuan, perampasan, penganiayaan, perkosaan maupun pembunuhan
terhadap TKI/TKW yang dilakukan baik oleh majikan, PJTKI, agen transportasi dll. Pihak-pihak
tersebut juga sepertinya lepas tangan jika TKI/TKW yang sudah ditempatkan di LN mengalami
masalah, mereka gag mau ikut mengurus pemulangan atau mengganti biaya jika gag ada peringatan
keras dari pemerintah maupun LSM (LPBH-TKI). Banyak PJTKI nakal yang tidak dikenakan sanksi
hukum meskipun terbukti melakukan kejahatan penipuan terhadap ratusan CTKI maupun TKI. Selain
itu koordinasi dan pembagian tugas serta kewenangan antar lembaga/instansi/pihak yang terkait
dalam program penempatan TKI ke LN juga harus jelas dan diatur dengan peraturan yang
berkekuatan hukum sehingga jika melanggar sudah ada sanksinya. Untuk TKI/TKW serta keluarganya
juga harus dilakukan penyadaran tentang hak-haknya, resiko bekerja di LN dan bagaimana prosedur
pendaftaran menjadi CTKI, biaya serta jika mengalami masalah di tempat kerja.
Siapa yang tidak geram mendengar berita ini, sejatinya Pemerintah kita melindungi warga
negaranya dimanapun mereka berada. Apakah sudah demikian? Selama ini, tindakan
pemerintah dan semua pihak terkait ketika ada kasus kekerasan TKW hanya memberikan
kompensasi dan menjamin bahwa majikannya akan dihukum. Tetapi sadarkah, ada yang akar
masalah yang dibiarkan tetap mengakar di dalam negeri ini.

Akar masalah itu diantaranya mulai dari tata cara dan mekanisme perekrutan, proses
penyiapan keterampilan, sistem pengiriman, hingga sejumlah ketentuan lainnya, termasuk
adanya sindikat dalam pengiriman TKI. Tentu saja, para pelaku sindikat tidak mementigkan
keselamatan dan kesejahteraan para TKI di luar negeri. Mereka hanya mementingkan
keuntungan dari transaksi pengiriman TKI. Dan sumber-sumber masalah ini sama sekali
belum juga dituntaskan oleh pemerintah.

Setelah banyaknya berita-berita penganiayaan para TKI, bisa disimpulkan penderitaan TKI
sudah berada di puncaknya. Perlakuan tak manusiawi yang dialami para buruh migran sudah
terjadi sejak awal perekrutan. Mereka direkrut perusahaan jasa dengan diimingi gaji besar
tanpa melalui proses seleksi dan penyiapan keterampilan yang kurang memadai, termasuk
dalam penguasaan bahasa di negara tempat mereka akan bekerja.

Kondisi ini menimbulkan masalah bagi TKI yang bersangkutan saat berada di tangan majikan
di negara tujuan. Ditambah lagi, majikan pun sudah membayar uang yang tidak sedikit.
Kekecewaan majikan dilampiaskan dengan melakukan penyiksaan, menahan gaji TKI, dan
berbagai tindakan lainnya.

Kini, sudah saatnya dilakukan evaluasi total terhadap penanganan TKI. Evaluasi itu
melibatkan semua instansi terkait, termasuk aktivis LSM, peneliti, dan perguruan tinggi. Dari
sana harus dihasilkan sebuah rencana besar penanganan TKI yang berbobot disertai rencana
aksi nyata sehingga ke depan tidak ada lagi korban.

 Pertama, pemerintah —dalam hal ini KBRI setempat— dan PJTKI harus proaktif
memberikan pengawasan dan perlindungan.

Konkretnya, setiap seminggu/sebulan sekali menggelar forum dialog TKI. Dalam forum
tersebut, mereka bisa bertatap muka langsung. Selain itu, melayani pengaduan melalui
layanan telepon atas perlakuan majikan atau atasan tempat bekerja. Layanan ini dibuka 24
jam, sehingga sewaktu-waktu TKI mengalami masalah akan cepat tertangani.

Kedua, membekali pengetahuan tentang perlindungan TKI di luar negeri.  Pembekalan ini
penting, bahkan hal ini harus menjadi materi wajib dalam pembekalan sebelum penempatan
kerja di luar negeri.

Selain itu juga membekali mereka dengan UU atau peraturan tenaga kerja yang berlaku di
negara tujuan. Karena bisa saja UU atau peraturan di Indonesia berbeda dari aturan
ketenagakerjaan di negara tempat TKI bekerja.

Ketiga, pemerintah maupun PJTKI harus selalu meningkatkan kualitas TKI. Ke depan, perlu
dimaksimalkan TKI yang betul-betul ahli di bidangnya. Rintisan yang dilakukan pemerintah
dalam lima tahun terakhir dengan mengirim tenaga perawat yang lulus dengan standar
internasional perlu dikembangkan.

Indonesia perlu belajar dari India yang mengirimkan buruh migran dengan kualifikasi
tertentu (terutama bidang infomasi dan teknologi) sehingga mendapat posisi yang lebih
terhormat, daripada sekadar (maaf) menjadi pembantu rumah tangga.

Keempat, mempererat komunikasi dengan pemerintah negara tujuan. Komunikasi ini


ditindaklanjuti KBRI dengan berbagai instansi terkait di negara tersebut.

Jika komunikasi terjalin baik, setiap masalah yang menimpa perempuan TKI bisa segera
ditangani. (Hery Nugroho, guru SMP Negeri 7 Semarang dan Pengurus Asosiasi Guru
Penulis (Agupena) Jawa Tengah-32) 
Read more: http://jiastisipolcandradimuka.blogspot.com/2011/03/hentikan-derita-perempuan-
tki-di-luar.html#ixzz1MOC5Mfcy

Sudah banyak kasus penyiksaan yang menimpa para Tenaga Kerja Indonesia
(TKI). Tidak terdapat perubahan atas berbagai kasus sebelumnya yang terjadi, justru belakangan
kasus penyiksaan TKI semakin meningkat. Pemerintah seolah tidak belajar atas kesalahan-kesalahan
dimana terjadinya kasus yang sama sebelumnya. Seakan-akan sudah merupakan hal yang lumrah
apabila terjadinya penyiksaan TKI setiap tahun. Disebutkan sudah terdapat regulasi yang mengatur
mengenai perlindungan atas penempatan TKI. Tetapi faktanya kasus-kasus yang sama tetap saja
terjadi dan tidak grafiknya tidak menurun justru meningkat. Perlu dipertanyakan kinerja pemerintah
dalam penanganan berbagai yang telah terjadi sebelumnya.

sebenarnya mengapa kasus aniaya Sumiati TKI dari NTB tidak di tindak lanjuti dalam artian di bawa
ke meja hijau dan mempertemukan antara majikan dan korban aniaya. menurut saya, mungkinkah
ada hubungannya dengan jamaah haji yang sekarang sedang melaksanakan ibadah haji. dengan
maksud jika kasus ini di tindak lanjuti maka ancaman kesalamatan akan jatuh pada jamaah haji asal
Indonesia. seperti mempertaruhkan jutaan jiwa warga Indonesia dengan satu orang yang menjadi
korban aniaya ini. sungguh merupakan masalah yang sulit sekali menurut kita sebagai bangsanya,
tetapi pemerintah harus tahu jalan tengah supaya kasus ini tidak merembet kepada jutaan jamaah
haji asal Indonesia.

maka dari itu pemerintah harus mampu memberikan perlindungan hukum kepada
para TKI kita karena mereka adalah pahlawan devisa bagi negara kita. jangan
sampai hak-hak mereka sebagai warganegara indonesia tertindas di negeri orang
dan pemerintah tidak mampu bersikap tegas dalam membela mereka, selain itu
pemerintah juga harus lebih selektif dalam memberikan izin kepada penyelenggara
kerja bagi para TKI agar mereka yang bekerja diluar negeri benar-benar memiliki
ketrampilan kerja yang sesuai sehingga perlakuan buruk terhadap mereka bisa
berkurang.
Selain langkah diplomatis, Kemenlu juga akan mengambil langkah hukum terkait kasus ini.
Secara khusus Kemenlu akan melaporkan penganiayaan ini kepada pihak kepolisian
Madinah. (CHR/YUS)

Masalah TKW seperti pisau bermata dua. Dikirim kerap disiksa, tidak dikirim
lapangan kerja terbatas. Sebaiknya bagaimana?

Soal ini pemerintah memang harus menyadari betul, tidak mudah menciptakan lapangan kerja
bagi mereka. Karena belum ada lapangan kerja, maka mereka jadi tidak punya pilihan
sehingga kerja di luar negeri. Masalahnya, pekerja kita yang kebanyakan dikirim adalah
pekerja rumah tangga, pekerja kasar.

Mereka memiliki pendidikan rendah dan tidak memiliki kemampuan bahasa yang memadai.
Mereka kerap dikirim tanpa menguasai Bahasa Inggris dan Arab kalau dikirim ke Saudi. Ini
problem luar biasa.

Perlu ada perlindungan pra penempatan. Dalam rekrutmen tenaga kerja, betul-betul harus
diberi pendidikan, terutama bahasa dan adat istiadat. Ini yang belum berhasil dilakukan.
Apalagi yang merekrut adalah para calo, nggak peduli apakah tenaga kerjanya terampil atau
tidak. Langsung saja oleh calo diserahkan kepada penyalur, dan mereka dapat uang. Akhirnya
jadi komoditi.

Mengapa selalu berulang?

Karena memang perlu memperbaiki rekrutmen tenaga kerja. Perlindungan tenaga kerja di
dalam negeri sangat lemah. Karena belum dibenahi, maka terus berulang. TKW masih
direkrut calo lalu dibawa ke penyalur. Dalam UU Perlindungan dan Penempatan Tenaga
Kerja, rekrutmen harus sepenuhnya dilakukan pemerintah.

Selain itu, yang melakukan pelatihan juga seharusnya pemerintah, anggaran disiapkan untuk
ini. Nah soal penempatannya, bisa dilakukan perusahaan swasta dengan pengawasan ketat.

Perlindungan juga diberikan saat masa penempatan. Perlu diberikan welcome programming,
jadi para TKI diterima kedutaan dan didata. Mungkin bisa juga mengerahkan tenaga sosial
yang membantu pencatatan para TKI. Ini cukup dilakukan di airport.

Pasca penempatan juga harus ada perlindungan, yakni saat mereka kembali ke Tanah Air.
Karena di airport bisa jadi ada masalah. Di sana ada calo-calo yang memaksa, ada yang
kecopetan atau terkena tipu dan pemerasan. Bahkan mungkin ada aparat ikut memeras. Kalau
pintar kan TKI ini tidak perlu bawa uang cash yang banyak saat pulang. Mereka cukup
mentransfer, bawa uang secukupnya di jalan. Jadi kemungkinan hilang uangnya kecil.

Titik lemahnya adalah rendahnya kemampuan TKW?


Selain tidak punya kemampuan bahasa, mereka juga tidak punya kemampuan
mengoperasikan alat elektronik. Majikan yang sudah bayar mahal tidak puas lalu
dilampiaskan kepada mereka, ya akhirnya terjadilah kekerasan-kekerasan itu.

Kalau sudah nggak menguasai bahasa di daerah penerima, tentu akan susah luar biasa. Saya
mengecam tindakan majikan yang gemar berlaku kekerasan. Tapi masalah rekrutmen yang
tidak beres harus dibenahi. Jangan cuma demi dollar, ringgit, riyal, kita kirimkan TKI tanpa
keterampilan memadai.

Pelatihan pada TKW tidak maksimal?

Saya rasa iya. Karena tidak ada yang mengontrol dan mengawasi. Semua tentang TKI ini dari
hulu sampai hilir diurusi PJTKI, jadi pemerintah sulit mengontrolnya. Pada tahapan tertentu,
pemerintah harus diberi peran besar, karena bagaimana juga ini adalah warga negara yang
harus dilindungi. Kalau dari rekrutmen sampai pengiriman dilakukan PJTKI, mana bisa
pengontrolan dilakukan maksimal.

Selain itu juga perlu kontrol terhadap fee yang diambil PJTKI. Jangan sampai 7-9 bulan ngak
dapat uang karena dipotong agen dalam dan luar negeri. Kalau sudah begini ya tenaga kerja
itu frustasi. Sudah memeras tenaga, gaji yang diterima sebegitu. Harus dikontrol ini
pemotongannya.

Poin apa yang perlu direvisi dalam UU Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja?

Pertama tentang rekrutmen yang harus dilakukan pemerintah, jangan biarkan calo. Lalu
perlunya pelatihan TKI oleh pemerintah. Itu yang di dalam negeri.

Yang di luar negeri, perlu monitoring sistem sebagai deteksi dini masalah TKI di negara
penerima. Monitoring sistem tidak cukup kedutaan saja tapi di semacam perusahaan atau
lembaga tersendiri yang profesional dan dananya diambil dari orang mempekerjakan TKI
kita. Setiap saat mereka berhubungan dengan tempat TKI kerja. TKI diberi HP untuk
memudahkan kontak.

Deteksi dini ini perlu berkaca dari pengalaman kita di Malaysia, Arab Saudi, TKI kita sudah
babak belur, patah kaki, bahkan meninggal, baru kita tahu. Ini tidak mudah diketahui karena
mereka kerja di dalam rumah.

Jangan sampai udah kejadian, lalu rakyat marah dan akibatnya hubungan kedua negara
terganggu. Lebih baik mencegah daripada mengobati.

Migrant Care mencatat, TKI yang banyak mendapat kekerasan adalah di Malaysia dan
Arab Saudi mengapa demikian?

Memang paling besar pengiriman di Malaysia dan Arab Saudi. Di Malaysia sekitar 2.200.000
TKI bekerja dari tenaga ahli sampai yang tenaga kasar. Sedangkan di Arab Saudi sekitar satu
juta. Karena mengirimnya besar, tentu peluang masalahnya lebih besar dibanding negara
penerima lainnya.

Memang jumlah TKI yang mendapat masalah lebih sedikit daripada yang tidak bermasalah.
Tapi ini tidak boleh dibiarkan. Kalau bisa kita kurangi kenapa tidak. Yang paling mendesak
kita minta DPR segera bahas perubahan UU tentang Perlindungan dan Penempatan TKI dan
diimplementasikan secara konsisten.

Jangan lagi nantinya semua ribut karena masalah yang sama. Banyak yang geram karena tahu
kasus ini, lantaran diberitakan. Tanpa diberitakan kita nggak akan tahu. Makanya agar tidak
ribut-ribut karena ini, regulasi diperbaiki juga.

Apa yang harus dilakukan kepada para korban?

Mencarikan mereka lawyer itu betul. Tapi mereka juga harus mendapatkan recovery, fisik
dan mental. Diberi juga modal usaha agar ada harapan baru di hidupnya. Kalau dilakukan,
itulah awal membangun sistem ketenagakerjaan yang punya produktivitas tinggi. Contohlah
di Filipina, itu salah satu negara yang punya perlindungan tenaga kerja dan rekrutmen luar
biasa. Mereka tidak mungkin kirim yang tidak berkualitas.

Ini musti bertahap, tidak mungkin semudah membalik telapak tangan. Tidak mungkin yang
dikirim yang berpendidikan saja. Kalau begitu, lalu apa kabar dengan yang lulus SD saja atau
bahkan tidak sekolah sama sekali. Mereka tidak bodoh. Kalau dilatih mereka pasti bisa dan
punya kemampuan.

Saya minta teman-teman di DPR agar rekrutmen tidak lagi dilakukan calo tapi pemerintah.
Kalau yang dikirim adalah yang skilled tentunya menguntungkan. Kalau punya keterampilan
tentu produktivitasnya juga meningkat. (nvt/mok)

Anda mungkin juga menyukai