“Lagi ngapain sayaang…?!” tanyanya sok mesra setelah berdiri di sampingku, lalu ia menarik kursi dan …
tanpa dipersilahkan ia sudah nangkring manis di sana. Dasar !.
“Lagi ngapain?!” ulangnya lagi. Masih dengan sok mesra.
“Lagi nungging!” jawabku ketus. Ia tertawa mendengar jawabanku lalu meng-O ria.
“Habisnya, udah tau aku lagi nulis, pake nanya lagi,” kataku.
“Surat cinta buat sang kekasih ya?!” tanyanya lagi sambil melongok kertas di tanganku. Buru-buru aku
menutupnya.
“Hari gene, surat cinta?! Pulsa nggak laku lagi dong, lagian kasihan banget tukang posnya, udah
waktunya di pensiun….” terangku panjang lebar. Entahlah, benar atau tidak apa yang kuucapkan tadi.
Tapi aku yakin dia nggak ngerti maksud ucapanku, hee…
“Eya, udah putus ya ma Reno , kok dia,” tanyanya.
Degg!! Pertanyaan yang telah langsung ke jantungku. Padahal aku berusaha tidak menyinggung nama
itu. Setelah dari pertanyaan itu tak terdengar lagi, rasanya darah sudah membeku di kepalaku.
Reno, cowok yang setengah tahun ini menempati tempat terindah di hatiku. Tapi sayangnya, kisahku
dengannya telah di ujung jalan. Dia sendiri yang memporak-porandakan singgasana cinta yang telah ia
bangun. Tinggal satu kata saja darinya, maka kami akan berada pada jalur yang berbeda, dan berakhirlah
semuanya! He he he.. bahasamu nak!
Aku jadi ngerti mengapa ia tak pernah membalas sms-sms dariku. Aku selalu mencoba mempercayainya
bila ia sibuk dengan part-time barunya. Aku selalu mencoba menepis fikiran-fikiran buruk tentangnya.
Walaupun aku tahu, dia bukan Reno yang kukenal dulu, ia mulai berubah. Reno yang selalu tersenyum
lepas saat bersamaku, lebih banyak diam dan terkesan sungkan. Ia seperti menyembunyikan sesuatu.
Dan saat kutanya, ia hanya menjawab “tak ada”.
Aku selalu membelanya bila hatiku berkata jelek tentangnya. Karena aku sayang padanya dan aku
percaya dia tidak mungkin mengingkari janji kelingking kami.
Tapi nyatanya hatiku benar, dia menduakanku. Aku memergokinya di sebuah departemen store. Dan
yang lebih menyakitkan lagi dia tak pernah menghubungiku untuk menjelaskannya dan mencoba
meminta maaf, ketika kata putus terucap dari bibirku.
Dan bodohnya aku, setiap ponselku berbunyi dan motor berhenti di depan rumahku aku selalu berharap
itu dia. Aku berharap dia datang dan jelaskan semuanya lalu ia minta maaf karena aku masih sayang
padanya dan tak pernah menginginkan berakhir begitu saja.
Walaupun aku tahu, dia telah menduakanku, ia telah mengingkari janji kelingking kami, tapi aku tak
pernah bisa membencinya. Justru rasa sayangku semakin bertambah. Gila bukan!!
“Jangan turuti perasaanmu, karena itu bisa menghancurkan hubungan kita”. Atau bila kuingat janji
kelingking kami.
Ha ha ha ha ha..
Aku seperti pemabuk, aku melayang, tapi sakit bila kusadar dia bukan milikku lagi, semua telah berakhir.
Dan…
Pletakkk!! “Bengong aja lu!” lagi-lagi Alka menjitak kepalaku. Aku tersadar dari lamunanku. Dan untung
aja, air mata yang kubendung tidak tumpah. kalau saja Alka tidak menyadarkanku. Dia tidak boleh
melihatku menangis !
“Sakit, tau!” aku membalas jitaknya. Lebih keras dari yang kudapatkan. Mampus, siapa suruh nantangin
aku! Lalu Aku mencoba bersikap biasa.
“Al, lo kan cowok, ngapa sih hobi selingkuh?!” tanyaku. Itu yang terlintas di kepalaku. Dia masih
mengelus-ngelus kepalanya yang benjol, hasil karya jitakku. Ha ha ha!
“Lagian kita kan masih muda, jadi wajar aja selingkuh. Kita kan mau cari yang terbaek di antara yang
baik. Toh untuk masa depan kita juga kan!! Lagian kalau udah nikah nggak bisa gonta-ganti pasangan
lagi,” katanya dengan semangat 45 menyuarakan isi hatinya. Aku pasrah diam saja, sekali-kali ngutuk-
ngutuk dalam hati. Mungkin faham itu juga yang diterapkan Reno . Diakan cowok juga.
“Paling 1 diantara 100 yang nggak selingkuh,” imbuhnya lagi. Dia puas banget, kelihatan tuh dari
hidungya kembang kempis nggak karuan.
“Dan kamu diantara yang 99 kan?!” tandasku cepat, tak mau kalah. Dia terdiam sejenak, lalu memasang
tampang lugunya.
Whuaaa…aku nggak tahan lagi. Air mata yang sejak tadi meronta-ronta minta dikeluarkan akhirnya
keluar juga. Aku nangis, memalukan.
“Tri, kenapa?! Aku salah ngomong ya..?!” tanya Alka mulai panik. Ia berusaha membujukku, tapi sia-sia,
tangisku semakin pecah.
Alka salah tingkah sendiri. Ia lalu buru-buru keluar dari kamarku, mungkin cari tisu untuk melap air yang
membanjiri wajahku.
Apa ada yang salah pada diriku? Mengapa aku selalu ngalamin hal seperti ini. Minggu lalu, ketika aku
butuh penjelasan dari Reno, dia justru mendiamkanku pada kekesalan sendiri.
Tadi pagi Alka meninggalku saat aku menginginkan seseorang yang bisa menenangkanku. Ku fikir, dia
sibuk mencari tissu, hingga beberapa lama aku menunggu dan aku lelah menangis. Tu “manusia” beserta
tissunya tak kunjung menampakkan tanda-tanda kehidupan. Kebangetan dia. Awas dia datang lagi.
Dan naskah ini belum juga terselesaikan, otakku tambah buntu. Tapi aku gak akan nyerah! Mungkin
dengan adanya aku diantara bunga-bunga nan harum ini inspirasi mengalir ke otakku, semoga saja.
Angin kecil menerpaku. Aku ingat betul parfum ini. Tuhan, bila ini mimpiku, izinkan aku tidur sejenak
lagi, izinkan aku tetap bermimpi, walaupun aku tau semua akan hilang saat aku terbangun nanti..
“Astri, maafkan aku,” ucapnya terbata. Kubuka mataku yang sejak tadi kupejamkan.
Ini nyata, bukan mimpi. Dengan gemetar, aku membalikkan tubuhku, menyakinkan hatiku.
“Aku mohon, maafkan aku,” ucapnya bergetar, ketika aku mendapati matanya. Mata yang begitu teduh,
mata yang mampu menawanku dalam rindu. Reno,... Mataku basah lagi. Aku tak tahu apa yang harus
aku lakukan. Ia datang lagi, meminta maaf seperti yang kuharapkan selama ini. Tapi, kenapa…
“Aku tahu ini memang egois dan sangat melukaimu, tapi aku ngelakuin ini semua agar hubungan kita
nggak berakhir begitu aja,” tuturnya pelan dan tak lepas dari mataku.
“Aku tak mengerti maksudnya apa?”, kataku.
“Aku..tahu, saat itu kamu lagi emosi banget, dan jika aku angkat bicara untuk jelaskan semua bakalan
sia-sia aja, karna kamu pasti nggak bakal dengerin aku.
“Apa dia telah meninggalkanmu?” sindirku cepat. Dia kaget, lalu aku membuang pandangan darinya.
“Ku akui aku khilaf, tapi aku sadar dia tak bisa menggantikanmu di hatiku, sejak saat itu aku selalu
menunggu waktu yang tepat untuk menjelaskan ini.
Air mataku jatuh satu persatu. Aku luluh, mungkin ini bodoh, tapi tak bisa kupungkiri aku masih
berharap dia mengisi hari-hariku lagi.
Aku hanya tersenyum, mewakili jawabannku. Dan kubiarkan punggung tanganya yang hangat mengusap
air mataku.
“Hei, pipimu kenapa?!” Aku setengah berteriak, sadar melihat perubahan pipinya, merah kebiruan. Ia
meraba pipinya sendiri, Ia lalu tersenyum menahan tawa.
“Rahasia!” balasnya cepat. Aku menatapnya curiga. Dia mengibas-ngibaskan tangan ke arahku seolah
berkata ”anggap aja anglin lalu”. Huh! Dasar! ***