Anda di halaman 1dari 2

Kedudukan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu)

Kedudukan, menurut Kamus Bahasa Indonesia, adalah keberadaan atau posisi sesuatu dalam
sebuah sistem atau mekanisme tertentu. Jadi, arti kedudukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
adalah posisi atau keberadaan badan pengawas pemilu sebagai bagian dari lembaga penyelenggaran
pemilu.

Pada Pemilu 1955, belum ada lembaga pengawas pemilu. Lembaga ini baru dikenal pada
Pemilu 1982 karena baru dibentuk pemerintah saat adanya banyak protes tentang pelanggaran dan
manipulasi penghitungan suara yang dilakukan pada Pemilu 1977.

Panitia Pengawas Pemilu pada Masa Orde Baru dinamakan Panitia Pengawas Pelaksana
Pemilihan Umum (Panwaslak Pemilu) dan diposisikan sebagai bagian dari Lembaga Pemilihan Umum
atau yang sekarang dikenal sebagai Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebagai akibatnya, Panwaslak
Pemilu tunduk pada kebijakan-kebijakan Lembaga Pemilihan Umum. Dari hal keanggotaan
Panwaslak Pemilu, pemerintah melibatkan partai dalam hal kepanitiaan Pemilu dan pembentukan
Panwaslak Pemilu tersebut diterima oleh DPR yang diformat ke dalam Undang-Undang Nomor 15
Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum, Anggota-Anggota Badan permusyawaratan/Perwakilan
Rakyat sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1975 dan Undang-
Undang No.2 Tahun 1980. Fungsi Panwaslak Pemilu pun melenceng, dari yang seharusnya
mengawasi Pemilu, malah membantu memenangkan salah satu partai yang mendominasi.

Perubahan terjadi di Pemilu 1999 dimana nama Panitia Pengawas Pelaksana Pemilihan
Umum (Panwaslak Pemilu) diganti menjadi Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu). Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1999 mengatur bahwa Panwaslu dibentuk di tingkat pusat, provinsi,
kabupaten/kota dan kecamatan dan hubungan antara tiak tingkat adalah koordinatif dan informatif,
bukan subordinatif. Anggota Panwaslu adalah terdiri dari unsur hakim, perguruan tinggi, dan
masyarakat.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 yang kemudian efektif mengatur Pemilu Legislatif
2004 dan Pemilu Presiden 2004 adalah suatu penegasan lagi bagi lembaga ini. Undang-Undang
No.12 Tahun 2003 menegaskan, “untuk melakukan pengawasan Pemilu, dibentuk Panitia Pengawas
Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, dan Panitia
Pengawas Pemilu Kecamatan.” Adapun mekanisme pembentukannya: Panitia Pengawas (Panwas)
Pemilu dibentuk oleh KPU; Panwas Pemilu Provinsi dibentuk oleh Panwas Pemilu; Panwas Pemilu
Kabupaten/Kota dibentuk oleh Panwas Pemilu Provinsi; Panwas Pemilu Kecamatan dibentuk oleh
Panwas Pemilu Kabupaten/Kota.

UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu adalah respons terhadap


pandangan yang menyatakan Panwaslu 2004 adalah lembaga ‘tidak bergigi’. Sifat lembaga ini yang
semula sementara (kepanitiaan) berubah menjadi lembaga tetap (badan) sehingga Pawaslu
ditingkatkan menjadi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan strukturnya dibangun sampai ke tingkat
desa. Berdasarkan Undang-UndangNo.22 Tahun 2007, Pengawas Pemilu ingin dibuat sebagai
lembaga independen, yang bukan merupakan subordinasi KPU, namun terpilihnya calon
keanggotaan Bawaslu berada di tangan DPR.

Menurut UU No. 22 Tahun 2007, lembaga pengawas pemilu harus diposisikan sebagai
bagian dari lembaga penyelenggaran pemilu, sehingga pengawasan merupakan bagian dari
penyelenggaraan pemilu. Undang-undang ini menetapkan lembaga pengawas pemilu sebagai
lembaga tetap yang kemudian disebut Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) yang dalam hal
ini bukan lagi subordinat KPU, tetapi sejajar dengan KPU sehingga mempunyai wewenang
merekomendasikan pemberhentian anggota KPU/KPUD dan panitia pemilihan yang diduga
melakukan pelanggaran kode etik dan Undang-undang Pemilu. Namun begitu, metode pemilihannya
tetap pertama direkomendasikan oleh KPU yang kemudian dipilih lagi oleh Bawaslu.

Perkembangan selanjutnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang untuk membahas


UU No. 22 Tahun 2007 pada tanggal 11 Maret 2011 kemarin. Sidang pleno yang membahas Perkara
Nomor 11/PU-VIII/2010 ini telah diputuskan pada tanggal 17 Maret 2011 kemarin bahwa kata
"calon" dan frase "diusulkan oleh KPU...sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya", yang terdapat
dalam Pasal 93, 94, dan 95 UU No. 22/2007 harus dihapus karena inkonstitusional, yaitu
bertentangan dengan Pasal 22 E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, " Pemilihan umum
diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri".

Dengan demikian, perekrutan calon panwas tidak lagi melibatkan KPU seperti sebelumnya
dan Bawaslu memiliki kewenangan penuh menyeleksi dan menetapkan calon panwaslu provinsi dan
kabupaten kota. Sedangkan di tingkat kecamatan, panwaslu kabupaten/kota memiliki kewenangan
menetapkan panwaslu kecamatan.

Ini menguatkan lagi kedudukan Bawaslu dan menegaskan independensinya dari KPU dan
lembaga lain yang kemudian diharapkan akan membuat kinerja Bawaslu lebih efektif dan akuntabel.

Daftar pustaka:
Supriyanto, Didik, 2007. Menjaga Independensi Penyelenggara
Pemilu, Jakarta: Perludem

Netta, Yulia, Juni 2009. “Kedudukan Badan Pengawas Pemilu Menurut Undang-undang No. 22 Tahun
2007 tentang Penyelenggara Pemilu”, Jurnal Konstitusi Volume 1 Nomor 1, Jakarta: Mahkamah
Konstitusi.

Anda mungkin juga menyukai