POKOK BAHASAN
STEREOTIP DALAM PRAKTIK KOMUNIKASI
--------------------------------------------
Orang Jawa digambarkan sebagai orang yang halus, menerima apa adanya dan pemaaf,
hingga ketika kaki Orang Jawa diinjak pun mereka akan bilang "maaf, kaki Anda berdiri di atas
kaki saya". Sedangkan orang Batak digambarkan sebagai pekerja keras, temperamen dan lugas
mengatakan sesuatu sejelas mungkin. Orang Sumbawa seringkali diidentikkan dengan pola
hidup yang konsumtif, sehingga ketika akan berkunjung ke suatu tempat, maka tempat yang
pertama kali ia rencanakan untuk kunjungi adalah pusat perbelanjaan, mall, dan lain sebagainya.
Cap yang di lekatkan pada etnis Bima lain lagi, mental perantau yang dimiliki etnis ini
menyebabkan mereka tersebar di hampir semua daerah. Ini membuat membuat mereka
cenderung mencari kawan atau keluarga yang memiliki latar belakang etnis yang sama saat tiba
di tempat baru. Kegemaran minum kopi sambil bersenda gurau menjadi milik Suku Sasak.
Saking gemarnya dengan minuman ini, saat anda berkunjung ke kediaman atau rumah orang
Sasak, maka hampir pasti anda akan menemukan minuman yang merupakan komoditas
primadona negara Brazil ini. Sehingga dimanapun mereka berada, pastilah tempat minum kopi
yang dicari untuk pertama kali.
Sekilas, anekdot diatas memberikan gambaran bahwa manusia dalam menilai orang lain,
terutama yang bukan bagian atau diluar komunitasnya, disadari atau tidak seringkali terjebak
dalam stereotip dan overgeneralisasi budaya.
Inilah beberapa citra kesukuan yang seringkali menyebabkan terjadinya kekeliruan
pemahaman dalam komunikasi. Dalam lingkup yang lebih luas, Negara Kesatuan Republik
Indonesia, banyak kita temukan anekdot-anekdot dan sindiran-sindiran, yang berhubungan
Pengertian Stereotip
Stereotip adalah sebuah pandangan atau cara pandang terhadap suatu kelompok sosial
dimana cara pandang tersebut lalu digunakan pada setiap anggota kelompok tersebut. Kita
memperoleh informasi biasanya dari pihak kedua atau media, sehingga kita cenderung untuk
menyesuaikan informasi tersebut agar sesuai dengan pemikiran kita. Ini sudah merupakan
pembentukan stereotip. Stereotip bisa berkaitan dengan hal positif atau negatif, stereotip bisa
benar bisa salah, stereotip bisa berkaitan dengan individu atau sub-kelompok. Contoh stereotip:
- Orang gemuk biasanya malas dan rakus.
- Orang arab teoris.
- Polisi selalu bisa disogok dengan uang.
Stereotip juga digunakan oleh manusia sebagai bagian dari mekanisme pertahanan diri [self
defense mechanism] untuk menyembunyikan keterbatasan kita atau untuk membenarkan
perasaan kita yang rapuh tentang superioritas. Sebagai contoh, stereotip negatif tentang orang
Amerika kulit hitam sebenarnya bersumber pada justifikasi perbudakan orang Amerika kulit putih
terhadap orang kulit hitam.
Stereotip dapat membawa ketidakadilah sosial bagi mereka yang menjadi korban, dan
jika ini terjadi maka akan memunculkan pertanyaan terkait etnisitas. Stereotip kadangkala
bahkan melebihi pertanyaan seputar keadilan sosial. Hal ini terkait dengan tendensi yang
mengaitkan antara stereotip dengan persoalan yang bersifat visibel seperti prejudis tentang
kelamin, ras dan etnis
Stereotip Wanita
Media sering menggambarkan wanita sebagai sosok yang kurang rasional, bodoh, namun
kadang juga sebagi pribadi yang tegas dan mandiri. Pada iklan wanita digambarkan sebagai
“super mom”, yakni pintar mengurus rumah tangga, anak, suami dan menyenangkan mertua.
Terjadinya ketidakadilan gender dalam pemberitaan perempuan di media massa tidak
bisa dilepaskan dari posisi perempuan dalam masyarakat. Perempuan dicitrakan sebagai pilar
rumah tangga yang bergelut dengan tugas utama dari sumur, kasur, sampai ke dapur. Sejumlah
stereotip pun lantas menempel pada perempuan dan laki-laki berdasarkan jenis kelamin. Ada
semacam pemakluman bahwa perempuan adalah emosional, bodoh, penakut, cengeng, dan
laki-laki adalah sebaliknya. Upaya menghapuskan pemberitaan yang sangat menyudutkan
perempuan itu bukan hal mudah. Penggunaan kata 'menggagahi' untuk kata memerkosa,
misalnya, tidak hanya salah, tetapi juga merupakan jurnalisme yang buruk karena ada unsur
manipulasi.
Stereotip lain yang melekat pada wanita adalah stereotip janda sebagai sosok yang
tidak baik. Wiwik Karyono, penulis novel Pacarku Ibu Kostku, mengakui adanya anggapan bahwa
janda itu kerap haus akan cinta dan seks sehingga wajar saja jika keberadaannya sering
direndahkan. “Saya bukan stereotip negatif janda, seperti yang banyak dikira orang,” katanya
[Kompas, 30 Desember 2004]. Bagi Wiwik yang kini kehilangan suami, tidak mudah menjadi
janda. Terkadang, kebiasaannya merokok malah disalahartikan oleh orang lain. Ada yang
menganggapnya bukan perempuan baik-baik. Bahkan, sebagai ibu indekos yang menjalin
hubungan istimewa dengan anak indekosnya, ada yang menganggap Wiwik melakukan itu
sebagai pemuas seks. “Tidak semua janda haus seks. Jangan samakan semua orang,” ujarnya.
Alasan untuk merokok yang dikemukakan perempuan misalnya, sangat mungkin berbeda
dari mereka yang laki-laki. Laki-laki membayangkan bahwa dengan merokok maka mereka bisa
dianggap sudah dewasa, tidak lagi anak kecil, dan bisa memasuki kelompok teman sebaya
sekaligus kelompok yang mempunyai ciri gaya tertentu, yaitu merokok. Lain halnya dengan
perempuan. Merokok dianggap bukan sesuatu yang lumrah dan lazim dilakukan oleh
perempuan, karenanya perempuan yang merokok dianggap sebagai ciri khas yang akan
membedakan mereka dari perempuan-perempuan lain yang tidak merokok. Pada beberapa
kelompok masyarakat, perempuan perokok bahkan kerap dihubungkan dengan stereotip buruk
dan mendiskreditkan—bukan perempuan baik-baik, urakan dsb. Keberanian untuk merokok ini
akhirnya menjadi sesuatu yang membanggakan dan memuaskan, baik bagi laki-laki maupun
perempuan.
Stereotip Agama
Stereotip tentang agama diantaranya adalah pelabelan Islam sebagai agama teror. Paus
Benedictus XVI misalnya pernah mengatakan bahwa makna jihad dalam Islam dan penyebaran
Islam dengan pedang (Kompas, 16/9/2006). Kontan, sejumlah pemimpin Islam mengecam keras
dan menganggapnya sebagai anti-Islam. Meski sudah ada klarifikasi dari Vatikan, kemarahan
umat Islam tetap berlangsung. Padahal, pemimpin tertinggi Gereja Katolik itu hanya mengutip
pernyataan seorang kaisar Kristen Ortodoks abad ke-14, Kaisar Manuel II Palaeologus.
Bahwa Islam disebarkan oleh pedang, ini adalah stereotip usang yang sudah dibantah
orientalis sekelas Bernard Lewis. Ia mengatakan, tidak mungkin umat Islam berperang dengan
tangan kanan memegang pedang, tangan kiri memegang Al Quran karena Al Quran adalah kitab
suci yang hanya bisa dipegang tangan kanan. Hingga kini stereotip Islam dan kekerasan masih
problematis. Stereotip ini kian menguat setelah kasus peledakan WTC pada 11 September.
Ditambah kasus-kasus lain, termasuk isu terorisme di Indonesia melalui serangkaian peledakan
bom, stereotip ini seolah tak terhindarkan. Padahal, pelaku serangkaian aksi kekerasan adalah
kelompok minoritas yang sama sekali tidak mewakili mainstream umat Islam. Dengan demikian,
stereotip itu tidak bisa digeneralisasi. Stereotip menjadi problem krusial dalam masyarakat yang
majemuk. Kasus-kasus konflik dan ketegangan sosial sering dilatarbelakangi kuatnya stereotip
mengenai kelompok lain. Intensitas konflik menjadi kian kuat jika sentimen agama masuk di
dalamnya.
Sekarang ini sangat mendesak untuk menghentikan penodaan terhadap dunia Muslim
melalui penggambaran stereotip yang tidak adil. Meningkatnya kecenderungan untuk mengaitkan
antara terorisme dan Islam justru sangat merusak perdamaian internasional. Perdana Menteri
Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB M.Mufidz S.Ag,.M.Si
ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI
(PM) Malaysia Abdullah Ahmad Badawi pernah mengungkapkan hal itu ketika menyampaikan
pidatonya pada Sidang Umum PBB tahun 2004. Badawi menegaskan, kita harus menghilangkan
asosiasi Islam dengan kekerasan, kemiskinan, dan tidak punya harga diri. Sebab, kenyataannya
masalah terorisme ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan Islam. Persoalan itu juga tidak
secara eksklusif adalah menjadi milik kaum Muslim.
“Kita perlu menjernihkan kebingungan atas dikaitkannya masalah-masalah yang dihadapi
negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim dengan agama Islam,” ungkap Badawi sambil
mencontohkan negaranya sendiri sebagai bukti bahwa Islam tidak berseberangan dengan
modernisasi dan demokrasi. Contoh bahwa Islam tidak berseberangan dengan demokrasi juga
disampaikan Menlu RI pada kesempatan yang sama. “Sebagai negara dengan penduduk Muslim
terbesar, Indonesia telah membuktikan bahwa Islam bisa menjadi benteng bagi demokrasi dan
keadilan sosial,” kata Hassan Wirajuda.
• Teleologis
Aliran ini disebut juga konsekuensialis, yakni menekankan pada konsekuensi dari sebuah
keputusan. Teleologis tidak melihat motiv penyampaian pesan, karena bagi aliran ini belum
tentu pesan yang disampaikan adalah berasal dari kemurnian moral. Bagi aliran ini stereotip
adalah tindakan yang tidak adil sekaligus menyerang segmentasi sosial, karenanya stereotip
mesti ditolak. Yang diperlukan adalah pertimbangan sisi positif dan sisi negatif dari
penyampaian gambaran suatu kelompok.
• Golden Mean
Pendekatan golden mean sangat berguna ketika karakter yang distereotipkan justru
merepresentasikan beberapa individu dalam suatu kelompok [seperti sosok gay yang
flamboyan atau gambaran ibu rumah tangga tradisional]. Dalam kondisi seperti ini, praktisi
komunikasi harus berhati-hati, yakni tidak menggunakan gambaran yang ada untuk menilai
keseluruhan kelompok, namun juga tetap mengapresiasi diversitas individu. Praktisi