Anda di halaman 1dari 28

Modul 12

POKOK BAHASAN
STEREOTIP DALAM PRAKTIK KOMUNIKASI

Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa dapat:


• Menjelaskan pengertian dan konsep stereotip.
• Menjelaskan Masalah stereotip dalam isi pesan
• Menjelaskan Stereotip dan paternalisme budaya.
• Menjelaskan isu-isu stereotip pada praktik komunikasi.
• Stereotip dalam perspektif teori deontologis, teleologis, dan golden mean.

--------------------------------------------

Orang Jawa digambarkan sebagai orang yang halus, menerima apa adanya dan pemaaf,
hingga ketika kaki Orang Jawa diinjak pun mereka akan bilang "maaf, kaki Anda berdiri di atas
kaki saya". Sedangkan orang Batak digambarkan sebagai pekerja keras, temperamen dan lugas
mengatakan sesuatu sejelas mungkin. Orang Sumbawa seringkali diidentikkan dengan pola
hidup yang konsumtif, sehingga ketika akan berkunjung ke suatu tempat, maka tempat yang
pertama kali ia rencanakan untuk kunjungi adalah pusat perbelanjaan, mall, dan lain sebagainya.
Cap yang di lekatkan pada etnis Bima lain lagi, mental perantau yang dimiliki etnis ini
menyebabkan mereka tersebar di hampir semua daerah. Ini membuat membuat mereka
cenderung mencari kawan atau keluarga yang memiliki latar belakang etnis yang sama saat tiba
di tempat baru. Kegemaran minum kopi sambil bersenda gurau menjadi milik Suku Sasak.
Saking gemarnya dengan minuman ini, saat anda berkunjung ke kediaman atau rumah orang
Sasak, maka hampir pasti anda akan menemukan minuman yang merupakan komoditas
primadona negara Brazil ini. Sehingga dimanapun mereka berada, pastilah tempat minum kopi
yang dicari untuk pertama kali.
Sekilas, anekdot diatas memberikan gambaran bahwa manusia dalam menilai orang lain,
terutama yang bukan bagian atau diluar komunitasnya, disadari atau tidak seringkali terjebak
dalam stereotip dan overgeneralisasi budaya.
Inilah beberapa citra kesukuan yang seringkali menyebabkan terjadinya kekeliruan
pemahaman dalam komunikasi. Dalam lingkup yang lebih luas, Negara Kesatuan Republik
Indonesia, banyak kita temukan anekdot-anekdot dan sindiran-sindiran, yang berhubungan

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB M.Mufidz S.Ag,.M.Si


ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI
dengan adat-istiadat, perilaku, gaya hidup, serta cara berkomunikasi etnis tertentu. Orang Jawa
Solo seringkali diidentikkan dengan kelemah lembutan, gaya dan nada bicara yang pelan,
meskipun dalam mengekspresikan kemarahannya. Sehingga apabila ada perlombaan
mendorong mobil se Indonesia, orang Solo akan menjadi suku terlama yang menyelesaikan
tugasnya, dan yang akan menjadi pemenangya adalah orang Ambon, karena kecepatan dan
kelugasannya dalam berhitung. Stereotip sebagai orang pelit seringkali dilekatkan pada kawan-
kawan kita yang berlatar belakang etnis Tionghoa, padahal ini tidak terlepas dari pola hidup
hemat dan suka menabung yang mereka miliki.
Dalam lingkup komunikasi global, kita sering menghakimi bahwa orang barat, bule, baik
dari Eropa maupun Amerika, sebagai manusia yang kurang sopan hanya karena, misalnya ada
perbedaan nilai kesopanan dalam penggunaan tangan kiri dan kanan. Karena dalam budaya
Indonesia, hanya tangan kanan yang boleh digunakan dalam memberikan atau menunjuk
sesuatu. Tangan kiri bisa saja digunakan asal diikuti oleh ungkapan penanda kesopanan, seperti
tabik atau maaf.
Ini semua membawa kita terjebak dalam stereotip, overgeneralisasi, dan prasangka
budaya, yang seringkali menghambat komunikasi dan bisa saja membawa konsekuensi yang
lebih parah, yaitu ketersinggungan. Karena orang tidak serta merta atau begitu saja menerima,
saat budaya atau gaya hidupnya dikatakan tidak santun atau kurang patut. Sangat sering sekali
kita memberikan penilaian yang salah tentang orang lain. Padahal dalam memberikan penilaian
tersebut seringkali kita hanya melibatkan kesan, perasaan, dan intuisi subyektifitas semata.
Dengan kata lain, penilaian itu seringkali hanya dengan memakai kaca mata budaya atau
perilaku kita sendiri, untuk mengukur dan menilai budaya atau perilaku orang lain. Sehingga
dapat dipastikan penilaian yang kita berikan tersebut tidaklah obyektif, karena parameter
kebenaran yang yang kita gunakan adalah budaya kita sendiri. Sehingga apabila kita berbicara
mengenai nilai-nilai kesopanan, norma-norma, patut-tidak patut, hal tersebut akan menjadi
sangat relatif dalam wacana kebudayaan.
Membahas budaya memang tidak akan terlepas dari cara dan media komunikasi.
Berbicara mengenai media komunikas maka hal pokok yang harus kita tinjau adalah bahasa. Ini
tidak terlepas dari posisi bahasa sebagai sebuah media ekspresi dari cermin pikiran manusia
(mirror of a mind), atau seperti yang dikemukakan oleh Dell Hymes (1970) bahwa language as
the symbolic guide to culture (bahasa sebagai petunjuk simbolik untuk memahami budaya
manusia).
Dr. Herujati Purwoko, sang pengarang buku Tiga Wajah Budaya: Artefak, Perilaku, dan
Rekayasa yang bercerita tentang bagaimana lepasnya Timor Timur (Timor Leste) dari Indonesia,
berani bertaruh bahwa pada saat jajak pendapat pada tahun 1999 terjadi, orang Timor Timur
pasti akan memilih merdeka. Karena pada saat itu hanya ada dua pilihan bagi rakyat Timor
Timur, merdeka atau integrasi. Ini bukanlah persoalan politis menurutnya, tapi lebih merupakan
persoalan bahasa. Orang akan cenderung memilih merdeka daripada tidak merdeka. Karena
Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB M.Mufidz S.Ag,.M.Si
ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI
kata integrasi sangat mungkin dikonotasikan sebagai “tidak merdeka” oleh rakyat Timor Timur.
Contoh lain dari polemik penggunaan bahasa adalah bagaimana pencantuman kembali
beberapa kata dalam Piagam Jakarta seringkali diidentikkan dengan pemberlakuan syariat Islam
di negara ini. Dan yang tak kalah aktual adalah mengenai Rancangan Undang-Undang Anti
Pornografi/Pornoaksi, persoalannya hanya karena belum ada definisi yang sesuai dan bisa
diterima oleh pihak yang pro maupun yang kontra, dari kata pornoaksi dan pornografi. Lagi-lagi
persoalan utamanya adalah persoalan bahasa. Hal ini menunjukkan bagaimana bagaimana
bahasa memegang peranan utama dalam kebudayaan, terutama pada hal-hal yang bersifat multi
–interpretasi.
Cara manusia menggunakan bahasa sebagai media komunikasi sangat bermacam-
macam antara suatu budaya dengan budaya lain, bahkan dalam satu budaya sekalipun. Kita
ambil contoh, meskipun kita sama-sama menggunakan Bahasa Indonesia, kita sering
dipusingkan dengan makna dari “ya”. Dalam berbagai konteks, “ya” bisa diartikan “saya setuju”,
atau bisa saja dinterpretasikan “saya sudah mendengar Anda, tapi saya belum tentu setuju”. Dan
kadang kala jawaban “ya” dalam Bahasa Indonesia tidak selalu bermakna literal “ya”. Karena
bisa jadi untuk menyelamatkan muka lawan bicara (face saving), kita seringkali menjawab “ya”,
padahal jawaban yang sebenarnya adalah “tidak”. Fenomena seperti ini dalam Discourse
Analysis dinamakan dengan white lie (kebohongan putih).
Bahasa sebagai salah satu produk budaya terbagi menjadi dua jenis, bahasa verbal dan
bahasa non-verbal. Dalam konteks bahasa verbal, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan
dalam berkomunikasi, khususnya dengan hal yang berkaitan dengan dialek. Hampir semua
bahasa yang mempunyai jumlah penutur relatif banyak, mempunyai dialek yang berbeda-beda.
Salah satu aspek penting yang berpengaruh dalam komunikasi adalah pemakaian
bahasa non-verbal. Menurut Du Praw (Toward a More Perfect Union in Age of Diversity: 1996)
bentuk dari bahasa non-verbal ini bisa meliputi bentuk ekspresi muka (facial expressions), dan
gerak tubuh (gestures), misalnya pandangan mata, senyum, pemakaian tangan kiri dan kanan,
gelengan kepala, gerakan tangan, dan lain sebagainya. Termasuk juga dalam jenis bahasa non
verbal adalah pengaturan tempat duduk dalam suatu acara, dan jarak antar pembicara pada saat
proses komunikasi berjalan. Walaupun ada bentuk komunikasi non-verbal yang dipahami secara
universal, tidak sedikit pula bentuk-bentuk komunikasi ini yang diartikan berbeda-beda antara
satu budaya dengan budaya yang lain. Senyum misalnya, orang Indonesia memahami senyum
sebagai bahasa universal untuk mengekspresikan keramahahan, dan persahabatan. Tetapi bagi
orang Eropa Timur, senyum hanya diberikan pada teman dekat, dan keluarga. Mereka tidak akan
sembarangan memberikan senyuman pada orang yang baru mereka temui. Jadi kalau dilihat dari
cara pandang orang Indonesia, orang Eropa Timur bisa dinilai kurang ramah, dan tidak
bersahabat. Termasuk dalam penggunaan tangan kiri dan kanan dalam budaya kita, yang telah
kita singgung diatas. Orang Eropa dan Amerika tidak begitu merasa ada perbedaan fungsi antara
tangan kiri dan kanan. Toh, keduanya sama-sama tangan, itu menurut mereka. Tapi menurut
Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB M.Mufidz S.Ag,.M.Si
ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI
budaya kita, menggunakan tangan kiri pada saat memberikan sesuatu pada orang lain bisa
membawa konsekuensi yang fatal. Anda harus siap dicap tidak tahu aturan jika melakukannya.
Menggelengkan kepala di kebanyakan budaya sering diartikan “tidak”, tapi bagi orang India itu
berarti kebalikannya. Budaya di meja makan (table manners) merupakan salah satu bentuk
komunikasi non verbal untung menunjukkan rasa hormat.
Perbedaan-perbedaan cara memahami bentuk-bentuk komunikasi, baik verbal maupun
non-verbal, bisa menimbulkan kesalah pahaman dalam komunikasi lintas budaya. Sehingga tidak
jarang pendapat atau opini kita terhadap suatu budaya atau komunitas tertentu bergerak menjadi
suatu identitas yang menyebabkan terjadinya streotip atau penyamarataan. Padahal budaya
merupakan suatu konsep yang sangat rumit, dan memiliki lebih dari 300 definisi (Sadtono: 2003).
Tapi sederhananya, konsep ini mengacu kepada satu stereotip kelompok atau komunitas yang
berbagi cara pandang yang sama dalam memahami dunia sekelilingnya.

Pengertian Stereotip
Stereotip adalah sebuah pandangan atau cara pandang terhadap suatu kelompok sosial
dimana cara pandang tersebut lalu digunakan pada setiap anggota kelompok tersebut. Kita
memperoleh informasi biasanya dari pihak kedua atau media, sehingga kita cenderung untuk
menyesuaikan informasi tersebut agar sesuai dengan pemikiran kita. Ini sudah merupakan
pembentukan stereotip. Stereotip bisa berkaitan dengan hal positif atau negatif, stereotip bisa
benar bisa salah, stereotip bisa berkaitan dengan individu atau sub-kelompok. Contoh stereotip:
- Orang gemuk biasanya malas dan rakus.
- Orang arab teoris.
- Polisi selalu bisa disogok dengan uang.
Stereotip juga digunakan oleh manusia sebagai bagian dari mekanisme pertahanan diri [self
defense mechanism] untuk menyembunyikan keterbatasan kita atau untuk membenarkan
perasaan kita yang rapuh tentang superioritas. Sebagai contoh, stereotip negatif tentang orang
Amerika kulit hitam sebenarnya bersumber pada justifikasi perbudakan orang Amerika kulit putih
terhadap orang kulit hitam.
Stereotip dapat membawa ketidakadilah sosial bagi mereka yang menjadi korban, dan
jika ini terjadi maka akan memunculkan pertanyaan terkait etnisitas. Stereotip kadangkala
bahkan melebihi pertanyaan seputar keadilan sosial. Hal ini terkait dengan tendensi yang
mengaitkan antara stereotip dengan persoalan yang bersifat visibel seperti prejudis tentang
kelamin, ras dan etnis

Mengapa Muncul Stereotip?


Ada sejumlah kondisi dimana stereotip merupakan hal yang tak dapat dihindarkan
[inevitable], yakni:

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB M.Mufidz S.Ag,.M.Si


ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI
1. Manusia butuh sesuatu untuk menyederhanakan realitas kehidupan yang bersifat
kompleks.
2. Manusia butuh sesuatu untuk menghilangkan rasa cemas [anxiety] ketika berhadapan
dengan sesuatu yang baru, manusia lalu menggunakan stereotip.
3. Manusia butuh cara yang ekonomis untuk membentuk gambaran dari dunia disekitarnya.
4. Manusia tidak mungkin mengalami semua kejadian, karenanya manusia mengandalkan
informasi dari pihak lain [media] sebagai jendela dunia. Maka, terjadilah duplikasi
stereotip.
Menurut Alvin Day, karena sifat manusia yang selalu mencari kesamaan mendasar atas
segala sesuatu tersebut menyebabkan stereotip, dalam kacamat komunikasi, bukanlah hal yang
mengejutkan jika kemudian stereotip beranak-pinak dalam content hiburan dan informasi massal.
Stereotip sendiri merupakan perilaku yang sudah dilakoni oleh manusia sejak zaman
purbakala. Namun stereotip sebagai konsep modern baru digagas oleh Walter Lippmann dalam
tulisannya yang berjudul "public opinion" yang dipublikasikan pada tahun1922. Menurut
Lippmann, stereotip merupakan cara ekonomis untuk melihat dunia secara keseluruhan. Hal ini
dikarenakan individu tentu tidak dapat sekaligus mengalamai dua even yang berbeda dalam
tempat yang berbeda sacara bersamaan. Karenanya manusia kemudian menyandarkan pada
testimoni orang lain untuk memperkaya pengetahuannya tentang lingkungan sekitar. Media,
sudah pasti merupakan jendela yang sangat penting untuk memberikan pengalaman yang
hampir seperti aslinya sehingga dapat berfungsi sebagai telinga dan mata untuk mengamati alam
dimana kita tidak akan bisa mengalaminya secara langsung. Media dengan demikian merupakan
katalis [pemercepat] budaya sekaligus pengaruh yang tak terhindarkan terhadap cara pandang
kita akan dunia.
Namun Day mengatakan bahwa bagaimanapun kita tidak boleh membiarkan stereotip
yang tak terhindarkan tersebut kemudian menghalangi kita untuk melawan dan menolak tindakan
yang merusak sendi sosial, sekaligus kebiasaan yang memiliki konsekuensi yang tidak adil
tersebut. Guru besar dalam jurnalisitk Hawaii University Tom Brislin, menulis bahwa ketika media
menyuguhkan informasi dan hiburan pada saat itu pula media melakukan transmisi nilai-nilai
sosial. Media menghasilkan stereotip yang berperan besar terhadap pengabadian diskriminasi,
gangguan, kekerasan terhadap kelompok tertentu dan penggambaran gender dalam dunia nyata.
Pada sisi lain adalah menjadi tanggung jawab praktisi media untuk bisa membedakan antara
stereotip dan dunia nyata. Lippmann mengatakan bahwa pola-pola stereotip adalah tidak netral.
Karena stereotip meliputi persepsi personal kita tentang realitas, maka ia sangat bertanggung
jawab terhadap pembentukan perasaan kita. Juga, karena stereotip merupakan mekanisme
pertahanan diri, maka dengannya kita akan merasa aman dalam posisi kita seperti apa adanya.
Pandangan terakhir hendak mengatakan bahwa stereotip, sebagai proses yang netral,
mempunyai peran dalam menjaga kesehatan jiwa kita.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB M.Mufidz S.Ag,.M.Si


ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI
Di Amerika misalnya, kerja untuk menyadarkan audiens dari stereotip media telah
menampakkan hasil. Beberapa segmen audiens misalnya sudah bisa bersikap terhadap
tayangan komedi Sienfield di televisi NBC pada tahun 1998. Dalam episode terakhir diceritakan
bahwa tokoh dalam komedi tersebut yakni Jerry, Elaine, George dan Kramer terjebak kemacetan
karena ada parade Puerto Rican Day. Kremer lalu melemparkan kembang api ke kerumunan
parade tersebut yang tanpa sengaja lalu mengenai bendera Porto Riko hingga terbakar. Peserta
parade menjadi marah, lalu mereka mengejar Kramer sementara yang lainnya menjungkir-
balikkan mobil yang mereka naiki. Dalam tayangan berikutnya Kramer berkata bahwa kekacauan
seperti ini adalah hal yang biasa terjadi di Porto Riko.
Reaksi dari tayangan kontroversial ini kemudian bermunculan. Manueal Mirabal, Presiden
Koalisi Nasional Porto Riko, menyebut komedi tersebut sebagai "unconscionable insult" atau
penghinaan yang merendahkan bagi komunitas Porto Riko. Tanggapan serupa datang dari
Fernando Ferrer, presiden New York City cabang Bronx, yang menuduh episode Seinfeld
tersebut telah melewati batas antara humor dan kefanatikan [bigotry]. Menurut Ferrer, adalah
termasuk penghinaan ketika menggambarkan orang yang melakukan kerusuhan dan kekerasan
terhadap sebuah mobil sebagai kejadian yang biasa di Porto Riko. Namun demikian NBC
membela diri, dengan mengatakan bahwa penayangan tersebut bukanlah dimaksudkan untuk
merusak stereotip etnis tertentu, karena audiens Seinfeld pasti mengetahui bahwa bahwa hal
tersebut merupakan humor belaka.
Dalam masyarakat egaliter, stereotip dipandang sebagai sesuatu yang tidak fair.
Penggunaan stereotip akan menutup ruang untuk melihat individu dengan segala keunikan dan
kapabilitas masing-masing. Sedangkan dalam tataran kelompok, penggunaan stereotip akan
menghilangkan hak individu untuk menentukan diri sendiri, dimana hak ini merupakan nilai dasar
dari pembentukan suatu masyarakat.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa stereotip memiliki nilai negatif, yakni:
1. Melanggar nilai-nilai kemanusiaan, yakni kejujuran dan ketulusan.
2. Tidak fair, karena meniadakan perbedaan dan potensi individu.
3. Stereotip mengarahkan pada kebohongan.
4. Stereotip pada media mengakibatkan audiens berpikiran sempit.
Namun demikian, apa yang membuat stereotip merupakan musuh kultural yang susah untuk
dihilangkan adalah kenyataan bahwa kadangkala stereotip memang berdasarkan kebenaran
realita. Dengan bahasa lain, tidak semua stereotip adalah salah. Salah satu contoh adalah
laporan dari Rand Corporation, sebuah rekanan penelitian Pentagon, yang menggambarkan istri
tentara sebagai kumpulan wanita yang anggotanya memiliki tipikal muda, tidak dewasa, pasanga
muda kelas bawah yang secara finansial susah dan memiliki kesulitan dalam mengontrol
tendensi. Echo Gaines, seorang designer website dan tunangan seorang tentara, menyangkal
pemikiran tersebut. Gaines lalu meluncurkan serangan-serang balik melalui internet atas hasil
penelitian Rand Corporatio tersebut. Pihak Rand Corporation yang diwakili Margaret Harell,
Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB M.Mufidz S.Ag,.M.Si
ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI
membantah dengan mengatakan bahwa stereotip tentang istri tentara tersebut berasal dari
kenyataan sebenarnya. "Laporan tersebut tidak hendak berbicara tentang stereotip, tapi tentang
sesuatu yang memang terjadi di luar sana di komunitas militer," kata Margaret. Berbicara tentang
stereotip, tapi tentang sesuatu yang memang terjadi di luar sana di komunitas militer," kata
Margaret.

Peran Stereotip dalam Konten Media


Perkembangan media massa bagi manusia sempat menumbuhkan perdebatan panjang
tentang makna dan dampak media massa pada perkembangan masyarakat. Pemahaman
tentang masyarakat massa sempat menggoncang persepsi anggota masyarakat mengenai
dampak media massa yang cukup signifikan dalam merubah tata sosial masyarakat.
Dalam perkembangan teori komunikasi massa, konsep masyarakat massa mendapat
relasi kuat dengan produk budaya massa yang pada akhirnya akan mempengaruhi bagaimana
proses komunikasi dalam konteks masyarakat massa membentuk dan dibentuk oleh budaya
massa yang ada.
Bukan kebetulan bahwa dua pemahaman tentang masyarakat massa dengan budaya
massa mempunyai titik permasalahan yang menggantung. Pertanyaan kritis yang perlu
ditampilkan adalah sejauh mana hubungan antara masyarakat massa dengan produk budaya
massa yang ada ? Apakah memang di antara dua konsep tersebut mempunyai hubungan antar
entitas yang berdiri sendiri atau memang dua konsep itu mempunyai hubungan yang saling
mengandaikan ?
Media massa sendiri dalam masyarakat mempunyai beberapa fungsi sosial, yaitu fungsi
pengawasan sosial, fungsi interpretasi, fungsi transmisi nilai dan fungsi hiburan.
Fungsi pengawasan media adalah fungsi yang khusus menyediakan informasi dan
peringatan kepada masyarakat tentang apa saja di lingkungan mereka. Media massa meng-up
date pengetahuan dan pemahaman manusia tentang lingkungan sekitarnya.
Fungsi interpretasi adalah fungsi media yang menjadi sarana memproses,
menginterpretasikan dan mengkorelasikan seluruh pengetahuan atau hal yang diketahui oleh
manusia.
Fungsi transmisi nilai adalah fungsi media untuk menyebarkan nilai, ide dari generasi satu
ke generasi yang lain.
Fungsi hiburan adalah fungsi media untuk menghibur manusia. Manusia cenderung untuk
melihat dan memahami peristiwa atau pengalaman manusia sebagai sebuah hiburan.
Dalam perkembangan selanjutnya, media massa mempunyai fungsi-fungsi baru, yaitu
membentuk komunitas dan komunikasi virtual, seperti halnya kelompok internet di dunia maya.
Internet dapat dipahami sebagai alat atau media umum yang bisa secara komplet memenuhi
fungsi media massa “tua”. Internet bisa menyempurnakan transaksi komersial, menyediakan
dukungan sosial dan mengirim jasa pemerintahan.
Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB M.Mufidz S.Ag,.M.Si
ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI
Beberapa kajian sosial mengenai dampak media massa dalam sebuah masyarakat
membuat persepsi baru bahwa media massa, masyarakat, budaya massa dan budaya tinggi
secara simultan saling berhubungan satu sama lain. Corak hubungan faktor-faktor di atas bersifat
“interplay”. Tentu saja perubahan makna sosial tersebut juga dipengaruhi oleh perkembangan
sosial baru dalam era modernisasi. Dalam proses ini ada beberapa pertimbangan yang perlu
dilihat.
Pertama, perkembangan media sampai pada satuan kecil masyarakat membuat kita
harus membuat sikap baru dan lebih kompleks terhadap terminologi-terminologi sosial tradisional
yang diyakini oleh masyarakat.
Kedua, perkembangan media massa baru seperti televisi sempat mengubah persepsi
sosial masyarakat karena pengaruhnya yang sedemikian dahsyat. Bahkan dapat dikatakan
bahwa televisi mampu menjadi sentra kehidupan sosial meski tidak menutup kemungkinan
bahwa media cetak juga tetap mempunyai kekuatan yang cukup signifikan dalam masyarakat.
Ketiga, proses transisi sosial baru yang dialami oleh masyarakat menuntut kita untuk
memperbaharui konsep sosial yang sudah ada. Proses transisi sosial baru juga mengandung
paradoks, dalam arti bahwa proses diferensiasi struktural bersinergi dengan uniformitas
kebudayaan. Bagaimana hal itu bisa didamaikan ? Proses paradoks ini akan berpengaruh
bagaimana kita memaknai masyarakat massa, masyarakat industri, budaya massa dan budaya
tinggi.
Keempat, maka diperlukan sistesa baru yang mengatasi kelemahan atau kekurangan
konsep masyarakat massa dan sintesa baru yang mengatasi konsep pluralisme dan
otoritarianisme modernisasi. Segmentasi dan fragmentasi masyarakat harus dimaknai kembali
dalam konteks bahwa masyarakat dilihat sebagai sebuah kerangka sosial yang lebih kompleks.
Proses pluralisme sosial yang sempat didorong oleh kehadiran media massa juga perlu
mendapatkan posisi epistemologi, ontologi dan aksiologi baru. Masyarakat modern bersifat cair
dan mobile. Pemahaman tentang ini juga akan mempengaruhi keseluruhan sikap yang diambil
dalam proses perkembangan budaya masyarakat itu sendiri.
Konten media dalam semua bentuk –berita, hiburan dan iklan—terkait dengan dengan
stereotip. Stereotip tidak bisa tidak merupakan alat untuk mengkonstruksi realitas untuk
kemudian disebarkan kepada audiensnya. Hal ini dikarenakan stereotip merupakan alat bagi
individu untuk memahami lingkungan sekitar dan pada saat yang sama media merupakan
jendela bagi individu untuk melihat dunia luar. Dengan demikian media merupakan institusi yang
memiliki kemampuan untuk menyeleksi simbol dan image untuk kemudian mendiadakan aspek
lain.
Efek awal dari stereotip dalam media adalah terjadinya diskriminasi dan prejudis. Dalam
masyarakat pluralistik, praktisi media memiliki kewajiban untuk mendorong perwujudan nilai-nilai
keadilan [fairness] dalam sistem sosial. Maraknya stereotip dalam media justru memunculkan
pertanyaan seputar peran media dalam masyarakat, yakni apakah media memang memiliki
Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB M.Mufidz S.Ag,.M.Si
ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI
peran perubahan sosial yang mengkampanyekan nilai-nilai egaliter, atau apakah justru media
hanya berperan sebagai cermin dari nilai-nilai sosial? Jawaban atas pertanyaan tersebut
telah menjadi perdebatan yang tak berujung, baik di kalangan akademisi maupun praktisi media.

Stereotip Ras minoritas


Di AS ras minoritas terkait dengan masyarakat kulit hitam dan suku Indian, yang sering
digambarkan sebagai masyarakat kelas dua, kriminalis dan terbelakang. Stereotip lainnya adalah
penggambaran orang Islam sebagai teroris. Hal ini terkit terutama setelah peristiwa 9/11.
Beberapa kalangan berpendapt bahwa sekarang ini sangat mendesak untuk menghentikan
penodaan terhadap dunia Muslim melalui penggambaran stereotip yang tidak adil. Meningkatnya
kecenderungan untuk mengaitkan antara terorisme dan Islam justru sangat merusak perdamaian
internasional. Perdana Menteri (PM) Malaysia Abdullah Ahmad Badawi mengungkapkan hal itu
ketika menyampaikan pidatonya pada Sidang Umum PBB, di New York tahun 2004
menegaskan, "kita harus menghilangkan asosiasi Islam dengan kekerasan, kemiskinan, dan
tidak punya harga diri. Sebab, kenyataannya masalah terorisme ini tidak ada kaitannya sama
sekali dengan Islam. Persoalan itu juga tidak secara eksklusif adalah menjadi milik kaum Muslim.
Kita perlu menjernihkan kebingungan atas dikaitkannya masalah-masalah yang dihadapi negara-
negara berpenduduk mayoritas Muslim dengan agama Islam,” ungkap Badawi sambil
mencontohkan negaranya sendiri sebagai bukti bahwa Islam tidak berseberangan dengan
modernisasi dan demokrasi. Contoh bahwa Islam tidak berseberangan dengan demokrasi juga
disampaikan Menlu RI pada kesempatan yang sama. “Sebagai negara dengan penduduk Muslim
terbesar, Indonesia telah membuktikan bahwa Islam bisa menjadi benteng bagi demokrasi dan
keadilan sosial,” kata Hassan Wirajuda.
Di Indonesia sering terkait dengan suku Tionghoa, sebagai kelompok yang tidak memiliki
nasionalisme, licik dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Warga Tionghoa
masih belum lepas dari stereotip tertentu yang dilekatkan kepada mereka. Pemberitaan pers
yang diskriminatif semakin memperkuat pencitraan buruk terhadap warga Tionghoa. Masyarakat
Tionghoa lekat dengan stereotip licik, pelit, tidak mau membaur, dan sifat-sifat negatif lainnya.
Pada kondisi ini, pers memosisikan dirinya sebagai cermin realitas, artinya hanya
sekadar menyajikan yang terjadi di masyarakat. Ketika meliput atau memberitakan masalah
terkait dengan etnis Tionghoa jika itu adalah peristiwa negatif sifatnya, misalnya, perbuatan
kriminal, maka status etnis Tionghoa itu dipertegas. Padahal, tindak kriminal serupa juga bisa
dilakukan etnis lain. Pers juga melanggengkan istilah nonpribumi dan WNI keturunan.
Ada tiga gambaran orang Tionghoa yang disajikan media massa. Pertama, orang
Tionghoa tidak punya rasa nasionalisme, seperti kasus pelarian modal dan pelarian diri selama
krisis ekonomi nasional. Kedua, orang Tionghoa hidup eksklusif dan hanya mau berinteraksi

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB M.Mufidz S.Ag,.M.Si


ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI
dengan sesamanya. Ketiga, orang Tionghoa adalah ‘binatang’ ekonomi yang menghalalkan
segala cara untuk mendapatkan uang, termasuk dengan menyuap dan berkolusi.
Untuk stereotip minoritas ini, Stuart Hall menganggap bahwa “ada yang salah” dengan
representasi kelompok minoritas dalam media, bahkan ia meyakini bahwa imaji-imaji yang
dimunculkan oleh media semakin memburuk. Ungkapnya, “There is something radically wrong
with the way black immigrants-West Indians,Asians, Africans- are handled by and presented on
the mass media”. Hall mengamati bahwa media cenderung sensitif pada gaya hidup kelas
menengah keatas, mayoritas masyrakat yang sudah teratur, sementara orang kulit hitam
digambarkan sebagai “kelompok luar”, “diluar konsensus”, “relatif tidak terorganisir”, “kelas
pekerja”. Lebih lanjut, media semakin mengagungkan institusi masyarakat, dimana masyarakat
kulit hitam bermasalah dalam area kekuasaan sensitif itu; pekerjaan, diskriminasi publik,
perumahan, legalisasi parlemen,pemerintahan lokal, hukum dan polisi.
Persoalan representasi ini membawa kita pada beberapa pertanyaan penting:
• Apakah gambaran di media membantu kita untuk memahami atau mengerti bagaimana
dunia bekerja?
• Gambaran orang kulit hitam yang seperti apa yang direpresentasikan dalam media?
Representasi, biasanya, dipahami sebagai gambaran sesuatu yang akurat atau realita yang
terdistorsi. Representasi tidak hanya berarti “to present”, “to image”, atau “to depict”. Kedua,
gambaran politis hadir untuk merepresentasikan kepada kita. Kedua ide ini berdiri bersama untuk
menjelaskan gagasan mengenai representasi. “representasi” adalah sebuah cara dimana
memaknai apa yang diberikan pada benda yang digambarkan. Konsep lama mengenai
representasi ini didasarkan pada premis bahwa ada sebuah gap representasi yang menjelaskan
perbedaan antara makna yang diberikan oleh representasi dan arti benda yang sebenarnya
digambarkan. Hal ini terjadi antara representasi dan benda yang digambarkan. Berlawanan
dengan pemahaman standar itu, Stuart Hall berargumentasi bahwa representasi harus dipahami
dari peran aktif dan kreatif orang memaknai dunia.
Hall menunjukkan bahwa sebuah imaji akan mempunyai makna yang berbeda dan tidak ada
garansi bahwa imaji akan berfungsi atau bekerja sebagaimana mereka dikreasi atau dicipta. Hall
menyebutkan “Representasi sebagai konstitutif”. Representasi tidak hadir sampai setelah selesai
direpresentasikan, representasi tidak terjadi setelah sebuah kejadian. Representasi adalah
konstitutif dari sebuah kejadian. Representasi adalah bagian dari objek itu sendiri, ia adalah
konstititif darinya.
Menurut Hall, budaya terdiri dari peta makna, kerangka yang dapat dimengerti, hal-hal yang
membuat kita mengerti tentang dunia kita yang eksis. Ambiguitas akan muncul sampai pada saat
dimana kita harus memaknainya (make sense of it). Jadi, makna muncul sebagai akibat dari
berbagi peta konseptual ketika kelompok-kelompok atau anggota-anggota dari sebuah budaya

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB M.Mufidz S.Ag,.M.Si


ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI
atau masyarakat berbagi bersama. Konsep budaya mempunyai peran sentral dalam proses
representasi.
Meskipun kapasitas untuk menggunakan konsep untuk mengklasifikasi adalah ciri dasar
genetik makhluk hidup, beberapa sistem tertentu dalam klasifikasi yang digunakan dalan sebuah
masyarakat dipelajari. Faktanya, budaya sendiri adalah sebuah sistem representasi. Kebudayaan
merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut ‘pengalaman berbagi’.
Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu
membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara
dalam ‘bahasa’ yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep yang sama.
Konsep-konsep adalah representasi-representasi, yang memperbolehkan kita untuk berpikir.
Tetapi kita belum selesai dengan sirkulasi representasi ini, karena seharusnya kita berbagi peta
konseptual yang sama, sehingga kita dapat memahami dunia melalui sistem klasifikasi yang
sama yang ada di kepala kita. Akhirnya, pertanyaan mengenai komunikasi dan bahasa
melengkapi sirkulasi representasi. Kita bisa saling berkomunikasi karena adanya kemunculan
bahasa-bahasa (linguistik). Bahasa mengeksternalisasi makna yang kita buat tentang dunia kita.
Sampai pada titik ini representasi benar-benar mulai dan menutup sirkulasi representasi.
Bahasa adalah medium yang menjadi perantara kita dalam memaknai sesuatu, memproduksi
dan mengubah makna. Bahasa mempu melakukan semua ini karena ia beroperasi sebagai
sistem representasi. Lewat bahasa (simbol-simbol dan tanda tertulis, lisan, atau gambar) kita
mengung-kapkan pikiran, konsep, dan ide-ide kita tentang sesuatu. Makna sesuatu hal sangat
tergantung dari cara kita ‘merepresentasikannya’. Dengan mengamati kata-kata yang kita
gunakan dan imej-imej yang kita gunakan dalam merepresentasikan sesuatu bisa terlihat jelas
nilai-nilai yang kita berikan pada sesuatu tersebut.
Stereotip menetapkan makna yang diberikan kepada kelompok-kelompok. Misalnya,
gambaran orang kulit hitam yang terbatas, memberikan efek pada apa yang dipahami
masyarakat mengenai orang kulit hitam dalam dunia nyata. Gambaran (images) memproduksi
pengetahuan tentang bagaimana kita melihatnya direpresentasikan. Sehingga perjuangan untuk
membuka praktik stereotip kadang adalah sebuah perjuangan untuk meningkatkan perbedaan,
celakanya, semakin memperlihatkan identitas yang memungkinkan dari orang-orang yang belum
direpresentasikan sebelunnya. Itulah politik gambaran (politics of the image). Ada kesulitan
tersendiri ketika ingin membalikkan stereotip negatif tersebut, sebagaimana juga sulit untuk
mempertahankan (atau memperbaiki) representasi positif.
Makna tidaklah pernah dapat tinggal tetap (atau ditetapkan). Makna dapat berubah jika
makna tidak dapat ditetapkan. Kuasa (power) terdiri atas memilih satu makna diantara banyak
makna yang cocok dengan interes tertentu. Karena jika makna akan tinggal ‘tetap’ atau berubah
tidak dapat digaransi maka makna dapat menjadi longgar dan berjerumbai. Tujuan dari
kekuasaan (power), ketika mengintervensi (mengganggu) bahasa adalah untuk memberbaiki
secara absolut. Itulah yang dilakukan oleh ideologi. Ambisi dari ideologi adalah untuk
Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB M.Mufidz S.Ag,.M.Si
ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI
memperbaiki makna tertentu untuk gambaran (image) spesifik. Kekuasaan (power) dalam proses
signifikansi selalu mempunyai tendensi untuk menutup bahasa, menutup makna dan
memberhentikan alirannya.

Stereotip Wanita
Media sering menggambarkan wanita sebagai sosok yang kurang rasional, bodoh, namun
kadang juga sebagi pribadi yang tegas dan mandiri. Pada iklan wanita digambarkan sebagai
“super mom”, yakni pintar mengurus rumah tangga, anak, suami dan menyenangkan mertua.
Terjadinya ketidakadilan gender dalam pemberitaan perempuan di media massa tidak
bisa dilepaskan dari posisi perempuan dalam masyarakat. Perempuan dicitrakan sebagai pilar
rumah tangga yang bergelut dengan tugas utama dari sumur, kasur, sampai ke dapur. Sejumlah
stereotip pun lantas menempel pada perempuan dan laki-laki berdasarkan jenis kelamin. Ada
semacam pemakluman bahwa perempuan adalah emosional, bodoh, penakut, cengeng, dan
laki-laki adalah sebaliknya. Upaya menghapuskan pemberitaan yang sangat menyudutkan
perempuan itu bukan hal mudah. Penggunaan kata 'menggagahi' untuk kata memerkosa,
misalnya, tidak hanya salah, tetapi juga merupakan jurnalisme yang buruk karena ada unsur
manipulasi.
Stereotip lain yang melekat pada wanita adalah stereotip janda sebagai sosok yang
tidak baik. Wiwik Karyono, penulis novel Pacarku Ibu Kostku, mengakui adanya anggapan bahwa
janda itu kerap haus akan cinta dan seks sehingga wajar saja jika keberadaannya sering
direndahkan. “Saya bukan stereotip negatif janda, seperti yang banyak dikira orang,” katanya
[Kompas, 30 Desember 2004]. Bagi Wiwik yang kini kehilangan suami, tidak mudah menjadi
janda. Terkadang, kebiasaannya merokok malah disalahartikan oleh orang lain. Ada yang
menganggapnya bukan perempuan baik-baik. Bahkan, sebagai ibu indekos yang menjalin
hubungan istimewa dengan anak indekosnya, ada yang menganggap Wiwik melakukan itu
sebagai pemuas seks. “Tidak semua janda haus seks. Jangan samakan semua orang,” ujarnya.
Alasan untuk merokok yang dikemukakan perempuan misalnya, sangat mungkin berbeda
dari mereka yang laki-laki. Laki-laki membayangkan bahwa dengan merokok maka mereka bisa
dianggap sudah dewasa, tidak lagi anak kecil, dan bisa memasuki kelompok teman sebaya
sekaligus kelompok yang mempunyai ciri gaya tertentu, yaitu merokok. Lain halnya dengan
perempuan. Merokok dianggap bukan sesuatu yang lumrah dan lazim dilakukan oleh
perempuan, karenanya perempuan yang merokok dianggap sebagai ciri khas yang akan
membedakan mereka dari perempuan-perempuan lain yang tidak merokok. Pada beberapa
kelompok masyarakat, perempuan perokok bahkan kerap dihubungkan dengan stereotip buruk
dan mendiskreditkan—bukan perempuan baik-baik, urakan dsb. Keberanian untuk merokok ini
akhirnya menjadi sesuatu yang membanggakan dan memuaskan, baik bagi laki-laki maupun
perempuan.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB M.Mufidz S.Ag,.M.Si


ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI
Stereotip lain yang ada pada wanita adalah soal kecantikan. Kecantikan yang identik
dengan perempuan berekor pada munculnya kebutuhan akan produk kecantikan. Ataukah
sebaliknya kebutuhan untuk tampil cantik justru sengaja dimunculkan? Yang jelas beragam jenis
produk kecantikan kini hadir untuk memenuhi kebutuhan perempuan akan penampilan cantik,
sehingga tak terhindarkan jika perempuan harus memilih satu di antara sekian banyak merek
yang ditawarkan. Apakah memang harus memilih?
Kebutuhan untuk tampil cantik menjadi kebutuhan yang tidak disadari karena konsumen
merasa membutuhkan dan menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah, apalagi di suatu
masa di mana lingkungan sosial sangat mengedepankan penampilan. Ketakbersentuhan
perempuan dengan produk kosmetik justru dianggap sebagai sesuatu yang tak lazim. Menjadi
sulit dibayangkan jika seorang perempuan kosmopolitan tidak memoleskan walau hanya bedak
tipis di wajahnya. Tanpa disadari (lagi), konsumen pun digiring untuk menjadi konsumtif. Coba
saja lihat variasi produk pada satu merek. Dengan berbagai slogannya, perempuan dipancing
untuk membeli sepaket produk yang diakui terdiri dari beragam manfaat untuk mencapai
kecantikan sempurna, seperti citra yang dibentuk oleh produk tersebut.
Citra seperti apa sebenarnya yang diinginkan perempuan dengan mengkonsumsi produk
kecantikan? Tentunya citra perempuan ideal yang bertubuh langsing, berkaki jenjang, berkulit
putih, berambut hitam lurus panjang tergerai, berhidung bangir, sama (atau paling tidak
menyerupai) seperti profil tubuh para model yang memeragakan iklan produk kecantikan. Citra
yang tidak hanya mengundang lirikan kaum adam, tetapi juga memancing decak kagum dari
sesama perempuan. Dengan profil wajah dan tubuh yang (dianggap) sempurna, kecantikan
perempuan blasteran pun menjadi laku dijual. Iklan memang menjadi representasi budaya pop
yang menstereotipkan perempuan berdasarkan pada daya tarik seksual, jika bukan kinerja
domestik. Stereotip cantik ideal pun menjadi matang dengan adanya penegasan dari iklan
produk kecantikan yang mengutamakan daya tarik seksual itu sebagai ujung tombak kecantikan.
Stereotip-stereotip seperti ini kemudian diterima sebagai sesuatu yang lumrah, yang merasuki
alam pikiran individu secara alamiah tanpa paksaan. Lebih luas dari sekedar sosok perempuan
ideal, media massa (dalam hal ini iklan) seringkali menegaskan peran perempuan terbatas pada
peran istri, ibu, ibu rumah tangga, kekasih setia, dan sebagainya sebagai takdir perempuan
dalam masyarakat patriarkal. Peranan-peranan itu direpresentasikan sebagai hak istimewa alami
kaum perempuan.
Namun stereotip-stereotip itu bisa jadi juga mencerminkan nilai-nilai sosial dominan yang
berlaku di masyarakat atau karena produser media laki-laki masih dipengaruhi oleh stereotip-
stereotip tersebut. Ini yang oleh Tuchman disebut sebagai hipotesis pencerminan, yaitu bahwa
media massa mencerminkan nilai-nilai sosial yang dominan di masyarakat. Hal ini terkait dengan
representasi simbolisnya, yaitu bagaimana masyarakat memandang dirinya sendiri, misalnya
bagaimana perempuan harus tunduk dan menyenangkan laki-laki, sekaligus bersaing dengan
perempuan lain. Tengok saja iklan-iklan produk kecantikan yang didominasi dengan stereotip
Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB M.Mufidz S.Ag,.M.Si
ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI
tersebut. Perempuan selalu berusaha menyenangkan laki-laki dengan tampil cantik atau
membuat iri perempuan lain dengan tipikal kecantikannya atau bahkan merasa malu ketika
kecantikannya tidak sebanding dengan perempuan lain. Nilai kecantikan individu pun hilang
tergantikan oleh nilai kecantikan massal dan nilai kecantikan yang diberikan oleh orang lain.
Maka demi mendapat pengakuan cantik, beramai-ramailah para perempuan ke salon-salon
kecantikan untuk sekedar meluruskan rambut, menghilangkan kerut di wajah, melangsingkan
tubuh, memutihkan kulit bahkan memancungkan hidung atau memperbesar payudara. Tak
jarang upaya mempercantik diri ini berujung pada kematian.
Pembentukan citra ini tak lepas dari peran media massa, terutama televisi (TV) yang
sangat akrab dengan keseharian masyarakat. Citra cantik ideal itu merupakan produksi budaya
TV sebagai simbol. TV memproduksi dan menyiarkan realitas dalam bentuk simbol-simbol yang
meliputi makna dan komunikasi, seperti kata, bahasa, mitos, nyanyian, seni, upacara, tingkah
laku, benda-benda, konsep-konsep, dan sebagainya. Melalui simbol, TV telah mengubah realitas
empiris lingkungan menjadi realitas TV yang sarat simbol. Realitas TV jelas berbeda dengan
realitas empiris karena campur tangan proses produksi telah mereduksi realitas empiris. Namun
TV memiliki kemampuan untuk menjadikan realitas TV seolah-olah sama dengan realitas
empiris. Pemirsa telah ditarik oleh magnet TV sehingga seolah-olah tidak sedang menghadapi
citra atau gambar semata, melainkan realitas itu sendiri. Sebuah realitas yang oleh Jean
Baudrillard disebut sebagai simulacrum, di mana realitas telah diusir dari realitasnya sendiri alias
menjadi realitas semu. Dalam realitas semu, TV menyajikan aliran gambar yang sudah tidak lagi
mempunyai keaslian seutuhnya, tapi dianggap asli oleh pemirsanya.
Dalam keseharian, simulacrum dalam tayangan TV ini dianggap sebagai kebenaran.
Ketika melihat simbol kecantikan, masyarakat (bukan hanya perempuan) menjadi sulit
membedakan antara kecantikan nyata dan kecantikan semu karena apa yang dilihat dianggap
sebagai realitas. Maka stereotip kecantikan pun menjadi kecantikan simulacrum, kecantikan yang
diidentifikasikan sebagai cantik yang sesungguhnya, padahal sebenarnya hanyalah kecantikan
hasil proses produksi, yang menjadikan para model sebagai tolok ukur kecantikan ideal. Definisi
kecantikan inilah yang kemudian lebih diagungkan daripada kecantikan dari dalam (inner beauty)
karena tampak lebih nyata secara fisik. Berkulit putih sebening embun, berambut hitam selegam
arang dan kemilau seindah permata, bertubuh langsing berlekuk gitar Spanyol, berhidung
semancung perempuan barat, siapa pula yang menolak menjadi bagian dari kecantikan massal
yang telah diakui tidak hanya oleh laki-laki, tetapi juga oleh perempuan itu sendiri. Lalu di
manakah makna sejati dari kecantikan? Jawabannya berpulang pada pribadi masing-masing
dalam memaknai kecantikan sebagai realitas hidup, apakah kecantikan dilihat sebagai nilai
individual ataukah kecantikan dinilai sebagai produk massal.
Situasi ini dipertajam dengan iklan yang terus-menerus menggiring penonton untuk
“harus” mengikuti standar-standar nilai yang disematkan. Menyaksikan iklan shampo; rambut

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB M.Mufidz S.Ag,.M.Si


ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI
lurus hitam adalah nilai yang disampaikan penonton bahwa rambut seperti demikian yang ideal
bagi perempuan.
Semua ini tentu tidak lepas dari motif-motif politik-ideologis tertentu dibalik penyajian
tersebut. Sebagai contoh yang paling mudah, adalah iklan kosmetik dan minyak goreng. Iklan
kosmetik mengiklankan tentang kulit putih mulus dan tubuh langsing ideal perempuan. Iklan
tentang minyak goreng adalah contoh lain tentang nilai-nilai domestifikasi perempuan sebagai
pihak yang harus bertanggungjawab atas segala kesehatan suaminya. Bagaimana menganalisa
masalah ini?
Sebagaimana Sara Mills, titik perhatian utama kita adalah pada wacana feminisme.
Alasannya, seperti halnya pendapat Eriyanto (2001) banyak tayangan ataupun bacaan di media
yang melibatkan perempuan dan yang terbanyak tentu saja adalah tayangan iklan.
Michel Foucault, adalah salah satu filsuf postmodernis yang menawarkan analisis tentang
motif-motif tertentu pada suatu media atau teks. Foucault mengatakannya sebagai “produksi
kekuasaan”. Bahwa kekuasaan tidak bertumpu pada satu titik sentral termasuk tidak hanya pada
pihak-pihak yang dominan, melainkan tersebar di seluruh masyarakat (tidak ada seorang pun
yang memilikinya) (John Lechte, 2001). Kuasa bukanlah milik raja, boss, presiden, atau pejabat,
tetapi dalam bentuk strategi. Kekuasaan tidak bekerja melalui penindasan atau represi,
melainkan melalui normalisasi yang positif dan produktif, yaitu melalui wacana. Iklan, adalah
salah satu tayangan media yang menyebarkan kuasa (strategi) tentang normalisasi tubuh
perempuan. Produksi kekuasaan yang terjadi kemudian adalah munculnya strategi untuk
menghembuskan wacana “langsing”, “kulit putih”, “rambut lurus hitam panjang”, yang mencuat
terus menerus sehingga secara tidak sadar masyarakat menganggap tubuh perempuan yang
ideal dan normal adalah; langsing, berkulit putih, dan berambut lurus. Disini tengah berlangsung
bergulirnya strategi kuasa yang diproduksi terus menerus.
Wacana yang dihembuskan ini secara perlahan-lahan menciptakan kategorisasi, seperti
perilaku baik atau buruk yang sebenarnya mengendalikan perilaku masyarakat yang pada
akhirnya dianggap kebenaran yang telah ditetapkan. Atas hal ini, bukan tubuh fisik lagi yang
disentuh kuasa, melainkan jiwa, pikiran, kesadaran dan kehendak individu. Iklan bukan lagi
menjadi pelayanan terhadap konsumen, melainkan menormalkan individu agar perilakunya
sesuai dengan yang diinginkan si pembuat iklan. Foucault menegaskan persoalan ini sebagai
kekuasaan atas kehidupan modern atau kapitalisme, salah satunya yaitu untuk mencapai target
penjualan produk.
Sebagai contoh, iklan Pond’s yang pernah ditayangkan di media televisi jelas
menunjukkan bahwa kulit putih lebih baik daripada berkulit gelap. Dalam iklan tersebut
ditampilkan seorang fotografer mengambil ancang-ancang membidik dua gadis kembar, yang
satu berkulit gelap, yang lain berkulit putih. Fotografer si lelaki tampan itu memilih membidik
kameranya kepada si gadis yang berkulit putih. Mengetahui hal itu, gadis berkulit lebih gelap

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB M.Mufidz S.Ag,.M.Si


ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI
berwajah murung, kemudian berusaha memutihkan kulitnya dengan harapan lelaki itu
memperhatikannya.
Iklan yang membenarkan “kulit putih lebih cantik daripada kulit hitam” tidak dibentuk
dengan reproduksi kekuasaan represif, melainkan melalui reproduksi kreatif. Melalui iklan,
individu didefinisikan, dibentuk, diciptakan, yaitu perempuan cantik adalah yang berkulit putih dan
lelaki normal adalah yang menyukai perempuan berkulit putih.
Atau iklan tentang tubuh ideal perempuan langsing dan tinggi. Perempuan kemudian
diatur, digiring untuk menjadi ramping, bahwa tubuh ideal perempuan seperti pada perempuan
yang menjadi model iklan Tropicana Slim, atau iklan The Cambridge Diet yang menuliskan kata-
kata,”Lost the weight, not the fun …” dengan lingkaran merah besar yang menutupi sebagaian
tubuh ramping kurus perempuan bule yang sedang melompat, bertuliskan “Yes! Turunkan berat
badan anda hingga 5 kg perminggu!” Kata-kata itu menunjukkan bahwa menjadi kurus adalah
kegembiraan dan kepuasan.
Atau pada iklan minyak goreng, terdapat kata-kata,”jangan-jangan kolesterol suamiku
tinggi karena aku salah pilih minyak goreng”. Jelas sekali adanya domestifikasi perempuan
bahwa istrilah yang harus bertanggungjawab bila suaminya terkena penyakit tertentu. Istri ideal
adalah yang terus merasa bersalah bila terjadi sesuatu pada suami mereka. Masyarakat
kemudian menginternalisasi “istri ideal” adalah seperti itu. Iklan itu menunjukkan adanya bias
dalam menampilkan perempuan dimana istri cenderung ditampilkan sebagai pihak yang salah.
Langsing putih dan berambut lurus menjadi wacana dominan perempuan ideal di
masyarakat kita. Wacana dominan ini menggeser atau memarginalkan wacana lain yaitu bagi
perempuan-perempuan yang tidak berkulit putih dan tidak bertubuh langsing. Akibatnya adalah
perempuan yang tidak bertubuh langsing dan tidak berkulit putih kehilangan kepercayaan atas
tubuhnyadan kehilangan identitas karakter tubuhnya sendiri. Wacana tubuh perempuan yang
tidak dominan ini diabaikan (left out).
Berbagai upaya mengimbangi wacana dominan ini seperti yang dilakukan Dewi Huges
atau Anita Roddick yang peduli terhadap masyarakat pedalaman dengan melihat kecantikan
perempuan Afrika pada akhirnya tidak mampu mengalahkan wacana dominan tadi. Roddick
sampai bersusah payah membuat maskot “The Body Shop” serupa boneka Barbie tetapi
bertubuh besar, berambut ikal dengan kulitnya yang berwarna. Ia menyebutnya sebagai suatu
pencerahan terhadap kapitalisme.
Sangat memprihatinkan bila perempuan-perempuan yang tidak bisa mencapai wacana
dominan tentang tubuh ideal tadi membuat mereka terobsesi dan memaksakan diri dengan
berbagai upaya yang bahkan bisa membahayakan mereka. Bagaimana mungkin kulit hitam bisa
menjadi putih hanya dengan kosmetik? Lagipula wacana dominan ini mengandung pelecehan
terhadap ras yang berkulit hitam. Masihkah kita perlu membanggakan diri atau bersedih hati
karena kulit kita?

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB M.Mufidz S.Ag,.M.Si


ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI
Iklan-iklan yang memelihara nilai-nilai seperti itu sesungguhnya menumbuhkan stereotip
baru terhadap perempuan, yaitu konsep yang mencakup seks dan gender dimana seks adalah
indentifikasi untuk membedakan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi (jenis kelamin)
yang lebih digunakan untuk persoalan reproduksi dan aktivitas seksual (Suzanne dan
wendi,1997) sedangkan gender menjelaskan adanya pembedaan laki-laki dan perempuan yang
dilihat dari konstruksi sosial-budaya (Elaine,1989).
Dalam tulisan Advertising as the Magic System Raymond Williams melihat bahwa iklan
sebagai fenomena budaya dalam konteks modern harus dipahami ulang karena peranannya
sebagai ideologi cukup mencengkeram. Untuk memahami perkembangan periklanan, sekaligus
menangkap kekuatan makna yang "bersinar-sinar" seperti terlihat dewasa ini, orang
sebaiknya menelusuri sejarah budaya iklan itu sendiri. Lebih lanjut, orang dapat mulai
menyesuaikan diri dengan fungsi-fungsi kontemporer yang dihasilkan dengan sangat subtil
dan imajinatif oleh iklan sehingga terasa seolah-olah tanpa agresivitas dan paksaan. Williams
memperlihatkan bahwa turbulensi kebudayaan yang menjadi corong kepentingan
kapitalisme dalam sistem perdagangan barang hanya menggunakan sihir iklan untuk
fungsi penandaan nilai komoditas. Ini sebuah ciri bahwa kepentingan produksi budaya
kapitalisme hanya untuk sebuah politik konsumsi pasif, tidak eksploratif, apalagi kreatif.
Williams mencatat bahwa periklanan berusia setua umur masyarakat sendiri. Sejak
masa Yunani Kuno pengumuman telah ditulis pada lembaran papirus dan dipancang di dinding
kota dengan tujuan promosi ide, misalnya, ketika terjadi perdebatan Socrates di pengadilan
(Apologia) sebelum kematiannya. Pada masa Romawi Kuno seruan untuk hadir di suatu acara
ditempelkan di tembok-tembok pengumuman kota Roma, seperti undangan melihat
pertempuran berdarah para gladiator di coloseum.
Pesan-pesan seperti ini menjadi semacam "ritual kecil" yang dapat dengan cepat
dikerjakan, dan sangat cepat pula dilupakan. Dari sekedar proses khusus untuk menarik
perhatian dan memberi informasi iklan berkembang pesat menjadi sistem penyampaian
informasi komersial pun pemberian saran-saran dan harapan yang terlembaga secara baik.
Dalam sejarah masyarakat Inggris penyebaran informasi yang lebih terorganisir dimulai pada
abad ke 17 sejalan dengan perkembangan buku-buku berita, merkuri, dan surat kabar. Laju
pertumbuhan surat kabar dari 1690-an juga membuat volume periklanan bertambah. Sebagian
besar masih diklasifikasi menurut jenis dalam seksi reguler koran atau majalah, dan ada pula
yang diberi ilustrasi. Bahan-bahan yang diiklankan tergantung pada apa yang dibutuhkan
atau ditawarkan ke publik, seperti penjualan komoditi di toko-toko tertentu, pelayanan personal,
pengumuman publikasi buku-buku, detil tentang pembantu yang melarikan diri, sampai penjualan
kuda atau anjing.
Revolusi industri, sekaligus hubungannya dengan revolusi komunikasi, secara
fundamental mengubah sifat dasar iklan. Lahirnya perusahaan dengan produksi skala besar
membutuhkan strategi penjualan yang berbeda. Hadirnya media massa cetak yang
Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB M.Mufidz S.Ag,.M.Si
ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI
membutuhkan iklan sebagai sumber pemasukan terbesarnya menjadi cukup penting.
Perusahaan penerbitan berita umum pun, seperti Times dan News of the World, berkembang
pesat, apalagi dengan diberikannya keringanan pajak. Pada 1855 pajak periklanan dan biaya
meterai dihapuskan sehingga sirkulasi surat kabar dan produksi iklan meluas.
Depresi terbesar dalam dunia periklanan akibat kejatuhan harga barang yang luar biasa
terjadi pada periode 1875 hingga 1890-an. Bencana ini menjadi titik tolak baru untuk
mereorganisir industri kepemilikan menjadi lebih besar dan mengkombinasikannya dengan
keinginan pertumbuhan pangsa yang lebih besar pula. Hal itu dimaksudkan agar dapat
mengkontrol pasar jika sewaktu-waktu mengalami depresi dan kegoncangan finansial secara
luas. Saat itulah bisnis iklan tidak hanya menjadi bisnis tempelan, namun berubah menjadi
bisnis baru yang mengambil tempat cukup penting di bidang produksi dan digunakan setiap
pemilik modal untuk meningkatkan rangking produksi.
Dalam seratus tahun terakhir, iklan telah berkembang dari sekedar pengumuman
pelayanan toko dan seni memikat yang dilakukan pemasok barang pinggiran menjadi
organisasi bisnis raksasa para kapitalis. Ia menguasai seluruh lapisan komunikasi di media
massa cetak dan elektronik sehingga keduanya tidak dapat hidup tanpa iklan. Iklan telah
menjadi sistem jual tanpa batas negara pun jenis-jenis usaha dan penawaran. Ia juga menjadi
alat pengaruh di wilayah politik, merembes dan mendikte nilai-nilai yang dianut masyarakat.
Iklan mengambil alih seluruh sistem komunikasi masyarakat dan akhirnya hanya tersedia
sebuah lorong sempit untuk memahami masyarakat, yaitu lewat iklan!
Iklan telah menjadi kegilaan yang tidak relevan lagi di abad modern. Minuman bir
tidaklah cukup sebagai sebuah minuman tanpa ada janji bahwa dengan meminum bir kita
akan kelihatan lebih jantan, tangguh, dan bersahabat. Sederetan janji-janji yang tidak relevan
lagi dengan khasiat dan manfaat barang ditebar. Inilah yang disebut Williams sebagai
puncak kegagalan idealitas nilai dan makna yang ada dalam masyarakat. Masyarakat kita
sekarang merupakan masyarakat yang tergantung pada barang. Sistem periklanan
menjadi sihir yang terorganisir dengan upaya pengaburan fungsi dan penyodoran ilusi
kebebasan memilih barang. Seluruh bujuk rayu, cumbuan, dan saran yang disajikan dengan
sangat subtil telah mengesankan iklan hanya sebagai alat penawaran yang manusiawi dalam
mengkomunikasikan kepentingan penawaran, bukan sebagai instrumen represi kebebasan
manusia.
Williams tidak menjelaskan dengan eksplisit kecuali membuat demarkasi, semacam
peringatan bagi manusia agar tidak terjebak dalam keadaan genting akibat daya destruksi
yang dibangun iklan. Sejarah budaya tersebut memberi pelajaran bagaimana mayoritas
masyarakat tidak mampu mengontrol hasil produksi yang hanya dikuasai sekelompok kecil
pemilik modal. Ia juga tidak mengulas lebih panjang peran ideologi iklan dalam melahirkan
budaya baru, tapi hanya menjelaskan efek-efek yang ditimbulkan dalam budaya ekonomi.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB M.Mufidz S.Ag,.M.Si


ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI
Tidak terlihat upaya dekonstruksi -seperti yang diinginkan Derrida misalnya, dalam mencari
"titik-titik buta" yang dapat kita pelajari bersama.
Mengikuti perspektif Derrida, dengan melihat secara khusus teks-teks yang digunakan
dalam iklan misalnya, kita dapat membangun kesimpulan filosofis tentang kedudukan bahasa
dalam iklan sebagai ideologi atau sistem gagasan. Bahasa di dalam iklan berdiri sebagai
sesuatu yang hanya eksotik dibaca dan didengar. Seolah-olah kata-kata tsb. Memberi kita ide
dan visi baru yang membuat kita tidak puas dengan cara berfikir lama. Namun kata-kata
yang hadir terkesan artifisial dibandingkan dengan yang secara substansial dibutuhkan
manusia. Dalam iklan-iklan di Indonesia misalnya, slogan seperti "Bukan Basa-Basi", "Pas
Susunya", atau "Selembut kasih ibu" kalau kita keluarkan dari konteksnya menjadi kata-kata
hambar makna. Hanya dengan tampilan yang berulang-ulang, terutama secara visual, orang
baru tersengat oleh daya sihir kata-kata ini, suka atau tidak suka.
Modernisasi di satu sisi melahirkan budaya yang hanya pantas untuk dinikmati
sebagai penghiburan, bukan budaya yang memiliki wawasan penalaran. Namun, ini kadang
bisa menjadi berkah. Dalam pemikiran Umberto Eco, semangat klasik yang melulu
mengharuskan kita takzim dan serius melihat sebuah repertoar teatrikal atau simponi musik
klasik tidak selalu tepat bagi masyarakat sekarang. Banyak yang menganggap bahwa budaya
iklan adalah budaya rendahan dan kacangan. Namun apakah ini bermasalah? Budaya yang
selama ini dianggap "tinggi" lebih banyak mengenang kejayaan romantik masa lalu dan
kemenangan para aristokrat, atau budaya yang dipelajari di universitas dengan dasar ilmiah
yang sangat ketat, sehingga kadang kala sulit untuk memahami dan mempelajarinya.
Padahal generasi sekarang sudah mulai jengah dengan "kebenaran" yang terkandung dalam
kebudayan tinggi. Generasi muda mulai menantang karakter "antik" dalam budaya massa.
Stereotipe tidak lepas kaitannya dengan seks dan gender, yaitu suatu konsep sosial yang
berhubungan dengan pembedaan (distinction) karakter psikologi dan fungsi sosial antara
perempuan dan laki-laki yang dikaitkan dengan anatomi jenis kelaminnya (sex). Misalnya
perempuan dijelaskan berkarakter baik bila ia sebagai ibu rumah tangga atau istri yang baik
(seperti pada iklan minyak goreng), sedangkan laki-laki berkarakter baik bila ia sebagai individu
di atas dunia yang lebih luas (Tierney). Mansour Fakih bahkan lebih jelas mengatakan bahwa
stereotipe adalah pelabelan negatif terhadap jenis kelamin tertentu, yang akibatnya terjadi
diskriminasi dan ketidakadilan.
Stereotipe terhadap perempuan seperti lebih mudah dijelaskan dengan bertitik tolak pada
wacana oposisi biner yang menempatkan perempuan pada posisi yang negatif dan tak berdaya.
Dalam Sorties, Hélén Cixous menulis hirarki oposisi biner yang selalu menempatkan dua hal
dalam relasi yang superior-inferior seperti “Activity/passivity, Culture/nature, Head/heart,
Intelligible/palpable Man/woman”.
Masyarakat manapun, termasuk Indonesia masih memegang stereotip bahwa laki-laki
berada di wilayah kiri (aktif, beradab, rasional, cerdas) sedangkan perempuan di wilayah kanan
Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB M.Mufidz S.Ag,.M.Si
ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI
(pasif, dekat dengan alam, emosional, kurang cerdas). Iklan-iklan yang membuat standar tubuh
perempuan ideal membuktikan bagaimana laki-laki (lebih banyak dibagian produksi iklan)
menciptakan perempuan untuk sesuai dengan fantasi mereka tentang “perempuan sexy atau
cantik”. Model-model perempuan adalah obyek yang dikreasi untuk mencapai fantasi tersebut,
sedangkan laki-laki adalah penciptanya. Tidak hanya iklan, stereotip oposisi biner menempatkan
perempuan pada posisi yang dirugikan dimana ini terjadi pula dalam media seni. Dalam media ini
perempuan adalah obyek yang dikreasikan atau diciptakan oleh keinginan, hasrat dan daya pikir
laki-laki, perempuan adalah obyek yang pasif, yang bisa dibentuk sebagaimana yang diinginkan
laki-laki. Seperti Basuki Abdullah seorang pelukis terkenal pernah berkata,”Perempuan itu lebih
cocok untuk dilukis daripada sebagai pelukis.” Antiphanes seorang dramawan komedi Yunani
juga mengatakan,”Perempuan tak akan hidup lagi setelah kematian, kecuali dibangkitkan lawan
kesenian oleh pria.” Penyair metafisis Inggris pada sekitar abad 17 bahkan menggambarkan
perempuan itu cuma kata-kata (passivity, palpable), sedang perbuatan adalah pria (activity,
intelligible). Atas hal ini, dapat disimpulkan bahwa tampaknya perempuan dalam media
ditempatkan sebagai yang abstrak, sedangkan pria itu konkrit. Perempuan yang “dikerjakan” dan
lelakilah yang mengerjakan.
Wacana dominan yang berwajah stereotipe ini memagari perempuan sehingga mereka
tidak mampu mengekspresikan dirinya. Seperti yang dialami pelukis Lucia Hartini dan Kartika
Affandi Koberl. Ketika menjadi pelukis, mereka dianggap “sinting” atau aneh oleh masyarakat
sekitarnya, karena ada stereotipe dimana ibu rumah tangga seharusnya mengurus rumah
tangga, bukannya melukis.
Kenyataan bahwa perempuan dalam media seni tidak diterima sebagai subyek
sebetulnya sudah dialami oleh Kartini dan adiknya, Roekmini. Dalam suratnya, sekitar tahun
1901 bahwa saudara perempuannya yang bernama Roekmini ingin menjadi pelukis di akademi
senirupa di Den Haag, tetapi tradisi tidak memberi tempat kepada anak perempuan diluar
lingkungan rumah. Adanya stereotipe bahwa perempuan tidak boleh di luar lingkungan rumah
mengakibatkan Roekmini tidak pernah mendapat kesempatan belajar seni rupa seperti yang
pernah dicita-citakannya.
Begitupula di bidang sastra, Ayu Utami penulis novel Saman sebagai pemenang juara
pertama sayembara roman DKJ 1997-1998 sempat dicurigai bahwa itu bukan karyanya,
melainkan tulisannya Goenawan Muhammad. Ada faktor ketidakpercayaan masyarakat dengan
mempertanyakan bagaimana mungkin perempuan dapat mencapai kesuksesannya di bidang
sastra, dan masyarakat lebih percaya bila kesuksesan sebuah karya seni ada di tangan laki-laki
(stereotipe). Akibatnya, buah pikiran Ayu Utami dicurigai sebagai buah pikiran laki-laki, yang
dianggap lebih mungkin dan masuk akal.
Kecurigaan tersebut bisa kita lihat di beberapa media massa dan gunjingan di sekitar
kelompok-kelompok sastra. Seperti dalam surat kabar Suara Pembaharuan, dituliskan judul yang
sangat melecehkan,”’Saman”, Puas tapi Minta Tambah”, yang isinya mengasumsikan bahwa
Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB M.Mufidz S.Ag,.M.Si
ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI
fragmen dari novel itu benar-benar mengundang libido pembaca (dalam hal ini berarti libido laki-
laki) dengan menempatkan Ayu Utami sebagai obyek berita yang sensual, bukan karya
sastranya.
Stereotip memang sangat merugikan perempuan yang tidak hanya dalam iklan tetapi juga
masuk ke wilayah seni. Namun, dibandingkan dengan media iklan, media seni ternyata dapat
juga menjadi alat untuk mendobrak stereotipe itu sendiri. Dalam media seni kita bisa menemukan
semangat kebebasan dibandingkan dengan media iklan.

Stereotip Orang dengan Orientasi Seksual Menyimpang


"Menjadi muda dan gay kini bukanlah hal yang tabu", merupakan slogan yang kini
didengungkan oleh televis sejak dekade 90-an. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa industri
hiburan kini tidak mempermasalahakn homoseksualitas sebagai pengecualian. Namun demikian,
hingga kini homoseksual masih digambarkan oleh media dan masyarakat sebagai kejahatan dan
karenanya tidak boleh diberi ruang untuk berkembang.
Hal yang sama juga terjadi pada lesbian. Lesbian adalah perempuan yang mencintai
perempuan. Lesbian tertarik secara seksual terhadap perempuan lain dan perasaan seksual
mereka terhadap perempuan lain itu normal adanya serta wajar bagi mereka. Lesbian
mengatakan mereka merasa lebih dekat secara emosi dan kejiwaan serta lebih menyukai
hubungan intim dengan perempuan. Menurut Kamilia Manaf, Koordinator Institut Pelangi
Perempuan (lihat www.satupelangi.com), kira-kira 1 dari 10 orang mungkin lesbian atau gay, dan
banyak perempuan yang tenar dalam sejarah adalah lesbian. Ada guru, dokter, pengacara,
pekerja pabrik, polisi, politikus, menteri, bintang film, artis, ibu, suster, supir truk, model dan
penulis novel yang lesbian. Ada orang kulit putih, kulit hitam, Asia, Hispanik dan orang Indian
yang lesbian. Mereka bisa saja orang Yahudi, Katolik, Protestan, Buddha atau Muslim. Lesbian
ada yang kaya, ada juga yang miskin, buruh kasar atau kelas menengah, muda atau tua. Ada
lesbian yang berada dalam pernikahan secara heteroseksual. Ada juga lesbian yang cacat.
Padahal dalam konteks kebebasan, maka lesbian dan gay adalah pilihan. Pernyataan-
pernyataan yang sering diangkat bahwa menjadi seorang gay atau lesbian adalah penyakit atau
abnormal, menyebabkan individu-individu pecinta sesama jenis kerap terganggu dengan
orientasi seksual yang dimilikinya dan seringkali berusaha untuk menyukai lawan jenisnya atau
dengan kata lain berusaha untuk menjadi seorang heteroseksual. Selain itu, perasaan-perasaan
seperti tidak disukai, cemas dan sedih menjadi permasalahan yang harus dihadapi hampir tiap
harinya. Konflik-konflik diri ini yang kemudian menyebabkan perasaan kesepian, malu dan
depresi. Semua itu begitu dirasakan dampaknya terutama oleh remaja gay dan lesbian yang
dilaporkan tiga kali lebih mungkin mencoba untuk bunuh diri dibanding teman-temannya yang
mencintai lawan jenis. Kenyataan ini kemudian juga menimbulkan peningkatan jumlah
alkoholisme dan pemakaian zat terlarang lain pada gay dan lesbian remaja.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB M.Mufidz S.Ag,.M.Si


ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI
Diantara keresahan dan kegelisahan yang dialami teman-teman gay dan lesbian itu, ada
pula yang tidak merasa terganggu oleh orientasi seksualnya dan tidak berusaha untuk mengubah
dirinya menjadi seorang heteroseksual. Berdasarkan hasil penelitian, gay dan lesbian yang
seperti ini justru mampu mencapai tingkat pendidikan, ekonomi, pekerjaan sama tingginya
dengan orang-orang heteroseksual, bahkan kadang-kadang lebih tinggi. Bagi lesbian biasanya
mereka dapat lebih mandiri, fleksibel, dominan, dapat mencukupi kebutuhannya sendiri dan
tenang. Gay dan lesbian seperti ini juga lebih jarang mengalami kecemasan dan kesulitan
psikologis daripada heteroseks. Karena mereka menerima dan tidak terganggu secara psikis
dengan orientasi seksual mereka, sehingga mampu menjalankan fungsi sosial dan seksualnya
secara efektif.
Kamilia Manaf menegaskan bahwa lesbian bukanlah penyakit. Lesbian hanyalah masalah
orientasi seksual, dan kita tetap bisa menunjukkan karya-karya, prestasi atau buah pikir yang
sama seperti manusia lainnya. Sudah terbukti banyak lesbian yang sukses pada profesinya
masing-masing, yaitu menjadi penyiar televisi ternama, penyanyi terkenal, atlet internasional atau
bahkan anggota parlemen.

Stereotip Agama
Stereotip tentang agama diantaranya adalah pelabelan Islam sebagai agama teror. Paus
Benedictus XVI misalnya pernah mengatakan bahwa makna jihad dalam Islam dan penyebaran
Islam dengan pedang (Kompas, 16/9/2006). Kontan, sejumlah pemimpin Islam mengecam keras
dan menganggapnya sebagai anti-Islam. Meski sudah ada klarifikasi dari Vatikan, kemarahan
umat Islam tetap berlangsung. Padahal, pemimpin tertinggi Gereja Katolik itu hanya mengutip
pernyataan seorang kaisar Kristen Ortodoks abad ke-14, Kaisar Manuel II Palaeologus.
Bahwa Islam disebarkan oleh pedang, ini adalah stereotip usang yang sudah dibantah
orientalis sekelas Bernard Lewis. Ia mengatakan, tidak mungkin umat Islam berperang dengan
tangan kanan memegang pedang, tangan kiri memegang Al Quran karena Al Quran adalah kitab
suci yang hanya bisa dipegang tangan kanan. Hingga kini stereotip Islam dan kekerasan masih
problematis. Stereotip ini kian menguat setelah kasus peledakan WTC pada 11 September.
Ditambah kasus-kasus lain, termasuk isu terorisme di Indonesia melalui serangkaian peledakan
bom, stereotip ini seolah tak terhindarkan. Padahal, pelaku serangkaian aksi kekerasan adalah
kelompok minoritas yang sama sekali tidak mewakili mainstream umat Islam. Dengan demikian,
stereotip itu tidak bisa digeneralisasi. Stereotip menjadi problem krusial dalam masyarakat yang
majemuk. Kasus-kasus konflik dan ketegangan sosial sering dilatarbelakangi kuatnya stereotip
mengenai kelompok lain. Intensitas konflik menjadi kian kuat jika sentimen agama masuk di
dalamnya.
Sekarang ini sangat mendesak untuk menghentikan penodaan terhadap dunia Muslim
melalui penggambaran stereotip yang tidak adil. Meningkatnya kecenderungan untuk mengaitkan
antara terorisme dan Islam justru sangat merusak perdamaian internasional. Perdana Menteri
Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB M.Mufidz S.Ag,.M.Si
ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI
(PM) Malaysia Abdullah Ahmad Badawi pernah mengungkapkan hal itu ketika menyampaikan
pidatonya pada Sidang Umum PBB tahun 2004. Badawi menegaskan, kita harus menghilangkan
asosiasi Islam dengan kekerasan, kemiskinan, dan tidak punya harga diri. Sebab, kenyataannya
masalah terorisme ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan Islam. Persoalan itu juga tidak
secara eksklusif adalah menjadi milik kaum Muslim.
“Kita perlu menjernihkan kebingungan atas dikaitkannya masalah-masalah yang dihadapi
negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim dengan agama Islam,” ungkap Badawi sambil
mencontohkan negaranya sendiri sebagai bukti bahwa Islam tidak berseberangan dengan
modernisasi dan demokrasi. Contoh bahwa Islam tidak berseberangan dengan demokrasi juga
disampaikan Menlu RI pada kesempatan yang sama. “Sebagai negara dengan penduduk Muslim
terbesar, Indonesia telah membuktikan bahwa Islam bisa menjadi benteng bagi demokrasi dan
keadilan sosial,” kata Hassan Wirajuda.

Stereotip Orang Cacat


Orang cacat sering dikatakan sebagai orang yang lemah, tidak mampu memenuhi
kebutuhan diri sendiri serta tidak dapat menyesuaikan diri dalam tantangan di kehidupan sosial.
Bahasa negatif dan merendahkan akan menghasilkan citra negatif dan juga merendahkan. Kata-
kata sangatlah penting sehingga tidak menyinggung atau memancing stereotip negatif tentang
orang cacat.
Bahasa digunakan untuk membentuk ide, persepsi dan sikap. Kata-kata yang digunakan
menggambarkan perilaku yang berlaku di masyarakat. Perilaku ini sering menjadi penghalang
yang sulit diubah. Bagaimanapun juga, perilaku positif dan penuh hormat dapat dibentuk melalui
penggunaan kata secara bijaksana, yang menjelaskan secara obyektif tanpa maksud
menghakimi.
Kata-kata seperti kelainan, kecacatan dan hamabatan sering digunakan secara
bergantian. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dengan seksama mendefinisikan ketiga kata ini
(lihat di kotak), dengan mempertimbangkan hak asasi manusia, perbedaan dan keragaman.
Kecacatan saat ini dipandang sebagai kumpulan kondisi rumit, yang kebanyakan diciptakan oleh
lingkungan sosial. Karenanya manajemen masalah ini membutuhkan aksi sosial– dan adalah
tanggung jawab bersama untuk memodifikasi lingkungan agar anak dan orang dewasa yang
cacat dapat berpartisipasi penuh dalam seluruh aspek kehidupan.
Ketika berbicara tentang orang cacat, masyarakat sering menggunakan sebutan yang secara
tidak langsung menyatakan penilaian negatif. Orang-orang melabel dengan sebutan si cacat, si
tuli atau si terbelakang mental seakan-akan hanya itulah karakteristik mereka.
Padahal mereka mungkin mempunyai kelainan, kecacatan, hambatan sebagai salah satu
dari banyak karakteristik lainnya. Membicarakan tentang ”si terhambat”, ”si cacat”, ”si tuli”
sangatlah menghina dan menyakiti martabat seseorang. Ini melabelkan mereka ke dalam satu

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB M.Mufidz S.Ag,.M.Si


ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI
kelompok yang dianggap sejenis dan stereotip. Sebutan itu memfokuskan pada kecacatannya
bukan pada orangnya.
Keterbelakangan mental adalah sebutan negatif lainnya yang dapat melukai perasaan
seseorang dan anggota keluarganya. Akan sangat lebih baik jika menggunakan istilah
“Kecacatan Intelektual”.
Istilah baru seperti OPC (Orang Penyandang Cacat), APC (Anak Penyandang Cacat),
OTL (Orang Terinfeksi Lepra) adalah pengertian baru yang sama saja dengan sebutan lalu.
Orang seharusnya tidak dibuat menjadi singkatan. Kita tidak menggunakan singkatan untuk
kelompok apapun dan terhadap orang-orang yang memiliki kecacatan.
Sangatlah penting untuk disadari bahwa keragaman di antara manusia adalah normal dan
demikian juga berbagai kategori orang dengan kecacatan berbeda. Seorang praktisi komunikasi
bisa saja mempunyai dua murid tunanetra yang membutuhkan pendekatan pembelajaran yang
sangat berbeda karena keragaman itu normal baik di antara orang-orang yang tanpa dan yang
memiliki kecacatan.
Tanggal 3 Desember adalah hari international bagi orang-orang Difabel. Mereka adalah
orang yang memiliki tubuh dan kemampuan yang berbeda (diferent ability). Dalam keseharian
diistilahkan sebagai “penyandang cacat”. Namun, belum ada kejelasan apa sebenarnya definisi
“cacat” (disability) tersebut? Bukankah setiap tubuh orang selalu berbeda antara satu dengan
yang lain: wajah, warna kulit hingga rambut? Cacat menurut siapa? Dari mana ketegori tersebut
hadir?
Bukankah gila, waras, cantik, cakap merupakan produks hasil dari reproduksi
masyarakat? Sebuah reproduksi yang menembus alam bawah sadar, hingga kemudian menjadi
kesepakatan yang susah untuk ditolak atau digugat. Sebuah perjalanan yang ditentutakan oleh
kuasa yang menopangnya.
Jika mayoritas adalah seragam, mereka yang “aneh dan “nyeleneh” akan mendapat
stereotip dan kategori. Maka “cacat” adalah masalah kategori yang dibentuk dengan kuasa
standar mayoritas. Di sini, tentu saja adalah standar orang “normal”. Jika pemenang yang normal
maka, mereka yang dikategori cacat segera akan terpinggirkan. Berbagai unsur kehidupan:
agama, kultur, politik,dst yang dibentuk oleh orang normal akan mendukung terciptanya
“kenormalan” yang sempurna. Sebaliknya, akan menjadi monster menakutkan atau godam yang
meng-enyah-kan orang-orang yang dianggap cacat. Dan ini memang menjadi kenyataan yang
menyedihkan dalam sejarah.
Orang-orang Yunani memandang tubuh adalah cerminan dunia. Tubuh adalah dunia kecil
yang musti dirawat. Tak, heran jika nenek monyang peradaban Eropa tersebut, selalu
mengimpikan dan mengkonsepkan kekokohan tubuh. Ini terkait dengan pentingnya perang, dan
“olimpic games” bagi tradisi Yunani. Dengan begitu tubuh musti kuat, dan kekar, untuk menang
dalam perang, atau mejadi juara dalam setiap permainan.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB M.Mufidz S.Ag,.M.Si


ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI
Maka, Haphaestes kakak Hercules, anak Dewa Zeus dan Hera musti dibuang dan di
keluarkan dari surga. Sisipus, begitu mengetahui telah menikahi ibunya, menebus dosanya
dengan menjadi buta. Dan buta adalah simbol penderitaan dan kelemahan. Bahkan di Sparta,
pemerintahan yang mendamba perang dan kesempurnaan tubuh, memberikan hukum agar
orang-orang dan bayi-bayi difabel dilenyapkan.
Decak kagum akan keperkasaan tubuh juga di absorbsi oleh orang-orang Roma.
Masyarakat mendambakan akan pentingya, kebebasan individu, militer dan seni perang yang
memang menjadi penyokong kekokohan Roma. Walhasil, semua musti mendukung cita-cita
tersebut. Tak heran, “pembunuhan bayi”(infanticide), yang sakit-sakitan, lemah dan difabel
disahkan oleh negara. Atau yang tak kalah kejamnya, dihanyutkan di sungai Tiber. Orang-orang
kerdil (midget), dan orang buta menjadi sebuah permainan untuk bertarung dengan perempuan
atau hewan, hingga menjadi tertawaan banyak orang (Garland, 1995: 41)
Bukan itu saja, agama juga terkadang menjadi/mendukung proses subordinasi orang-orang
difabel. Dalam agama Yahudi, seringkali orang-orang cacat tidak diijinkan untuk turut andil dalam
ritual ketuhanan. Leviticus bahkan meneguhkan, orang-orang buta, yang mempunyai tangan
satu, kerdil, dan mempunyai kecacatan yang lain, sebagai orang yang tak berhak untuk
mendapat uluran kasih dari Tuhan.
Demikian pula dalam agama Kristen, orang-orang yang melanggar aturan Tuhan,
immoral dan bertindak jahat, akan mendapat hukuman dan Tuhan akan membutakan matanya.
Cacat adalah suasana keburukan, kejelekan dan kesengsaraan. Hingga posisinya menjadi
wilayah yang digunakan untuk menghukum orang-orang “jahat” dan keluar dari jalur Tuhan.
Dalam Perjanjian Baru (New Testament) dalam kitab Matius, Yesus sanggup menyembuhkan
penderita lumpuh setelah, mengabarkan bahwa dosa-dosa orang tersebut telah diampuni. Ini
berarti kelumpuhan diderita karena gelimpangan dengan dosa, hingga kelumpuhan adalah
balasannya.
Lebih lanjut lagi, dalam Bibel selalu menghubungkan orang difabel dengan garis
kekotoran dan dosa. Ini dapat terbaca pada apa yang dipercayai oleh St Agustine, orang yang
dipercaya membawa agama Kristen di dataran Inggeris sekitar akhir abad ke-enam. Agustine
mengobarkan bahwa difabilitas adalah hukuman bagi turunya Adam dan dosa-dosa yang lain.
Selain itu, pada kurun abad ini, tengah berkembang dalam benak masyarakat, difabel selalu saja
dihubungkan dengan kekuatan setan. Perempuan yang mempunyai anak difabel, selalu saja
diasosiasikan mempunyai dan telah berani berhubungan ilmu sihir(witchcraft). Paling tidak
mempelajarinya.
Sejarah kepedihan difabel terus berlanjut. Dan agama, dengan kejujuran hati, seringkali
menjadi pondasi utama atas penderitaan yang digenangi oleh kelompok orang yang memang
“tak berdaya” ini. Siapa sangka, Marthin Luther yang rasionalis dan pahlawan tersebut juga
terlibat dalam penggilasan orang-orang difabel. Sang komandan besar dalam reformasi

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB M.Mufidz S.Ag,.M.Si


ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI
Protestan tersebut, menyokong dan memproklamasikan pembunuhan bayi-bayi difabel di
Jerman. Ini terkait dengan streotip orang-orang difabel yang dianggap sebagai “titisan setan”.
Setelah gemuruh modernitas benar-benar berwujud nyata. Setelah tercetusnya sistem
terbaik dalam masyarakat: demokrasi, setelah lamat-lamat Hak Asasi Manusia (HAM)
diperjuangkan dan diwujudkan eksistensinya. Orang-orang difabel memang mengalami
pergeseran perlakuan. Namun mereka tetap saja menjadi bahan lelucon, dan penyakit yang
musti disembuhkan. Ini tampak dari usaha “belas kasihan” yang ditujukan bagi orang-orang
difabel.
Mereka dianalisis secara medis, hingga kemudian di “rehabilitasi”, yang berarti
diperbaharui selayaknya rumah yang rusak. Panti-asuhan dan pusat rehabilitasi didirikan di
mana-mana, dibangun untuk menseterilkan difabel. Kontruksi dan sikap atas kaum difabel tak
ubahnya seperti “orang gila” di abad pertengahan Eropa. Pada abad pertengahan penderita lepra
lenyap begitu saja, digantikan oleh keberadaan orang-orang gila. Mucul berbagai tempat untuk
menahan orang-orang gila. Proses ini, sebagaimana dikatakan oleh Foucault didahului sebuah
kuasa diskursus: rasionalitas, yang berwujud legitimasi klinis/medis (Foucault, 1988).
Sekalipun demikian, sejarah difabel tetap saja dihinggapi kepedihan yang amat
mendalam. Bahkan lebih pedih dari zaman Yunani atau Eropa Klasik. Di era Hitler yang memang
dipilih secara demokratis pada masyarakat Jerman yang terdemoralisasi. Hingga yang namanya
demagog, penghasut, orang gila, pemimpi, dan pemimpin berdarah dingin, telah dan
kemungkinan akan menjadi pemimpin lewat sistem ini. Sebagaimana kata Eric Fromm, manusia
tampaknya memiliki keinginan untuk menyakiti diri sendiri, demi kenyamanan dari pemimpin yang
dekat dihati, tetapi jauh dari otak. Lalu peristiwa Holocous terjadi, Hitler menerapkan kebijakan
eugenik pada orang-orang lemah dan difabel. Ribuan orang difabel dibunuh, karena dianggap
sebagai “pemakan roti yang tak berguna”(Colin, 1991).
Lalu bagaimana dengan Islam? Agama yang dianut teguh hampir semua penduduk
negeri ini. Dalam pandangan Islam, tubuh dengan kecacatan dinilai sebagai sesuatu yang perlu
“dikasiani”. Orang-orang cacat juga mendapat keistimewaan yang berupa pengasihan dengan
adanya “rukhsoh “ (kelonggaran) saat menjalankan ibadah bila tidak bisa melaksanakan
sebagaimana orang normal.
Sekalipun terdapat ayat yang menyatakan tidak boleh bermuka masam tarhadap orang
buta (baca-cacat) (Abasa: 1-3). Namun banyak atribut-atribut agama yang menguntungkan
orang-orang normal. Dalam pemahaman fikih Syafi’i misalnya, ketika masih ada orang normal,
maka seyogyanya orang difabel tidak menjadi imam shalat. Kelak, dalam pandangan banyak
muslim, orang yang ada di surga adalah orang yang cantik-cantik, ganteng-ganteng, dan
kesempurnaan tubuh.
Di Indonesia berdasar pada departemen sosial, terdapat 6.000.000 difabel. Atau sekitar 3
persen dari 200.000.000 penduduk. Namun berdasar pada perhitungan WHO, ada sekitar 10,5
juta penyandang cacat di Indonesia (sekitar 5,5%). Tentu saja angka angka akan terus
Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB M.Mufidz S.Ag,.M.Si
ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI
bertambah, karena banyak di tengah masyarakat orang difabel disembunyikan karena rasa malu,
hingga luput dari penghitungan. Belum lagi karena gelombang tsunami, di Aceh dan
Pangandaran, serta gempa di Jogja, jumlah orang difabel jelas menjadi lebih besar (Damartoto,
2005)
Jika streotip difabel sungguh sangat menyedihkan. Setidaknya bisakah mulai detik ini, kita
membongkar dan meruntuhkannya? Membongkar kultur masyarakat, yang selama ini memasung
orang-orang difabel dalam kegelapan. Mengurai unsur-unsur kebudayaan dan
mengkontekstualisasikan nilai-nilainya, menjadi lebih ramah dan bukan menjadi “hantu” bagi
difabel. Menafsirkan aturan dan ajaran agama agar lentur dan mengakomodasi, hingga menjadi
dorongan transformatif bagi kepentingan difabel.
Ini menjadi amat penting, karena kebudayaan, agama dan sistem sosial dalam lipatan kehidupan
sehari-hari, selama ini merupakan produksi mayoritas besar: “orang normal”.

Stereotip dalam Perspektif Deontologis, Teleologis, dan Golden Mean


Produksi pesan yang ditujukan bagi pelanggengan diskriminasi dan prejudis tidak dapat
dibenarkan atas pertimbangan etika. Setidaknya ada tiga pendekatan terhadap hal ini, yakni:
• Deontologis
Aliran yang digagas oleh Immanuel Kants ini menekankan pada pelaksanaan tugas [duty-
based] dari tiap individu, sehingga rasisme dan prejudis bukan lagi sebagai pertimbangan
universalitas standar sikap. Deontologis selanjutnya memeriksa motif yang ada pada agen
moral, tanpa melihat konsekuensi yang spesifik digariskan oleh stereotip.

• Teleologis
Aliran ini disebut juga konsekuensialis, yakni menekankan pada konsekuensi dari sebuah
keputusan. Teleologis tidak melihat motiv penyampaian pesan, karena bagi aliran ini belum
tentu pesan yang disampaikan adalah berasal dari kemurnian moral. Bagi aliran ini stereotip
adalah tindakan yang tidak adil sekaligus menyerang segmentasi sosial, karenanya stereotip
mesti ditolak. Yang diperlukan adalah pertimbangan sisi positif dan sisi negatif dari
penyampaian gambaran suatu kelompok.

• Golden Mean
Pendekatan golden mean sangat berguna ketika karakter yang distereotipkan justru
merepresentasikan beberapa individu dalam suatu kelompok [seperti sosok gay yang
flamboyan atau gambaran ibu rumah tangga tradisional]. Dalam kondisi seperti ini, praktisi
komunikasi harus berhati-hati, yakni tidak menggunakan gambaran yang ada untuk menilai
keseluruhan kelompok, namun juga tetap mengapresiasi diversitas individu. Praktisi

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB M.Mufidz S.Ag,.M.Si


ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI
komunikasi harus berusaha menjaga keseimbangan antara individu dan kelompok dimana
individu tersebut berada.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB M.Mufidz S.Ag,.M.Si


ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI

Anda mungkin juga menyukai