mampu menggerakkan pada individu dari tekanan eksternal, seperti sistem keuangan, bahasa,
dan tindakan yang lain. Kemudian ia menambahkan, setiap tindakan umum di dalam masyarakat.
Hal tersebut meliputi institusi agama, tradisi cultural, dan kebiasaan regional.
Durkheim dalam definisi di atas menggunakan paksaan sosial untuk mengidentifikasi alas an di
balik tindakan-tindakan yang kemudian menjadi fakta sosial. Tentu saja tingkat paksaan tersebut
terasa berbeda-beda. Paksaan sosial ini memegang kekuatan yang memaksa di atas individu.
Definisi kedua Durkheim mengenai fakta sosial mengambil pendekatan yang lebih umum
terhadap fakta sosial. Ini mengacu pada berbagai tindakan atau pandangan umum di dalam
masyarakat sepanjang memenuhi ketentuan bahwa fakta tersebut jelas-jelas tidak tergantung
pada individu. Fenomena tersebut juga mempunyai efek yang memaksa.
Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2078639-apa-fakta-sosial-menurut-
durkheim/##ixzz1Nzb6QWQe
Jika disederhanakan, objek kajian sosiologi sesungguhnya berpusat pada dua hal, yakni mempelajari
STATUS dan PROSES SOSIAL. Dalam proses sosial, masyarakat manusia dilihat sebagai entitas yang terus-
menerus mengalami PERUBAHAN. Proses sosial terjadi karena ada INTERAKSI SOSIAL. Untuk dapat
terjadi interaksi sosial diperlukan KONTAK SOSIAL dan KOMUNIKASI.Setiap individu/kelompok dalam
berinteraksi sosial dihadapkan pada faktor pengaruh-mempengaruhi antar-sesama mereka. Jika satu
individu/kelompok berinteraksi karena dipengaruhi faktor eksternal, maka bentuk interaksi ini disebut
FAKTA SOSIAL. Jika satu individu/kelompok berinteraksi karena ingin mempengaruhi individu/kelompok
lain, maka bentuk interaksi ini disebut TINDAKAN SOSIAL.
Faktor eksternal dalam fakta sosial itu tidak lain adalah NILAI dan NORMA yang mengajarkan
individu/masyarakat agar hidup rukun dan teratur/terstruktur. Dilihat dari aspek ini HUKUM berarti
merupakan faktor eksternal dalam prilaku manusia untuk terciptanya suatu tertib sosial.
Kerukunan dan keteraturan demikian dapat bertahan karena didukung oleh solidaritas sosial, yang bisa
bersifat mekanis maupun organis.
Solidaritas mekanis berlangsung pada masyarakat primitif (segmental) sedangkan solidaritas organis
pada masyarakat modern (nasional).
Durkheim meneliti beberapa fenomena fakta sosial ini yakni pada pembagian lapangan kerja dan
beberapa model bunuh diri.
Weber menambahkan ada objek sosiologi yang disebut tindakan sosial yang ternyata dipengaruhi oleh
motif-motif subjektif (interpretasi si subjek atas lingkungannya). Sosiologi berusaha memahami pola-
pola tindakan sosial (kecenderungan masyarakat berperilaku tertentu). Kecenderungan itu dapat terjadi
karena alasan tradisional, afeksi, rasionalitas nilai, dan rasionalitas instrumental. Weber mengakui
bahwa dalam kecenderungan perilakunya itu, masyarakat menerima legitimasi otoritas-otoritas
tertentu. Dan, otoritas berdasarkan atas legal-rasional dinilainya sebagai otoritas yang sesuai dengan
sistem masyarakat modern.
Definisi pertama yang ia berikan pada fakta sosial adalah setiap cara atau arah tindakan yang mampu
menggerakkan pada individu dari tekanan eksternal, seperti sistem keuangan, bahasa, dan tindakan
yang lain. Kemudian ia menambahkan, setiap tindakan umum di dalam masyarakat. Hal tersebut
meliputi institusi agama, tradisi cultural, dan kebiasaan regional.
Durkheim dalam definisi di atas menggunakan paksaan sosial untuk mengidentifikasi alas an di balik
tindakan-tindakan yang kemudian menjadi fakta sosial. Tentu saja tingkat paksaan tersebut terasa
berbeda-beda. Paksaan sosial ini memegang kekuatan yang memaksa di atas individu.
Definisi kedua Durkheim mengenai fakta sosial mengambil pendekatan yang lebih umum terhadap fakta
sosial. Ini mengacu pada berbagai tindakan atau pandangan umum di dalam masyarakat sepanjang
memenuhi ketentuan bahwa fakta tersebut jelas-jelas tidak tergantung pada individu. Fenomena
tersebut juga mempunyai efek yang memaksa
Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2078639-apa-fakta-sosial-menurut-
durkheim/#ixzz1Kv1oVSmJ
4. Social Control
Suatu proses pengadilan sosial dapat dilaksanakan dengan berbagai cara yang pada pokoknya berkisar
pada cara-cara tanpa kekerasan (persuasive) ataupun dengan paksaan (Coersive). Cara mana yang
sebaiknya diterapkan sedikit banyaknya juga tergantung pada faktor terhadap siapa pengendalian sosial
tadi hendak diperlakukan dan didalam keadaan yang bagaimana. Didalam keadaan masyarakat yang
secara relatife berada pada keadaan yang tentram, maka cara-cara persuasive mungkin akan lebih
efektif dari pada penggunaan paksaan.
Karena didalam masyarakat yang tentram sebagian kaidah-kaidah dan nilai-nilai telah melembaga atau
bahkan mendarah daging didalam diri warga masyarakat. Keadaan demikian bukanlah dengan
sendirinya berarti bahwa paksaan sama sekali tidak diperlukan. Betapa tentram dan tenangnya suatu
masyarakat, pasti akan dijumpai warga-warga yang melakukan tindakan-tindakan menyimpang.terhadap
mereka itu kadang-kadang diperlukan paksaan, agar tidak terjadi kegoncangan-kegoncangan pada
ketentraman yang telah ada.
Paksaan lebih sering diperlukan didalam masyarakat yang berubah, karena didalam keadaan seperti itu
pengendalian social jugaberfungsi untuk membentuk kaidah-kaidah baru yang menggantikan kaidah-
kaidah lamayang telah goyah. Namun demikian, cara-cara kekerasan ada pula batas – batasnya dan
tidak selalu dapat diterapkan, karena biasanya kekerasan atau paksaan akan melahirkan reaksi negative,
setidaknya secara potensial.
Reaksi yang negative akan selalu mencari kesempatan dan menunggu dimana saat Agent Of Social
Control berada didalam keadaan lengah. Bila setiap kali paksaan diterapkan, hasilnyabukan
pengendalian social yang akan melembaga, tetapi cara paksaanlah yang akan mendarah daging serta
berakar kuat
Pandangan ini juga memandang konflik sosial (social conflict) sebagai tindakan
intrinsik terhadap interaksi antara para individu dan kelompok. Selanjutnya dalam
pandangan ini, untuk mempertahankan dan memelihara kekuasaan diperlukan
dorongan (inducement) dan paksaan (coersion). Oleh karenanya, hukum merupakan
alat penekan/represif (instrument of repression) sehingga kepentingan-kepentingan
kekuasaan mampu dipertahankan sebagai alternatif kepentingan-kepentingan, norma-
norma dan nilai-nilai.
Hal pokok terkait kedua pandangan konsepsi ideal tentang masyarakat diatas,
menurut pendapat Ralf Dahrendorf adalah bahwa tidak mungkin dalam kenyataan
(empirical) memilih salah satu dari dua pandangan tersebut, baik stabilitas dan
perubahan, integrasi dan konflik, fungsi dan disfungsi, konsensus dan pembatasan,
keseluruhannya hanyalah imajinasi dari suatu masyarakat (1958: 174-175). Maka pada
saat hukum dipandang dari salah satu pandangan diatas, tidaklah mengherankan,
memunculkan peranan hukum yang berbeda.
Dengan kata lain menurut pendapat Pound, hukum adalah upaya untuk meraih
kepuasan, rekonsiliasi, harmonisasi, penyesuaian terhadap berbagai pertentangan
tuntutan dan permintaan, bahkan memberikan perlindungan secara langsung dan
segera, atau memberikan jaminan perlindungan atas berbagai kepentingan individu,
sehingga memberikan dampak luas bagi kepentingan warga masyarakat dengan
pengorbanan yang minimal pada berbagai kepentingan tersebut secara keseluruhan.
(Pound, 1943: 39)
Talcott Parsons (1962: 58) berpendapat bahwa fungsi utama sistem hukum
adalah integritas. Untuk menyederhanakan pertentangan elemen-elemen yang
berpotesi dan untuk memudahkan metode-metode atau alat-alat komunikasi sosial.
Namun para advokat memiliki pandangan sebaliknya. Tidak semua hukum itu
diciptakan dan dilaksanakan demi keuntungan para penguasa semata dimasyarakat.
Hukum melarang pembunuhan, perampokan, kerusuhan, hubungan sedarah ( incest),
dan penyerangan. Dimana kesemuanya ini menguntungkan seluruh anggota
masyarakat, terlepas dari posisi ekonomi mereka. Sehingga hukum itu sebenarnya lebih
luas daripada sebuah asumsi yang mengatakan bahwa penguasa mendikte isi hukum
dan penegakannya hanya untuk melindungi kepentingan mereka sendiri.
Pertemuan ke:1
Tujuan
kemapuan teori dan praktik dalam merancang dan mengembangkankurikulum kebidanan berbasis
kompetensi.
2. TIK
: Setelah mengikuti perkuliahan ini Mahasiswi akan dapatMenjelaskan konsep dan metode
Tahap
Kegiatan pengajaran
Kegiatan mahasiswa
Penyajian
Penutup
TPA Mitra
Lokasi:
Gedung Bulog II Kuningan
(Sebelah Grand Melia / pas perempatan Pancoran)
Jam Buka:
Senin s/d Jumat
07.30 s/d 16.30
Biaya:
Biaya Pendaftaran: 100.000
Harian: 35.000/hari
Bulanan: 700.000 / bulan
Biaya telat dijemput: 1.000 / 30 menit pertama
5.000 / 1 jam
Syarat Administrasi:
Fotokopi KTP
Fotokopi Akte Anak
Foto Anak ukuran besar
Fasilitas:
Tempat tidur, Tempat bermain indoor, Kamar Mandi,
Dapur, Ruang Makan, Ruang Perpustakaan.
Menu Makanan:
Anak mendapatkan
makan siang, dan snack sore.
Untuk anak-anak dibawah 1 tahun dan yang masih makan nasi tim
diharap membawa makanan sendiri.
Toilet Training:
Ada toilet training untuk anak usia 2 tahun keatas.
Anak dibawah itu disediakan popok kain, atau dipersilahkan membawa diaper sendiri
Pengalaman disana:
Aku membawa anakku Athalla (15 bulan) bersama embaknya kesana. Sekali ini, mbaknya hanya
setengah hari (sampai athalla tidur siang).
Dari pengalaman di diknas, athallah berangkat setelah sarapan, dan aku bawa bekal makan siang.
Ternyata disana nasinya lembek, dan menunya sesuai dengan athallah. Akhirnya ketika bekal
makan siang athallah ga dipakai.
Oia, Aku juga diminta menulis kebiasaan anak dirumah bagaimana untuk menyesuaikan dengan
di TPA.
Ternyata disana tidak ada kegiatan terpimpin, walaupun di brosurnya ada.
Jam 16.30 aku jemput athalla, dia ga mau pulang.
HASIL REVIEW:
Dibanding TPA Diknas, mainan di TPA Bulog sedikit, hanya terkumpul disatu tempat, yaitu
ruang perpustakaan (TPA Diknas dibeberapa tempat). TPA Bulog menerapkan sistem jadwal
individu, jadi jadwal makan, tidur dan mandi diterapkan berbeda ke setiap anak (tergantung
situasi, apakah anak sudah mengantuk/lapar, dll.). walaupun ini baik karena setiap anak adalah
individu yang berbeda, namun mungkin ini juga yang membuat TPA Bulog kesulitan
menerapkan kegiatan terpimpin bersama-sama (nyari waktunya susah). Dan juga, ketika
waktunya tidur siang, karena jadwal yang berbeda, ada anak-anak yang masih bangun bermain
dengan berisiknya, sehingga mengganggu anak-anak lain yang sedang tidur.
Kalau aku melihatnya, sama saja dengan menitipkan ke neneknya atau malah mungkin ke
tetangga, karena anak hanya dibiarkan main bersama saja, tidak ada kegiatan belajar atau
setidaknya kegiatan bermain yang dilakukan bersama-sama untuk merangsang kreativitas dan
kecerdasan anak.
TIPS:
Kalau ingin di TPA Mitra, pengasuhan anak lumayan terjamin, tapi tidak untuk
stimulasi/pendidikan anak. Jadi, pastikan anak-anak dirumah cukup dirangsang kreativitasnya.
Lokasi:
Gedung Depdiknas, Jl. Jend. Sudirman
(Sebelah Ratu Plaza)
Jam Buka:
Senin s/d Jumat
08.00 s/d 16.00
Biaya:
Biaya Pendaftaran: 500.000 (untuk bulanan)
Harian: 35.000/hari (tanpa biaya pendaftaran)
Bulanan: 400.000 / bulan
Biaya telat dijemput: 2.500 / 15 menit
Syarat Administrasi:
Tidak ada
(hanya mengisi formulir pendaftaran)
Usia Anak yang diterima:
1-5 tahun (syarat: sudah bisa jalan)
Fasilitas:
Tempat tidur, Tempat bermain indoor dan outdoor, Kamar Mandi,
Dapur, Ruang Makan.
Tempat bermain indoor dibagi-bagi pertema, ruang mandi bola&balok-balok,
ruang melukis/menggambar, ruang peran (pura-pura) --> Mainannya banyak lhoo!!
Menu Makanan:
Anak mendapatkan makan pagi, makan siang, dan snack sore
Toilet Training:
Ada toilet training
Sistem yang dipakai:
Group Routine
Barang Pribadi yang dibawa:
Perlengkapan baju dan celana, susu dan botol susu, handuk
Pengalaman disana:
Aku membawa anakku Athalla (15 bulan) bersama embaknya kesana.
Aku pede banget dapet makan pagi, jadi aku membawa athalla tanpa sarapan.
ternyata, sampai disana jam 08.00, masih sepi sekali. Sayangnya, aku minta
sarapan buat athallah ga dikasih. Katanya, tunggu anak-anak yang lain, dan
kita akan sarapan bareng-bareng. Huaaa..kasian banget, padahal athalla sudah biasa
sarapan jam 7.30.
Aku minta cemilan juga ga dikasih.
Katanya, anak-anak tidak dibiasakan untuk ngemil
Akhirnya aku dan embaknya hunting makanan.
Untungnya, diseberang TPA ada koperasi
pegawai yang sudah buka, akhirnya aku beli wafer, dan sejenisnya untuk cemilan athalla.
Jam 8.30, aku pamit untuk ke kantor. Sampai dikantor, telpon embaknya, belum sarapan juga.
Akhirnya sarapan diberikan jam 9.30. Huaaa...
Ternyata, menunya adalah Nasi dan Sayur Asem. Waakss...padahal athallah masih makan
nasi Tim (baru belajar makan nasi lembek).
Jam 10.00 ada acara senam/joget bersama. Athallah seneeeeng banggets. Dia langsung
joget-joget dengan riang gembira. tapi dirumah athallah sudah tidur, walhasil dia sudah mulai
mengantuk. Acara lalu dilanjutkan (untuk anak yang lebih besar 3-5tahun) sambil duduk di kursi
dan meja (seperti di preschool), tapi athallah sibuk maen kesana kemari.
Ternyata, waktu tidur disitu adalah jam 12.00, setelah makan siang. Walhasil, Athallah
reweeel sekali. Dia tidak mau makan, dan akhirnya tertidur tanpa makan.
Jam 12.30 Aku maen kesana, suasana di TPA sepi sekali, lampu dimatikan. Anak-anak sedang
tertidur. Sebelumnya ada acara mendongeng sebelum tidur.
Aku minta embaknya untuk beli makanan instan di Carrefour (untung sebelahan), secara
Athallah belum makan.
Jam 14.00 Bangun, dan mandi. Acara bebas sampe dijemput
Jam 16.00 Aku jemput Athallah deh.
HASIL REVIEW:
Sebenarnya, TPA Mekar Asih lumayan lah, apalagi ada kegiatan terpimpin (acara bersama)
tapi kurang friendly dengan anak yang berusia dibawah 2 tahun.
Menu makanan untuk anak dibawah 2 tahun disamakan dengan yg lebih besar alias tidak
disediakan, tapi kita (orangtua) juga tidak diberitahu. Kalau diberitahu, mungkin lebih siap,
karena akan menyiapkan makanan sendiri.
Mbaknya Athallah juga cerita, kalau dapurnya kurang bersih, dan ibu-ibu disana kurang usaha
supaya anak-anak bisa makan lebih banyak (kalo anak tidak mau makan lagi, ya sudah).
Oia, satu lagi...ternyata toilet training yang dimaksud hanya diperuntukkan anak yang sudah bisa
bicara (bilang "ee' atau pipis")
TIPS:
Kalau ingin di TPA Mekar Asih, anak harus sudah sarapan dari rumah terlebih dahulu,
untuk anak yang lebih kecil, bawa makanan sendiri dan siapkan diaper atau popok kain.
Media Indonesia
KEBAJIKAN sosial bukan lagi sebuah keikhlasan, melainkan sebuah paksaan. Ia bukan lagi
sesuatu yang lahir karena komitmen moral, melainkan karena diperintahkan undang-undang.
Itulah yang terjadi dengan Undang-Undang Perseroan Terbatas yang baru, yang disetujui DPR
untuk disahkan, Jumat (20/7).
Indonesia pun akan termasuk negara paling hebat di dunia karena semua perusahaan yang
bergerak dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam melakukan apa yang disebut sebagai
corporate social responsibility (CSR). Tetapi jangan heran jika serentak dengan itu, Indonesia
akan menjadi negara yang paling hebat aturan hukumnya mengenai tanggung jawab sosial
perusahaan, tetapi dalam kenyataan semua itu cuma bagus di atas kertas.
Selama hukum masih dapat dibeli, selama itu pula kewajiban CSR tersebut pun dapat dibeli.
Indonesia bukan negara yang kekurangan undang-undang di bidang lingkungan hidup, tetapi
semua kita tahu, perusakan lingkungan dilakukan dengan terbuka dan terus terang.
Karena biaya CSR dibebankan ke dalam biaya perusahaan, pada gilirannya biaya itu akan
dimasukkan ke harga jual yang membuat harga produk lebih mahal. Ujung-ujungnya merugikan
konsumen.
CSR mestinya merupakan komitmen moral. Perusahaan melaksanakan CSR dengan ketulusan,
karena panggilan, dan bukan karena dipaksa undang-undang.
Yang harusnya dilakukan negara adalah merangsang perusahaan untuk bergairah melaksanakan
tanggung jawab sosial perusahaan. Bukan menjadikan CSR sebagai biaya, melainkan sebagai
cara untuk berbagi dan membagi keberhasilan. Untuk itu, negara lantas memberi rangsangan
sehingga semakin mendorong perusahaan melaksanakan CSR dengan suka hati. Bukan dipaksa
undang-undang.
Dari perspektif itu, CSR mestinya dengan suka hati diambil dari laba perusahaan. Dan
perusahaan yang melaksanakan tanggung jawab sosial itu sebagai komitmen moral mendapat
insentif berupa pengurangan pajak sehingga mendorong perusahaan lebih bergiat melakukan
CSR.
CSR sesungguhnya merupakan salah satu bagian penting paradigma baru dalam memandang
pertumbuhan perusahaan. Kompetisi bukan hanya ditentukan harga, kualitas, ketersediaan, dan
pesanan massal, melainkan juga kesinambungan dan kelestarian (sustainability). Dalam sudut
pandang itu, CSR bukan hanya urusan perusahaan yang berkecimpung dalam mengelola sumber
daya alam. Di negeri ini, justru bukan perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam
yang menonjol kegiatan CSR-nya. Celakanya, Undang-Undang Perseroan Terbatas yang baru
seakan berasumsi bahwa perusahaan di luar sumber daya alam tidak perlu dan tidak penting
melakukan CSR.
Mengatur CSR sebagai sebuah kewajiban dengan memasukkannya ke sistem hukum, jelas
memperpanjang daftar yang tidak menyenangkan untuk berinvestasi di Indonesia. Tidak
menyenangkan karena kebajikan sosial bukan lagi keikhlasan, melainkan paksaan. Perkara yang
semestinya menjadi komitmen moral dipindahkan menjadi kewajiban hukum, yang dalam
kenyataan justru dapat dibeli dengan mudah dan murah.