Anda di halaman 1dari 7

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM 2008

“Setiap yang ada di dalam dunia ini akan lenyap, dan yang kekal
hanyalah wajah Allah, yang mempunyai keagungan dan kemuliaan”
-Buya Hamka-

Pengantar

Hal apa yang menjadi dasar dari keberagamaan kita? Pertanyaan


tersebut akan muncul jika kita merenungkan kembali makna tujuan
kita beragama Islam. Ketika kita dihadapkan pada pertanyaan
tersebut, jawabannya takkan lepas dari satu istilah penting yang
menjadi dasar utama agama Islam: Aqidah Islam.

Aqidah adalah fondasi agama Islam yang paling fundamental. Setiap


muslim mesti memiliki aqidah yang benar, sebagai persyaratan
seseorang untuk menjalankan amal dalam Islam. Al-Qur’an dalam
konteks memerintahkan kita untuk mengakui bahwa Allah itu esa,
tidak ada tuhan selain Allah. Juga, bahwa Allah tidak beranak dan
diperanakkan, dan tidak ada yang mampu menciptkan sesuatu selain
Allah (Q.S. Al-Ikhlas 1-4). Hal inilah yang mendasari bahwa keislaman
seseorang dimulai dari keyakinan terhadap Allah SWT.

Dengan demikian, elemen paling substansial dalam aqidah Islam


adalah tauhid, atau mengesakan Allah. Semua unsur akidah harus
bermuara dari konsep ini. Maka, ketika kita ingin menjawab
pertanyaan di atas, kita akan menemukan sebuah jawaban: Keyakinan
kepada Allah-lah yang mendasari keislaman kita. Sebagai
konsekuensinya, ketauhidan seseorang akan menjadi kunci penting
dalam aktivitas keberagamaannya.

Konsepsi Tauhid
Secara etimologi, aqidah berasal dari kata ‘aqada-
yaqidu-‘aqdan-‘aqidatan, yang berarti keyakinan (Ilyas, 1992). Adapun
tawhid berasal dari kata wahhada-yuwahhidu-tawhidan, sebagai
bentuk infinitif, yang kurang lebih diterjemahkan sebagai keesaan
(lihat Muzakki, 2006). Artinya, keyakinan kita kepada Allah akan
dimulai dari sebuah pemahaman, bahwa Allah itu esa. Pemahaman ini
akan berlanjut pada proses mengimani dan mengambil konsekuensi
dari keyakinan tersebut.

Para ulama membagi tauhid menjadi tiga tingkatan: tauhid rububiyah,


mulkiyyah, dan ilahiyyah (Ilyas, 2002). Awal dari tauhid adalah
menempatkan Allah sebagai Rabb. Allah telah menciptakan alam
semesta sebagai khaliq (pencipta), dan kita adalah makhluq (yang
diciptakan). Sehingga, manusia harus tunduk pada penciptanya.
Konsep ini merupakan konsep paling pokok dalam aqidah, sehingga
jika seseorang belum mengimani hal ini ia tidak dapat dianggap
sebagai seorang muslim yang lurus.

Akan tetapi, konsep tauhid dalam tataran yang lebih luas tidak cukup
hanya dengan membenarkan bahwa Allah itu Maha Esa. Tauhid
sejatinya memerlukan manifestasi dalam realitas empiris. Dalam
pandangan KH. Ahmad Dahlan, setidaknya ada empat hal yang harus
dijauhi oleh umat Islam dalam implementasi tauhid, yaitu Syirik
(Menyekutukan Allah), Takhayul (kepercayaan magis tradisional),
Bid’ah (mengada-ada dalam permasalahan agama), dan Khurafat
(kepercayaan magis-tradisional).

Salah satu perilaku yang dapat menjerumuskan diri kepada kesyirikan


ialah perilaku meminta bantuan kepada dukun. Dalam sebuah hadits
shahih, Rasulullah mengatakan bahwa jika seorang muslim pergi ke
dukun, salatnya tak akan diterima selama 40 hari. Perbuatan ini
mengisyaratkan kita meminta pertolongan kepada selain Allah, dan
berarti menyalahi komitmen kita dalam syahadat. Ironisnya, siaran
televisi justru menyiarkan kesyirikan-kesyirikan ini secara luas dengan
media SMS.

Perbuatan lain yang juga dapat menjerumuskan kepada kesyirikan


adalah percaya kepada ramalan nasib, kesialan, atau hal-hal yang
sejenis. Hal ini dilarang dalam agama, karena aqidah Islam dengan
tegas menyatakan bahwa hanya kepada Allah-lah kita berserah diri
dan memohon pertolongan. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa
tidak ada thiyarah (percaya kepada ramalan-ramalan) dan hammah
(suara burung yang mengabarkan suatu nasib tertentu). Bahkan,
mengundi nasib dengan anak panah secara tegas dihukumi haram
oleh Al-Qur’an. Dalam kacamata Islam, hal tersebut telah
dikategorikan sebagai perbuatan syirik.

Selain itu, perilaku meminta bantuan ke dukun juga mengakibatkan


fenomena Kesurupan Massal di berbagai sekolah menengah, seperti
pernah terjadi di SMKN 3 Banjarmasin, Kalimantan Selatan, juga di
sekolah penulis dulu. Kesurupan massal –yang notabene terjadi karena
lemahnya iman seseorang— merupakan indikasi bahwa masyarakat
kita masih belum bersih dari kepercayaan tradisional yang cenderung
menyekutukan Allah.

Konsekuensi Tauhid

Bagaimanakah konsekuensi dari tauhid? Setidaknya, menurut penulis,


ada dua hal yang menjadi konsekuensi dari ketauhidan kita kepada
Allah.

Pertama, melaksanakan ibadah sebagai manifestasi ketaatan kita


kepada Rasulullah. Konsekuensi dari keimanan bahwa Allah adalah
khaliq, sebagaimana penulis jelaskan di atas, adalah menjalankan
ibadah. Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa Allah tidak menciptakan
manusia melainkan untuk beribadah kepada-Nya (Q.S. Adz-Dzariyat:
56). Dalam konteks ini, aktivitas manusia pada hakikatnya adalah
beribadah kepada Allah, baik dalam konteks ritual maupun sosial.

Ada dua jenis ibadah: ibadah mahdhah (ritual) dan ibadah ‘ammah
(sosial). Kaidah ushul fiqh menyatakan, bahwa asal hukum dari ibadah
mahdhah adalah haram, kecuali jika ada dalil yang membolehkannya.
Sedangkan asal hukum ibadah ammah adalah halal, kecuali ada dalil
yang mengharamkannya.

Dengan demikian, dalam melaksanakan ibadah mahdhah, ada dua


persyaratan yang harus kita penuhi, yaitu ikhlas dan sesuai dengan
tatacara yang dicontohkan oleh Rasulullah. Sabda Rasulullah,
“Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada urusannya
dariku, maka ia tertolak” (Arba’in An-Nawawiyah, hadits ke-5). Dari
hadits tersebut, tentu saja kita dilarang untuk melakukan hal-hal yang
sama sekali tak pernah diajarkan atau diperintahkan oleh Allah dalam
persoalan ini. Seluruh ibadah yang bersifat ritual (ibadah mahdhah)
harus memiliki legitimasi nash dari dua sumber primer hukum Islam:
Al-Qur’an dan Hadits. Jika tidak memiliki dalil yang kuat, kita patut
berhati-hati

Banyak bentuk dari bid’ah yang bertebaran di masyarakat.


Aktivitasnya tak perlu penulis sebutkan di sini, karena masalah ini
telah menjadi perdebatan klasik di antara umat Islam sejak dulu. Akan
tetapi, mengingat masalah ini jelas menjadi persoalan besar, perlu
pendekatan khusus untuk menyikapinya. Di sinilah pentingnya dakwah
bil hal kepada masyarakat yang masih belum memiliki pemahaman
menyeluruh mengenai Islam.
Sedangkan untuk ibadah ‘ammah (muamalah), kaidah ushul fiqh yang
berlaku justru terbalik. Pada titik inilah ijtihad bermain. Sehingga,
tajdid (pembaharuan) memainkan peranan yang begitu penting dalam
pelaksanaan muamalah ini. Masalah-masalah yang meragukan ke-
syar’ian-nya, memerlukan penelaahan dan kajian mendalam oleh para
ahli, baik ahli fiqh muamalah atau pakar pada bidangnya. Sehingga,
konsep muamalah-lah menaungi aktivitas-aktivitas sosial yang kita
lakukan selama ini.

Jika kita kembangkan masalah ini secara lebih jauh, aktivitas politik
pun tak lepas dari persoalan ibadah ini. Aktivitas politik (siyasah),
merujuk pada Al-Mawdudi, pada hakikatnya diletakkan atas dasar
tauhid sebagai penopang utama. Abul A’la Al-Mawdudi mendasarkan
siyasah islamiyyah atas tiga prinsip dasar: tauhid, risalah, dan khilafah
(lihat Syam, 2005). Aktivitas politik kemudian kita maknai sebagai
upaya membangun relasi positif antara umat (rakyat) dan imam
(pemimpin) atas dasar keimanan pada Allah.

Kedua, mengimplementasikan tauhid dalam kehidupan sosial. Setelah


kita meyakini tauhid dengan semua implikasinya, kita juga harus
mengintegrasikan tauhid dalam kehidupan sehari-hari. Prof. Dr. Amien
Rais pernah menggulirkan wacana tauhid sosial yang
mengejawantahkan tauhid dalam semua dimensi kehidupan (Rais,
1997).

Menurut Amien Rais, Tauhid Sosial merupakan dimensi sosial dari


konsep tauhid (pengesaan Allah secara mutlak), agar konsepsi tauhid
yang telah terintegrasi di pola pikir umat Islam dapat dipraktikkan
pada tataran masyarakat. Implikasi yang diharapkan dari Tauhid Sosial
ini adalah munculnya manusia-tauhid (meminjam istilah Amien Rais,
lihat Muzakki, 2006) yang mampu berpikir secara arif dengan landasan
tauhid dan syariah.
Dalam kacamata Amien Rais, ada lima dimensi Tauhid Sosial. Pertama,
keyakinan terhadap keesaan Allah (Unity of Godhead); Kedua,
keyakinan atas penciptaan dari Sang Pencipta (Unity of Creation);
Ketiga, keyakinan atas dasar-dasar kemanusiaan (Unity of Mankind);
Keempat, keyakinan atas adanya pedoman hidup yang mengatur
manusia (Unity of Guidance); Kelima, keyakinan atas tujuan hidup
manusia sebagai umat muslim (Unity of The Purpose of Life).

Melalui Tauhid Sosial tersebut, umat Islam dituntut untuk


mempraktikkan nilai-nilai Tauhid ke dalam realitas sosial secara benar.
Seorang muslim tidak cukup hanya menjalankan tauhid dengan
meyakini bahwa Allah itu esa, tetapi juga harus peka terhadap urusan
kemanusiaan, sehingga muncul keseimbangan antara ibadah dan
perilaku sosial. Hal inilah yang disebut sebagai amal shalih.

Satu hal lagi yang penting adalah bahwa tauhid menuntut seorang
muslim untuk menerapkan fungsi keadilan, karena kepekaan terhadap
hak-hak kemanusiaan mengharuskan adanya perilaku adil kepada
Allah, sesama manusia, maupun kepada lingkungan sekitar. Saya
yakin, pendekatan ‘tauhid sosial’ dapat menjadi alternatif di tengah
krisis multidimensional yang melanda bangsa ini.

Maka, pertanyaan yang patut dilontarkan saat ini adalah, sudahkah


Tauhid kita jadikan manifesto perjuangan hidup kita? Mari
menyongsong kebangkitan umat dengan Tauhid yang benar. Mari
kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits.

Wallahu a’lam bish shawwab.

*) Sebagian dari artikel ini pernah dimuat di Harian


Banjarmasin Post, 19 Juni 2008 dengan judul “Mari Benahi
Tauhid Kita”. Penulis memperkaya beberapa bagian dari
artikel ini.)

Anda mungkin juga menyukai