Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
"Kudengar selintasan tadi, bahwa dia telah merampas kedua benda pusaka Bende
Mataram. Jika demikian, guru sudah berhasil menemukan tempat menyimpannya,"
katanya kemudian dengan setengah berbisik. "Paman! Dalam hal ini akulah yang
berkewajiban untuk merampungkan semuanya. Tetapi kemenakanmu yang buruk
ini, mendadak saja terlibat dalam suatu peristiwa yang memalukan..."
Gagak Handaka tertawa melalui dada me-motong perkataan Sangaji. Dengan
pandang berseri ia berkata, "Mana kudamu?"
"Baiklah! Ambilah kudamu dan susullah kami," tukas Gagak Handaka. "Dan
hendaklah mulai kini engkau berhati-hati terhadap sepak terjang bakal mertuamu.
Pamanmu dengan tak sengaja, mungkin membubarkan kepen-tinganmu. Tetapi
semuanya telah terjadi. Rupanya... engkau akan menghadapi peristiwa-peristiwa
yang sulit. Karena itu, sekiranya engkau tak tahan... mintalah nasehat eyang
gurumu."
Hm... tak terasa aku telah memasuki tahun 1805. Hampir satu tahun lamanya aku
meninggalkan Ibu. Dahulu aku begitu bersema-ngat hendak berbuat sesuatu
kebajikan, pidmya dalam hati. Dengan doa restu Ibu, aku hendak menuntut balas
kematian Ayah. Musuh Ayah Ibu telah kuketahui kini. Pangeran
Bumi Gede! Tetapi jangankan aku telah berhasil menuntut balas, malahan Guru
kena dianiaya orang. Sedangkan aku, hanya sibuk mengurusi kepentinganku
sendiri...
Tetapi teringat akan wajah Titisari, hatinya jadi lemas. Gadis itu memang liar, nakal
dan aneh. Meskipun demikian, tiada alasannya untuk menjauhi agar bisa berjalan di
atas jalan yang dirintisnya dahulu.
Melihat pemandangan itu, Sangaji heran. Tak disadarinya sendiri tiba-tiba ia sudah
ber-ada di tengah jalan seolah-olah lagi meng-hadang mereka.
"Minggir! Minggir!" bentak laki-laki yang menunggang kuda di sebelah kiri. Orang
itu lantas saja mencabut pedang dan disabetkan miring ke kiri.
Sangaji waktu itu sedang pepat. Ia merasa diri seorang yang terlalu banyak
menanggung kesalahan. Dalam hatinya, ia hendak memperbaiki diri. Maka begitu
melihat sepak terjang empat penunggang kuda yang mau menang sendiri,
terbangkitlah rasa marahnya. Dengan tangkas ia mengelak, kemudian tangannya
menyambar pergelangan tangan perajurit itu dan dihentakkan ke tanah. Tak ampun
lagi, prajurit itu jatuh bergedebukan di atas tanah.
"Aku manusia! Bukan iblis! Mengapa perempuan itu?" sahut Sangaji galak.
"Biar kumakan, kusembelih, kunikmati dan kukuliti apa pedulimu? Inilah urusan
kami..."
Dalam dada Sangaji merasakan sesuatu yang kurang beres. Tapi dasar tak pandai
berdebat, ia jadi tergugu. Mendadak saja perempuan yang berada dalam pelukan
pera-jurit yang berjalan di depan mengerang-erang minta pertolongan. Seketika itu
juga, hati Sangaji terkesiap. Tanpa berbicara lagi, terus saja ia melompat hendak
merampas.
Tatkala jatuh di tanah, napasnya telah tersita. Sangaji merenungi dengan hati
terharu. Dengan pedang rampasan ia menggali lubang hendak mengubur mayat
itu. Tetapi baru saja ia menggali beberapa jari, terdengarlah kembali derap kuda
bergemuruh. Tak lama kemudian suara hiruk pikuk dengan disertai aba-aba.
Ternyata yang datang adalah sepasukan perajurit berseragam kurang lebih
berjumlah 250 orang.
"Bagus! Kau bersembunyilah di sini! Aku ingin menengok mereka," bisik Sangaji
kepada Willem.
Tapi kali ini Willem salah tangkap aba-aba majikannya. Dengan meringkik tinggi,
men-dadak saja lari berbalik dan menerjang barisan itu. Karuan saja Sangaji
menjadi gugup. Untung, dia pernah mempunyai pengalaman menyerbu lawan
dengan berkuda tatkala kakak angkatnya Willem Eberfeld bertempur melawan
Mayor de Groote. Karena itu, begitu melihat barisan bergerak hendak mengadakan
perlawanan, dengan gesit ia memutar pedangnya. Dalam sekejap saja, beberapa
perajurit jatuh bergelimpangan di tanah.
Tetapi jumlah mereka terlalu banyak. Mau tak mau Sangaji harus melihat gelagat.
Maka dengan hati setengah mendongkol ia memutar kudanya dan dilarikan
sekencang-kencang-nya. Prajurit-prajurit itu berteriak-teriak setinggi langit dan
melepaskan anak panah laksana hujan lebat.
"Tangkap bangsat itu! Tangkap bangsat itu!" Mereka memaki-maki kalang kabut.
Sangaji memutar pedangnya dan terus membedalkan kudanya. Willem adalah kuda
jempolan. Ia mengerti, majikannya dalam bahaya. Maka larinya sepesat angin.
Sebentar saja telah lenyap ditelan kegelapan malam.
Beberapa waktu kemudian, Sangaji tiba di suatu persimpangan jalan yang sunyi
senyap. Dengan sebelah tangan masih memapah mayat, ia meloncat ke tanah.
Cepat ia meng-gali lubang dan mengubur perempuan itu de-ngan penuh hormat.
Perempuan itu terang bukan sanak bukan kadang, tetapi bagi Sangaji mempunyai
kesan hebat bagi dirinya. Terus menerus ia diganggu rasa rindu dendam terhadap
ibunya
"Ibu bukan seperti dia!" ia membisiki diri sendiri. "Aku yakin, Ibu masih hidup segar-
bugar. Hanya saja Ibu pasti menung-gu-nunggu kabar beritaku..., Ibu! Aku pasti
datang... Tetapi musuh Ibu belum kulunasi ... tunggu barang satu dua bulan lagi..."
Keadaan dirinya memang lagi berada dalam sarwa perasa. Sehabis membayangkan
keadaan ibunya, mendadak saja teringatlah ia pula kepada Titisari yang kini
terenggut dari-padanya. Ia jadi berkecil hati.
Hebat pukulan peristiwa sehari tadi kepadanya. Dengan kepala kosong ia kembali
lagi dan pada tengah malam berada kembali di tepi jalan Yogya - Surakarta.
Pikirannya mulai tertarik kepada gerakan pasukan seragam yang berkesan kurang
wajar. Terang sekali, mereka bukanlah pasukan kompeni Belanda atau begundal-
begundalnya. Juga bukan pasukan kerajaan mirip pasukan Pangeran Ontowiryo
yang pernah dilihatnya. Jika demikian, pasukan dari mana mereka itu?
Waktu itu bulan cerah belum habis. Di te-ngah malam, bulan remang-remang mulai
timbul di langit timur. Suasana alam jadi remang-remang dan penuh rahasia.
Willem diikatnya pada tonggak jalan dekat pohon kapuk. Dia sendiri menggeletak di
atas batu menengadah ke udara. Sudah sering ia tidur di alam terbuka. Selama itu
hatinya ringan dan terhibur. Sebaliknya kali ini, pepat dan tak menentu. Suasana
alam yang remang-remang meninggalkan kesan menye-sakkan padanya. Tahulah
dia kini, bahwa semuanya itu tergantung pada keadaan hati. Coba, andaikata
Titisari berada di dekatnya... bukankah semua menjadi indah belaka?
Kira-kira lewat larut malam, ia mendengar suara binatang berlari cepat menuju ke
arah-nya. Kemudian hidungnya mengendus bau wangi kemenyan. Berbareng
dengan itu, Willem menggaruk-garukkan kakinya. Oleh suara itu, binatang yang
berlarian menyalak tinggi. Ternyata dua ekor anjing raksasa terus saja menyerang
Willem.
Sangaji terkejut. Cepat ia menggeserkan diri dan berlindung di balik batu. Dari arah
barat, selatan dan utara, munculan tiga pelita yang padam menyala. Dan saat itu
pula, Willem mulai bertahan sebisa-bisanya melawan serangan dua ekor anjing
raksasa yang nam-pak galak bukan kepalang.
Menyaksikan Willem kena ganggu, Sangaji hendak meloncat membantu. Tetapi
teringat akan tiga pelita yang padam menyala itu, ia jadi sangsi. Ia meraba-raba
sekitarnya mencari batu. Selagi ia meraba-raba, dari sebelah barat tiba-tiba
terdengar suara helaan napas. Ia menengok dan begitu menjenakkan mata, hatinya
terkesiap. Hampir-hampir ia tak percaya kepada matanya sendiri. Karena yang
dilihatnya adalah sesosok bayangan setingginya enam tujuh meter. Tapi tatkala
bayangan itu selalu mengeluarkan bunyi duk-duk-duk tahulah dia apa sebabnya.
Ternyata bayangan itu berjalan di atas dua penyangga tongkat bambu (egrang-
Jawa) yang berukuran tiga kali tinggi manusia lumrah.
Sekonyong-konyong dari kejauhan ter-dengar tiga suitan panjang dan nyaring luar
biasa. Di tengah malam suaranya bagai pekik burung hantu. Sesosok bayangan
nampak mendatangi dengan kecepatan luar biasa. Kedua ekor anjing yang
mengkaing-kaing kesakitan terus saja berdiri tertatih-tatih menyonsongnya.
Bayangan itu ternyata seorang laki-laki berperawakan tegap, bercam-bang tebal
dan berpakaian serba hitam.
Kedua anjing itu terus saja mengibas-ibaskan ekornya seperti lagi mengadu. Sangaji
mengamat-amati orang itu dengan lebih seksama, kesannya berwibawa benar.
Meskipun pada malam hari, Sangaji seolah-olah melihat sinar matanya yang
cemerlang, la membawa sebatang kapak yang diselipkan di pinggang.
Dengan sekali ayun, dua ekor anjing yang menyalak didekat Willem itu dilontarkan
dua puluh langkah lebih oleh Randu Kintir.
"Randukintir!" teriak orang itu. "Kenapa kau menghajar kedua anjingku? Kata
orang, memukul anjing samalah halnya dengan me-nantang majikannya. Benar-
benar kau seorang biadab tak tahu aturan!"
Mataram dan keris Tunggulmanik hendak dikangkangi. Hm... mana bisa begitu?
Malam ini menurut perjanjian ia hendak datang ke mari. Di sini ia hendak
mengambil penentuan. Dia seorang diri dan kita berempat. Nah, biar-lah dia
menumbuk tembok," jawab Randu-kintir.
Mendengar disebutnya Wirapati, hati Sangaji tergetar. Sekaligus tahulah dia, bahwa
musuh yang dicarinya kini sudah berada di depan hidungnya. Menurut kata hati,
ingin sekali ia segera menerjang. Mendadak teringatlah dia bahwa Randukintir
menyebutkan berempat. Pikirnya, membasmi rumput harus sampai ke akar-
akarnya. Biarlah kutunggu barang sebentar.
Malangyuda tertawa tinggi mendengar ungkapan2» itu. Hatinya girang benar. Men-
dadak bertanya, "Randukintir! Sewaktu kau mendengar bunyi mulutnya yang begitu
besar, mengapa tidak lantas menamparnya?"
"Aku mendengar kabar ini dari Citrasoma dan Panji Pengalasan yang menjaga
kedua pusaka tersebut. Kala itu, aku lagi memancing. Karena itu, tak dapat aku
menyenangkan harapanmu."
"Bagus! Sesudah kau kini habis memancing, mengapa kau tak mencarinya? Apa
kau takut padanya?"
"Hm! Hm! Aku tukang pancing, selamanya mau bekerja apabila ada hasilnya,"
sahut Randukintir.
"Baik! Kalau aku kalah, anggaplah aku tak berhak lagi mempunyai andil perkara
kedua pusaka itu."
Dan berbareng dengan ucapannya itu, Malangyuda terus menyerang dengan kapak-
nya. Randukintir ternyata benar-benar gesit. Meskipun masih berada di atas
egrangnya yang tegak berdiri bagai tiang, ia dapat me-nyingkir dengan gerakan
indah dan tangkas luar biasa. Kemudian bagaikan kilat, ia mem-balas menyerang.
Masing-masing mempunyai senjata an-dalan. Yang satu tajam dan kuat. Lainnya,
lemas dan lembut. Meskipun demikian, senjata mereka masing-masing
mengeluarkan bunyi desing dan gaung yang hebat.
"Randukintir! Aku bicara dengan setulus hatiku apa sebab engkau membalas
dengan cara begitu rupa?" Malangyuda jadi sakit hati.
"Engkau bertanya aku sudah menjawab. Bukankah sudah terbayar? Kau mau me-
ngompak hatiku yang goblok, huuu.... masakan bisa?"
"Kita adalah sesama rekan. Masakan kalian bisa bermain-main tanpa menunggu
aku?" sa-hut Panji Pengalasan dengan suara lembut. "Lihatlah! Saudara Citrasoma
penunggu wa-rung kopi yang berbudi, ikut menyesali kalian."
"Hai! Kapan kau datang?" seru Randukintir. "Kau pun akan berebut kedua benda
pusaka Bende Mataram."
Orang yang di sebut Citrasoma mendeham. Dengan suara malas, singkat dan
pendek ia menjawab, "Kedua benda itu milik kita bersama. Habis perkara...!"
Citrasoma si pendiam menjawab, "Dua gedung, empat puluh hektar sawah, uang
lima ratus ribu rupiah."
"Jumlah yang menyenangkan juga," sahut Randukintir yang mulutnya tajam. "Cuma
saja susah membaginya. Bayangkan jumlah itu dibagi lima. Sawah dan jumlah uang
gampang dibagi. Tetapi membagi dua gedung adalah sulit. Siapa kesudian kebagian
kamar kencing dan kamar pelangsir kotoran? Entahlah kalau kalian tukang kentut!"
"Kentut!" sahut si mulut jahil Randukintir. "Bagus Tilam sebentar lagi akan mampus.
Masakan perlu segala tetek bengek? Suma, Wira, Pitrah, dan Salamah cuma
cecunguk yang tak punya guna. Dahulu mereka cuma kita gantung terbalik selama
seperempat jam. Apakah susahnya cuma digantung begitu saja?"
"Kita lagi mempertimbangkan jerih payah kita. Janganlah kau ganggu agar kita bisa
menentukan sikap terhadap kemauan Bagus Wilatikta."
Mendengar alasan Panji Pengalasan, mulut jahil Randukintir menurut juga. Segera
ia me-nguasai mulutnya dan memasang kuping. Sejenak kemudian, Panji
Pengalasan merninta keterangan kepada Citrasoma.
"Haa, ini lebih mendingan!" sahut Randukintir yang tak bisa menguasai mulutnya
lagi begitu mendengar jumlah tawaran.
"Sri Sultan."
Dan Malangyuda yang beradat berangasan, lantas saja mendamprat. "Hai! Kau
jangan bilang kentut-kentut terus menerus. Bilanglah apa sebabnya!"
"Aku bilang kentut ya kentut. Masakan kau tak tahu?" Randukintir melototkan
matanya. "Siapa sudi mendengarkan omongan yang besar. Coba pikir! Masakan Sri
Sultan begitu gampang keluar dari istana semata-mata untuk menemui paduka
yang mulia Citrasoma?"
"Pintalah keterangan dahulu dan jangan hanya memaki-maki melulu," sahut Panji
Pengalasan. "Meskipun Pangeran Bumi Gede dan Gusti Patih-pun bukanlah datang
sendiri. Tapi mereka mengirimkan orang-orang kepercayaannya untuk mengadakan
tawar-me-nawar. Kau tahu kini, goblok!"
Randukintir rupanya berhati jujur. Dalam hati mengakui terlalu ceroboh sampai
memaki kawan sendiri. Karena itu meskipun ia kena damprat, kali ini tiada bersakit
hati. la mena-han tertawa cengar-cengir seperti orang gen-deng.
"Dengarkan! Kali ini bisa kita pertimbang-kan. Sepuluh gedung bangsawan, lima
ratus hektar sawah, seratus ekor lembu. Gang, satu juta ringgit. Dan siapa yang ikut
serta menda-pat pangkat Wedana."
"Nanti dulu! Rupanya Pangeran Bumi Gede mendengar penawaran ini. Dengan
persetu-juan gusti patih, ia menjanjikan jumlah penawaran Sri Sultan dua kali lipat.
Bahkan, sepertiga tanah kerajaan diberikan pula dan kita semua dijanjikan pangkat
Bupati," sahut Citrasoma bersemangat. "Nah, penawaran apa lagi yang kita
tunggu?"
"Bukankah itu suatu penawaran yang paling tinggi dan cukup berharga?"
Si mulut jahil tiada segera menjawab. Mulutnya masih sengaja cengar-cengir. Dan
setelah di desak dua tiga kali, akhirnya men-jawab, "Aku si tukang pancing.
Kebiasaanku melemparkan pancing dan terus menyaplok hasilnya. Dan tak biasa
mengumbar mulut besar menyebutkan jumlah-jumlah tanpa gede bukti."
"Tunggu Baruna! Dialah yang mengadakan pembicaraan. Nah, kau nanti akan
mendengar sendiri."
Sangaji terkejut bukan main. Suara itu datang dari arah belakangnya. Dan tatkala
menoleh, ia melihat seseorang berbaring di atas batu yang berada kira-kira sepuluh
langkah di belakang punggungnya. Kapan orang itu di atas batu, sama sekali tak
dike-tahuinya. Mendadak saja, tersadarlah dia.
Ah! pikirnya dalam hati. Terang sekali mereka bukanlah orang lumrah. Kalau tadi
mereka melihat si Willem, masakan tak ingat pemiliknya? Apa sebab mereka sama
sekali tak menyinggung pemilik Willem.
Dalam pada itu, Randukintir terdengar memaki kalang kabut. Kemudian men-
damprat, "Semenjak kapan kau berada di situ?"
Kalau kau berada di sini, bulan yang tolol itu kelihatan terang benderang... Kau mau
apa dariku?"
"Aku menghendaki bukti tawar-menawar!" teriak Randukintir. "Tak sudi aku mende-
ngarkan ocehan tak keruan juntrungnya."
"Hihaaai Kalian goblok tak mempunyai otak! Hayo jawablah dahulu pertanyaanku
ini. Apakah hak kalian mengangkangi kedua pusaka itu? Kalau kalian sudah bisa
men-jawab, nah itulah baru syah!"
"Kentut!" maki Radukintir. "Apakah kedua pusaka itu kepunyaanmu? Apakah milik
Bagas Wilatikta? Berrr!"
"Kalian tahu, kedua pusaka itu datang dari tangan murid Gunung Damar. Tapi dia
kalian jebak begitu rupa. Apakah itu perbuatan laki-laki? Baiklah! Anggaplah itu
suatu per-juangan hidup. Tetapi apakah kalian tak ingat pembalasan murid Wirapati
yang menurut kabar adalah pewaris kedua pusaka tersebut?"
"Kentut! Kentut! Mana dia? Tunjukkan aku di mana dia berada. Biar bagairriana aku
seorang laki-laki. Akan kupintanya secara berhadap-hadapan. Aku tukang pancing
tak bisa main mengintip-intip seperti kucing!"
Dalam hal mengatur suatu rencana, Sangaji bukan tandingnya. Begitu melihat
Sangaji, mereka bersikap seolah-olah terkejut dan heran. Hampir berbareng mereka
memekik kaget tetapi bergerak maju. Dan Baruna yang berada di atas batu terus
saja merosot ke tanah sambil menguap panjang lagi.
Mereka memekik terkejut lagi. Randukintir terus menyahut, "Hai! Apakah engkau
hendak membalas dendam? Celaka! Agaknya kau telah mendengarkan
pembicaraan kami. Celaka! Benar-benar kami susah untuk mengingkari lagi."
Hati Sangaji mendongkol mendengar ucap-an Randukintir. Meskipun andaikata tolol
tahulah dia, bahwa mereka terang-terangan telah mengetahui keberadaannya.
Semua pembicaraan mereka telah diaturnya demikian rupa serta sengaja
diperdengarkan.
Sangaji yang tak pandai berbicara hanya menjawab, "Hm!" Dan karena sudah
merasa, bahwa persoalan itu harus diselesaikan dengan adu tenaga, terus saja ia
menyelidiki sekitarnya. Diam-diam ia memuji lawannya. Ternyata mereka
menempati garis lintang, sehingga ia berada pada suatu bidang sempit. Apabila jadi
bergerak, ruang geraknya sangat terbatas. Teringat akan senjata pancing, cangkul
dan kapak, tak terasa tergetarlah hatinya.
"Hai!" seru Randukintir heran. "Bukankah engkau yang berpura-pura main kapak di
depan warung Citrasoma? Lantas Citrasoma pura-pura menjadi orang berjasa yang
menunjukkan jalan. Di tengah jalan, Wirapati bertemu dengan Panji Pengalasan
yang pandai bermain priyayi. Saudara kecil! Itu dia Panji Pengalasan yang dahulu
berpura-pura dilukai musuh. Sikapnya menarik dan menawan hati, sehingga
gurumu bisa terkecoh. Hihooo... Gurumu lantas bertemu dengan Baruna yang
menguap di belakangmu itu. Perannya dahulu berada di atas jembatan. Setelah
luput dari pengamatannya, gurumu bertemu dengan aku. Hm, sungguh hebat!
Gurumu bisa membebaskan diri dari sabetan pancingku. Sayang! Sayang! Akhirnya
dia tak bisa lolos dari kepungan kami. Yah... keadaan gurumu seperti keadaanmu
sekarang ini. Meskipun andaikata gurumu berkulit tembaga, bertulang besi dan
berotot kawat, masakan bisa menghadapi kami dengan berbareng. Kemudian... hai
saudara kecil! Sebelum gurumu mati, Malangyuda inilah yang meremukkan tulang
belulangnya! Saudara kecil! Lebih baik cobalah merampas obat pemunahnya. Siapa
tahu, engkau bisa pulang ke gunung dengan selamat!"
Untunglah, pembawaan Sangaji tidaklah seperti belirang kena bara api. Dalam
kegusarannya masih bisa ia mengurai diri. Mendadak saja ia bisa berpikir, waktu
menyergap guru, mereka main bersembunyi, licik dan licin. Mengapa mendadak
kini berlaku sebagai laku seorang ksatria?"
Dengan penuh selidik ia melemparkan pan-dang kepada Malangyuda. Teringatlah
akan kekejamannya ia benci bukan kepalang. Waktu itu, Malangyuda
memperlihatkan senyum licik dan merendahkan. Begitu kena pandang, lantas saja
berkata mengguruh.
"Kau ingin menuntut balas? Balaslah aku! Caraku dahulu menjatuhkan gurumu, me-
mang licik. Sekarang menghadapi engkau masakan perlu bermain sandiwara?
Pusaka Bende Mataram dan keris Kyai Tunggulmanik kini berada di pihakku. Kalau
mampu ambillah kembali. Kalau tidak, dengan pukulanku akan kupaksa engkau
menyerahkan secara laki-laki."
"Seperti engkau, akupun seorang laki-laki. Tapi guruku selalu memberi ajaran
padaku, manakala aku lagi menghadapi sesuatu perkara yang menyangkut
kesejahteraan seseorang, aku harus berani mengkesampingkan kepentingan
pribadi."
"... kalau begitu, terpaksa aku melayani kehendakmu," bentak Sangaji dengan
gusar.
Seperti diketahui, ilmu sakti Kumayan Jati bukanlah ilmu sembarangan. Dalam jarak
jauh, tenaga pukulannya bisa meruntuhkan sebatang pohon yang tegak berdiri.
Tenaga Sangaji belumlah sekuat tenaga Gagak Seta. Tetapi waktu itu ia berada
dalam keadaan marah, dendam dan benci.
Seketika itu juga, getah sakti Dewadaru yang mengeram dalam tubuhnya bergolak
hebat. Tubuh Sangaji tergoncang-goncang. Terus ia meliukkan punggung dan
melepaskan pukulan. Kesudahannya hebat bukan kepalang.
Malangyuda yang berperawakan tinggi besar, terpental lima belas langkah dan
memekik kesakitan. Begitu jatuh bergedu-brakan di atas tanah lantas saja
melontakkan darah segar.
Mereka semua terkejut sampai memekik. Mimpipun tidak, bahwa tenaga Sangaji
bisa melebihi gurunya. Lantas saja mereka berge-rak mengepung dan tak berani
lagi meren-dahkan lawan.
"Ih! Kalau begitu, benarlah laporan Suma dan Wira," kata Citrasoma keruh.
Sangaji tak mengenal siapa itu Suma dan Wira. Mendadak saja teringatlah dia
kepada empat prajurit penunggang kuda yang meng-aniaya seorang perempuan.
Mengingat keli-cikan dan kelicinan mereka, pastilah keempat prajurit tadi adalah
sekomplotan.
Sangaji menoleh dan dengan gusar ia mere-nungi. Dalam pada itu, si mulut jahil
Randukintir terdengar tertawa terbahak-bahak sambil berkata, "Saudara kecil
jangan kepalang tanggung! Tadi dia menantang tiga pukulan bebas tanpa pajak.
Hayo pukul lagi! Biarlah tahu rasa, betapa luas dunia ini..."
Sangaji tahu, betapapun juga mereka adalah sekawan dan sepaham. Saat itu
sadarlah dia, bahwa ia lagi dikepung sembilan orang sekaligus. Kalau satu demi
satu, rasanya ia masih sanggup mengalahkan. Tetapi apabila sekonyong-konyong
maju berbareng, inilah bahaya.
Sangaji terkejut. Untung, dia tadi telah menyaksikan kehebatan senjata lawan
tatkala sedang mengadu kepandaian melawan Randukintir. Pertunjukan tadi,
barangkali dimaksudkan untuk mengecilkan hati Sangaji. Tapi kini mendadak
berubah memusuhi diri. Karena dengan gesit, Sangaji dapat mengelakkan dan
melawan dengan pukulan-pukulan ciptaan Kyai Kasan Kesambi.
Seperti diketahui, ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi pernah mengejutkan pendekar-
pendekar sakti seperti Kebo Bangah dan Adipati
Surengpati. Bisa dibayangkan betapa hebat dan kokoh. Kecuali itu, untuk beberapa
kali Sangaji pernah mengujinya. Mula-mula ter-hadap Warok Kudawanengpati dan
Watu Gunung sahabat Lumbung Amisena. Ke-mudian kepada Setan Kobar dan
beberapa prajurit Pangeran Bumi Gede. Setelah itu diperlihatkan di hadapan tokoh-
tokoh sakti Adipati Surengpati, Kebo Bangah dan Gagak Seta. Mereka semua
terkejut dan heran. Karena itu, menghadapi perlawanan Malangyuda yang dahsyat,
sama sekali hatinya tak gentar. Dengan cepat jurus ciptaan Kyai Kasan Kesambi
telah melibatnya. Sekonyong-konyong pukulan ilmu sakti Kumayan Jati terlepas
lagi. Dan untuk kedua kalinya Malangyuda terpental jungkir balik. Senjata kapaknya
terbang di udara dan tepat menjatuhi punggungnya.
Sangaji sadar, bahwa ia harus memukul mereka dengan sekaligus. Kalau lalai
sedikit saja akan besar bahayanya. Sebab betapapun juga, ia akan kalah napas
apabila mereka maju secara bergiliran. Melihat gerak-gerik mereka, Baruna adalah
lawan yang terlemah. Waktu itu Baruna berada di belakangnya. Maka dengan sebat
ia menyerang Citrasoma yang kaget setengah mati.
Pada saat itu pancing Randukintir dan pacul Panji Pengalasan turun dengan
berbareng. Sudah barang tentu Sangaji terancam hebat. Sebat luar biasa ia
menyambar tubuh Baruna dan dilemparkan untuk menyongsong senjata mereka.
Waktu tangan Citrasoma sedang membabat. Begitu melihat sambaran tubuh
Baruna, tak sempat lagi ia menarik. Mau tak mau ia harus memapaki. Dengan
sikunya ia mendorong dan berbareng melompat ke samping. Dan yang untuk kedua
kalinya, Baruna jatuh bergedebrukan ke tanah. Dengan merangkak-rangkak, ia
keluar gelanggang. Kemudian duduk bersila mengatur napas.
Terpaksa Baruna tak dapat berkelahi lagi. Dengan memaksa diri ia menguasai
peredaran darahnya. Namun tak urung, darah segar terlontar juga dari mulutnya.
Selama hidupnya, Sangaji belum pernah menghadapi senjata semacam itu. Namun
demikian tak berani ia terlalu mencurahkan perhatiannya kepadanya, karena
senyum licik Citrasoma sangat mencurigakan.
Sangaji terkejut mendengar bunyi desing itu. Menghadapi tiga lawan tangguh itu, ia
bersikap hati-hati. Meskipun belum tentu kalah, tetapi menangpun bukanlah
gampang. Hal itu bisa dimengerti. Gurunya sendiri, Wirapati tak mampu
menandingi dengan berbareng. Mendadak saja, tiga panah terus menyambar.
Terkejut ia mengibaskan tangan dan buru-buru mengelak ke samping. Dengan
demikian garis pertahanannya berubah.
Menghadapi bahaya, Sangaji tak menjadi gugup. Untuk menahan serangan mereka,
ter-paksa ia menggunakan ilmu sakti Kumayan Jati. Seperti diketahui ilmu sakti
tersebut, bisa memukul lawan dari jauh. Sayang, lawannya sedang bergerak
sehingga hasilnya tak begitu memuaskan. Meskipun demikian, daya tekanannya
bisa pula menahan rangsakan mereka.
Dalam perbandingan, ilmu Sangaji tak usah takut kalah dibandingkan dengan
mereka. Pada waktu itu, gurunya sendiri belum pasti bisa mengalahkan. Tetapi
karena ia dikerubut tiga orang dan diganggu empat orang dari luar gelanggang, ia
jadi kerepotan juga. Kecuali itu, ia kalah dalam hal pengalaman dan masa
meyakinkan.
Tak lama kemudian rangsakan senjata Randukintir makin terasa berbahaya. Panji
Pengalasan dan Citrasoma tak mau keting-galan pula. Tekanan mereka, mau tak
mau membuat hati Sangaji gelisah.
Kalau terus menerus begini, bagaimana aku bisa membalas dendam guru. Rupanya,
aku tak sanggup menandingi, pikir Sangaji resah. Benar-benar aku ini seorang laki-
laki tiada gunanya hidup lama lagi. Kalau sampai keempat pembantunya terjun pula
ke gelanggang... hm... entah bagaimana nanti akibatnya.
Tanpa berpikir panjang lagi, Sangaji terus menjejak tanah dan mundur empat
langkah. Pada saat itu, penciumannya mencium bau harum dupa. Pandang
matanya jadi kabur. Apabila ia memaksakan diri menjenakkan mata, sekilas
pandang terlihatlah gumpalan asap hitam turun sebagai tirai.
"Celaka!" ia kaget. Tahulah dia, bahwa lawannya sedang menyebar racun bubuk
berupa asap. Segera ia menahan pernapasan-nya. Kemudian melompat mendesak
dengan melontarkan pukulan ilmu sakti Kumayan Jati.
Biasanya sekalipun harimau pasti roboh begitu mencium racunnya. Kenapa dia
masih begini gesit dan segar bugar? pikirnya menebak-nebak.
Citrasoma tak tahu, bahwa dalam diri pemuda itu mengeram getah sakti Dewadaru
yang dapat menawarkan segala racun yang berada di muka bumi ini. Selain itu,
madu tabuhan Tunjungbiru merupakan obat pemunah tiada bandingnya. Karena itu
Citrasoma yang mengandalkan senjata uap beracunnya gagal dalam hal ini. Hatinya
mendongkol bukan kepalang.
Sangaji tak sudi menunggu tibanya serang-an itu. Cepat ia menggeser ke samping
dan melepaskan pukulan jurus ciptaan Kyai Kasan Kesambi dengan tenaga lontaran
pergolakan getah Dewadaru.
Melihat bahaya itu, gugup Citrasoma mundur berjungkir balik. Dan begitu desir
angin pukulan Sangaji lewat di antaranya, Panji Pengalasan mendesak maju.
Senjata paculnya terus menyambar dahsyat.
Sangaji terkejut. Semenjak tadi sadarlah dia, bahwa senjata Panji Pengalasan tak
boleh diremehkan. Cepat ia mendahului menyerang dada. Oleh serangan itu, Panji
Pengalasan menarik tangan kirinya melindungi dada. Mendadak saja, Sangaji
membatalkan serang-an dan terus menyabet lambung. Sudah barang tentu Panji
Pengalasan kaget sampai memekik. Tahu-tahu, tubuhnya terpental dan
menggelinding seperti bola.
Dengan jatuhnya dua lawan, Sangaji bisa bernapas agak lega. Mendadak saja di
luar dugaan, keempat pembantu mereka yang berada di luar gelanggang
melepaskan panah dengan berbareng. Dan batang panah lang-sung mengancam
padanya, tetapi yang lain-nya menyerang si Willem. Melihat bersuingnya dua
batang panah mengancam Willem, Sangaji terkejut. Gugup ia mengibaskan tangan
menangkis panah yang menusuk padanya. Kemudian dengan gugup ia melontarkan
pukulan dari jauh. Jarak antara dia dan Willem kurang lebih dua puluh langkah.
Meskipun tenaga lontarannya cukup kuat namun belum mampu menyapu bersih.
Dengan hati mencelos5) ia melihat menyam-barnya sebatang panah yang agak
mencong kena pukulannya namun masih saja membidik sasarannya.
"Jahanam! Mengapa memanah kuda?" ben-tak Sangaji dengan gemetar. Terus saja
ia bersuit tinggi. Mendengar suitannya, Willem bergerak menggeser badan. Dengan
begitu luputlah ia dari ancaman panah. Namun masih saja menyerempet ekornya,
sehingga ia kaget berjingkrakan.
Sangaji gusar bukan kepalang mendengar teriakan mereka. Terus saja ia melompat
melindungi Willem. Begitu melihat Willem berjingkrakan, dengan gagah ia berkata.
"Willem! Jangan takut!"
Waktu itu, Malangyuda dan Baruna sudah dapat bergerak kembali. Sekalipun gerak-
geriknya belum leluasa, namun dengan datangnya mereka Sangaji jadi kerepotan.
Apa lagi mereka berkelahi seperti anjing gila oleh dendam dan rasa benci yang
meluap-luap.
Betapa gugup dan gelisah hati Sangaji, tak dapat dilukiskan lagi. Ia bertempur
dengan berlari-larian. Perhatiannya lebih ditumpahkan kepada keselamatan si
Willem. Tetapi apabila ia hendak mendekati, kelima lawannya terus saja
melibatnya. Dengan begitu sia-sialah usahanya hendak membebaskan si Willem
dari ancaman mereka.
Hm... kalau saja aku bisa melepaskan tali ikatannya, pikirnya. Namun maksud itu
tak gampang-gampang bisa dilaksanakan.
Mendadak saja empat batang panah nampak menyambar. Gugup ia menjejak tanah
dan tanpa berpikir panjang lagi, terus saja menubruknya. Hebat kesudahannya.
Keempat batang panah itu kena ditangkisnya mencong. Sebaliknya dialah yang
menjadi korban. Dalam saat kedudukannya belum kokoh, kelima lawannya
menyerang dengan berbareng. Ia memekik kaget. Maklumlah, baru saja ia
melompat dan belum lagi mendarat di atas tanah dengan baik. Maka dengan
terpaksa ia menangkis sebisa-bisanya. Keras melawan keras.
"Masakan kau yang akan menjadi pemilik kedua pusaka Bende Mataram? Mana
bisa?"
Malangyuda heran bukan main. Se-konyong-konyong sadarlah dia. Tahulah aku kini,
pikirnya. Jikalau anak ini mati di tangannya, bukankah dia akan mempunyai suara
besar dalam penentuan membagi hasil?
Oleh pertimbangan itu, ia menjadi kalap. Sekarang ia tak lagi mengancam Sangaji,
tetapi berbalik memukul Randukintir. Mereka terus saja saling menggebrak. Panji
Peng-alasan yang bisa berpikir segera menegur. "Hai kenapa kau saling hantam?"
Baik Malangyuda maupun Randukintir tak menjawab. Tetapi seperti berjanji mereka
ber-gerak melebat. Mau tak mau Panji Pengalasan terpaksa menangkis. Citrasoma
yang cerdik tak sudi melibatkan diri. Dengan tersenyum licik ia maju mendekati
Sangaji bersama Baruna.
Pada waktu itu, darah Sangaji masih saja menyembur. Napasnya mencekik leher.
Walaupun demikian, ia masih sadar meng-hadapi lawan. Dengan memaksa diri ia
berdiri tegak dan menghalang melindungi Willem.
Keempat penunggang kuda melepaskan anak panahnya lagi. Sangaji jadi putus asa.
Pikirnya, habislah sudah usahaku. Benar-benar aku ini seseorang tiada guna.
Dengan mengangkat tangan ia mengibaskan lengan. Dua panah kena disampoknya
jatuh. Dua panah lainya menyerempet kedua pundaknya hampir berbareng.
Darahnya lantas saja mengucur membasahi dada.
Teringat akan gurunya yang kena siksa demikian rupa, menggigillah seluruh badan-
nya. Apakah ia harus menyerah begitu saja menerima nasib? Tidak! Dan
sekonyong-konyong teringatlah dia, bahwa dalam kantongnya tersimpan
segenggam biji sawo, dari Gagak Seta. Dahulu ia pernah memperoleh ilmu
menimpuk biji sawo dari Gagak Seta. Selama itu, belum pernah mempergunakan
atau mengingat-ingatnya, ia menganggap senjata itu kurang perwira. Gurunya
dahulu, Wirapati berpaham demikian juga. Tetapi kini, ia lagi menghadapi soal mati
atau hidup. Keempat penunggang kuda itu jadi penasaran karena panahnya kena
disemplok, waktu itu mulai memasang anak panahnya lagi.
Mereka semua tergolong manusia setengah biadab. Tidak hanya berdaya wajar,
tetapi menggembol senjata racun pula. Sebaliknya, biji sawo ini tiada berbisa.
Apakah aku tak boleh melawan senjata mereka dengan senjata timpukan? Sangaji
berimbang-imbang. Tiba-tiba ia mendengar salah seorang penunggang kuda mulai
melepaskan panah. Citrasoma yang tersenyum licik, membarengi menyerang pula.
Saat itu benar-benar ia merasa terdesak.
"Baiklah! Demi membalas dendam, biarlah aku menggunakan senjata bidik ini,
Guru! Izinkan aku!" Sangaji mengambil keputusan.
Keempat penunggang kuda itu sama sekali tak sadar akan datangnya maut. Kecuali
tak menduga sama sekali, sambaran biji sawo sama sekali tak terlihat dalam malam
bulan remang-remang. Tahu-tahu dada mereka kena bidik dan tembus seperti
tertusuk. Mereka menjerit berbareng dan jatuh bergedebukan dari atas kudanya.
"Mari kita singkirkan dahulu bocah itu. Baru kita menentukan sikap!" ajak Panji
Pengalasan dengan bersungut-sungut.
Sangaji sendiri tak mengira, akan memper-oleh hasil begitu baik dan gampang.
Hatinya yang mulai menciut kini timbul harapannya. Pikirnya cepat, tenagaku sudah
berkurang. Biarlah mereka kulawan dengan timpukan biji sawo. Bagaimana
kesudahannya masakan harus kupikirkan? Dari pada menyerah, biarlah aku
berjuang sampai saat ajalku.
Benar juga. Terus saja ia melepaskan senjata bidiknya sambil mendekati si Willem.
Mau tak mau Sangaji, terdesak lagi dalam kerepotan. Teringatlah akan kudanya,
cepat ia melompat sambil mengibaskan tangan memangkas tali pengikat. Dan
sekali kena pemangkas tangannya, si Willem terbebas dari hukuman. Kuda itu
lantas saja berjingkrak melompat ke udara.
Tak kusangka bahwa akhirnya aku mati di sini, keluhnya dalam hati. Rupanya
nasibku samalah halnya dengan Ayah dan Guru.
"Biariah aku melepaskan pukulan ilmu sakti Kumayan Jati dengan jurus ilmu ciptaan
Eyang Guru. Sebelum menutup matanya, inginlah aku mengetahui apakah aku
sudah berhasil menggabungkan kedua ilmu sakti itu."
Tatkala lagi memepelajari rahasia tata tena-ga ilmu sakti Kumayan Jati, Gagak Seta
mengetahui bahwa dalam diri Sangaji mem-punyai getah ajaib Dewadaru. Kecuali
itu, Sangaji mempunyai ilmu Bayu Sejati ajaran Ki Tunjungbiru. Kedua ilmu itu
bertentangan sifatnya. Masing-masing bersandar pada tenaga pokok Dewadaru.
Menurut Gagak Seta, apabila Sangaji berhasil melebur dua ilmu sakti tersebut ke
dalam getah sakti Dewadaru yang mempunyai sifat menghisap, siapa saja takkan
tahan menerima pukulannya. Sebaliknya, sebelum berhasil ia dilarang
menggunakan dua ilmu gabungan. Bahayanya akan memakan diri sendiri. Dahulu
dia pernah jatuh pingsang sewaktu mencoba menggunakan dua ilmu gabungan
tersebut.
Kini, Sangaji hendak menggunakan kedua ilmu sakti sekaligus. Yakni, ilmu sakti
Kuma-yan Jati dan ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi yang mempunyai tata napas
dan tata tenaga sendiri. Sudah barang tentu, bahayanya sangat besar. Tetapi pada
saat itu, ia tak memikirkan lagi soal hidup dan mati. Tekadnya hanya hendak mati
berbareng dengan kelima musuhnya sebagai pembalas dendam gunanya.
Demikianlah, maka pada saat itu, getah sakti Dewadaru mulai menggoncang
seluruh tubuhnya. Ilmu sakti Kumayan Jati dan ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi
saling berebut mencari sandaran tenaga. Seperti diketahui, Gagak Seta dan Kyai
Kasan Kesambi adalah dua orang pendekar yang mempunyai kedudukan masing-
masing. Dalam suatu per-lombaan adu ilmu kepandaian, mereka meru-pakan
saingan berat. Dengan sendirinya, ilmu masing-masing jauh berbeda. Itulah
sebabnya, kedua ilmu tersebut lantas saja saling bertempur dengan sengit. Tanpa
disadari Sangaji sendiri, ilmu Bayu Sejati yang bersifat mempertahankan diri terus
saja timbul karena merasa kena serang. Dengan demikian dalam diri Sangaji
terjadilah suatu medan laga yang dahsyat bukan main.
Pada saat itu, mata Sangaji sudah berku-nang-kunang. Apa yang terjadi di sekitar
dirinya hanya nampak berkelebat seperti bayangan. Mendadak ia mendengar kesiur
angin. Tanpa berpikir lagi, ia memapaki dan melontarkan suatu pukulan ilmu
gabungan dengan sekaligus. Kesudahannya hebat bukan main. Sangaji terpental
sepuluh langkah dan memuntahkan darah segar IagL Luka dalamnya bertambah
parah. Kemudian jatuh pingsan.
Tetapi kelima lawannya tiada bebas dari hantamannya yang kuat luar biasa. Mereka
mundur terhuyung-huyung dengan mata berkunang-kunang. Dalam hati, mereka
terkejut. Sama sekali tak terduga, bahwa Sangaji nampak luka parah masih
mempunyai sisa tenaga begitu dahsyat. Dan belum lagi keheranannya lenyap
mendadak saja punggung mereka terasa ces dingin kemudian berubah panas.
Randukintir terkejut setengah mati. Cepat ia memutar hendak mendamprat
Malangyuda. Pikirnya, keji benar kau Malangyuda! Mengapa kau memukul aku
dengan diam-diam selagi tak berjaga-jaga...? Tapi ia batal sendiri, karena melihat
Malangyuda tiba-tiba roboh ke tanah tak berkutik lagi.
"Monyet! Iblis!" maki Randukintir. "Inilah caramu memukul orang dari belakang?"
Randukintir sadar akan bahaya. Tak berani lagi ia mengumbar suara. Sebaliknya
lalu mengatur napas dan mencoba melawan kesaktian Aji Gineng dengan ilmunya
sendiri.
Dalam pada itu, Citrasoma yang kena pu-kulan Aji Gineng, terus saja menggigil ke-
dinginan. Sejenak kemudian, roboh tak berkutik tak sadarkan diri.
Pada saat itu Sangaji dalam keadaan se-tengah sadar. Tak mampu ia berdiri,
bahkan mencoba berkutikpun tiada tenaga lagi. Karena itu, kedatangan Bagas
Wilatikta sama sekali tak diketahuinya.
Panji Pengalasan yang jatuh tersungkur mencoba berkata, "Bagas Wilatikta! Jauh-
jauh sudah kudengar maksudmu hendak mengangkangi kedua pusaka itu. Selama
ini engkau menggenderangkan diri sebagai laki-laki sejati. Mengapa menyerang dari
belakang? Bukankah ini perbuatan manusia keji?"
"Hahaha..." potong Bagas Wilatikta. "Mengadu tenaga adalah binatang. Sebaliknya
siapa yang bisa menggunakan akal itulah manusia. Dalam medan pertempuran,
akal, siasat dan tipu muslihat adalah lumrah. Kalian dahulu menjebak Wirapati
dengan akal pula. Kini, akupun menggunakan akal. Apakah celanya?"
Didebat demikian, Panji Pengalasan tak dapat berbicara lagi. Ia tahu, Bagas
Wilatikta adalah manusia tangguh. Kecuali itu pandai menggunakan akal dan
mengatur siasat. Bahwasanya dia kena terjebak, sudahlah semestinya.
"Kentut! Tiba-tiba Randukintir memaki. "Benar aku termasuk begundalmu, tapi aku
tak ikut campur."
"E, hem! Apakah bedanya dengan per-buatanmu sekarang. Bukankah engkau kini
ikut pula berkomplot menghadang murid Wirapati? Hm hm... mana bisa kalian luput
dari pengawasanku? Sekarang sudah nyata siapa yang kalah dan menang. Aku
seorang diri sudah bisa menjatuhkan kalian dengan berbareng. Apakah perlu
dibicarakan lagi?"
Suatu kesunyian terjadi. Mereka yang kena hantam Bagas Wilatikta sadar akan
bahaya. Pintu maut terbuka lebar di hadapannya. Dalam keadaan tak bisa berkutik,
sekali Bagas Wilatikta mengayunkan tangannya berarti mengirimkan nyawa mereka
ke udara. Mereka semua kenal sepak terjang dan perangai Wilatikta. Sekali
bertindak tak kepalang tanggung.
Sangaji yang rebah setengah sadar, men-dadak memperoleh tenaga baru. Hal itu
dise-babkan oleh daya sakti getah Dewadaru. Tatkala tadi timbul suatu persaingan
hebat antara ilmu Bayu Sejati —Kumayan Jati dan ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi,
getah sakti tersebut kena diombang-ambingkan. Setelah ketiga ilmu sakti tersebut
lenyap, Dewadaru mulai menghisap tenaga jasmaniah. Itulah sebabnya, Sangaji
rebah tak dapat berkutik kehabisan tenaga. Kemudian suatu hal yang membuat
nyawanya tertolong karena ia jatuh pingsan. Dengan demikian tiada kegiatan tata
jasmaninya. Dan begitu Dewadaru tak mem-peroleh perlawanan dengan sendirinya
lantas menusup kembali ke jalan darah. Tanpa di-sadari Sangaji sendiri, ia
membangunkan peredaran darah dan sedikit demi sedikit menghimpun tenaga
muminya. Sayang sekali,
Sangaji dalam keadaan luka parah, sehingga tenaga yang terhimpun merembes ke
luar. Meskipun demikian, dibandingkan dengan keadaan kelima lawannya pada saat
itu, ia jauh lebih beruntung.
Tatkala menjenakkan mata, ia heran apa sebab kelima lawannya tiada menyerang
lagi. Sekonyong-konyong ia mendengar percakapan yang penghabisan itu yang
disusul dengan suatu kesunyian. Ia menegakkan kepala dan melihat sesosok tubuh.
Waktu itu bulan kian menjadi cerah, sehingga berewok Bagas Wilatikta samar-
samar terlihat juga. Dan begitu ia mengenal siapa dia, hatinya tergetar.
"Hai Citrasoma! Malangyuda! Panji Penga-lasan! Baruna dan Randukintir!
Dengarkan, kalian sendiri yang menetapkan siapa yang berhak memiliki kedua
pusaka Bende Mataram," kata Bagas Wilatikta. "Dan aku datang untuk menetapi
perjanjian ini. Apakah kalian berpenasaran?"
"Bangsat!" maki Malangyuda yang sudah bisa memperoleh sisa tenaganya. "Selagi
kita bertempur, kau memukul dari belakang. Kalau
kau seorang kesatria, marilah kita bertempur sampai mati di kemudian hari..."
"Ajalmu sudah di depan matamu, masih saja kau berlagak ksatria sejati?" bentak
Bagas Wilatikta. Kemudian tertawa perlahan sambil berkata, "Kau sendirilah yang
goblok. Siang aku sudah berada di sini, tapi telingamu begitu tuli."
MendengarMeapafTBagas Wilatikta, Sangaji terkesiap. Maklumlah, semenjak
memperoleh ilmu sakti Kumayan Jati dan ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi, panca
indra bekerja sangat peka. Walaupun demikian, masih juga belum bisa menangkap
beradanya Bagus Wilatikta. Hal itu membuktikan, bahwa Bagas Wilatikta memiliki
ilmu sangat tinggi jauh di atasnya. Memperoleh pertimbangan demikian, diam-diam
ia mengeluh dalam hati.
"Kaupun telah sadar lagi. Napasmu mulai teratur. Tetapi sisa tenaga yang kau
peroleh paling banyak tiada melebihi manusia lum-rah."
Kembali Sangaji terkejut. Orang itu benar-benar hebat. Pantas kedua pamannya
memuji keperkasaannya, tatkala lagi bertem-pur mengadu tenaga.
"Kau bernama Sangaji bukan?" katanya meneruskan. Tadi kudengar engkau menye-
butkan namamu sendiri. Kuperingatkan, ja-ngan sekali-kali kau menyebutkan nama
begi-tu gampang di tengah lapangan. Coba, andaikata dahulu aku tak mendengar
ujarmu perkara kedua pusaka Bende Mataram secara kebetulan tatkala engkau
berjalan bersama guru dan pamanmu, masakan gurumu kena aniaya orang."
Ontuk ketiga kalinya, Sangaji terkejut lagi. Masih teringat segar dalam benaknya,
bagai-mana ia kelepasan kata sewaktu menggam-barkan tentang kedua pusaka
Bende Mataram yang diwariskan Wayan Suage kepadanya. Tatkala itu ia
mendengar suara bergemeresek. Ternyata selain Titisari, masih terdapat manusia
berewok itu dengan rekan-rekannya. Dan malam itu pamannya Bagus Kempong
beradu tenaga dengan Bagas Wilatikta sehingga luka parah. Kemudian seorang
laki-laki berperawakan tinggi semampai datang menjenguk, sewaktu Bagus
Kempong dan Wirapati beristirahat di gardu Dusun Salatiyang. Teringat perawakan
Randukintir, hatinya terkesiap.
"Hihihaaa..." Bagas Wilatikta tertawa me-lalui dada. Baiklah kuterangkan sebab mu-
sababnya gurumu kena aniaya. Kedua pu-saka itu sudah sepuluh dua puluh tahun
yang lalu menjadi pembicaraan orang. Tahu-tahu ia berada dalam genggamanmu.
Kami terus menguntit gurumu. Lantas menje-bak sampai ke Ambarawa. Dan di sana
guru-mu kena pukulan beracun. Tulang iga-iganya kena remuk orang itu yang
bernama Ma-langyuda."
"Bohong!" tiba-tiba Sangaji memotong. "Tak percaya aku. Guru takkan kalah
melawan dia."
Sangaji menggigil oleh dendam dan marah melebihi batas. Malangyuda sendiri
lantas menggerung. Namun tak dapat membatah.
Lihat!"
"Kau puas bukan?" teriak Randukintir. "Nah, bunuhlah kami. Dengan begitu kedua
pusaka itu memjadi milikmu."
"Membunuh engkau gampangnya seperti membalik tangan. Apa perlu tergesa-
gesa?" sahut Bagas Wilatikta dengan tertawa licik.
"Hm... biarlah dia membunuh kita," sam-bung Citrasoma yang telah sadar dari
pingsannya. "Masakan tahu di mana kedua pusaka itu kini berada..."
"Cuh!" Bagas Wilatikta meludah. Kemudian menggerung, "Masakan aku tak tahu.
Siang-siang aku sudah berada di sini. Bukankah kedua pusaka itu kau sembunyikan
di dalam gerumbul itu?"
Muka Citrasoma berubah hebat. Meskipun dalam malam hari, Sangaji seolah-olah
meli-hat betapa pucat dia. Bagas Wilatikta sendiri merasa menang. Pada saat itu,
terus saja ia melesat menghampiri gerumbul dan mem-bawa dua benda dalam
pelukannya. Itulah pusaka sakti Bende Mataram dan keris Kyai Tunggulmanik.
Kini tidak hanya Citrasoma yang jadi gelisah. Randukintir, Panji Pangalasan dan
Baruna terkejut sampai memekik.
Sebenarnya Citrasoma sudah tak dapat berbicara lagi. Tapi seperti biasanya
seseorang yang sudah berputus asa menghadapi maut Umbulah keberaniannya.
Lantas berkata, "Bagas Wilatikta! Dalam hal mengadu akal dan siasat, benar-benar
kau hebat. Barulah aku sadar, bahwa aku kena jebakanmu."
"Terhadap orang demikian, tak perlu lagi bersikap memaafkan. Coba pikir! Dengan
kelicinannya ia berpura-pura menjadi tukang penjual kedai makanan setelah
membunuh pemiliknya. Kemudian menjebak gurumu."
Seperti tak pernah terjadi sesuatu, Bagas Wilatikta meneruskan berkata, "Kemudian
gurumu dijebak oleh sikap keningrat-ningratan Panji Pangalasan. Itulah dia! Dengan
kelicinannya ia bisa memikat gurumu, sehingga percaya kepada semua
keterangannya. Tapi, janganlah takut. Akulah yang menyumbat mulutnya kini."
Terus saja ia meninju dada Panji Pangalasan, lalu menginjak batang lehernya
sampai tewas. Setelah itu dengan cepat ia membunuh Baruna dan keempat
penunggang kuda.
Tetapi bisakah Sangaji menerima pemberian orang dengan begitu saja. Karena tak
pandai berbicara, ia hanya menentang pandang dengan berapi-api.
"Ih! Ini lagi! Ini lagi! Mulutmu tajam seperti adikku, Bagas Tilam. Baiklah... memang
aku bekerja untuk kepentinganku sendiri. Setelah mereka berhasil membawa kedua
pusaka itu, kukira akan tunduk kepada kehendakku. Di luar dugaan mereka mau
membawa ke-mauannya sendiri. Melawan seorang demi seorang, bukanlah
pekerjaan sulit. Tetapi apabila menghadapi berbareng, nanti dahulu. Maka
kubuatlah dongeng, seolah-olah engkau adalah pewaris kedua pusaka yang sah.
Kukabarkan pula, bahwa paman-pamanmu pasti turun gunung hendak membalas
den-dam. (Jntuk ini aku harus membuktikan. Kau sendiri melihat, siang tadi aku
berhasil mem-bawa kedua pamanmu lewat di hadapan hidung mereka. Kemudian
kuwartakan tentang keberadaanmu. Demikianlah... mereka menjebakmu. Lantas...
lantas... haha... akhirnya aku bisa memukul mereka dengan sekaligus," ia berhenti
menikmati kemenang-annya. Kemudian berkata lagi, "Hai bocah kau benar hebat!
Ilmu kepandaianmu di luar dugaanku..."
"Apa maksudmu ini! Kedua pusaka ini bukan milikmu. Kau boleh memiliki," ia men-
coba berkata sebisa-bisanya.
"Nanti dahulu, dengarkan!" sahut Bagas Wilatikta dengan tertawa melalui dada.
"Dalam dunia ini tinggal aku dan engkau saja yang pernah melihat, meraba dan
bersentuhan dengan bentuk dan wujudnya pusaka Bende Mataram."
"Paman Wayan Suage, guruku Wirapati dan Ki Hajar Karangpandan pernah melihat
dan menyentuhnya."
"Baiklah. Anggaplah mereka tak pernah ada. Kukira, mereka tak lagi ikut campur.
Bukankah begitu? Nah, aku ini laki-laki dan engkau laki-laki pula. Dan aku tak biasa
membagi rejeki. Akupun tak senang apabila di kemudian hari kemuliaan yang bakal
kuper-oleh sampai dibicarakan orang. Karena itu, marilah kita mencari
penyelesaian. Hei, dengarkan dulu! Aku tahu, engkau kini luka parah. Itulah
sebabnya, tak dapat aku memaksa engkau berkelahi dengan berdiri. Menurut
hematku begini saja. Aku akan mencekik lehermu. Cobalah pertahankan. Kalau
engkau bisa membalas mencekik leherku pula, biarlah kita mati berbareng...
Bagaimana?"
Menyaksikan tingkah laku Bagas Wilatikta, Sangaji sudah bisa menduga bahwa
orang itu bisa berbuat di luar dugaan. Meskipun demikian keputusan Bagas
Wilatikta hendak mencekik lehernya benar-benar mengejutkan, mendongkolkan
hati dan membuatnya bergusar. Ia mengakui, ilmu kepandaian Bagas Wilatikta
berada di atasnya, namun seumpama dia dalam keadaan segar bugar belum tentu
tak dapat menandingi. Baik ilmu sakti Kumayan Jati dan ilmu ciptaan Kyai Kasan
Kesambi bukanlah ilmu murahan. Pendekar sakti Adipati Surengpati dan Kebo
Bangah sendiri terkejut dibuatnya. Tapi kini, tenaganya seperti punah. Seumpama
ia memiliki ilmu setinggi langit tiada gunanya juga.
Demikian pulalah kali ini. Oleh suatu pengerahan tenaga getah sakti Dewadaru me-
loncat ke luar. Celakanya, Sangaji tiada memiliki tenaga ilmu sakti Kumayan Jati
dan Bayu Sejati lagi karena luka dalam. Dengan sendirinya getah sakti Dewadaru
mencari sasaran hisapan. Yang menjadi korban adalah tenaga asli jasmaniah. Itulah
sebabnya dalam sekejap saja, kedua lengan Sangaji menjadi lumpuh. Kini seluruh
tenaganya habis terkuras jangan lagi menghadapi Bagas Wilatikta. Melawan
seorang kanak-kanak yang baru pandai beringus, tak kuasa lagi ia berkutik.
"Bagaimana?" Bagas Wilatikta menegas. "Apakah kau rasa aku kurang adil? Lihat!"
Sebagai seorang yang berilmu tinggi, pasti-lah dia mengetahui bahwa Sangaji tiada
bertenaga lagi. Tapi ia berlagak pilon6) dan berlaku seperti seorang tuan tanah
hendak memperlihatkan keadilannya. Kemudian dengan sekali melompat ia lari
memutari mayat Randukintir, Malangyuda dan Panji Pengalasan. Tangannya
memangkas dan tahu-tahu ketiga gundul mayat itu sudah tergunduli polos.
Melihat pertunjukan itu dalam hati Sangaji kagum. Pikirnya, benarlah kata guru Jaga
Saradenta, bahwa di luar gunung masih ada gunung. Di luar langit masih ada langit.
Memangkas rambut dengan berlari-larian kencang, bukanlah suatu perbuatan
mudah. Apalagi di tengah malam hari. Namun tangan-nya seperti mempunyai mata
saja. Hebat! Sungguh-sungguh hebat! Ia menghela napas karena teringat ilmunya
sendiri yang belum diolah masak. Bahkan kini akan menghadapi kepunahan untuk
selama-lamanya.
Selagi ia berpikir demikian, sekonyong-konyong Bagas Wilatikta sudah berdiri di
hadapannya. Berkata minta pengakuan, "Bagus tidak?"
"Apakah kau kira palsu?" katanya lagi menekankan. Kemudian dengan sekali gerak,
rambut Sangaji kena terpangkas kedua sisinya. Gerakannya cepat luar biasa. Tahu-
tahu, rambutnya seperti terpotong rapih.
Sangaji tahu, apa yang dikatakan Bagas Wilatikta bukan suatu obrolan belaka. Tapi
ia memilih sikap diam sambil mengharap-harap terhimpunnya tenaga kembali.
"Baiklah. Aku sudah berkata," kata Bagas Wilatikta memutuskan. "Kalau aku sampai
bisa merampas kedua pusaka Bende Mataram kembali, hendaklah engkau
menyerahkan dengan ikhlas. Kau tak perlu jadi setan untuk mengejar-ejar aku. Kau
tahu sendiri, nilai kedua pusaka ini bukan main besarnya. Doakan semoga aku
dapat memiliki kedua pusaka itu untuk selama-lamanya"--
Benar-benar Sangaji bergusar dan terkejut, meskipun hal itu sudah dapat
diduganya. Oleh kodrat alam, secara wajar tata jasmaninya terus berusaha
mempertahankan diri. Kedua lengannya diangkat dan bermaksud membalas
dengan menyekik. Lagi-lagi ia merasa tenaganya tiada. Dalam kesibukannya ia
mencoba merenggutkan diri. Juga kali ini, usahanya sia-sia belaka. Maka akhirnya ia
sadar. Satu-satunya jalan hanyalah menunggu saat ajalnya.
Benar-benar aku harus mati, pikirnya dalam hati. Biarlah aku mati secara ksatria.
Keinginan mati secara ksatria itu, mendadak saja timbul begitu hebat dalam
dirinya. Namun tak tahulah dia, bagaimana cara mati sebagai ksatria. Hendak
melawan, tiada bertenaga. Sebaliknya apabila menyerah belaka alangkah hina...