Kala itu kebetulan sekali musim buah-buahan. Walaupun demikian, tidaklah mudah
ia memperolehnya. Karena desa-desa mendadak jadi sibuk. Dari mulut ke mulut ia
mendengar berita-berita pertempuran-pertempuran setempat antara laskar
Pangeran Bumi Gede dan laskar kerajaan. Laskar kerajaan dipimpin olehPangeran
Ontowiryo cucu Sri Sultan Ha-mengku Buwono II yang berkedudukan di Tegalreja.
Titisari pernah melihat pangeran itu, tapi tidaklah begitu menaruh perhatian. Dalam
hatinya, Sangaji adalah satu-satunya orang yang memenuhi seluruh hidupnya.
Persoalan-persoalan lain di luar kepentingannya, hanya merupakan bumbu-bumbu
sejenis masakan belaka.
Tetapi sewaktu naik ke ruang atas dan melihat Sangaji, hampir saja ia terhuyung
pingsan. Sangaji nampak pucat kuyu. Napasnya lemah dan matanya terkatup rapat.
Gugup Titisari menghampiri. Ia mencoba membangunkan. Mamun Sangaji tak
berkutik. Inilah suatu pukulan hebat bagi gadis itu. Hatinya tergoncang sampai ia
terlongong-longong. Ia tak sadar tatkala seseorang datang mendekati padanya.
"SALAHMU SENDIRI, APA SEBAB SATU HARI PENUH tak kau beri makan. Bukankah
aku sudah menyumbang dua ekor ayam?" ter-dengar suatu suara.
Titisari menoleh kaget. Dialah Fatimah yang datang dengan diam-diam dan ikut
bercemas pula. Setelah berdiri tegak sejenak, ia lari turun ke bawah dan kembali
dengan membawa air dingin.
Titisari tahu apa yang harus dilakukan. Dikeluarkan sapu tanganya dengan cepat.
Setelah dicelupkan, ia mulai menyusut muka dan dada Sangaji yang penuh darah
beku. Napas pemuda itu menghembuskan hawa panas. Dan jantungnya berdegup
lemah.
Benar-benar Titisari khawatir melihat keadaan Sangaji. Ia mencoba membisiki dan
membangunkan. Tapi untuk kesekian kalinya ia gagal. Fatimah yang berdiri di
belakangnya mengamat-amati sejenak. Mendadak ia lari turun kembali dan datang
membawa pengail. Heran Titisari, apa sebab gadis itu membawa-bawa pengail.
Belum lagi ia bisa menebak, Fatimah sudah menggebuk Sangaji tiga kali
berserabutan.
"Siapa? Siapa?" Sangaji menggumam seperti bingung. Melihat keadaan Sangaji, hati
Titisari iba bukan main. Saat itu Fatimah masih saja tertawa senang. Titisari
mendongkol dan lantas saja menyamplok dengan geram. Samplokan itu datangnya
tak terduga-duga. Fatimah jatuh terjungkal. Tetapi gadis bandel itu tak merasa
dirinya bersalah. Terus saja ia bangun dan membalas menendang paha Titisari.
Kemudian meloncat mundur karena takut kena balas. Tetapi Titisari tak membalas.
Ia menangis sedih becampur cemas. Dan mendengar tangis Titisari, Fatimah jadi
ke-heran-heranan. Berjingkat-jingkat ia kembali dan menjenguk dari belakang
punggung.
"Siapa yang menangis?" Titisari memban-tah. Dan ia memaksa diri tertawa ringan.
Mendengar ujar Sangaji, Titisari berlega hati. Meskipun masih bersangsi, tapi ia
seperti melihat sinar pelita dalam kegelapan. Lantas saja menoleh kepada Fatimah
dan berkata manis.
"Adik? Huuuh... masakan kau lebih tua dariku. Kau harus memanggil bibi!"
"Nah..., itulah baru benar." Fatimah puas. Kemudian menegas, "kau tadi menangis,
bukan, kau sangkal tidak?"
"Kau sendiri tidak menangis. Malahan kaulah yang berjasa menyadarkan Sangaji.
Hatimu sungguh baik."
Mendengar dirinya dipuji, Fatimah menjadi girang. Lantas saja ia turun ke bawah
dan datang kembali dengan membawa rebusan ayam. Ia memaksa Titisari agar
mandi dahulu. Setelah itu membersihkan ruang kamar dan menutup pintu dengan
rapat.
Pada malam harinya setelah makan, Titisari hendak mulai bekerja. Ia sadar—
apabila sekali bekerja—harus tetap saling menempel satu minggu lamanya. Tatkala
hendak mema-damkan perdiangan, mendadak Sangaji berkata. "Lukaku ini
sebenarnya tidaklah be-gitu hebat. Hanya saja engkau akan berjerih payah satu
minggu..."
"Biarpun menderita sengsara dua puluh tahun tapi demi untukmu, hatiku senang,"
jawab Titisari cepat.
Titisari adalah seorang gadis cerdas. Dengan cepat ia bisa membaca apa yang
sudah terjadi. Segera ia menasehati agar jangan memikirkan sesuatu. Setelah itu ia
berdiri hendak memadamkan perdiangan, sekonyong-konyong suatu pikiran
menyusul di benaknya. Pikirnya, benteng kuno ini berada di atas ketinggian. Tak
jauh dari sini terjadi suatu petempuran. Apakah tak mungkin, masing-masing pihak
akan menggunakan benteng ini sebagai pangkalan kegiatan. Kalau sampai terjadi
demikian..., dan kemudian ada gangguan... bukankah akan mencelakakan Sangaji?
Memperoleh pertimbangan demikian, teringatlah dia akan perlunya tokoh
pelindung. Fatimah seorang gadis yang bisa berkelahi, tapi apabila menghadapi
seorang pendekar tidaklah bisa berbuat apa-apa.
Cepat ia turun ke bawah hendak mencari Fatimah. Tapi gadis itu tak menampakkan
batang hidungnya. Karena itu ia menyalakan obor dan menyuluhi ruang dalam.
"Bagus tidak rumahku ini? Gua ini menembus sampai dalam. Barangkali dahulu
dipergunakan untuk lorong penyergapan atau pintu darurat untuk melarikan diri
apabila tak kuat menahan lawan."
Tapi perhatian Titisari tiada pada lorong tanah. Segera ia menarik lengan Fatimah
dan berkata manis.
"Sudahlah tak usah berbicara. Percayalah, aku takkan berbicara kepada siapapun
juga."
Tapi justru berkata demikian. Titisari jadi curiga. Untuk keselamatan Sangaji ia
bersedia berbuat apa saja. Pada saat itu warisan watak ayahnya memasuki hati
sanubarinya. Katanya dalam hati, meskipun ia bandel, tapi wataknya angin-
anginan. Kalau sampai berbicara... hm! Biarlah kubunuhnya saja. Dengan begitu
lenyaplah ancaman bahaya...
Ia berputar menghadap Sangaji. Maksudnya hendak minta izin. Sangaji yang rebah
di atas jerami terkejut melihat matanya yang menyinarkan kilat. Tak sengaja
pemuda itu me-ngerenyitkan alis. Titisari jadi perasa. Pikirnya lagi: Ih! Apakah dia
tahu maksudku ini?... Melihat sepak terjang Fatimah, ia seperti mempunyai
hubungan dengan gurunya. Tapi apa peduliku? ... Biarlah kubunuhnya dengan
diam-diam.
Memperoleh pikiran demikian, lantas saja ia memutar tubuh dan tertawa manis.
Pintu ditutupnya rapat, kemudian menggapai Fatimah yang belum sadar akan
bahaya.
Tapi bagaimana kalau Sangaji kelak minta keterangan tentang Fatimah? Suatu
pikiran mengganggu lagi. Ah, tidak. Sangaji seorang yang luhur budinya. Meskipun
tahu aku telah membunuhnya, takkan berisik. Tetapi apabila diam-diam membenci
aku... bagaimana? Ah, biarlah! Semuanya ini untuk keselamatannya. Aku bersedia
menanggung apa saja untuk dia, meskipun akan menderita dan sengsara sam-pai
di neraka... Titisari memang seorang gadis polos. Cintanya kepada Sangaji melebihi
cin-tanya kepada diri sendiri. Karena itu, tak berpikir panjang lagi ia mulai meraba
cun-driknya. Saat itu, Fatimah berjalan di sisinya. Mendadak saja, selang cundriknya
hampir terhunus dari sarungnya, ia mendengar suara langkah ribut di luar benteng.
Titisari terkejut. Cepat ia balik memanjat ruang atas, dan terus menutup pintu.
Perdiangan segera dipadamkan kemudian rebah di samping Sangaji dengan napas
agak menyesak. Setelah itu diam-diam ia mema-sang telinganya. Terdengar
kemudian, suara Fatimah membentak. "Kau cari siapa?"
"Kau mau mengambil lembumu, ambillah! Mengapa menuduh aku yang bukan-
bukan?" sahut Fatimah.
Lembu dan gerobak penarik itu, memang kepunyaan mereka. Siang itu mereka lagi
ber-istirahat setelah menyiangi sawah. Lembunya dibiarkan terpasang di tepi jalan.
Dasar watak Fatimah angin-anginan. Tanpa mengucapkan perkataan sepatahpun,
terus saja membawa lembu dan gerobak itu seperti miliknya sendiri. Keruan
pemiliknya lantas saja mencari ubek-ubekan. Mereka berjalan satu malam penuh
dan akhirnya tertidur kecapaian di tepi jalan. Keesokan harinya mereka
menemukan jejak dan bisa mengikuti sampai menghampiri benteng.
Fatimah sendiri sebenarnya tidaklah ber-maksud jahat. Kalau berniat jahat pastilah
lembu itu takkan diikat dengan begitu saja di pelataran benteng. Hanya saja sepak
ter-jangnya memang aneh. Maka setelah dituduh mencuri oleh pemiliknya,
wataknya yang aneh kumat seperti sumbu terbakar. Dengan menggendong tangan
ke belakang punggung, ia mondar-mandir seperti tuan tanah lagi sibuk memeriksa
hasil panen. Katanya meledak, "Eh... kau bilang apa? Lembu mempunyai kaki dan
bisa berjalan sendiri. Masakan aku menggendongnya sampai datang di sini?"
Rupanya ia lagi melabrak pemilik lembu. Sudah barang tentu pemilik lembu mati
kutu melawan dia. Sambil merintih dan memaki-maki ia membawa lari anaknya
laki-laki.
"Hai! Lembumu ini membuat kotor pelataran. Siapa sudi menimpali kotorannya..."
seru Fatimah.
Peristiwa itu membangkitkan rasa percaya Titisari kepada Fatimah. Meskipun belum
menusuk persoalannya dengan langsung, namun sepak terjang Fatimah yang
angin-anginan bisa diharapkan. Tadi dia berjanji tidak akan berbicara kepada
siapapun, pikir Titisari. Melihat sikapnya yang senang membawa kemauannya
sendiri, rasanya takkan gampang-gampang pula mengkhianati diri. Selain itu,
mengingat perhatiannya kepada Sangaji tatkala kena ancamannya pastilah dia
tidak akan membahayakan keadaan Sangaji.
Sekitar benteng tiada suara lagi. Segera ia mengulurkan tangan dan mulai berlatih
me-ngatur tata napas dan penyaluran tata darah dengan kekasihnya.
Latihan itu dilakukan dalam dua jam sekali. Mereka berdua kemudian
membicarakan hasilnya sambil mengisi perut. Dengan cara demikian, tak terasa
fajar hari hampir tiba. Dada Sangaji kini mulai terasa menjadi lapang tak lagi pepat
seperti semula. Itulah suatu tanda, bahwa hasilnya bagus dan tepat.
Dengan demikian rasa nyeri dalam pinggang dan kempungannya ikut berkurang
pula. Hal itu membuat hatinya girang. Ia makin bersungguh-sungguh.
Tatkala tiba pada masa istirahat untuk yang keempat kalinya, cahaya surya mulai
masuk dari celah-celah genting. Itulah suatu tanda, bahwa hari mulai menjelang
pagi. Dada Sangaji makin terasa menjadi lapang. Dan
Titisari nampak kian segar bugar. Kejadian ini di luar dugaan dan sama sekali
bertentangan dengan kata-kata Gagak Seta. Itulah sebabnya mereka terus saja
berbicara dengan riang dan penuh gairah.
Sangaji dan Titisari saling memandang. Dengan cepat mereka kenal suara Yuyu
Rumpung. Titisari lantas saja mengintip dari celah dinding. Sekarang ia tak ragu-
ragu lagi. Yang berada di bawah adalah rombongan Pangeran Bumi Gede yang
terdiri dari Manyarsewu, Cocak Hijau, Sawungrana, Abdulrasim, Yuyu Rumpung,
Sanjaya dan pendekar undangan lainnya. Betapa terkejutnya ia melihat pula
pendekar sakti Kebo Bangah berada di antara mereka. Hai, apa sebab dia-pun
berada di antara mereka, pikir Titisari menebak-nebak. Ia mencari Fatimah. Tapi
gadis yang berwatak angin-anginan itu tak nampak, entah pergi ke mana.
Yuyu Rumpung yang berwatak berangasan, lantas saja mengumbar adatnya. Ia
menghajar tiang-tiang benteng yang mulai keropos. Tenaganya masih lumayan,
meskipun dahulu pernah kena hajar Sangaji dengan Kumayan Jati.
"Ah!" Titisari terkejut. Si sembrono Fatimah mengapa membiarkan bulu ayam masih
terte-bar di halaman? Mengingat dirinya pun tiada menyingkirkan bulu ayam
tersebut, tak dapat pula ia terlalu menyalahkan gadis itu. Siapa mengira, benteng
tua ini bakal kedatangan tamu begini banyak?
"Seratus enam puluh tahun yang lalu, ben-teng ini dibangun kompeni Belanda
untuk melawan pemberontakan Trunajaya. Inilah benteng lambang kekalahan
Trunajaya. Kini kitapun terperangkap dalam benteng ini. Apakah artinya ini?"
Para pendekar yang mendengar ucapan Pangeran Bumi Gede heran bercampur
gelisah. Maklumlah, mereka hanya pandai berkelahi. Tentang pengetahuan sejarah
dan kebudayaan, rata-rata pengetahuan mereka nihil.
Beberapa waktu kemudian, masuklah beberapa prajurit membawa dua meja dan
enam belas kursi. Entah dari mana mereka peroleh. Tapi melihat sepak terjang
mereka, pastilah perabot itu hasil rampasan dari desa-desa yang berada di sekitar
benteng.
"Hari ini Paduka memperoleh persembahan penduduk," ujar Yuyu Rumpung. Sudah
barang tentu ia membohong. Pangeran Bumi Gede tahu tentang hal itu, tapi ia
bersikap diam. Katanya lagi, "mereka mempersem-bahkan pula beberapa ekor
ayam dan mi-numan keras. Inilah suatu bukti, betapa besar pengaruh nama
Paduka. Kami percaya, bahwa di kemudian hari Paduka akan berhasil menduduki
tahta kerajaan menggantikan Hamengku Buwono II yang tak becus memerintah
negeri."
Sangaji yang mendengar ucapan Yuyu Rumpung jadi terkejut. Meskipun hal itu
bukanlah soal baru, tapi tak pernah ia percaya bahwa Pangeran Bumi Gede benar-
benar berani menggerakkan tentara dan dengan terang-terangan melawan Sultan.
Begitu ia terkejut, napasnya lantas saja menjadi sesak. Titisari tersentak. Sebagai
seorang gadis yang cerdik dan berotak encer, tahulah dia apa sebab musababnya.
Terus saja ia mengeraskan genggamannya. Ia mencoba mendorong lebih keras.
Namun napas Sangaji masih saja sesak. Inilah bahaya. Maka buru-buru ia
menempelkan kepalanya menghampiri daun telinga. Kemudian berbisik, "Ingat
kesehatanmu! Mereka boleh memiliki rencana. Tapi masakan pemimpin-pemimpin
kasultanan terdiri dari manusia-manusia goblok semua."
Bisikan Titisari itu masuk nalar dan bisa diterima. Teringatlah dia—mereka tadi
mem-bicarakan Pangeran Ontowiryo. Dia sendiri belum berkenalan, tapi pernah
melihatnya. Mengingat lagak lagu mereka yang mengan-dung jeri dan hormat,
pastilah Pangeran Ontowiryo bukanlah seorang prajurit sem-barangan. Memperoleh
pikiran demikian, hatinya jadi tenang. Perlahan-lahan napasnya jadi longgar lagi.
Titisari mengintai pula dan bertepatan dengan tangan Pangeran Bumi Gede
menaruh-kan cawannya di atas meja. Lalu berkatalah pangeran itu, "Semuanya ini
adalah jasa sang maha perwira Aria Singgela. Coba, andaikata tiada beliau, pastilah
kita akan menghadapi suatu keadaan yang maha sulit. Dari Beliau pula kita
memperoleh kepastian, bahwa kedua pusaka Bende Mataram kini berada di tangan
bocah Sangaji."
Aria Singgela alias Kebo Bangah tertawa mendongak mendengar pujian Pangeran
Bumi Gede. Suara tertawanya parau, pecah dan keras seperti setumpuk piring seng
pecah berantakan. Hati Sangaji berdenyut mende-ngar suara tertawanya. Pikirnya,
apa sebab dia bisa mengetahui, bahwa kedua pusaka Bende Mataram ada padaku?
Pikirannya bekerja dengan keras. Mendadak saja teringatlah dia, sampai badannya
tergetar. Bisiknya berkomat-kamit, "Aha ya! Sebagai seorang pendekar sakti,
pastilah dia bisa melihat jejak tanah. Karena dia musuh utama Paman Gagak Seta,
masakan takkan segera mengetahui sudut tolak ilmu Kumayan Jati?"
Titisari jadi kebingungan. Darah Sangaji terasa berdesir tak karuan, sehingga jan-
tungnya sendiri ikut terguncang. Tak disadari sendiri, terietuplah doanya. "Ya Tuhan
sarwa alam! Usirlah si kebo bangkotan itu dari sini.
Kalau dia ngoceh lebih lama lagi, bisa-bisa Sangaji mati kaku dibuatnya ..."
"Tempat ini terasing dan bagus letaknya..." kata Kebo Bangah. "Sebagian laskar
kita masih tersebar di jauh sana. Pastilah laskar kasultanan takkan bisa sampai di
sini. Eh, Paduka, sebenarnya desa ini bernama apa?"
"Sebelah itu adalah Desa Randugunting. Dan di sebelah utara, Krajan dan
Karangmaja. Gundukan ini sendiri di sebut Pasetran."
"Pasetran? Alangkah bagus!" sahut Kebo Bangah lagi dengan tertawa riuh. "Paduka
pernah membicarakan perkara kedua pusaka peninggalan Bende Mataram. Di desa
sesunyi ini, kurasa bagus sekali untuk mendengar keterangan-keterangan tentang
rahasia pusa-ka warisan tersebut. Aku yang sudah tua, pasti akan merasa
bertambah pengetahuan dan pengalaman..."
Di dengar dari lagu suaranya, Kebo Bangah nampak mengalah terhadap Pengeran
Bumi Gede. Tapi dalam hatinya sebenarnya tidak. Tentang kedua pusaka itu, sudah
lama ia mendengar kabarnya. Hanya baginya masih gelap. Ia mendengar laporan
kemenakannya, bahwa Pangeran Bumi Gede sangat gandrung kepada pusaka itu.
Timbullah dugaannya bahwa pangeran itu pasti mengetahui lebih banyak daripada
dirinya sendiri. Selain itu mestinya sudah mempunyai pegangan kuat. Kalau tidak,
masakan begitu bernafsu dan berani mengeluarkan biaya-biaya tidak ringan. Dan
apabila dia nanti memperoleh keterangan lengkap, ia berniat hendak
mengangkangi sendiri. Tapi apabila hanya merupakan benda keramat yang tiada
arti untuk sesuatu ilmu sakti, ia akan sudi mengalah. Benda itu akan
dipersembahkan kepada Pangeran Bumi Gede. Dengan demikian, ia akan tercatat
sebagai orang yang pernah berjasa. Di kemudian hari pasti mempunyai perhitungan
sendiri.
Pada saat itu semua mata mengarah kepada Pangeran Bumi Gede. Titisari dan
Sangaji pun tak terkecuali. Pikir gadis itu, kalau boleh berbicara sebanyak-
banyaknya. Kedua pusaka itu kini sudah berada dalam tangan Sangaji. Kalau ada
artinya, bukankah merupakan suatu karunia besar bagi Kangmasku?
"Dua puluh dua tahun yang lalu, aku pernah dipanggil ayahku menghadap
padanya." Pangeran Bumi Gede mulai. "Beliau mengabarkan tentang benda pusaka
Bende Mataram yang pada zaman bahari memerintah tanah Jawa untuk yang
pertama kalinya. Barangsiapa dapat memiliki pusaka-pusaka Bende Mataram, akan
bisa memerintah negeri sebagai hak waris. Di atas benda-benda peninggalan itu,
tergurat beberapa baris perkataan sakti. Entah mengenai apa, hanya malaikat yang
tahu. Tapi cara bagaimana orang bisa menemukan guratan itu, masih pula
merupakan suatu teka-teki pula."
Sampai di sini Pangeran Bumi Gede tak berbicara lagi. Orang-rang tak dapat
mende-saknya, karena sesungguhnya mereka kurang mengerti guna faedah benda
peninggalan itu. Sebaliknya Kebo Bangah merasa tak puas. Meskipun berlagak
tenang dan tak pedulian, tetapi kentara benar betapa resah hatinya.
"Pangeran! Masakan Pangeran sama sekali buta tentang rahasia itu," ia mencoba
men-desak.
"Hm, selama hidupku, aku hanya pernah melihat. Meraba apalagi memiliki, belum
per-nah. Karena itu, tak dapat aku mempunyai kesempatan untuk menyelidiki,"
sahut Pa-ngeran Bumi Gede pendek.
Kebo Bangah menghela napas. Tahulah dia, bahwa Pangeran Bumi Gede tak dapat
didesaknya lagi. Memang ia boleh cerdik, licin dan licik. Tetapi Pangeran Bumi Gede
mem-punyai kecerdikan, kelicinan dan kelicikan jauh berlebih. Dengan ia mengarah
kepada Sanjaya dan berkata memerintah. "Anakku,
Sanjaya! Ayahmu kurang jelas tutur katanya. Apakah engkau bisa melengkapi?"
Sanjaya tertawa lebar. "Pengetahuanku tak melebihi sang Dewaresi. Silakan Paman
minta keterangan padanya."
Kalau saja tidak berada di depan Pangeran Bumi Gede, Kebo Bangah sudah
menghajar Sanjaya kalang kabut, karena berani men-jawab demikian. Dalam
kegusarannya ia tertawa panjang dan keras sampai genting-genting kena
tergoyang. Betapa hebat tenaga saktinya sudah bisa dibayangkan. Mau tak mau,
para pendekar yang biasanya membawa adatnya diam-diam meringkaskan hati.
Mereka tak berani berlagak secara berlebih-lebihan lagi.
Pada saat itu masuklah seorang pemuda tegap usia pertengahan yang mengenakan
pakaian putih. Dialah sang Dewaresi keme-nakan Kebo Bangah. Begitu masuk,
lantas saja membisiki Kebo Bangah. Wajahnya nam-pak bersungguh-sungguh
sampai orang-orang lainnya ikut menaruh perhatian.
"Bagus!" seru Kebo Bangah. Kemudian menghadap Pangeran Bumi Gede. Berkata
meneruskan, "karena rejeki Paduka, jejak bocah Sangaji sudah bisa diketemukan.
Nah, biarlah aku sendiri menangkap bocah itu."
Tatkala Sanjaya bergerak hendak ikut serta, Pangeran Bumi Gede memanggilnya.
Kemudian dengan suara lembut, ia berkata, "Anakku Sanjaya! Biarkan mereka
pergi. Kau tak usah ikut campur dengan mereka. Mari kita berunding!"
Semenjak tadi Sangaji dan Titisari me-numpahkan seluruh perhatiannya kepada
gerak-gerik mereka. Hati mereka tergetar, sewaktu mendengar kabar bahwa sang
Dewaresi sudah menemukan jejaknya. Pikir mereka, apakah Fatimah kena tangkap?
Selagi mereka sibuk menimbang-nimbang, mendadak dilihatnya Pangeran Bumi
Gede memanggil Sanjaya. Mendengar kata-kata berunding, hati mereka tertarik.
Hati-hati mereka menajamkan telinga dan berusaha menangkap tiap patah kata
yang terbersit dari mulut Pangeran Bumi Gede dan Sanjaya.
Dalam pada itu Sanjaya sudah duduk menghadap ayah angkatnya, la nampak
bersungguh-sungguh dan sinar matanya menyorotkan pandang cinta kasih tak
terhingga.
Pangeran Bumi Gede nampak menghela napas. Berkata setengah berbisik, "Marilah
kuterangkan padamu, apa sebab aku begitu bersungguh-sungguh berusaha
memiliki benda pusaka Bende Mataram. Selain kete-rangan-keterangan yang
pernah kukatakan kepadamu, sesungguhnya masih ada yang kusembunyikan.
Sekarang adalah saat hidup dan mati. Kita sudah bergerak dengan terang-terangan.
Di kemudian apabila aku gagal, aku berharap engkaulah yang akan melanjutkan
perjuangan ini. Dengarkan!" Pangeran Bumi Gede berhenti mencari kesan.
Kemudian meneruskan, "banyak sekali kita mempunyai pejuang-pejuang serba
berani dan serba sakti. Tapi hanya satu dua orang saja yang berhasil. Satu,
Pangeran Mangkubumi. Dua, Trunajaya. Tiga, Untung Surapati. Apa sebab, anakku?
Selain memperoleh dukungan rakyat, mereka memiliki siasat di luar dugaan orang.
Trunajaya misalnya, ia bisa sampai menduduki istana Mataram. Konon dikabarkan,
ia menanam harta bendanya di tempat-tempat tertentu yang sangat dirahasiakan.
Sampai kini, orang belum berhasil menemukan jejak pendaman hartanya. Karena
mereka yang ditugaskan memendam harta itu, lantas dibunuhnya. Sesungguhnya
ingin aku meniru sepak terjang Trunajaya, pahlawan terbesar dalam zaman ini. Tapi
belum lagi hal itu terlaksana, Gusti Patih sudah menentang Sultan dengan terang-
terangan sehingga mau tak mau kita harus menggerakkan tentara. Pada saat ini,
kompeni Belanda sudah berada di Semarang. Sewaktu-waktu mereka akan
membantu menerjang dari utara."
Sebagai seorang anak yang dibesarkan dalam istana, Sanjaya memperoleh pen-
didikan baik mengenai ilmu sastra. Gurunya selalu mengesankan, bahwa orang-
orang Jawa gemar sekali menciptakan kata-kata dan ucapan-ucapan sandi untuk
mewartakan peristiwa sesungguhnya. Karena itu, dugaan Pangeran Bumi Gede—
mungkin pula benar. Perkataan gunung itu mungkin istilah harta benda yang tak
ternilai banyaknya.
"Tetapi andaikata kedua benda itu tak dapat kita peroleh dengan segera, apakah
yang akan Ayah lakukan?" la mencoba minta penegasan.
Mendengar ucapan Pangeran Bumi Gede, hati Sangaji tergetar. Seketika itu juga,
darah-nya berdesir. Seluruh tubuhnya hampir menggigil. Karuan Titisari jadi gugup.
Dengan sekuat tenaga ia mencoba menguasai. Tetapi betapa ia bisa melawan
tenaga sakti Sangaji. Karena itu, ia mencoba: "Aji, mereka memang bangsat! Tapi
ingatlah dahulu kesehatanmu. Kita nanti turun bersama. Sabarlah barang sebentar!
Bukankah mereka sedang mem-bicarakan perkara rahasia kedua pusaka sakti?"
Teringat kedua pusaka warisan itu sudah berada dalam genggamannya, hatinya
agak tenang. Sedikit demi sedikit ia mencoba me-nguasai diri.
Dalam pada itu keadaan dalam ruang bawah jadi sunyi. Titisari mengintip ke bawah
dan melihat dua orang itu berenung-renung membawa lamunannya masing-masing.
Ternyata yang datang ialah Fatimah. Satu malam penuh ia berada di luar benteng
entah pergi ke mana. Tatkala pulang ia melihat ben-teng penuh manusia. Apabila
para pendekar keluar berserabutan, tanpa ragu-ragu lagi ia memasuki benteng.
Sikapnya acuh tak acuh dan tak pedulian. Seolah-olah tak memper-hatikan Sanjaya
dan Pangeran Bumi Gede, ia terus berjalan memasuki guanya. Kemudian tidur
merebahkan diri di atas tempat tidurnya. Selang beberapa saat, ia tertidur
mendengkur. Terang sekali, ia lelah. Rupanya satu malam penuh ia tak tidur.
Melihat bahwa gadis itu tidak berbahaya, hati Sanjaya lega. ia menghampiri
Pangeran Bumi Gede lagi-sambil membawa goloknya yang masih saja terhunus.
Bunuh! Bunuhlah! seru Sangaji dalam hati. Jantungnya berdegupan penuh harapan.
Inilah bahayanya bagi kesehatannya yang sudah agak mereda.
"Ya—ya, aku tahu. Kau ingin membunuh musuh ayahmu. Hal itu gampang sekali.
Aku berjanji akan membawa ayahku ikut serta. Apa artinya pengeran jahanam itu
bagi ayah?..."
Sebenarnya benar ujar Titisari. Kalau saja Adipati Surengpati mau dibawa serta
untuk membalas dendam, maka Pangeran Bumi Gede bukan berarti apa-apa
baginya. Tapi saat itu, hati Sangaji tegang luar biasa. Betapa dia bisa menimbang-
nimbang benar tidaknya suatu ucapan. Matanya masih saja melotot. Urat-uratnya
mendosol dan tubuhnya menggigil.
"Aji!" Titisari jadi berputus asa."Ambilkan golokku! Aku bisa membunuhnya dari
sini,..." sahutnya.
Titisari percaya, Sangaji bisa menyambitkan goloknya dari ruang atas. Tapi hal itu
berarti tempatnya telah ketahuan. Kalau sampai ketahuan, malaikat sendiri belum
tentu bisa menolong membebaskan ancaman bahaya. Karena itu ia berkutat mati-
matian untuk menyabarkan kekasihnya. Katanya membu-juk, "Aji! Ibumu dan aku
menghendaki kau hidup sejahtera."
Kata-kata itu alangkah besar pengaruhnya dalam diri Sangaji. Ia terkejut dan
tersadar. Mati-matian ia menenangkan pergolakan darahnya. Tapi masih saja ia
berbisik, "Hm... jika Sanjaya membunuhnya, aku akan mengabdikan seluruh
hidupku kepadanya..."
Pada saat itu, Sanjaya menghela napas. Ia merenungi Pangeran Bumi Gede.
Tangannya sudah bergerak. Melihat gerakan itu, Sangaji girang. Mendadak saja ia
melihat wajah Sanjaya berubah menjadi lesu. Tangan itu hanya bergerak untuk
menyimpan goloknya.
"Ah! Benar-benar anak tersesat!" keluh Sangaji. "Mengapa tak teringat, bahwa
ayah-nya menjadi korban kelicikan pangeran itu?"
Dilihatnya Sanjaya menanggalkan baju luarnya, kemudian diselimutkan kepada
Pangeran Bumi Gede. Melihat pemandangan itu, Sangaji lantas melengos. Tak sudi
ia menyaksikan betapa mesra sikap Sanjaya kepada pangeran itu.
Titisari tersenyum. Wajahnya yang agak pucat bersemu merah dadu. Dalam
pertukaran tenaga, dialah yang menjadi korban. Maklumlah, keadaan hati Sangaji
terguncang tak keruan. Untung dalam keguncangan itu, tangannya tetap
menempel.
Darahnya lantas saja tersirap. Itulah sebabnya gugup ia menenangkan diri lagi.
"Eh—Aji! Kau kenapa?" tegur Titisari. Gadis itu melihat perubahan mukanya.
"Akulah yang salah. Mendadak saja aku memikir yang bukan-bukan," jawab Sangaji.
la adalah seorang pemuda yang jujur. Dalam setiap katanya belum pernah ia
berdusta.
"Aku memikir... memikir... Eh, tapi sekarang aku tak memikir lagi."
Pemuda itu menundukkan kepalanya. Tetapi Titisari tak puas dengan jawabannya.
Mendesak lagi, "kau memikir apa?"
Sekarang Titisari yang jadi kikuk. Maklum-lah, sama sekali tak diduganya bahwa
Sangaji memikir tentang keadaan dirinya. Mukanya terus saja berubah menjadi
merah. Tapi justru demikian, kecantikannya makin bertambah. Hati Sangaji kian
terguncang-guncang.
"Titisari! Kau menyesali aku?" Sangaji gugup. "Maafkan aku. Hmm, mengapa aku
jadi lebih buruk dari pada sang Dewaresi?"
Mendengar jawaban itu, hati Sangaji lega luar biasa. Mukanya lantas saja menjadi
terang bersinar. Mendadak Titisari berkata lagi, "Aji! Tatkala engkau dihinggapi
pikiran hendak memeluk dan menciumi aku, apakah hatimu tergetar?"
"Kau benar-benar percaya di dunia ini ada setan?" Itulah suara Manyarsewu. Dan
Cocak Hijau menyahut, "kalau bukan setan, masakan mata kita tak dapat melihat
bentuknya?"
"Haram jadah! Di siang hari masakan ada setan? Pastilah dia seorang berilmu yang
se-ngaja mengganggu kita."
"Apa kau bilang?" bentak Cocak Hijau. "Boleh dia memiliki ilmu setinggi langit,
masakan kita bisa diganggunya seperti ini?"
Titisari dan Sangaji mengintip dari lubang dinding. Mereka melihat kedua pendekar
itu saling berhadapan dan memeriksa keadaan tubuhnya. Muka mereka penuh
darah. Ter-nyata masing-masing kehilangan sebuah teli-nga. Mulutnya bengkak.
Tatkala meludah, ternyata menyemburkan gumpalan darah. Beberapa biji giginya
ikut rontok. Seperti dike-tahui orang-orang tua sangat merawat giginya. Karena
mereka sadar apabila sekali rontok takkan bisa diperolehnya kembali. Kini ternyata
mereka kehilangan beberapa buah gigi. Betapa mendongkol hatinya sudah bisa
dibayangkan. Siapakah yang menghajar mereka begitu bengis?
"Hai! Apakah kau masih mengoceh saja perkara setan?" bentak Manyarsewu.
"Kalau sampai terdengar rekan-rekan kita, apakah tidak memalukan?"
Terhadap Manyarsewu, Cocak Hijau agak segan. Bukan karena merasa kalah, tapi
usianya lebih tua sedikit daripadanya.
"Tapi aku benar-benar heran. Masakan di kolong langit ini ada seorang begitu hebat
ilmunya?" masih saja berkata.
Tak lama kemudian, rombongan para pendekar tiba pula. Merekapun dalam
keadaan kalang kabut. Paling tidak, pakaian mereka rantas tak keruan. Lalu
Manyarsewu me-nerangkan, bahwa dia hanya bertempur tiga jurus. Kupingnya
terpotong dan pakaiannya terobek.
Diam-diam Titisari jadi heran. Siapa yang sudah menghajar mereka begini hebat? Ia
melemparkan pandang kepada Sangaji minta pertimbangan. Tetapi pemuda itupun
nampak tercengang-cengang.
"Jika demikian, pastilah mereka bertemu dengan seorang yang berilmu tinggi. Pada
zaman ini siapakah yang melebihi ayahku, Paman Gagak Seta, Paman Kebo Bangah
dan eyang gurumu?"
Selagi mereka sibuk menebak-nebak, di bawah sana terdengar dua orang berlarian
dengan memaki-maki pula. Ternyata mereka adalah pendekar Wongso Udel dan Sa-
wungrana. Mereka terikat erat dari kaki sampai lehernya. Melihat pemandangan itu,
baik Titisari maupun Sangaji bertambah heran.
"Mengapa Aria Singgela belum kembali?" terdengar suara Pangeran Bumi Gede
setelah diam sekian lamanya. "Apakah diapun berte-mu dengan hantu...?" -
"Bertemu dengan hantu?" sahut Sanjaya "Andaikata benar, tak mungkin ia kena
dikalahkan..."
Hebat kata-kata Sanjaya ini. Para pendekar merasa seperti ditempeleng. Bukankah
ucap-an itu berarti bahwa mereka tak becus meng-atasi kesulitan? Karena itu
mereka berdiam diri tak berani berlagak.
"Kutaksir mereka kena hajar Paman Gagak Seta," tiba-tiba Titisari berbisik dengan
rasa puas.
"Kalau benar-benar hantu, takkan mungkin memilih lawan. Apa sebab hantu itu
tiada mencegat Paman Kebo Bangah? Hm, ayahku memang mampu berbuat
demikian. Tapi dia tak pernah bergurau. Berbeda dengan Paman Gagak Seta."
Setelah dapat menebak siapa yang menjadi hantu. Titisari dan Sangaji segera
melan-jutkan pengobatannya. Mereka saling men-dorong dan menerima. Sebentar
saja mereka tenggelam dalam kesibukannya masing-masing.
"Hai!" tiba-tiba Cocak Hijau mendongak ke atas. "Kalau malam ini sri paduka belum
meninggalkan benteng, bukankah lebih baik kita tidur di kamar atas itu?"
Kalau saja aku bisa melepaskan tangan kiriku, aku bisa mengambil senjata biji
sawo, pikirnya sibuk dalam hati. Mau ia bisiki telinga Sangaji agar beristirahat.
Tetapi pada saat itu Sangaji baru sampai pada taraf menentukan. Urat nadinya
yang tergeser dari tempatnya, mulai didorongnya sedikit demi sedikit ke tempatnya
semula.
Selagi ia bingung dan cemas, langkah Cocak Hijau sudah hampir mendekati
ambang pintu. Mendadak saja, ia mendengar langkah itu berhenti dengan tiba-tiba.
Karena curiga ia mengintip dari celah dinding. Betapa heran-nya, ia melihat Cocak
Hijau berdiri terpaku mengawaskan genting. Mulutnya kemudian berkomat-kamit.
"Hantu?"
"Gampang perkara kamar itu," kata Cocak Hijau terengah-engah. "Mari kita mencari
penginapan lain saja."
"Setan!" sahut Cocak Hijau sambil lari ngiprit. Mau tak mau karena melihat wajah
dan suara Cocak Hijau bernada sungguh-sungguh, Manyarsewu lantas ikut lari
dengan kepala menebak-nebak.
Pangeran Bumi Gede sendiri tak lama kemudian meninggalkan benteng dengan
dikawal Sanjaya. Pangeran itu sibuk dengan rencananya sendiri. Melihat sepak
terjang para pendekar yang tak karuan macamnya, ia jadi sebal. Teringat bahwa
Kebo Bangah dan sang Dewaresi belum muncul, ia jadi gelisah. Diam-diam ia
menaruh curiga kepadanya. Dengan demikian, benteng jadi sunyi senyap.
Titisari waktu itu masih tercengang-ce-ngang. Tak habis-habis ia berpikir, apa sebab
pendekar Cocak Hijau yang biasanya beradat berangasan dan bengis, mendadak
bisa lari pontang-panting perkara hantu. Apakah Gagak Seta berada di atas genting,
ia menco-ba menebak. Karena tangannya harus senan-tiasa menempel tak dapat ia
bergerak dengan leluasa. Terpaksa ia menunggu. Tak usah lama, teka-teki itu
segera terjawab. Genting di sebelah ruang atas tiba-tiba memperdengar-kan
suaranya. Kemudian sesosok bayangan meloncat turun dengan ringan. Dialah
Fatimah si gadis angin-anginan. Tatkala lewat di depan pintu kamar, ia berkata
tanpa menoleh.
"Hai! Bagaimana pendapat kalian? Apakah perananku kurang bagus?"
Tanpa menunggu jawaban, ia terus turun ke bawah dan keluar benteng dengan
menggendong tangannya di belakang punggung. Tahulah Titisari, bahwa yang jadi
hantu tadi sebenarnya Fatimah. Untung baginya. Cocak Hijau pernah merasakan
aniaya hantu yang menghadangnya di tengah jalan. Dengan sendirinya ia masih
jeri. Coba, apabila tahu bahwa yang jadi hantu kali ini adalah Fatimah, dengan
sekali hantam masakan tak sanggup merubuhkan.
Titisari tertawa lebar. Kini, ia tiada ragu-ragu lagi terhadap gadis itu. Malahan diam-
diam ia merasa berhutang budi. Teringat bahwa kemungkinan-kemungkinan yang
lain akan terjadi, pikirnya mulai bekerja keras, la tak mau percaya bahwa Cocak
Hijau benar-benar takut kepada setan. Kalau keberaniannya mulai tumbuh kembali,
pastilah dia akan datang memeriksa lagi.
Gadis itu seperti sudah untuk beberapa kali memasuki benteng. Ternyata tatkala
melihat deretan kursi dan meja, ia mundur setengah langkah. Ia mengembarakan
mata, kemudian melepaskan seruannya, "Fatimah! Aku datang!"
Titisari menjadi heran. Apabila diamat-amati, gadis itu tak asing lagi baginya. Dialah
Gusti, Ayu Retnaningsih yang dikabarkan sebagai calon isteri Pangeran Ontowiryo.
Dahulu ia pernah berkenalan di Desa Gebang.
Sangaji masih saja tenggelam dalam semadinya. Karena itu tak sempat menjawab
bisikan Titisari. Melihat Sangaji tak menaruh perhatian, Titisari melemparkan
pandangan-nya kembali kepada Gusti Ayu Retnaningsih dengan kepala penuh teka-
teki.
Tatkala itu, masuklah Fatimah dari pintu belakang. Begitu melihat Gusti Ayu Retna-
ningsih, lantas saja berlarian kemudian memeluk erat.
Gusti Ayu Retnaningsih tak kurang-kurang pula girangnya. Hanya saja dalam
kegirangan-nya pandangannya sayu melihat keadaan Fatimah.
Rasa heran Titisari kian meningkat. Pikirnya, siapa sih sebenarnya Fatimah ini?
Nampaknya dia begitu akrab dengan anak ningrat itu.
Kebetulan sekali, sewaktu itu Sangaji sudah mulai menarik tenaga hisapannya.
Setelah mengatur tata napasnya, perlahan-lahan matanya terbuka. Terus saja ia
mengarahkan pandangannya ke bawah sana dan melihat pertemuan mesra antara
Fatimah dan Gusti Ayu Retnaningsih.
"Kau masih belum juga bersedia keluar dari sini?" kata Gusti Ayu Retnaningsih
menegas.
Gusti Ayu Retnaningsih menghela napas, la duduk di atas kursi sambil terus
merenungi Fatimah.
Fatimah menggelengkan kepala. Dan dengan sinar tajam Gusti Ayu Retnaningsih
berusaha meyakinkan. "Masakan kau tak mempercayai wartaku ini. Kapan aku
pernah berbohong padamu?"
"Kau bohong atau tidak, apa peduliku? Manusia manakah di dunia ini yang tak
pernah membohong?" sahut Fatimah cepat. Rupanya wataknya yang angin-anginan
akan kumat. Sebaliknya Titisari dan Sangaji jadi tercengang-cengang. Mereka tahu
Gusti Ayu Retnaningsih adalah puteri bangsawan. Tapi Fatimah begitu enak saja
membawa adatnya. Padahal kesan dirinya tak melebihi seorang dayang belaka,
meskipun memiliki beberapa kelebihan sedikit. Apakah dia keturunan bangsawan
juga?
Sementara itu, Gusti Ayu Retnaningsih nampak menghela napas lagi. Lalu berkata
tertekan-tekan, "Aku sendiri pernah bertemu dengan muridnya."
"Hm, bukankah kepergiannya ke daerah barat adalah untuk menyusui calon murid-
nya?" jawab Gusti-Ayu Retnaningsih. Dan mendengar jawaban itu, hati Sangaji
memukul dengan keras. Meskipun masih samar-samar, kata-kata itu terasa seperti
lagi membicarakan dirinya.
Bukan main terguncang hati Sangaji mendengar pernyataan itu, meskipun hatinya
tadi samar-samar sudah dapat menebak. Terang sekali mereka lagi membicarakan
gurunya Wirapati. Apakah hubungannya antara gurunya dan Fatimah? Teringat
akan keadaan gurunya pada dewasa itu, hatinya lantas saja mengeluh. Tentu saja
Titisari kembali terkejut untuk kesekian kalinya.
Meskipun pandai, pada saat itu dugaan Titisari hanya benar separuh. Ia mengira
Sangaji terharu karena Fatimah ternyata masih mempunyai hubungan dengan dia.
Sama sekali tak diduganya, bahwa kekasihnya pada saat itu lagi terkenang kepada
gurunya yang sedang menderita hebat di atas pem-baringan.
Gusti Ayu Retnaningsih memanggut. Tak disadari sendiri Fatimah lantas saja
mendo-ngak ke atas. Mulutnya berkomat-kamit:
"Apakah kau pernah berjumpa?" Gusti Ayu Retnaningsih kini berganti heran.
Fatimah ragu-ragu. Pandangannya belum beralih dari ruang atas. Dalam pada itu
Sangaji dan Titisari yang berada di ruang atas merasa seperti terpandang. Sekarang
mereka baru mengetahui dengan jelas, apa sebab Fatimah bisa menggunakan jurus
Wirapati.
Ternyata gadis itu adalah adik Wirapati. Soalnya kini, kapan Wirapati mengajari
jurus itu kepadaya?
Seperti air terluap dari bendungan. Gusti Ayu Retnaningsih meloncat dari kursinya.
Berseru girang.
Mendengar luapan suara Gusti Ayu Retnaningsih, Titisari mencubit paha Sangaji.
Waktu itu masa istirahat. Dengan demikian tangan kiri Titisari bisa bergerak dengan
merdeka.
Mendengar jawaban Sangaji, bukan main lega hatinya Titisari. Sinar matanya terus
saja berkilat-kilat dan kepalanya diletakkan di atas pundak kekasihnya.
"Sebenarnya... aku ini adalah adik sepergu-ruanmu. Karena gurumu adalah guruku.
Aku mempunyai seorang kakak yang mesti bisa mengajar aku. Tapi ia belum
sempat bertemu denganku. Menurut Ibu... kakak adalah seorang pemuda yang
manis. Semenjak Ayah meninggal dunia, ia diambil anak angkat oleh Eyang Guru.
Aku ditinggal hidup seorang diri dengan Ibu sampai... sampai Ibu meninggal dunia.
Ibu pesan, aku tak boleh meninggalkan makam beliau sebelum Kangmas Wirapati
membawa aku pergi..."
"Kau adalah adik seperguruanku?" potong Gusti Ayu Retnaningsih. "Hm... benar...
karena engkau datang sesudah aku. Tapi dalam hal ilmu kepandaian... kau berada
jauh di atasku."
"Siapa bilang? Guru kita jarang sekali singgah ke mari. Aku seolah-olah
dianggapnya tak pernah ada dalam dunia ini."
"Aku mempunyai obat pemunah racun yang mengeram dalam tubuh guru dan obat
penyembuhnya," jawab Sangaji pelahan. "Kau mau mengambilkan?" '
"Titisari, berjanjilah!" kata Sangaji dengan sungguh-sungguh. "Tak peduli apa saja
yang bakal terjadi, sudikah engkau menyampaikan obat pemunah ini kepada
Guru?"
"Siapa tahu... siapa tahu... barangkali aku... belum tentu selamat dari sini,
mengingat banyaknya bahaya yang mengancam..." Sangaji tersekat-sekat.
"Hm... kalau kau mati, masakan aku akan hidup terus?" potong Titisari dengan
suara bergemetaran. Dan Sangaji jadi terharu bukan main. Kepalanya menunduk ke
ruang bawah.
"Soalnya bagaimana?"
Gusti Ayu Retnaningsih lari pula ke ambang pintu dan menjenguk ke luar. Ia melihat
serombongan pasukan berkuda mengiringkan seorang pemuda berbaju putih
dengan takzim. Wajahnya lantas saja berubah. Ternyata dia adalah tunangannya.
Pangeran Ontowirjo.
"Sst! Fatimah!" bisik Gusti Ayu Retnaningsih gugup, "apakah engkau bisa
menyediakan sekedar makanan dan minuman?"
Fatimah tercengang.
"Bagus?" serunya girang. "Aku bakal mem-punyai ipar. Hanya saja tak dapat aku
menye-diakan makanan dan minuman yang layak. Eh... siapa namanya?"
"Kau benar-benar kejatuhan wahyu!" seru Fatimah lagi. Kemudian lari ke ruang
belakang dengan sekencang-kencangnya sambil berka-ta, "Biarlah kucarikan dulu
air kali dan batu-batu."
Dalam pada itu, Gusti Ayu Retnaningsih mulai sibuk memperbaiki letak pakaiannya.
Kemudian berjalan ke ambang pintu hendak menyongsong kedatangan kekasihnya.
Tapi ternyata Pangeran Ontowirjo tak jadi mema-suki halaman benteng.
"Tidak."
"Tidak?" pemuda itu tercengang. "Kalau tidak, apakah benteng ini milik keluarga
Nona?" "Tidak."
Memperoleh jawaban tidak dua kali, pemu-da itu benar-benar heran. Dilayangkan
matanya dan ia melihat beberapa deret kursi yang teratur berjajar menghadap
meja pan-jang. Mendadak saja suatu ingatan menusuk benaknya, lalu minta
keterangan.
Belum lagi Gusti Ayu Retnaningsih men-jawab pertanyaan itu, Fatimah keluar
dengan membawa niru besar penuh minuman. Begitu melihat pemuda ramping itu
ia tersenyum manis. Mengira, bahwa pemuda itu Pangeran Ontowiryo dengan
hormat ia mempersilakan.
"Apakah Pangeran tak sudi memasuki pon-dokanku? Jelek-jelek aku bakal iparmu."
Sudah barang tentu, pemuda itu terkejut bercampur heran, la sudah terkejut
sewaktu dipanggil pangeran, mendadak mendengar pula istilah ipar. Yang
kelabakan adalah Gusti Ayu Retnaningsih. Mau ia memberi keterang-an, tapi
Fatimah sudah mengambil tindakan. Begitu habis meletakkan nirunya, terus saja ia
melompat dan menarik tangan pemuda itu memasuki ruangan dalam.
Pemuda ramping itu didorongnya duduk dan jatuh terhenyak di atas kursi dengan
pandang terlongong-longong.
"Kau boleh mengaku apa saja. Masakan aku bisa kau kecoh?" bantah Fatimah dan
terus menyodorkan minuman dan sepiring ketela Jawa. "Kaumakanlah! Sekali-sekali
kau bela-jar menggerogoti batu!"
Yang merasa runyam adalah Gusti Ayu Retnaningsih. Wajahnya merah padam
karena malu dan bingung. Pemuda yang berada di depannya tak kurang-kurang
pula heran bercampur malu. Tapi dasar laki-laki, ia lebih berani menghadapi
sesuatu persoalan. Setelah dua tiga kali diperlakukan Fatimah demikian rupa
mendadak saja terbersitlah suatu perasaan naluriahnya. Diam-diam ia mulai
mengamat-amati Gusti Ayu Retnaningsih. Pikirnya, dari mana gadis secantik ini?
Pastilah dia bukan gadis desa...
Dalam pada itu, Titisari dan Sangaji yang mengintip di ruang atas ikut tertarik pula.
Mula-mula mereka menduga yang datang ialah Pangeran Ontowiryo. Sama sekali
mereka tidak mengetahui, bahwa Pangeran Ontowiryo mendadak saja berubah
haluan. Maklumlah, mereka hanya mengandalkan kepada pembicaraan Gusti Ayu
Retnaningsih dan Fatimah. Tapi begitu pemuda itu muncul di ambang pintu, mereka
jadi heran. Terang sekali, dia bukan Pangeran Ontowiryo. Mes-kipun mereka hanya
sekilas pandang melihat Pangeran Ontowiryo, tapi bagi mata mereka sudah cukup
mengesankan.
"Lihat!" bisik Titisari. "Saudaramu sepergu-ruan bisa mati kaku dipermainkan begitu
oleh Fatimah."
Sangaji adalah seorang pemuda perasa.
Mendengar dan menyaksikan sikap Fatimah terhadap pemuda itu, ia jadi geli
bercampur iba. Tiba-tiba suatu ingatan menusuk be-naknya. Tak terasa
terlompatlah kata-katanya. "Ah! Diapun berada di sini?"
"Itulah Surapati murid Ki Hajar Karang-pandan," sahut Sangaji cepat. "Dialah dahulu
yang dikirimkan Pangeran Bumi Gede ke Jakarta menjajal-jajal kemampuanku.
Dahulu aku pernah dikalahkan sampai guruku Wira-pati menjadi gusar..."
"Pangeran Bumi Gede adalah musuh Pangeran Ontowiryo. Celakalah kalau dia tahu,
bahwa Gusti Ayu Retnaningsih adalah tunangan Pangeran Ontowiryo. Dia bisa dijual
mentah-mentahan."
Sehabis berkata demikian, darahnya lantas saja tersirap sampai tubuhnya nyaris
ber-goyangan. Tentu saja Titisari terkejut bukan kepalang. Cepat ia mendekap
pinggang kekasihnya sambil berbisik, "Aji! Biar apa saja yang terjadi, kau kularang
memikirkan dia, entahlah kalau aku tak berada di sam-pingmu."
Hebat pengaruh bisikan Titisari itu. Sebagai seorang pemuda yang halus
perasaannya, tahulah dia ke mana maksud gadis itu. Pikirnya dalam hati, benar
katanya. Kalau aku terlalu memikirkan gadis lain, bukankah berarti aku menusuk
perasaannya?
Oleh pikiran itu, hatinya jadi tenang kembali. Kini ia bisa mengamat-amati kedua
muda-mudi itu lagi dengan hati bebas.
Surapati waktu itu masih saja menggerumu-ti ketela Jawa dengan lahap sambil
sekali-kali menyiratkan pandang kepada Gusti Ayu Retnaningsih.
"Namaku Surapati. Secara kebetulan sekali, aku lewat di sini. Memang aku lagi
mencari tempat berteduh. Desa-desa yang kulalui hampir semuanya menjadi sepi."
"Siapa?"
Dalam pada itu Surapati begitu melihat perubahan wajah Gusti Ayu Retnaningsih,
terus saja meletakkan ketelanya. Kemudian menegas, "apakah Nona pernah
bertemu dengan dia atau kenal padanya?"
Gusti Ayu Retnaningsih adalah seorang pu-teri ningrat. Sebagai seorang puteri
bang-sawan, ia mengutamakan watak keperwiraan. Karena itu, tak dapat ia
berbohong. Se-sungguhnya, tentang pemuda Sangaji ia mem-punyai kesan
tersendiri. Teringatlah dia akan budi Sangaji tatkala pemuda itu menolong dirinya
dari lembah hina. Seumpama tiada Sangaji, apakah jadinya. Melihat Sangaji yang
berperawakan tegap dan berparas tidak buruk, diam-diam dia jatuh hati. Hanya saja
teringat bahwa dia sudah ditunangkan dengan Pangeran Ontowiryo. Tak dapat ia
mengizinkan hatinya merana sesuka-sukanya. Meskipun demikian, kenangan itu
senantiasa mengganggu benaknya. Teringat bahwa Sangaji adalah murid Wirapati,
tiba-tiba saja teringatlah dia pula kepada Fatimah. Ia tahu Fatimah adalah adik
Wirapati. Dengan dalih rindu kepada sesama keluarga perguruan ia nekad
berangkat ke luar kota seorang diri. Sebagai seorang gadis yang sudah menghisap
alam perguruan, tidaklah dia sekukuh gadis-gadis golongannya yang teguh
memegang adat keraton. Maka dengan membawa cundrik pusaka perguruan, diam-
diam ia berangkat ke luar istana dengan tak memedulikan api peperangan yang
mulai membakar tepi kota.
"Hai, setan alas! Kalau kau laki-laki, ayo bertempur di tengah matahari!"
Surapati dan Gusti Ayu Retnaningsih saling memandang dengan heran. Apakah
orang itu bermaksud menantang mereka? Kalau benar, apa alasannya.
Dalam pada itu Titisari mencubit Sangaji sambil berkata perlahan. "Dia datang lagi.
Hebat ini nanti."
Memang Cocak Hijau benar-benar lagi penasaran. Tadi ia lari mendahului, tatkala
melihat hantu muncul di samping kamar atas. Setelah menimbang-nimbang, ia
memutuskan balik kembali. Dasar hatinya keras dan bera-ngasan. Ia tak sudi kena
dipermainkan begitu murah. Maka tanpa memberi tahu Ma-nyarsewu ia kembali
seorang diri ke benteng. Pikirnya, biasanya setan atau hantu atau iblis, berkeliaran
di malam hari. Apa sebab mendadak muncul pula di siang hari bolong. Coba
kulihatnya.
Dengan hati mantap ia memasuki halaman. Lalu mengintip dari luar dinding. Ia
melihat Surapati dan Gusti Ayu Retnaningsih lagi duduk berhadap-hadapan dan
sedang meng-adakan pembicaraan. Pikirnya, aneh! Masakan gadis lumrah? Dia
terlalu cantik. Tak mungkin seorang gadis desa yang secara kebetulan memasuki
benteng. Hm... jangan-jangan mereka ini penjelmaan setan. Hih!
Dalam pada itu Surapati dan Retnaningsih masih saja heran bercampur geli. Lambat
laun seperti berjanji, mereka merasa lagi menghadapi seorang yang kurang waras
otaknya.
Cocak Hijau mengulangi tantangannya sam-pai tujuh delapan kali. Tapi tetap saja,
ia tak memperoleh jawaban. Baik setan pria dan iblis perempuannya tak
menggubrisnya. Ia jadi lebih yakin, bahwa setan memang tak berani berkelahi di
tengah matahari. Karena itu, hatinya kian menjadi besar. Keberaniannya sebagai
pendekar sekaligus timbul lagi. Namun demikian untuk nekad menyerbu memasuki
ruangan dalam, ia masih berbim-bang-bimbang. Mendadak saja teringatlah dia
kepada batu. Pikirnya, coba biar kulempari batu. Ingin kutahu, apakah setan-setan
tak takut kepada batu.
Begitu memperoleh keputusan, terus saja ia mencari batu-batu dan ditumpuknya
menjadi sebuah onggokan. Kemudian mulailah dia bekerja. Dengan berjingkit-jingkit
ia mengintip lagi. Dilihatnya kedua setan itu masih saja duduk dengan berdiam diri.
Hatinya jadi panas, karena merasa terhina.
"Bagus keberanianmu memang hebat! Tapi rasakan kini timpukan tuanmu ini!"
Surapati dan Gusti Ayu Retnaningsih kian tercengang mendengar ucapan Cocak
Hijau. Tak ragu-ragu lagi mereka mengira sedang berhadapan dengan orang edan
benar-benar. Belum lagi ia memutuskan sikap, mendadak saja empat batu
menyambar bagaikan anak panah. Untung, hati Cocak Hijau masih bercampur jeri.
Karena itu sambitannya tak tepat. Meskipun demikian mendesingnya empat batu
itu mengejutkan mereka. Serentak mereka meloncat bertebaran. Surapati ke kiri
dan Gusti Ayu Retnaningsih ke kanan.
Gugup ia berpikir: O ya... dahulu aku pernah mendengar bahwa setan perempuan
lebih jahat daripada setan laki-laki. Biarlah yang perempuan dahulu kuremukan
kepalanya. Dan setelah berpikir demikian terus saja ia menimpuk ke arah Gusti Ayu
Retnaningsih.
Keruan saja Gusti Ayu Retnaningsih terkejut setengah mati. Inilah pengalamannya
untuk yang pertama kalinya, ia diserang seseorang tanpa mengerti kesalahannya.
Dalam kagetnya ia melompat menghindarinya. Surapati lebih cepat lagi. Tatkala
melihat ancaman bahaya, dengan gesit ia menjejak tanah dan menangkis batu itu
dengan pedangnya. Seketika itu juga terbersitlah letikan api menusuk udara.
Cocak Hijau adalah seorang pendekar beradat berangasan dan sembrono. Meskipun
demikian ilmunya tinggi. Sebagai seorang pendekar yang berkedudukan di Gresik,
belum pernah ia dikalahkan. Hanya sekali ia pernah bertempur sama kuat dengan
Manyarsewu. Karena itu tikamannya hebat. Gerakan tangannya menimbulkan
kesiur angin.
Surapati dan Gusti Ayu Retnaningsih bertambah heran. Melihat gerakannya yang
hebat, kini mereka sadar sedang berhadapan dengan seorang pendekar yang
kurang waras otaknya.
Tak berani ayal lagi, Surapati terus saja menyongsong tikaman itu dengan
pedangnya. Lalu membentak, "Jahanam! Kau siapa?"
Tapi Cocak Hijau tak menggubris per-tanyaannya. Dalam hatinya ia takut kena
semprot ilmu siluman si setan. Terus saja ia menikam lagi dan menikam lagi.
Dengan terpaksa Surapati membela diri. Sebat luar biasa ia menangkis serangan itu
lagi tiga kali berun-tun-runtun.
Melihat cara menangkisnya Cocak Hijau jadi lega hati. Terang sekali, setan kali ini
bukanlah setan semalam. Ilmunya tidak begitu tinggi. Karena itu, kini ia mau
berbicara dan tak takut kepada bahaya ilmu silumannya.
"Hai, setan alas! Kau kepengin mendengar namaku? Siapa sudi? Aku tidak begitu
goblok sampai kau mau mengecohku. Coba kalau aku sampai memperkenalkan,
bukankah engkau akan datang memusuhi pada malam hari gelap gulita dengan
ilmu silumanmu? Huuh... kentutmu!"
Surapati segera saja jatuh di bawah angin. Selangkah demi selangkah ia terdesak
sampai nyaris memepet dinding. Cocak Hijau jadi girang. Dengan hati lapang ia
memutar pe-dangnya dan bergerak hendak menusuk. Teta-pi Surapati bukanlah
murid seorang pendekar murahan. Melihat bahaya ia tidak menjadi gugup. Terus
saja ia memiringkan tubuhnya. Dan ujung pedang Cocak Hijau menancap ke dinding
keropos sampai jadi berguguran.
Setelah itu sebat Surapati menghajar lengan Cocak Hijau sebelum pedangnya
sempat dicabut. Tetapi Cocak Hijau benar-benar seorang pendekar gagah pula.
Dengan matanya yang awas ia melihat gerakan lawan. Terus saja ia mengangkat
kakinya dan menyongsong sabetan itu dengan tumitnya. Tepat tangkisannya.
Tangan Surapati kena dilemparkan ke samping. Dan belum lagi bersiaga, Cocak
Hijau sudah mencabut pedangnya dan melancarkan serangannya kembali.
Gusti Ayu Retnaningsih melihat bahaya. Terdorong rasa senasib, mendadak saja ia
mengangkat kursi dan melemparkan dengan sebat. Dengan demikian, batallah
serangan Cocak Hijau.
"Terima kasih Nona, " kata Surapati. Dalam hatinya ia kagum kepada kelincahan
puteri itu yang nampak halus gerak-geriknya.
Dalam pada itu, Cocak Hijau mulai menye-rang lagi. Tatkala ujung pedangnya
menusuk dada, pedang Surapati menangkis. Hebat kesudahannya. Keras melawan
keras. Telapak tangan Cocak Hiaju sampai merasa panas dan agak nyeri.
Cocak Hijau terhenyak sejenak mendengar teriakan Surapati. Tapi sebentar lagi, ia
sadar kembali. Membentak, "Kau setan alas! Tentu saja kau kenal saudaraku
Manyarsewu!"
Sadarlah Surapati, bahwa ia lagi bertempur melawan salah seorang pendekar lawan
gurunya di Pekalongan. Karena itu, kini ia tidak ragu lagi. Terus saja ia menggempur
dengan hebat. Meskipun demikian, Surapati kalah pengalaman. Sebentar kemudian,
ia terdesak lagi sampai terpaksa berputar-putar dari tempat ke tempat.
Gusti Ayu Retnaningsih yang hanya berdiri di luar gelanggang, lambat laun
mencemaskan keadaan Surapati. Menimbang bahwa diapun terancam bahaya,
maka tanpa memedulikan akibatnya terus saja ia mencabut cundriknya yang
panjangnya setengah lengan. Lalu berka-ta keras, "Saudara! Jangan takut! Aku
akan membantumu!"
Majunya Gusti Ayu Retnaningsih, diluar dugaan Cocak Hijau. Begitu juga halnya
dengan Surapati. Pemuda itu menjadi keheran-heranan, berbareng girang.
Girangnya ia memperoleh bantuan. Herannya ia jadi menebak-nebak siapakah
gadis itu sebenarnya. Itulah sebabnya, kalau tadi merasa repot, ia kini bisa
membalas menyerang dengan cepat dan penuh semangat. Mula-mula Cocak Hijau
agak lemas juga menghadapi Gusti Ayu Retnaningsih. Ia menyangka setan
perempuan lebih perkasa dan jahat daripada setan laki-laki. Tetapi setelah
bertempur dua tiga gebrakan, hatinya jadi lega. Ternyata setan perempuan itu lebih
lemah daripada setan laki-laki. Benar tipu-tipu serangannya hebat dan ruwet,
namun dia tahu setan perempuan itu kurang latihannya. Karena itu, walaupun
dikerubut dua, hatinya tetap besar.
Sangaji dan Titisari yang mengintip dari ruang atas, mengkhawatirkan kedudukan
kedua muda-mudi itu. Mereka tahu, lambat laun kedua muda-mudi itu akan kalah.
Sedangkan mereka kenal, Cocak Hijau sebagai seorang pendekar yang bengis dan
kejam. Dalam hati mereka ingin menolong, tapi keadaannya tak mengizinkan.
Mereka tak bisa melepaskan diri dari suatu keharusan saling menempel.
Pada saat itu, mereka mendengar Surapati berkata nyaring. "Nona! Biarlah aku
melayani dia seorang diri."
Melihat Gusti Ayu Retnaningsih tak mau mendengarkan seruannya, Surapati jadi
gugup. Lantas saja ia berkata, "Hai! Musuhmu adalah aku! Biarkan dia keluar
gelanggang dengan selamat!"
Cocak Hijau tertawa lebar. Sekarang yakin-lah dia, bahwa kedua muda-mudi itu
bukannya hantu atau setan. Hatinya bertambah lega. Gerak-geriknya bertambah
mantap dan membahayakan. Hatinya yang mau menang sendiri lalu mulai berkata,
"Mana bisa aku membiarkan gadis cantik ini bebas merdeka tanpa membayar?
Biarlah kutangkapnya dahulu..."
Surapati jadi cemas. Cepat menangkis. Serunya gugup, "Nona! Lekaslah lari!"
"Baik! Tapi jawablah dulu! Siapa gurumu?" sahut Gusti Ayu Retnaningsih.
"Guruku bernama Ki Hajar Karangpandan. Nah, janganlah takut. Sebentar lagi dia
datang!"
Belum lagi ia habis berbicara, Surapati sudah memotong. "Nah, pergilah! Asal kau
bisa menolong nyawamu sendiri, pastilah guruku kelak bisa membalaskan
dendam."
Nama pendekar Ki Hajar Karangpandan bukanlah merupakan nama yang asing bagi
pendekar Cocak Hijau. Ia tahu, bahwa lawan-nya lagi menggertak dirinya. Dasar
adatnya berangasan, ia lalu membentak dengan nada tinggi hati.
Terang sekali, Cocak Hijau lagi mengobral cerita burung. Sewaktu berada di
Pekalongan, bukan Cocak Hijau yang kena keroyok. Malahan Ki Hajar
Karangpandanlah yang kena keroyok Cocak Hijau, Manyarsewu dan pendekar-
pendekar lainnya. Namun Surapati terperanjat juga mendengar Cocak Hijau bisa
menyebutkan deretan nama pendekar-pendekar yang pernah didengar. Ia percaya
seba-gian, bahwa Cocak Hijau setidak-tidaknya per-nah mengukur tenaga dengan
nama-nama pendekar yang disebutkan. Mendadak saja ia mendengar suara
mendengus dari arah ruang belakang.
"Hm—kau menyebut nama kakakku Wira-pati? Apakah kau sudah bosan hidup?"
Ketiga orang itu kaget. Serentak mereka menoleh dan terlihatlah Fatimah berdiri
tegak dengan membawa sebatang golok di tangan-nya. Surapati dan Cocak Hijau
belum kenal Fatimah. Mereka terus saja meloncat mundur dengan alasan masing-
masing. Bagi Surapati, munculnya gadis itu di luar dugaan. Mungkin pula memiliki
ilmu kepandaian diluar dugaan. Sebaliknya, benak Cocak Hijau yang masih
dipengaruhi takhayul, setengah menyangka bahwa Fatimah adalah setan baru yang
mungkin jahat benar.
"Hai! Kau bilang pernah dikerubut Wirapati? Siapa bilang?" bentak Fatimah.
Waktu itu Sangaji dan Titisari dalam keadaan cemas. Melihat munculnya Fatimah
mereka mempunyai sekelumit harapan. Hanya saja mereka belum pernah melihat
nilai ilmu kepandaian gadis yang berwatak angin-anginan itu. Di luar dugaan,
Fatimah bisa bergerak dengan sebat dan membahayakan. Dalam gebrakan
permulaan, Cocak Hijau kena dimundurkan tiga langkah.
"Dia pun tak bakal menang," bisik Titisari. Dia pernah mencoba kekuatan Fatimah.
Dengan sendirinya, bisa mengukur kemam-puannya. Maka ucapannya itu
mengejutkan hati Sangaji.
Dalam hal kegesitan dan ketangguhan, Fatimah menang setingkat daripada Gusti
Ayu Retnaningsih. Maklumlah, dia seorang gadis yang dipaksa hidup dengan
berjuang. Dengan demikian ia lebih memiliki keuletan dan ketabahan daripada
Gusti Ayu Retnaningsih. Hanya saja, ilmu kepandaian yang diwarisi tidak lengkap
dan kurang teratur. Dalam gebrakan permulaan, gerakannya bisa menge-labui
lawan. Tapi lambat laun, ia akan kehi-langan keseimbangan.
Waktu itu Gusti Ayu Retnaningsih dan Surapati berdiri di luar gelanggang dengan
hati kebat-kebit. Dengan penuh perhatian mereka mengikuti pertempuran itu.
Mendadak saja mereka melihat bahaya. Fatimah kena didorong masuk dalam
lingkaran tipu musli-hat. Tak dikehendaki sendiri, terloncatlah seruan Gusti Ayu
Retnaningsih. "Fatimah! Awas!"
Mendengar seruan peringatan Gusti Ayu Retnaningsih, hati Cocak Hijau jadi men-
dongkol. Sebab dengan demikian, gagallah tipu muslihatnya. Dan karena
mendongkol, lantas saja ia menyerang Gusti Ayu Retna-ningsih. Surapati, terkejut.
Cepat ia menangkis dan membalas menyerang. Dengan begitu, Cocak Hijau
dikerubut tiga orang.
Suatu kali ia kena dilibat Surapati. Tahu-tahu pahanya kena ditusuk golok Fatimah.
Ia kaget dan dengan menggerung membalas menyerang. Namun segera dikurung
Gusti Ayu Retnaningsih dan Surapati dengan berbareng.
Karena lukanya itu, kelincahannya jadi agak berkurang. Meskipun demikian, biar
bagaimana ia menang tenaga dan pengalaman. Dalam adu tangkisan, Gusti Ayu
Retnaningsih kena terbentur ke samping. Mendadak saja pundaknya kena terbabat
pedang Surapati. la merasa kesakitan. Selagi begitu, Fatimah menampar
pedangnya sehingga jatuh berkelontangan ke tanah.
Melihat jatuhnya pedang, dengan sebat Surapati memukul kepala Cocak Hijau
berbareng dengan Gusti Ayu Retnaningsih yang menusukkan cundriknya ke paha.
Tak ampun lagi Cocak Hijau roboh terjengkang ke tanah. Dan Fatimah yang
berwatak angin-anginan, terus saja meludahi mukanya. Kemudian pangkal goloknya
diletakkan ke lengan lawan.
"Jangan disakiti!" teriak Gusti Ayu Retnaningsih. "Kita ikat saja dia!"
Seperti burung kecil yang tunduk kepada perintah majikan, Surapati lantas
melepaskan ikat pinggangnya yang terbuat dari kain batik. Kemudian dibuat
pengikat lengan Cocak Hijau. Fatimah menyumbangkan ikat ping-gangnya pula
yang panjangnya lebih dari sepuluh depa. Dengan penuh semangat, ia segera
mengikat Cocak Hijau erat-erat dari kaki sampai ke leher. Dengan demikian, Cocak
Hijau kini mirip sebuah pisang goreng terbungkus daun kelapa. Seluruh tubuhnya
terbebat rapat-rapat. Hanya tinggal kepalanya belaka yang nongol seperti kepala
itik.
"Tuuu rasakan! Melawan anak-anak kemarin sore saja kau tak mampu." Damprat
Fatimah. "Masihkah monyongmu berkaok-kaok menantang Wirapati segala?"
"Iddiiih—katamu, kau pernah dikerubut Wirapati, Jaga Saradenta... dan siapa lagi
tadi? Ih! Melawan kita saja tak becus."
Dasar watak Fatimah angin-anginan, terus saja ia menyobek sudut kainnya. Lalu
disum-batkan ke mulut Cocak Hijau sehingga pendekar yang selamanya tak pernah
kalah itu, tak dapat lagi berkaok-kaok mengumbar mulutnya, la hanya bisa
melototkan matanya sampai merah membara. Mulutnya masih saja berusaha
berontak dengan menyemburkan bunyi ah - ih - uh.
"Nona..." kata Surapati. "Tak kusangka aku akan berjumpa dengan murid pendekar
Wirapati."
"Kau bilang aku murid Wirapati?" potong Fatimah acuh tak acuh. "Kau salah terka.
Aku murid Suryaningrat seperti tunanganmu. Kau seorang pangeran janganlah
sembarangan membungkuk hormat terhadap seseorang. Gerak-gerikmu mewakili
rakyat yang kau pimpin."
"Benar. Dia bukan Pangeran Ontowiryo," kata Gusti Ayu Retnaningsih perlahan.
Wajahnya terus saja berubah merah jambu.
"Ah! Kalau bukan Pangeran Ontowiryo, apa sebab ke mari?"
"Untuk ini aku bersedia membayar. Kalau tak sudi kubayar aku akan melakukan
segala perintahmu sebagai penebus sepiring ketela-mu."
"Kau telah berjanji sendiri. Nah, duduklah makanlah ketelaku semua tanpa minum!"
Surapati tercengang. Sama sekali tak diduganya, perintah gadis itu terlalu lunak.
Diam-diam ia berpikir, dari luar kelihatannya galak. Siapa tahu hatinya sebenarnya
baik.
Maka dengan senang hati, segera ia duduk dan mulai menggerumuti ketela. Tapi
meng-gerumuti ketela sebenarnya mempunyai caranya sendiri. Kalau tiada hati-
hati, lambat-laun tenggorokan bisa pepat. Benar juga, belum lagi Surapati
menghabiskan lima buah ketela besar, ia mulai kelabakan mencari minum. Tetapi ia
malu memperoleh kesulitan. Dengan licin ia mulai memutar lidah.
"Nona! Kau rupanya kenal dengan pendekar Wirapati. Apakah dia sanakmu?"
Mendengar cerita Surapati, mau tak mau Fatimah dan Gusti Ayu Retnaningsih
tertarik hatinya. Bahkan Titisari yang sudah menge-tahui hal itu ikut memasang
kupingnya. Memang Surapati pandai berbicara. Dahulu tatkala bertemu dengan
Sangaji, Wirapati dan Jaga Saradenta, ia bisa membakar hati orang. Peristiwa itu
terjadi di Jakarta, sewaktu ia di-utus Pangeran Bumi Gede menyesapi berita tentang
beradanya lawan anak-angkatnya sekalian menguji kepandaiannya. Kini, ia lagi
mempunyai maksud tertentu terhadap dua gadis itu. Baginya adalah mudah untuk
memikat hati mereka dengan memutar lidah-nya.
Dalam hal inf Fatimahlah yang tertambat hatinya, demi pemuda itu menyebut-
nyebut nama kakaknya. Sesungguhnya belum pernah ia bertemu muka dengan
kakaknya dalam keadaan jelas. Sewaktu kakaknya (Wirapati) merantau ke daerah
barat, ia baru berumur tiga tahun, la tinggal bersama ayah bundanya yang hidup
sebagai petani. Tatkala daerah perbatasan kerajaan terjangkit penyakit kolera,
ayahnya meninggal dunia. Kemudian Kyai Kasan Kesambi mengambil suatu kebijak-
sanaan. Suryaningrat—muridnya yang bungsu diutus menilik keadaan keluarga
Wirapati. Perintah itu dilakukan satu tahun sekali. Begitu Fatimah berumur dua
belas tahun, mulailah Suryaningrat menurunkan ilmu warisan perguruan Gunung
Damar. Semenjak itu, Suryaningrat menilikinya setiap tiga bulan sekali sampai pada
suatu hari ibu Fatimah menyusul suaminya ke alam baka. Fatimah jadi seorang
gadis yatim piatu, la hidup merdeka, tapi tanpa pengawasan dan pendidikan.
Sehingga akhirnya menjadi seorang gadis yang senang membawa maunya sendiri.
Pada saat-saat tertentu, ia berada di dalam benteng apabila sedang berlatih.
Gurunya sering meyakinkan bahwa kakaknya sewaktu-waktu akan pulang
menjenguknya. Karena kakaknya adalah seorang pendekar besar, alangkah tidak
baiknya apabila dia menjadi seorang gadis tiada guna. Maka dalam khayalannya ia
selalu mengharap-harap kedatangan kakak-nya. Setiap kali gurunya datang menje-
nguknya, selalu ia menanyakan kabar beri-tanya. Begitu juga terhadap Gusti Ayu
Retnaningsih. Tetapi baik Suryaningrat maupun Gusti Ayu Retnaningsih tak dapat
mengabarkan kepergian kakaknya dengan jelas. Kini ia mendengar warta tentang
alasan kepergian kakaknya dari mulut Surapati. Keruan saja hatinya tertarik bukan
main.
Surapati adalah seorang pemuda yang sudah masak dan mempunyai banyak pe-
ngalaman mengenai kesan seseorang. Melihat perhatian Fatimah begitu besar,
timbullah kenakalannya hendak mempermainkan. Sahutnya acuh tak acuh. "Apa
yang lantas?"
Itulah kehendak Surapati. Diam-diam hatinya girang, karena ia merasa diri menang.
Sambil menyambar gelas air teh, ia mengerling kepada Gusti Ayu Retnaningsih
yang menggairahkan hatinya.
"Hah... apa kau bilang?" Surapati tak senang. "Guruku adalah seorang laki-laki sejati
di kolong langit. Betapa bisa Wirapati nempil kepandaiannya? Belum lagi muridnya
diadu dengan kakak seperguruanku ia sudah kena kujatuhkan."
"Hm," Fatima menggerutu. "Mari kita tinggalkan burung yang pandai mengoceh
ini."
Gusti Ayu Retnaningsih mengangguk tanda setuju sambil berkata, "Memang, aku
berniat hendak minta diri. Aku khawatir akan keper-gok Kangmas Pangeran."
"Hai, nanti dulu!" teriak Surapati nyaring sambil berdiri. "Kau bilang aku mengoceh
seperti burung? Hm... kau kira apa murid-murid Ki Hajar Karangpandan?"
"Kalau tidak semacam burung pastilah semacam monyong babi. Kau mau apa?"
"Aku murid Suryaningrat. la adalah adik seperguruan Wirapati. Kau bilang sendiri,
Wi-rapati seorang pendekar. Nah, dengan sendiri-nya termasuk golongan pendekar.
Bukan seperti monyongmu!" sahut Fatimah tajam.
Mendengar ujar Fatimah, tubuh Surapati menggigil karena menahan marah. Gusti
Ayu Retnaningsih yang berperasaan halus, kemu-dian berkata menengahi. "Biarlah
aku mohon diri dahulu. Apabila kalian tersesat di Yogya, sudilah mampir barang
sebentar."
Gede! Kalau engkau diharapkan mampir, itu-lah suatu anugerah. Kau tahu siapa
dia? Dialah tunangan Pangeran Ontowiryo lawan besar majikanmu."
Surapati kaget bercampur heran, la jadi bersangsi. Pikirnya, masakan dia tunangan
Pangeran Ontowiryo? Kalau benar apa sebab sampai keluyuran di sini seorang diri?
Mendadak saja timbullah niat jahatnya. Kalau bisa membekuk Nona itu, bukankah
besar artinya? Memperoleh pikiran demikian, terus saja ia melompat menghadang
pintu.
Fatimah seorang gadis yang tajam mulut-nya. Barangkali memiliki ketajaman otak
pula. Hanya sayang, ia belum berpengalaman dalam kehidupan petualangan.
Karena itu tak disadari sendiri, ia telah membuka suatu rahasia besar yang
merupakan pantangan dalam suasana perang. Maksudnya tadi hanyalah sebagai
gertakan belaka untuk membuat hati Surapati mengkeret. Tak tahunya, ucapannya
itu mempunyai ekor panjang yang sangat berharga bagi pihak yang saling
bermusuhan. Meskipun tak takut—mengingat keperkasaan Surapati tadi—hatinya
tergetar juga.
Belum lagi habis perkataannya, Surapati telah melompat dan menyerang dengan
sung-guh-sungguh. Tadi, ia telah menyaksikan sen-diri, betapa mereka bisa
berkelahi dengan baik. Dalam hal ketangguhan, tak usahlah dia khawatir akan
gagal dan kalah.
Gusti Ayu Retnaningsih sadar, bahwa ia kalah tangguh. Namun demikian, tak sudi ia
dijatuhkan pamornya. Demi membela ke-agungan perguruannya, serentak ia
menang-kis serangan itu. Fatimahpun tak mau berpe-luk tangan pula. Segera ia
menyerbu lawan dari samping. Dengan demikian pertempuran bertambah lama
bertambah seru.
Di ruang atas, Titisari menyaksikan semua-nya itu semenjak tadi. Hatinya ikut men-
dongkol menyaksikan lagak Surapati.
"Dia berani menghina Aji! Coba kalau Aji dapat kutinggalkan, masakan aku tak
mampu menghajarnya," katanya dalam hati. la melirik kepada Sangaji. Pemuda itu
tiada menaruh perhatian terhadap mereka. Ia lagi tenggelam dalam semadinya.
Karena itu, tak berani ia mengganggu. Ia mengarahkan matanya ke bawah lagi.
Tiba-tiba ia hampir berteriak terkejut. "Celaka!"
Fatimah membabat kepala Surapati dari atas. Tetapi Surapati bisa mengelak
dengan cepat, sehingga senjata Fatimah kehilangan sasaran. Dan belum lagi gadis
itu berhasil menarik lengannya, Surapati telah membalas menyerang dengan
memukul sikunya. Tak ampun lagi, senjatanya jatuh bergelontangan di atas tanah.
"Kau tahu sekarang, betapa hebat ilmu warisan Ki Hajar Karangpandan?" seru
Surapati dengan takabur. Kemudian ia menyabetkan pedangnya sambil berteriak
nyaring. "Awas!"
"Bagus! Kau mempunyai tenaga juga!" kata Surapati sambil tertawa, la tahu, gadis
itu kalah tenaga daripadanya. Tatkala pedangnya kena sampok, tangan gadis
bangsawan itu ter-getar miring.
"Surapati, maafkan!" sahut Gusti Ayu Retnaningsih. "...mungkin kau bisa menawan
aku. Tetapi kau berkata bisa mengalahkan kakakku seperguan Sangaji? Itulah suatu
obrolan yang menyakitkan hati."
"Hm—apa sih kehebatan murid Wirapati itu? Di Jakarta dia pernah kurobohkan
dalam tujuh gebrakan."
"Jika demikian, kau hebat! Tapi, kukira melawan kekasihnya saja kau tak mampu."
"Siapa dia?"
"Cuh!" Surapati meludah ke tanah. "Jangan kau kira hatiku mengkeret kau gertak
dengan nama Surengpati. Apa sih hebatnya bangsat Surengpati? Coba, suruhlah dia
ke mari. Ingin kulihat tampangnya!"
Panas hati Gusti Ayu Retnaningsih mende-ngar suara Surapati. Dan Fatimah yang
bera-dat aseran, terus saja memungut goloknya dan membabat kakinya.
Surapati, Fatimah dan Gusti Ayu Retnaningsih terkejut melihat datangnya mereka.
Dengan sendirinya, mereka bertiga berhenti berkelahi. Seperti berjanji, mereka
melompat mundur. Tetapi belum lagi mereka mundur beberapa langkah,
Manyarsewu telah menyambar dengan kecepatan luar biasa. Sedangkan Yuyu
Rumpung dan pendekar-pendekar lainnya dengan serentak menolong Cocak Hijau
yang terikat erat seperti seekor itik.
Dengan tertatih-tatih, Cocak Hijau segera berdiri. Napasnya sesak, karena mulut,
telinga dan hidungnya disumbat demikian rupa. Setelah ia terbebas, terus saja ia
menyerang Fatimah dan Gusti Ayu Retnaningsih dengan berbareng. Pendekar itu
mendongkol hatinya, karena ia kena telikung. Mukanya sampai merah membara.
Karena itu serangannya hebat luar biasa.
Cocak Hijau tak mendengar seruan rekan-nya, karena telinganya masih tersumbat.
Dengan mata menyala-nyala ia mengejar Fatimah yang lari berputaran, sedangkan
Gusti Ayu Retnaningsih mencoba merintangi dari samping.
Karena merasa kena rintangan Gusti Ayu Retnaningsih, Cocak Hijau mengalihkan
murkanya kepada gadis bangsawan ini. Tanpa segan-segan lagi, tangannya terus
menyambar pergelangan Gusti Ayu Retnaningsih dan diputar ke belakang
punggung. Tak ampun lagi, Gusti Ayu Retnaningsih habis tenaganya, la mati kutu.
"Kau bilanglah, aku tak becus mencekuk tampangmu!" damprat Cocak Hijau.
Pada saat itu Fatimah berada di luar garis. Melihat Gusti Ayu Retnaningsih dalam
bahaya, tanpa peduli keselamatan diri terus melompat menyerang. Manyarsewu
yang sudah berhasil merobohkan Surapati buru-buru menghadang dan memotong
serangan itu. Dengan gampang ia dapat menyambar pergelangan tangan Fatimah
dan diterkam kencang-kencang.
Manyarsewu yang agak kendor karena terpe-ngaruh suara gerit daun pintu.
Kemudian melompat mundur dan berlindung di belakang tiang.
"Hai iblis! Kau mau lari ke mana?" Mendadak saja Cocak Hijau itu menggerung.
Dalam hatinya memang dia amat mendongkol terhadap gadis itu. Sedangkan
terhadap Gusti Ayu Retnaningsih sebenarnya jatuh nomor dua. Itulah sebabnya,
tanpa memedulikan Gusti Ayu Retnaningsih lagi, lantas saja ia melompat mengejar.
Fatimah tahu, ia bukan lawan Cocak Hijau. Namun hatinya tak gentar. Dengan
mengi-baskan tangan, ia memukul balik serangan Cocak Hijau. Kemudian dengan
pukulan aneh ia membalas menggaplok pipi Cocak Hijau. Inilah jurus darurat ajaran
Suryaningrat yang dipetik dari ilmu Mayangga Seta. Tentu saja Cocak Hijau kaget
bercampur heran. Pipinyapun terasa nyeri.
"Iblis! Kau berlagak tolol," ia memaki. Lalu dia menyerang dengan dua tangan
berbareng.
"Ha ha ha... lihat! Kepalanya gundul!" tiba-tiba Fatimah tertawa riuh sambil
menuding Yuyu Rumpung. Mau tak mau Cocak Hijau menoleh. Ia mengira terjadi
suatu peristiwa di luar pengamatan. Tatkala melihat gundul Yuyu
Rumpung yang licin polos bekas kena hajaran hantu semalam, ia kembali mengarah
kepada Fatimah. Tetapi tepat pada saat itu, kaki Fatimah melayang dan singgah di
paha kanannya. Meskipun tak sampai terjungkal, tak urung tubuhnya tergoncang
juga.
"Benar-benar kau iblis keparat!" Kembali ia memaki untuk kesekian kalinya. Dengan
menggerung ia menerkam. Fatimah menang-kis, dengan cepat. Ia berhasil
menangkis, tetapi kalah tenaga. Tubuhnya berputar ter-kisar dari tempatnya.
Merasa akan meng-hadapi bahaya, cepat ia menjejak tanah hen-dak mendaki
tangga.
Cocak Hijau adalah seorang pendekar bukan sembarangan. Gerak-geriknya gesit
dan sudah berpengalaman. Dengan tiba-tiba saja, tubuhnya terbang dan
menghadang tepat di bawah kaki tangga. Sikutnya digerakkan, maka hidung
Fatimah kena terbentur. Darah-nya lantas saja mengucur. Dasar wataknya angin-
anginan, tanpa berpikir panjang lagi ia berteriak tinggi.
Titisari terkejut mendengar seruannya. "Celaka! Kalau dia tidak kubunuh dahulu,
bisa membahayakan Sangaji."
"Ah! Ayah datang!" serunya dalam hati. Dengan berdebar-debar ia mengintip dari
celah dinding.
***