"Bagus! Itulah baru muridku," seru Jaga Saradenta bergembira. "Tiga belas tahun
yang lalu, bukankah perasaanku seperti keadaanmu sekarang? Kutinggalkan istri
dan kampung halamanku. Untuk apa dan untuk siapa? Ontuk ini... yang
bersemayam dalam dada... yang mengingatkanku setiap detik bahwa aku
dilahirkan dan akan mati sebagai laki-laki."
Hebat kata-kata guru yang sok uring-uringan itu, meskipun andaikata terdengar
Adipati Surengpati akan ditertawakan sebagai suatu elan kosong melompong.
Sebaliknya yang berada dalam kubang batu itu adalah golongan pahlawan-
pahlawan muda yang masih mengutamakan sifat-sifat kejantanan sebagai elan
hidupnya. Karena itu, mereka bersikap diam dan bersungguh-sungguh. Bahkan
pendeta edan-edanan Ki Hajar Karangpandan turut tergetar hatinya. Terus saja
menimbrung.
"Bagus! Akupun akan mencari puteri Jawa yang paling besar pantatnya," sahut Ki
Tunjungbiru cepat.
Seperti diketahui, mereka dahulu berkutat sampai lima hari perkara pantat. Masing-
masing tak mau mengalah dan mati-matian mempertahankan kehormatan wanita
sukunya. Karena tiada yang kalah dan menang, akhirnya mereka mempertaruhkan
kehormatannya yang terakhir. Yakni mempertandingkan diri siapa yang paling
betah tak kawin. Hasilnya setali tiga uang. Sampai umurnya melampaui setengah
abad, masih saja mereka tak sudi kawin.
Mereka berdua lantas saja tertawa geli. Akhirnya tertawa terbahak-bahak seperti
orang gendeng. Panembahan Tirtomoyo dan Jaga Saradenta yang mengenal sejarah
mereka, ikut tertawa melebar. Bahkan Sangaji sendiri yang sedang pepat,
mendadak bisa tersenyum. Tak setahunya sendiri selembar kepepatan hatinya
sirna dari lubuk dadanya.
Surapati dan Pringgasakti waktu itu telah dikebumikan. Medan pertempuran lantas
saja berganti kesan. Orang-orang desa belum berani mencongakkan diri. Karena itu,
mayat-mayat prajurit yang jauh dari sanak keluarganya, bergelimpangan tiada
terurus.
Menjelang tengah hari pancaindera Sangaji yang tajam luar biasa menangkap
sesuatu yang mencurigakan. Kira-kira seratus langkah di barat daya ia mendengar
suatu pernapasan pepat di antara semak tetumbuhan. Pernapasan itu menyenak-
nyenak. Terang adalah napas seseorang yang menderita luka parah.
Terkejut dan pilu rasa hati Sangaji begitu melihat keadaan Fatimah. Dengan pipinya
ia mencoba memeriksa suhu tubuh gadis itu. Syukur, masih terasa hangat. Dan ia
agak bergirang hati, mendengar denyut jantung dan nadinya masih berjalan wajar.
"Ih! Nampaknya lengan dan kakinya patah," kata Jaga Saradenta dari atas
punggung si Willem. "Siapakah yang berbuat sekeji ini?"
Berkat pertolongan mereka semua, Fatimah cepat dapat disadarkan kembali. Gadis
itu menjerit kesaktian. Dan tubuhnya menggigil menahan sakit.
Sangaji segera memijit urat-urat nadi tertentu untuk mengurangi rasa nyeri. Melihat
pernapasan Fatimah kembali lancar ia bersyukur bukan main.
"Fatimah!" panggilnya.
Melihat keadaan Fatimah, Suryaningrat tak kuasa lagi menahan hatinya. Dasar ia
berperasaan halus, terus saja dia memeluknya dan berkata penuh haru.
Fatimah belum kuasa menjawab pertanyaan gurunya. Tata napasnya belum teratur
benar. Tetapi wajahnya yang pucat lesi sedikit demi sedikit menjadi merah dadu.
Mendadak gadis itu memekik seperti mengigau.
Mereka tahu semua—pada saat itu Wirapati menggeletak bagaikan mayat karena
luka parah. Kalau hal itu diberitakan kepada Fatimah yang sedang menderita luka
parah pula, bukankah tidak tepat! Itulah sebabnya, mereka saling memandang
minta pertimbangan. Teringat akan sejarah Fatimah yang dipaksa hidup untuk
berpisahan dengan Wirapati semenjak kanak-kanak, mereka jadi berduka. Tetapi
tak usah menunggu lama. Mereka telah bisa mengambil keputusan. Gagak Handaka
mengedipi Suryaningrat. Dan guru yang berperasaan halus itu segera berkata
minta ketegasan.
"Mengapa?"
"Anak tolol! Kau sudah sembuh. Bagus! Bukankah tak sia-sia aku menjagamu?"
Sangaji mengangguk.
"Di manakah gadismu yang galak dan jahat itu?" tanya Fatimah.
"Huh" dia bisa mengapakan aku? Banyak lagi. Banyak lagi. Aku dikerubut beramai-
ramai."
"Mengapa?"
"Itulah perkara dua pusaka," sahut Fatimah. Pandang matanya menatap Sangaji.
Meneruskan, "secara kebetulan aku mendengar kasak kusuk mereka. Bilangnya,
pendekar Kebo bandotan diam-diam mendaki padepokan Gunung Damar. Pendekar
itu akan menculik gurumu yang luka parah untuk digunakan sebagai alat penukar
dua pusakamu. Bukankah hebat?"
Menjelang fajar hari sampailah dia di batas tenggara kota Yogyakarta. Ia berhenti
beristira-hat. Karena lelah, tak setahunya sendiri ia jatuh tertidur. Ia terbangun oleh
derap kaki terge-sa-gesa. Cepat ia menyelinap di balik semak dan mengintip.
Dilihatnya dua orang yang berperawakan tinggi besar dan pendek kecil. Mereka
sedang berbicara dengan penolongnya. Yakni, Sanjaya.
"Kami adalah adik Aria Singgela!" kata yang tinggi besar. "Kami diutus berkabar
kepada ayah Tuan, bahwa kedua pusaka sakti yang dijanjikan akan segera Tuan
peroleh."
"Bagaimana?"
"Pada waktu ini, kakak kami berada di sekitar Gunung Damar. Dia bermaksud
merabu Kyai Kasan Kesambi. Kalau rejeki ayah tuan sebesar gunung, kakak kami
akan berhasil menculik Wirapati guru Sangaji. Bukankah alat penukar yang baik?"
Melihat mereka menuju ke barat, Fatimah jadi gelisah. Dasar ia berwatak angin-
anginan. Lantas saja ia mencegat mereka.
"Kalian mau mendaki Gunung Damar. Huh... jangan harap!" katanya lantang. "Kalau
berani, lawanlah dahulu anak cucu Kyai Kasan Kesambi."
Mendengar kata-kata gadis itu, para pendekar melengak keheranan. Dari manakah
gadis itu mengetahui, bahwa mereka lagi berjalan menuju Gunung Damar?
Cocak Hijau yang berangasan terus saja meloncat maju. Dasar ia menaruh dendam
besar, tanpa berkata lagi lantas menyerang. Tentu saja Fatimah bukanlah
lawannya. Dalam dua puluh jurus, Fatimah kena ditangkap dan diikatnya kencang-
kencang.
Dengan tertawa dalam, mereka lantas saja mematahkan lengan dan kaki Fatimah.
Kemudian melemparkan gadis itu menggelinding ke tebing sungai.
Dasar nasib Fatimah masih baik, Sangaji yang memiliki panca indra bagai dewa
menangkap tata pernapasannya. Kini oleh pertolongan para pendekar sakti, ia
dapat disadarkan. Meskipun luka berat, tapi tak mengkhawatirkan lagi. Dengan
perawatan tertentu, dua atau tiga bulan ia akan pulih kembali seperti sediakala.
"Kita harus segera menyusul mereka. Kalau kasep, akibatnya alangkah besar,"
sahut Ranggajaya.
Dalam pada itu Ki Hajar Karangpandan yang tadi memeriksa lapangan telah tiba
kembali.
"Bangsat betul! Mereka tidak hanya menga-niaya gadis itu, tetapi merusak pula
keten-traman penduduk. Bangsat itu benar-benar menuju ke barat. Mereka telah
mendahului kita."
Ki Hajar Karangpandan adalah seorang pendeta edan-edanan. Tapi cerdas dan bisa
dipercayai. Karena itu Sangaji bertambah menjadi cemas. Agak gugup ia berkata
memutuskan, "Guruku Wirapati luka parah, dan Eyang Guru hanya seorang diri.
Kalau sampai terjadi sesuatu, kesalahanku seumpama sebesar gunung. Karena itu
aku harus segera berangkat. Paman Hajar Karangpandan biarlah bersama aku
berangkat terlebih dahulu. Aku titip guruku Jaga Saradenta. Bagaimana paman-
paman nanti menyusul aku, kupercayakan penuhpenuh kepada kebijaksanaan
paman-paman sekalian."
Terang sekali hati Sangaji dalam keadaan gelisah luar biasa. Ia merasa seolah-olah
kese-lamatan gurunya Wirapati dan Kyai Kasan Kesambi berada dalam tanggung
jawabnya. Maka tanpa menunggu persetujuan lagi, ia melesat terbang bagai
garuda.
"Paman! Bagaimana kalau kita membeli dua ekor kuda di depan sana?"
Tak lama kemudian, secara kebetulan mereka melihat satu pasukan kompeni
sedang meronda. Tanpa berbicara lagi Ki Hajar Karangpandan terus melompat maju
dan sekali menjambret dua penunggang kuda di antara mereka kena diangkatnya
dan dilemparkan ke tanah. Berbareng dengan itu ia berteriak, "Anakku Sangaji!
Naik!"
Sangaji tak mau melibatkan diri terlalu lama. Bersama Ki Hajar Karangpandan ia
keprak kudanya kencang-kencang menuju ke barat. Keruan saja sersan itu
berteriak-teriak seperti babi terjepit.
Tak lama kemudian daerah pegunungan Gunung Damar sudah nampak di depan
hidungnya. Sekonyong-konyong dua sosok bayangan berkelebat di depannya. Tahu-
tahu dua orang berdiri merintang di tengah jalan. Itulah dua orang pendekar
undangan Pangeran Bumi Gede. Tak jauh dari mereka beberapa prajurit yang
mengenakan pakaian serba putih berbaris di seberang menyeberang jalan. Sangaji
lantas saja teringat kepada anak buah sang Dewaresi.
Salah seorang dari mereka menangkis sabetan itu dengan tongkatnya. Dan yang
lain segera menyerbu masuk. Karena kaget, kuda Ki Hajar Karangpandan
berjingkrak berdiri tegak. Pada saat itu barisan serba putih melompat berbareng
dengan gesit. Melihat gerakan mereka, Ki Hajar Karangpandan tertawa terbahak-
bahak. Berkata lantang kepada Sangaji, "Anakku Sangaji! Kau boleh terus
melanjutkan perjalanan. Biarlah kawanan cacing ini aku bereskan sendiri."
Melihat mereka bertujuan hendak merintangi bala bantuan yang mungkin datang ke
Gunung Damar, terang sekali maksud mereka amat keji. Benar-benar padepokan
Gunung Damar dalam keadaan bahaya. Sangaji mengenal ilmu sakti Ki Hajar
Karangpandan. Gntuk melayani mereka meskipun tidak gampang-gampang
menang, tetapi tak bakal kena dikalahkan. Oleh pertimbangan demikian, ia melecut
kudanya. Dengan gagah ia menerjang dan terus terbang sekencang-kencangnya.
Tetapi dua pendekar undangan Pangeran Bumi Gede bukanlah pula pendekar
murahan. Sekonyong-konyong mereka melesat melompat dan menyabetkan
senjatanya. Sangaji membungkuk miring. Ia papaki senjata mereka dengan satu
kibasan. Cepat luar biasa ia merampasnya dan menimpukkan kembali. Seketika itu
juga terdengarlah suatu jerit melengking. Mereka kena senjatanya sendiri. Kedua
kaki mereka patah dengan berbareng dan roboh terjengkang di atas tanah.
Orang itu mengucak-ucak matanya. Mereka merasa heran. Apakah salah melihat?
Tadi seperti melihat manusia menyeberangi kali. Kini mendadak lenyap entah ke
mana.
Setelah memasuki lereng pegunungan, tak berani lagi Sangaji berjalan di atas
tanah. Terus saja ia melompat ke pohon dan kalau perlu bersembunyi di dalam
mahkota daunnya, la bersikap sangat berhati-hati dan berwaspada. Saban-saban ia
melompat dari dahan ke dahan sambil memperhatikan keadaan seberang
menyeberang. Ia sadar, bahwa musuhnya sangat licin, pandai dan tangguh.
Pemuda itu kini memiliki ketajaman panca indera luar biasa. Begitu melihat
berkelebatnya manusia, segera ia mengenal siapa dia. Itulah Wirasimin, cantrik
kesayangan gurunya Wirapati.
Melihat Sangaji, seleret cahaya melintas pada wajah Wirasimin. Dengan meronta ia
berkata setengah girang.
Dalam benak cantrik itu, hanya teringat kepada murid-murid Gunung Damar yang
tangguh dan sakti luar biasa. Dahulu Gunung
Damar pernah dikerumuni manusia-manusia tak diundang pada ulang tahun Kyai
Kasan Kesambi yang ke 83 . Mereka semua kena terpukul mundur oleh murid-murid
Gunung Damar. Kinipun, padepokan Gunung Damar sedang kena bencana.
Celakanya, Padepokan sedang sepi. Karena itu dalam seribu kerepotannya, cantrik
itu mengharap-harap kedatangan mereka.
Terhadap Sangaji dia belum menaruh suatu kepercayaan besar. Maklumlah, selain
masih muda belia, perkembangannya yang terakhir sama sekali belum diketahui.
"Eyangmu kedatangan seorang tetamu. Beliau lantas pergi mengikuti tetamu itu.
Entah ke mana. Lalu... lalu... padepokan mendadak jadi neraka. Mereka bangsat-
bangsat tak keruan hendak membakar padepokan. Tentu saja perbuatan mereka
tak bakal diizinkan para cantrik. Tanpa mengingat kekuatan sendiri, para cantrik
berusaha bertahan diri."
"Dan guru?" potong Sangaji.
"Bagus!" seru Sangaji girang. Hatinya yang mencemaskan keadaan gurunya kini tak
mempunyai alasan lagi untuk beresah hati. Dengan sekali berkelebat ia membuka
pintu dengan hati-hati. Terus saja ia melongok. Dan di atas sebuah dipan dilihatnya
gurunya menggeletak tak berkutik. Seluruh tubuhnya terbebat rapat-rapat. Hal itu
membuktikan, bahwa eyang gurunya mencoba mengobati sebisa- bisanya.
Sementara paman-paman gurunya berusaha mencari obat pemunah racun yang
mengeram dalam tubuh gurunya.
"Guru!" bisik Sangaji dengan hati terharu. Terus saja ia mendeprok ) di tanah.
"Demi untukku, Guru berkorban dan mengorbankan semuanya. Budi Guru setinggi
gunung."
"Kalau tua bangka Kyai Kasan Kesambi yang sok agung-agungan bersembunyi
seperti kura-kura, biarlah kita sembelih anak cucu muridnya dan para cantriknya
dahulu. Aku kepengin melihat, apakah dia tetap tak berani keluar..."
Suara itu bukan main kerasnya sampai atap pun ikut tergetar. Dan Wirasimin
gemetaran. Hatinya jadi ciut dan nyaris berputus asa.
"Bagus! Tapi lebih baik kita bakar dahulu padepokan ini! Masakan akan kasep
menyembelih babi-babi ini."
"Bagaimana kalau tua bangka Kyai Kasan Kesambi ikut terbakar. Bukankah sayang?
Mestinya kita harus menawannya dahulu. Lalu kita seret dia keluar. Kita
pertunjukkan dia dahulu kepada semua golongan dan aliran orang-orang berilmu,
agar mereka mengenal tampangnya."
Jarak antara paseban dan kamar Wirapati, tidaklah jauh. Tetapi mereka berbicara
sangat lantang dan kasar. Agaknya sengaja hendak memamerkan kehebatan
tenaga saktinya.
Tentu saja betapa sederhana hati Sangaji, mendengar nama eyang gurunya
direndahkan demikian rupa jadi bergusar. Wirapati yang nampak tak berkutik di
atas amben, mendadak saja terdengar menghela napas.
"Hm. Coba ingin kulihat siapa mereka itu!" dengus Sangaji dalam dadanya. Terus
saja ia melesat keluar kamar dengan gesit. Dan menyaksikan kegesitan Sangaji,
Wirasimin yang belum menaruh kepercayaan kepadanya, terkesiap hatinya. Suatu
kegirangan yang tak diketahuinya sendiri dari mana datangnya, membersit dalam
lubuk hatinya. Terus saja ia ikut keluar dengan dada berdebar-debar.
Paseban ternyata sudah penuh dengan manusia. Kurang lebih dua tiga ratus orang.
Sangaji terus memasuki ruang paseban dengan langkah tenang. Tiba-tiba ia melihat
dua orang berpakaian merah darah. Lantas saja teringatlah dia kepada keterangan
Fatimah. Segera ia menduga, bahwa mereka inilah yang menganiaya gadis itu.
Namun ia masih bersangsi.
Melihat keluarnya Sangaji, dua orang itu jadi terheran-heran. Yang tinggi besar lalu
berkata, "Manakah tua bangka Kasan Kesambi?"
"Hm... untuk menghadapi bangsa cecurut seperti kalian, masakan perlu eyang
guruku sampai bersusah-susah turun tangan. Aku cucu muridnya rasanya cukup
menghadapi kalian."
"Siapa kau?" bentak yang pendek kecil. "Aku Keyongbuntet tak biasa menghadapi
penghinaan begini. Apalagi adikku Maesasura ini. Dia paling benci kepada seorang
pemuda yang bermulut besar dan menjual tampang."
"Kalau benar demikian, alangkah menghe-rankan bahwa kalian yang mengaku diri
golongan terhormat sampai hati menganiaya seorang gadis!" sahut Sangaji untung-
untungan untuk mencari kepastian.
"Gadis tiada harganya dalam percaturan hidup ini, apa perlu dibicarakan di sini?"
kata Keyongbuntet yang bisa berpikir cepat. Memang, mula-mula mereka
terperanjat berbareng heran mendengar ucapan Sangaji. Dari manakah pemuda itu
bisa mengetahui. Sebagai seorang pendekar yang sudah berpengalaman, lantas
saja bisa menduga bahwa perbuatannya telah ketahuan. Siapa lagi yang bilang
kalau bukan gadis itu sendiri.
Memperoleh pikiran demikian tahulah mereka, bahwa gadis itu telah ketolongan.
Diam-diam mereka menyesali diri sendiri, apa sebab gadis itu tak dibunuhnya
sekali.
"Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa pula. Malahan berikut bunganya
sekali!" kata Sangaji dengan suara menggeletar menahan marah.
Keyongbuntet bersikap adem. Matanya merem melek seolah-olah tak mengacuhkan
kegusaran Sangaji. Dengan enak saja dia mendesak.
Bukan main tajam kata-kata mereka. Sangaji yang berhati sederhana sampai tak
tahan lagi mengendalikan diri. Terus saja ia menggeser kakinya, siap bertempur.
Mendadak ia teringat sesuatu. Berkata tenang, "Kalian mendaki padepokan Gunung
Damar bukankah bermaksud hendak merampas pusaka Bende Mataram? Nah,
inilah pusaka itu!" Ia berhenti mengesankan sambil memperlihatkan Keris Kyai
Tunggulmanik dan Kyai Bende Mataram. "Kalau kalian kini sudah mengetahui
dengan jelas, selanjutnya per-kara pusaka ada padaku. Sekarang bagaimana?"
"Hai bocah!" teriak Maesasura. "Kau mem-bawa-bawa kedua pusaka sakti. Apakah
kau Sangaji?"
"Benar. Mengapa?"
Mendengar jawaban Sangaji, mendadak saja dia jadi gelisah. Keyongbuntet bahkan
me-> noleh ke belakang menebarkan mata.
"Hai, bocah! Dengan seorang diri masakan kau sanggup melawan dua tiga ratus
orang?" kata Maesasura. Ia licin. Ocapannya itu dimaksudkan untuk mencari
kepastian apakah murid-murid Gunung Damar sudah tiba di padepokan. Sekiranya
mereka benar-benar sudah berada di padepokan, diam-diam mereka bersiaga akan
melihat gelagat.
Sangaji adalah seorang pemuda yang jujur. Meskipun ilmu kepandaiannya kini
sudah susah terukur tingginya, namun ia tak mengerti jebakan lawan. Dengan hati
terbuka dia menyahut, "Untuk menghadapi kalian, masakan paman-paman guruku
perlu hadir?"
Sangaji diam-diam berpikir, "Bukan main banyaknya jago-jago yang berada di sini.
Pendekar-pendekar undangan Pangeran Bumi Gede nampak pula menyelinap di
antara mereka. Hebat! Sungguh hebat pendekar Kebo Bangah. Dari mana dia bisa
memperoleh jago-jago bukan sembarangan ini. Seumpama aku bisa mengalahkan
beberapa orang di antaranya, pastilah mereka akan main kerubut. Agaknya susah
juga menjaga keselamatan padepokan. Aku sendiri bisa meloloskan diri. Tapi
bagaimana nasib guru?
Eyang gurupun sampai sekarang belum jelas ke mana beliau pergi. Tetapi urusan
sudah terlanjur jauh, biar bagaimana aku akan berusaha sedapat-dapatku..."
Ilmu sakti Maesasura ternyata sangat hebat. Begitu merasakan kesiur angin,
sadarlah dia bahwa dirinya sedang diserang dengan mendadak. Tanpa berpaling
tangannya terus memapak ke belakang punggung dengan tujuan mengadu tenaga
pukulan keras melawan keras. Tak terduga-duga orang yang tiba-tiba menyerang,
menarik serangannya dengan cepat. Kemudian ganti mengarah •kepada
Keyongbuntet.
Orang yang menyerang dengan mendadak itu mengenakan jubah seorang pendeta.
Tanpa menggubris lawan-lawannya dia terus berdiri di samping Sangaji. Ternyata
dia bukan lain Ki Hajar Karangpandan, pendeta edan-edanan tapi berilmu tinggi.
"Ah, engkaukah itu?" terdengar suara men-dongkol. Itulah suara Cocak Hijau dan
Manyarsewu berbareng. Mereka berdua pernah bertempur mengadu kepandaian.
Ilmunya setali tiga uang. Namun demikian, mereka kena dimundurkan karena
diserang dengan mendadak. Keruan saja, diam-diam hatinya mendongkol.
"Pantas! Pantas! Meskipun pendekar Kebo Bangah terkenal bengis dan jahat, tapi
belum pernah aku mendengar ia menghina kaum muda. Sebaliknya engkau begitu
enak saja menganiaya seorang gadis dari angkatan muda. Apakah perbuatan itu
tidak menodai nama perguruanmu?"
"Apakah ini yang disebut ilmu Maruta Dahana? Kabarnya ilmu itu telah lenyap dari
percaturan manusia. Ternyata dia bisa menggunakan dengan baik."
Dahulu dia pernah mendengar nama ilmu itu dari gurunya. Ilmu itu sangat jahat
dan berbisa. Para cerdik pandai dari aliran bersih mengha-puskan ilmu itu dari
ingatannya. Konon kabarnya, ilmu Maruta Dahana terjadi atas wejangan iblis
kepada Warok Secadarma pada zaman Majapahit.
Tak lama kemudian corak pertempuran mereka berubah. Sekarang tidak cepat lagi,
tetapi kian melambat. Akhirnya seperti asal-asalan. Semua orang sadar, bahwa
mereka sedang mengadu ketangguhan ilmu simpanannya masing-masing. Yang
satu ilmu maruta dahana. Yang lain ilmu guntur sajuta.
Pada saat itu sekonyong-konyong dari luar paseban tertebarlah suatu jala sangat
besar. Jala itu berkembang di udara seolah-olah hendak menungkrap seluruh
manusia yang berada di paseban. Sudah barang tentu peristiwa itu sangat
mengejutkan semua yang berada di situ. Maesasura terpaksa mengelak sambil
melontarkan pukulan. Hal itu berarti pula melepaskan perhatiannya kepada titik-
tolak pertempuran. Kesempatan itu dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh Ki
Hajar Karangpandan. Terus saja Ki Hajar Karangpandan memutar ke belakang dan
meng-gablok Maesasura dengan ilmu guntur sajuta seketika itu juga terdengarlah
suatu gemeretakan. Ternyata tulang belulang Maesasura patah berantakan.
Takala itu dalam paseban bertambah seorang lagi. Dia seorang laki-laki
berperawakan hitam lekam dan berkepala gede. Lalu berkata lantang, "Bagus kau
Hajar! Itulah namanya bisa menggunakan kesempatan sebaik-baiknya."
Ternyata yang merubah suasana pertempuran tadi adalah Otong Darmawijaya atau
yang terkenal dengan nama Ki Tunjungbiru. Dia seorang pejuang Banten. Senjata
andalannya berwujud sebuah jala, karena dia seorang nelayan semenjak kanak-
kanak. Dengan Ki Hajar. Karangpandan pernah mengadu kepandaian sampai lima
hari lima malam. Di luar dugaan, dialah penolong besar dalam menghancurkan ilmu
Maruta Dahana yang merupakan pelawan ilmu guntur sajuta. Karena itu di dalam
hati, diam-diam Ki Hajar Karangpandan berhutang budi kepadanya.
Seperti diketahui, dalam tubuh Sangaji mengalir getah sakti Dewadaru. Racun
betapa ;ahatnya di dunia ini, takkan dapat mempan. Sebaliknya Ki Hajar
Karangpandan yang belum mengetahui latar belakangnya jadi gelisah.
"Kau tak yakin?" kata Ki Tunjungbiru. Jangankan lagi terhadap anakku Sangaji.
Akupun sanggup memapak pukulan ilmu Maruta Dahana. Boleh coba!"
***
WAKTU ITU DALAM PADEPOKAN TELAH TERJADI SUATU PERUBAHAN dengan cepat.
Berturut-turut murid-murid Gunung Damar tiba seperti sedang berlomba. Yang
terakhir adalah Jaga Saradenta dan Panembahan Tirtomoyo yang mendukung
Fatimah. Dan melihat mereka, cantrik-cantrik bersorak gembira, terutama
Wirasimin. Orang itu sampai berjungkir balik karena kegirangan. Sebaliknya anak
buah Pangeran Bumi Gede jadi gelisah. Sedangkan begundal-begundal Maesasura
dan Keyongbuntet mendongkol bukan kepalang. Diam-diam mereka merasa akan
mengalami kegagalan.
"Keyongbuntet! Kalau kau mampu, lekaslah selesaikan bocah itu. Kalau tidak, kau
bakal menghadapi keroyokan."
Meskipun mendongkol, Cocak Hijau tak berani mengumbar adatnya. Ia kalah bukti.
la tak tahu, bahwa dalam darah Sangaji telah mengeram ilmu sakti yang sangat
hebat. Jangan lagi dia, sedangkan pendekar Kebo Bangah kena dijungkir balikkan
dalam mengadu tenaga. Itupun baru tenaga enam bagian. Coba waktu itu Sangaji
sudah yakin benar, barangkali Kebo Bangah tinggal namanya belaka.
Murid-murid Kyai Kasan Kesambi sendiri belum pernah melihat corak ilmu ciptaan
gurunya itu. Dahulu mereka tergesa-gesa turun gunung untuk mencari obat
pemunah racun sekaligus mencari jenjak penganiaya Wirapati. Itulah sebabnya
begitu melihat corak cara berkelahi Sangaji, mereka terkesiap. Dan dengan
sungguh-sungguh mereka mengikuti gerak-geriknya.
Sebenarnya Sangajipun belum dapat mene-mukan intisari ilmu ciptaan itu. Tetapi
seperti diketahui, barang siapa sudah mencapai puncak kesempurnaan sesuatu
ilmu akan dapat menyelami ilmu lainnya dengan mudah. Maka begitu melihat
Keyongbuntet memukul mengarah pinggang, segera ia menyambut dengan jurus
Gedong Mineb Jroning Kalbu. Itulah suatu tata berkelahi menutup diri. Gayanya
seperti orang lagi menulis. Namun kedua kakinya ikut bergerak pula. Yang satu
bertahan. Yang lain mengkait kaki lawan. Dan hasilnya sungguh mengagumkan.
Tiba-tiba saja pukulan Keyongbuntet yang menyambar seperti kilat, punah di
tengah jalan. Tenaga saktinya pudar dengan begitu saja. Kakinya kena terkait dan
orangnya terus menyelonong ke depan dua langkah. Keruan saja semua yang
melihat ikut terperanjat dan bersuara heran atas kejadian itu.
Keyongbuntet sendiri kaget bercampur mendongkol. Selama hidupnya baru kali ini,
dia kena terseret tenaga lawan. Biasanya ia selalu mengagul-agulkan tenaga
jasmaninya dan ilmu Maruta Dahana. Kebo Bangah sendiri meskipun menang dua
urat, masih segan menghadapi kepandaiannya. Memikir demikian terus saja ia
melontarkan serangan kilat. Sekejap saja ia menghujani dua puluh lima pukulan.
Melihat betapa cepat dan hebat gempuran Keyongbuntet, mereka semua diam-
diam memuji dalam hati. Benar-benar sesama perguruan pendekar sakti Kebo
Bangah tidak boleh dibuat gegabah. Pantaslah perguruannya merajai seluruh
wilayah Jawa Barat.
Tatkala sampai pada jurus empat belas, tiba-tiba Sangaji merasa seperti sudah
dapat menyelami intisari letak rahasia ilmu ciptaan Sura Dira Jayaningrat Lebur
Dening Pangastuti yang hebat itu. Gerak-geriknya jadi lancar berwibawa. Gayanya
bagus tak tercela. Dan seketika itu juga, Keyongbuntet merasa dirinya terkurung di
antara kedua tangan lawan. Anehnya, dia tak sanggup mengelak, menyingkir atau
melawan. Terus-menerus ia seperti terlibat. Dan akhirnya ia terpaksa mengambil
suatu keputusan hendak mengadu tenaga saktinya yang terakhir. Pikirnya: "Biarlah
aku menangkis dengan tangan kiri. Kemudian kuhantamnya dengan tangan kanan.
Meskipun aku terluka, diapun bakal terluka pula. Masakan dia tak mempan kena
bisa ilmu Maruta Dahana yang bisa membakar tubuh.
Maka bersoraklah cantrik-cantrik dan anak cucu murid Gunung Damar menyaksikan
pe-ristiwa itu. Suryaningrat murid Kyai Kasan Kesambi kelima yang masih berdarah
muda, terus saja berseru nyaring.
"Tak kusangka ilmu ciptaan Guru begini hebat dan sakti! Aku ingin tahu, dia bisa
berbuat apa?"
"Bisa berbuat apa? Dia sudah berbuat hebat. Berputar seperti gangsingan!" sahut Ki
Hajar Karangpandan dengan tertawa berkakakan.
Dasar Sangaji belum memahami ilmu ciptaan eyang gurunya dengan masak, maka
ia masih bersangsi. Dengan dihujani pukulan begitu hebat, hatinya goyang. Tahu-
tahu ujung bajunya kena sambar sehingga robek. Cepat-cepat ia melompat
mundur. Tetapi Keyongbuntet terus memburu. Maka terpaksalah Sangaji mundur
terus-menerus sambil mengelak. Kemudian berpikir, kalau terus-terusan main
mundur sambil mengadu kecepatan bergerak saja, bukankah aku akan men-
jatuhkan pamor perguruan Gunung Damar? Ilmu ciptaan Eyang Guru memang
belum kupahami benar. Tapi masakan aku kalah tenaga dengan dia? Semalam aku
berhasil mementalkan tenaga pukulan pendekar Kebo Bangah. Mustahil aku tak
tahan menerima pukulan ilmunya yang diandalkan
Sangaji sudah mempunyai pegangan kuat. Kalau Kebo Bangah saja bisa terpental
jungkir balik hanya kena benturan tenaganya enam bagian, apalagi kalau
dikerahkan dengan sepenuh-penuhnya. Dan terhadap manusia keji ini, perlukah dia
sungkan-sungkan lagi? Terus ia mengerahkan segenap tenaganya. Pada waktu itu,
dengan gemas Keyongbuntet menyerang dahsyat. Maklumlah, dia merasa
direndahkan. Tetapi hebat akibatnya. Kedua lengannya terdengar gemeretak. Tahu-
tahu remuk tak berwujud lagi. Tubuhnya terpental menghantam adik
seperguruannya Maesasura. Dan kedua-duanya terbang melayang jauh melintasi
paseban. Kaki mereka menghantam pohon dan patah menjadi empat. Kemudian
jatuh bergedebrukan di tanah tanpa berkutik lagi.
Itulah suara pendekar Kebo Bangah. Ia ternyata sudah berdiri berjajar dengan Kyai
Kasan Kesambi di paseban dalam. Melihat mereka berdua, Sangaji berdiri tertegun.
Pada pagi hari tadi, Kebo Bangah sampai di padepokan Gunung Damar. Terus saja
ia minta bertemu dengan Kyai Kasan Kesambi. Niatnya sudah tetap, hendak
menculik Wirapati sebagai alat penukar kedua pusaka sakti Bende Mataram yang
berada dalam tangan Sangaji. Tetapi ia licin. Sebagai seorang pendekar kawakan,
dia tahu menilai ilmu kepandaian Kyai Kasan Kesambi. Terhadap orang tua itu, dia
tak berani berlaku semberono. Karena itu diam-diam ia hendak melakukan akal
licik, la menantang orang tua itu bertukar pikiran mengenai ilmu kepandaian di
suatu tempat yang agak jauh dari padepokan. Sementara itu, ia berharap anak
buahnya dan pasukan Pangeran Bumi Gede menggerebek pade-pokan Gunung
Damar pada siang hari dan terus menculik Wirapati. Tetapi akal liciknya ini tak
gampang-gampang dapat dilaksanakan. Kyai Kasan Kesambi ternyata bukan lagi
hidup sebagai seorang pendekar, la sudah menjadi seorang pendeta sampai kebulu-
bulunya. Terhadap segala tetek bengek mengenai urusan keduniawian sudah tak
sudi menghiraukan lagi. Maka cepat-cepat ia berganti arah. Terus saja ia
membicarakan tentang ragam ilmu kepandaian di dunia ini, dengan tak berkepu-
tusan. Sekali-kali ia sengaja memberi peluang kepada Kebo Bangah untuk minta
pendapatnya, pertimbangannya dan petunjuk-petunjuknya, la memang seorang
pendekar yang gila terhadap macam ilmu kepandaian di dunia ini. Pengetahuannya
luas dan banyak akalnya pula. Itulah sebabnya meskipun lamban lambat-laun ia
berhasil menarik perhatian Kyai Kasan Kesambi. Akhirnya minta agar Kyai Kasan
Kesambi sudi melihat dan menilai ilmu kepandaiannya yang sudah ditekuni selama
dua puluh tahun. Dahulu dia pernah kalah seurat melawan ilmu kepandaian Kyai
Kasan Kesambi. Sekarang ia berbalik hendak menebus kekalahannya itu. Dan untuk
memperli-hatkan ilmu saktinya itu, dia minta suatu tempat yang memencil. Kyai
Kasan Kesambi meluluskan. Dan demikianlah, maka mereka berdua meninggalkan
padepokan Gunung Damar menjelang tengah hari.
Meskipun Kyai Kasan Kesambi kenal kelicinan Kebo Bangah, tapi ia tak menduga
buruk. Dia hanya bersikap hati-hati dan berwaspada. Kebo Bangah sendiri bisa
membawa diri. Dia bukan goblok pula.
Tua bangka ini bukan main tajam matanya. Kalau sampai terbangkit rasa curiganya,
urusan penculikan ini bisa gagal. Dia bersikap se-olah-olah tak sudi mengetahui
urusan dunia. Tapi mengapa menerima lima orang murid? Diam-diam Kebo Bangah
menimbang-nimbang dalam hati. Biarlah kucobanya. Kalau kuserang dia tak mau
menangkis, itulah namanya mencari mampusnya sendiri.
Setelah berpikir demikian, mendadak saja dia terus menyerang Kyai Kasan Kesambi
dengan segenap tenaganya. Untung, jauh-jauh Kyai Kasan Kesambi sudah bersikap
hati-hati dan berwaspada. Melihat mata orang, segera ia bersiaga. Begitu serangan
Kebo Bangah tiba, ia memapakinya. Hebat akibatnya. Kedua-duanya mental dua
langkah. Hanya saja Kyai Kasan Kesambi tetap berdiri tegak, sedang Kebo Bangah
perlu berjungkir balik untuk memunahkan tenaga sendiri yang terkirim balik. Di sini
ternyatalah, bahwa Kyai Kasan Kesambi betapapun juga menang tangguh. Dia tadi
belum siap benar. Sebaliknya Kebo Bangah melakukan penyerangan dengan sadar.
Meskipun demikian dia tak tergoyahkan.
"Bagus! Kau tua bangka. Akhirnya ketahuan juga. Kau cuma bilang di mulut.
Buktinya kau masih menyayangi nyawamu yang sudah bangkotan!" seru Kebo
Bangah dengan tertawa riuh.
Ia tahu, ilmu kebanggaan Kebo Bangah bernama Kala Lodra. Untuk menghadapi
ilmu Kala Lodra yang tangguh, ia sudah mempunyai jurus-jurus pemunahnya. Yakni
Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti dengan dasar tenaga Pancawara
yang dahsyat. Ilmu ciptaannya itu sebenarnya dimaksudkan untuk menghadapi
pendekar Kebo Bangah dan Adipati Surengpati. Kedua pendekar itu bengis, licin dan
serba pandai. Kemudian secara kebetulan Sangaji mewarisinya. Meskipun belum
sempurna, ia menduga pendekar Kebo Bangah sudah pernah melihatnya. Kalau
tidak, masakan dia sampai naik padepokan Gunung Damar dan menantang
mengadu ilmu kepandaian, pikirnya.
"Kebo Bangah! Makin bertambah umur, rasanya makin runyam jalan pikiranku.
Ciptaanku itu luar biasa jelek. Entah ada gunanya atau tidak untuk kautekuni," kata
Kyai Kasan Kesambi dengan sabar.
Terhadap Kyai Kasan Kesambi, Kebo Bangah tak perlu putar lidah, terus saja
tertawa terbahak-bahak sambil menyahut, "Hai— apakah benar itu ciptaanmu? Aku
belum pernah mencoba."
Sehabis berkata demikian, langsung ia menyerang lagi dengan ilmu Kala Lodra
yang sudah disempurnakan. Kedua orang itu dahulu pernah mengadu ilmu
kepandaian sampai sepuluh hari lamanya. Kini mereka bertempur lagi setelah
saling menekuni ilmunya masing-masing selama dua puluh tahun lebih. Masing-
masing memperoleh kemajuannya sendiri. Karena itu tidaklah gampang-gampang
dapat diputuskan siapakah yang lebih unggul dalam satu dua hari saja. Dan apabila
dua harimau sedang bertarung, tidakkan selesai sebelum salah satu mati atau
setidak-tidaknya terluka parah. Untung, Kebo Bangah tidak bermaksud untuk
mengadu kepandaian dengan sungguh-sungguh. Begitu matahari sudah
merangkak-rangkak mendekati petang hari, ia melompat ke luar gelanggang. Ia
menduga, anak buahnya dan pasukan Pangeran Bumi Gede sudah berhasil
menculik Wirapati. Dasar ia banyak akal dan licin, maka wajahnya sama sekali tak
memperlihatkan suatu perubahan. Bahkan dengan tertawa berkakakan ia berkata,
"Kau tua bangka, makin tua makin hebat! Namun, kalau jurusmu itu benar-benar
hasil ciptaanmu, mengapa anak cucu muridmu lebih hebat dari kau sendiri."
Kyai Kasan Kesambi tak mau terjebak. Segera menyahut, "Apa kubilang tadi.
Bukankah ilmuku tiada gunanya untuk kautekuni?"
"Tua bangka! Aku berkata dengan sebenarnya. Aku tahu, jurusmu hebat. Aku tahu
pula kau belum menggunakan ilmu saktimu Pancawara. Kalau sudah... hm... aku
Kebo Bangah betapa bisa bertahan lebih lama lagi."
Sekali lagi Kebo Bangah berkata dengan setulus hati. Tapi dasar ia terkenal licin
dan banyak akal, maka Kyai Kasn Kesambi hanya tersenyum belaka. Menyahut,
"Kau mengenal ilmu Pancawara, itulah bagus."
"Betapa tidak? Aku pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, sewaktu
muridmu yang tertua mengadu tenaga dengan Adipati Surengpati. Bukan main
tangguhnya ilmu itu, sampai Adipati Surengpati jadi prihatin."
Mendengar keterangan Kebo Bangah, dalam hati Kyai Kasan Kesambi terperanjat.
Meskipun dia seorang pertapa yang sudah sampai pada tataran bebas dan tiada
terikat oleh semua bentuk masalah dunia, namun karena hubungan dengan
muridnya bagai darah daging sendiri, tak urung ia cemas mendengar kabar tentang
adu tenaga sakti antara Gagak Handaka melawan Adipati Surengpati. Dengan
menguasai diri ia mencoba minta penjelasan.
"Hm... Pancawara betapa bisa dimainkan oleh seorang untuk menghadapi Adipati
Surengpati."
"Kalau begitu, benar-benar hebat ilmu saktimu Pancawara," sahut Kebo bangah tak
kalah cerdik. Sebagai seorang licin tahulah dia, bahwa hati Kyai Kasan Kesambi
kena terguncang oleh kata-katanya. Teringat kepada rencana kepergiannya ke
padepokan Gunung Damar, tak mau dia lama-lama terlibat persoalan dengan orang
tua itu. Maka dengan perlahan-lahan ia kembali mengarah ke padepokan.
Kemudian berbicara lancar. "Meskipun muridmu kalah ulet, tapi Adipati Surengpati
tak mau gegabah. Dalam hati ia mengakui keunggulanmu."
Kyai Kasan Kesambi tertawa perlahan, la sadar akan kelicinan lawan. Berkata,
"Hebat! Engkau sampai bisa membaca hati orang."
"Eh, masakan begitu. Kalau benar, mestinya engkau tak kan sampai di sini," Kyai
Kasan Kesambi bersangsi.
Kebo Bangah tak menyahut. Ia mempercepat larinya. Dan Kyai Kasan Kesambi
menjaja-rinya. Makin lama lari Kebo Bangah makin cepat. Dalam hati ia hendak
menguji kegesitan orang tua itu. Dahulu Kyai Kasan Kesambi terkenal kecepatan
larinya. Kinipun ternyata tak kurang tenaganya. Bahkan terasa kian jadi masak.
Langkahnya seperti ayal-ayalan. Tetapi cepatnya luar biasa. Itulah sebabnya seolah
sekejap mata mereka berdua sampai di padepokan.
Kyai Kasan Kesambi tak mempunyai dugaan terlalu buruk terhadap Kebo Bangah.
Sekalipun dia tahu lawannya itu sangat licin, ia tak mau percaya bahwa sebagai
seorang pendekar besar, Kebo Bangah akan sampai melakukan perbuatan-
perbuatan rendah. Pastilah peristiwa kesibukan itu hanya secara kebetulan belaka
berbareng dengan datangnya Kebo Bangah. Lalu berkata mencoba, "Sudah terlalu
banyak rakyat yang tak tahu menahu urusan pemerintahan menjadi korban suatu
kelaliman orang-orang tertentu. Bagaimana pendapatmu?"
Kebo Bangah sangat licin. Sama sekali raut mukanya tak berubah. Dengan tenang
ia men-jawab, "Aku ingin tahu pula, siapakah yang berani menghina
padepokanmu."
Mereka berdua bisa bergerak dan berbicara dengan leluasa tanpa ketahuan orang.
Sebab semua orang di dalam paseban menumpahkan seluruh perhatiannya kepada
pertempuran itu.
"Bukankah itu adik seperguruanmu? Ah! Aku memang sudah pikun. Mengapa kau
tak berkata terang-terangan di hadapanku."
Kyai Kasan Kesambi adalah seorang pertapa yang sudah menyekap diri berpuluh-
puluh tahun lamanya. Kata-kata demikian sudahlah merupakan ucapan sangat
tajam penuh sesal. Keruan saja Kebo Bangah lantas saja menjadi sibuk. Tetapi
diapun seorang pendekar besar pula. Selain sombong, angkuh, licin dan banyak
akal, mempunyai kehormatan diri sangat besar. Begitu sadar bahwa kedoknya
bakal terbuka, kehormatan dirinya tersinggung. Tanpa sungkan-sungkan lagi ia
melompat mundur empat langkah. Dengan pandang berapi-api ia menyahut, "Siapa
suruh kau mengeram dalam padepokan, siapa suruh anak cucu muridmu memiliki
pusaka Bende Mataram segala. Memang aku datang untuk itu. Kau mau apa?"
Mendengar ucapan Kebo Bangah, Kyai Kasan Kesambi sangat prihatin. Hatinya
penuh sesal dan pedih. Karena tak biasa ia beradu ketajaman lidah, ia lantas
tertawa perlahan-lahan. Namun pandang matanya berkilat-kilat.
Gagak Handaka dan segenap adik sepergu-ruannya tahu, bahwa gurunya sedang
bergulat melawan puncak kegusaran. Karena itu serentak ia membentak tajam.
"Sungguh tak kami duga-duga, bahwa seorang pendekar besar bisa berlaku begini
licik. Sebagai seorang ksatria mengapa tak berani terang-terangan memperlihatkan
dadanya. Gagal atau berhasil bukankah soal lumrah dalam suatu tujuan?"
"Kau anak kemarin sore menjual obrolan apa di hadapanku?" Kebo Bangah
membalas membentak. Terus saja ia melesat sambil mengirim pukulan.
Semua yang hadir di padepokan Gunung Damar tahu, bahwa tenaga Kebo Bangah
tak boleh dibuat gegabah. Tenaga pukulannya bisa menghancurkan batu gunung
setinggi rumah. Karena itu, sekalian murid Kyai Kasan Kesambi terkejut. Cepat-
cepat mereka senyibak dan mengelakkan pukulan Kebo Bangah dengan
bergulungan di lantai. Tiba-tiba saja nampaklah sesosok bayangan memapak
pukulan itu. Plak!
Waktu itu hari sudah gelap. Samar-samar Kyai Kasan Kesambi mengenal bayangan
yang memapak pukulan Kebo Bangah. Itulah anak cucu muridnya Sangaji. Hatinya
tercekat. Di luar kemauannya sendiri ia sampai bersuara kaget. Di dunia ini
siapakah yang mampu menahan pukulan Kebo Bangah yang sedang mengumbar
amarahnya? Tapi kenyataannya sungguh di luar dugaan. Masing-masing hanya
tergetar mundur dua langkah dengan tubuh bergoyangan.
Kebo Bangah sudah mengambil keputusan nekat. Dia tahu, pihaknya lebih menang
jumlah. Dan kalau sudah memutuskan suatu tindakan, tak mau dia setengah-
tengah lagi. Terus saja ia bersiaga.
Bagus Kempong yang dapat memikir jauh segera berseru kepada Suryaningrat,
"Nyalakan lampu dan jagalah kakakmu Wirapati. Bukankah mereka datang untuk
menculik kakakmu Wirapati agar dapat dijadikan alat penukar dua pusaka milik
keponakan muridmu?"
Dalam pada itu Sangaji sudah siap bertempur pula. la menarik napas dalam-dalam.
Tenaga murninya lantas saja bergerak berputar. Makin lama makin cepat dan
tenaga perangsangnya bukan main besar.
"Aku tak percaya di dunia ini ada suatu tenaga yang bisa menahan gempuran Kala
Lodra!" teriak Kebo Bangah mengguntur. Dan setelah berteriak demikian, ia
melompat sambil mengayunkan tangannya. Plak!
Untuk kedua kalinya mereka beradu tenaga. Kini selisih tenaga masing-masing
nampak jelas. Waktu itu lampu telah dinyalakan terang benderang. Kebo Bangah
tergempur mundur dua langkah, sedang Sangaji masih berdiri tegak bagaikan batu
karang. Sama sekali ia tak tergoyahkan. Keruan saja Kebo Bangah bertambah gusar
sampai matanya melotot.
"Kau tak bergeming? Bagus!" serunya garang. "Tapi jangan cepat-cepat berbesar
hati, Kala Lodra bukan ilmu picisan. Sambutlah sekali lagi!" Benar-benar Kebo
Bangah mengerahkan seluruh tenaga saktinya. Tulang belulangnya terdengar
berpele-takan. Jangan lagi murid-murid Kyai Kasan Kesambi bahkan Kyai Kasan
Kesambi sendiri terperanjat pula. Bagus Kempong tak kuat lagi menahan
keguncangan hatinya, terus ber-teriak memperingatkan Sangaji. "Aji! Turun ta-ngan
dahulu sebelum dia berhasil menghimpun tenaga!"
Sangaji mengangguk sambil melangkah maju. Tetapi dia tak menyerang. Ia tunggu
gerakan lawan dan begitu melihat Kebo Bangah berjongkok sambil mengangkat
tangannya. Cepat-cepat ia menarik napas dalam-dalam. Hawa murninya segera
bergolak. Kedua tangannya terus menapak. Suatu tenaga benturan bagaikan
gugurnya sebuah gunung terdengar meledak: Blaaang!
Pada saat itu terdengarlah jerit Kebo Bangah. Tubuhnya terpental seperti sebuah
peluru batu terlepas dari sebuah bandringan raksasa. Tubuhnya menumbuk tiang
dan terus menjebol dinding. Seketika itu juga gemuruhlah suara dinding runtuh dan
atap paseban hancur berantakan berkepingan.
Ternyata dia adalah Gagak Seta, pendekar sakti yang berwatak angin-anginan.
Diapun mendaki Gunung Damar begitu mendengar kesibukan pasukan Pangeran
Bumi Gede. Seperti diketahui, dia meninggalkan gelanggang pertempuran
menjelang pertarungan seru antara para pendekar melawan pasukan Pangeran
Bumi Gede. Dia seumpama seekor naga, kelihatan ekornya tapi tidak kepalanya.
Gerak-geriknya bebas liar, tetapi matanya tajam luar biasa. Jangan lagi tentang
gerakan pasukan yang dianggapnya sebagai musuh, sedangkan seorang penjahat
licinpun tidak bakal terlepas dari pengamatannya. Itulah sebabnya, menguntit
perjalanan para pendekar undangan Pangeran Bumi Gede bukan merupakan suatu
hal yang sulit baginya. Walaupun agak terlambat, tetapi bukannya kasep. Bahkan
tepat sekali. Kalau saja tubuh Kebo Bangah tak kena disambarnya, pastilah
pendekar besar itu sudah tamat riwayatnya.
Ternyata Kebo Bangah hanya pingsan saja. Tubuhnya yang luar biasa kuat bisa
menahan gempuran ilmu sakti Sangaji. Namun urat syarafnya kacau balau tak
teratur lagi. Jalan pernapasannya jungkir balik. Itulah sebabnya, ia kehilangan
kesadarannya.
"Eh, tua bangka!" kata Gagak Seta kepada Kyai Kasan Kesambi sambil meletakkan
tubuh Kebo Bangah di lantai. "Kau masih kelihatan segar bugar. Nampaknya kau
masih sanggup hidup seratus tahun lagi."
Terhadap Gagak Seta, kesan Kyai Kasan Kesambi tidak buruk. Meskipun Gagak Seta
seorang pendekar edan-edanan, tetapi berwatak ksatria. Apalagi kini ada
hubungannya dengan cucu muridnya. Maka dengan tersenyum seri ia menyambut.
"Kaupun masih gagah juga. Kalau tidak, masakan cucu muridku bisa menjadi
orang."
"Eh, eh! Siapa bilang?" Gagak Seta ter-sipu-sipu. "Aku bisa mengapakan dia?
Malahan akulah kelak yang harus disulapnya menjadi seorang manusia yang ada
gunanya hidup dalam dunia ini."
Dengan runtuhnya pendekar besar Kebo Bangah, habislah sudah kegarangan pen-
dekar-pendekar undangan Pangeran Bumi Gede. Apalagi kini pendekar sakti Gagak
Seta yang disegani orang gagah di seluruh penjuru nusantara, datang pula. Bisa
dibayangkan sudah, apabila mereka berani banyak bertingkah lagi. Maka diam-
diam mereka mengundurkan diri dan lari ngacir meninggalkan gunung.
Kini tinggal gerombolan anak buah Kebo Bangah belaka yang jumlahnya tak lebih
dari dua puluh orang. Mereka tak berani bergerak, tetapi pula tak berani
meninggalkan majikannya yang masih saja kehilangan kesadarannya.
"Kebo bangkotan ini memiliki ilmu bukan sembarangan," kata Gagak Seta lagi.
"Meskipun kita tak usah takut, untuk meruntuhkan dalam dua tiga gebrakan adalah
mustahil. Tetapi melawan tenaga sakti cucu muridmu, dia mati kutu. Nah, kau mau
bilang apa? Bukankah hidup ini selalu bersemi tiada berkeputusan? Hidup ini
bagaikan gelombang samudera. Yang satu disusul lainnya. Yang lebih besar dan
yang lebih dahsyat. Di kemudian hari tinggal kisah tentang tulang belulang kita
yang kian jadi keropos."
Setelah berkata demikian, Gagak Seta tertawa mengguruh. Dan diam-diam Kyai
Kasan Kesambi berpikir, bocah ini memang besar rejekinya. Dia telah menemukan
suatu mustika tiada taranya dalam dunia. Tenaga saktinya luar biasa dahsyatnya.
Bakatnya kuat dan pengucapan hatinya bagus pula. Hanya saja meskipun hebat,
belum terhitung luar biasa. Nanti, kalau dia sudah sadar apa arti kebajikan hidup
untuk bangsa dan negaranya, itulah baru luar biasa. Sedikit banyak ia bisa
menyumbangkan hamemayu hayuning jagat '.
"Betapa banyak rakyat jelata yang sudah menjadi korban keganasan bangsa asing
dan suatu kelaliman, tak terhitung jumlahnya. Justru kini kudengar, rakyat seluruh
Mataram sedang bergerak menegakkan keadilan. Dan kalau kita yang tua-tua ini
bisa menyumbangkan sisa hidup untuk sekedar menyiramkan darah di atas bumi
pertiwi ini, bukanlah sia-sia hidup kita ini. Orang hidup semenjak dahulu siapalah
yang tidak akan mati. Dan kita sudah bekerja sebisanya. Biarlah sedikit
meninggalkan semangat hidup kepada angkatan mendatang."
Mendengar ucapan Kyai Kasan Kesambi, Gagak Seta terkejut sampai tergetar
hatinya. Panembahan Tirtomoyo, Ki Tunjungbiru, Ki Hajar Karangpandan, Jaga
Saradenta dart para pendekar muda lainnya berubah pula wajahnya. Mereka semua
adalah pejuang-pejuang keadilan. Karena itu tak mengherankan, hati mereka
terhanyut dalam keharuannya masing-masing.
"Semenjak dahulu, kita yang menamakan diri orang-orang gagah, merasa takluk
padamu." kata Gagak Seta. "Seumpama engkau kini lebih muda lima enam puluh
tahun lagi, hari ini akan kuajak turun gunung untuk berlomba memercikkan darah
yang tak berharga ini."
"Itulah tak perlu," potong Kyai Kasan Kesambi. "Engkau sudah bekerja sebisa-
bisamu. Nyatanya engkau berhasil menyulap cucu muridku menjadi manusia lain."
"Eh, eh! Siapa bilang? Siapa bilang?" Gagak Seta menolak pemberian jasa itu untuk
yang kedua kalinya. "Kalau saja anakku Sangaji bisa menjadi manusia lain
sebenarnya engkaulah yang berjasa. Kau tak percaya? Lihat!"
"Hai, tolol!" damprat Gagak Seta. "Mengapa kau diam saja? Dalam dunia ini, tidak
semuanya berjalan lancar. Kau harus mengenal kelicikan dan kelicinan orang.
Belum tentu gurumu, sanak saudaramu dan sahabatmu sejujur detak jantungmu.
Kalau kaukena serangan mendadak, bukankah baru sadar setelah engkau
memasuki liang kubur? Sekarang, siaplah!"
"Bocah tolol!" Gagak Seta mendamprat lagi. "Dalam suatu adu ilmu kepandaian,
siapa yang lengah dia bakal tewas."
Dalam hidupnya, orang yang memanggilnya dengan istilah tolol hanyalah empat
orang. Gagak Seta, Titisari, Jaga Saradenta dan Fatimah. Karena itu mendengar
Gagak Seta memanggilnya dengan istilah tolol, ia tak bersakit hati. Meskipun dia
kini jauh berlainan daripada dahulu. Namun panggilan itu sendiri membuat
ingatannya kembali kepada pertemuannya yang pertama dengan Gagak Seta.
Karena itu hatinya lemas dengan sendirinya.
"Kau memang anak tolol! Apakah engkau akan membiarkan dirimu kumakan
mentah-mentah? Meskipun kau kini memiliki suatu keperkasaan, bukankah engkau
terdiri dari darah dan daging? Tangkislah tolol! Aku hendak mengujimu, apakah
tubuhmu benar-benar lebih keras dari sebatang pohon!" Melihat sikap gurunya dan
mendengar kata-kata menguji, Sangaji seperti memperoleh sebintik cahaya. Lantas
saja ia hendak mencoba pula ilmu Kumayan Jati dengan dasar tenaga sakti yang
sudah diperolehnya. Maka sebentar saja mereka telah berkelahi dengan cepat.
Sambaran angin mereka hebat bukan main sampai atap paseban bergoyangan.
Karena itu akhirnya mereka keluar halaman.
Mereka semua lantas saja ikut lari keluar. Para cantrik pontang-panting menyalakan
obor dan lampu. Dengan demikian gelanggang pertempuran jadi terang benderang.
Semua yang hadir di situ adalah para pendekar jempolan. Merekapun tadi melihat
dan menyaksikan sewaktu Sangaji menggempur Kebo Bangah. Karena itu mereka
heran apa sebab ilmu itu macet menghadapi Gagak Seta. Apakah Gagak Seta lebih
hebat daripada Kebo Bangah?
Hanya seorang belaka yang tahu apa sebabnya. Yakni, Kyai Kasan Kesambi sendiri.
Seperti diketahui, ilmu ciptaan itu terjadi sewaktu melihat nasib muridnya Wirapati
yang remuk tulang belulangnya oleh aniaya musuh. Meskipun tak pernah
terucapkan.
tetapi orang tua itu teringat kepada lawan besarnya yang sangat licik, licin dan
serba pandai. Itulah Kebo Bangah dan Adipati Surengpati. Terhadap Gagak Seta, ia
tak mempunyai prasangka. Sebab meskipun berwatak angin-anginan Gagak Seta
adalah seorang ksatria. Itulah sebabnya, maka cip-taannya itu merupakan ilmu
pemunah dan penggempur kedua lawan besarnya. Sekarang Sangaji menggunakan
ilmu ciptaannya melawan Gagak Seta. Tentu saja hilanglah daya gunanya. Gagak
Seta dapat bebas bergerak tanpa rintangan. Untung tenaga sakti Sangaji bukan
main hebatnya dan Gagak Seta sendiri tak berniat berkelahi dengan sungguh-
sungguh. Dengan demikian ilmu sakti Kuma-yan Jati dan Sura Dira Jayaningrat
Lebur Dening Pangastuti, tak dapat saling menyentuh.
Gagak Setapun akhirnya sadar. Terus saja ia melompat ke luar gelanggang dan
menghampiri Kyai Kasan Kesambi. Lalu berkata nyaring, "Terang sekali, bahwa
engkaulah yang berjasa membentuk anakku Sangaji menjadi manusia lain. Kalau
tidak, masakan Kebo Bangah bisa terjungkal dengan gampang. Hebat! Sungguh
hebat! Memang semenjak siang-siang aku merasa takluk. Engkaulah pendekar
besar utama dalam zaman ini."
"Belum tentu. Buktinya ilmu ciptaanku sama sekali tak berdaya menghadapimu,"
sahut Kyai Kasan Kesambi tenang.
"Lho! Aku ini siapa?" Kebo Bangah berteriak, Ia mengawaskan Sangaji. "Hai! Kau
selama ini ke mana? Dewaresi! Kau ini memang bandel, sampai setengah mati aku
mencarimu. Kau harus tahu, ini zaman perang. Kau bisa dibunuh siapa saja.
Kemari!"
Pandangnya berkesan luar biasa kasih. Dan setelah berkata demikian, ia melompat
meng-hampiri Sangaji.
Semua yang hadir segera sadar, bahwa keadaan Kebo Bangah tak wajar. Dari
ucapannya yang kacau, terang sekali ia kehilangan kewarasan otaknya. Itulah
akibat gempuran Sangaji.
Suatu keajaiban lagi terjadi di luar dugaan manusia. Menurut perhitungan lumrah,
pastilah ilmu sakti Kala Lodra akan ikut musnah kena pukulan itu. Sebaliknya
bahkan terjadi suatu perkembangan baru. Seperti Sangaji dahulu tatkala kena
cekek Bagas Wilatikta, mendadak saja jalan darahnya tertembus: Kini bisa berputar-
putar cepat dan merayapi seluruh tubuhnya dengan bebas tanpa rintangan. Sudah
barang tentu, tenaga Kebo Bangah jadi berlipat ganda seumpama seekor harimau
memperoleh sayap.
Peristiwa yang aneh itu, tidak segera nampak dari luar. Tetapi begitu Kebo Bangah
melompat hendak menghampiri, suatu kesiur angin bergulungan dahsyat. Kyai
Kasan Kesambi dan Gagak Seta kaget berbareng. Lalu berteriak memperingatkan,
"Aji! Awas!"
Sangaji sendiri, waktu itu seperti kehilangan diri sendiri. Anak muda itu terlalu mulia
hatinya. Mendengar kata-kata Kebo Bangah memanggil nama Dewaresi, sekaligus
teringatlah dia bahwa pendekar itu kena dibunuh Sanjaya di dalam benteng.
Selama itu, ia tetap menganggap Sanjaya sebagai bagian dari hidupnya. Maka
begitu teringat perbuatan Sanjaya, ia merasa diri seolah-olah ikut bersalah dan ikut
pula memikul tanggung jawab. Karena itu, meskipun dia mendengar kesiur angin
akibat tenaga lompatan Kebo Bangah, ia tak sampai hati membuat pendekar besar
itu bersengsara lagi.
Untung Kebo Bangah dalam keadaan tidak waras. Waktu itu ia benar-benar tak
berniat jahat. Ia datang menghampiri dengan maksud hendak memeluk Sangaji
yang dikiranya Dewaresi.
Oleh suara nyaring itu, Sangaji seperti ter-sadar. Secara wajar ia mengelak.
Meskipun demikian masih kasep juga. Tahu-tahu lengan bajunya kena sambar.
Bret! Ia terkejut. Tangannya lalu meliuk hendak mengadakan perlawanan.
Sekonyong-konyong Kebo Bangah berkata seperti mengeluh.
"Dewaresi! Kau tetap bandel juga? Bagaimana nanti ibumu kalau sampai meng-
gerembengi aku?"
Mendengar ucapan Kebo Bangah, tangan Sangaji turun lagi dengan lemas. Ia
seperti menangkap nada keadaan hati orang itu yang sangat sengsara. Apakah dia
sudah bisa menduga, bahwa anaknya tertimpa malapetaka, pikirnya.
Gagak Seta menggempur punggung Kebo Bangah, sedangkan Kyai Kasan Kesambi
menarik Sangaji keluar gelanggang.
Jalan darah Kebo Bangah telah menjadi bertentangan seluruhnya dan tenaganya
berubah kuat berlipat ganda. Biasanya untuk menangkis gempuran Gagak Seta, ia
perlu mengerahkan tenaga dahulu. Tetapi kini dalam keadaan linglung ia tak
bersiap-siap. Meskipun demikian, ia hanya kena dijungkir-balikkan tanpa menderita
luka sedikitpun. Inilah aneh, mengingat kehebatan ilmu Kumayan Jati yang bisa
menumbangkan sebatang pohon sepelukan orang.
Kebo Bangah tidak lagi menggunakan ilmu Kala Lodra seperti biasanya. Ilmu itu
nampak kacau. Jurus-jurusnya jungkir-balik tak keruan. Namun demikian hebatnya
tak terkatakan. Gagak Seta kena didesaknya berulang kali dan hampir-hampir kena
balasan.
"Anakku Sangaji, kau mundur dahulu!" teriak Gagak Seta dengan nyaring. "Biarlah
kulayani sendiri."
Diam-diam Kyai Kasan Kesambi mengagumi ilmu kepandaian pendekar bule itu.
Tatkala Gagak Seta hampir terjepit, mendadak bahkan bisa melepaskan pukulan
telak Kebo Bangah kaget sampai menjerit. Tapi akhirnya benar-benar
mengherankan. Bukan pendekar gendeng itu yang kena dipentalkan sebaliknya
Gagak Seta sendiri, la sampai terhuyung mundur tiga langkah. Dan belum lagi
tegak berdiri, Kebo Bangah sudah merabunya dengan pukulan-pukulan ilmu Kala
Lodra yang bertentangan dengan biasanya.
Cepat-cepat Gagak Seta menjejak tanah dan membebaskan diri dengan berjungkir-
balik di udara. Ia turun ke tanah sambil melepaskan pukulan keras jurus
kesembilan.
Kebo Bangah meloncat ke kiri dan secepat kilat melejit. Mendadak saja meludahi
dan menyembur-nyemburkan gumpalan liur.
Sudah barang tentu Gagak Seta tak sudi menerima semburan ludah itu. Dia tahu,
meskipun hanya ludah, tetapi apabila kena mata bisa celaka. Sebab tenaga sakti
lawannya bukan main besarnya. Dengan sebat ia menyambut dengan gerakan
tangan sambil terus menyerang.
Menghadapi orang kurang waras, bukanlah suatu hal yang gampang. Kebo Bangah
bertempur dengan jurus-jurus yang bertentangan dengan hukum. Seringkah dia
menumbukkan tubuhnya, miring, berdiri, merayap, merangkak, berjongkok atau
merabu dengan tiba-tiba. Meskipun demikian, semua gerak-geriknya berbahaya.
Daerah geraknya membawa kesiur angin dahsyat. Maka terpaksalah Gagak Seta
melayani dengan hati-hati. Meskipun agak keteter, namun sekali-sekali bisa
membalas menyerang juga.
Diam-diam Kyai Kasan Kesambi memper-hatikan cara bertempur Kebo Bangah yang
kacau. Di dalam hal penelitian, keseksamaan dan kesabaran dia menang daripada
Gagak Seta. Diapun segera memperoleh jalan keluar. Lalu mengajari Gagak Seta
bagaimana cara melawan.
"Gagak Seta!" katanya tenang meyakinkan. "Kaupun harus memutar balikkan jurus-
jurusmu. Anggaplah saja ini suatu latihan. Nah— coba serang bawah kaki. Pastilah
dia akan bertahan dengan berdiri."
Sebagai penonton, Kyai Kasan Kesambi dapat melihat dengan tegas sekali. Maka
hasilnya benar-benar mengagumkan. Gagak Seta percaya benar kepada orang tua
yang dihormatinya itu. Ia segera melakukan petunjuk-petunjuknya. Tetapi di dalam
hati, ia merasa malu sendiri. Menghadapi Kebo Bangah, terpaksalah kali ini harus
dikerubut.
Pada suatu saat, Gagak Seta bisa memberi pukulan tepat, Kebo Bangah meludah
lagi dengan tiba-tiba. Dengan demikian, Gagak Seta terpaksa membatalkan
serangannya, la harus berkelit dahulu. Justru itu, sekonyong-konyong Kebo Bangah
maju dan merabu dengan cepat.
Gagak Seta melihat serangan itu. Ia tak sempat lagi untuk menangkis atau
mengelakkan. Dalam seribu kerepotannya, ia hanya berhasil meneruskan
kelitannya tadi. Ia hampir kena pukulan. Setelah berjumpalitan di udara, ia turun ke
bumi sambil membalas menyerang. Kebo Bangah kena dimundurkan, tetapi diapun
mundur terhuyung juga.
"Nah, apa kubilang," katanya terus terang. "Aku tinggal mewariskan tulang-
tulangku yang keropos kepada angkatan muda."
"Tidak, tidak!" sahut Kyai Kasan Kesambi. "Kau belum kalah dan dikalahkan. Kalau
kau mengaku kalah, akupun kalah pula. Kau tahu sendiri. Akupun tak bisa
mengapa-apakan dia."
Tetapi Gagak Seta adalah seorang pendekar besar yang berwatak ksatria. Dia tak
sudi menyangkal kekalahannya. Lalu berdirilah dia tegak sambil membungkuk
memberi hormat. Katanya, "Kebo Bangah! Aku si jembel bule dengan ini
menyatakan kalah padamu."
Setelah berkata demikian, ia menoleh kepada Kyai Kasan Kesambi dengan pandang
murung. Berkata pilu, "Kyai Kasan! Maafkan aku, karena harus menyerahkan suatu
kehormatan kepada seorang gila. Tetapi memang aku tak becus melawannya.
Kalau engkau masih mempunyai nafsu untuk merebut nama besar, cobalah lawan.
Aku sendiri—semenjak melihat Sangaji telah mewarisi ilmu sakti sudah
mendaftarkan jadi muridnya."
Nyaring dan terang ucapan Gagak Seta. Kyai Kasan Kesambi ternyata memanggut
pula seraya merenungi Kebo Bangah. Dia sudah lama menyekap diri dalam
pertapaan. Dalam hatinya, tiada lagi nafsu merebut nama besar. Sebaliknya murid-
muridnya jadi penasaran. Masakan gelar kehormatan nomor wahid jatuh kepada
Kebo Bangah yang kurang waras otaknya?
Tetapi di dalam gelanggang terjadi pula suatu kejadian aneh. Begitu mendengar
Gagak Seta menyebut ilmu sakti, tiba-tiba wajah Kebo Bangah berubah hebat.
Wajahnya pucat lesi dan ia jadi termangu-mangu. Sejenak kemudian menjerit
seperti ketakutan dan lari tunggang langgang meninggalkan halaman padepokan.
Tatkala lewat di depan kedua adik seperguruannya, ia seperti diingatkan sesuatu.
Kebo Bangah tertawa berkakakan. Ia lari turun gunung dengan cepat. Anak
buahnyapun cepat-cepat pula meninggalkan padepokan Gunung Damar setelah
terhenyak sesaat menyaksikan peristiwa pembunuhan itu. Mayat Keyongbuntet dan
Maesasura segera diangkutnya. Dengan demikian, dalam padepokan kini tinggal
para pendekar dengan pikirannya masing-masing. Keadaan malam itu sunyi
lengang menggeridikkan bulu roma.
"Kyai Kasan," tiba-tiba Gagak Seta berkata. "Sampai di sini kita bertemu. Kau
sekarang tahu, aku manusia tak berguna lagi. Tulang-tulangku sudah keropos."
Kyai Kasan Kesambi berdiri tegak dengan takzim. Menyahut, "Kau terlalu pagi untuk
berbicara tentang kalah dan menang. Aku masih melihat, engkau bakal mempunyai
jalan keluar."
Teringat kepada Adipati Surengpati, mendadak Gagak Seta meninggikan alis. Lalu
minta keterangan dengan suara tinggi. "Hai! Di manakah calon isterimu? Kau
jangan semberono. Mertuamu bukan manusia baik-baik. Kalau kau membiarkan dia
berada satu hari di sampingnya, kau bakal kehilangan. Dan kalau kau kehilangan
Titisari, meskipun kau boleh gagah, tetapi engkau tak bisa bekerja. Aku pun bakal
kehilangan segalanya."