Anda di halaman 1dari 15

DEFENISI

Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah keadaan adanya infeksi (terdapat


pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri) dalam saluran kemih, meliputi infeksi di
parenkim ginjal sampai infeksi di kandung kemih dalam jumlah bakteriuria yang bermakna.
ISK sering dibedakan menjadi ISK atas dan bawah. ISK atas adalah infeksi
saluran kemih bagian atas terutama parenkim ginjal, lazimnya disebut sebagai pielonefritis
sedangkan ISK bawah adalah bila infeksi ini terjadi di vesica urinaria (sistitis) atau uretra.
Batas antara atas dan bawah adalah hubungan vesikoureter.
ISK juga dibedakan menjadi ISK simpleks atau ISK sederhana yaitu terdapat
infeksi tetapi tanpa penyulit (lesi) anatomi maupun fungsional saluran kemih dan ISK
kompleks atau ISK dengan komplikasi yaitu adanya infeksi disertai lesi anatomi ataupun
fungsional yang menyebabkan obstruksi mekanik maupun fungsional saluran kemih misalnya
sumbatan muara uretra, refluks vesikoureter, urolitiasis, parut ginjal, buli-buli neurogenik dan
sebagainya.

ETIOLOGI

Bakteri penyebab yang paling sering adalah golongan Enterobacteriaceae yang


berasal dari daerah perineum atau traktus intestinal. E.coli merupakan penyebab 70-80% pada
ISK simpleks. Penyebab lainnya seperti : klebsiella, proteus, staphylococcus saphrophyticus,
pseudomonas aeroginosa, streptococcus fecalis dan streptococcus agalactiiae jarang
ditemukan.
Pada uropati obstruksi dan pada kelainan struktur saluran kemih pada anak laki-
laki sering ditemukan proteus species. Pada perempuan remaja dan pada perempuan yang
seksual aktif sering ditemukan, staphylococcus saphrophyticus.
ISK nosokomial sering disebabkan E.coli, Pseudomonas, Klebsiella sp, dan
Aerobacter.
Tabel 1. Jenis-Jenis Mikroorganisme Penyebab ISK

Persentase biakan
MIKROORGANISME
(dgn ≥ 105 cfu/ml)
Escherichia Coli 50 – 90%
Klebsiella atau Enterobakter 10 – 40
Proteus morganela atau providencia 5 – 10
Pseudomonas aeruginosa 2 – 10
Staphylococcus epidermis 2 – 10
Enterococci 2 – 10
Candida albicans 1–2
Staphylococcus aureus 1–2

EPIDEMIOLOGI

ISK dapat terjadi pada 5% anak perempuan dan 1-2% anak laki-laki. Kejadian
ISK pada bayi baru lahir dengan berat lahir rendah mencapai 10-100 kali lebih besar
dibanding dengan berat lahir normal (0,1-1%). Sebelum usia 1 tahun, ISK terjadi pada anak
perempuan. Misalnya pada anak usia pra sekolah dimana ISK pada perempuan mencapai
0,8%, sementara pada laki-laki hanya 0,2. Dan rasio ini terus meningkat sehingga diusia
sekolah, kejadian ISK pada anak perempuan 30 kali lebih besar dibanding anak laki-laki. Dan
pada anak laki-laki yang disunat, resiko ISK menurun hingga menjadi 1/5 – 1/20 dari anak
laki-laki tidak disunat.
Pada usia 2 bulan – 2 tahun, 5% anak dengan ISK mengalami demam tanpa
sumber infeksi dari riwayat dan pemeriksaan fisik. Sebagian besar ISk dengan gejala tunggal
ini terjadi pada anak perempuan.
Heale dkk (1993) melaporkan insiden bakteriuria simptomatik sebesar 9,1%.
Penyelidikan di bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Jakarta oleh wila wirya dkk
(1976) pada anak yang dirawat dengan penyakit ginjal lain, insiden bakteriuria simptomatis
didapatkan sebesar 31.1%. Pada neonatus dengan resiko tinggi infeksi didapatkan insiden
sebesar 1,1%.
PATOGENESIS

Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang mengatur keseimbangan cairan
tubuh dan elektrolit dalam tubuh, dan sebagai pengatur volume dan komposisi kimia darah
dengan mengekspresikan air yang dikeluar dalam bentuk urine apabila berlebih. Diteruskan
dengan ureter yang menyalurkan urine ke kandung kemih. Sejauh ini diketahui bahwa saluran
kemih atau urine bebas dari mikroorganisme atau steril. Masuknya mikroorganisme kedalam
saluran kemih dapat melalui :
ℜ Penyebaran endogen yaitu kontak langsung dari tempat infeksi terdekat
ℜ Hematogen
ℜ Limfogen
ℜ Eksogen sebagai akibat pemakaian berupa kateter.
Dua jalur utama terjadinya ISK adalah hematogen dan ascending, tetapi dari
kedua cara ini ascendinglah yang paling sering terjadi. Kuman penyebab ISK pada umumnya
adalah kuman yang berasal dari flora normal usus, dan hidup secara komensal di dalam
introtus vagina, preputium penis, kulit perineum, dan di sekitar anus. Mikroorganisme
memasuki saluran kemih melalui uretra – prostate – vas deference – testis (pada pria) buli-
buli, dan sampai ke ginjal.
Faktor ISK sangat kompleks, karena tergantung dari banyak faktor seperti faktor
penjamu (host) dan faktor organismenya.
Bakteri dalam urine bisa berasal dari ginjal, pielum, ureter, vesika urinaria atau
dari uretra. Timbulnya suatu infeksi di saluran kemih sangat tergantung dari faktor
predisposisi dan faktor pertahanan tubuh penderita yang masih belum diketahui dengan pasti.
Beberapa faktor predisposisi adalah adanya obstruksi urin, kelainan struktur,
urolitiasis, benda asing, refluks ataupun suatu konstipasi yang lama dan lain-lain. Pada bayi
dan anak adanya bakteri dalam saluran kemih umumnya berasal dari tinjanya sendiri yang
menjalar secara ascending.
Flora usus
ℜ Munculnya tipe urogenik
ℜ Kolonisasi di perineal dan uretra enterior
ℜ Barier peratahanan mukosa normal
ℜ Virulensi bakteri ← sistisis → faktor pejamu

Pielonefritis akut
ℜ Parut ginjal
ℜ Urosepsis

Patogenesis dari ISK ascending

Faktor pejamu dalam bagan tersebut dapat berupa memperkuat perlekatan ke sel
uroepitel, refluks vesiko ureter, refluks intrarenal, tersumbatnya saluran kemih dan benda
asing (kateter).
Bakteri uropatogenik yang melekat pada sel uroepitel, dapat mempengaruhi
kontraktilitas otot polos dinding ureter dan menyebabkan gangguan peristaliknya.
Melekatnya bakteri ke sel uroepitel ini akan meningkatkan virulensi bakteri tersebut.
Pada ISK, dilatasi urinary collecting system dapat terjadi tanpa obstruksi refluks
vesikounreter. Mukosa kandung kemih dilapisi oleh suatu glycoprotein mucin layer yang
berfungsi sebagai anti bakteri. Robeknya lapisan musin ini menyebabkan bakteri dapat
melekat dan membentuk koloni dipermukaan mukosa, kemudian masuk menembus epitel dan
mulai mengadakan peradangan.
Bakteri dari kandung kemih dapat naik ke ureter dan sampai ke ginjal melaui
suatu lapisan tipis cairan (films of fluid) apalagi bila terdapat refluks ureter dan refluks
intrarenal.
Infeksi akut atau kronik vesika urinaria (sistitis) akibat infeksi yang berulang
mengakibatkan perubahan pada dinding vesika dan dapat mengakibatkan inkompetensi dari
katup vesiko ureter.
Akibat rusaknnya katup ini, urin dapat naik kembali ke ureter terutama pada
waktu berkemih (waktu kontraksi kandung kemih), hal ini disebut refluks. Akibat refluks ini
ureter dapat melebar atau urin sampai ke ginjal dan mengakibatkan kerusakan pielum dan
parenkim ginjal (pielonefritis). Infeksi parenkim ginjal dapat juga terjadi secara hematogen
atau limfogen.
Bila hanya vesika urinaria yang terinfeksi, dapat mengakibatkan iritasi dan
spasme otot polos vesika urinaria dan akibatnya rasa ingin miksi terus menerus (urgency)
atau miksi berulang kali (polakisuria) atau sakit pada waktu miksi (disuria). Mukosa vesika
urinaria menjadi edema dan meradang dan dapat terjadi perdarahan dari mukosa yang edema
ini (hematuria).
Bila infeksi kronik yang lama terjadi di vesika urinaria menyebabkan dinding
vesika urinaria menjadi tebal dan banyak mengandung jaringan fibrosa yang akhirnya dapat
merusak bagian ureter intra mural/ katup vesiko ureter.
Stasis urin di ureter yang lama menimbulkan mudahnya terjadi infeksi dan
dilatasi ureter.
Tipe E.coli yang dapat mengikat ‘globo’dari glikolipid sering ditemukan apda
pielonefritis akut yang dapat menyebabkani inflamasi. Tipe globo-positif ini dapat
menimbulkan panas tinggi, laju endap darah meningkat, leukosituria yang banyak dan dapat
melebarkan ureter. Diperkirakan hanya ½ sampai ¾ anak dengan pielonefritis yang tidak
memperlihatkan refluks.
Telah diketahui bahwa bakteri yang masuk dalam tubuh akan difagositosis oleh
leukosit polimorfonuklear dan makrofag tetapi apabila bakteri tersebut membangkitkan
respons imun atau mengaktifasi sistem komplemen bakteri tersebut akan dibalut dengan
antibodi (antibody coated bacteria) atau protein komplemen. Dalam mekanisme patogenesis
ISK, banyak hal yang masih belum jelas benar, misalnya mengapa bakteri sendiri mempunyai
kemampuan untuk mengubah surface characteritic-nya sesuai dengan kondisi sekitarnya.
Pada bayi secara hematogen lebih sering terutama bila ada kelainan struktur
traktus urinarius. Bakteri patogen ataupun bakteri non-patogen di daerah tubuh lainnya
(kolon, mulut, kulit) bila berkembang biak di parenkim ginjal akan menghasilkan amonia
yang dapat menghalangi pertahanan tubuh yang normal yaitu dengan menghalangi sistem
komplemen dan dapat menghalangi migrasi leukosit polimorfonuklear dan fagositosis karena
amonia meningkatkan hipertonisitas medula. Bila sudah terdapat infeksi parenkim, fungsi
ginjal dapat terganggu.
Infeksi ginjal dapat terjadi melalui collecting system. Pelvis dan medula ginjal
dapat rusak, baik akibat infeksi maupun oleh tekanan urin akibat refluks, berupa atrofi ginjal.
Pada pielonefritia akut dapat ditemukan fokus infeksi dalam parenkim ginjal,
ginjal membengkak (edema) dan banyak ditemukan infiltrasi leukosit polimorfonuklear
dalam jaringan interstitial akibatnya fungsi ginjal dapat terganggu. Pada pielonefritis kronik
akibat infeksi, adanya produk dari bakteri atau adanya zat mediator toksik yang dihasilkan sel
yang telah rusak akan mengakibatkan parut ginjal.

Penjalaran Infeksi
Infeksi dapat mencapai saluran kemih dengan cara hematogen atau ascending dari
orificiumuretra internal dan masuk ke kandung kemih dan akhirnya sampai ke ginjal. Pada
umumnya penjalaran hematogen jarang kecuali pada neonatus. Telah diketahui bahwa
bakteremia sering terjadi pada neonatus dan bayi di bawah umur 3 bulan. Pada anak yang
lebih besar penyebaran infeksi secara hematogen sampai ke saluran kemih (pielonefritis akut)
adalah karakteristik dari bakteremia karena virulensi bakteri tersebut seperti S.aurenus,
P.aeruginosa, Seretia sp dan tuberkulosis. Bakteremia yang terjadi dari fokus primer yang
ada di saluran kemih disebut urosepsis. Pada kebanyakan anak dan orang dewasa diyakini ISk
akibat infeksi ascending dari orifisium uretra sampai ke ginjal.
E.coli sebagai flora kolon merupakan sumber organisme yang dapat
menyebabkan ISK tapi tidak semua tipe E.coli ini mempunyai kemampuan untuk
membentuk koloni dalam saluran kemih. Hanya bakteri yang mempunyai virulensi
uropatogenik yang dapat menyerang saluran kemih dengan anatomi normal. Sebaliknya
virulensi bakteri ini tidaklah penting sebagai penyebab ISK bila ada kelainan struktur anatomi
atau neurologi pada saluran kemih anak. Langkah pertama yang penting dalam patogenesis
ISk yang ascending terebut adalah ditemukannya kolonial E.coli uropatogenik di sekitar
periuretra atau di introitus vagina pada perempuan. Pada laki-laki ditemukannya kolonisasi
bakteri tersebut di daerah periuretra dan preputium. Mekanisme naiknya mikroorganisme
tersebut dari periuretra atau daerah vagina ke saluran kemih masih belum diketahui
sepenuhnya. Pada beberapa kasus ganguan fungsi kandung kemih yang turun temurun bisa
menyebabkan timbulnya kolonisasi dalam kandung kemih.
Dalam beberapa percobaan, telah dibuktikan bahwa bakteri dapat naik dari
kandung kemih ke ginjal dan menyebabkan pielonefritis akut, dalam percobaan tersebut
adanya obstruksi saluran kemih merupakan prasyarat naiknya bakteri ke ginjal.
Refluks vesiko ureter merupakan predisposisi untuk timbulnya pielonefritis akut
karena naiknya bakteri dari kandung kemih ke parenkim ginjal melalui ureter yang
mengalami refluks tersebut.
Faktor Pejamu dan ISK

Pada beberapa anak, predisposisi terjadinya ISK adalah karena adanya kelainan
anatomi kongenital atau yang didapat sedangkan pada anak yang lainnya kemungkinan
kelainan itu tidak ditemukan, walaupun sudah diteliti. Pada kelompok yang terakhir ini
diduga yang menjadi faktor predisposisi adalah virulensi bakteri atau karena kelainan
fungsional saluran kemih.
Beberapa faktor pejamu dan predisposisi terjadinya ISK
A. Faktor anatomi:
ℜ Refluks vesiko ureter dan refluks intrarenal
ℜ Obstruksi saluran kemih et causa benda asing dalam saluran kemih (kateter urin)
ℜ Duplikasi collecting system
ℜ Ureterokel
ℜ Divertikulum kandung kemih
o Meningkatnya perlekatan ke sel uroepitel
o Nonsecretors with P blood group antigens
o Nonsecretors with Lewis blood group phenotype
Pada anak yang normal, perlekatan dan proliferasi bakteri pada mukosa kandung
kemih dapat dicegah oleh adanya aliran urin yang deras dan adanya mekanisme pertahanan
lokan mukosa kandung kemih.
Mekanisme pertahanan lokal terhadap faktor pejamu yang berhubungan dengan
pencegahan perlekatan bakteri ke uroepitel :
ℜ Mekanisme pencucian karena aliran urin
ℜ Tamm-Horsfall protein
ℜ Interferensi bakteri oleh endogenous periurethral flora
ℜ Urinary oligosaccharides
ℜ Eksfoliasi spontan dari sel uroepitel
ℜ Urinary immunoglobulinx
ℜ Mukopolisakarida yang melapisi dinding kandung kemih
Mekanisme pertahanan lokal ini dapat terganggu bila ada kelainan anatomi
kongenital atau yang didapat dan dapat meningkatkan resiko terjadinya ISK. Secara
keseluruhan kelainan radiologik yang dapat ditemukan pada ISK hanya berkisar 40-50%.
Refluks vesiko ureter merupakan kelainan saluran kemih yang paling sering ditemukan pada
ISK, itupun hanya bisa ditemukan sekitar 30%. Adanya refluks mengakibatkan anak mudah
mendapat ISK dari urin yang terinfeksi tersebut, infeksi dapat naik ke parenkim ginjal. Pada
tempat refluks tersebut bakteri akan bertahan lama dan merupakan sumber infeksi dalam
saluran kemih.
Stasis urin karena adanya obstruksi saluran kemih dan adanya residu urin
merupakan faktor lainnya yang mempermudah bakteri tinggal lebih lama dan dapat
berproliferasi. Adanya divertikulum kandung kemih, ureterokel, lambatnya aliran urin pada
collecting system yang duplikasi mengakibatkan timbulnya nidus sehingga bakteri dapat lebih
lama tinggal dan berproliferasi dalam saluran kemih. Adanya benda asing dalam saluran
kemih seperti kateter juga memudahkan terjadinya ISK. Lebih dari 90% ISK nosokomial
pada anak yang dirawat disebabkan pemasangan kateter urin.
Bila tidak ditemukan adanya defek anatomi saluran kemih dianggap penyebab
resiko ISK adalah faktor pejamu. Melekatnya bakteri ke sel uroepitel merupakan prasyarat
untuk timbulnya kolonisasi bakteri. Sel uroepitel pada anak sangat rentan terhadap infeksi
karena memiliki kapasitas mengikat bakteri disebabkan oleh adanya reseptor pada sel
tersebut. Jadi pada anak yang mempunyai struktur anatomi saluran kemih yang normal,
timbulnya kerentanan terhadap infeksi karena sel uroepitelnya mempunyai kapasitas
mengikat bakteri yang masuk ke saluran kemih. Mekanisme molekular mengenai perlekatan
bakteri ini ke sel uroepitel tersebut masih belurn diketahui dengan pasti.

Virulensi Bakteri dan ISK


Selain faktor pejamu, virulensi bakteri juga menentukan lokasi anatomi
perjalanan ascending bakteri dari daerah periuretra. Bakteri E.coli tipe serologik O, K dan H
dapat diisolasi dari penderita dengan pielonefritis akut, sedang pada ISK asimptomatik
ternyata tipe tersebut tidak ditemukan. Faktor-faktor bakteri yang berhubungan dengan
virulensi uropatogenik dari E.coli adalah :
ℜ Mempunyai fimbria
ℜ Melekat ke uroepitel
ℜ Mempunyai serotipe O dan K
ℜ Menghasilkan hemolisin
ℜ Menghasilkan colistin V
ℜ Menghasilkan aerobactin
ℜ Resisten terhadap bactericidal action atau human serum
Sifat melekat E.coli merupakan hal yang penting dari organisme tersebut untuk
bertahan di saluran kemih dan menyebabkan ISK. Perlekatan antara bakteri dan sel uroepitel
diantarai oleh reseptor sel uroepitel dengan molekul protein dari bakteri yang disebut adhesin
yang berada pada permukaan bakteri tersebut. Pada bakteri E.coli adhesin terletak pada
ujung-ujung fimbria. Pili dengan ujung adhesin-nya. dapat melekatkan bakteri tersebut ke
permukaan sel uroepitel. Beberapa tipe pili dengan sifat adhesin-nya telah banyak diketahui
dari bakteri E.coli. pili tipe 1 dengan adhesin-nya dapat mengaglutinasi sel darah merah
mannut (glitinea pig). Aglutinasi ini dapat dihambat oleh adanya manosa. Pili tipe 1 atau
mannose-sensitive pili ini sering ditemukan pada E.coli yang mempunyai fimbria
(uropatogenik ataupun non-patogenik). E.coli yang melekat ke sel uroepitel dan
menyebabkan pielonefritis dapat mengaglutinasi sel darah merah manusia dan resisten
terhadap adanya manosa.
Adhesin yang ada pada pili E.coli ini bereaksi dengan sel uroepitel melalui
reseptor glikolipid dengan disakarida galaktosa a 1-4 galactose β. Pili seperti ini disebut
“Gal-gal pili” atau “P-fimbriae” dan dinamakan seperti itu setelah ditemukan adanya P-
antigen golongan darah yang juga mengandung glikosfingolipid yang sama dengan reseptor
dari sel uroepitel. P-fimbria dapat ditemukan pada 90% E.coli dari urin penderita
pielonefritis akut tanpa adanya obstruksi urin. Adanya P-fimbria dari E.coli dianggap sebagai
faktor virulensi bakteri pada sel uroepitel.
Penderita yang terinfeksi dengan E.coli yang melekat ke sel uroepitel (adhering
E.coli) akan menunjukkan gejala inflamasi sistemik dan renal yang nyata (leukosituria, c-
reaktif protein serum meningkat, laju endap darah meningkat) dibanding bila terinfeksi
dengan tipe yang tidak melekat (nonadhering strain). Bakteri yang melekat ke sel uroepitel
akan menghasilkan endotoksin dan lipopolisakarida lebih banyak dan langsung ke jaringan
ginjal.

MANIFESTASI KLINIS
ISK dapat berlangsung dengan gejala (simptomatis) atau tanpa gejala
(asimptomatis). Pada yang simptomatis, makin muda usia anak gejala klinis makin tidak
khas. Pada bayi baru lahir, gejala yang ditemukan dapat berupa demam, malas minum,
ikterus, hambatan pertumbuhan atau tanda-tanda sesis. Pada masa bayi, gejala sering berupa
panas yang tidak jelas penyebabnya, nafsu makan kurang, gangguan pertumbuhan, kadang-
kadang diare atau kencing yang sangat berbau. Pada usia prasekolah gejala klinis sering
berupa sakit perut, muntah, demam, sering kencing dan ngompol. Pada anak usia sekolah,
gejala spesifik makin nyata berupa ngompol, sering kencing, sakit waktu kencing atau sakit
pinggang.
Pada infeksi yang kronis atau kambuh berulang (recurrent) dapat terjadi tanda-
tanda gagal ginjal menahun atau hipertensi serta gangguan pertumbuhan. Infeksi yang
asimptomatis pada umumnya ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan rutin seorang
anak atau pada kegiatan penyaringan ISK anak sekolah.

DIAGNOSIS

Pada yang simptomatis, diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang


ditemukan dan dengan adanya jumlah bakteri yang bermakna dalam urin yang seharusnya
steril dengan atau tanpa disertai pluria. Bila ditemukan silinder leukosit maka kemungkinan
pielonefritis perlu dipikirkan.
Pemeriksaan laboratorium yang terpenting untuk menegakkan diagnosis ISK
ialah biakan urin dan pemeriksaan urin lengkap.

I. Biakan urin
Penampungan urin untuk pembiakan dapat dilakukan dengan 3 cara :
1. Urin pancaran tengah (midstream urine)
2. Kaleterisasi kandung kemih
3. Pungsi kandung kemih (supra pubic puncture, SPP)
Sebelum pengambilan contoh urin perlu dilakukan tindakan asepsis. Pada
pengambilan cara a dan b, genitalia eksterna dibersihkan dulu dengan air bersih atau larutan
sublimate 1%. Pada anak perempuan labia minora harus dibuka dan pada anak laki-laki
preputium perlu ditarik ke belakang pada saat pembersihan. Fungsi kandung kemih dilakukan
sebagai berikut : daerah suprapubis dibersihkan dengan larutan jodium 2 dan alkohol 70%.
Sebelumnya anak disuruh menahan kencing selama ±1 jam dan dianjurkan banyak minum.
Pungsi dilakukan dengan jarum semprit 5 atau 10 ml, pada tempat kira-kira 0,5-1 cm di atas
simfisis pubis.
Dengan cara a dan b, biakan urin dianggap positif atau bermakna bila didapat
jumlah kuman 100.000 atau lebih per-mililiter urin. Jumlah kuman antara 10.000 –
100.000/ml urin dianggap meragukan dan perlu diulang. Bila jumlah kurang dari 10.000/ml
urin maka hasil ini dianggap sebagai kontaminasi. Sebaiknya biakan urin dilakukan dua kali
berturut-turut agar didapat hasil yang lebih pasti (derajat kepastian 95%).
Hasil biakan urin dengan cara pengambilan pungsi kandung kemih dianggap
positif atau bermakna bila ditemukan 200 kuman atau lebih permilimeter urin. Hal lain yang
perlu diperhatikan adalah waktu antara pengiriman bahan dan penanaman dalam media
biakan. Bila urin dibiarkan dalam suhu kamar dalam setengah jam atau lebih maka kuman
akan cepat membiak sehingga akan memberikan hasil positif palsu. Bila urin tidak segera
dikirim ke laboratorium, maka harus disimpan pada suhu 4oC. Dengan cara ini urin dapat
disimpan selama 24-48 jam tanpa merubah jumlah kuman.
Cara lain yang lebih mudah dan sederhana untuk mendeteksi bakteri ialah dengan
pemeriksaan bakteriologis semi kuantitatif misalnya dengan micristix (Ames, co). Caranya
ialah dengan mencelupkan microstix ke dalam urin yang ditampung seperti pada biakan
konvensional, kemudian diinkubasi selama 24 jam. Dengan cara ini ternyata ditemukan
korelasi yang tinggi dengan hasil biakan konvensional dengan kepekaan sebesar 93,8% dan
spesifitas 95,5%.

II. Pemeriksaan urin lengkap


Bila pada pemeriksaan sedimen urin ditemukan piuria pada 50% kasus ISK.
Tidak ada korelasi yang pasti diantara piuria dan bakteriuria tetapi pada setiap kasus dengan
piuria haruslah dicurigai kemungkinan adanya ISK.

III. Pemeriksaan Radiologis


Pemeriksaan yang penting dilakukan ialah Piek’grafi Inlravena (P1V) dan
Miksio-sisto-uretrografi (MSU).
Kedua pemeriksaan tersebut sedapat mungkin dilakukan pada semua penderita
ISK. Pemeriksaan PIV dapat memberikan gambaran tentang kemungkinan terjadinya
pielonefritis kronis dengan melihat bentuk dan besamya kedua ginjal, adanya gambaran yang
asimetri antara kedua ginjal karena perbedaan bentuk dan ukurannya, kalises yang tumpul
dan atau melebar atau terbentuknya jaringan parut. Juga dapat ditemukan kelainan tanda-
tanda kongenital maupun kelainan obstruktif atau kelainan anatomis. Pada pemeriksaan MSU
dapat ditemukan tanda-tanda refluks vesiko ureter atau penyempitan pada muara uretra.
Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan ialah pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin darah
atau yang lebih teliti lagi bila diperiksa ureum clearence dan kreatinin untuk mengetahui
derajat fungsi ginjal.
KOMPLIKASI

Komplikasi yang sering terjadi pada ISK adalah parut ginjal, hipertensi dan
penurunan fungsi ginjal yang berakibat pada suatu kegagalan ginjal. 10% bayi dan anak yang
menderita ISK menderita kerusakan ginjal dan hanya 2% yang bilateral. Pada sebagian
penderita tersebut kerusakan gunjal dapal dicegah dengan pengobatan.
Sekitar 25% gagal ginjal tahap akhir pada anak disebabkan oleh pielonefrilis
kronis atrofik (nefropati refluks) akibat ISK berulang.
Satu dari 3 penderita kerusakan ginjal bilateral (renal scar) akan menjurus ke
hipertensi asimptomatik. Hipertensi ini akan berlanjut disertai penurunan fungsi ginjal dan
akhirnya menderita gagal ginjal kronik. Pada penderita ini paling sedikit 2 kali setahun harus
diperiksa tekanan darahnya sampai penderita dewasa. Kepada kedua orang tua dan kepada
penderita sendiri harus ditekankan pentingnya pemeriksaan tekanan darah paling sedikit 2
kali dalam setahun.

TATA LAKSANA
Dalam penanganan dan pengobatan perlu diketahui apakah infeksi terdapat pada
traktus urinarius bagian atas (ureter, pielum dan ginjal) atau hanya pada bagian bawah (vesika
urinaria dan uretra).
ISK bagian atas dianggap lebih berat karena dapat mengakibatkan kerusakan
ginjal. Membedakan kedua lokasi infeksi ini tidaklah mudah pada seorang anak terutama
bayi. Pemeriksaan langsung terhadap infeksi bagian atas dapat dilakukan dengan biakan urin
yang diambil dengan kateterisasi dari kedua ureter, namun hal ini jarang dilakukan pada anak
karena dapat bersifat traumatis. Pemeriksaan secara tidak langsung yang dapat memberikan
petunjuk ke arah ISK bagian atas adalah terdapatnya gejala demam, sakit pinggang, terdapat
silinder leukosit di urin, laju endap darah yang meninggi dan peninggian kadar C-reaktif.
Pemeriksaan lain yang lebih sukar ialah biakan urin dengan bladder washout
technique (penampungan urin setelah pencucian vesika urinaria dengan larutan aseptik),
antibody coated bacteria (pemeriksaan bakteri yang diliputi oleh antibodi) dan sebagainya.
Penurunan fungsi ginjal, hipertensi, azotemia dan terdapatnya parut ginjal (pyelonephritic
scarring) pada pemeriksaan radiologi menjurus pada ISK atas.
ISK bagian bawah biasanya lebih ringan, umumnya tanpa gejala demam dan
hanya ditandai degan gejala lokal seperti disuria, polakisuria aUoi kencing megedan. Pada
pemeriksaan sedimen urin sering ditemukan leukosit yang berkelompok.
A. Pengobatan sacara umum, yaitu terhadap panas, muntah, dehidrasi dan lain-lain.
Disamping itu anak-anak juga dianjurkan untuk banyak minum dan jangan menahan
kencing.
Pengobatan simptomatik terhadap keluhan sakit kencing dapat diberikan fenazopiridin
(pyridium) 7-10 mg/kgbb/hari. Disamping itu perlu juga mencari dan mengurangi atau
menghilangkan faktor predisposisi seperti obstipasi, alergi, investasi cacing dan
memperhatikan kebersihan perineum meskipun usaha-usaha ini kadang-kadang tidak
selalu behasil.

B. Pengobatan khusus
Penanggulangan ISK ditujukan terhadap 3 hal, yaitu :
 Pengobatan terhadap infeksi akut
 Pengobatan dan pencegahan infeksi berulang
 mendeteksi dan melakukan koreksi bedah terhadap kelainan anatomis, kongenital
maupun yang didapat pada traktus urinarins

1. Pengobatan infeksi akut


Pengobatan yang segera dan adekuat pada fase akut dapat mencegah atau
mengurangi kemungkinan timbulnya pielonefritis kronis. Pada keadaan berat atau panas
tinggi dan keadaan umum yang lemah, pengobatan segera dilakukan tanpa menunggu hasil
pembiakan urin dan uji resistensi kuman. Pada infeksi akut yang simpleks (uncomplicated
infection) diberikan antibiotika/kemoterapi oral. Obat yang sering dipakai sebagai pilihan
pertama ialah ampisilin, kotrimoksazol, asam nalidiksat dan nitrofurantoin. Sebagai pilhan
kedua dapat dipakai obat golongan aminoglikosid seperti gentamicin, sisomisin, amikasin dan
lain-lain, sefaleksin, doksisiklin dan sebagainya. Pengobatan diberikan selama 7 hari.

2. Pengobalan dan pencegahan infeksi berulang


Dalam pengamatan selanjutnya 30-50% penderita akan mengalami infeksi
berulang dan sekitar 50% diantaranya tanpa gejala. Oleh karena itu perlu dilakukan biakan
ulang pada minggu pertama sesudah selesai pengobatan fase akut, kemudian 1 bulan, 3 bulan
dan seterusnya setiap 3 bulan selama 2 tahun. Setiap infeksi berulang harus diobati seperti
pengobatan pada fase akut. Bila relaps atau reinfeksi terjadi lebih dari 2 kali, maka
pengobatan dilanjutkan dengan pengobatan profilaksis, dengan obat-obat antisepsis urin,
yaitu nitrofurantoin, kotrimoksazolsefaleksin atau metcnamin mandelat. Pada umumnya
diberikan seperempat dosis normal, satu kali sehari pada malam hari selama 3 bulan. Bila
ISK disertai dengan kelainan anatomis (ISK kompleks atau complicated urinary infection)
maka hasil pengobatan biasanya kurang memuaskan. Pemberian obat disesuaikan dengan
hasil uji resistensi dan dilakukan dengan terapi profilaksis selama 6 bulan dan bila perlu
sampai 2 tahun.
1. Koreksi pembedahan
Bila ada pemeriksaan radiologis ditemukan adanya obstruksi maka perlu stadiumnya. Refluks
stadium I sampai III biasanya akan menghilang dengan pengobatan terhadap infeksinya. Pada
stadium IV perlu dilakukan koreksi bedah yaitu dengan reimplantasi ureter pada kandung
kemih (ureteroneositostomi). Pada keadaan-keadaan tertentu misalnya pada pionefrosis atau
pada pielonefritis atrotlk kromk, tindakan nefrotomi kadang-kadang perlu dilakukan.
Antibiotik peroral :
• Amoxicillin 20-40 mg/kg/hari dalam 3 dosis. Sekitar 50% bakteri penyebab ISK
resisten terhadap amoxicillin. Namun obat ini masih dapat diberikan pada ISK dengan
bakteri yang sensitif terhadapnya
• Co-trimoxazole atau trimethoprim 6-12 mg trimethoprim/kg/hari dalam 2 dosis.
Sebagian besar ISK akan menunjukkan perbaikan dengan cotrimoxazole. Penelitian
menunjukkan angka kesembuhan yang lebih besar pada pengobatan dengan
cotrimoxazole dibandingkan amoxicillin.
• Cephalosporin seperti cefixime atau cephalexin. Cephalexin kira-kira sama efektif
dengan cotrimoxazole, namun lebih mahal dan memiliki spectrum luas sehingga dapat
mengganggu bakteri normal usus atau menyebabkan berkembangnya jamur (Candida
sp.) pada anak perempuan.
• Co-amoxiclav digunakan pada ISK dengan bakteri yang resisten terhadap
cotrimoxazole. Harganya juga lebih mahal dari cotrimoxazole atau cephalexin.
• Obat-obatan seperti asam nalidiksat atau nitrofurantoin tidak digunakan pada anak-
anak yang dikhawatirkan mengalami keterlibatan ginjal pada ISK. Selain itu
nitrofurantoin juga lebih mahal dari cotrimoxazole dan memiliki efek samping seperti
mual dan muntah.
PROGNOSIS

ISK tanpa kelainan anatomi mempunyai prognosis lebih baik bila dilakukan
pengobatan pada fase akut yang adekuat dan disertai pengawasan terhadap kemungkinan
infeksi berulang. Prognosis jangka panjang pada sebagian besar penderita dengan kelainan
anatomis umumnya kurang memuaskan meskipun telah diberikan pengobatan yang adekuat
dan dilakukan koreksi bedah, hal ini terjadi terutama pada penderita dengan nefropati refluks.
Deteksi dini terhadap adanya kelainan anatomis, pengobatan yang segera pada fase akut,
kerjasama yang baik antara dokter, ahli bedah urologi dan orangtua penderita sangat
diperlukan untuk mencegah terjadinya perburukan yang mengarah ke fase terminal gagal
ginjal kronis.

Anda mungkin juga menyukai