Anda di halaman 1dari 5

6 kiat merajut ukhuwah

PERJUANGAN Islam tidak akan tegak tanpa adanya ukhuwah islamiyah, begitu istilah yang sering kita
dengar. Sayangnya, menjadikan persaudaraan dalam Islam dan iman sebagai dasar bagi aktifitas
perjuangan untuk menegakkan agama Allah di muka bumi bukan sesuatu yang mudah, seolah membalik
telapak tangan.
Yang banyak terjadi adalah sebaliknya. Perpecahan di kalangan umat yang disebabkan pada hal-hal tidak
subtansial.

Oleh karena itu untuk mencapai nikmatnya ukhuwah, perlu kita ketahui beberapa proses terbentuknya. Dr.
Abdul Halim Mahmud dalam bukunya "Merajut Benang Ukhuwah Islamiyah" merinci satu persatu
permasalahan itu, sebagai berikut:

Ta'aruf

Kata ta'aruf berarti saling mengenal. Hendaknya seorang Muslim mengenal saudaranya yang seiman,
menyangkut nama, nasabnya dan status sosialnya. Di samping itu, kenalilah juga apa yang disukai dan
yang tidak disukainya. Mengenal secara baik karakteristik saudara kita, akan menjadi kunci pembuka hati
persaudaraan.

Banyak orang bersahabat pecah karena di antara mereka tidak mengenal apa-apa yang disukai dan apa-
apa yang tidak disukai. Sering seseorang berkata, melakukan tindakan yang dinilainya sudah benar,
padahal hal itu justru menyakiti hati saudaranya. Itulah fungsi ta’aruf.

Ta'aluf

Ta'aluf adalah menyatunya seorang Muslim dengan saudaranya sesama Muslim. Bahwa semangat
bersatu kepada saudara seiman dan seakidah hendaknya menjadi jiwa Muslim.

Rasulullah bersabda,"Orang mukmin itu mudah disatukan. Tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak bisa
menyatu dan tidak bisa mempersatukan." (HR.Imam Ahmad

Tafahum

Tafahum adalah sikap saling memahami antara seorang Muslim dengan saudaranya sesama Muslim.
Dengan menciptakan kesepahaman dalam prinsip-prinsip pokok ajaran Islam (ushuluddin), lalu hal-hal
yang berkaitan dengan masalah cabang (furu'iyyah).

Kita sering bertengkar pada urusan furu’ (hal cabang), padahal pada urusan lebih penting, yang pokok-
pokok sudah sama.

Bahkan untuk urusan yang furu’ ini energi kita tiada habis-habisnya saling bantah-menbantah. Kita
diperingatkan oleh Allah SWT agat tidak saling berbantah-bantahan. "Tatalah kepada Allah dan Rasul-Nya
serta janganlah berbantah-bantahan yang akan mengakiibatkan kalian menjadi gentar dan hilang kekuatan
kalian." (QS.Al-Anfal:46)

Ri'ayah dan Tafaqud

Ia adalah sikap respek seorang Muslim dengan yang lainnya. Bila saudaranya membutuhkan bantuan,
maka tanpa dimintanya segera bergegas memberikan bantuannya sesuai dengan kemampuannya.

Termasuk dalam pengertian ri'ayah dan tafaqud adalah menutupi aibnya, serta berusaha menghilangkan
rasa cemasnya.

Nah, yang ada di sekitar kita justru sebaliknya. Di media sering kita perhatikan, banyak orang justru
membuka aib saudaranya, padahal  Islam memerintahkan kita menutupinya.

Hal-hal seperti ini juga akan menjadi luka dan melukai perasaan yang lain. Akibatnya, di antara mereka
menjauhi kita yang berakibat hubungan menjadi tidak dekat dan kurang harmonis.
Ta'awun

Ta'awun berarti saling membantu. Allah SWT memerintahkan kita untuk saling membantu melaksanakan
kebaikan (al-birr), dan meninggalkan kemunkaran (at-taqwa). Dengan ber-ta'awun yakni memberi petunjuk
kepada saorang Muslim untuk mendapatkan ridha Allah, serta melakukan amal sholeh lebih berharga dari
pada memperoleh suatu yang sangat istimewa.

Adalah kisah yang patut jadi contoh kita semua. Ketika media ini menulis hubungan Jamaah Tabligh (JT)
dan Salafi terjadi di Pesantren Al Fatah, Temboro , Magetan Jawa Timur. 

Di pesantren basis Jamaah Tabligh ini, Salafi dan JT dan Salafi justru tampak ‘mesra’ dan menjalin
hubungan bisnis yang baik.

“Dalam hal kejujuran, teman-teman Salafi bisa dipercaya,” kata Ustadz Ubaidillah Ahror, salah seorang
putra pendiri Temboro yang akrab dipanggil Gus Ubeid kepada hidayatullah.com.

Sungguh indah jika umat Islam bisa berbisni dan memberikan kesempatan peluang usaha pada
teman/saudara seiman yang paling dekat dibanding memberikan peluang itu kepada orang lain yang tidak
seiman meski andaikata untuk membeli di orang lain lebih murah harganya.

Alangkah indah jika semuah ormas Islam atau harakah Islam bisa bersikap seperti ini. Mereka lebih suka
berhubungan dengan saudaranya sendiri, dibanding orang lain.Itulah semangat ukhuwah.

Rasulullah Saw bersabda, "Demi Allah, jika Allah memberi hidayah kepada seseorang karena dakwah
yang kau sampaikan kepadanya, sungguh hal itu lebih baik bagimu daripada unta merah.." (HR.Abu
Dawud)

Tanashur

Langkah ukhuwah yang terakhir ini adalah sejenis dengan ta'awun.Hanya pengertian tanashur lebih
mendalam dan lebih luas lagi, bahkan di sana menggambarkan semangat cinta dan loyalitas.

Tanashur memiliki makna:

-Tidak menjerumuskan saudaranya kepada sesuatu yang buruk


-Mencegah sudaranya agar tidak tergelincir dalam tindak dosa dan kejahatan
-Menolongnya menghadapi setiap orang yang menghalanginya dari jalan kebenaran, hidayah dan dakwah.
-Membrikan pertolongan kepada orang yang dizhalimi maupun yang menzhalimi (mencegah perbuatan
zhalim) tersebut.
Jika kunci-kunci itu bisa kita laksanakan, maka kita akan mendapatkan apa yang pernah dijanjikan Allah
atas semua hal itu.

Dalam sebua hadits disebutkan,  ada sebanyak 7 golongan yang mendapatkan perlindunganNya dihari
kiamat. 

"Di antara yang kelompok itu adalah dua orang yang menjalin cinta karena Allah,berkumpul karena Allah
dan berpisah karena Allah juga." (HR. Ibnu Hibban dari Anas ra.).

Semoga kita termasuk dari bagian yang dijanjikan itu, dan bisa menjadi sosok yang mencintai saudaranya
karena Allah dan karena iman. */Tamrin

Rep: Administrator
Red: Cholis AkbarShare | abu, 20 April 2011

Jangan biarkan saudara kita teresat


SEBUAH kerusakan terjadi tatkalah keburukan itu didiamkan oleh orang yang berilmu. Hal ini yang terjadi
di kalangan Bani Israil dahulu. Seperti yang pernah diceritakan oleh Ibnu Mas’ud, Bani Israil kehilangan
petunjuk ketika para ulamanya mulai melegalkan kemungkaran umatnya.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah SAW  bersabda: "Ketika kaum Bani Israil sudah terjerumus
dalam berbagai kemaksiatan, para ulama mereka sesungguhnya telah memberi peringatan tentang
larangan itu. Bani Israil tetap saja, dan para ulamanya  tidak berusa lagi menghentikan perbuatan mereka
itu. Kemudian alim ulama tadi berkawan dengan mereka dalam duduk, makan dan minumnya, tidak peduli
lagi dengan larangan itu dan menyetujui kemungkaran yang dilakukan mereka.

Karana itu Allah lalu memberi rasa saling membenci hati di antara mereka (ulama dan kaum Bani Israil)
serta  melaknat mereka. Yang sedemikian itu adalah karana mereka telah melanggar aturan".

Kemudian Rasulullah SAW duduk dan bersandar, lalu meneruskan sabdanya: "Janganlah kamu seperti
mereka. Demi Zat yang jiwaku ada di dalam genggaman kekuasaan-Nya. Laknat itu pasti datang,
sehingga engkau semua mengembalikan orang-orang yang berbuat kemungkaran itu kepada kebenaran
yang sesungguh-sungguhnya." (HR. Turmudzi dan Abu Dawud).

Para ulama bani Israil itu terimbas kerusakan bahkan akhirnya jatuh di dalamnya, karena melegalkan
kemaksiatan dan enggan menganjurkan perbuatan ma’ruf. Dari lisan dan perbuatan mereka itu tidak keluar
kata-kata larangan sama sekali, sehingga para bani Israil kehilangan petunjuk (Maroh Labid Li Kasyfi
Ma’na al-Qur’an al-Majid Juz I hlm 287).

Pada mulanya para ulama itu telah memberi peringatan, akan tetapi mungkin mereka tidak istiqamah. Tapi
justru lambat laun berkawan dan akhrinya membenarkannya. Itulah akibatnya jika ridla terhadap
kemaksiatan dibiarkan terus dalam hati.

Seperti peringatan Rasulullah SAW bersabda:”Barangsiapa ridla terhadap perbuatan kaum, maka dia
bagian dari mereka.”(HR. Ibn Hajar dalam Mathalib al-‘Aliyah). Ridla terhadap kemaksiatan saudara
tidaklah dapat diartikan kita menyayangi mereka.

Ridla dalam bentuk ini justru bukan cinta tapi sebaliknya, yaitu membencinya. Tidak mungkin kita
jerumuskan pada kerusakan orang-orang yang kita cintai.

Sebab tanda mencintai sesama itu dengan saling berwasiat kepada kebaikan dan mencegah dari
kemungkaran. "Orang-orang mu'min lelaki dan orang-orang mu'min perempuan itu, setengahnya adalah
kekasih setengahnya, kerana mereka memerintah dengan kebaikan dan melarang dari kemungkaran."
(QS. al-Taubah: 71).

Etika Mencintai Saudara

Rambu-rambu Islam telah mengajarkan bahwa, hak dan kewajiban persaudaraan itu diikat oleh syari’ah.
Dalam kitab Minhaj al-Muslim diatur etika persaudaraan yang didasari oleh rasa kemanusiaan dan
keta’atan pada hukum. Di antara etika dan hak persaudaraan itu antara lain;

Pertama. Membantu dengan dana jika membutuhkan. Setiap saudara harus membantu saudaranya
dengan dana jika saudaranya memerlukannya. Diriwayatkan, Abu Hurairah ra bahwa ia didatangi
seseorang yang kemudian berkata, "Aku ingin bersaudara denganmu karena Allah, tahukah engkau apa
hak persaudaraan?" Abu Hurairah berkata, "Tolong jelaskah hak persaudaraan kepadaku." Orang tersebut
berkata, "Engkau tidak merasa lebih berhak atas dinarmu, dan dirhammu daripada aku." Abu Hurairah
berkata, "Aku belum bisa sampai pada tingkatan itu." Orang tersebut berkata;”Kalau begitu, pergilah
engkau dari sini”.

Kedua. Mengutamakan saudaranya daripada dirinya sendiri, memeriksa kondisi saudaranya sebagaimana
ia memeriksa kondisi dirinya, lebih mengutamakan saudaranya daripada dirinya sendiri atau keluarganya
atau anak-anaknya, menanyakannya setidaknya dalam setiap tiga hari.

Ketiga. Menjaga lisan dengan tidak membeberkan aib saudaranya.  Tidak membongkar rahasianya, dan
tidak berusaha mengetahui rahasia-rahasia diri saudaranya. Jika ia melihat saudaranya di salah satu jalan
untuk satu kebutuhan, maka ia tidak menyuruhnya menyebutkan kebutuhannya tersebut, dan tidak
berusaha mengetahui sumbernya.
Keempat. Menyeru saudaranya kepada kebaikan dengan lemah-lembut, melarangnya dari kemungkaran
dengan lemah-lembut. Mengindari perdebatan yang mencelakakan. Mengeluarkan ucapan-ucapan yang
kotor dan sebagainya.

Kelima. Memberi sesuatu yang dicintai saudaranya dan lisannya dengan memanggilnya dengan nama
yang paling ia sukai, menyebutkan kebaikannya tanpa sepengetahuannya atau di depannya,
menyampaikan pujian orang kepadanya sebagai bentuk keiriannya kepadanya dan kebahagiaannya
dengannya, tidak menasihati berjam-jam hingga membuatnya gerah, dan tidak menasihati di depan umum
karena hal mi mencemarkan nama baiknya.

Imam Syafi'i r.a berkata, "Barangsiapa menasihati saudaranya secara rahasia, sungguh ia telah
menasihatinya dengan baik, dan menghiasinya. Dan barangsiapa menasihati saudaranya dengan terang-
terangan, sungguh ia telah mencemarkan nama baiknya”.(Dikutip dari Minhaj al-Muslim).

Menjaga Agama

Jadi, etika mencintai saudara yang benar itu adalah tidak hanya menjaga harta dan jiwanya tapi juga
agamanya. Inilah bentuk kasih-sayang yang sesungguhnya. Jika hanya harta dan jiwa yang kita relakan
sementara agama tidak diindahkan, maka kita sesungguhnya itu belum berkasih-sayang yang sebenarnya.
Bahkan bisa sebaliknya.

Maka, menasehati dalam masalah agama merupakan bentuk kasih-sayang yang benar. Membetulkan
yang salah, dan memberi tahu kepada yang masih awam.
Nasihat agama yang utama yang perlu kita sampaikan kepada saudara kita adalah nasihat yang
berhubungan dengan hal-hal takwa kepada Allah SWT dan perkara akhirat.

Seperti yang pernah dipraktikkan oleh Rasulullah SAW kepada sahabatnya. Dari al-'Irbadh bin Sariyah r.a.,
katanya: "Kita semua diberi nasihat oleh Rasulullah SAW. berupa suatu nasihat sehingga karena
mendengar nasihat itu semua hati kita menjadi takut dan semua mata dapat mengalirkan air mata." (HR.
Tirmidzi dalam Riyadlu al-Shalihin hadis no. 700).

Menurut Imam al-Qurtubi, hubungan persaudaraan sesama muslim itu terbentuk dengan tiga faktor utama.
Yaitu, dilandasi oleh rasa bersama seperti saudara senasab dalam kasih saying, kedua, tolong menolong
dan saling membantu dan ketiga saling memberi nasehat agama (Khasyiyah al-Muwaththa dalam Kitab
Khusnul Khuluq).

Faktor pertama dan kedua merupakan pilar yang didasari oleh rasa kemanusiaan. Sebagai satu darah dan
satu jiwa. Dua aspek kemanusiaan ini kemudian disempurnakan dengan pilar ketiga, yaitu nasihat untuk
menjaga agamanya.

Sebagai bentuk solidaritas yang memiliki  jiwa yang disatukan oleh iman. Ketiga-tiganya saling
menguatkan dan berkesinambungan. Jika pilar ketiga itu hilang, maka hubungan persaudaraan itu menjadi
kecintaan yang semu.

Tiga pilar standar dalam persaudaraan itulah yang menjadi salah satu elemen pertanda kesempurnaan
iman. Seperti disabdakan oleh Rasulullah SAW: "Demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya, seorang
hamba tidak beriman (yang sempurna) sehingga ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia mencintai
untuk dirinya sendiri dari kebaikan” (HR. Bukhari).

Oleh sebab itu, termasuk bagian dari pilar ketiga adalah membenci perbuatan saudaranya untuk berbuat
kemaksiatan. Yang dibenci bukan persoanalnya akan tetapi perbuatan buruk itu. Maka, kita mesti
berusaha mengeluarkan perbuatan itu dari kemaksiatan. Hal ini semua menunjukkan, cinta dan benci itu
mestilah karena Allahbukan atas ego pribadi.

Seperti ungkapan Rasulullah SAW: "Ikatan iman yang paling kuat adalah: loyalitas karena Allah SWT dan
saling memusuhi karena Allah SWT, cinta karena Allah SWT dan benci juga karena-Nya." (HR. Bukhari).
Maka, cintailah saudara dengan nasihat agama dan menolongnya dari kesesatan. Wallahu a’lam
bisshowab.*/Kholili Hasib
Rep: Kholili Hasib
Red: Cholis Akbar

Anda mungkin juga menyukai