Anda di halaman 1dari 11

Sikap dan Pandangan Filosofis Muthahari terhadap

Sains modern*
Prolog
Masuknya sains modern ke dalam dunia Islam pada permulaan abad ke-19 diiringi
bermacam-macam reaksi. Namun demikian, kandungan filosofisnyalah, dan bukan oleh
sains modern itu sendiri, yang mempengaruhi pandangan-pandangan kaum intelektual
Muslim. Karena itu, kita bisa mendengar sikap yang berbeda-beda di seantero dunia
Islam. Di sini kita membagi reaksi kaum intelektual tersebut ke dalam empat aliran besar:

(1) Kelompok minoritas ulama yang enggan bersentuhan dengan sains modern, karena
menganggap sains modern bertentangan dengan ajaran agama Islam. Bagi mereka,
masyarakat Islam harus mengikuti ajaran Islam dengan ketat dan mengharuskan umat
Islam memiliki sainsnya sendiri.

(2) Kelompok intelektual Islam yang mengadopsi habis-habisan sains modern dan
mengkampanyekan pandang dunia yang bersifat empiris. Menurut mereka, menguasai
sains modern merupakan satu-satunya solusi untuk melepaskan dunia Islam dari stagnasi.
Mereka memandang sains modern sebagai satu-satunya sumber pencerahan yang sejati.

(3) Sejumlah ilmuan Muslim yang mengakui peran sentral sains modern terhadap
kemajuan Barat dan menganjurkan asimilasi sains modern, meskipun tetap menaruh
perhatian terhadap masalah-masalah keagamaan. Kelompok ini terdiri dari mayoritas
intelektual Muslim yang dapat dibagi lagi sebagaimana berikut:

• Sejumlah pemikir Muslim, seperti Seyyed Jamal al-Din dan Rasyid Rida, berusaha
memberi justifikasi terhadap sains modern berdasarkan landasan keagamaan. Mereka
memandang sains modern sebagai kelanjutan dari sains yang dihasilkan peradaban Islam
masa lalu. Oleh karenanya, mereka menganjurkan umat Islam mempelajari sains modern
agar dapat menjaga independensi mereka dan melindungi dari kritisisme kaum orientalis
dan sejumlah intelektual Muslim [yang sekuler].

• Sejumlah pemikir berusaha melacak semua penemuan sains yang penting di dalam Al-
Qur’an dan hadis. Motif mereka adalah untuk menunjukkan keselarasan sains modern
dengan ajaran Islam dan membuktikan bahwa temuan-temuan sains modern dapat
digunakan untuk menjelaskan berbagai aspek keimanan. Kelompok ini yakin bahwa
beberapa hasil yang telah dicapai oleh sains modern telah disebutkan terlebih dahulu oleh
Al-Qur’an dan Nabi Muhammad pada empat belas abad yang lalu, sebagai bukti
keistimewaan wahyu kenabian. Pandangan semacam ini masih tetap hidup di beberapa
masyarakat Muslim.

• Para ulama berusaha mereinterpretasi sejumlah isu-isu teologi Islam dalam perspektif
sains modern. Ulama India, Sir Seyyed Ahmad Khan, menggulirkan teologi alam untuk
mereinterpretasi prinsip-prinsip dasar agama Islam dalam bingkai sains modern
sebagaimana dapat disaksikan dalam tafsir Al-Qur’annya.
(4) Terakhir, para filsuf Islam yang membedakan antara penemuan sains modern dengan
pandangan filosofis sains modern tesrebut. Karena itu, meskipun mereka menganjurkan
pencarian rahasia-rahasia semesta melalui ekperimentasi dan teori-teori ilmiah, mereka
juga bersifat kritis terhadap berbagai penafsiran empiristik dan materialistik yang
mengatasnamakan sains. Dalam pandangan mereka, pengetahuan ilmiah memang dapat
mengungkapkan beberapa aspek dunia fisik, namun sains saja per se, tidak dapat
memberikan gambaran sempurna tentang realitas. Sains harus dikombinasikan dengan
pandang dunia Islam agar memperoleh gambaran komprehensif mengenai realitas.
Ayatullah Muthahhari merupakan penganjur terkemuka pendapat ini.

Sikap Muthahhari terhadap Sains Modern


Sementara sejumlah ulama sibuk mengadaptasikan Al-Qur’an dan hadis dengan
penemuan sains modern, Muthahhari lebih memperhatikan masalah-masalah fundamnetal
dalam sains yang dapat menimbulkan persilangan pendapat antara para ilmuwan dan para
ulama. Ia percaya bahwa pandangan filosofis terhadap ilmu lebih sering menjadi sumber
konflik daripada ilmu itu sendiri. Oleh karenanya, Muthahhari senantiasa mencari
asumsi-asumsi filosofis yang tersembunyi dalam berbagai argumen. Seperti
komentarnya:

Dalam mempelajari karya-karya setiap ilmuan, saya selalu melacak akar pemikirannya
dalam rangka memahami mengapa seorang ilmuan, berdasarkan refleksi filosofisnya
mengenai suatu masalah, memilih jalan tertentu dalam memulai dan menyimpulkannya?
Postulat apa yang diandaikannya begitu saja sebelum berpendapat ini dan itu?[1]

Dalam pandangan Muthahari, kesalahpahaman ilmuan juga memberikan kontribusi besar


pada berkembangnya konflik tersebut. Di sini, kami akan menyebutkan beberapa masalah
utama yang meningkatkan konflik antara ilmu dan agama, sekaligus mengelaborasi cara
Ayatullah Muthahhari mendekati masalah ini.

1. Argumen Keteraturan
Sebagaimana yang telah kami sebutkan, bersamaan masuknya sains modern ke dalam
dunia Islam, sebagian ilmuan Muslim mengatakan bahwa teologi sekalipun harus tunduk
pada metode-metode sains yang bersifat empiris, dan bahwa sains merupakan satu-
satunya jalan menuju Tuhan. Ayat-ayat Al-Qur’an mengenai fenomena-fenomena alam
dijadikan argumen kememadaian (self-sufficiency) metode ilmiah. Bahkan ada pula
ilmuan yang mengidentikkan kearifan Al-Qur’an dengan Positivisme.[2]

Mengenai hal ini, Muthahhari mengakui bahwa observasi dan eksperimentasi merupakan
piranti penting untuk memahami alam, namun ia tidak yakin terhadap kememadaian
inderawi. Menurutnya, hasil kerja intelektual sangatlah diperlukan sebelum seseorang
memberikan interpretasi teistik terhadap dunia. Sains empiris juga mengakrabkan kita
dengan karya-karya Tuhan, bahkan kesimpulan tentang kemahatahuan dan
kemahakuasaan Tuhan berdasarkan kajian mengenai alam, pun membutuhkan penalaran
intelektual. Lompatan dari yang terbatas (finitum) kepada yang tak terbatas (infinitum)
mensyaratkan penalaran. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Muthahhari:
Membuktikan adanya Tuhan dengan menunjukkan adanya “keteraturan dan arah” [alam
semesta] memang cara yang baik. Namun teori itu hanya berfungsi untuk menyadarkan
kita bahwa alam semesta ini … berada di bawah pengawasan kekuatan yang
berpengetahuan, yang mengaturnya …. Paling tidak, sains memberi tahu kita pencipta
semesta ini memiliki pengetahuan tentang sesuatu yang dibuatnya, tapi bisakah sains
membuktikan bahwa ‘Dia mahamengetahui segala sesuatu’ (Q.S. 57:3).[3]

Ternyata hukum-hukum fisika dan kimia juga tidak murni fakta-fakta empiris.
Kesimpulan-kesimpulan keduanya juga sangat membutuhkan pengolahan intelektual.
Konsep materi, misalnya, merupakan kesimpulan intelektual, sebab eksperimen hanya
memberikan sifat-sifat materi tersebut kepada kita [dan bukan totalitasnya].

Berkenaan dengan teori keteraturan, Muthahhari berpandangan bahwa setiap orang


dihadapkan pada dua model keteraturan: keteraturan yang berkaitan dengan sebab efisien
(the efficient cause) dan keteraturan yang berkaitan dengan sebab final (the final cause).
Jika yang pertama hanya menunjukkan rangkaian sebab-akibat, maka yang terakhir
mengisyaratkan adanya pengetahuan dan pilihan dalam menentukan sebab efisien.
Karena itu, keteraturan yang terlihat di dunia merupakan perwujudan model keteraturan
yang kedua, dan keteraturan semacam itu merujuk kepada alam metafisik. Sayangnya,
menurut Muthahhari, kebanyakan orang tidak membedakan dua hal ini.[4]

Menurut Muthahhari, argumentasi keteraturan yang digunakan untuk membuktikan


eksistensi Tuhan pada hakikatnya memiliki unsur empiris dan teoretis sekaligus.
Mengabaikan hal ini telah membuka jalan bagi kritisisme terhadap argumentasi
keteraturan. Manfaat argumentasi keteraturan adalah ia menunjukkan kita batas-batas
antara fisika dan metafisika. Ia menunjukkan adanya realitas supernatural. Namun, teori
itu sama sekali tidak mengatakan sifat dasar realitas supernatural dan apakah ia terbatas
ataukah tidak.

2. Teori Evolusi Darwin


Darwin menolak ide tentang kepermanenan spesies (the fixity of species) dan
memproklamirkan ide evolusi spesies. Dia menegaskan idenya itu dengan teori
mekanisme seleksi alam (the mechanism of natural selection) dan teori bertahan hidup
bagi yang paling kuat (the survival of the fittest). Kaum Darwinian berusaha menjelaskan
kehidupan dengan proses untung-untungan (the chance processes) dan karena itu
menyangkal peran keteraturan penciptaan. Keteraturan yang kita lihat dalam kehidupan
dunia mereka anggap sebagai hasil dari peluang dan seleksi alam. Hal itu antara lain
disampaikan oleh Richard Dawkins di acara yang dipandunya di BBC2 pada tahun 1987:

Proses untung-untungan dalam seleks alam yang berjalan selama ribuan tahun memiliki
cukup energi untuk menghasilkan keajaiban seperti dinosaurus dan diri kita.[5]

Kaum Darwinian bermaksud menghilangkan peran Sang Pencipta. Yang mereka lupakan
adalah: memperkenalkan mekanisme bagi sesuatu [penciptaan] tidak serta-merta
menegasikan peran pencipta. Kemunculan suatu spesies mestinya dijelaskan apakah ia
terjadi secara gradual atau tiba-tiba. Sebagaimana ditunjukkan Abu Al-Majd Muhammad
Rida al-Najafi al-Isfahani, seorang intelektual muslim terkemuka awal abad ke-20, teori
evolusi tidak bertentangan dengan paham ketuhanan. Hanya penafsiran materialistik dari
teori ini yang menegasikan Tuhan.[6]

Dalam beberapa dekade belakangan, para eksponen Darwinisme yang ateis sibuk
mengajukan ketidaksesuaian antara teori evolusi dengan paham ketuhanan. Komentar
Dawkins menggambarkan pertentangan tersebut berikut ini:

Akhirnya, hanya [teori tentang] Tuhan dan seleksi alam yang bisa menjelaskan mengapa
kita tercipta.[7]

Namun, Dawkins yakin bahwa teori Darwin telah membuat kepercayaan pada Tuhan
menjadi tampak sia-sia:

Kendati teisme dapat bertahan sebelumnya, namun Darwin dapat membuatnya menjadi
pandangan intelektual yang benar-benar ateistik.[8]

Dawkins tidak melihat adanya kesesuaian antara teori seleksi alam dengan keberadaan
Pencipta alam. Dalam kuliahnya tahun 1884, Uskup Agung Fredrick Temple menjelaskan
duduk perkaranya dengan baik:

Apa yang dimaksudkan oleh doktrin (Evolusi) bukanlah bukti tentang penciptaan alam
semesta, namun lebih pada cara penciptaan terjadi …. Dalam suatu kasus, Sang Pencipta
menciptakan binatang-binatang seketika seperti yang ada sekarang, namun dalam kasus
lain, Sang Pencipta menciptakannya melalui unsur-unsur materi … yakni kekuatan-
kekuatan yang terkandung di dalamnya, sehingga seiring perjalanan waktu, makhluk-
makhluk berkembang seperti yang ada sekarang.[9]

Muthahari sepenuhnya sadar akan kerancuan ini. Dalam kuliahnya di Islamic Association
of Physicians, Teheran, Muthahhari (1968) menegaskan bahwa baik secara filosofis
maupun teologis, tidak ada hubungan antara teori penciptaan spontan ataupun gradual,
dengan kepercayaan kepada Tuhan. Kesalahanpahaman ini merupakan akibat kesalahan
dari abad ke-19 ketika orang melihat adanya korelasi antara kepercayaan kepada Tuhan
dengan “teori kepermanenenan spesies”. Bagaimanapun juga, tidak ada kesenjangan
logika antara kepercayaan kepada Tuhan dengan teori evolusi. Namun Muthahhari
menegaskan bahwa hukum-hukum evolusi Darwinian tidaklah cukup untuk menerangkan
proses evolusi spesies. Evolusi harus dilengkapi dengan hukum-hukum metafisik.[10]

Muthahari mengklasifikan dua kelompok yang memberi kontribusi pada berkembangnya


tesis mengenai pertentangan antara paham ketuhanan dengan ide evolusi spesies.
Kelompok pertama terdiri dari kaum beriman yang menyerang ide evolusi spesies karena
menganggapnya bertentangan dengan agama mereka. Sedangkan kelompok kedua terdiri
dari para materialis yang menggulirkan teori evolusi untuk melepaskan diri dari ide
eksistensi Tuhan.[11]
Menanggapi orang-orang yang melihat adanya pertentangan antara cerita tentang Adam
yang terdapat dalam Bibel dan Al-Qur’an, dengan teori evolusi, Muthahhari setuju
dengan pandangan yang mengaggap Adam tidak harus menjadi manusia pertama. Lebih
tepat jika kemunculan Adam dianggap menandai tahap maju dalam perkembangan
manusia. Cerita tentang Adam dalam Al-Qur’an merupakan pelajaran-pelajaran moral:

Cerita tentang Adam memang ada dalam Al-Qur’an, namun cerita itu tidak memuat
sedikit pun masalah pengakuan terhadap eksistensi Tuhan atau tauhid. Cerita itu
sebenarnya diungkapkan untuk mengajari kita tentang akibat kesombongan setan dan
kealpaan Adam. Akan tetapi, cerita penciptaan manusia [secara umum] itulah yang
dimaksudkan untuk mengajari kita tentang monoteisme.[12]

3. Masalah Kehidupan
Persoalan jiwa dan raga, dan hubungan di antara keduanya merupakan permasalah lama.
Seiring perkembangan dan popularitas teori evolusi dan filsafat materialistik, para ilmuan
berusaha terus-menerus untuk mengkaitkan segala sifat-sifat kehidupan dengan proses
psiko-kimiawi, guna mengesampingkan konsep jiwa. Muthahhari, dalam hal ini,
mengakui pengaruh proses psiko-kimiawi bagi kehidupan, sekaligus menganggapnya
tidak memadai. Radio, misalnya, memang penting untuk menerima sinyal yang dikirim
transmiter, namun ia bukan segala-galanya. Untuk lebih jelasnya, Muthahhari
mengatakannya sebagai berikut:

Sintesa, penjumlahan, pengurang, dan pengombinasian bagian-bagian materi merupakan


syarat-syarat yang dibutuhkan untuk memunculkan efek-efek kehidupan, namun itu
semua tidaklah cukup.[13]

Menanggapi pendapat yang mengatakan manusia dapat memproduksi efek-efek


kehidupan Muthahhari berpendapat:

Tatkala kemampuan menghadirkan kehidupan dihasilkan oleh materi, [sebenarnya]


Tuhanlah yang menganugrahinya kehidupan. Dengan kata lain, materi dalam gerak
perkembangannya, menjadi hidup. Ia mendapatkan kesempurnaannya yang masih
kurang, dan menghasilkan efek dan aktivitas yang sebelumnya jauh dari kesempurnaan.
[14]

Pandangan ini sesuai dengan ajaran Al-Qur’an yang mengatakan bahwa kehidupan ini
merupakan anugerah Tuhan. Muthahhari menegaskan:

Mustahil jika kondisi-kondisi pemberian jiwa [oleh Tuhan] ada, tapi tidak ada kehidupan.
Bukankah Tuhan Mahakuasa, Mahasempurna, dan Mahapemurah kemudian disaingi oleh
manusia? Seandainya suatu ketika manusia mencapai hal ini, apalagi yang harus mereka
siapkan, jika bukan menciptakan kehidupan.[15]

Muthahhari juga mengkritisi kaum beragama yang menggali asal-muasal kehidupan


hanya demi mengaitkannya dengan Tuhan. Bagi Muthahhari, mereka mencari-cari Tuhan
yang hilang (God of gaps), yakni mencari Tuhan yang cocok untuk mengisi kebodohan
manusia:

Di sini kami ingin mencari alasan mengapa orang-orang yang bertuhan itu mencari asal-
muasal kehidupan untuk mengkaitkan kemurnian kehidupan itu dengan kehendak Tuhan.
Padahal, Al-Qur’an dalam pandangan monoteistiknya, sama sekali tidak mengikuti
metode semacam itu. Al-Qur’an menganggap hidup … sebagai hasil dari kehendak
langsung Tuhan. Al-Qur’an, dengan kata lain, sama sekali tidak membedakan asal-
muasal kehidupan dengan kelanjutannya …. Selain itu, kita tidak boleh lupa akan
perbedaan fundamental antara logika Al-Qur’an dengan logika lain. Namun, sayangnya,
kaum beragama itu tetap saja mencari Tuhan dari sisi gelap pengetahuan mereka.
Sehingga tak mengherankan jika mereka sering kali mengkaitkan kebodohan mereka
kepada Tuhan, tatkala pikiran mereka terbatas dalam memahami suatu hal.[16]

4. Penciptaan Alam Semesta


Selama Masa Pertengahan, masalah penciptaan alam semesta senantiasa dikaitkan dengan
konsep ketuhanan. Penciptaan alam semesta digunakan sebagai bukti filosofis bagi
keberadaan Tuhan. Namun, dalam dua abad terakhir, terutama sejak abad ke-20,
kepercayaan tentang kekekalan alam semesta sangatlah populer dalam diskusi ilmu
pengetahuan, dan menjadi salah satu argumen kuat kaum materealis untuk melawan
konsep keberadaan Tuhan. Namun setelah Hubbel menemukan perubahan warna merah
pada cahaya dari galaksi, ‘teori ekspansi alam semesta” atau dikenal dengan “teori Big
Bang”, benar-benar melambung dan meraih popularitas luar biasa. Teori itu selanjutnya
diterima pula oleh kaum beragama di seluruh dunia. Sebab, mereka merasa mendapatkan
bukti konkret terciptanya alam semesta oleh tangan Tuhan berkat teori tersebut. Akan
tetapi, para pakar kosmologi ateis segera berusaha menghadirkan argumentasi yang dapat
menolak ide penciptaan alam semesta dalam satu waktu, dan perdebatan pun berlanjut.
Hanya saja, sejumlah fisikawan mengakui bahwa asumsi tentang kekekalan alam semesta
tidak lantas menjadikannya membuktikan apa-apa. Dalam hal ini, Paul Davies berkata:

Fakta yang menyatakan bahwa alam semesta tidak bermula dari suatu waktu tertentu
tidak dapat menjelaskan eksistensi alam semesta tersebut. Fakta itu juga tidak dapat
menjawab pertanyaan mengapa alam semesta ini terbentuk semacam ini. Tentu saja ia
tidak menjelaskan mengapa alam menempati semesta yang relevan (seperti penciptaan
semesta) dan prinsip-prinsip fisik yang menciptakan kosmos yang stabil.[17]

Muthahhari menegaskan bahwa baik teori kebaharuan penciptaan maupun teori


kekekalan alam semesta tidak ada hubungannya dengan masalah eksistensi Sang
Pencipta. Kesalahan fatal akan terjadi, menurut Muthahhari, jika kita mengasumsikan
kepercayaan bahwa Tuhan mensyaratkan konsep kebaharuan alam semesta:

Mengapa kita memperbincangkan masalah hari pertama penciptaan semesta, dan


mengatakan bahwa semesta tercipta secara gradual? Padahal, ia selamanya dalam
keadaan tercipta. Tidak ada sesuatu pun yang langgeng dalam semesta ini.[18]
Berdasarkan prinsip-prinsip monoteistik, sebenarnya orang dapat mengatakan bahwa
alam semesta ini tidak berpermulaan. Sebab, jika alam semesta ini berpermulaan, bisa
jadi ada alam lain sebelum alam ini dalam bentuk yang lain pula.[19] Dalam ungkapan
Muthahhari:

Mungkin mereka benar, jika berjalan mundur ke ribuan tahun silam, kita akan dapatkan
keadaan dunia yang berbeda dengan keadaan dunia saat ini. Namun, bagaimana kita
dapat mengetahui jika tidak dunia lain yang memiliki keadaan berbeda sebelum dunia
ini?[20]

Gagasan mengenai keberagaman alam semesta yang dikemukakan Muthahhari


pertengahan 1970-an, menjadi ide terkemuka dalam kajian kosmologis tahun 1980-an
dan 1990-an. Namun, para kosmolog hanya menggunakan ide itu untuk
memperselisihkan keberadaan Tuhan. Sedangkan Muthahhari menggunakannya untuk
mempropagandakan ide Tuhan yang Mahapengasih.

5. Prinsip Kausalitas
Para fisikawan zaman klasik mempercayai prinsip kausalitas sebagai postulat dasar.
Mereka juga percaya bahwa dengan mengetahui persamaan gerak suatu sistem berikut
kondisi permulaannya, seseorang dapat memprediksikan dengan tepat masa depan sistem
tersebut. Pada tahun 1927, Heisenberg menggulirkan ide “relasi yang tidak menentu”,
yang berisikan ketidaktahuan manusia akan posisi dan kecepatan tertentu dari suatu
partikel. Setelah itu, Heisenberg meloncat dari kesimpulan epistemologisnya itu menuju
kepada kesimpulan ontologis, dengan mendeklarasikan teori yang mengatakan bahwa
prinsip kausalitas tidak berlaku pada realitas atom. Selanjutnya, ia menegasikan
kemungkinan adanya level subkuantum dalam aturan hukum kausalitas. Ia juga
beranggapan bahwa spekulasi-spekulasi itu sering kali tidak berguna dan omong kosong:

Karena sifat statistikal teori kuantum berkaitan erat dengan ketidakpastian semua
persepsi, seseorang dapat mencapai anggapan bahwa di belakang dunia statistik yang di
dalamnya terkandung hukum kausalitas, terdapat “dunia” tersembunyi yang ditopang
oleh hukum kausalitas. Namun singkat kata, spekulasi ini tidak berarti apa-apa dan
omong kosong …. mekanika kuantum telah menandaskan kegagalan mutlak teori
kausalitas. [21]

Namun, fisikawan lain, seperti Einstein Nernst, menolak pandangan di atas dan
mengaitkan ketidakpastian realitas atom dengan ketidaktahuan manusia. Kemudian
penolakan itu ditentang oleh fisikawan dan filsuf lain yang berpikiran bahwa ide
Heisenberg dapat memberikan solusi bagi masalah kebebasan kehendak manusia. Sebab,
proses psikologis bergantung kepada proses fisika yang pada dasarnya tidak menentu.
[22] Akan tetapi, Einstein menolak anggapan adanya pertentangan antara aturan hukum
kausalitas dengan kebebasan kehendak manusia:

Sepertinya Anda menghadapi konflik antara perspektif kausalitas murni versi Spinoza
dengan perspektif yang menginginkan adanya usaha-usaha aktif untuk menciptakan
keadilan sosial. Bagi saya, tidak ada konflik di situ. Karena ketegangan mental tidak
cukup mengandalkan keinginan saja, tapi juga harus mendorong terwujudnya keadilan
sosial dengan cara menyatukan berbagai faktor yang masing-masing mengambil bagian
dari sistem kausalitas yang masih terabaikan.[23]

Sejalan dengan maraknya diskusi tentang teori kuantum dan teori kausalitas, ilmuwan
Islam, pada dekade terakhir ini, juga mulai merevivalisasi teori Asy’ari yang telah lama
diabaikan. Mereka juga menggunakan teori kuantum untuk mendukung ide-ide mereka.
[24] Namun, Muthahhari, menolak teori fisika kuantum itu. Dengan melakukan beberapa
observasi, Muthahhari mengkritisi teori tentang prinsip ketidakpastian itu.[25] Hasil
pengamatannya antara lain sebagai berikut:

Kami tidak bermaksud untuk menolak observasi ekperimental para fisikawan. Yang ingin
kami lakukan hanyalah mengkritisi kesimpulan filosofis yang telah mereka capai.
Hukum kausalitas adalah hukum filosofis. Oleh karenanya, keberadaannya hanya dapat
ditolak dengan argumentasi filosofis. Sedangkan sains tidak mungkin mampu
menetapkan ataupun menolaknya. Ia hanya mampu menerimanya sebagai sebuah postulat
dasar. Dalam hal ini Planck berkata:

Tentu saja kita bisa mengatakan bahwa hukum kausalitas pada dasarnya hanya sebuah
hipotesis. Namun demikian, posisi hukum kausalitas tidak sama dengan hipotesis yang
lainnya. Karena hukum kausalitas merupakan hipotesis yang paling fundamental. Ia
adalah hipotesis yang berbentuk postulat, yang berperan penting dalam memberikan
pengertian dan makna bagi seluruh penggunaan hipotesis dalam penelitian ilmiah.[26]

Hukum kausalitas memandang seluruh alam semesta sebagai satu kesatuan. Oleh
karenanya, penerapannya pada mikrokosmos dapat merusak validitas hubungan hukum
tersebut dengan keseluruhan alam semesta. Shabistari, seorang mistikus Persia pernah
mengatakan hal tersebut sebagai berikut:

Jika kau buang sesuatu dari tempatnya, seluruh semesta akan hancur berantakan.

Tidak terprediksikanya dunia atom tidak berarti hukum kausalitas tidakvalid. Sebab, kita
tidak punya alasan pasti untuk menyatakan bahwa kita telah mencapai batas akhir
pengetahuan kita atau kita telah menelusuri semua faktor yang relevan. Ketidakmampuan
kita dalam memprediksikan sesuatu bisa jadi merupakan hasil dari ketidaktahuan kita atas
beberapa fakta yang belum diketahui. Henry Stapp, eksponen teori kuantum
kontemporer, menyetir pendapat berikut:

Teori kuantum kontemporer memperlakukan kejadian-kejadian (alam semesta) ini


sebagai suatu variabel tak beraturan (random variables) dengan cara menspesifikkan
bobot statistiknya saja ke dalam teori ini. Artinya, teori kuantum tidak turut campur
membahas pilihan aktual-spesifik suatu kejadian atau bagaimana kejadian itu
berlangsung.

Yang jelas, pernyataan teori fisika kontemporer bahwa tidak ada sesuatu selain yang
ada/terjadi, tidak berarti sains telah menjadi stagnan. Para fisikawan masa kini percaya
pada kebenaran teori itu bisa saja demikian dan juga memuaskan, karena pilihan-
pilihannya memang demikian.

Saya percaya kemungkinan itu bisa diterima sebagai ungkapan keadaan pengetahuan
ilmiah kita dewasa ini, namun sains seyogyanya tidak puas dengan keadaan itu. Sains
sudah selayaknya senantiasa berjuangan menuju posisi yang lebih baik. Semua cabang
ilmu pengetahuan harus memainkan peranannya masing-masing …. sehingga, pada
konteks perjuangan yang sangat luas itu, teori di atas seyogyanya diposisikan sebagai
salah satu elemen dari sisi gelap dunia kontemporer yang masih harus dikaji. Teori itu,
dengan kata lain, bukan sebagai ungkapan final yang harus puas kita terima.[27]

Beberapa ilmuan bahkan membicarakan kemungkinan sebab-sebab yang nonfisik.


Pernyataan itu antara lain diungkapkan oleh seorang ahli matematika Kanada, John Byl:

Argumentasi yang menyatakan bahwa “ketiadaan sebab-sebab fisik merupakan suatu


kepastian dalam peristiwa-peristiwa kuantum,” telah membuka jalan bagi kemungkinan
eksistensi sebab-sebab nonfisik. Sebab-sebab nonfisik itu bisa jadi berupa akal manusia,
wujud spiritual seperti malaikat, jin, atau tindakan langsung Tuhan. Tegasnya, sebab-
sebab nonfisik ini berada di luar penyelidikan ilmiah, sehingga secara ilmiah, ia tidak
menjamin kebenaran teori “ketidakadaan sebab fisik mengindikasikan ketidakadaan suatu
sebab.[28]

Dalam semangat itulah, David Bohm membangun variabel teori kuantum yang
tersembunyi, bersifat kausal, dan dapat menghasilkan seluruh hasil ekperimen teori
kuantum.

Generalisasi hasil-hasil eksperimen mengenai hukum baru hanya bermakna apabila telah
memperoleh hukum kausalitas. Plank menyimpulkan:

Hipotesis apa pun yang mengindikasikan aturan definitif menunjukkan prinsip kausalitas
itu valid.[29]

Para ilmuan yang berusaha menjelaskan kebebasan manusia dengan cara menerapkan
hukum kausalitas pada hakikatnya salah dalam memahami makna kebebasan
berkehendak. Kita memang bebas dalam memilih melakukan ini dan itu, namun pilihan
itu tergantung pada motivasi kita dan berbagai sebab-sebab lainnya.

Epilog
Menarik menyaksikan bagaimana poin-poin yang dibicarakan Muthahhari pada
permulaan tahun 1950-an, mulai dibicarakan oleh ahli-fisikawan papan atas, seperti Dirac
dan de Broglie pada tahun 1960-an dan 1970-an.[30] Bahkan, teori kausalitas mekanika
kuantum pun menemukan momentumnya dalam dua dekade terakhir ini, sampai-sampai
fisikawan terkemuka penerima Nobel Fisika Laureate seperti G. ‘t Hooft mengerjakan
riset berdasarkan teori-teori kausal tersebut.
* Makalah Seminar Internasional Pemikiran Murtadla Muthahhari, Jakarta, 8 Mei 2004,
diterjemahkan oleh Zainul Maarif, Mahasiswa Pascasarjana ICAS-Jakarta, disunting oleh
Muhammad Ilham, editor in chief pada Penerbit Teraju (Mizan), Jakarta.

** Profesor Fisika Universitas Teknologi Sharif, Teheran, Iran; Direktur Institute for
Humanities and Cultural Studies, Tehran, Iran (golshani@ihcs.ac.ir)

CATATAN AKHIR

[1] M. Muthahhari, Collected Works (in Persian) Vol. 13, (Tehran: Sadra Publication,
1374 H), h. 65.

[2] A. A. Tabbarrah, Ruh al-Din al-Islami (Beirut: Dar al-Ilm lil-Malayeen, 1982), h. 270.

[3] M. Muthhari, Collected Works (in Persian) Vol. 4, (Tehran: Sadra Publication, 1374
H). h. 209-217.

[4] Ibid. h. 86-87.

[5] Dikutip dari M. Poole, “A Critique of Aspect of the Philosophy and the Theology of
Richard Dawkins”, Science and Christian Belief, 6, 1994, h. 53.

[6] Adel A. Ziadat, Western Science in the Arab World (London: the Macmillan Press
Ltd., 1986), h. 97

[7] R. Dawkins, The Extended Phenotype, (Oxford: OUP, 1982), h. 181.

[8] R. Dawkins, The Blind Watch Maker (New York: W. W. Norton & Co., 1987), h. 6.

[9] Dikutip dari M. Poole, Op.Cit., h. 52.

[10] M. Muthahhari, Collected Works (in Persia) Vol. 4, h. 220.

[11] Ibid., h. 223-224.

[12] Ibid., h. 164.

[13] M. Muthahhari, Collected Works (in Persia) Vol. 13, h. 38.

[14] Ibid., h. 41-42.

[15] Ibid., h. 58-59.

[16] Ibid., h. 55.

[17] Paul Davies, The Mind of God (London: Simon & Schnster, 1992), h. 56.
[18] M. Muthahhari, Collected Works (in Persia) Vol. 4, h. 169.

[19] Ibid., h. 38.

[20] M. Muthahhari, Collected Works (in Persia) Vol. 10, (Tehran: Sadra Publication,
1375 H), h. 405.

[21] Quantum Teory and Measurement, edited by J. Wheeler and W.H. Zurek (Princeton:
Princeton University Press, 1983), h. 83.

[22] Max Jammer, “Indeterminancy in Physics”, in P.P Winer (ed.), Dictionary of the
History of Ideas, Vol. 2 (New York: Charles Scribner’s Sons, 1973), h. 589.

[23] T. Benagen, “Stuggle with Causality”, Science in Context, 6, No. 1, h. 306.

[24] K. Harding, “Causality Then adn Now: al-Ghazali and Quantum Theory”, American
Journal of Islamic Social Sciences, 10, No. 2, h. 165-177.

[25] M. Muthahhari, Collected Works (in Persian) Vol. 6, (Tehran: Sadra Publications,
1377 H), h. 671-691.

[26] M. Planck, The New Sciences (USA: Meridian Books, 1959), h. 104.

[27] H.P. Stapp, Mind, Matter, and Quantum Mechanics (New York: Spinger-Verlag,
1993), h. 216.

[28] J. Byl, “Inderterminancy, Divine Action and Human Freedom”, Science and
Christian Belief, 15, No. 2, Okt. 2003.

[29] M. Planck, Op.Cit., h. 104.

[30] M. Golshani, “ Cosmology in the Islamic Outlook and in Modern Cosmology”, in N.


H. Gregersen, U. Gorman & H. Meisinger (eds.), Studies in Sciences & Theology, Vol. 8
(Aarhus: University of Aarhus, 2002), h. 187-188.

Anda mungkin juga menyukai