Anda di halaman 1dari 2

Sistem ratifikasi oleh badan legislatif, suatu perjanjian internasional(hukum internasional)

dapat menjadi hukum nasional apabila telahdisahkan oleh lembaga perwakilan rakyat. Sistem
ini jarang digunakan pada saat ini. Pernah berlaku di Turki pada tahun 1924, El salvador tahun
1950, dan Honduras tahun 1936. Model pengesahan tersebut jarang terjadi atau bahkan saat
tidak ada negara yang menganut sistem tersebut. Hal ini disebabkan karena pihak yang
membuat perjanjian adalah pemerintah negara (eksekutif) sehingga dalam pengesahaannya
pemerintah (eksekutif) akan selalu diikutsertakan.
Menurut sejarahnya ratifikasi semula adalah suatu tindakan kepala negara untuk
meneguhkan tanda tangan wakil-wakilnya, dengan maksud supaya kepala begara lebih dahulu
memperoleh keyakinan bahwa wakil-wakilnya tidak melampaui batas-batas wewenang yang
telah diberikan kepadanya dalam perundingan sebelum raja atau negara bersangkutan
mengikatkan diri pada suatu perjanjian. Ketika kepala negara (raja) masih berkuasa mutlak
maka wewenang pembuatan perjanjian ada di tangan raja, dan untuk segala kekuasaan untuk
mengadakan traktat itu raja dapat diberikan kuasa penuh pada utusan-utusannya termasuk
mengadakan perundingan atas nama negaranya. Dan dengan kuasa penuh (full powers) yang
diberikan itu dapat diartikan bahwa wakil-wakil tersebut dengan kuasa penuh dari raja
bertindak seolah-olah menjadi raja sendiri. Tetapi kuasa penuh tersebut memuat janji akan
memihak pada raja (negaranya), dan raja dianggap terikat oleh janji akan meratifikasi traktat
menurut prinsip yang disebut “en foi et parole de roi”, yang artinya “sabda pandita ratu”
terkecuali apabila utusan melampaui batas-batas wewenangnya. Apabila utusan tidak
melampaui batas-batas kekuasaannya, maka negara dianggap telah terikat oleh tanda tangan di
atas traktat yang bersangkutan. Dengan demikian ratifikasi “berlaku surut”, dan traktat yang
bersangkutan dianggap mulai berlaku pada hari penandatanganan.
Dalam praktek sekarang ini anggapan yang demikian sudah tidak berlaku lagi, sebab
traktat-traktat tersebut baru dilaksanakan. Atau mengikat sesudah diadakan penukaran
nasakah ratifikasi, terkecuali dalam traktat ditentukan lain. Walaupun demikian masih banyak
undang-undang dasar yang memuat ketentuan bahwa “kekuasaan untuk mengadakan dan
mengesahkan perjanjian antarnegara terletak di tangan kepala negara”. Ketentuan ini
merupakan sisa dari zaman masih adanya kekuasaan mutlak raja sebagai kepala negara.
Sementara itu, bersamaan dengan berkembangnya negara-negara dengan sistem parlementer,
tindakan ratifikasi ini menjadi bidang badan legislatif. Namun sejalan dengan itu pula, semakin
banyaknya perjanjian-perjanjian internasional yang dibentuk memuat badan legislatif
“kekurangan waktu” untuk menangani dan merumusakan perimbangan bagi suatu ratifikasi.
Tahap Penjajakan: merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding
mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.

Anda mungkin juga menyukai