Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

APENDISITIS KRONIS
Presen : Amir Suhaimi,S.Ked
Hari/Tanggal : Sabtu/6 Maret 2010
Supervisor : Prof.dr.H.Iskandar Z.Lubis, SpA(K)

PENDAHULUAN

Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan


merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering1. Apendiks disebut juga
umbai cacing. Istilah usus buntu yang selama ini dikenal dan digunakan di
masyarakat kurang tepat, karena yang merupakan usus buntu sebenarnya adalah
sekum. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti apa fungsi apendiks
sebenarnya. Namun demikian, organ ini sering sekali menimbulkan masalah
kesehatan.2

Apendiks merupakan organ yang berbentuk tabung panjang dan sempit.


Panjangnya kira-kira 10cm (kisaran 3-15cm) dan berpangkal di sekum. Apendiks
menghasilkan lendir 1-2ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam
lumen dan selanjutnya dialirkan ke sekum. Adanya hambatan dalam pengaliran
tersebut, tampaknya merupakan salah satu penyebab timbulnya apendisits. Di
dalam apendiks juga terdapat immunoglobulin sekretoal yang merupakan zat
pelindung efektif terhadap infeksi (berperan dalam sistem imun). Dan
immunoglobulin yang banyak terdapat di dalam apendiks adalah IgA. Namun
demikian, adanya pengangkatan terhadap apendiks tidak mempengaruhi sistem
imun tubuh. Ini dikarenakan jumlah jaringan limfe yang terdapat pada apendiks
kecil sekali bila dibandingkan dengan yang ada pada saluran cerna lain.2

Apendisitis dapat mengenai semua umur, baik laki-laki maupun perempuan.


Namun lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-30 tahun.

1
ANAMNESE
Desi Rahmadani, 12 tahun, perempuan dengan berat badan 31 kg, tinggi badan
138 kg datang ke RSUP H Adam Malik pada tanggal 4 Januari 2010 pukul 21.30
WIB, dengan keluhan utama demam. Demam dialami pasien sejak kurang lebih 9
hari sebelm bersifat terus-menerus, tanpa menggigil dan tanpa kejang. Batuk serta
pilek tidak dijumpai tetapi muntah dialami pasien sejak kurang lebih 9 hari
sebelum dengan frekuensi 5 hingga 10 kali sehari apabila pasien diberi makan, isi
muntah adalah apa yang dimakan. Nyeri ulu hati dijumpai sejak kurang 9 hari
sebelum, posisi letak nyeri belum pasti. Sakit kepala dijumpai sejak beberapa hari
yang lalu bersifat hilang timbul. Riwayat terjatuh dari sepeda 1 bulan yang lalu
dijumpai, pasien termasuk ke dalam parit dan kepala terbentur. Riwayat
perdarahan spontan tidak dijumpai. Buang air besar dan kecil masih normal.

Riwayat Penyakit Terdahulu:


Tidak dijumpai.

Riwayat Pemakaian Obat:


Antibiotik yang tidak pasti adalah Amoxicillin.

Pemeriksaan Fisik:
Pasien dalam keadaan kompos mentis. Anemia, sianosis, dyspnoe, edem, dan
ikterik tidak dijumpai.
Temperatur: 39,4oC
Kepala : Mata; Refleks cahaya +/+, pupil isokor, konjuntiva palpebra
inferior pucat tidak dijumpai. Telinga dan hidung dalam batas
normal. Mulut; mukosa bibir kering dijumpai, tonsil (T2-T2)
tanpa hiperemis.
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening tidak dijumpai.
Thorax : Simetris fusiformis, retraksi tidak dijumpai.
Pols; 100x/i bersifat reguler tanpa desah.
Frekuensi Nafas; 24x/i bersifat reguler tanpa ronki.
Abdomen : Soepel dengan peristaltik normal. Hati dan limpa tidak
teraba pembesaran. Nyeri tekan epigastrial dan nyeri tekan

2
McBurney dijumpai. Defanse muscular tidak dijumpai. Tanda
obturator dan psoas dijumpai. Peristaltikada tapi melemah.
Ekstremitas : Pols; 100x/i, regular, tekanan vena cukup, tekanan darah;
120/80mmHg, Rumple Leed (-).
Anus : Rektal tusei dijumpai nyeri tekan.

Diagnosa Sementara:
Observasi febris ecausa dd;
- Demam tifoid
- Appendisitis kronis
- Infeksi saluran kemih (ISK)

Pengobatan:
- IVFD D5% NaCl 0,45% 20 gtt/i mikro
- Injeksi 1 /12jam
- Injeksi Ranitidin 25 /8jam
- Injeksi Novalgin 300mg/8jam (selama puasa dan sesudah konsul bedah)
- Diet  Puasa sementara

Rencana Pemeriksaan:
- Pemasangan NGT untuk observasi
- DL
- RFT
- IFT
- KGD ad Random
- Elektrolit
- Widal test
- Urinalisa
- Konsul bedah

PENGAMATAN/PEMANTAUAN
5 Februari 2010 pukul 07.00 WIB

3
S : Demam tidak dijumpai tetapi muntah (+).
O: Kompos mentis, temperatur; 38,8oC, berat badan; 31kg.
Kepala : Mata; refleks cahaya +/+, pupil isokor, konjuntiva palpebra
inferior pucat tidak dijumpai.
Telinga/hidung; dalam batas normal.
Mulut; mukosa bibir kering dijumpai, tonsil (T2-T2) hiperemis
tidak dijumpai.
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening tidak dijumpai.
Toraks : Simitris fusiformis, retraksi tidak dijumpai, pols; 98x/i,
reguler, desah tidak dijumpai, frekuensi nafas; 30x/i, reguler,
ronki tidak dijumpai.
Abdomen : Soepel, peristaltik normal, hati/limpa; tidak teraba
pembesaran, nyeri tekan epigastrial dijumpai.

Nyeri tekan McBurney dijumpai, defense muscular tidak


dijumpai, tanda obturator dijumpai.
Tanda psoas dijumpai, peristaltik dijumpai normal.
Ekstremitas : Pols; 98x/i, reguler, tekanan vena cukup, tekanan darah;
110/80mmHg, Rumple Leed (-).
Anus : Rektal tusei dijumpai nyeri tekan.

A: Observasi febris ecausa dd;


- Demam tifoid
- Apendisitis kronis
- Infeksi saluran kemih

P: Pengobatan/rencana pemeriksaan
- IVFD D5% NaCl 0,45% 20 gtt/i makro
- Injeksi Ceftriaxone 1gr/12jam
- Injeksi Ranitidin 25gr/8jam
- Injeksi Novalgin 300mg/8jam
- Diet  MB 1850 kkal dengan 60 gram protein

Hasil konsul bedah:

4
Meganjurkan untuk dilakukan USG abdomen atas dan bawah, analisis urin dan
apendicogram.

5 Februari 2010 pukul 15.00 WIB


S : Demam dan muntah tidak dijumpai.
O: Kompos mentis, temperatur; 39,3oC, berat badan; 31kg.
Kepala : Mata; refleks cahaya +/+, pupil isokor, konjuntiva palpebra
inferior pucat tidak dijumpai.
Telinga/hidung; dalam batas normal.
Mulut; mukosa bibir kering dijumpai, tonsil (T2-T2) hiperemis
tidak dijumpai.
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening tidak dijumpai.
Toraks : Simitris fusiformis, retraksi tidak dijumpai, pols; 98x/i,
reguler, desah tidak dijumpai, frekuensi nafas; 30x/i, reguler,
ronki tidak dijumpai.
Abdomen : Soepel, peristaltik normal, hati/limpa; tidak teraba
pembesaran, nyeri tekan epigastrial dijumpai.

Nyeri tekan McBurney dijumpai, defense muscular tidak


dijumpai, tanda obturator dijumpai.
Tanda psoas dijumpai, peristaltik dijumpai normal.
Ekstremitas : Pols; 98x/i, reguler, tekanan vena cukup, tekanan darah;
100/60mmHg.
Anus : Rektal tusei dijumpai nyeri tekan.

A: Observasi febris ecausa dd;


- Demam tifoid
- Apendisitis kronis
- Infeksi saluran kemih

P: Pengobatan/rencana pemeriksaan
- IVFD D5% NaCl 0,225% 10 gtt/i
- Injeksi Ceftriaxone 1gr/12jam

5
- Injeksi Ranitidin 25gr/8jam
- Injeksi Novalgin 300mg/8jam
- Diet  MB 1850 kkal dengan 60 gram protein

6 Februari 2010 pukul 07.00 WIB


S : Demam dan muntah dijumpai.
O: Kompos mentis, temperatur; 38,4oC, berat badan; 31kg.
Kepala : Mata; refleks cahaya +/+, pupil isokor, konjuntiva palpebra
inferior pucat tidak dijumpai.
Telinga/hidung; dalam batas normal.
Mulut; mukosa bibir kering dijumpai, tonsil (T2-T2) hiperemis
tidak dijumpai.
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening tidak dijumpai.
Toraks : Simitris fusiformis, retraksi tidak dijumpai, pols; 96x/i,
reguler, desah tidak dijumpai, frekuensi nafas; 28x/i, reguler,
ronki tidak dijumpai.
Abdomen : Soepel, peristaltik normal, hati/limpa; tidak teraba
pembesaran, nyeri tekan epigastrial dijumpai.
Nyeri tekan McBurney dijumpai, defense muscular tidak
dijumpai, tanda obturator dijumpai.
Tanda psoas dijumpai, peristaltik dijumpai normal.
Ekstremitas : Pols; 96x/i, reguler, tekanan vena cukup, tekanan darah;
110/70mmHg.
Anus : Rektal tusei dijumpai nyeri tekan.

A: Observasi febris ecausa dd;


- Demam tifoid
- Apendisitis kronis
- Infeksi saluran kemih

P: Pengobatan/rencana pemeriksaan
- IVFD D5% NaCl 0,225% 10 gtt/i
- Injeksi Ceftriaxone 1gr/12jam (hari ke-3)

6
- Injeksi Ranitidin 25gr/8jam
- Injeksi Novalgin 300mg/8jam
- Diet  MB 1850 kkal dengan 60 gram protein
- USG
- Appendicogram
- Urin rutin
- Widal test

6 Februari 2010 pukul 15.00 WIB


S : Demam dijumpai tanpa muntah.
O: Kompos mentis, temperatur; 40,0oC, berat badan; 31kg.
Kepala : Mata; refleks cahaya +/+, pupil isokor, konjuntiva palpebra
inferior pucat tidak dijumpai.
Telinga/hidung; dalam batas normal.
Mulut; mukosa bibir kering dijumpai, tonsil (T2-T2) hiperemis
tidak dijumpai.
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening tidak dijumpai.
Toraks : Simitris fusiformis, retraksi tidak dijumpai, pols; 96x/i,
reguler, desah tidak dijumpai, frekuensi nafas; 26x/i, reguler,
ronki tidak dijumpai.
Abdomen : Soepel, peristaltik normal, hati/limpa; tidak teraba
pembesaran, nyeri tekan epigastrial dijumpai.
Nyeri tekan McBurney dijumpai, defense muscular tidak
dijumpai, tanda obturator dijumpai.
Tanda psoas dijumpai.
Ekstremitas : Pols; 96x/i, reguler, tekanan vena cukup.

A: Observasi febris ecausa dd;


- Demam tifoid
- Infeksi saluran kemih
- Apendisitis kronis

P: Pengobatan/rencana pemeriksaan

7
- IVFD D5% NaCl 0,225% 10 gtt/i
- Injeksi Ceftriaxone 1gr/12jam/iv
- Injeksi Ranitidin 25gr/8jam/iv
- Injeksi Novalgin 300mg/8jam/iv
- Diet  MB 1850 kkal dengan 60 gram protein

Hasil lab pukul 17.00:


Hb/Ht/L/T; 10,9/30,5/3970/188.000, LED: 42mm/jam.
Eos/Bas/NS/NB/Lymp/Mono; 0/0/62/1/24/9
Widal Titer H Titer O
S.Typhi 1/80 1/40
S.Paratyphi A 1/40 1/40
S.Paratyphi B 1/40 1/40
S.Paratyphi C 1/40 1/40

6 Februari pukul 23.00 WIB


Urine stick
Leuko; -
Nit; -
Uro; 0,2
Pro; 100(++)
pH; 6
Blood; -
SG; 1010
Ket; -
Bil; +1
Glu; -

7 Februari 2010 pukul 08.00 WIB


S : Demam tidak dijumpai. Nyeri perut dijumpai.
O: Kompos mentis, temperatur; 36,1oC, berat badan; 31kg.

8
Kepala : Mata; refleks cahaya +/+, pupil isokor, konjuntiva palpebra
inferior pucat tidak dijumpai.
Telinga/hidung/mulut; dalam batas normal.
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening tidak dijumpai. Kaku
kuduk tidak dijumpai.
Toraks : Simitris fusiformis, retraksi tidak dijumpai, pols; 98x/i,
reguler, desah tidak dijumpai, frekuensi nafas; 24x/i, reguler,
ronki tidak dijumpai.
Abdomen : Soepel, peristaltik normal, hati/limpa; tidak teraba
pembesaran, nyeri tekan epigastrial dijumpai.
Nyeri tekan McBurney dijumpai.
Ekstremitas : Pols; 98x/i, reguler, tekanan vena cukup, tekanan darah;
100/60mmHg.

A: Observasi febris ecausa dd;


- Demam tifoid
- Infeksi saluran kemih
- Apendisitis kronis

P: Pengobatan/rencana pemeriksaan
- IVFD D5% NaCl 0,225% 10 gtt/i
- Injeksi Ceftriaxone 1gr/12jam
- Injeksi Ranitidin 25gr/8jam
- Injeksi Novalgin 300mg/8jam
- Diet  MB 1850 kkal dengan 60 gram protein

7 Februari 2010 pukul 20.00 WIB


S : Demam dan nyeri perut dijumpai.
O: Kompos mentis, temperatur; 38,3oC, berat badan; 31kg.
Kepala : Mata; refleks cahaya +/+, pupil isokor, konjuntiva palpebra
inferior pucat tidak dijumpai.
Telinga/hidung/mulut; dalam batas normal.
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening tidak dijumpai. Kaku

9
kuduk tidak dijumpai.
Toraks : Simitris fusiformis, retraksi tidak dijumpai, pols; 80x/i,
reguler, desah tidak dijumpai, frekuensi nafas; 30x/i, reguler,
ronki tidak dijumpai.
Abdomen : Soepel, peristaltik normal, hati/limpa; tidak teraba
pembesaran, nyeri tekan epigastrial dijumpai.
Nyeri tekan McBurney dijumpai.
Ekstremitas : Pols; 80x/i, reguler, tekanan vena cukup, tekanan darah;
100/40mmHg.

A: Observasi febris ecausa dd;


- Demam tifoid
- Infeksi saluran kemih
- Apendisitis kronis

P: Pengobatan/rencana pemeriksaan
- IVFD D5% NaCl 0,225% 10 gtt/i
- Injeksi Ceftriaxone 1gr/12jam/iv
- Injeksi Ranitidin 25gr/8jam/iv
- Injeksi Novalgin 300mg/8jam/iv
- Diet  MB 1850 kkal dengan 60 gram protein

8 Februari 2010 pukul 07.00 WIB (hari rawatan ke-5)


S : Demam dan nyeri perut dijumpai.
O: Kompos mentis, temperatur; 38,1oC, berat badan; 31kg.
Kepala : Mata; refleks cahaya +/+, pupil isokor, konjuntiva palpebra
inferior pucat tidak dijumpai.
Telinga/hidung/mulut; dalam batas normal.
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening tidak dijumpai. Kaku
kuduk tidak dijumpai.
Toraks : Simitris fusiformis, retraksi tidak dijumpai, pols; 88x/i,
reguler, desah tidak dijumpai, frekuensi nafas; 24x/i, reguler,
ronki tidak dijumpai.
Abdomen : Soepel, peristaltik normal, hati/limpa; tidak teraba

10
pembesaran, nyeri tekan epigastrial dijumpai.
Nyeri tekan McBurney dijumpai, denfese muscular tidak
dijumpai. Tanda obturator dan psoas dijumpai.
Ekstremitas : Pols; 88x/i, reguler, tekanan vena cukup.

A: Observasi febris ecausa dd;


- Demam tifoid
- Infeksi saluran kemih
- Apendisitis kronis

P: Pengobatan/rencana pemeriksaan
- IVFD D5% NaCl 0,225% 10 gtt/i
- Injeksi Ceftriaxone 1gr/12jam/iv
- Injeksi Ranitidin 25gr/8jam/iv
- Injeksi Novalgin 300mg/8jam/iv
- Diet  MB 1850 kkal dengan 60 gram protein
- USG Apendiks 9/2/10
8 Februari 2010 pukul 14.30 WIB
S : Demam dijumpai. Nyeri perut dijumpai bersifat hilang timbul.
O: Kompos mentis, temperatur; 38,4oC, berat badan; 31kg
Kepala : Mata; refleks cahaya +/+, pupil isokor, konjuntiva palpebra
inferior pucat tidak dijumpai.
Telinga/hidung/mulut; dalam batas normal.
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening tidak dijumpai. Kaku
kuduk tidak dijumpai.
Toraks : Simitris fusiformis, retraksi tidak dijumpai, pols; 92x/i,
reguler, desah tidak dijumpai, frekuensi nafas; 28x/i, reguler,
ronki tidak dijumpai.
Abdomen : Soepel, peristaltik normal, hati/limpa; tidak teraba
pembesaran, nyeri tekan perut kanan bawah.
Ekstremitas : Pols; 92x/i, reguler, tekanan vena cukup, tekanan darah;
110/60mmHg.

A: Observasi febris ecausa dd;


- Demam tifoid

11
- Infeksi saluran kemih
- Apendisitis kronis

P: Pengobatan/rencana pemeriksaan
- IVFD D5% NaCl 0,225% 10 gtt/i mikro
- Injeksi Ceftriaxone 1gr/12jam/iv
- Injeksi Ranitidin 25gr/8jam/iv
- Injeksi Novalgin 300mg/8jam/iv
- Diet  MB 1850 kkal dengan 60 gram protein

Hasil USG tidak dapat dikeluarkan pada malam hari.

9 Februari 2010 pukul 07.00 WIB (hari rawatan ke-6)


S : Demam tidak dijumpai. Nyeri perut dijumpai.
O: Kompos mentis, temperatur; 36,5oC, berat badan; 31kg.
Kepala : Mata; refleks cahaya +/+, pupil isokor, konjuntiva palpebra
inferior pucat tidak dijumpai.
Telinga/hidung/mulut; dalam batas normal.
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening tidak dijumpai. Kaku
kuduk tidak dijumpai.
Toraks : Simitris fusiformis, retraksi tidak dijumpai, pols; 90x/i,
reguler, desah tidak dijumpai, frekuensi nafas; 24x/i, reguler,
ronki tidak dijumpai.
Abdomen : Soepel, peristaltik normal, hati/limpa; tidak teraba
pembesaran, nyeri tekan epigastrial dijumpai.
Nyeri tekan McBurney dijumpai. Defense muscular, tanda
obturator, dan tanda psoas tidak dijumpai.
Ekstremitas : Pols; 90x/i, reguler, tekanan vena cukup, tekanan darah;
100/50mmHg.

A: Observasi febris ecausa;


- Demam tifoid

12
- Infeksi saluran kemih
- Apendisitis kronis

P: Pengobatan/rencana pemeriksaan
- IVFD D5% NaCl 0,225% 10 gtt/i
- Injeksi Ceftriaxone 1gr/12jam/iv
- Injeksi Ranitidin 25gr/8jam/iv
- Injeksi Novalgin 300mg/8jam/iv
- Diet  MB 1850 kkal dengan 60 gram protein
- Appendicogram

Hasil USG Abdomen:


Pada daerah KLO; massa heterogen di RCO, sangat memungkinkan suatu massa
periapendikular dengan diferensial diagnosa abses.

9 Februari 2010 pukul 15.00 WIB


S : Demam tidak dijumpai. Nyeri perut dijumpai.
O: Kompos mentis, temperatur; 36,5oC, berat badan; 31kg.
Kepala : Mata; refleks cahaya +/+, pupil isokor, konjuntiva palpebra
inferior pucat tidak dijumpai.
Telinga/hidung/mulut; dalam batas normal.
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening tidak dijumpai. Kaku
kuduk tidak dijumpai.
Toraks : Simitris fusiformis, retraksi tidak dijumpai, pols; 94x/i,
reguler, desah tidak dijumpai, frekuensi nafas; 22x/i, reguler,
ronki tidak dijumpai.
Abdomen : Soepel, peristaltik normal, hati/limpa; tidak teraba
pembesaran, nyeri tekan perut kanan bawah.
Ekstremitas : Pols; 94x/i, reguler, tekanan vena cukup.

A: Massa apendisial

13
P: Pengobatan/rencana pemeriksaan
- IVFD D5% NaCl 0,225% 10 gtt/i
- Injeksi Ceftriaxone 1gr/12jam/iv
- Injeksi Ranitidin 25gr/8jam/iv
- Injeksi Novalgin 300mg/8jam/iv
- Diet  MB 1850 kkal dengan 60 gram protein

10 Februari 2010 pukul 07.00 WIB (hari rawatan ke-7)


S : Demam tidak dijumpai. Nyeri perut dijumpai.
O: Kompos mentis, temperatur; 37,1oC, berat badan; 31kg.
Kepala : Mata; refleks cahaya +/+, pupil isokor, konjuntiva palpebra
inferior pucat tidak dijumpai.
Telinga/hidung/mulut; dalam batas normal.
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening tidak dijumpai. Kaku
kuduk tidak dijumpai.
Toraks : Simitris fusiformis, retraksi tidak dijumpai, pols; 88x/i,
reguler, desah tidak dijumpai, frekuensi nafas; 20x/i, reguler,
ronki tidak dijumpai.
Abdomen : Soepel, peristaltik normal, hati/limpa; tidak teraba
pembesaran, nyeri tekan perut kanan bawah dijumpai.
Ekstremitas : Pols; 88x/i, reguler, tekanan vena cukup.

A: Apendisitis kronis

P: Pengobatan/rencana pemeriksaan
- IVFD D5% NaCl 0,225% 4 gtt/i
- Injeksi Ceftriaxone 1gr/12jam/iv
- Injeksi Ranitidin 25gr/8jam/iv
- Injeksi Novalgin 300mg/8jam/iv
- Diet  MB 1850 kkal dengan 60 gram protein

Hasil appendicogram:
Kesan; apendisitis kronis  menunggu jawaban bedah.

14
10 Februari 2010 pukul 14.30 WIB
S : Demam tidak dijumpai. Nyeri perut dijumpai.
O: Kompos mentis, temperatur; 36,5oC, berat badan; 31kg.
Kepala : Mata; refleks cahaya +/+, pupil isokor, konjuntiva palpebra
inferior pucat tidak dijumpai.
Telinga/hidung/mulut; dalam batas normal.
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening tidak dijumpai. Kaku
kuduk tidak dijumpai.
Toraks : Simitris fusiformis, retraksi tidak dijumpai, pols; 94x/i,
reguler, desah tidak dijumpai, frekuensi nafas; 22x/i, reguler,
ronki tidak dijumpai.
Abdomen : Soepel, peristaltik normal, hati/limpa; tidak teraba
pembesaran, nyeri tekan perut kanan bawah dijumpai.
Ekstremitas : Pols; 94x/i, reguler, tekanan vena cukup.

A: Apendisitis kronis

P: Pengobatan/rencana pemeriksaan
- IVFD D5% NaCl 0,225% 4 gtt/i
- Injeksi Ceftriaxone 1gr/12jam/iv
- Injeksi Ranitidin 25gr/8jam/iv
- Injeksi Novalgin 300mg/8jam/iv
- Diet  MB 1850 kkal dengan 60 gram protein

15
PENGENALAN DAN DEFINISI

Apendisitis adalah peradangan pada appendiks vermiformis (Pierce dan Neil,


2007). Apendisitis merupakan kasus laparotomi tersering pada anak dan juga pada
orang dewasa (Ahmadsyah dan Kartono, 1995). Hampir 7% orang barat
mengalami apendisitis dan sekitar 200.000 apendiktomi dilakukan di Amerika
Serikat tiap tahunnya. Insidens semakin menurun pada 25 tahun terakhir, namun
di negara berkembang justru semakin meningkat, kemungkinan disebabkan
perubahan ekonomi dan gaya hidup (Lawrence, 2006).

Insidens pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding kecuali pada umur
20-30 tahun, insidens laki-laki lebih tinggi, sedangkan pada bayi dan anak sampai
berumur 1-2 tahun jarang ditemukan (Syamsuhidajat, 1997).

Diagnosis harus ditegakkan dini dan tindakan harus segera dilakukam,


keterlambatan penanganan menyebabkan penyulit perforasi dan berbagai
akibatnya (Ahmadsyah dan Kartono, 1995).

ETIOLOGI

Apendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Berbagai hal berperan


sebagai faktor pencetusnya. Diantaranya adalah obstruksi yang terjadi pada lumen
apendiks. Obstruksi ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang
keras (fekalit), hiperplasia jaringan limfoid, tumor apendiks, striktur, benda asing
dalam tubuh, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan terjadinya sumbatan.
Namun, diantara penyebab obstruksi lumen yang telah disebutkan di atas, fekalit

16
dan hiperplasia jaringan limfoid merupakan penyebab obstruksi yang paling
sering terjadi. Penyebab lain yang diduga menimbulkan apendisitis adalah ulserasi
mukosa apendiks oleh parasit E. histolytica.1,2

Penelitian epidemiologi menunjukkan peranan kebiasaan mengkonsumsi


makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya penyakit
apendisitis. Tinja yang keras dapat menyebabkan terjadinya konstipasi. Kemudian
konstipasi akan menyebabkan meningkatnya tekanan intrasekal yang berakibat
timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman
flora kolon biasa. Semua ini akan mempermudah timbulnya apendisitis.

ANATOMI DAN FISIOLOGI

Pada neonatus, apendiks vermiformis (umbai cacing) adalah sebuah tonjolan dari
apeks caecum, tetapi seiring pertumbuhan dan distensi caecum, apendiks
berkembang di sebelah kiri dan belakang kira-kira 2,5 cm di bawah valva
ileocaecal (Lawrence, 2006). Istilah usus buntu yang sering dipakai di masyarakat
awan adalah kurang tepat karena usus buntu sebenarnya adalah caecum. Apendiks
merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya sekitar 10 cm (3-15 cm).
Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun, pada
bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar di pangkal, dan sempit di ujung
(Syamsuhidajat, 1997). Ontogenitas berasal dari mesogastrium dorsale.
Kebanyakan terletak intraperitoneal dan dapat digerakkan. Macam-macam letak
apendiks: retrocaecalis, retroilealis, pelvicum, postcaecalis, dan descendentis
(Budiyanto, 2005).

Pangkal apendiks dapat ditentukan dengan cara pengukuran garis Monroe-Pichter.


Garis diukur dari SIAS dextra ke umbilicus, lalu garis dibagi 3. Pangkal apendiks
terletak 1/3 lateral dari garis tersebut dan dinamakan titik Mc Burney. Ujung
apendiks juga dapat ditentukan dengan pengukuran garis Lanz. Garis diukur dari
SIAS dextra ke SIAS sinistra, lalu garis dibagi 6. Ujung appendix terletak pada
1/6 lateral dexter garis tersebut (Budiyanto, 2005).

17
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir tersebut secara normal
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Imunoglobulin
sekretoar yang dihasilkan oleh GULT yang terdapat disepanjang saluran cerna
termasuk apendiks adalah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung
terhadap infeksi (Syamsuhidajat, 1997).

PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS

Patologi apendisitis berawal di jaringan mukosa dan kemudian menyebar ke


seluruh lapisan dinding apendiks. Jaringan mukosa pada apendiks menghasilkan
mukus (lendir) setiap harinya. Terjadinya obstruksi menyebabkan pengaliran
mukus dari lumen apendiks ke sekum menjadi terhambat. Makin lama mukus
makin bertambah banyak dan kemudian terbentuklah bendungan mukus di dalam
lumen. Namun, karena keterbatasan elastisitas dinding apendiks, sehingga hal
tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang
meningkat tersebut akan menyebabkan terhambatnya aliran limfe, sehingga
mengakibatkan timbulnya edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada
saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri di daerah
epigastrium di sekitar umbilikus.1,2

Jika sekresi mukus terus berlanjut, tekanan intralumen akan terus meningkat. Hal
ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri
akan menembus dinding apendiks. Peradangan yang timbul pun semakin meluas
dan mengenai peritoneum setempat, sehingga menimbulkan nyeri di daerah perut
kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.1

Bila kemudian aliran arteri terganggu, maka akan terjadi infark dinding apendiks
yang disusul dengan terjadinya gangren. Keadaan ini disebut dengan apendisitis
ganggrenosa. Jika dinding apendiks yang telah mengalami ganggren ini pecah, itu
berarti apendisitis berada dalam keadaan perforasi.1

Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk membatasi proses


peradangan ini. Caranya adalah dengan menutup apendiks dengan omentum, dan
usus halus, sehingga terbentuk massa periapendikuler yang secara salah dikenal

18
dengan istilah infiltrat apendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan
berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Namun, jika tidak terbentuk abses,
apendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang dan
selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.1,2

Pada anak-anak, dengan omentum yang lebih pendek, apendiks yang lebih
panjang, dan dinding apendiks yang lebih tipis, serta daya tahan tubuh yang masih
kurang, memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi
mudah terjadi karena adanya gangguan pembuluh darah.1

Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi
akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya
perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali
menimbulkan keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat
mengalami peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi.

GEJALA DAN MANIFESTASI KLINIK

Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri
samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau
periumbilikus. Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual muntah, dan pada
umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan
beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih
tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Namun
terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat
konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan ini
dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Terkadang
apendisitis juga disertai dengan demam derajat rendah sekitar 37,5 -38,5 derajat
celcius.2,3,4

19
Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat
dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika
meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut.2,4

Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum (terlindung


oleh sekum)
Tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan
peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut kanan atau nyeri timbul pada saat
melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri
ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.

Bila apendiks terletak di rongga pelvis


• Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul
gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis
meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-
ulang (diare).
• Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat
terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.

Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan
diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya,
sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa
keadaan di mana gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas.2,3

Pada anak-anak
Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak
tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan terjadi
muntah- muntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena ketidakjelasan
gejala ini, sering apendisitis diketahui setelah perforasi. Begitupun pada bayi, 80-
90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.

20
Pada orang tua berusia lanjut
Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh
penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.

Pada wanita
Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang gejalanya
serupa dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulasi,
menstruasi), radang panggul, atau penyakit kandungan lainnya. Pada wanita hamil
dengan usia kehamilan trimester, gejala apendisitis berupa nyeri perut, mual, dan
muntah, dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan usia
ini. Sedangkan pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke
kraniolateral, sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih
ke regio lumbal kanan.

PEMERIKSAAN

1. Pemeriksaan Fisik2,3,4
• Inspeksi : pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal
swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi
perut.
• Palpasi : pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri.
Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan
bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut
kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda
Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah
dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah.Ini disebut
tanda Blumberg (Blumberg Sign).
• Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator : pemeriksaan ini juga dilakukan
untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan
dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau
fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila
appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan

21
tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan
gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila
apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang
merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan
nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika.
• Pemeriksaan colok dubur : pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis,
untuk menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika
saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan
apendiks yang meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini
merupakan kunci diagnosis pada apendisitis pelvika.

2. Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein
reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit
antara 10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%,
sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.1,6

• Radiologi : terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada


pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat
yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-
scan ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan
dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum.3,5

DIAGNOSIS

Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis


apendisitis masih mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus. Kesalahan diagnosis
lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki. Hal ini dapat disadari
mengingat pada perempuan terutama yang masih muda sering mengalami
gangguan yang mirip apendisitis. Keluhan itu berasal dari genitalia interna karena
ovulasi, menstruasi, radang di pelvis, atau penyakit ginekologik lain.Untuk
menurunkan angka kesalahan diagnosis apendisitis meragukan, sebaiknya

22
dilakukan observasi penderita di rumah sakit dengan pengamatan setiap 1-2 jam.
Foto barium kurang dapat dipercaya. Ultrasonografi dan laparoskopi bisa
meningkatkan akurasi diagnosis pada kasus yang meragukan.2

PENATALAKSANAAN

Bila dari hasil diagnosis positif apendisitis akut, maka tindakan yang paling tepat
adalah segera dilakukan apendektomi. Apendektomi dapat dilakukan dalam dua
cara, yaitu cara terbuka dan cara laparoskopi. Apabila apendisitis baru diketahui
setelah terbentuk massa periapendikuler, maka tindakan yang pertama kali harus
dilakukan adalah pemberian/terapi antibiotik kombinasi terhadap penderita.
Antibiotik ini merupakan antibiotik yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob.
Setelah gejala membaik, yaitu sekitar 6-8 minggu, barulah apendektomi dapat
dilakukan. Jika gejala berlanjut, yang ditandai dengan terbentuknya abses, maka
dianjurkan melakukan drainase dan sekitar 6-8 minggu kemudian dilakukan
apendisektomi. Namun, apabila ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun dan
pemeriksaan klinis serta pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan tanda
radang atau abses setelah dilakukan terapi antibiotik, maka dapat dipertimbangkan
untuk membatalkan tindakan bedah.2,6

KOMPLIKASI

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi adalah:

Perforasi
Keterlambatan penanganan merupakan alasan penting terjadinya perforasi.
Perforasi appendix akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai
dengan demam tinggi, nyeri makin hebat meliputi seluruh perut dan perut menjadi
tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler di seluruh perut,
peristaltik usus menurun sampai menghilang karena ileus paralitik
(Syamsuhidajat, 1997).

23
Peritonitis
Peradangan peritoneum merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam
bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi akibat penyebaran
infeksi dari apendisitis. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada
permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata. Dengan
begitu, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus
kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam
lumen usus menyebabkan dehidrasi, gangguan sirkulasi, oligouria, dan mungkin
syok. Gejala : demam, lekositosis, nyeri abdomen, muntah, Abdomen tegang,
kaku, nyeri tekan, dan bunyi usus menghilang (Price dan Wilson, 2006).

Massa periapendikuler
Hal ini terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi
pendindingan oleh omentum. Umumnya massa apendiks terbentuk pada hari ke-4
sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis generalisata. Massa
apendiks dengan proses radang yang masih aktif ditandai dengan keadaan umum
masih terlihat sakit, suhu masih tinggi, terdapat tanda-tanda peritonitis,
lekositosis, dan pergeseran ke kiri. Massa apendiks dengan proses meradang telah
mereda ditandai dengan keadaan umum telah membaik, suhu tidak tinggi lagi,
tidak ada tanda peritonitis, teraba massa berbatas tegas dengan nyeri tekan ringan,
lekosit dan netrofil normal (Ahmadsyah dan Kartono, 1995).

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Mansjoer, A., Suprohaita., Wardani, W.I., Setiowulan, W., editor., “Bedah


Digestif”, dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, Cetakan
Kelima. Media Aesculapius, Jakarta, 2005, hlm. 307-313.
2. Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., editor., “Usus Halus, Apendiks, Kolon,
Dan Anorektum”, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. EGC, Jakarta,
2005,hlm.639-645.
3. Zeller, J.L., Burke, A.E., Glass, R.M., “Acute Appendicitis in
Children”, JAMA,http://jama.ama-assn.org/cgi/reprint/298/4/482, 15 Juli
2007, 298(4): 482.
4. Simpson, J., Humes, D. J., “Acute
Appendicitis”, BMJ,http://www.bmj.com/cgi/content/full/333/7567/530, 9
September 2006, 333: 530-536.
5. Mittal, V.K., Goliath, J., Sabir, M., Patel, R., Richards, B.F., Alkalay, I.,
ReMine, S., Edwards,M., “Advantages of Focused Helical Computed
Tomographic Scanning With Rectal Contrast Only vs Triple Contrast in
the Diagnosis of Clinically Uncertain Acute Appendicitis”, Archives of
Surgery, http://archsurg.ama-assn.org/cgi/content/full/139/5/495, Mei
2004, 139(5): 495-500
6. Grace, Pierce. A., Neil R. Borley., At a Glance, Edisi 3. Erlangga, Jakarta,
2007, hlm.106-107.
7. Ahmadsyah dan Kartono. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI.
8. Syamsuhidajat. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC.
9. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Ed: Ke-6. Jakarta: EGC.
10. Ahmadsyah dan Kartono. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI.

25
11. Pierce dan Neil. 2007. At a Glance Ilmu Bedah. Ed : 3. Jakarta : Penerbit
Erlangga.
12. Lawrence. 2006. Appendix. Dalam: Current Surgical Diagnosis and
Treatment. Ed : 12. USA : The McGraw-Hill Companies, Inc.
13. Budianto, Anang. 2005. Guidance to Anatomy II. Surakarta : Keluarga
Besar Asisten Anatomi FKUNS.

26

Anda mungkin juga menyukai