Anda di halaman 1dari 3

Apa yang ada dalam tulisan ini adalah unek-unekku saat tinggal di surabaya.

Bisa saja tentang kalian tapi juga bisa saja tidak. jangan membaca ini dalam kondisi emosi. Karena saat emosi kalian reda nantinya kalian akan malu karena pada dasarnya ini bukan tulisan tentang kalian. Melalui note ini bukan berarti aku sama sekali tidak suka saat tinggal di surabaya. Aku akui ada saat-saat menyenangkan. But its not really special. Kesan pertamaku saat pertama kali aku menetap di surabaya untuk kuliah adalah : Dipandang sebelah mata Aku masih ingat ketika masa ospek dulu. Seorang temanku berinisial G menanyakan asalku dan dengan sedikit bingung (ya bingung) aku menjawab Madiun . Entah kenapa dengan senyum tersunging sebelah si G ini mendengus kemudian berkata, Ealah dari madiun to , dengan nada meremehkan. FYI, pada akhirnya aku menganggap si G ini sebagai manusia yang perannya di dunia diibaratkan seperti, penjual hotdog yang mati duluan karena peluru nyasar dalam adegan penembakan saat presiden pidato dimuka umum. Kematiannya bahkan tidak digubris karena semua orang panik dan kalang kabut . Ada kemungkinan mayatnya terinjak-injak. Pikiran yang mengambang di kepalaku setelah hari itu adalah : Whats wrong with my answer Jujur aku bahkan mungkin tidak punya hak untuk mengaku sebagai orang madiun. Aku hanya punya kebanggaan untuk secara lantang mengatakan aku orang jawa dan orang indonesia asli. Tapi tidak untuk orang madiun aseli . Karena aku tidak lahir dan besar disana. Setidaknya untuk 12 tahun pertama hidupku dan empat tahun belakangan. Tapi aku betul-betul ingin dibilang orang madiun asli. I really do. Tahun-tahun berikutnya aku semakin mengerti psikis orang surabaya. Betapa mereka adalah kumpulan orang-orang yang ridiculously pride menjadi orang surabaya walaupun esensinya tidak. Seperti kacang lupa kulit. Terlalu tamak. Terbutakan gemerlap lampu neon. Konsumtif. Latah. Sampai sekarang aku tidak bisa mengerti kenapa mereka begitu bangga menjadi orang surabaya, dengan tutur bahasa yang kasar dan tidak beretika. Udara yang kotor dan berpolusi. Panas. (dan puluhan kekurangan lain yang tidak kusebutkan karena sedikit banyak berhubungan dengan SARA) Tidak ada satupun yang menarik di surabaya buatku kecuali buku-buku dan dvd-dvdnya. Seingatku aku selalu diremehkan. Dibilang orang udik. Entah kenapa. Padahal kenyataanya saat itu aku sudah terbiasa sibuk dengan laptop dan jaringan internet pada saat mereka masih sibuk sms-an dengan hape candy bar mereka. Setiap kali ada senior atau junior dari daerah yang menurut mereka berpenampilan atau berperilaku kedaerahan . They always refers it to me as if I was one of those people s family or collegue. Duh, I don t even know her/him. Anehnya mereka membahas kedaerahan itu seakan-akan hal tersebut adalah masalah paling krusial di negeri ini. Tertawa dan mengolok. Membuatku merasa getir. Ironisnya seorang temanku yang mengaku aseli surabaya pada suatu hari berkata Aku arep nang mantene dulurku sob nang ngawi . Dalam perkembangannya aku mengetahui kalau ibunya adalah asli ngawi sedangkan ayahnya adalah orang kalimantan (ngawi dan kalimantan itu mananya surabaya ya?). FYI, beberapa hari sebelum itu sobatku ini sempat menertawakan aku karena aku sekampung dengan seorang temanku yang yah kuakui dia memang aneh baik penampilan maupun tingkah lakunya.

Sekarang aku sudah berada tepat di gerbang kelulusan. Dan aku sudah bersumpah seiring dengan kakiku melangkahi gerbang itu aku juga akan keluar dari lingkaran setan bernama surabaya. Aku akan pulang ke Madiun. Menonton surabaya membusuk dari luar lingkaran itu sambil memakan pop corn atau gorengan. Seorang temanku yang asli surabaya (betul-betul asli) bahkan mendukung ku. Yah surabaya tidak lagi membutuhkan tambahan sampah bernama manusia. Sampah yang sudah menetap disana sebelumnya bahkan belum hancur dan membusuk. 10 tahun lagi atau bahkan tidak sampai aku mungkin akan ke surabaya untuk menertawakan mereka yang dulu menertawakan aku dan madiun. Saat itu aku akan jauh lebih bahagia daripada aku yang sekarang, daripada mereka ataupun siapapun di surabaya. Saat itu aku akan memandang mereka dengan sebelah mata. Berikut puisiku untuk mereka yang dulu menertawakan aku di surabaya :

Aku tidak peduli Kalian bilang prestis Aku bilang kampret Kalian bilang jelek Aku bilang : siapa? Kalian lihat sebelah mata Apa kalian bahkan punya mata

Aku adalah aku Aku tidak akan pernah jadi seperti kalian Tidak seujung kukupun Aku adalah cahaya Kalian hanya karung kotoran Aku adalah dewi fortuna yang kalian lewatkan

Aku adalah pohon Yang akarnya kuat menghujam tanah Yang hijau dan rindang penuh ketenangan Kalian adalah pohon Yang akarnya membusuk dan dimakan rayap

Yang tumbuh terlalu tinggi ke langit hingga tersambar petir

Aku terus berjalan ke depan Kalian hanya jalan di tempat Aku masih terus maju Kalian hanya tersenyum kecut

Jauh didepan aku bahkan tidak akan melirik kalian Tidak juga takut untuk dapat terkejar Apa yang aku tahu dari kalian hanyalah kesia-siaan Untuk kalian aku katakan Horas kebodohan.

Ciao -Sarcasmaholic-

Anda mungkin juga menyukai