Anda di halaman 1dari 19

BAB I ATEROSKLEROSIS DAN PENYAKIT JANTUNG

Kolesterol merupakan sterol utama dalam tubuh manusia. Kolesterol merupakan komponen struktural dari membran sel dan lipoprotein plasma, dan merupakan starting material dari sintesis asam empedu dan hormon steroid. Hiperkolesterolemia didefinisikan sebagai tingkat kolesterol yang lebih tinggi dari normal. Hiperkolesterolemia yang dihasilkan dari perubahan metabolik kolesterol, merupakan penyebab utama dari gangguan kardiovaskular, seperti atherosclerosis dan penyakit jantung koroner. Hiperkolesterolemia akan

mengakibatkan terbentuknya Plaque timbunan kolesterol bagian dari Low Density Lipoprotein (LDL), sel otot, beberapa protein, dan kalsium yang akan menghambat aliran darah dalam pembuluh darah dengan cara mempersempit pembuluh darah, mengeraskan dinding pembuluh darah dan menutup pembuluh darah. Ketika penimbunan dalam darah ini menjadi cukup besar, kolesterol menghambat aliran darah yang kemudian menimbulkan hipertensi. Aterosklerosis berawal dari penumpukan kolesterol terutama ester kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein) di dinding arteri. LDL secara normal bisa masul dan keluar dari dinding arteri lewat endotel. Masuknya lipoprotein kelapisan dalam dinding pembuluh darah meningkat seiring tingginya jumlah lipoprotein dalam plasma (hiperlipidemia), ukuran lipoprotein dan tekanan darah (hipertensi). Peningkatan semua itu akan meningkatkan permeabilitas dinding pembuluh darah, sehingga lipoprotein dan ester kolesterol mengendap di dinding arteri. Gangguan fungsi lapisan dinding pembuluh darah ini menjadi awal proses aterosklerosis dan mendorong mekanisme inflamasi serta infeksi. Inflamasi atau peradangan merupakan respon dasar tubuh terhadap injury (luka). Luka umumnya disebabkan oleh infeksi, tapi bisa juga sebagai reaksi alergi maupun imunologis. Manifestasi klinik dari proses aterosklerosis kompleks adalah penyakit jantung koroner, strok, bahkan kematian (Fatmawati, 2008). Aterosklerosis berasal dari bahasa yunani, athere: akumulasi lipid dan sclerosis: penebalan. Aterosklerosis adalah penyakit akibat terbentuknya plak di

dinding ateri besar, sehingga mempersempit lumen pembuluh darah dan mengakibatkan aliran darah terganggu dan menurunkan elastisitas pembuluh darah. Plak terdiri dari sel otot polos, jeringan ikat, lemak, dan kotoran yang tertimbun dalam intima dinding arteri (Kumalasari, 2005). Aterosklerosis merupakan penyakit yang terjadi di pembuluh arteri yang mengakibatkan penebalan atau pengerasan dindingnya. (medicastore, 2007). Atherosklerosis adalah penyakit arterial yang ditendai dengan penebalan lapisan dalam dinding pembuluh darah karena adanya penumpukan lipid yang disertai pembentukan jaringa fibrosa dan klasifikasi. penebalan tersebut akan menyempitkan lumen pembuluh darah, mengurangi elastisitas dan mengganggu aliran darah (Linder, 2007). Pembuluh-pembuluh nadi yang sering mengalami aterosklerosis ialah aorta, arteri-arteri koronaria, arteri-arteri besar pada lengan dan tungkai (Sumarmo, 1972). Bila satu atau lebih dari arteri koronaria terkena, maka keadaan ini disebut jantung koroner. Arteri koronaria yang tersumbat menimbulkan serangan jantung (Alison, 1993). Proses terjadinya atherosklerosis membutuhkan banyak faktor, salah satunya adalah kolesterol. Kolesterol merupakan salah satu hasil metabolisme lemak yang bisa berada dalam bentuk bebas maupun kolesterol terikat bersama trigliserida, fosfolipid, protein dalam bentuk LDL (Low Density Lipoprotein), VLDL (Very Low Density Lipoprotein), maupun HDL (High Density Lipoprotein). LDL merupakan sumber kolesterol terbesar bagi jaringan tubuh (Voet, 1995). Penyakit aterosklerosis dimulai dengan adanya reaksi sel-sel otot polos di dalam tunika intima dan kemudian menjadi progresif. Ateroma aorta dengan nekrosis. Pengendapan lipid didalam intimadan pengendapan kolagen (bantalan intima menebal dengan sedikit sel dan banyak kolagen) (Thomas, 1995). Berikut adalah gambaran histologis sususnan jaringan sistem kardovaskular

yangmengalami aterosklerosis. Hiperkolesterolemia, terutama fraksi low density lipoprotein, disebut LDL adalah faktor faktor resiko yang penting untuk terbentuknya aterosklerosis, dan

secara luas dipercayai oleh para ahli gizi jika diet tinggi lemak dapat meningkatkan level kolesterol plasma. Beberapa penelitian menerapkan prinsip ini untuk mendapatkan binatang coba yang hiperkolesterol, seperti yang dilakukan Yih- jerwu et all (Sargowo, 1999). Kolesterol dari diet diangkut ke jaringan oleh kilomikron sedangkan kolesterol yang disintesa sendiri oleh jaringan tubuh, khususnya oleh hepar di edarkan ke seluruh tubuh melalui VLDL. Penumpukan kolesterol di jaringan dapat disebabkan oleh karena kolesterol yang dikirim oleh VLDL atau kolesterol oksigen melalui kilomikron (Setiawati, 2000). Sintesis kolesterol diatur oleh masukan kolesterol dalam diet, masukan kalori, hormon-hormon tertentu dan asam empedu. Kolesterol dalam diet tidak menghambat biosintesis kolesterol intestinum, tetapi mempunyai hambatan umpan balik yang kuat terhadap aintesis kolesterol dalam hati bila kole sterol diet tinggi (Ganong, 1999) Proses terjadinya arteriosklerosis menurut Kumalasari (2005) adalah sebagai berikut: 1. Sel endotel arteri mengalami cidera, baik secara mekanis maupun karena bahan-bahan sitotoksin (termasuk LDL teroksidasi). Daerah yang terluka terkadang ke darah dan menarik monosit, kemudian manjadi makrofag dan memakan bahan-bahan disekitarnya (termasuk LDL teroksidasi). Sel makrofag berubah menjadi sel busa yang tertimbun dan menimbulkan fatty streak didalam pembuluh darah yang diakibatkan dipenuhinya sel makrofag oleh sel lemak. 2. Sel endotel yang rusak tersebut mengakibatkan trombosit menggumpal dan melepaskan tromboksan A3 yaitu suatu zat yang mendorong penggumpalan trombosit yang lebih lanjut. Sel tersebut juga melepaskan platelet-platelet growth factor. Makrofag ini menghasilkan pertumbuhan yang mengakibatkan proliferasi sel otot polos, yang berintegrasi dari lapisan medial ke intimal dinding arteri. 3. Sel didalam lapisan intimal melapaskan lemak (triasilgliserol + kolesterol) yang menumpuk didalam plak yang sedang tumbuh. LDL terus masuk ke lesi dan ikut berperan menambah timbunan lemak.

4.

Sel di lesi mensekresi kolagen, elastin dan glikosaminoglikan membentuk tudung fibrosa dan muncul kristal kolesterol dibagian tengah plak. Sel terperangkap dan mati sehingga terbentuk kotoran plak, dan juga terjadi klasifikasi. Ruftur dan pendarahan plak berkapsul tersebut di pembuluh koroner dapat menyebabkan pembentukan akut bekuan darah (trombus), yang semakin lama semakin menyumbat.Berikut ini adalah gambar arteri. Halliwell dan Cross pada tahun 1987 menyampaikan konsep radikal bebas

dalam proses aterosklerosis, dimana lipid peroksida berupa malondialdehida (MDA) merupakan produk reaksi dari radikal bebas, apabila berlebihan akan mengakibatkan stres oksidatif. Reaksi oksidasi ini akan terus terjadi secara berantai dan bereaksi terus menerus terhadap fosfolipid dari LDL. Akibat dari reaksi, terjadi oksidasi LDL yang akan di fagosit oleh makrofag sehingga terbentuk sel busa dalam jumlah berlebihan. Proses fagositosis dilakukan oleh netrofil, monosit dan sel T limfosit menghasilkan radikal bebas superoksida yang akan mempercepat kerusakan sel. Beberapa penelitian sudah membuktikan efek berbahaya yang akan ditimbulkan oleh reaksi kimia dari radikal bebas. Dalam terapi penurunan kadar kolesterol, diperlukan peran antioksidan sebagai suatu senyawa pemberi elektron yang dapat meredam dampak negatif oksidan dalam proses oksidatif. Gambar 1 memperlihatkan struktur dari radikal bebas yang merupakan suatu atom atau molekul mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan. Elektron tidak berpasangan menyebabkan instabilitas dan bersifat reaktif. Dengan hilang atau bertambahnya satu elektron pada molekul lain akan menyebabkan radikal bebas baru dan terjadi perubahan dramatis fisik dan kimiawi.

Gambar 1. Struktur Elektron Molekul Stabil dan Radikal Bebas

Radikal bebas dapat terbentuk dari beberapa reaksi pada sel makrofag, sel endotel, maupun sel monosit, berupa superoksida, hidroksil serta peroksida. Pada sel kariotik, produksi radikal bebas endogen utama berasal dari mitokondria. Peran penting radikal bebas dalam proses aterosklerosis adalah keterlibatannya dalam proses oksidasi LDL, serta menginduksi terjadinya inflamasi. LDL teroksidasi akan memicu timbulnya disfungsi endotel dan proses inflamasi akan mengakibatkan aktivasi migrasi monosit ke dalam intima, yang berlangsung secara terus menerus dan kompleks sehingga aterosklerosis. Kemajuan ilmu biologi molekuler menyebabkan perlu ditambahkan faktor resiko lain terjadinya aterosklerosis, yaitu kadar antioksidan dalam tubuh rendah akan meningkatkan gangguan akibat radikal bebas mengenai lipid, karbohidrat, maupun protein sehingga terjadi kerusakan sampai kematian sel. Gangguan fungsi protein maupun mutasi gen mengakibatkan berhentinya proliferasi DNA. Kerusakan DNA akan mempengaruhi proses transkripsi dan sintesa protein, kesalahan transkripsi bertumpuk-tumpuk menyebabkan kesalahan metabolisme makin banyak. menyebabkan terjadinya

Gambar 2. Mekanisme Pembentukan Sel Busa Gambar 2 memperlihatkan pembentukan sel busa dengan fagositosis LDL teroksidasi. Proses ini terjadi di ruang sub endotel pembuluh darah. Vitamin E, C dan A menghambat oksidasi LDL. Beberapa penelitian mengenai konsumsi makanan yang mengandung banyak buah dan sayur dapat mencegah penyakit jantung, salah satu faktornya karena mengandung vitamin antioksidan tersebut. Menurut Sitepoe (1993), semua faktor yang dapat mendorong peningkatan arteriosklerosis disebut faktor resiko, antara lain tekanan darah tinggi, merokok,

kegemukan, hiperkolesterolemia, rasio kolesterol total:kolesterol-HDL lebih dari 4,5. menurut Margatan (1996) dan Sitepoe (1993), perbandingan kolesterol total dan kolesterol-HDL lebih berarti dari pada kadar kolesterol plasma sendiri. Tekanan darah yang tinggi diduga sebagai penyebab pembentukan aterosklerosis. Tekanan darah yang tinggi secara kronis menimbulkan gaya renggang atau potong yang merobek lapisan endotel arteri dan arteriol. Gaya regang terutama timbul ditempat-tempat arteri bercabang (bifurkasi) atau membelok yaitu pada arteri koroner, aorta, dan arteri-arteri serebrum. Dengan robeknya lapisan endotel, maka timbul kerusakan yang berulang-ulang sehingga terjadi siklus peradangan, penimbunan sel darah putih dan trombosit, serta pembentukan bekuan. Setiap trombus yang terbentuk dapat terlepas dari arteri sehingga terjadi embolus di bagian hilir (Corwing, 1997)

BAB II PERAN ANTIOKSIDAN DALAM MENCEGAH ATEROSKLEROSIS

Kemajuan ilmu biologi molekuler memunculkan peran oksidan dan antioksidan. Pada keadaan normal terjadi keseimbangan antara keduanya di dalam tubuh. Beberapa penelitian terakhir mengindikasikan faktor pemicu penyakit di sebut stres oksidatif, yang terjadi karena peningkatan jumlah radikal bebas sehingga kemampuan pertahanan tubuh melalui sistem antioksidan berkurang. Keadaan ini dipengaruhi oleh spesies oksigen reaktif (ROS). ROS merupakan molekul oksidan relatif tinggi, bersifat sangat tidak stabil sehingga cepat bereaksi dengan molekul lain. ROS terjadi baik secara endogen maupun eksogen, melalui aktifitas metabolik reguler, aktifitas gaya hidup dan diet.iv-6Antioksidan merupakan agen protektif yang menonaktifkan spesies oksigen reaktif (ROS) sehingga secara signifikan dapat mencegah kerusakan oksidatif. Antioksidan secara alami berada dalam sel manusia (endogen), diantaranya adalah superokside dismutase (SOD), katalase (CAT), dan gluthathion peroksidase (GPx). Gluthathion peroksidase merupakan salah satu antioksidan endogen yang berperan

dalam perlindungan terhadap peroksidasi lipid. Pada keadaan stres oksidatif kerja gluthathion peroksidase akan meningkat. Selain antioksidan tersebut, sumber-sumber antioksidan eksogen yang berasal dari makanan sehari-hari juga diperlukan untuk meminimalkan stres oksidatif, seperti vitamin-vitamin (vitamin C, vitamin E, karoten), dan senyawa fitokimia (karotenoid, isoflavon, saponin, polifenol).8-10 Vitamin C merupakan vitamin larut dalam air, secara tunggal dapat menghambat proses oksidasi LDL.4,11 Vitamin C bekerja bersama-sama dengan vitamin E dalam menghambat reaksi oksidasi. Vitamin C mengikat vitamin E radikal yang terbentuk pada proses pemutusan reaksi radikal bebas oleh vitamin E, menjadi vitamin E bebas yang berfungsi kembali sebagai antioksidan. Vitamin E merupakan vitamin larut dalam lemak, dapat memutuskan reaksi radikal bebas pada jaringan dan merupakan antioksidan yang dominan dalam partikel LDL. Selain vitamin, ada beberapa antioksidan alami yang termasuk senyawa fitokimia. Senyawa tersebut berada disekitar kita, mudah didapat, harga relatif terjangkau, diantaranya terdapat pada melon, semangka, jambu biji, anggur, dan tomat. Tomat banyak mengandung likopen, termasuk karotenoid yaitu isomer karoten tak siklik, merupakan pigmen natural yang disintesis oleh tumbuhan dan mikroorganisme tetapi tidak oleh binatang. Likopen salah satu antioksidan paling potensial, merupakan suatu hidrokarbon tak jenuh tinggi dengan 11 ikatan rangkap konjugasi dan 2 ikatan rangkap tak konjugasi. Likopen mengalami isomerisasi cistrans yang dipengaruhi oleh energi, cahaya, suhu dan reaksi kimia. Likopen dari tumbuhan alami berada secara dominan dalam bentuk all-trans, bentuk paling stabil secara termodinamika. Konsentrasi likopen, bioavailibilitas dan interaksi dengan antioksidan lain mempengaruhi kerja likopen sebagai antioksidan. Argawal dan Rao (2000) menyatakan bahwa aktifitas antiaterosklerosis likopen didasarkan pada efek stimulan yang terjadi, baik secara oksidatif maupun nonoksidatif. Pada mekanisme oksidatif, likopen diduga mencegah aterosklerosis dengan memproteksi biomolekul seluler penting, antara lain lipid dan lipoprotein. Dalam mekanisme non oksidatif, efek antiaterosklerosis likopen bekerja sebagai

agen hipokolesterolemik dengan menghambat laju HMG-CoA (3-hydroxy-3methylglutaryl-coenzim A) reduktase yang berperan penting pada sintesis kolesterol, serta mengaktifkan reseptor LDL.18-20 Stampfer dan Rimm melakukan penelitian hubungan antara antioksidan dengan penyakit jantung koroner (PJK) melaporkan bahwa pemberian suplemen vitamin E dosis tinggi (>100 IU/hari) dapat menurunkan resiko PJK hingga 40% di banding dengan pemberian dosis kecil (<3 IU/hari). Antioksidan adalah senyawa dalam kadar rendah mampu menghambat oksidasi molekul target sehingga dapat melawan atau menetralisir radikal bebas. Dikenal ada tiga kelompok antioksidan, yaitu antioksidan enzimatik, antioksidan pemutus rantai dan antioksidan logam transisi terikat protein. Yang termasuk antioksidan enzimatik adalah superoksida dismutase (SOD), katalase (CAT), gluthathion peroksidase (GPx), gluthathion reduktase (GR) dan seruloplasmin. Mekanisme kerja antioksidan enzimatik adalah mengkatalisir pemusnahan radikal bebas dalam sel. Antioksidan pemutus rantai adalah molekul kecil yang dapat menerima atau memberi elektron dari atau ke radikal bebas, sehingga membentuk senyawa baru stabil, misal vitamin E dan vitamin C. Sedangkan antioksidan logam transisi terikat protein bekerja mengikat ion logam mencegah radikal bebas.

Gambar 3. Hubungan Sinergisme Sistem Antioksidan Gambar 3 menjelaskan hubungan yang sinergisme di dalam sistem antioksidan. Adanya suatu radikal yang masuk, pertama kali akan dinetralisir oleh vitamin E, kemudian vitamin C dan dilanjutkan oleh mekanisme oksidatif dari dalam tubuh, dilakukan oleh enzim, misal gluthathion. Di dalam sistem tersebut ada saling keterkaitan antara satu dengan lain (antioxidant network). Beberapa

antioksidan penting dalam mekanisme untuk menghambat kerusakan oksidatif akibat radikal bebas, diantaranya gluthathion peroksidase, vitamin C dan vitamin E.36 Antioksidan bisa dikelompokkan berdasar sumbernya menjadi antioksidan endogen dan eksogen. Antioksidan endogen merupakan antioksidan secara alami berada dalam sel manusiadiantaranya adalah superokside dismutase (SOD), katalase (CAT), dan gluthathion peroksidase (GPx). Antioksidan eksogen adalah antioksidan yang berasal dari luar tubuh, berasal dari makanan sehari-hari seperti vitamin-vitamin (vitamin C, vitamin E, karoten), dan senyawa fitokimia (karotenoid, isoflavon, saponin, polifenol). Pertahanan sel terhadap spesies oksigen reaktif (ROS) melalui mekanisme: reduksi enzimatik, pengeluaran oleh vitamin antioksidan, perbaikan membran dan DNA yang rusak oleh enzim dan kompartementasi (Gambar 4). Enzim scavenger bersifat antioksidan mengeluarkan atau menyingkirkan superoksida dan hidrogen peroksida. Vitamin E, vitamin C dan karotenoid, sebagai vitamin antioksidan dapat menghentikan reaksi berantai radikal bebas. Mekanisme perbaikan DNA dan pengeluaran asam lemak teroksidasi dari membran, juga dijumpai di sel. Pertahanan kompartementasi mengacu kepada pemisahan spesies dan tempat terlibat dalam pembentukan ROS dari bagian sel lainnya.

Gambar 4. Mekanisme Pertahanan Sel Vitamin C memiliki struktur sangat mirip dengan glukosa, pada sebagian besar mamalia vitamin C berasal dari glukosa. Vitamin C terdapat dalam bentuk asam askorbat maupun dehidroaskorbat. Asam askorbat diabsorpsi usus halus, dan hampir seluruh asam askorbat dari makanan terabsorpsi sempurna. Asam askorbat masuk sirkulasi untuk didistribusikan ke sel-sel tubuh. Asam askorbat dioksidasi

in vivo menjadi radikal bebas askorbil. Sebagian proses reversibel menjadi asam askorbat kembali, sebagian menjadi dehidroaskorbat yang akan mengalami hidrolisis, oksidasi dan akhirnya diekskresi melalui urine. Vitamin C bersifat hidrofilik dan berfungsi paling baik pada lingkungan air sehingga merupakan antioksidan utama dalam plasma terhadap serangan radikal bebas (ROS) dan juga berperan dalam sel. Sebagai zat penyapu radikal bebas, vitamin C dapat langsung bereaksi dengan superoksida dan anion hidroksil, serta berbagai hidroperoksida lemak. Sedangkan sebagai antioksidan pemutus-reaksi berantai, memungkinkan untuk melakukan regenerasi bentuk vitamin E tereduksi.

Likopen sama sekali tidak diproduksi oleh tubuh, melainkan hanya didapatkan dari diet. Bioavailibilitas likopen, yang berasal dari berbagai sumber seperti tomat, semangka, dan jambu biji, dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti proses pengolahan makanan, pemasakan dan komponen-komponen lainnya yang ada di dalam makanan seperti lemak dan serat, juga faktor-faktor fisiologik dan genetik yang mengontrol proses pencernaan dan absorpsi.58 Proses pemasakan biasanya membuat bioavailibilitas likopen bertambah, karena terjadi

perubahan kimiawi akibat perubahan temperatur ketika mengalami pemrosesan, kemudian likopen terlepas dari matriksnya dan menjadi fase lipid dari makanan. Hal ini menyebabkan tubuh dapat mengabsorpsi likopen dengan lebih mudah. Penyerapan likopen ke sel mukosa intestinal dibantu dengan pembentukan miselle-miselle asam empedu. Karena produksi empedu di rangsang oleh diet lemak, absorpsi likopen juga dipengaruhi oleh diet yang mengandung lemak. Data dari beberapa penelitian pada manusia di India menyatakan bahwa dibutuhkan minimum 5-10 gram lemak untuk di absorpsi dari makanan. Secara umum, kandungan lemak sebanyak 40% dari kalori seperti diet di Amerika, sudah cukup untuk absorpsi likopen secara optimal.60 Beberapa faktor seperti serat-serat tertentu, zat pengganti lemak, sterol nabati, dan obat-obatan penurun kolesterol, dapat menurunkan efisiensi penggabungan likopen menjadi miselle, karena likopen diabsorpsi dalam bentuk tersebut. Penyerapan likopen oleh membran brush border dari sel mukosa intestinal berlangsung secara difusi pasif. Belum jelas apakah likopen ditransportasikan intraselluler oleh suatu protein spesifik atau bermigrasi di dalam butir-butir lipid.

Gambar 10. Absorpsi Likopen Likopen keluar dari sel mukosa dalam bentuk kilomikron, disekresikan lewat sistem lymphe mesentrik masuk ke dalam darah. Dengan bantuan enzim lipase lipoprotein pada kilomikron, likopen dan karotenoid masuk ke jaringan secara pasif, seperti kelenjar adrenal, ginjal, jaringan adipose, limpa, paru-paru, dan organ-organ reproduksi, sebelum kelebihan kilomikron dibersihkan di dalam hati lewat reseptor kilomikron (Gambar 10). Karotenoid dapat terakumulasi di hati atau mengalami repackage menjadi very low density lipoprotein (VLDL) dan masuk kembali ke dalam darah. Pengambilan karotenoid masuk ke jaringan dari

VLDL dan LDL, diduga terjadi lewat reseptor LDL, sehingga jaringan yang mempunyai konsentrasi karotenoid tertinggi (hati, adrenal, testis) cenderung mempunyai aktifitas reseptor LDL yang tinggi. Likopen adalah karotenoid utama di hati, adrenal, testis, prostat manusia. Di dalam tubuh, likopen di simpan di hati, paru, kelenjar prostat, kolon dan kulit. Konsentrasi di dalam jaringan cenderung lebih tinggi di banding semua karotenoid yang lain. Mekanisme kerja antioksidan Mekanisme kerja antioksidan memiliki dua fungsi. Fungsi pertama merupakan fungsi utama dari antioksidan yaitu sebagai pemberi atom hidrogen. Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sering disebut sebagai antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen secara cepat ke radikal lipida (R*, ROO*) atau mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan (A*) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal lipida. Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder antioksidan, yaitu

memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme diluar mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal lipida ke bentuk lebih stabil (Gordon,1990). Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah pada lipida dapat menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi lemak dan minyak. Penambahan tersebut dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi maupun propagasi (Gambar 1). Radikal-radikal antioksidan (A*) yang terbentuk pada reaksi tersebut relatif stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat bereaksi dengan molekul lipida lain membentuk radikal lipida baru (Gordon, 1990). Inisiasi : R* + AH ----------> RH + A* Radikal lipida Propagasi : ROO* + AH -------> ROOH + A*

Gambar 1. Reaksi Penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipida (Gordon 1990)

Besar konsentrasi antioksidan yang ditambahkan dapat berpengaruh pada laju oksidasi. Pada konsentrasi tinggi, aktivitas antioksidan grup fenolik sering lenyap bahkan antioksidan tersebut menjadi prooksidan (Gambar 2). Pengaruh jumlah konsentrasi pada laju oksidasi tergantung pada struktur antioksidan, kondisi dan sampel yang akan diuji. AH + O2 -----------> A* + HOO*

AH + ROOH ---------> RO* + H2O + A* Gambar 2. Antioksidan bertindak sebagai prooksidan pada konsentrasi tinggi (Gordon 1990)

BAB III PERAN SERAT DALAM MENCEGAH ATEROSKLEROSIS

Serat merupakan bagian dari dinding sel tumbuhan yang tidak dapat dicerna oleh enzim saluran pencernaan manusia sehingga sulit di absorbsi oleh unsur-unsur halus. Meskipun demikian, dalam usus besar manusia terdapat beberapa bakteri yang dapat mencerna serat menjadi komponen serat sehingga dapat diserap tubuh dan dapat digunakan sebagai sumber energi (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2007). Serat terdiri dari polisakarida non pati ditambah lignin yang juga merupakan bagian dari serat non polisakarida. Para ahli mengelompokkan serat makanan sebagai salah satu jenis polisakarida y ang lebih lazim disebut karbohidrat kompleks. Karbohidrat ini terbentuk dari beberapa gugusan gula sederhana yang bergabung menjadi satu, membentuk rantai kimia yang panjang, akibatnya rantai kimia tersebut sangat sukar dicerna manusia. Pengertian serat makanan tidak sama dengan serat kasar, yang dimaksud dengan serat kasar adalah zat sisa asal tanaman yang biasa dimakan yang masih tertinggal setelah berturut-turut di ekstraksi dengan zat pelarut, asam encer, dan alkali. Dengan demikian nilai zat serat kasar selalu lebih rendah dari pada serat

makanan, kurang lebih hanya setengah dari seluruh nilai serat makanan (Waspadji, 1990). Serat makanan tidak dapat diserap oleh dinding usus halus dan masuk ke dalam sirkulasi darah. Namun, akan dilewatkan kedalam usus besar (kolon) dengan gerakan peristaltik usus. Serat makan yang tersisa dalam kolon tidak membahayakan organ usus, justru kahadirannya berpengaruh positif terhadap proses-proses dalam saluran pencernaan dan metabolisme zat-zat gizi, asalkan jumlahnya tidak berlebihan (Sulistijani, 1999). Serat dalam makanan terdiri atas dua komponen utama, yaitu yang larut (soluble fiber) dan tak larut (insoluble fiber). Serat larut tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia, tetapi larut dalam air. Menurut Hardjono (2008) serat yang larut dalam air banyak terdapat pada biji-bijian dan kacang-kacangan. Menurut Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat (2007) serat yang larut tersebut terlarut dan membentuk gel dalam air, bentukan gel dalam saluran pencernaan menyebabkan kecepatan melambat dalam mendorong komponen makan ke usus. Serat tak larut tidak dapat dicerna dan juga tidak larut dalam air. Namun meski tidak dapat dicerna, serat mempunyai fungsi metabolisme zat gizi yang penting. Karena tidak dicerna, serat masuk ke kolon (usus besar) dalam keadaan utuh. Selain itu, serat mencapai kolon dalam volume besar dan membutuhkan tempat luas, sehingga menimbulkan kenyang. Maka kehadiran serat dalam lambung dan saluran pencernaan akan mengurangi keinginan seseorang makan lebih banyak, sehingga mencegah munculnya kegemukan. Konsumsi serat makanan yang dianjurkan dalam diet sehari-hari adalah 20 - 30 g. Menurut Hardjono (2008), serat dapat menganggu penyerapan kolesterol di usus halus, sehingga gerakan usus meningkat dan sari makanan yang mengandung lemak dan kolesterol cepat terbuang melalui tinja akibat asam empedu yang mengandung kolesterol. Menurut Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat (2007) bahwa serat merangsang peningkatan ekskresi asam empedu ke dalam usus. Dengan demikian absorpsi kolesterol dan lemak lainnya melambat, sehingga terjadi peningkatan produksi asam lemak rantai pendek dengan cara

fermentasi. Demikian semakin tinggi konsumsi serat larut, semakin banyak asam empedu dan lemak yang dikeluarkan oleh tubuh. Sementara pembatasan konsumsi lemak (khususnya lemak jenuh) dan kolesterol merupakan cara diet yang selama ini selalu dianjurkan untuk mengurangi risiko penyakit jantung koroner, upaya ini akan berhasil dengan lebih efektif jika disertai dengan pengaturan konsumsi gizi lainnya, seperti vitamin C, vitamin E, dan serat. (Khomsan, 2007). Menurut Winarno (2004) dengan meningkatkan konsumsi serat akan nyata turun kadar kolesterol dalam darah, terutama bila dilakukan secara kontinyu. Menurut Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat (2007) serat mempunyai banyak keuntungan bagi kesehatan pencernaan, keuntunganya adalah sebagai berikut: 1) Membuat kenyang karena menyerap air dan mengembang; serat terlarut sewaktu makan juga memperlambat gerak makanan ke pencernaan bagian atas, dengan demikian pemenuhan menjadi lama, 2) Menurunkan konsumsi energi dengan cara mencuci konsentrasi lemak dan gula dalam diet yang menyumbangkan sedikit energi; serat dalam diet macam ini dapat mengontrol berat tubuh, 3) Membantu mencegah bakteri penyebab terjadinya infeksi pada bagian appendix (appendicitis), 4) Membantu mencegah terjadinya konstipasi, hemorrhoid, dan masalah lain di usus yang berkaitan dengan pemeliharaan kelembaban dan mudah terleliminasi, 5) Mempunyai hubungan dengan penurunan kanker kolon, 6) Memperbaiki penanganan glukosa dalam tubuh dengan cara memperlambat pencernaan; tingginya serat dalam makanan sewaktu sarapan secara tetap berpengaruh pada pengaturan glukosa darah sesudah makan siang. Pencernaan, absorbsi dan metabolisme lemak di pengaruhi oleh serat. Hal ini timbul karena adanya mekanisme seperti: penundaan pengosongan isi lambung, berkurangnya daya campur isi saluran cerna dengan enzim-enzim percernaan dan penundaan absorbsi bahan makanan, juga terjadi pengikatan bahan penting yang telibat dalam pencernaan lemak yaitu kolesteol dan asam empedu.

Pengikatan asam lemak oleh serat mengakibatkan rendahnya jumlah asam lemak bebas yang tersedia dalam lumen saluran cerna dalam usaha pembentukan misel. Pengikatan asam empedu oleh serat juga menyingkirkan empedu dari sirkulasi enterohepatik, karena asam empedu yang di ekskresi ke usus tidak dapat di absorbsi untuk pemakaian ulang, tetapi ikut terbuang dalam feses. Hal ini menyebabkan meningkatnya penggunaan kolesterol untuk sintesa asam

empedudan mengikat pool asam empedu, sehingga terjadi penurunan kolesterol plasma. Serat larut dalam usus halus membentuk matriks dengan viskositas tinggi yang dapat mengganggu absorbsi kolesterol. Penelitian menunjukkan bahwa absorbsi kolesterol menurun secara linier dengan logaritma viskositas muatan atau isi usus halus, interaksi serat larut dengan asam empedu dan fosfolipid, yaitu senyawa-senyawa untuk pembentukan micelle yang diperlukan untuk pencernaan dan absorbsi lemak dalam usus, dapat menyebabkan penurunan kecepatan pencernaan dan absorbsi lemak. Konsumsi serat larut dalam jumlah cukup besar dapat mengurangi kecepatan absorbsi karbohidrat, yang akan menyebabkan penurunan kadar insulin di dalam darah. Insulin mempunyai peranan penting dalam meningkatkan sintesa kolesterol di hati melalui perangsangan terhadap HMG-KoA reduktase, yaitu melalui suatu rate limiting enzyme pada hepatik kolesterogenesis. Penurun kadar insulin darah menyebabkan berkurangnya stimulasi terhadap sintesa kolesterol di hati, penurunan sintesa kolesterol ini mengakibatkan reseptor LDL dan selanjutnya akan menurunkan kadar kolesterol total dan LDL plasma. Didalam usus besar serat larut mengalami fermentasi oleh bakteri kolon dan menghasilkan asam-asam lemak rantai pendek seperti asam asetat, propinat, dan butirat, yang masuk kedalam vena porta kemudian dibawa ke hati. Propinat mungkin mempunyai efek metabolik yang penting pada metabolisme lipid dan glukosa dihati. Pada manusia, asam asetat merupakan hasil fermentasi serat larut yang penting dan paling banyak terbentuk sedangkan asam -asam lemak rantai pendek lainnya hanya sedikit diproduksi. Peningkatan bermakna dari asam-asam lemak, ini memberikan kontribusi bagi efek hiperkolesterolemik serat larut.

Serat makanan dapat mempengaruhi metabolisme asam empedu. Asam Empedu adalah deterjen sangat efektif yang membantu solubilisasi, pencernaan, dan penyerapan lipid diet dan vitamin yang larut dalam lemak di seluruh usus kecil. Tinggi konsentrasi empedu garam ditemukan dalam jejunum, duodenum, dan proksimal ileum, di mana pencernaan dan penyerapan lemak terjadi (Ridlon dan lain 2006). Biasanya, mereka hampir sepenuhnya diserap di ileum (Hofmann 1994). Bukti menunjukkan bahwa beberapa air-larut serat dapat membentuk lapisan air tebal dalam usus lumen. Lapisan ini dapat bertindak sebagai penghalang fisik, sehingga mengurangi penyerapan (kembali) dari lemak, termasuk kolesterol dan asam empedu. Hal ini akan menyebabkan peningkatan output feses dari kedua komponen tersebut. Karena asam empedu terbatas, semakin tinggi ekskresi asam empedu membutuhkan peningkatan sintesis hepatik asam empedu. Akibatnya, konversi kolesterol ke hati asam empedu meningkat, kolesterol bebas dalam hati menurun dan sintesis kolesterol endogen meningkat. Hal ini mungkin adalah indikasi utama hipokolesterolemik yang terjadi pada orang yang mengalami hiperkolesterolemik (Garc' a-Diez dan lain-lain 1996; Theuwissen dan Mensink 2008). Mekanisme lain yang mungkin adalah pengurangan penyerapan lemak, kolesterol, dan asam empedu, yang dapat mengubah formasi misel dan menurunkan kemampuan kolesterol untuk bergabung dengan misel (Carr dan Jesch 2006). Serat pangan memiliki kapasitas untuk mengikat asam empedu, metabolit kolesterol yang memainkan berperan penting dalam pencernaan dan penyerapan lipid dalam usus kecil. Asam empedu yang memiliki kemampuan tinggi dalam mengikat serat dapat menyebabkan konsentrasi serum kolesterol menurunkan karena terganggunya sirkulasi enterohepatik (Eastwood 1992). Eastwood dan Morris (1992) melaporkan bahwa atribut utama larut serat yang menghambat penyerapan kolesterol adalah kemampuan mereka untuk membentuk serat kental. Serat larut menjadi kental di usus kecil. Hal ini diyakini bahwa peningkatan viskositas menghambat pergerakan kolesterol, asam empedu, dan lainnya lipid dan menghambat pembentukan misel, sehingga mengurangi

kolesterol penyerapan dan meningkatkan ekskresi kolesterol dari tubuh (Carr dan Jesch 2006). Beberapa jenis serat seperti lignin, gum, pektin dan hemisellulosa dapat berikatan dengan enzim atau nutrien di dalam saluran cerna. Efek fisiologisnya adalah :
y

Berkurangnya absorpsi lemak Baik serat larut maupun serat tak larut dapat mempengaruhi absorpsi lemak dengan mengikat asam lemak, kolesterol dan garam empe di du saluran cerna. Asam lemak dan kolesterol yang terikat dengan serat tidak membentuk misel yang sangat dibutuhkan untuk penyerapan lemak agar dapat melewati unstirred water layer masuk ke eritrosit. Akibatnya lemak yang berikatan dengan serat tidak bisa diserao dan akan terus ke usus besar untuk diekskresi melalui feses atau didegradasi oleh bakteri usus.

Meningkatkan ekskresi garam empedu Serat akan mengikat garam empedu sehingga misel tidak dapat terbentuk. Di samping itu garam empedu yang telah terikat serat ini tidak dapat direabsorpsi dan diresirkulasi melalui siklus enterohepatik. Akitabnya garam empedu ini akan terus ke usus besar untuk dibuang melalui feses atau didegradasi oleh flora usus.

Mengurangi kadar kolesterol serum Konsumsi serat dapat menurunkan kadar kolesterol serum melalui beberapa cara : 1) Dengan meningkatnya ekskresi garam empedu dan kolesterol

memalui feses maka garam empedu yang mengalami siklus enterohepatik juga berkurang. Berkurangnya garam empedu yang masuk ke hati dan berkurangnya absoprsi kolesterol akan menurunkan kadar kolesterol sel hati. Ini akan meningkatkan pengambilan kolesterol dari darah yang akan dipakai untuk sintesis garam empedu yang baru sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol.

2) Terjadi perubahan pool garam empedu dari chiloc acid menjadi chenodeoxycholic acid yang menghambat 3-hydroxy 3-

methylglutaryl (HMG) CoA reductase yang dibutuhkan untuk sintesis kolesterol. 3) Penelitian pada hewan menunjukkan propionat atau asam lemak rantai pendek lain yang terbentuk sebagai hasil degradasi serat di kolon akan menghambat sintesis lemak.
y

Mempengaruhi keseimbangan mineral Beberapa serat dapat berikatan dengan kation seperti kalsium, zink dan zat besi.

Pektin, -glukan, fructans, dan gum telah diidentifikasi sebagai agen yang dapat bekerja melalui produksi dari sebuah matriks yang kental menghalangi pergerakan kolesterol dan asam empedu ke dalam misel serta pengambilan berikutnya misel ke dalam enterocyte (Jones 2008). Jika viskositas dalam lumen dari usus adalah penting untuk keberhasilan fisiologis, penting

untuk memahami faktor-faktor dalam makanan yang mungkin mengurangi atau meningkatkan kemampuan glukan pektin atau-untuk menghasilkan viskositas.

Dalam paling pengertian umum, cara di mana suatu serat larut akan memodifikasi pelarut tergantung pada kelarutan, jumlah, atau extractability dalam kondisi fisiologis dan molekuler berat dan struktur serat. Perubahan dalam sifat-sifat pektin atau -glukan dalam produk makanan yang sangat mungkin mempengaruhi respon fisiologis (Wood 2007).

Anda mungkin juga menyukai