Anda di halaman 1dari 9

A.

Latar Belakang Perkembangan dan kemajuan berpikir manusia senantiasa disertai oleh wahyu yang sesuai dan dapat memecahkan problematika yang dihadapi oleh manusia sampai pada perkembangan itu mencapai tingkat kematangannya. Allah menghendaki agar Al Quran menjadi pedoman bagi manusia di dunia ini, maka di utuslah Nabi Muhammad SAW., sebagai pembawa wahyu di saat manusia sedang mengalami kekosongan dari para rasul untuk melengkapi dan menyempurnakan syariat para rasul sebelumnya sekaligus menetapkan Al Quran sebagai petunjuk kepada jalan kebenaran bagi seluruh umat hingga hari kiamat tiba. Al Quran adalah mukjizat yang diberikan Allah SWT., yang kekal kepada Nabi Muhammad SAW., sebagai petunjuk bagi manusia dan jin dalam mengatur kehidupan mereka antara makhluq dan tuhannya dalam hal ini adalah ketentuanketentuan tentang Aqidah untuk mengesakan Allah SWT dan tidak menyekutukannya. Selain itu juga Al Quran diturunkan sebagai tanda kenabian Rasulullah SAW dan untuk menguatkan beliau dalam berdakwah kepada kebenaran dan sebagai Ibadah kepada Allah SWT dalam membaca dan mempelajarinya dan untuk mendekatkan hamba kepada Allah SWT dalam memahaminya dan mengamalkannya. Dengan keistimewaan itu Al Quran memecahkan problematika kemanusiaan dalam berbagai segi kehidupan baik rohani, jasmani, sosial, ekonomi maupun politik dengan pemecahan yang sangat bijaksana dan metode-metode yang sesuai dengan keadaan hati dan kejiwaan manusia di setiap Negara dan zaman. Pada setiap problematika itu Al Quran memberikan sentuhan dengan dasar-dasar yang umum dan dapat dijadikan landasan untuk langkah-langkah seluruh manusia hingga akhir zaman. Dahulu sebagian ulama merasa puas dengan mengakhiri sebuah pembahasan dengan menyatakan Wallahu Alam Bisshowab (Allah lebih Tahu akan

kebenarannya), akan tetapi dewasa ini hal tersebut sudah mulai berubah seiring dengan pemikiran kritis para ulama yang sedikit demi sedikit beralih pandangan dalam menyelesaikan masalah tersebut dengan menggunakan tawil. B. Pengertian Tawil Pemahaman literal terhadap teks-teks Al-Quran dan Hadits tidak jarang menimbulkan problem atau ganjalan-ganjalan dalam pemikiran, apalagi ketika pemahaman tersebut dihadapkan dengan kenyataan sosial, hakikat ilmiah, atau keagamaan. Al-Jahiz (w. 225 H/868 M), seorang ulama beraliran mutazilah dalam bidang teologi, dinilai sebagai tokoh pertama dalam bidang penafsiran metaforis, ia memperkenalkan makna-makna metaforis pada ayat-ayat Al Quran. Dan dalam hal ini, harus diakui bahwa dia telah menghasilkan pemikiran-pemikiran yang sangat mengagumkan sehingga mampu menyelesaikan sekian banyak problem pemahaman keagamaan. Pemikiran Al-Jahiz ini diteruskan oleh muridnya yang beraliran sunni yakni Ibnu Qutaibah (w. 276 H/889 M) dalam metode memahami teks-teks keagamaan, yakni memungkinkan pemindahan makna dari sebuah teks-teks hukum sesuai dengan logika dan tidak melanggar hukum syari. 1 Tawil berasal dari kata -yang berarti kembali kepada asal dan dibentuk dari pola kata atau wazan yang berarti memalingkan/memulangkan untuk banyak, 2 sedangkan menurut istilah ulama memiliki beberapa pendapat dalam memberi definisi kepada tawil: 1. Abdul Wahhab Khalaf memberi definisi:

1 2

M. Quraish Shihab, DR., Membumikan Al Quran, (Bandung: Mizan), 90. Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu Al-Quran, (Bogor: Pustaka Litera Antarnusa), 457.

Tawil adalah memalingkan lafazh dari zhahirnya lantaran ada dalil yang menguatkannya .3 2. Ibnu Jauzi memberi defininsi: Tawil adalah memalingkan ucapan dari maudhunya kepada apa yang diperlukan untuk menetapkannya kepada dalil, yang kalau tidak demikian maka zahir lafazh tidak akan ditinggalkan. 4 3. DR. Wahbah Al-Zuhaily dalam Ushul Fiqh Al-Islami memberi definisi: Tawil memalingkan zhahir lafazh dari pemakaian asalnya kepada makna yang lain dari zhahirnya dengan dikuatkan oleh dalil, dan tawil harus disertai dengan dalil karena asal dari makna ini adalah ketiadaannya dan mengamalkan makna zhahir dari lafazh tersebut adalah wajib. 5 4. Para Ulama Ushul Fiqh dan Mutaakhirin berpendapat bahwa: Tawil adalah memalingkan lafazh dari makna yang kuat (rajah) kepada makna yang lemah (marjuh) karena ada dalil yang menyertainya. 6 Dari beberapa definisi yang diajukan oleh para ulama di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa tawil adalah mengalihkan lafazh dari makna zhahir kepada makna baru dengan disertai oleh dalil-dalil yang menguatkannya, karena asal dari makna baru tersebut sebenarnya tiada. C. Syarat-syarat Tawil Dan untuk menghindari tergelincirnya tujuan dari sebuah tawil dan kehatihatian terhadap tawil yang didorong oleh hawa nafsu maka para ulama memberi

Abdul Wahhab Khalaf, Prof. DR., Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), 261. 4 Amir Syarifuddin, Prof. DR., Ushul Fiqh: Jilid II, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu), 38. 5 Wahbah Al-Zuhaily, DR., Ushul Fiqh Al Islamy, (Damsyiq: Dar Al-Fikri), 314. 6 Husain bin Hasan Al Jaizani, Maalimu Ushul Al-Fiqh Inda Ahlissunnah, (Jeddah: Daru Ibnu Jauzy), 394. Lihat juga Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu Al-Quran, (Bogor: Pustaka Litera Antarnusa), 459.

syarat-syarat sahnya tawil dalam mengambil instinbath hukum adalah sebagai berikut:7 1. Lafazh yang ditawilkan harus mengandung kemungkinan untuk ditawilkan, karena lafazh tersebut memiliki jangkauan luas dan dapat diartikan dengan jalan tawil kepada makna yang lain serta tidak asing dengan pengalihan kepada makna lain tersebut. 2. Tawil harus bersandar kepada dalil yang mengarahkan makna zhahir kepada makna baru, dan dalil tersebut harus rajih setaraf dengan makna zhahir dari lafazh awalnya dan tidak bertentangan dengan dalil yang ada. 3. Lafazh itu dapat menerima tawil seperti lafazh zhahir dan lafazh nash serta tidak berlaku untuk muhkam dan mufassar. 4. Ada hal-hal yang mendorong kepada kemungkinan adanya tawil, seperti Bentuk lahir lafazh berlawanan dengan kaidah yang berlaku atau berlawanan dengan dalil yang lebih tinggi dari dalil itu, misalkan salah satu hadits menyalahi maksud hadits yang lain, dan apabila hadits tersebut memungkinkan untuk ditawilkan lebih baik daripada ditolak samasekali. D. Macam-macam Tawil Para prinsipnya para ulama sepakat dengan adanya penggunaan tawil dalam memahami teks Al-Quran dan hadits, akan tetapi untuk mengetahui macam-macam bentuk tawil terlebih dahulu kita harus membagi kepada kategori terbentuknya tawil tersebut, yakni: 1. Tawil ditinjau dari Kesahihannya. 8 a. Tawil Maqbul

7 8

Wahbah Al-Zuhaily, DR., Ushul Fiqh Al Islamy, (Damsyiq: Daru Al-Fikri), 315. Amir Syarifuddin, Prof. DR., Ushul Fiqh: Jilid II, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu), 42

Yaitu pengalihan dari makna lahir suatu lafazh dan telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana tersebut di atas. b. Tawil Ghairu Maqbul Yaitu pengalihan dari makna lahir suatu lafazh dan tidak memenuhi syarat-syarat dan bertentangan dengan dalil-dalil syari. 2. Tawil ditinjau dari pengalihan maknanya. 9 a. Tawil Jauh

Yaitu pengalihan dari makna lahir suatu lafazh yang sangat jauh, sehingga tidak dapat diketahui dengan dalil yang sederhana. Mengenai tawil kepada makna yang jau h, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa tawil harus dekat dari makna lahirnya dan tidak boleh dengan makna yang jauh, sementar Ulama Hanafiyah tidak menggunakan persyaratan tersebut, mereka hanya mensyaratkan hanya dengan dalil yang sesuai dengan syara dan tidak menyalahinya. Akibat dari perbedaan pendapat ini terjadi pula perbedaan dalam pengambilan hukum, seperti firman Allah SWT:

Maka beri makanlah enam puluh orang miskin (Al-Mujadalah:58) dalam menetapkan jumlah enam puluh Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kewajiban ini cukup dengan memberi makan satu orang miskin selama enam puluh hari, sedangkan Ulama Syafiiyah berpendapat wajib memberi makan enam puluh orang miskin dalam satu hari
9

)58 :.. .. (

Ibid. Lihat Juga Wahbah Al-Zuhaily, DR., Ushul Fiqh Al Islamy, (Damsyiq: Daru Al-Fikri), 316.

karena makna lahir ayat tersebut jelas menyebut enam puluh orang miskin.

b. Tawil dekat

Yaitu pengalihan dari makna lahir suatu lafazh yang tidak jauh, sehingga dapat diketahui dengan dalil yang sederhana. Misalnya sebagaimana firman Allah SWT:

Wahai Orang beriman apabila kalian berdiri untuk shalat maka basuhlah wajah kalian. Kalimat berdiri pada ayat tersebut di atas ditawilkan kepada keinginan/kemauan untuk shalat, karena secara lahir tidak mungkin untuk membasuh wajah ketika berdiri shalat. c. Tawil Bathil

..

01

Yaitu pengalihan dari makna lahir suatu lafazh yang jauh, dan tidak ada dalil yang menguatkannya. Sebagaimana yang dilakukan oleh para Syiah dalam memahami firman Allah SWT:

Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menyembelih sapi betina. Sapi betina dalam ayat tersebut ditawilkan oleh orang-orang Syiah sebagai Aisyah RA, tawil seperti ini juga disebut sebagai tawil fasid (rusak) dan sebagian ulama ushul menyebutnya dengan Laiban.

10

Husain bin Hasan Al Jaizani, Maalimu Ushul Al-Fiqh Inda Ahlissunnah, (Jeddah: Daru Ibnu Jauzy), 394.

3. Tawil ditinjau dari Objeknya 11 a. Tawil Al Quran atau hadits Nabi yang diduga mengandung bentuk penyamaan sifat Tuhan dengan apa yang berlaku di kalangan manusia, padahal kita tahu bahwa Allah SWT tidak ada yang menyamainya. Misalkan dalam mentawilkan tangan Allah kepada Kekuasaan atau Kemurahan Allah dalam surat Al-Fath:

Tangan Allah berada di atas tangan mereka

tawil ini diperkuat oleh firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah:

Bahkan kedua tangannya terbuka lebar, memberi sesukaNya Menurut sebagian ulama tawil tersebut di atas termasuk dalam tawil yang dituntut dalam usaha mensucikan Allah SWT dari penyamaan dengan makhlukNya. b. Tawil Al Quran atau hadits Nabi yang khusus berlaku dalam hukum taklifi yang terdorong oleh usaha mengkompromikan antara hukumhukum dalam teks yang kelihatan lahirnya bertentangan. Dengan cara tawil dua dalil yang terlihat bertentangan secara lahir bisa diamalkan kedua-duanya tanpa harus membuang salah satunya.

E. Kesimpulan. Mengunci pintu tawil rapat-rapat dan senantiasa mengambil kesimpulan dari zahir teks kadang-kadang bisa mendatangkan kepada hal yang jauh dari jiwa pembentukan hukum, dan keluar dari pokok-pokonya yang umum serta melahirkan nash-nash secara kontradiktif. Begitu juga sebaliknya membuka pintu tawil selebar-

11

Amir Syarifuddin, Prof. DR., Ushul Fiqh: Jilid II, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu), 44

lebarnya akan mendatangkan akibat tergelincirnya nash untuk mengikuti hawa nafsu dan kesalahan dalam pemahamannya. Maka dari itu penulis menyimpulkan bahwa tawil adalah metode dalam penjelasan dan penafsiran Al-Quran dan hadits Nabi dengan tetap berpegang teguh kepada dalil-dalil syari sehingga nash tersebut tidak betolak belakang dan menyalahi hukum syari.

DAFTAR PUSTAKA

M. Quraish Shihab, DR., Membumikan Al Quran, (Bandung: Mizan, 1995) Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu Al-Quran, (Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 2009) Abdul Wahhab Khalaf, Prof. DR., Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) Amir Syarifuddin, Prof. DR., Ushul Fiqh: Jilid II, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001) Wahbah Al-Zuhaily, DR., Ushul Fiqh Al Islamy, (Damsyiq: Dar Al-Fikri, 1986) Husain bin Hasan Al Jaizani, Maalimu Ushul Al-Fiqh Inda Ahlissunnah, (Jeddah: Daru Ibnu Jauzy, 1998)

Anda mungkin juga menyukai