Anda di halaman 1dari 120

KAJIAN PENAMBAHAN ABU SEKAM PADI DARI BERBAGAI

SUHU PENGABUAN TERHADAP PLASTISITAS KAOLIN





SKRIPSI


Oleh:

SAIYIDATUL UMAH
NIM. 06530007







JURUSAN KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2010





KAJIAN PENAMBAHAN ABU SEKAM PADI DARI BERBAGAI SUHU
PENGABUAN TERHADAP PLASTISITAS KAOLIN




SKRIPSI




Diajukan Kepada:

Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam
Memperoleh Gelar Sarjana Sains (S.Si)






Oleh:

SAIYIDATUL UMAH
NIM. 06530007








JURUSAN KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2010



SURAT PERNYATAAN
ORISINALITAS PENELITIAN


Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Saiyidatul Umah
NIM : 06530007
Fakultas / Jurusan : Sains dan Teknologi / Kimia
Judul Penelitian : Kajian Penambahan Abu Sekam Padi Dari Berbagai Suhu
Pengabuan Terhadap Plastisitas Kaolin
Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa hasil penelitian saya ini tidak
terdapat unsur-unsur penjiplakan karya penelitian atau karya ilmiah yang pernah
dilakukan atau dibuat oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam
naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.
Apabila ternyata hasil penelitian ini terbukti terdapat unsur-unsur jiplakan,
maka saya bersedia untuk mempertanggung jawabkan, serta diproses sesuai peraturan
yang berlaku.

Malang, Juli 2010
Yang Membuat Pernyataan



Saiyidatul Umah
NIM. 06530007







KAJIAN PENAMBAHAN ABU SEKAM PADI DARI BERBAGAI SUHU
PENNGABUAN TERHADAP PLASTISITAS KAOLIN




SKRIPSI


Oleh:

SAIYIDATUL UMAH
NIM. 06530007




Telah disetujui oleh:



Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing Agama




Anton Prasetyo, M.Si Ach. Nashihuddin, M.A
NIP. 19770925 200604 1 003 NIP. 19730705 200003 1 002




Tanggal, Juli 2010


Mengetahui
Ketua Jurusan Kimia




Diana Candra Dewi, M.Si
NIP: 19770720 200312 2 001
KAJIAN PENAMBAHAN ABU SEKAM PADI DARI BERBAGAI SUHU
PENGABUAN TERHADAP PLASTISITAS KAOLIN


SKRIPSI


Oleh:

SAIYIDATUL UMAH
NIM. 06530007


Telah Disetujui di Depan Dewan Penguji Skripsi dan
Dinyatakan Diterima Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Sains (S.Si)

Tanggal 28 Juli 2010


Susunan Dewan Penguji Tanda Tangan

1. Penguji Utama : Rini Nafsiati Astuti, M.Pd (.)
NIP. 19750531 200312 2 003

2. Ketua : Akyunul Jannah, S.Si., M.P (.)
NIP. 19750410 200501 1 009

3. Sekretaris : Anton Prasetyo, M.Si (.)
NIP. 19770925 200604 1 003

4. Anggota : Ach. Nashihuddin, M.A (.)
NIP. 19730705 200003 1 002


Mengetahui dan Mengesahkan
Ketua Jurusan Kimia




Diana Candra Dewi, M.Si
NIP: 19770720 200312 2 001
PERSEMBAHAN


Dengan Sepenuh Hati, Cinta dan Kasih Sayang
Kupersembahkan Tugas Akhir ini Kepada :

Kedua Orangtua ku Tercinta
Ayahanda Zainal Arifin Daroini (Alm) dan Ibunda Rohmatun

Yang Dengan Sepenuh Hati Berjuang Mendidik dan membesarkan anak-
anakmu,
Memberikan Dorongan dan Pengarahan dan Selalu Mendoakanku
dengan Segenap cintamu.
Semoga Allah selalu melindungimu.

Kakak & Adik Tersayang:
Hanik Shofiyah, S.Pd & Moh. Imadudin
Yang Telah Memberikan Warna-Warni Dalam Hidupku

Semua Sahabat-sahabatku ,
Terimakasih atas Segala Inspirasi, Ilmu, Persahabatan dan kasih sayang
yang
selama ini telah kita jalani.
















MOTTO

$] 3)=z $ . $] 3`_ $? z&
Dari bumi (tanah) Itulah kami menjadikan kamu dan kepadanya kami
akan mengembalikan kamu dan daripadanya kami akan mengeluarkan
kamu pada kali yang lain (QS. Thaha: 55)


































KATA PENGANTAR


Alhamdulillah segala puji kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya,
sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Kajian Penambahan
Abu Sekam Padi Dari Berbagai Suhu Pengabuan Terhadap Plastisitas Kaolin.
Penyusunan skripsi ini dilaksanakan guna memenuhi persyaratan kelulusan pada
Program Sarjana Strata Satu ( S -1) Jurusan Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang.
Ucapan dan rasa terima kasih atas segala bimbingan dan bantuan baik moral dan
materiil yang sangat berarti dari segala pihak. Untuk itu diucapkan terima kasih
sebesar-besarnya kepada yang terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang.
2. Bapak Prof. Drs. Sutiman Bambang Sumitro, SU. DSc, selaku Dekan Fakultas
Sains Dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
3. Ibu Diana Candra Dewi, M.Si, selaku Ketua Jurusan Kimia Fakultas Sains Dan
Teknologi UIN Malang.
4. Bapak Anton Prasetyo, M.Si, selaku dosen pembimbing yang dengan sabar
membimbing hingga terselesainya skripsi ini.
5. Ibu Himmatul Baroroh, M.Si, selaku pembimbing yang dengan sabar
membimbing hingga terselesainya skripsi ini.
6. Bapak Ach. Nashihuddin, M.A. selaku pembimbing agama yang dengan sabar
membimbing hingga terselesainya skripsi ini.
7. Laboran Laboratorium Jurusan Kimia semuanya atas kerjasama dan bantuannya
selama penelitian.
8. Kakak-kakak kimia yang telah memberikan motivasi, semangat dan kerjasama
selama ini.
9. Teman-teman kimia angkatan 2006 semuanya (Vino, ne2k, ZerO, iKa, Rere,
Ipe, liLis, iiN, Ana, hasiyah, Reny, Dewi, Lina, Ruslan, Rijal, Rahman, Risman,
Mukhlisin, Ganda, Lutfi, Iqbal, Sodikin) yang selalu meluangkan waktunya
untuk membantu baik materiil maupun spiritual selama ini.
10. Semua pihak yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak
langsung sehingga terselesainya laporan praktek kerja lapangan ini.
Penyusun menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena
itu, saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat kami harapkan.
Akhirnya penyusun berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan
sesama mahasiswa khususnya untuk jurusan kimia.

Malang, Juli 2010


Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
SURAT PERNYATAN ORISINALITAS ........................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN................................................................................ iii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ......................................................................................... v
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xii
ABSTRAK ......................................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 7
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 7
1.5 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 8
1.6 Batasan Masalah............................................................................................. 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keramik .......................................................................................................... 9
2.2 Kaolin ............................................................................................................ 10
2.2.1 Sifat Umum Mineral Kaolin....................................................................... 12
2.3 Abu Sekam Padi ............................................................................................ 14
2.4 Plastisitas ....................................................................................................... 17
2.5 Metode Atterberg atau Casagrande ............................................................... 21
2.6 Penentuan Kadar Karbon .............................................................................. 26
2.7 Difraksi Sinar-X / XRD ................................................................................ 28
2.7.1 Pengertian Difraksi Sinar-X ....................................................................... 28
2.7.2 Prinsip Kerja Difraksi Sinar-X ................................................................... 28
2.8 Mikroskop Optik ........................................................................................... 31
2.9 Color Reader ................................................................................................. 31
2.10 X-Ray Fluorescence (XRF) ......................................................................... 32
2.11 Tanah Sebagai Bahan Dasar Pembentuk Manusia ...................................... 33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ....................................................................... 38
3.2 Alat dan Bahan .............................................................................................. 38
3.3 Tahapan Penelitian ........................................................................................ 39
3.4 Prosedur Penelitian........................................................................................ 40
3.5 Analisa Data .................................................................................................. 48

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pembuatan Abu Sekam Padi ......................................................................... 49
4.2 Karakterisasi Abu Sekam Padi ...................................................................... 50
4.2.1 Warna Abu Sekam Padi ............................................................................. 50
4.2.2 Penentuan Kadar Karbon ........................................................................... 52
4.2.3 Identifikasi Kualitatif Jumlah Silika .......................................................... 56
4.2.4 Identifikasi Komponen Kimia Abu Sekam Padi ........................................ 60
4.2.5 Kristalinitas Abu Sekam Padi .................................................................... 61
4.3 Penentuan Indeks Plastisitas dengan Metode Atterberg ............................... 65
4.4 Karakterisasi Distribusi Morfologi Permukaan ............................................ 70

BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ................................................................................................... 77
5.2 Saran .............................................................................................................. 78

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 79
LAMPIRAN ........................................................................................................ 86


























DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Komposisi Kimia Kaolin ...................................................................... 11

Tabel 2.2 Komposisi Kimia Sekam padi............................................................... 15

Tabel 2.3 Komponen Kimia Abu Sekam Padi ...................................................... 16

Tabel 2.4 Deskripsi Indeks Plastisitas ................................................................... 26

Tabel 4.1 Hasil Analisa Warna Abu Sekam Padi pada Variasi Pengabuan
600
0
C, 700
0
C dan 800
0
C dengan color reader ................................ 51

Tabel 4.2 Kadar Karbon Abu Sekam Padi ........................................................... 53

Tabel 4.3 Daftar Korelasi Gugus Fungsi dari Spektra IR Sekam Padi
dan Abu Sekam Padi ............................................................................ 57

Tabel 4.4 Komponen Kimia Abu Sekam Padi ...................................................... 60

Tabel 4.5 Hasil Indeks Plastisitas ......................................................................... 65






















DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Struktur atom dari kaolin................................................................. 11

Gambar 2.2 Variasi volume dan kadar air pada kedudukan
batas cair, batas plastis, dan batas susut ......................................... 18

Gambar 2.3 Alat uji batas cair Metode Atterberg atau Casagrande ................... 23

Gambar 2.4 Skema uji batas air metode Casagrande (a) susunan alat
uji batas cair, (b) grooving tool, (c) pasta tanah sebelum
pengujian, (d) pasta tanah sesudah pengujian ................................ 24

Gambar 2.5 Pengujian batas plastis (a) tahap awal pengujian,
(b) hasil setelah digulung dengan diameter 3 mm,
(c) tanah retak-retak ...................................................................... 25

Gambar 2.6 Skema Dari Berkas Sinar X ........................................................... 29

Gambar 2.7 Bagan Difraksi Sinar X .................................................................. 30

Gambar 3.1 Kurva Batas Cair ............................................................................ 46

Gambar 4.1Spektra IR sekam padi sebelum pengabuan
dan sesudah pengabuan ................................................................. 56

Gambar 4.2 Difraktogram abu sekam padi yang diabukan pada suhu
600
0
C ............................................................................................ 62

Gambar 4.3 Difraktogram abu sekam padi yang diabukan pada suhu
700
0
C ............................................................................................. 62

Gambar 4.4 Difraktogram abu sekam padi yang diabukan pada suhu
800
0
C ............................................................................................. 63

Gambar 4.5 Perbandingan pola difraksi sinar X dari abu sekam padi
yang diabukan pada suhu 600
0
C, 700
0
C dan 800
0
C .................. 64

Gambar 4.6 Masuknya Air pada Lempung Kaolin.68

Gambar 4.7 Hasil karakterisasi dengan Mikroskop Optik (SMZ 1500) pada
kaolin (a), hasil pengulangan pada kaolin (b) ............................... 71

Gambar 4.8 Hasil karakterisasi dengan Mikroskop Optik (SMZ 1500)
pada campuran Kaolin-Abu Sekam Padi 600
0
C (a),
pengulangan (b) ............................................................................. 72

Gambar 4.9 Hasil karakterisasi dengan Mikroskop Optik (SMZ 1500)
pada campuran Kaolin-Abu Sekam Padi 700
0
C (a),
hasil pengulangan (b) .................................................................... 73

Gambar 4.10 Hasil karakterisasi dengan Mikroskop Optik (SMZ 1500)
pada campuran Kaolin-Abu Sekam Padi 800
0
C (a),
hasil pengulangan (b) .................................................................. 73
































DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Diagram Alir .................................................................................86

Lampiran 2. Pembuatan Reagen .......................................................................90

Lampiran 3. Perhitungan ...................................................................................90

Lampiran 4. Gambar Alat dan Bahan ...............................................................99

Lampiran 6. Grafik Batas Cair .........................................................................101



























ABSTRAK

Umah, S. 2010. Kajian Penambahan Abu Sekam Padi (ASP) Dari Berbagai Suhu
Pengabuan Terhadap Plastisitas Kaolin. Pembimbing: Anton Prasetyo, Himmatul
Baroroh, dan Ach. Nashihuddin.

Kata Kunci : Abu Sekam Padi (ASP), Plastisitas, Kaolin

Abu sekam padi merupakan bahan buangan dari padi yang mengandung silika
(SiO
2
). Oleh karena itu abu sekam padi mempunyai peluang sebagai bahan aditif pada
pembuatan keramik. Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas keramik adalah
plastisitas. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan kajian penambahan abu sekam
padi dari berbagai suhu pengabuan terhadap plastisitas kaolin dengan tujuan untuk
mengetahui karakterisasi abu sekam padi, nilai indeks plastisitas kaolin serta
distribusi partikel dan morfologi permukaan dari campuran kaolin-abu sekam padi.
Pembuatan abu sekam padi dilakukan pada variasi suhu pengabuan 600
0
C, 700
0
C
dan 800
0
C selama 4 jam menggunakan tanur (Thermo Scientific), kadar karbon
dengan spektrofotometer, identifikasi kualitatif jumlah silika dengan FTIR,
komponen kimia dengan XRF serta kritalinitas dengan XRD. Uji indeks plastisitas
pada kaolin dilakukan dengan metode Atterberg. Sampel merupakan campuran abu
sekam padi-kaolin (1:10 b/b). Studi morfologi permukaan dan distribusi partikel
dengan mikroskop optik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kecerahan warna dari abu sekam
padi semakin tinggi seiring kenaikan suhu pengabuan 600
0
C, 700
0
C dan 800
0
C
yaitu 60,8; 61,4; 66,5. Kadar air dari abu sekam padi dari hasil pengabuan pada suhu
600
0
C, 700
0
C dan 800
0
C sebesar 0,596 %; 0,895 %; dan 0,296 %. Kadar karbon
(termasuk kontribusi kadar air) dari masing-masing abu sekam padi sebesar 0,045%;
0,048%; 0,037%, jumlah kualitatif SiO
2
dari abu sekam padi hasil pengabuan pada
suhu pengabuan 600
0
C < 700
0
C < 800
0
C sedangkan komposisi kimia dari abu
sekam padi yang dominan adalah Si hingga mencapai 91,2 %. Difraktogram dari
masing-masing abu sekam padi menunjukkan pola difraksi sinar X dengan
kristalinitas yang rendah dan cenderung amorf. Indeks plastisitas kaolin semakin
turun dengan penambahan abu sekam padi yang diabukan pada variasi suhu 600
0
C,
700
0
C dan 800
0
C yaitu; 21,49; 18,45; 10,77. Penggambaran distribusi partikel dan
morfologi permukaan dari campuran kaolin-abu sekam padi secara sederhana dengan
menggunakan mikroskop optik didapat distribusi secara merata.





ABSTRACT

Umah, S. 2010. The study of Rice Husk Ash (RHA) Addition Of Various Ashing
Temperature On Caolin Plasticity. Supervisor: Anton Prasetyo, Himmatul Baroroh
and Ach. Nashihuddin.

Key Words: Rice Husk Ash (RHA), Plasticity, Caolin,

Rice husk ash is a waste material from rice containing silica (SiO2).
Therefore, it has a chance as an additional material or substance in the manufacturing
ceramics. One of the factors affecting the quality of ceramics is plasticity. Based on
these conditions, the study of the addition of rice husk ash from various temperatures
ashing (ash-making) against caolin plasticity was done in order to know the
characteristic of rice husk ash, the plasticity index value of caolin, and the distribution
of particle and surface morphology.
The temperature of ashing (ash-making) rice husk ash was varietas 600
0
C,
700
0
C and 800
0
C for four hours by tanur (Thermo Scientific). The characteristic of
rice husk ash was determived includies color analysis by Color Reader, content
water, carbon content using spectrofotometers, and the qualitative identification of
the amount of silica using FTIR (Shimadzu), chemical components using XRF
(MiniPal) and crystalline using XRD (Philips Xpert). The sampel was a mixture
RHA-Caolin (1:10 b/b). The study distribution of particle and surface morphology
was analysis by optical microscope.
The results of showed the characteristic RHA as follows the colour brightness
of increased as the temperature of ashing rose. The colour brightness of RHA was
measured as 60,8 at 600
0
C, 61,4 at 700
0
C and 66,5 at 800
0
C. The water content was
determined as 0,596 %; 0,895 %; and 0,296 %. The carbon content of 0,045; 0,048,
0,037. The quality of the amount of silica using FTIR observed 600
0
C < 700
0
C <
800
0
C. The chemical silica component of 91.2%. RHA crystalline using XRD show
amorphous structure. The results of caolin plasticity test using add on 10% RHA
ashing (ash-making) results 600
0
C, 700
0
C and 800
0
C. The plasticity index on caolin
decreased with the addition of RHA at 27.49 as (caolin) 21.49 as (600
0
C), 18.45 as
(700
0
C), and 10.77 as (800
0
C). The analysis of particle distribution and surface
morphology using optical microscope (SMZ 1500) were be seen clearly, since the
grains of caolin and rice husk ash were very small.








BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sekam padi adalah bagian terluar dari butir padi, yang merupakan hasil
sampingan saat proses penggilingan padi dilakukan. Sekam padi merupakan lapisan
keras yang membungkus kariopsis butir gabah, terdiri atas dua belahan yang disebut
lemma dan palea yang saling bertautan (Aina, 2007: 2). Sekitar 20 % dari bobot padi
adalah sekam padi (Hara, 1986: 98) dan 15 % berat abu akan diperoleh dari total
berat sekam padi yang dibakar (Chen et al, 1991). Abu sekam padi merupakan bahan
buangan dari padi yang mempunyai sifat khusus yaitu mengandung senyawa kimia
yang dapat bersifat pozolan, yaitu mengandung silika (SiO
2
) (Herina, 2005). Nilai
paling umum kandungan silika dari abu sekam adalah 94 - 96 % dan apabila nilainya
mendekati atau di bawah 90 % kemungkinan disebabkan oleh sampel sekam yang
telah terkontaminasi dengan zat lain yang kandungan silikanya rendah (Houston,
1972: 33). Wen-Hwei (1986) dalam Jaya (2002) menyebutkan bahwa kandungan
kimia yang terdapat pada abu sekam padi adalah SiO
2
, K
2
O, Na
2
O, CaO, MgO,
Fe
2
O
3
, P
2
O
5
, dan SO
3.

Abu sekam padi mengandung senyawa kimia silika (SiO
2
), suatu senyawa
yang bila dicampur dengan semen dan air dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
kuat tekan dan kuat tarik beton (Hariyadi, 2004). Aplikasinya sangat luas mulai
bidang konstruksi seperti bahan campuran untuk membuat keramik seni, semen, dan
beton (Harsono, 2002: 99). Kurnia (2005) memanfaatkan abu sekam padi sebagai
bahan pengganti sebagian semen pada mortar pasangan bata, abu sekam padi
ditambahkan pada campuran mortar. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
campuran dengan penambahan kadar abu sekam padi sebesar 5% menggantikan berat
semen keseluruhan, merupakan campuran yang memiliki kekuatan tekan rata-rata
yang paling tinggi dan tingkat kelecakan (workability) yang tergolong baik. Demikian
juga Pasaribu (2007) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa penambahan abu
sekam padi sebesar 15% mampu meningkatkan kuat tekan beton terbesar yaitu
1.06%.
Sekam padi yang oleh sebagian masyarakat dianggap kurang bermanfaat
ternyata memiliki beberapa kandungan senyawa kimia salah satunya silika. Hal ini
sesuai dengan ayat Al quran yang menjelaskan bahwa Allah menciptakan makhluk
hidup sekecil apapun banyak hikmah dan manfaatnya.

%!# `. !# $% #`% ? /``_ `6G ,=z N9# {# $/ $
M)=z # / 7s6 $) ># $9#

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): Ya Tuhan kami. Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sisa-
sia, Maha Suci Engkau peliharalah kami dari siksa neraka (QS. Ali-Imron 191).



Lempung merupakan salah satu bahan baku dasar pembuatan keramik selain
feldspar dan pasir. Lempung adalah aluminium silikat hidrat yang tidak terlalu murni
yang berbentuk sebagai hasil pelapukan dari batuan beku yang mengandung feldspar
sebagai salah satu mineral asli yang paling penting. Mineral lempung (clay mineral)
mengandung campuran kaolinit (Al
2
O
3
.2SiO
2
.2H
2
O), dan ilit (K
2
O, MgO, Al
2
O
3
,
SiO
2
, H
2
O) (Austin, 1996: 55). Terminologi lempung banyak sekali ditemukan dalam
Al-Quran dan mempunyai kedudukan istimewa di mana lempung sebagai bahan dasar
pembentuk manusia pertama yaitu Nabi Adam A.S. seperti yang dijelaskan dalam
surat Al-Hijr ayat 26.

)9 $)=z }# = *q ``

Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering
(yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk (QS. Al-Hijr 26).



Kata shalshal (.-'-) terambil dari kata shalshalah ('-'-) yaitu suara keras
yang bergema akibat ketukan, yang dimaksud adalah tanah yang sangat keras dan
kering. Hal ini serupa maknanya dengan ('=-') pada surat Ar-Rahman 14 hanya saja
kata terakhir ini digunakan untuk tanah yang keras akibat pembakaran dengan api
(Shihab, 2002: 1).

Y={ }# = $9% .
Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar (QS. Ar-Rahman 14).

Menurut Al-Maraghi (1992) menafsirkan kata shalshal dalam Surat Hijr 26
yaitu Sungguh Kami telah menciptakan individu pertama dari jenis manusia dari
tanah kering yang apabila dilubangi akan berbunyi dan berwarna hitam dan dibentuk
dalam pola agar menjadi kering seperti batu-batu permata cair yang dicurahkan ke
dalam cetakan.
Kaolin merupakan salah satu jenis lempung dengan komposisi aluminium
silikat hidrat (Al
2
O
3
.2SiO
2.
2H
2
O). Kaolin telah banyak dimanfaatkan sebagai
komponen utama dalam membuat campuran porselin, industri gerabah, keramik
karena kandungan silikatnya. Kaolin merupakan masa batuan yang tersusun dari
material lempung dengan kandungan besi yang rendah, dan umumnya berwarna putih
atau agak keputihan (Bakri, 2008: 37).
Silika merupakan bahan utama yang digunakan dalam pembuatan keramik
silikat. Keramik merupakan benda yang terbuat dari tanah liat atau lempung dengan
penyusun utama aluminium silikat. Keramik mengalami proses pengerasan dengan
pembakaran pada suhu tinggi (Prasetyo, 2004: 2). Pemanfaatan kandungan silika
pada abu sekam padi dapat meningkatkan produksi material keramik tradisional.
Pontikes (2007: 1658) menunjukkan bahwa dengan penambahan natrium aluminium
silikat pada lempung dapat meningkatkan kristalisasi dengan suhu pembakaran diatas
700
0
C.
Houston (1972) dalam Harsono (2002: 98) menyebutkan bahwa silika yang
terdapat dalam sekam ada dalam bentuk amorf terhidrat. Tapi jika pembakaran
dilakukan secara terus-menerus pada suhu di atas 650
0
C akan menaikkan
kristalinitasnya dan akhirnya akan terbentuk fasa kristobalit dan tridimit dari silika
sekam. Harsono (2002: 102) mengemukakan bahwa sekam padi yang diabukan pada
suhu 600
0
C mengandung silika sebesar 89,46 %. Demikian juga Aina (2007: 11) dari
hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kristalinitas -Ca
2
SiO
4
dari abu sekam padi
yang diabukan pada temperatur 600
0
C, 700
0
C, dan 800
0
C lebih tinggi dibandingkan
dengan kristalinitas -Ca
2
SiO
4
dari abu sekam padi yang diabukan pada temperatur
900
0
C. Purwandari (2006) menyatakan bahwa silika pada abu sekam padi
mempunyai bentuk yang bermacam-macam tergantung pada temperatur dan lama
pengabuan. Pengabuan pada temperatur tinggi akan menghasilkan silika yang
berwarna merah muda dengan bentuk silika kristobalit dan trimidit serta sedikit sekali
yang berbentuk kuarsa. Della et al (2002) juga menunjukkan bahwa pengabuan pada
variasi temperatur dan waktu merupakan faktor yang penting untuk menghasilkan
silika yang amorf atau kristalin. Berdasarkan uraian diatas maka komposisi dari abu
sekam padi memiliki kemiripan dengan komposisi lempung yaitu mengandung silika,
sehingga abu sekam padi mempunyai peluang sebagai zat aditif pembuatan keramik.
Dalam pembuatan keramik ada beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas
produk salah satu faktor tersebut adalah plastisitas. Jika nilai plastisitas bahan
keramik mentah tidak diketahui dengan tepat, maka produk keramik yang halus tidak
dihasilkan karena adanya keretakan, perubahan bentuk atau aneka cacat pada saat
proses pembuatannya (Abdullah, 2004: 1). Plastisitas yaitu kemampuan tanah dalam
menyesuaikan perubahan bentuk atau volume tanpa terjadinya retak-retak yang
disebabkan oleh penyerapan air di sekeliling permukaan partikel lempung (Muntohar,
2007). Menurut Wilson (1968) dalam Prasetyo (2004: 1) plastisitas adalah sifat bahan
yang mampu terdeformasi tanpa pecah ketika bahan diberi gaya melebihi nilai
dapatan (yield value), dalam pembuatan keramik sifat ini menjadi penting karena
berkaitan dengan kemampuan lempung untuk mempertahankan bentuk ketika diberi
gaya dari luar.
Curie dalam Abdulloh, 2003 menyatakan bahwa satu faktor yang
mempengaruhi plastisitas adalah komposisi partikel, Curie menemukan bahwa
mineral-mineral yang berbeda menunjukkan sifat berbeda. Hal ini menunjukkan
bahwa jika suatu zat ditambahkan dengan zat lainnya akan memberikan kemungkinan
mempengaruhi plastisitas. Menurut Aineto et.al., (2006) lempung yang memiliki nilai
indeks plastisitas sedang (10-20), jika dibakar pada suhu 900
0
C dengan penambahan
abu terbang menunjukkan peningkatan absorpsi dan penjenuhan, tanpa menunjukkan
dampak negatif pada kekuatan susut, warna dan sifat mengembangnya. Oleh sebab itu
jika abu sekam padi yang mengandung silika oksida ditambahkan pada lempung
maka akan mempengaruhi nilai plastisitasnya, sehingga diperlukan penelitian untuk
mengetahui nilai indeks plastisitas kaolin dengan penambahan abu sekam padi dari
berbagai suhu pengabuan.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka masalah dalam penelitian ini adalah:
a) Bagaimana karakteristik abu sekam padi dari variasi suhu pengabuan 600
0
C, 700
0
C,
dan 800
0
C ?
b) Bagaimana nilai indeks plastisitas kaolin dengan penambahan abu sekam padi dari
variasi suhu pengabuan 600
0
C, 700
0
C, dan 800
0
C ?
c) Bagaimana distribusi partikel dan morfologi permukaan secara sederhana dari
campuran kaolin-abu sekam padi ?

1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah:
a. Mengetahui karakteristik abu sekam padi dari variasi suhu pengabuan 600
0
C, 700
0
C,
dan 800
0
C meliputi karakteristik warna, kadar karbon, identifikasi kualitatif jumlah
silika, komposisi kimia dan kristalinitas.
b. Mengetahui nilai indeks plastisitas kaolin dengan penambahan abu sekam padi dari
variasi suhu pengabuan 600
0
C, 700
0
C, dan 800
0
C.
c. Mengetahui secara sederhana distribusi partikel dan morfologi permukaan campuran
kaolin-abu sekam padi.

1.4 Manfaat Penelitian
Memberikan informasi kepada pengrajin keramik tentang manfaat sekam padi
yang dapat dijadikan sebagai bahan alternatif campuran pada bahan baku pembuatan
keramik guna untuk peningkatan hasil keramik.





1.5 Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah:
a) Kaolin yang digunakan berasal dari daerah penghasil keramik Dinoyo Malang.
b) Sekam padi IR 64 yang digunakan berasal dari Ds. Sendang, Kec. Banyakan, Kab.
Kediri.
c) Percampuran kaolin-abu sekam padi dilakukan dengan perbandingan 1:10 b/b.
d) Karakterisasi untuk mengetahui komponen kimia abu sekam padi menggunakan X-
Ray Fluorescence / XRF.
e) Karakterisasi untuk mengetahui jumlah silika secara kualitatif menggunakan
Spektrofotometer Inframerah.
f) Karakterisasi untuk mengetahui kristalinitas dilakukan dengan menggunakan difraksi
sinar X / XRD.
g) Penentuan indeks plastisitas pada campuran kaolin-abu sekam padi menggunakan
metode Atterberg atau Casagrande.
h) Karakterisasi untuk mengetahui distribusi partikel dan morfologi permukaan secara
sederhana dilakukan dengan menggunakan mikroskop optik (SMZ 1500).











BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keramik
Keramik berasal dari perkataan keramos artinya yang dibakar. Pada mulanya
diproduksi dari mineral lempung yang dikeringkan di bawah sinar matahari dan
dikeraskan dengan pembakaran pada temperatur tinggi. Penggunaan keramik ini
berkembang dari bahan pecah belah (dinnerware), keperluan rumah tangga (tile,
bricks), dan untuk industri (refractory). Keramik jenis ini dikenal sebagai keramik
tradisional (Joelianingsih, 2004: 2).
Keramik adalah semua benda-benda yang terbuat dari tanah liat atau lempung
yang mengalami proses pengerasan dengan pembakaran pada suhu tinggi
(Soesilowati, 2006). Pada prinsipnya, keramik terbagi atas (Joelianingsih, 2004: 2) :
a. Keramik Tradisional; yaitu keramik yang dibuat dengan menggunakan bahan
alam. Contoh: kuarsa, kaolin, dan lain-lain.
b. Keramik Teknik; yaitu keramik yang dibuat dengan menggunakan oksida-oksida
logam atau logam. Contoh: oksida logam (A1
2
O
3
, ZrO
2
, ThO
2
, BeO, MgO, dan
MgAl
2
O
4
), nitrida dan barida (Si
3
N
4
, SiC, B
4
C, dan TiB).
Umumnya senyawa keramik lebih stabil dalam lingkungan termal dan kimia
dibandingkan elemennya. Bahan baku keramik yang umum dipakai adalah feldspar,
kuarsa, kaolin. Sifat keramik sangat ditentukan oleh struktur kristal, komposisi kimia
dan mineral bawaannya. Oleh karena itu sifat keramik juga tergantung pada
lingkungan geologi dimana bahan diperoleh. Secara umum strukturnya sangat rumit
dengan sedikit elektron bebas (Nurhakim, 2005: 1).
Sifat yang umum dan mudah dilihat secara fisik pada kebanyakan jenis
keramik adalah rapuh, hal ini dapat kita lihat pada keramik jenis tradisional seperti
barang pecah belah, gelas, kendi, gerabah dan sebagainya, sifat lainya adalah tahan
suhu tinggi, sebagai contoh keramik tradisional yang terdiri dari lempung (clay),
pasir (flint) dan feldspar tahan sampai dengan suhu 1200
0
C, keramik teknik seperti
keramik oksida mampu tahan sampai dengan suhu 2000
0
C. kekuatan tekan tinggi,
sifat ini merupakan salah satu faktor yang membuat penelitian tentang keramik terus
berkembang (Nurhakim, 2005: 2).

2.2 Kaolin
Kaolin atau Kaolinite termasuk jenis mineral clay dengan rumus kimia
Al
2
O
3
.2SiO
2
.2H
2
O. Kaolin mengandung SiO
2
sekitar 50 %. Kaolin merupakan masa
batuan yang tersusun dari material lempung dengan kandungan besi yang rendah, dan
umumnya berwarna putih atau agak keputihan (Bakri, 2008: 37). Menurut Sukamta
dkk (2009: 105) kaolin terdiri atas 39% oksida alumina, 47% oksida silika, dan 14%
air. Demikian juga Hartaya (2002) menyebutkan bahwa komponen kimia yang
terdapat pada kaolin ditunjukkan pada tabel 2.1 sebagai berikut :



Tabel 2.1 Komponen Kimia Kaolin

Sumber: Hartaya (2002)



Mineral kaolinit terdiri dari tumpukan lapisan-lapisan dasar lembaran-
lembaran kombinasi silika-gibbsite. Tumpukan lapisan-lapisan tersebut diikat oleh
ikatan hidrogen. Mineral kaolinit berwujud seperti lempengan-lempengan tipis. Luas
permukaan partikel kaolinit per unit massa adalah kira-kira 15 m
2
/gram (Das, 1998:
11).

Gambar 2.1 Struktur Atom dari Kaolin (Menurut Grim 1962 dalam Das 1998: 10)



Komponen Kandungan (%)
SiO
2
48.03
TiO
2
0.78
Al
2
O
3
35.50
Fe
2
O
3
0.78
CaO 0.41
MgO 0.15
Na
2
O 0.67
K
2
O 0.43
Lempung aluminosilikat merupakan hasil pelapukan mineral primer. Bila
pada lempung ditambahkan air dalam jumlah sedang, akan dihasilkan pasta kental
yang mudah dicetak menjadi berbagai bentuk. Lempung mengembang jika air
memasuki ruang di antara lembaran-lembaran aluminosilikat yang bersebelahan
dalam mineral tersebut, tetapi mineral ini melepas sebagian besar air tersebut ke
atmosfer yang kering dan menjadi mengerut. Sebagian kecil air atau ion hidroksida
tetap terikat agak kuat oleh adanya gaya ion dipol ke kation-kation di antara
lembaran-lembaran aluminosilikat dan hanya lepas bila lempung dipanaskan pada
suhu tinggi. Pembakaran lempung aluminosilikat secara simultan menyebabkan
terjadinya perubahan kimia ireversibel (tidak dapat balik). Lempung kaolinit
(Al
2
Si
2
O
5
(OH)
4
) mengalami reaksi sebagai berikut (Oxtoby, 2001: 287):

3 (Al
2
Si
2
O
5
(OH)
4
)(s) Al
6
Si
2
O
13
(s) + 4 SiO
2
(s) + 6 H
2
O(g)
(kaolinit) (mulit) (silika) (air)

2.2.1 Sifat Umum Mineral Kaolin
2.2.1.1 Ukuran Partikel
Worral dalam Prasetyo (2007: 35) untuk setiap mineral tertentu, biasanya
memiliki rentang ukuran tertentu. Kuarsa jarang sebagai partikel yang ukurannya
kurang dari 1 mikron dalam diameternya. Dan banyak kristal kuarsa muncul dalam
rentang sentimeter. Mineral lempung terdiri dari partikel-partikel kecil yang
ukurannya kurang dari 0,05 mikron dalam diameter.
2.2.1.2 Partikel dan Butir
Mineral lempung hadir dalam kristalit sering dianggap sebagai partikel
puncak. Kristalit ini terdiri sel satuan yang sangat banyak, yang disatukan oleh ikatan
hidroksil atau gaya Van De Waals, sehingga mereka tidak terpisahpisah kecuali
dengan perlakuan tertentu. Sudah menjadi hal yang umum bahwa lempung alam
ketika ditumbuk dan diayak butirannya akan tampak oleh mata telanjang sekalipun,
karena lebih besar dari partikel puncak. Butiran ini terdiri dari kelompok kristalit
lepas, tidak disatukan oleh ikatan kimia tetapi oleh gaya fisis tertentu (Prasetyo, 2007:
36).

2.2.1.3 Plastisitas
Kaolinit yang terkristal dengan baik bersifat plastis, bahkan dari varitas yang
tidak teratur lebih bersifat plastis (Prasetyo, 2007: 36).
Toya (2006: 769) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa sifat keramik kaca
dari lempung kaolin dan abu lumpur yang dibakar pada suhu diatas 950
0
C memiliki
struktur kristalisasi yang baik dan memiliki sifat dapat tahan lama dengan permukaan
yang halus. Traore (2007: 1677) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa
mikrostruktur dari keramik campuran lempung kaolincalcite pada konsentrasi
tertentu diperoleh struktur kristal dan menunjukkan distribusi partikel yang rata.



2.2.1.4 Kapasitas Pertukaran Kation
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, kapasitas pertukaran kation dari
kaolinit yang terkristal dengan baik sekitar 5 m.e. per 10 gram lebih sedikit daripada
varitas yang tidak teratur yaitu sekitar 30-40 m.e. per 100 gram. Sehingga lempung
hasil pengendapan memiliki kapasitas pertukaran kation yang lebih tinggi daripada
lempung cina (Prasetyo, 2007: 36).

2.3 Abu Sekam Padi
Sekam padi merupakan lapisan keras yang membungkus kariopsis butir
gabah, terdiri atas dua belahan yang disebut lemma dan palea yang saling bertautan
(Aina, 2007: 2). Pada proses penggilingan gabah, sekam akan terpisah dari butir beras
dan menjadi bahan sisa atau limbah penggilingan. Dari proses penggilingan gabah
akan dihasilkan 16,3-28% sekam (Nugraha dan Setiawati, 2006). Sekam padi jenis IR
64 merupakan kategori varietas unggul nasional. Sekam padi IR 64 tahan terhadap
wereng coklat dan wereng hijau, agak tahan bakteri busuk daun dan tahan virus kerdil
rumput (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2008: 21).
Komposisi kimia sekam padi menurut Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian mengandung beberapa unsur kimia penting yang ditunjukkan pada tabel 2.2
sebagai berikut:




Tabel 2.2 Komposisi Kimia Sekam Padi
Komponen Kandungan (%)
Menurut Suharno (1979)
Kadar Air 9,02
Protein Kasar 3,03
Lemak 1,18
Serat Kasar 15,68
Abu 17,71
Karbohidrat Kasar 33,71
Menurut DTC-IPB
Karbon (arang) 1,33
Hidrogen 1,54
Oksigen 33,64
Silika 16,98
Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2009)



Sekitar 20 % dari bobot padi adalah sekam padi dan kurang lebih 15 % dari
komposisi sekam adalah abu sekam yang selalu dihasilkan setiap kali sekam dibakar
(Hara, 1986). Menurut Sarkawi (2003: 136) sekam padi terdiri dari 34 - 44 %
selulosa, 23- 30 % lignin, 13 - 39 % abu dan 8 - 15 % air.
Abu dari hasil pembakaran sekam padi memiliki komponen kimia yang
ditunjukkan pada tabel 2.3 sebagai berikut:






Tabel 2.3 Komponen Kimia Abu Sekam Padi
Komponen Kandungan (%)
SiO
2
86.90 97.30
K
2
O 0.58 2.50
Na
2
O 0.00 1.75
CaO 0.20 1.50
MgO 0.12 1.96
Fe
2
O
3
~ 0,54
P
2
O
5
0.2 2.85
SO
3
0.1 1.13
Cl ~ 0.42
Sumber: Wen-Hwei (1986) dalam Jaya (2002)



Abu sekam padi sebagai limbah pembakaran memiliki unsur yang bermanfaat
untuk peningkatan mutu beton, mempunyai sifat pozolan dan mengandung silika
yang sangat menonjol, bila unsur ini dicampur dengan semen akan menghasilkan
kekuatan yang lebih tinggi (Bali dan Prakoso, 2002). Abu sekam padi apabila dibakar
secara terkontrol pada suhu tinggi (500 600
0
C) akan menghasilkan abu silika yang
dapat dimanfaatkan untuk berbagai proses kimia (Putro, 2007: 33). Aina (2007: 11)
dalam penelitiannya menunjukkan bahwa kristalinitas -Ca
2
SiO
4
dari abu sekam padi
yang diabukan pada temperatur 600
0
C, 700
0
C, dan 800
0
C lebih tinggi dibandingkan
dengan kristalinitas -Ca
2
SiO
4
dari abu sekam padi yang diabukan pada temperatur
900
0
C. Pemanfaatan dan aplikasi dari abu sekam padi sebagai sumber silika sangat
luas seperti dalam pembuatan semen, keramik dan lain sebagainya.



2.4 Plastisitas
Tanah berbutir halus yang mengandung mineral lempung atau bahan
organik dapat berubah bentuk menyesuaikan dengan kadar air tanpa mengalami
retak-retak. Kondisi ini dikenal dengan plastisitas yaitu kemampuan tanah dalam
menyesuaikan perubahan bentuk atau volume tanpa terjadinya retak-retak yang
disebabkan oleh penyerapan air di sekeliling permukaan partikel lempung. Pada
kadar air yang sangat rendah, tanah menjadi padat (Muntohar, 2007: 58).
Bila pada tanah yang berada pada kondisi cair (titik P) sebagaimana
ditunjukkan pada gambar 2.2, kemudian kadar airnya berkurang hingga titik Q, maka
tanah menjadi lebih kaku dan tidak lagi mengalir seperti cairan. Kadar air pada
titik Q ini disebut dengan batas cair (liquid limit) yang disimbolkan dengan
LL. Bila tanah terus menjadi kering hingga titik R, tanah yang dibentuk mulai
mengalami retak-retak yang mana kadar air pada batas ini disebut dengan batas
plastis (plastic limit), PL. Rentang kadar air dimana tanah berada dalam kondisi
plastis, antara titik Q dan R, disebut dengan indek plastisitas (plasticity index),
PI, yang ditunjukkan pada persamaan 2.1 sebagai berikut :

PI = LL PL ............................................................................................... (2.1)

dimana, PI = indek plastisitas (plasticity index),
LL = batas cair (liquid limit), dan
PL = plastis (plastic limit).

Gambar 2.2 Variasi Volume dan Kadar Air pada Kedudukan Batas Cair, Batas
Plastis, dan Batas Susut (Muntohar, 2007: 59)



Batas cair ini merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan
untuk mengetahui kemampuan kembang-susut tanah. Batas kadar air yang
mengakibatkan perubahan kondisi dan bentuk tanah dikenal pula sebagai batas-
batas konsistensi atau batas-batas Atterberg (yang mana diambil dari nama
peneliti pertamanya yaitu A. Atterberg pada tahun 1913) (Muntohar, 2007: 59).
Plastisitas tanah pada dasarnya disebabkan karena penyerapan air disekeliling
partikel lempung ke permukaan partikel. Oleh karena itu, jenis mineral lempung dan
persentase partikelnya dalam tanah akan mempengaruhi batas cair dan plastis tanah
(Muntohar, 2007: 60).
Beberapa teori yang membahas plastisitas lempung adalah teori air kristal
teori kehalusan butir, teori lempengan atau teori lapis tipis, teori kunci-mengunci atau
pegang memegang, teori koloid dan teori tarikan molekuler (Maskuro, 1986).
a. Teori Air Kristal
Para peneliti menyimpulkan bahwa air yang terikat secara kimiawi seperti yang
ditunjukkan oleh contoh mineral kaolinit dengan rumus Al
2
O
3
.2SiO
2
.2H
2
O, yang
menyebabkan keplastisan lempung. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa apabila
lempung itu dibakar yang berarti hilangnya air kristal itu menyebabkan hilangnya
daya plastis.
b. Teori Kehalusan Butir
Keplastisan suatu lempung ditentukan oleh derajat kehalusan butir. Teori ini
didasarkan atas kenyataan bahwa bahan-bahan non plastis seperti kuarsa atau
feldspar dapat memperlihatkan daya keplastisan (sekalipun kecil), jika bahan
tersebut sebelumnya telah digiling halus.
c. Teori Lempengan atau Lapis Tipis
Pada pengujian suatu lempung di bawah mikroskop, mineral lempung itu terdiri
dari sejumlah lempengan-lempengan kecil. Lempengan-lempengan ini dimisalkan
sebagai dua lempengan kaca. Dalam keadaan basah menyebabkan lempengan satu
mudah meluncur atau bergeser dari lempengan yang lainnya dan hampir tidak
mungkin lempengan-lempengan itu dapat terpisahkan satu sama lain. Keadaan
inilah yang akan mendorong keplastisan.
d. Teori Kunci-Mengunci atau Pegang Memegang
Teori ini menerangkan bahwa keplastisan suatu lempung disebabkan oleh
susunan butir-butir yang tidak teratur sehingga dapat saling mengunci atau
pegang memegang satu sama lain. Butir-butir yang saling mengunci tersebut
dapat memberikan sifat kohesif terhadap lempung selanjutnya menyebabkan
keplastisan.
e. Teori Koloid
Semua koloid yang terdapat dalam lempung berperanan terhadap plastisitas
lempung. Zat-zat koloid itu sangat halus dan berbagi merata sebagai agregat-
agegrat yang mana agegrat ini mempunyai kemampuan untuk menyerap air
selanjutnya dapat mengembangkan seperti bunga karang (sponge). Dapat
dikatakan bahwa lempung bersifat plastis disebabkan oleh adanya butiran
partikel koloid yang seperti bunga karang itu dapat melincinkan butiran non
plastis untuk menambahkan sifat mudah dibentuk. Sifat koloid yang terjadi
dalam lempung dikarenakan adanya lapisan air yang mengelilingi butiran silika
dan alumina. Jika terhadap lempung yang plastis ditambahkan air, maka
lempung itu akan mengembang dan jika airnya dihilangkan lagi atau dengan kata
lain lempung menjadi kering maka lempung itu akan menyusut lagi. Suatu
lempung menunjukkan daya adsorpsi yang kuat terhadap air. Hasil adsorpsi ini
menimbulkan plastis yang permanen, tetapi lempung ini kemudian akan pecah
jika lempung dipanaskan di atas suhu tertentu. Keadaan inilah yang merupakan
karakteristik untuk zat koloid.
f. Teori Tarikan Molekuler
Teori ini memperkenalkan bahwa butir-butir/partikel-partikel lempung memiliki
muatan listrik. Jika muatan partikel-partikel didalam lempung berbeda, yang satu
bermuatan positif dan yang lainnya bermuatan negatif, maka partikel-partikel
akan beratraksi (tarik-menarik) secara kuat satu sama lainnya dan akan saling
pegang-memegang seperti halnya serbuk besi yang tertarik oleh suatu magnet,
sedangkan jika muatan-muatan dari dua partikel itu sama (keduanya positif atau
keduanya negatif), mereka akan tolak menolak satu sama lain. Seperti telah
dikemukakan di dalam teori sebelumnya bahwa air dapat tertarik secara kuat
pada partikel-partikel lempung, begitu kuatnya tarik menarik ini, air tersebut
dapat membentuk suatu mantel air disekeliling partikel-partikel lempung,
sehingga dapat menjadikan sistem ini pejal dan kental. Dengan adanya bentuk
mantel-mantel itu memungkinkan partikel-partikel, jika diberikan suatu gaya
padanya akan mudah bergeser satu sama lainnya tanpa ikatannya pecah-pecah
sekalipun gaya itu telah hilang (Prasetyo, 2007: 40).

2.5 Metode Atterberg atau Casagrande
Kedudukan fisik tanah berbutir halus pada kadar air tertentu disebut dengan
konsistensi. Konsistensi sendiri tergantung pada gaya tarik antara partikel mineral
lempungnya. Pengurangan kadar air juga menghasilkan pengurangan volume tanah.
Tanah yang berbutir halus biasanya memiliki sifat plastis. Plastisitas sendiri
disebabkan oleh adanya partikel mineral lempung dalam tanah. Sifat plastis tersebut
mempunyai kemampuan tanah menyesuaikan dengan perubahan bentuk tanah setelah
bercampur dengan air pada volume yang tetap. Tanah sendiri mungkin bisa berbentuk
cair, plastis, semi padat, atau padat tergantung daripada jumlah air yang bercampur
dalam tanah (Muntohar, 2007: 59).
Atterberg mengembangkan suatu metode untuk menggambarkan suatu batas-
batas konsistensi dari tanah berbutir halus dengan mempertimbangkan kadar airnya.
Pada kondisi tanah lembek disitu mungkin karena terlalu banyak air, sehingga kadar
airnya tinggi yang menyebabkan tanah tersebut menjadi lembek (Azis, 2008).
Metode Atterberg untuk menentukan indeks plastisitas memiliki dua
parameter yang harus diketahui yaitu batas plastis (plastic limit) dan batas cair (liquid
limit). Batas plastis merupakan batas keadaan semi plastis dan plastis sedangkan batas
cair adalah batas dari keadaan semi plastis ke keadaan cair (Prasetyo, 2004: 19).
Pada kebanyakan tanah di alam, berada dalam kondisi plastis. Kadar air yang
terkandung dalam tanah berbeda-beda pada setiap kondisi tersebut yang mana
bergantung pada interaksi antara partikel mineral lempung. Bila kandungan air
berkurang maka ketebalan lapisan kation akan berkurang pula yang
mengakibatkan bertambahnya gaya-gaya tarik antara partikel-partikel. Untuk suatu
tanah yang berada dalam kondisi plastis, besarnya gaya-gaya antar partikel
harus sedemikian rupa sehingga partikel-partikel tidak mengalami pergeseran
satu dengan lainnya akibat ditahan oleh kohesi dari masing-masing partikel.
Perubahan kadar air disamping menyebabkan perubahan volume tanah, juga
mempengaruhi kekuatan tanah yang mana akan berbeda-beda pada setiap
kondisi tanahnya. Pada kondisi cair, tanah memiliki kekuatan yang sangat rendah
dan terjadi deformasi yang sangat besar. Namun sebaliknya, kekuatan tanah
menjadi sangat besar dan mengalami deformasi yang sangat kecil dalam kondisi
padat.
Plastisitas dinyatakan dengan indeks plastisitas, di mana indeks plastisitas
merupakan selisih dari batas cair (liquid limit) dan batas plastis (plastic limit) yang
persamaannya sesuai pada persamaan 2.1. Berdasarkan persamaan 2.1 diketahui
bahwa indeks plastisitas dipengaruhi batas cair (LL) dan batas plastis (PL) dimana :
a) Batas Cair (LL)
Batas cair adalah kadar air dimana tanah berada dalam batas keadaan plastis dan
cair (Shirley, 1994). Kadar air dinyatakan dalam persen. Untuk mengatur kadar
air dari tanah yang bersangkutan agar memenuhi persyaratan sesuai batas cair
ternyata sangat sulit. Oleh karena itu akan lebih baik kalau dilakukan uji batas
cair paling sedikit empat kali pada tanah yang sama tetapi pada kadar air yang
berbeda-beda sehingga jumlah pukulan N, yang dibutuhkan untuk menutup
goresan bervariasi antara 15 dan 35. Batas cair tanah berbutir halus dapat
ditentukan dengan pengujian Atterberg atau Casagrande dan kerucut penetrasi
(one penetration).



Gambar 2.3 Alat Uji Batas Cair Metode Atterberg atau Casagrande (Muntohar,
2007: 61)

Untuk melakukan uji batas cair, sejumlah pasta tanah (tanah yang dicampur rata
dengan air) ditempatkan ke dalam cawan. Selanjutnya, pasta tanah yang telah
diratakan dibagi menjadi dua bagian dibentuk celah antara dua bagian dengan
menggunakan alat pembuat alur (grooving tool) yang standar (Gambar 2.4 b).
Dengan menggunakan tangkai pemutar, cawan akan terangkat setinggi 10 mm
dan jatuh dengan 2 putaran per detiknya. Jumlah pukulan yang menyebabkan
tertutupnya celah sepanjang 12,7 mm (Gambar 2.4 b) dicatat dan contoh tanah
diambil guna diuji kadar airnya. Kadar air yang diperlukan untuk menutup celah
sepanjang 12,7 mm pada 25 kali pukulan didefinisikan sebagai batas cair.



Gambar 2.4 Skema Uji Batas Air Metode Atterberg atau Casagrande (a) Susunan
Alat Uji Batas Cair, (b) Grooving Tool, (c) Pasta Tanah Sebelum
Pengujian, (d) Pasta Tanah Sesudah Pengujian (Muntohar, 2007:
62)

b) Batas Plastis (PL)
Batas plastis adalah nilai kadar air terendah dari suatu contoh tanah dimana tanah
tersebut masih dalam keadaan plastis (Shirley, 1994). Batas plastis dinyatakan
dalam persen, di mana tanah apabila digulung sampai dengan diameter 1/8 in
(3,2 mm) menjadi retak-retak. Demikian juga Muntohar (2007: 65)
mendefinisikan batas plastis sebagai kadar air yang mana tanah mengalami
retak-retak bila digulung dengan jari-jari tangan menjadi diameter 3 mm. Batas
plastis merupakan batas terendah dari kondisi plastis tanah. Cara pengujiannya
adalah sangat sederhana, yaitu dengan cara menggulung massa tanah berukuran
elipsoida dengan telapak tangan di atas kaca datar (Das, 1998: 47).


Gambar 2.5 Pengujian Batas Plastis (a) Tahap Awal Pengujian, (b) Hasil Setelah
Digulung Dengan Diameter 3 mm, (c) Tanah Retak-retak
(Muntohar, 2007: 66)


c) Indeks Plastisitas (PI)
Indeks plastisitas adalah perbedaan antara batas cair dan batas plastis suatu tanah
(Muntohar, 2005: 50). Burmaster (1949) dalam Prasetyo (2004: 20) telah
mengklasifikasikan tingkat plastisitas berdasarkan indeks plastisitas yang
ditunjukkan pada tabel 2.4 sebagai berikut:


Tabel 2.4 Deskripsi indeks plastisitas
Indeks Plastisitas Deskripsi
0
1-5
5-10
10-20
20-40
>40
Non Plastik
Agak Plastik
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
Sumber: Burmaster (1949) dalam Prasetyo (2004: 20)


2.6 Penentuan Kadar Karbon
Penentuan kadar karbon secara spektrofotometer dilakukan pada daerah
visible yaitu pada panjang gelombang 380 - 780 nm. Karbon sebagai senyawa
organik akan mereduksi Cr
6+
yang berwarna jingga menjadi Cr
3+
yang berwarna hijau
dalam suasana asam. Intensitas warna hijau

yang terbentuk setara dengan kadar
karbon dan dapat diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 561 nm
(Sulaeman, 2005: 31).
Menurut Hayati (2007: 16) mengatakan bahwa spektroskopi sinar tampak
adalah absorbansi sinar tampak oleh molekul atau atom yang disebabkan oleh
promosi elektron dari keadaan elektronik dasar ke keadaan tereksitasi. Serapan
cahaya oleh molekul dalam daerah spektrum cahaya tampak tergantung pada struktur
elektronik dari molekul. Spektra cahaya tampak dari senyawa-senyawa organik
berkaitan erat transisi-transisi diantara tingkatan-tingkatan energi elektronik.
Penyerapan energi pada daerah cahaya tampak menghasilkan perubahan dalam
elektronik molekul yang merupakan hasil transisi elektron valensi dalam molekul
tersebut. Intensitas serapan menurut hukum Lambert-Beer yang didefinisikan bahwa
absorbansi berbanding langsung dengan tebal larutan dan konsentrasi larutan, seperti
rumus berikut (Endro, dkk. 2004):

A= log
T
1
= log
Io
I
= e.b.c = -log T .......................................................... (2.3)

dimana, A = Absorbansi
e = Absorptivitas molar
b = Tebal larutan (kuvet)
c = Konsentrasi larutan (mol/ L)
T = Transmitan

Rumus Beer ini dapat dijelaskan bahwa cahaya atau radiasi dengan intensitas I
o
yang
melewati bahan setebal b berisi sejumlah n partikel (ion, atom, atau molekul) akan
mengakibatkan intensitas akan berkurang menjadi I. Berkurangnya intensitas radiasi
tergantung dari luas penampang (S) yang menyerap partikel, dimana luas penampang
sebanding dengan jumlah partikel (n) (Hayati, 2007: 18).



2.7 Difraksi Sinar-X
2.7.1 Pengertian Difraksi Sinar-X
Difraksi sinar-X (X-ray difraction/XRD) merupakan salah satu metode
karakterisasi material yang paling tua dan sering digunakan hingga sekarang. Teknik
ini digunakan untuk mengidentifikasi fasa kristalin dalam material dengan cara
menentukan parameter struktur kisi serta untuk mendapatkan ukuran partikel
(Ratnasari, 2009).
Sinar X merupakan radiasi elektromagnetik yang memiliki energi tinggi
sekitar 200 eV sampai 1 MeV. Sinar X dihasilkan oleh interaksi antara berkas
elektron eksternal dengan elektron pada kulit atom. Spektrum Sinar X memiliki
panjang gelombang 10
-5
10 nm, berfrekuensi 1017 -1020 Hz dan memiliki energi
103 -106 eV. Panjang gelombang sinar X memiliki orde yang sama dengan jarak
antar atom sehingga dapat digunakan sebagai sumber difraksi kristal (Ory, 2009).

2.7.2 Prinsip Kerja Difraksi Sinar-X
Dasar dari prinsip pendifraksian sinar X yaitu difraksi sinar-X terjadi pada
hamburan elastis foton-foton sinar-X oleh atom dalam sebuah kisi periodik.
Hamburan monokromatis sinar-X dalam fasa tersebut memberikan interferensi yang
konstruktif. Penguatan sinar yang terpancarkan menjadi kuantitatif hanya jika
memenuhi Hukum Bragg. Hukum Bragg didefinisikan sebagai (Hayati, 2007: 104) :


n = 2 d sin ; n = 1,2,.........................................................................(2.2)
Keterangan :
adalah panjang gelombang sinar-X yang digunakan,
d adalah jarak antara dua bidang kisi,
adalah sudut antara sinar datang dengan bidang normal, dan
n adalah bilangan bulat yang disebut sebagai orde pembiasan


Gambar 2.6 Skema Dari Berkas Sinar X Yang Memantulkan Dari Sinar Kristal
Dengan Mengikuti Hukum Bragg (Hayati, 2007: 104)


Berdasarkan persamaan Bragg, jika seberkas sinar-X dijatuhkan pada sampel kristal,
maka bidang kristal itu akan membiaskan sinar-X yang memiliki panjang gelombang
sama dengan jarak antar kisi dalam kristal tersebut. Sinar yang dibiaskan akan
ditangkap oleh detektor kemudian diterjemahkan sebagai sebuah puncak difraksi.
Makin banyak bidang kristal yang terdapat dalam sampel, makin kuat intensitas
pembiasan yang dihasilkannya. Tiap puncak yang muncul pada pola XRD mewakili
satu bidang kristal yang memiliki orientasi tertentu dalam sumbu tiga dimensi (Ory,
2009). Puncak yang didapatkan dari data pengukuran kemudian dicocokkan dengan
standar difraksi sinar-X untuk hampir semua jenis material. Standar ini disebut
JCPDS (Joint Committee on Powder Diffraction Standards) (Ratnasari, 2009).


Gambar. 2. 7 Bagan Difraksi Sinar X (Anonymous, 2009)



Beberapa informasi yang dapat diperoleh dari difraksi sinar X (X-ray
difraction/XRD) adalah sebagai berikut (Ginting dkk, 2005):
a. Posisi puncak difraksi memberikan gambaran tentang parameter kisi (a), jarak
antar bidang (d
hkl
), struktur kristal dan orientasi dari sel satuan.
b. Intensitas relatif puncak difraksi memberikan gambaran tentang posisi atom
dalam sel satuan.
c. Bentuk puncak difraksi memberikan gambaran tentang ukuran kristalit dan
ketidaksempurnaan kisi.

2.8 Mikroskop Optik
Mikroskop optik memiliki dua tipe yaitu transmisi dan refleksi. Mikroskop
polarisasi merupakan tipe transmisi yang banyak digunakan oleh para ahli geologi
dan mineralogi untuk analisa kimia padatan, khususnya mineral dan keramik. Sampel
dibentuk menjadi serbuk halus berukuran 10-100 m. Pada ukuran ini material
terlihat transparan.
Mikroskop metalurgi merupakan tipe refleksi cahaya untuk menggambarkan
permukaan material khususnya yang tidak tembus cahaya. Mikroskop metalurgi
umumnya digunakan dalam bidang geologi dan mineranologi dan dapat
dikembangkan di bidang kimia padatan khususnnya keramik dan mineral (West,
1984: 61).
Mikroskop metallurgical hampir sama dengan mikroskop transmisi tetapi
sumber sinar dan lensa objektif berada dalam tempat sampel. Bagian tersebut
digunakan untuk memeriksa padatan yang tidak tembus cahaya seperti logam,
mineral dan keramik. Informasi yang diperoleh bergantung pada ketelitian dan
preparasi sampel yang akan dianalisis. Data yang dapat diperoleh dari mikroskop
metallurgical berupa tekstur padatan dan distribusi partikel (West, 1984: 62).

2.9 Color Reader
Color Reader merupakan instrument untuk analisis psikofisikal.
Pengukurannya berdasarkan penglihatan manusia. Data dari Color Reader diperoleh
langsung dan berdasarkan sistem trismulus coordinates L, a*, and b*. Nilai L berarti
kecerahan dan nilainya berkisar dari 0 = gelap dan 100 = terang. Warna pada titik
pusat (a* = 0, b* = 0) adalah achromatic (abu-abu). Pada sumbu datar, positif a*
berarti berwarna merah-keunguan, sedangkan negatif a* berarti hijau kebiruan.
Sedangkan untuk sumbu tegak, positif b* berarti kuning dan negatif b* berarti biru.
Instrument Color Reader terdiri dari sensor dan data yang dihasilkan dari sampel
dapat diperoleh secara langsung. Instrument ini lebih sederhana daripada
spektrofotometer. Panjang gelombang yang digunakan berdasarkan penyerapan
trismulus (Hunter, 2008).

2.10 X-Ray Fluorescence (XRF)
Analisa dengan X-Ray Fluorescence akan diperoleh analisa unsur penyusun
dari sampel, keunggulan teknik ini adalah sampel yang dianalisa tidak perlu dirusak,
sehingga metode ini termasuk dalam non-destructive test. Kekurangan dari metode X-
Ray Fluorescence adalah tidak dapat menganalisa unsur dibawah nomor atom 10
(Jamaluddin,2007).
Prinsip pengukuran X-Ray Fluorescence berdasarkan terjadinya proses
eksitasi elektron pada kulit atom bagian dalam ketika atom suatu unsur tersebut
dikenai sinar-X, kekosongan elektron tersebut akan diisi oleh elektron bagian luar
dengan melepaskan energi yang spesifik untuk setiap unsur (Saksono, 2002: 90).
Elektron dari kulit yang lebih tinggi akan mengisi kekosongan itu. Perbedaan energi
dari dua kulit itu tampil sebagai sinar X yang dipancarkan oleh atom. Spektrum sinar
X selama proses tersebut menunjukkan peak/puncak yang karakteristik, dimana setiap
unsur akan menunjukkan peak/puncak yang karakteristik yang merupakan landasan
dari uji kualitatif untuk unsur-unsur yang ada. Sinar X karakteristik diberi tanda
sebagai K, L, M atau N untuk menunjukkan dari kulit mana dia berasal. Penunjukkan
lain adalah alpha (), dan beta () atau gamma () dibuat untuk memberi tanda sinar
X itu berasal dari transisi elektron dari kulit yang lebih tinggi. Oleh karena itu K
alpha () adalah sinar X yang dihasilkan dari dari transisi elektron kulit L ke kulit K,
dan K beta () adalah sinar X yang ke kulit K. Jadi setiap unsur mempunyai K alpha
() dan K beta () yang karakteristik sebagai dasar uji kualitatif unsur yang ada
(Sumantry, 2000).
Hasil XRF berupa spektrum hubungan antara energi eksitasi dan intensitas
sinar-X, Energi eksitasi menunjukan unsur penyusun sampel dan intensitas
menunjukan nilai kuantitatif dari unsur tersebut. Semakin tinggi intensitasnya,
semakin tinggi pula prosentase unsur tersebut dalam sampel (Jamaluddin,2007).
Metode XRF akan memberikan nilai intensitas secara total dari unsur tertentu dalam
semua bentuk senyawa (Saksono, 2002: 92).

2.11 Tanah sebagai bahan dasar pembentuk manusia
Tanah banyak disebutkan dalam Al quran pada proses penciptaan manusia. Di
dalam Al quran dijelaskan bahwa Adam diciptakan oleh Allah dari tanah yang
kering kemudian dibentuk oleh Allah dengan bentuk yang sebaik-baiknya. Setelah
sempurna maka oleh Allah ditiupkan ruh kepadanya maka dia menjadi hidup. Allah
menyebutkan tanah dengan at-thin dan shalshal dalam Al-Quran. Kata at-thin
dijelaskan oleh Allah dalam Surat As-Sajadah 7 sebagai berikut:

}# ,=z &/ )=z ` .m&%!#
Yang membuat segala sesuatu yang dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai
penciptaan manusia dari tanah (QS. As-Sajadah 7).


Menurut Al-Qurthubi yang dimaksud dengan at-thin adalah tanah yang murni.
Sedangkan keturunannya mereka berasal dari tanah dan air mani. Bahreisy (1990:
21) menafsirkan bahwa Dia membuat sebaik-baiknya dan sesudahnya segala sesuatu
yang diciptakan. Dan Dia telah menciptakan pada permulaanya bapak manusia
(Adam) dari tanah liat, dan Allah menyempurnakan penciptakan Adam yang dari
tanah menjadi manusia utuh dengan sebaik-baiknya bentuk. Surat Ash-Shaaffat 11
juga menjelaskan tentang penciptaan manusia dari tanah liat.

JF`$ & & $)=z & $)=z $) )={ >
Maka tanyakanlah kepada mereka (musyrik Mekah): "Apakah mereka yang lebih
kukuh kejadiannya ataukah apa yang Telah kami ciptakan itu?" Sesungguhnya kami
Telah menciptakan mereka dari tanah liat (QS. Ash-Shaffat 11).


Ibnu Abbas menafsirkan mengenai firman Allah dalam surat Ash-Shaaffaat
11 > yang artinya Dari tanah liat ia berkata , Maksudnya adalah
tanah liat yang panas, baik mutunya, dan lengket. Firman Allah, Sesungguhnya
Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat, Ibnu Abbas menafsirkan bahwa
manusia diciptakan dari tanah dan air, sehingga menjadi tanah liat yang lengket.
Menurut Ath-Thabari maksud dari surat Ash-Shaaffaat 11 adalah, sesunguhnya Kami
menciptakan mereka dari tanah liat yang lengket. Allah memberinya sifat -` karena
tanah tersebut bercampur dengan air. Kata -` menurut Ikrimah artinya '
(melekat), maksudnya yang melekat kepada apa yang dikenainya (Rida dkk, 2009:
164). Demikianlah,anak Adam diciptakan dari tanah,air api, dan udara. Apabila tanah
bercampur dengan air, maka menjadi tanah liat yang lengket (Misbah, 2009: 770).
Demikian pula at-thin dijelaskan dalam surat Al-Qashash 38 sebagai berikut:

$% ` $' |9# $ M= 69 9) %' < ? 9# _$
< $m ? 9 =& <) 9) ` ) { /39#

Dan Berkata Fir'aun: "Hai pembesar kaumku, Aku tidak mengetahui Tuhan bagimu
selain Aku. Maka bakarlah Hai Haman untukku tanah liat Kemudian buatkanlah
untukku bangunan yang Tinggi supaya Aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan
Sesungguhnya Aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta"
(QS. Al-Qhashash 38).

9#

? <

yang artinya Maka, bakarlah hai Haman untukku tanah liat, yakni
bakarlah batu bata merah. Dari Ibnu Abbas, Qatadah berkata, Firaun adalah orang
yang pertama kali membuat batu bata dan membuat bangunan dengannya (Asmuni,
2008: 735).
Kedudukan istimewa di mana lempung sebagai bahan dasar pembentuk
manusia pertama yaitu Nabi Adam A.S juga dijelaskan dalam Surat Al-Hijr 26
sebagai berikut:
)9 $)=z }# = *q ``
Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering
(yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk (QS. Al-Hijr 26).



Istilah Arab, shalshal merujuk pada jenis tanah liat kering, yang jika dibentuk
menjadi peliut dan ditiup akan menimbulkan suara (Faqih, 2005: 346). Kata
shalshal secara etimologis adalah tanah kering yang apabila dipukul akan berbunyi,
sedangkan kata hamamim masnun adalah tanah hitam yang lembek dan berubah-
ubah (Ash-Shabuny, 2001: 350). Menurut pendapat jumhur ulama Tanah Bersuara
adalah tanah yang bersuara jika dipukul sebagaimana memukul besi. Sehingga dia
menjadi tanah yang gembur, maksudnya bagian-bagiannya mudah terpisah yang
kemudian dibasahi sehingga menjadi tanah liat. Lalu dibiarkan membusuk dan
menjadi lempung yang berbentuk, yakni yang berubah. Kemudian mengering
sehingga menjadi keramik (Asmuni, 2008: 52).
Ibnu Abbas, Mujahid dan Qatadah mengatakan : yang dimaksud dengan
shalshal di sini adalah tanah liat yang kering. Dari Mujahid pula Shalshal adalah
yang berbau busuk, dan menafsirkan satu ayat dengan ayat lain itu lebih utama.
Firman Allah Dan lumpur hitam yang diberi bentuk, maksudnya dari tanah liat
yang licin ( tanah yang basah ) (Syaikh, 2007: 10). Shalshal juga diartikan sebagai
tanah liat kering, terdengar darinya suara deringan, maksud kamaim masnun adalah
tanah yang hitam dan baunya dapat berubah (Al-Jaizi, 2007: 146). Ibnu Abbas
menafsirkan Dari lumpur hitam yang diberi bentuk sebagai tanah liat yang
dibasahi dan telah berbau, lalu dikeringkan seperti tembikar (Misbah, 2009: 790).
Asmuni (2008: 52) menyatakan bahwa menurut Ibnu Abbas shalshal adalah tanah
panas yang dicampur dengan pasir sehingga menjadi liat jika dikeringkan. Jika
dibakar dengan api maka dia menjadi keramik. Sehingga shalshal adalah tanah
kering yang apabila dipukul akan berbunyi dan apabila dimasak atau dipanggang dia
akan menjadi bentuk yang mengeras (Ash-Shabuny, 2001: 352).

























BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-April 2010 di Laboratorium
Kimia Fisik jurusan kimia dan Optik jurusan biologi Universitas Islam Negeri (UIN)
Maulana Malik Ibrahim Malang, Laboratorium Teknik Hasil Pertanian Universitas
Brawijaya Malang, Laboratorium Sentral Universitas Negeri Malang (UNM),
Laboratorium Mekanika Tanah Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), dan
Laboratorium Riset dan Penelitian Institut Teknologi Sepuluh November (ITS)
Surabaya.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian
3.2.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : labu ukur 25 mL, pipet
ukur 5 mL, gelas beaker 100 mL, ayakan ukuran 40 mesh, desikator, tanur (Thermo
Scientific), timbangan analitik, oven, spatula, cawan penguap, spektrofotometer
(Thermo Scientific), Color Reader, mikroskop optik (Stereoscopic Zoom Microscope
/ SMZ 1500), seperangkat alat atterberg, seperangkat alat pelet, seperangkat
instrument FTIR (Shimadzu), seperangkat instrument XRF (MiniPal4) dan
seperangkat instrument XRD (Philips Xpert).

3.2.2 Bahan
Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian antara lain: kaolin, sekam
padi, K2Cr2O7 1 N, H2SO4 pekat dan aquades.

3.3 Tahapan Penelitian
Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah :
a. Pembuatan abu sekam padi pada variasi suhu pengabuan 600
0
C, 700
0
C, dan
800
0
C.
b. Karakterisasi abu sekam padi dari hasil pengabuan pada suhu 600
0
C, 700
0
C, dan
800
0
C, meliputi identifikasi:
1. Warna
2. Kadar Karbon
3. Identifikasi Kualitatif Jumlah silika
4. Komponen Kimia
5. Kristalinitas
c. Pembentukan campuran kaolin-abu sekam padi
d. Penentuan indeks plastisitas campuran kaolinabu sekam padi
e. Karakterisasi distribusi partikel dan morfologi permukaan secara sederhana
dengan mikroskop optik pada campuran kaolin-abu sekam padi.



3.4 Prosedur Penelitian
3.4.1 Pembuatan abu sekam padi
Sekam padi dibersihkan dan dicuci dengan air kemudian sekam padi
dikeringkan di bawah sinar matahari. Sekam padi yang telah bersih dan kering
kemudian dioven pada suhu 300
0
C selama 30 menit (Harsono, 2002). Arang yang
dihasilkan kemudian diabukan pada variasi suhu pengabuan 600
0
C, 700 C, dan 800
0
C selama 4 jam (Aina, 2007). Selanjutnya abu sekam padi yang diperoleh digunakan
sebagai sampel pada tahap selanjutnya.

3.4.2 Karakterisasi Abu Sekam Padi
3.4.2.1 Warna
Karakterisasi warna abu sekam padi dari hasil pengabuan pada suhu 600
0
C,
700
0
C, dan 800
0
C dilakukan dengan alat color reader, dimana sampel hasil
pengabuan sekam padi dimasukkan dalam plastik bening, kemudian color reader
dihidupkan dan ditentukan harga L, a* dan b*.
Keterangan :
L : Warna cerah (0-100)
a* : Warna jingga sampai merah
b* : Warna kuning sampai biru



3.4.2.2 Kadar Karbon (Sulaeman, 2005)
3.4.2.2.1 Pembuatan Kurva Standar
Larutan stok dibuat dengan cara menimbang 0,25 mg glukosa kemudian
dimasukkan dalam labu ukur 25 mL dan ditambahkan aquades hingga tanda batas.
Kemudian dibuat larutan standar 0 ppm, 1 ppm, 3 ppm, 5 ppm dan 7 ppm, dengan
memipet 0 mL, 2,5 mL, 7,5 mL, 12,5 mL dan 17,5 mL larutan stok ke dalam labu
ukur 25 mL. Selanjutnya ditambahkan 1,25 mL K
2
Cr
2
O
7
, lalu dikocok. Kemudian
ditambahkan 1,75 mL H
2
SO
4
pekat dikocok, lalu didiamkan selama 30 menit.
Larutan kemudian diencerkan dengan aquades sampai tanda batas, dibiarkan dingin
dan didiamkan. Keesokan harinya diukur absorbansi larutan jernih dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 561 nm.

3.4.2.2.2 Penentuan Kadar Karbon Abu Sekam Padi
Penentuan kadar karbon abu sekam padi yang diabukan pada variasi suhu
pengabuan 600
0
C, 700
0
C, dan 800
0
C dilakukan dengan cara menimbang 0,125 g
abu sekam padi dan dimasukkan ke dalam labu ukur 25 mL. Selanjutnya
ditambahkan 1,25 mL K
2
Cr
2
O
7
, lalu dikocok. Kemudian ditambahkan 1,75 mL
H
2
SO
4
pekat, dikocok lalu didiamkan selama 30 menit. Larutan kemudian diencerkan
dengan aquades sampai tanda batas, dibiarkan dingin dan didiamkan. Keesokan
harinya diukur absorbansi larutan jernih dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang 561 nm. Hasil absorbansi dibandingkan dengan kurva standar. Kadar
karbon abu sekam padi diketahui melalui rumus sebagai berikut:


Kadar C (%) = ppm kurva x L ekstrak x 100 % x mg sampel
-1
x fk (3.1)

dimana,
ppm kurva = kadar contoh yang didapat dari kurva hubungan antara kadar
deret standar dengan pembacaannya setelah dikoreksi blanko.
100 = konversi ke %
Fk = faktor koreksi kadar air = 100/(100 % kadar air)
% kadar air dari abu sekam padi ditentukan sesuai dengan
langkah pada sub bab 3.4.2.2.3.

3.4.2.2.3 Penentuan Kadar Air Abu Sekam Padi
Abu sekam padi 1 g dimasukkan dalam cawan, kemudian dipanaskan dalam
oven selama 2 jam pada suhu 105
0
C. Kemudian didinginkan dalam desikator selama
30 menit kemudian ditimbang dan dicatat beratnya. Selanjutnya dipanaskan kembali
dalam oven selama 1 jam pada suhu 105
0
C, lalu didinginkan, perlakuan diulang
hingga berat konstan. Kadar air ditentukan dengan persamaan 3.2 sebagai berikut:

Kadar Air (%) =
b
c b a + ) (
x 100 % ........................................................... (3.2)
dimana,
a = berat cawan kosong (g)
b = berat sampel (g)
c = berat cawan dan sampel setelah dipanaskan (g)

3.4.2.3 Identifikasi Kualitatif Jumlah SiO
2
Identifikasi kualitatif jumlah silika (SiO
2
) dari abu sekam padi yang diabukan
pada variasi suhu pengabuan 600
0
C, 700
0
C dan 800
0
C dilakukan dengan
menggunakan sepektrofotometer inframerah (IR). Sampel sekam dan abu sekam padi
yang diabukan pada variasi suhu pengabuan 600
0
C, 700
0
C dan 800
0
C diambil
secukupnya dengan menambahkan pelarut KBr perbandingan 1:3 (Sampel:KBr).
Sampel tersebut kemudian dihaluskan dalam mortar, lalu dipress dan dianalisa
dengan spektrofotometer inframerah (Shimadzu).

3.4.2.4 Identifikasi Komponen Kimia Sekam Padi
Karakterisasi komponen kimia dari abu sekam padi dilakukan dengan
menggunakan instrument X-Ray Fluorencence (XRF). Karakterisasi ini dilakukan
dengan cara sebagai berikut: sampel yang dikarakterisasi dihaluskan kemudian
diletakkan dalam sample holder, kemudian disinari dengan sinar X. Perlakuan diatas
diulang sebanyak 3 kali. Kemudian akan diperoleh data berupa presentase unsur yang
terkandung pada sampel yang diuji.



3.4.2.5 Kristalinitas
Penentuan kristalinitas dari abu sekam padi yang telah diabukan pada variasi
suhu pengabuan 600
0
C, 700
0
C, dan 800
0
C dilakukan dengan menggunakan
instrument difraksi sinar X (XRD). Karakterisasi ini dilakukan dengan cara sebagai
berikut: sampel yang dikarakterisasi dihaluskan kemudian diletakkan dalam sample
holder, kemudian disinari dengan sinar X. Jarak antara bidang bidang (d) mineral
dalam sampel ditetapkan dari difraktogram masing-masing sampel berdasarkan
hukum Bragg :

n = 2 d sin ....................................................................................(3.3)

dimana,
n adalah bilangan bulat yang disebut sebagai orde pembiasan
adalah panjang gelombang sinar-X yang digunakan,
d adalah jarak antara dua bidang kisi,
adalah sudut datang (besar sudut antara sinar X dengan bidang kristal)

Metode pengukuran sudut 2 dari difraktogram sinar X berdasarkan pada pengukuran
sudut yang telah direkam pada setiap difraktogram, dan dihitung secara proposional
setelah sudut 2 diketahui.



3.4.3 Pembentukan Campuran kaolin-abu sekam padi
Pembentukan campuran kaolin-abu sekam padi dilakukan dengan cara sebagai
berikut: hasil pengabuan sekam padi dari variasi suhu pengabuan 600
0
C, 700
0
C, dan
800
0
C dan kaolin diayak dengan ayakan 40 mesh. Selanjutnya kaolin 50 g yang
lolos ayakan 40 mesh ditambahkan dengan 5 g abu sekam padi dengan ukuran 40
mesh dari hasil pengabuan sehingga diperoleh 3 campuran kaolin-abu sekam padi.
Hasil campuran kaolin-abu sekam padi kemudian dilakukan penentuan indeks
plastisitas masing-masing.

3.4.4 Penentuan Plastisitas Campuran Kaolin-Abu Sekam Padi dengan Metode
Atterberg atau Casagrande
Penentuan plastisitas secara kualitatif ditentukan berdasarkan indeks
plastisitas (plasticity index) yang besarnya sama dengan kadar air pada batas cair
(liquid limit) dikurangi batas plastis (plastic limit).
3.4.4.1 Penentuan Batas Cair (Abdullah, 2004)
Campuran kaolin-abu sekam padi dengan ukuran 40 mesh ditambahkan air
hingga terbentuk pasta. Selanjutnya pasta diaduk hingga homogen agar kadar air yang
ada dalam pasta memiliki kadar air yang homogen. Pasta campuran kaolin-abu
sekam padi kemudian dimasukkan dalam mangkuk ( 8 mm tegak lurus dari dasar
mangkuk) yang ada pada alat Atterberg (ditunjukkan pada gambar 2.4). Pasta
campuran kaolin-abu sekam pada mangkuk dibelah menjadi dua bagian dengan alat
pengalur, kemudian engkol kecepatan (1 ketukan/ detik) sampai kedua bagian
campuran kaolin-abu sekam padi menyatu minimal sepanjang 12,7 mm. Selanjutnya
dicatat jumlah ketukannya dan ditentukan kadar airnya (dengan langkah pada sub bab
3.4.4.3). Batas cair terjadi pada pasta lempung yang memiliki kadar air dengan
jumlah pukulan sama dengan 25, karena hal ini sulit dilakukan maka batas cair dari
campuran kaolin-abu sekam padi ditentukan melalui hubungan linear antara jumlah
pukulan terhadap kadar air pada kertas semi-logaritma. Hubungan antara kadar air
dan jumlah pukulan ini selanjutnya digambarkan dalam grafik semi-logaritma seperti
yang ditunjukkan pada gambar 3.1.



Gambar 3.1 Kurva Batas Cair (Muntohar, 2007)


3.4.4.2 Penentuan Batas Plastis (Abdullah, 2004)
Campuran kaolin-abu sekam padi yang sudah berbentuk serbuk dengan
ukuran 40 mesh ditambahkan air dengan jumlah tertentu hingga terbentuk pasta
kemudian diratakan dengan bantuan spatula. Diambil secukupnya pasta campuran
kaolin-abu sekam padi dan dibentuk menjadi silinder (d=1/8 inch). Campuran kaolin-
abu sekam padi yang berbentuk silinder tersebut digulung-gulung perlahan-lahan
sampai timbul retak retak kemudian ditentukan kadar airnya dengan langkah sesuai
pada sub bab 3.4.4.3.

3.4.4.3 Penentuan Kadar Air (Sulaeman, 2005)
Cawan yang telah bersih dan kering ditimbang. Sampel yang akan ditentukan
kadar airnya ditempatkan dalam cawan dan ditimbang beratnya. Cawan ditempatkan
dalam oven pada suhu 105
0
C selama 3 jam. Kemudian cawan didinginkan dan
ditimbang hingga beratnya konstan.

Kadar air =
3 2
2 1
w w
w w

x 100% ................................................................ (3.4)


dimana,
w
1
= berat cawan + sampel basah (g)

w
2
= berat cawan + sampel kering (g)
w
3
= berat cawan kosong (g)

3.4.4.4 Penentuan Indeks Plastisitas (Abdullah, 2004)
Indeks plastisitas campuran kaolin-abu sekam padi ditentukan dari nilai kadar
air pada batas cair dikurangi batas plastis. Hal ini sesuai pada persamaan 3.5.
PI = LL PL .................................................................................................. (3.5)
dimana,
PI = indek plastisitas (plasticity index),
LL = batas cair (liquid limit)
PL = plastis (plastic limit).

3.4.5 Karakterisasi dengan Mikroskop Optik
Karakterisasi untuk mengetahui disribusi partikel dan morfologi permukaan
secara sederhana dapat dilakukan dengan menggunakan mikroskop optik.
Karakterisasi dilakukan dengan cara sebagai berikut: sampel yang akan
dikarakterisasi dihaluskan dengan mortar hingga halus kemudian dimasukkan ke
dalam pellet press secara merata. Pellet press dihubungkan ke pompa vakum selama
15 menit. Selanjutnya dibuka pellet secara hati-hati, kemudian pellet diletakkan pada
tempat sampel dan dimikroskop optik pada perbesaran 115x sampai morfologi
permukaan sampel terlihat jelas. Langkah di atas diulang sebanyak 2 kali.

3.5 Analisa Data
Data karakteristik abu sekam padi dan data indeks plastisitas kaolin dengan
penambahan abu sekam padi pada variasi suhu pengabuan 600
0
C, 700
0
C dan 800
0
C
dianalisa secara deskriptif berdasarkan data yang diperoleh.




BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pembuatan Abu Sekam Padi
Sampel sekam padi yang digunakan pada penelitian ini berasal dari jenis IR
64. Padi IR 64 memiliki keunggulan dibandingkan jenis padi yang lain diantaranya
tahan terhadap wereng coklat dan wereng hijau, agak tahan bakteri busuk daun dan
tahan virus kerdil rumput (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2008: 21). Sampel
diambil dari hasil limbah pertanian di desa Sendang Kecamatan Banyakan Kabupaten
Kediri.
Sekam padi yang berwarna kuning keemasan terlebih dahulu dibersihkan dari
kotoran dan dicuci dengan air agar hasil silika yang diperoleh tidak tercampur dengan
zat lain. Sekam padi selanjutnya dikeringkan dibawah sinar matahari, hal ini
bertujuan untuk mengurangi kadar air pada sekam padi. Sekam padi merupakan
lapisan keras yang membungkus kariopsis butir gabah, terdiri atas dua belahan yang
disebut lemma dan palea yang saling bertautan (Aina, 2007: 2). Menurut Sarkawi
(2003: 136) sekam padi terdiri dari 34 - 44 % selulosa, 23- 30 % lignin, 13 - 39 %
abu dan 8 - 15 % air.
Sekam padi yang telah kering kemudian dipanaskan pada suhu 300
0
C selama
30 menit hingga terbentuk arang yang berwarna hitam. Sitorus (2009) menyatakan
bahwa pembakaran sekam padi hingga diperoleh karbon terjadi pada suhu 200
0
C
400
0
C. Semakin besar temperatur untuk melakukan pengarbonan sekam, maka
kecenderungan karbon semakin sedikit. Proses pengarangan dimaksudkan untuk
mempercepat proses pengabuan, dimana sekam padi yang akan diabukan tanpa
diarangkan dimungkinkan akan membutuhkan waktu yang lebih lama pada proses
pengabuannya. Menurut Balai Penelitian Pascapanen Pertanian (2001) pembuatan
arang sekam dimaksudkan untuk memperbaiki sifat fisik sekam agar lebih mudah
ditangani dan dimanfaatkan lebih lanjut. Arang sekam padi yang berwarna hitam
kemudian diabukan selama 4 jam pada variasi suhu pengabuan 600
0
C, 700
0
C dan
800
0
C. Menurut Hara (1986) pembakaran/pemanasan yang dilakukan secara terus
menerus pada suhu di atas 650
0
C akan menaikkan kristalinitasnya dan akhirnya akan
terbentuk fasa kristobalit dan tridimit dari silika. Gusmini, dkk (2009) menyatakan
bahwa peningkatan pemanasan sekam sebagai sumber Si mampu meningkatkan
ketersediaan SiO
2
pada abu. Hasil pengabuan yang diperoleh kemudian dijadikan
sebagai bahan tambahan pada bahan dasar keramik yaitu kaolin. Variasi suhu
pengabuan tersebut diharapkan akan menghasilkan kristalinitas yang tinggi dari abu
sekam padi.

4.2 Karakterisasi Abu Sekam Padi
4.2.1 Warna Abu Sekam Padi
Analisis warna abu sekam padi yang diabukan pada variasi suhu pengabuan
600
0
C, 700
0
C dan 800
0
C dilakukan dengan menggunakan Color Reader (CR.10)
dengan parameter L, a* dan b*. Parameter L menunjukkan tingkat kecerahan dengan
skala 0 (gelap atau hitam) sampai tingkat 100 (cerah atau terang), parameter a*
menunjukkan tingkat warna jingga sampai merah. Nilai negatif menunjukkan warna
hijau, sedangkan nilai positif menyatakan kecenderungan warna merah. Parameter b*
menunjukkan adanya warna kuning sampai biru. Hasil analisis warna dari abu sekam
padi yang diabukan pada variasi pengabuan 600
0
C, 700
0
C dan 800
0
C ditunjukkan
pada tabel 4.1 sebagai berikut:


Tabel 4.1 Hasil Analisa Warna Abu Sekam Padi pada Variasi Pengabuan 600
0
C, 700
0
C dan 800
0
C dengan Color Reader
Hasil Abu Sekam Padi
(ASP)
Warna
L a* b*
ASP 600
0
C 60.8 12.0 8.9
ASP 700
0
C 61.4 13.1 6.6
ASP 800
0
C 66,5 13.8 7.5



Prinsip kerja dari Color Reader memiliki kemiripan dengan prinsip kerja kamera
digital, dimana sampel yang akan dianalisa difoto dan akan diperoleh intensitas
warnanya dengan parameter L, a*, dan b*. Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa
intensitas kecerahan atau L dari abu sekam padi yang diabukan pada suhu 600
0
C
sebesar 60,8. Sekam padi IR 64 yang diabukan pada suhu 700
0
C menunjukkan
kenaikan nilai L sebesar 0,6 dari 60,8 menjadi 61,4 sedangkan abu sekam padi yang
diabukan pada suhu 800
0
C menunjukkan hasil intensitas kecerahan atau L* paling
besar yaitu sebesar 66,5.
Hasil karakterisasi warna dengan color reader diketahui bahwa intensitas
kecerahan atau nilai L pada abu sekam padi yang diabukan pada suhu 800
0
C lebih
besar daripada sekam padi yang diabukan pada suhu 600
0
C dan 700
0
C. Hal ini
diketahui bahwa semakin tinggi suhu pengabuan dari sekam padi maka semakin besar
nilai kecerahan dari abu yang dihasilkan dan semakin besar pula silika yang
terbentuk. Menurut Azis (dalam Purwandari, 2006) pengabuan pada temperatur tinggi
akan menghasilkan silika berwarna merah muda dengan bentuk silika kristobalit dan
tridimit serta sedikit sekali yang berbentuk kuarsa. Pengabuan pada temperatur
rendah menghasilkan abu sekam berwarna kelabu dan berstruktur amorf atau tidak
teratur.

4.2.2 Penentuan Kadar Karbon
Karakterisasi pada abu sekam padi selain analisa warna juga dilakukan
penentuan kadar karbon. Analisa ini dilakukan karena pada proses pembuatan abu
sekam padi, sekam padi terlebih dahulu diarangkan sehingga dimungkinkan pada abu
sekam padi terdapat kadar karbon yang tersisa pada proses pengabuan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa abu sekam padi yang diabukan pada suhu 600
0
C
mengandung karbon sebesar 0,045 %, abu sekam padi yang diabukan pada suhu 700
0
C adalah 0,048 % sedangkan abu sekam padi yang diabukan pada suhu 800
0
C
sebesar 0,037 %. Nilai kadar karbon diperoleh berdasarkan persamaan 3.1. Hal ini
ditunjukkan pada tabel 4.2 sebagai berikut:




Tabel 4.2 Kadar Karbon Abu Sekam Padi
No Sampel Kadar Karbon (%)
1. Abu Sekam Padi 600
0
C 0,045
2. Abu Sekam Padi 700
0
C 0,048
3. Abu Sekam Padi 800
0
C 0,037


Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui bahwa kadar karbon pada suhu 800
0
C lebih
kecil daripada kadar karbon pada abu sekam padi yang diabukan pada suhu 600
0
C
dan 700
0
C karena banyaknya kadar silika (SiO
2
) yang terbentuk. Hal ini terlihat dari
spektra inframerah yang dihasilkan bahwa abu sekam padi yang diabukan pada suhu
800
0
C menunjukkan pita serapan silika yang sempurna jika dibandingkan dengan
pengabuan pada suhu 600
0
C dan 700
0
C. Berbeda dengan kadar karbon abu sekam
padi yang diabukan pada suhu 700
0
C lebih besar daripada suhu pengabuan 600
0
C
dan 800
0
C. Hal ini karena perhitungan kadar karbon pada abu sekam padi merupakan
kadar karbon yang telah dikoreksi dengan kadar air dari abu sekam padi. Sehingga
kadar karbon yang diperoleh dari perhitungan merupakan kadar karbon semu atau
tidak sesungguhnya terkandung dari abu sekam padi yang diukur. Semakin besar
kadar air pada abu sekam padi maka kadar karbon juga semakin besar pula. Hal ini
dimungkinkan karbondioksida yang bebas dan larut dalam air yang terdapat pada abu
sekam padi membentuk asam karbonat, sesuai pada reaksi di bawah ini (Rompas,
1998: 50):

CO
2
(aq) + H
2
O(aq) H
2
CO
3
(aq) ..................................................... (4.1)

Dari hasil reaksi dapat diketahui bahwa pada reaksi air dengan karbondioksida
dihasilkan asam karbonat yang mengandung karbon, sehingga semakin banyak kadar
air yang terdapat pada abu sekam padi maka semakin besar pula kadar karbonnya.
Kadar karbon yang terhitung merupakan jumlah karbon dengan penambahan karbon
yang terhitung dari kadar air. Faktor koreksi dari abu sekam padi hasil pengabuan
pada suhu 700
0
C lebih besar daripada faktor koreksi pada suhu 600
0
C dan 800
0
C
yaitu sebesar 1,0090 (data faktor koreksi dari abu sekam padi ditunjukkan pada
lampiran L.3.2). Penentuan kadar karbon pada abu sekam padi berbanding lurus
dengan faktor koreksi kadar air dan nilai absorbansi yang sesuai pada persamaan 3.1.
Kadar karbon yang terhitung menunjukkan banyaknya karbon semu atau tidak
sesungguhnya yang terdapat pada abu sekam padi. Semakin banyak kadar karbon
pada abu sekam padi menunjukkan proses pengabuan yang gagal karena pada proses
pengabuan merupakan proses pembakaran sempurna dimana karbon akan bereaksi
dengan oksigen membentuk karbondioksida dan diperoleh abu yang berwarna putih
dengan kandungan silika yang dominan, sehingga apabila kadar karbon pada abu
sekam padi lebih banyak menunjukkan sedikit silika yang terbentuk. Laksmono
(2002) menyebutkan bahwa sekam padi yang telah mengalami proses pemanasan
senyawa-senyawa seperti selulosa, hemiselulosa dan asam organik akan diubah
menjadi karbondioksida dan air. Hasil spektra inframerah menunjukkan bahwa ikatan
karbon pada daerah serapan (1385-1365) dengan kenaikan suhu semakin tidak
nampak atau hilang. Hal ini terlihat jelas pada spektra abu sekam padi yang diabukan
pada suhu 800
0
C.
Kadar karbon ditentukan secara spektrofotometri di daerah sinar tampak pada
panjang gelombang 561 dimana 0,125 g dari hasil pengabuan yang diabukan pada
variasi suhu pengabuan 600
0
C, 700
0
C dan 800
0
C ditambahkan reagen 1,25 mL
dikromat yang berwarna jingga. Larutan tersebut kemudian ditambahkan H
2
S0
4

sebanyak 1,75 mL dimana karbon yang terdapat pada abu sekam padi mampu
mereduksi Cr
6+
menjadi Cr
3+
dalam suasana asam, yang ditunjukkan pada reaksi
dibawah ini (Brian, 2002: 10):


2Cr
2
O
7
2-
+ 28H
+
+ 12e 4Cr
3+
+ 14H
2
O
3C + 6H
2
O 3CO
2
+ 12H
+
+ 12e
2Cr
2
O
7
2-

+ 3C + 16H
+
4Cr
3+
+ 8H
2
O + 3CO
2



Intensitas warna hijau yang diukur pada panjang gelombang 561 nm
sebanding dengan kadar karbon yang dihasilkan. Semakin pekat warna hijau yang
dihasilkan maka semakin besar kadar karbon yang terdapat pada abu sekam padi dan
sebaliknya. Kadar karbon akan sebanding dengan absorbansi yang dihasilkan. Hal ini
sesuai dengan hukum Lambert-Beer (pada persamaaan 2.3) bahwa absorbansi
berbanding lurus dengan tebal kuvet dan konsentrasi larutan (Endro, dkk. 2004).
Penentuan kadar karbon pada abu sekam padi terlebih dahulu dibuat kurva standart
dengan variasi konsentrasi 1 ppm, 3 ppm, 5 ppm dan 7 ppm. Masing-masing
konsentrasi diperlakuan sama dengan perlakuan pada penentuan kadar karbon abu
sekam padi seperti di atas. Dari masing-masing variasi konsentrasi kurva standart
diperoleh absorbansi yang ditunjukkan pada lampiran L.3.3.2.
Absorbansi dari abu sekam padi yang dihasilkan kemudian diplotkan ke
dalam kurva standart. Konsentrasi yang didapat digunakan pada perhitungan sesuai
persamaan 3.1 pada penentuan kadar karbon abu sekam padi (perhitungan kadar
karbon ditunjukkan pada lampiran L.3.3).

4.2.3 Identifikasi Kualitatif Jumlah Silika (SiO
2
)
Identifikasi kualitatif jumlah silika (SiO
2
) dari abu sekam padi yang diabukan
pada suhu pengabuan 600
0
C, 700
0
C dan 800
0
C dilakukan dengan menggunakan
spektrofotometer inframerah (IR Shimadzu).
Spektra sekam padi sebelum dan setelah diabukan pada suhu 600
0
C, 700
0
C
dan 800
0
C dari hasil karakterisasi dengan spektroskopi inframerah ditunjukkan pada
gambar 4.1 sebagai berikut:






500 750 1000 1250 1500 1750 2000 2500 3000 3500 4000 4500
1/cm
-15
0
15
30
45
60
75
90
%T
1
1
0
0
.
3
1
8
0
3
.
3
0
4
6
7
.
7
1
3
4
7
0
.
6
7
1
0
9
9
.
3
5
8
0
3
.
3
0
4
6
6
.
7
4
3
4
5
0
.
4
1
1
6
4
3
.
2
4
1
0
9
8
.
3
9
8
0
0
.
4
0
4
6
5
.
7
8
4
5
4
3
.
0
1
3
4
1
3
.
7
7
2
9
2
7
.
7
4
1
7
3
4
.
8
5
1
6
4
1
.
3
1
1
5
2
5
.
5
9
1
3
8
9
.
6
2
1
3
2
2
.
1
1
1
0
8
6
.
8
1
8
0
1
.
3
7
7
0
7
.
8
3
4
6
2
.
8
8
Normalize
Normalize
Smooth
Normalize
Urutan Dari Atas ke bawah : ASP 600oC, 700oC, 800oC, sebelum pengabuan

Gambar 4.1 Spektra IR Sekam Padi Sebelum Pengabuan (A), hasil pengabuan pada
suhu 800
0
C (B), 700
0
C (C), 600
0
C (D)



Tabel 4.4 Daftar Korelasi Gugus Fungsi dari Spektra IR Sekam Padi dan Abu Sekam Padi
No Bilangan Gelombang (cm
-1
) pada Abu Sekam
Padi
Bil.Gel. (cm
-1
)
Referensi*
Intensitas


Vibrasi
Referensi
Sebelum 600
0
C 700
0
C 800
0
C
1 3413,77/s 3450,41/s 3470,67/m - 3700-3200 Lemah -OH
2 2927,74/w - - - 2915-2940 Sedang -CH
2
-
Alifatik
3 1641,31/m 1643,24/m - - 1632-1647
**
Sedang -C-O

4 1389,62/w - - - 1395-1380 Sedang -C(CH
3
)
3
5 1322,11/w - - - 1350-1315 Sedang C-CH
3
6 1086,81/s 1098,39/s 1099,35/s 1100,31/s 1110-1000 Kuat Si-O-Si
7 801,37/s 800,40/s 803,30/s 803,30/s 845-800 Kuat Si-H
8 707,83/w - - - 900-675 Sedang C-H
9 462,88/s 465,78/s 466,74/s 467,71/s 480-440 Kuat Si-O-C
asimetris
*Socrates (1994), s = sharp (kuat), m = medium (sedang), w = weak (lemah)
**Javed (2008)

D
C
B
A
Berdasarkan hasil karakterisasi dengan spektrofotometer IR untuk abu sekam padi
setelah diabukan pada variasi pengabuan 600
0
C, 700
0
C dan 800
0
C menunjukkan
spektra dari silika Si-O-Si rentangan yang khas pada daerah serapan kisaran 1110
1000 cm
-1
. Spektra abu sekam padi yang diabukan pada suhu 600
0
C dan 700
0
C
terlihat serapan pada bilangan gelombang 3450,41 dan 3470,67. Pita serapan tersebut
juga terlihat pada sekam padi sebelum pengabuan pada bilangan gelombang 3413,77.
Serapan pada rentang 3700-3200 cm
-1
menunjukkan gugus OH rentangan pada abu
sekam setelah pengabuan pada suhu 600
0
C dan 700
0
C. Sedangkan pada abu sekam
padi hasil pengabuan pada suhu 800
0
C tidak menunjukkan pita serapan gugus OH
rentangan, karena dengan kenaikan suhu pengabuan maka gugus OH rentangan yang
dimungkinkan air tersebut menguap atau hilang. Serapan pada gugus Si-O-Si
rentangan terlihat pada sekam sebelum dan sesudah pengabuan pada bilangan
gelombang 1086,81 cm
-1
; 1098,39 cm
-1
; 1099,35 cm
-1
dan 1100,31 cm
-1
. Sedangkan
pita serapan pada bilangan gelombang 801,37; 800,40 dan 803,30 cm
-1
menunjukkan
serapan Si-H kibasan. Socrates (1994: 190) menyatakan bahwa pita serapan pada
daerah kisaran 845 800 merupakan serapan Si-H. Spektra abu sekam padi dengan
kenaikan suhu pengabuan menunjukkan pita serapan pada bilangan gelombang
465,78 cm
-1
; 466,74 cm
-1
dan 467,71 cm
-1
merupakan serapan Si-O-C asimetris.
Javed, dkk (2008) dari hasil penelitiannya juga menunjukkan bahwa serapan pada
kisaran 461 476 cm
-1
merupakan serapan vibrasi tekukan O-Si-O. Sehingga serapan
pada bilangan gelombang tersebut terdapat Si-O-C vibrasi tekukan dan O-Si-O
asimetris yang berhimpit.
Berdasarkan hasil spektra inframerah abu sekam padi dari hasil pengabuan
600
0
C, 700
0
C dan 800
0
C dapat diketahui bahwa dengan kenaikan suhu pengabuan
pita serapan karbon dan OH rentangan semakin hilang. Karena dimungkinkan
karbon bereaksi dengan oksigen membentuk karbondioksida dan menguap pada saat
proses pengabuan berlangsung, demikian juga gugus OH teruapkan dengan
kenaikan suhu pengabuan. Hal ini terlihat jelas dari spektra IR sekam padi hasil
pengabuan pada suhu 800
0
C yang tidak menunjukkan serapan karbon dan gugus -
OH. Sedangkan pola spektra inframerah dari sekam padi sebelum pengabuan dan
hasil pengabuan pada suhu 600
0
C dan 700
0
C menunjukkan serapan gugus -OH pada
bilangan gelombang 3413,77 cm
-1
; 3450,41 cm
-1
dan 3470,67. Pita serapan karbon
dari abu sekam padi hasil pengabuan pada suhu 600
0
C dan 700
0
C terlihat pada
bilangan gelombang 3413,77 cm
-1
; 2927,74 cm
-1
; 1641,31 cm
-1
; 1389,62 cm
-1
;
1322,11 cm
-1
dan 707,83 cm
-1
serta serapan gugus C-O terlihat pada bilangan
gelombang 1643,24.
Seiring kenaikan suhu pengabuan pada sekam padi pita serapan silika (SiO
2
)
semakin terlihat sempurna dengan berkurangnya serapan pita karbon. Hal ini terlihat
dari hasil spektra abu sekam padi yang diabukan pada suhu 600
0
C dan 700
0
C masih
terdapat pita serapan karbon sedangkan hasil pengabuan pada suhu 800
0
C tidak
terdapat serapan karbon namun pita serapan silika semakin terbentuk sempurna
dengan puncak yang tajam pada bilangan gelombang 1100,31 cm
-1
. Serapan ini
sangat khas dengan titik puncak yang curam, menekankan intensitas gugus fungsi
yang banyak. Serapan ini menunjukkan gugus Si-O-Si yang merupakan gugus
siloksan. Menurut Gusmini, dkk (2009) perbedaan tingkat pemanasan sekam padi
akan mempengaruhi hasil silika yang diperoleh. Semakin tinggi suhu pemanasan
sekam maka akan semakin banyak silika yang dihasilkan, hal ini diduga karena bahan
bahan organiknya akan terurai secara sempurna.
Karakterisasi fungsionalitas dari sekam padi setelah diabukan pada suhu
ditunjukkan dari hasil spektra inframerah berupa Si-O-Si, Si-O-C dan S-H. Jika pada
proses pengabuan waktu dan suhu pengabuan semakin tinggi optimal maka
dimungkinkan semakin banyak pula silika (SiO
2
) yang terbentuk.

4.2.4 Identifikasi Komponen Kimia Abu Sekam Padi
Hasil pengukuran dengan X-Ray Fluoresence (MiniPal4) untuk mengetahui
komponen kimia dari abu sekam padi dapat diketahui bahwa abu sekam padi tersebut
mengandung unsur unsur yang ditunjukkan pada tabel 4.3 sebagai berikut:


Tabel 4.3 Komponen Kimia Abu Sekam Padi
Unsur Kandungan (%)
Si 91,23
K 4,72
Ca 2,786
Mn 0,58
Fe 0,283
Cu 0,063
Eu 0,256
Ni 0,02
Zn 0,007
Re 0,115


Berdasarkan tabel 4.3 dapat diketahui bahwa abu sekam padi mengandung komponen
utama silikon (Si) hingga mencapai 91,2 %. Menurut Wen-Hwei (1986) dalam Jaya
(2002) menyebutkan bahwa komponen kimia abu sekam padi (tabel 2.3) dominan
adalah silika (SiO
2
) dengan jumlah sekitar 86,90 97,30 %. Nilai paling umum
kandungan silika dari abu sekam adalah 94 - 96 % dan apabila nilainya mendekati
atau di bawah 90 % kemungkinan disebabkan oleh sampel sekam yang telah
terkontaminasi dengan zat lain yang kandungan silikanya rendah (Houston, 1972:
33).

4.2.5 Kristalinitas
Karakteristik abu sekam padi dilakukan dengan metode difraksi sinar-X untuk
mengetahui tingkat kristalinitas abu. Karakterisasi dengan difraksi sinar-X dapat
memberikan informasi struktur kristal dalam abu sekam padi, kristalinitas silika
dalam abu sekam padi tergantung pada temperatur dan lama pengabuannya.
Menurut Upe dalam Suwanti (2004) silika berada dalam 4 bentuk, yaitu
amorf, tridimit, kristobalit, dan kuarsa. Dari keempat bentuk silika tersebut bentuk
amorflah yang paling reaktif. Berdasarkan hasil difraksi dengan difraktometer sinar-X
(Philips XPert). Kondisi operasi melibatkan radiasi Cu pada 40 kV 30 mA. Abu
sekam padi yang diabukan pada suhu 600
0
C dengan sudut 5
0
90
0
menunjukkan pola
difraksi dengan kristalinitas yang rendah dan cenderung amorf. Hal ini terlihat dari
bentuk puncak atau peak yang tidak tajam dan melebar, ditunjukkan pada gambar 4.2
sebagai berikut:

Gambar 4.2 Difraktogram Abu Sekam Padi Yang Diabukan Pada Suhu 600
0
C



Abu Sekam Padi yang diabukan pada suhu 600
0
C mempunyai intensitas pada 2 =
20,53 51,88 (d = 4,32 1,76). Berdasarkan penelitian Jumaeri (2007) menyebutkan
bahwa puncak 2 = 20,53 (d = 4,32) merupakan puncak untuk senyawa kuarsa
(SiO
2
). Abu sekam padi yang diabukan pada suhu 700
0
C memiliki intensitas
maksimum pada 2 = 20,04 25,30 (d = 4,42 3,51) dengan puncak yang melebar
dan cenderung amorf. Hal ini ditunjukkan pada gambar 4.3 sebagai berikut:



Gambar 4.3 Difraktogram Abu Sekam Padi Yang Diabukan Pada Suhu 700
0
C
Hasil difraktogram abu sekam padi yang diabukan pada suhu 800
0
C
menunjukkan pola difraksi sinar X yang hampir sama dengan pola difraksi abu
sekam padi yang diabukan pada suhu 600
0
C dan 700
0
C. Intensitas maksimum pada
2 dari abu sekam yang diabukan pada suhu 800
0
C adalah 21,87 26,81 (d = 4,06
3,32).



Gambar 4.4 Difraktogram Abu Sekam Padi Yang Diabukan Pada Suhu 800
0
C



Pola difraksi sinar X dari abu sekam padi yang diabukan pada variasi
pengabuan 600
0
C, 700
0
C dan 800
0
C menunjukkan puncak yang melebar dan
cenderung amorf, hal ini karena sekam padi merupakan polimer dengan rantai karbon
yang panjang sehingga difrakrogram tidak menunjukkan puncak yang tajam atau
kristal. Hal ini diperkuat pada penelitian Aina (2002: 11) dari hasil difraktogram abu
sekam padi yang diabukan pada suhu 500
0
C, 600
0
C, 700
0
C dan 800
0
C
menunjukkan kristalinitas yang rendah dan cenderung amorf, sedangkan sekam padi
yang diabukan pada suhu 900
0
C menunjukkan puncak yang tajam dengan intensitas
yang tinggi diidentifikasikan sebagai kristobalit. Sehingga kristalinitas dari abu
sekam padi dipengaruhi oleh waktu dan suhu pengabuan yang optimum.
Perbandingan pola difraksi sinar - X dari ketiga abu sekam padi yang diabukan pada
variasi suhu pengabuan 600
0
C, 700
0
C dan 800
0
C ditunjukkan pada gambar 4.5
sebagai berikut:



Gambar 4.5 Perbandingan Pola Difraksi Sinar X Dari Abu Sekam Padi Yang
Diabukan Pada Suhu 600
0
C, 700
0
C dan 800
0
C



Berdasarkan gambar 4.5 dapat diketahui bahwa pola difraksi sinar X dari abu sekam
padi yang diabukan pada variasi suhu pengabuan 600
0
C, 700
0
C dan 800
0
C memiliki
pola difraksi sinar X yang hampir sama. Dari difraktogram dapat dikatakan bahwa
abu sekam padi disusun oleh komponen utama berupa SiO
2
dan fasa amorf. Pola
difraksi sinar X tersebut menunjukkan kristalinitas yang rendah dan cenderung amorf.
Data d-spacing (jarak antar kisi) yang diperoleh dari difraktogram
menunjukkan bahwa abu sekam padi yang diabukan pada suhu 800
0
C lebih kecil
daripada abu sekam padi yang diabukan pada suhu 600
0
C dan 700
0
C (4,32 dan 4.42)
yaitu 4.06. Hal ini dapat diketahui bahwa abu sekam padi yang diabukan pada suhu
800
0
C menunjukkan susunan kisi yang lebih rapat daripada abu sekam padi yang
diabukan pada suhu 700
0
C dan 600
0
C.

4.3 Penentuan Indeks Plastisitas Campuran Kaolin - Abu Sekam Padi dengan
Metode Atterberg atau Casagrande

Plastisitas kaolin dinyatakan dengan indeks plastisitas, dimana indeks
plastisitas merupakan selisih dari batas cair (liquid limit) dan batas plastis (plastic
limit). Plastisitas sendiri disebabkan oleh adanya partikel mineral lempung dalam
tanah. Sifat plastis tersebut mempunyai kemampuan tanah menyesuaikan dengan
perubahan bentuk tanah setelah bercampur dengan air pada volume yang tetap
(Muntohar, 2007: 58).
Batas cair adalah kadar air dimana tanah berada dalam batas keadaan plastis
dan cair (Shirley, 1994). Batas cair pada tanah/lempung juga dijelaskan pada gambar
2.2, dimana tanah yang kadar airnya berkurang hingga titik Q, maka tanah menjadi
lebih kaku dan tidak lagi mengalir seperti cairan. Kadar air pada titik Q ini
disebut dengan batas cair (liquid limit) yang disimbolkan dengan LL. Sedangkan
batas plastis adalah nilai kadar air terendah dari suatu contoh tanah dimana tanah
tersebut masih dalam keadaan plastis (Shirley, 1994). Muntohar (2007: 65)
mendefinisikan batas plastis sebagai kadar air yang mana tanah mengalami retak-
retak bila digulung dengan jari-jari tangan menjadi diameter 3 mm. Batas plastis
merupakan batas terendah dari kondisi plastis tanah.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa indeks
plastisitas dari kaolin dan campuran abu sekam padi dari berbagai suhu pengabuan
adalah ditunjukkan pada tabel 4.5 sebagai berikut:


Tabel 4.5 Hasil Indeks Plastisitas
No Sampel Batas Cair
(LL)
Batas
Plastis (PL)
Indeks
Plastisitas
1 Kaolin 55,67 28,18 27,49
2 Kaolin-Abu Sekam Padi 600
0
C 52,24 30,75 21,49
3 Kaolin-Abu Sekam Padi 700
0
C 46,70 28,25 18,45
4 Kaolin-Abu Sekam Padi 800
0
C 37,55 26,78 10,77


Berdasarkan tabel 4.5 dapat diketahui bahwa dengan penambahan abu sekam padi
yang diabukan pada variasi suhu pengabuan 600
0
C, 700
0
C dan 800
0
C sebesar 10 %
pada kaolin/blanko dapat menurunkan indeks plastisitasnya. Indeks plastisitas kaolin
sebesar 27,49 sebelum penambahan abu sekam padi menunjukkan plastisitas yang
tinggi, hal ini sesuai tingkat plastisitas menurut Burmaster (1949) dalam Prasetyo
(2004: 20). Penambahan 5 gr abu sekam padi yang diabukan pada suhu pengabuan
800
0
C dapat menurunkan indeks plastisitas kaolin hingga mencapai 10,77. Hal ini
karena abu sekam padi yang diabukan pada suhu 800
0
C terdapat jumlah silika yang
lebih banyak. Hal ini dapat ditunjukkan secara kualitatif dari hasil spektra inframerah.
Hasil karakterisasi warna dengan Color Reader juga menunjukkan intensitas
kecerahan atau parameter L lebih besar daripada abu sekam padi 600
0
C dan 700
0
C
yaitu sebesar 66,5. Penentuan kadar karbon hasil pengabuan pada suhu 800
0
C
mengandung karbon sebesar 0,037 % yang lebih kecil dari abu sekam padi yang
diabukan pada suhu 600
0
C dan 700
0
C. Berdasarkan hasil XRD juga dapat diketahui
bahwa d-spacing dari abu sekam padi yang diabukan pada suhu 800
0
C lebih kecil
daripada pengabuan pada suhu 600
0
C dan 700
0
C sebesar 4.06. Hal ini menunjukkan
bahwa jarak antara 2 bidang kisi dari abu sekam padi dari hasil pengabuan 800
0
C
lebih rapat dan teratur. Teori keplastisan dijelaskan bahwa plastisitas dapat
disebabkan oleh susunan butir-butir yang tidak teratur sehingga dapat saling
mengunci atau pegang memegang satu sama lain. Berdasarkan hal tersebut, maka
dengan penambahan abu sekam padi dari hasil pengabuan 800
0
C plastisitas dari
kaolin mengalami penurunan.
Berdasarkan difraksi sinar X kaolin tersusun atas kaolinit
(Al
2
O
3
.2SiO
2
.2H
2
O), quart (SiO
2
), sehingga dengan penambahan 5 g abu sekam padi
yang juga memiliki kandungan senyawa hampir sama dengan kaolin yaitu silika akan
dapat mempengaruhi indeks plastisitas kaolin. Yuniarti, dkk (2008: 42) dalam
penelitiannya menyebutkan bahwa penambahan abu sekam padi yang mengandung
silika dan alumina yang bercampur dengan air akan terbentuk pasta. Sehingga rongga
rongga pori yang dikelilingi bahan tersebut lebih sedikit menyerap air.
Penentuan batas cair atau parameter pertama pada metode atterberg kaolin
memiliki batas cair 55,67 %. Menurut Das (1998: 47) kaolin / kaolinit memiliki batas
cair sekitar 30 110. Batas cair yang tinggi pada kaolin adalah sebagai akibat dari
banyaknya lapisan air di antara partikel lempung. Kaolin merupakan lempung
aluminosilikat yang apabila lempung kaolin tersebut ditambahkan air dalam jumlah
sedang, akan dihasilkan pasta kental yang mudah dicetak menjadi berbagai bentuk.
Lempung mengembang jika air memasuki ruang / terjebak di antara lembaran-
lembaran aluminosilikat yang bersebelahan dalam mineral tersebut, tetapi mineral ini
melepas sebagian besar air tersebut ke atmosfer yang kering dan menjadi mengerut.

Gambar. 4.6 Masuknya Air pada Lempung kaolin

Penambahan 5 gr abu sekam padi yang diabukan pada suhu 600
0
C, 700
0
C dan pada
suhu 800
0
C dapat menurunkan batas cair dari kaolin 55,67 % menjadi 52,24 %;
46,70 % dan 37,55 %. Hal ini dikarenakan banyaknya jumlah silika dari abu sekam
padi yang ditambahkan, sehingga rongga rongga pori pada lempung sulit menyerap
air. Saat 5 gr abu sekam padi dicampurkan pada 50 gr kaolin, maka silika tersebut
akan mengelilingi lembaran-lembaran dari kaolin dan menutupi rongga-rongga
H
2
O
tersebut. Namun silika yang ditambahkan tersebut tidak merubah struktur dari kaolin.
Plastisitas dari kaollin terjadi karena adanya penambahan air, sehingga ikatan yang
terjadi pada campuran kaolin-abu sekam padi merupakan ikatan antarmolekul. Teori
plastisitas menyebutkan bahwa, air dapat tertarik secara kuat pada partikel-partikel
lempung, begitu kuatnya tarik menarik ini, air tersebut dapat membentuk suatu
mantel air disekeliling partikel-partikel lempung, sehingga dapat menjadikan sistem
ini pejal dan kental. Dengan adanya bentuk mantel-mantel itu memungkinkan
partikel-partikel, jika diberikan suatu gaya padanya akan mudah bergeser satu sama
lainnya tanpa ikatannya pecah-pecah sekalipun gaya itu telah hilang (Prasetyo, 2007:
36).
Pada penentuan batas plastis atau parameter kedua, kadar air dengan
penambahan 5 gr abu sekam padi cenderung lebih besar daripada batas plastis kaolin
atau blanko. Batas plastis merupakan kadar air yang mana tanah mengalami retak-
retak bila digulung dengan jari-jari tangan menjadi diameter 3 mm. Batas plastis
merupakan batas terendah dari kondisi plastis tanah. Batas plastis kaolin sebesar
28,18. Menurut Das (1998: 47) kaolin / kaolinit memiliki batas plastis sekitar 25 40.
Teori yang ada menyebutkan bahwa zat-zat koloid yang sangat halus dan berbagi
merata sebagai agregat-agegrat mempunyai kemampuan untuk menyerap air
selanjutnya dapat mengembangkan seperti bunga karang (sponge). Sifat koloid yang
terjadi dalam lempung dikarenakan adanya lapisan air yang mengelilingi butiran
silika dan alumina. Sehingga dengan semakin banyak kadar silika yang ditambahkan
akan menaikkan kadar air pada lempung (Prasetyo, 2007: 25).
Suatu lempung menunjukkan daya adsorpsi yang kuat terhadap air. Hasil
adsorpsi ini menimbulkan plastis yang permanen, tetapi lempung ini kemudian akan
pecah jika lempung dipanaskan di atas suhu tertentu. Keadaan inilah yang merupakan
karakteristik untuk zat koloid (Muntohar, 2007). Penurunan batas cair dari kaolin dan
campuran kaolin-abu sekam padi, serta kecenderungan kenaikan batas plastis dapat
menurunkan indeks plastisitas kaolin.

4.4 Karakterisasi Distribusi Morfologi Permukaan
Karakterisasi distribusi morfologi permukaan secara sederhana dilakukan
dengan menggunakan mikroskop optik tipe SMZ 1500 yang merupakan jenis
mikroskop binokuler, sampel yang akan dikarakterisasi yaitu kaolin sebagai blanko,
campuran kaolin-abu sekam padi pada suhu 600
0
C, campuran kaolin-abu sekam padi
700
0
C dan campuran kaolin-abu sekam padi 800
0
C. Masing-masing sampel yang
akan dikarakterisasi terlebih dahulu dihaluskan dengan mortar hingga halus kemudian
dibuat pelet tipis. Demikian juga pada sampel campuran kaolin-abu sekam, terlebih
dahulu kaolin yang lolos ayakan 40 mesh ditimbang 1 gram, kemudian ditambahkan
0.1 gram abu sekam padi dari hasil pengabuan pada variasi pengabuan 600
0
C, 700
0
C
dan 800
0
C, sehingga diperoleh 3 campuran. Selanjutnya ke-3 campuran tersebut
dibuat pelet tipis dengan alat pembuat pelet.
Hasil karakterisasi distribusi morfologi permukaan secara sederhana dengan
menggunakan mikroskop optik dari kaolin atau blangko yang dilakukan sebanyak 2
kali pada perbesaran 115x ditunjukkan pada gambar 4.7 a dan b sebagai berikut :


a b
Gambar 4.7 Hasil Karakterisasi Dengan Mikroskop Optik (SMZ 1500) Pada Kaolin
(a), Hasil Pengulangan Pada Kaolin (b)



Hasil karakterisasi distribusi morfologi permukaan pada kaolin secara sederhana
dengan menggunakan mikroskop optik menunjukkan distribusi partikel dan
morfologi permukaan yang sama dan rata. Menurut Sukamta dkk (2009) kaolin
terdiri atas 39% oksida alumina, 47% oksida silika, dan 14% air. Jika kaolin
ditambahkan abu sekam padi yang diabukan pada suhu 600
0
C sebanyak 10 % akan
menunjukkan hasil karakterisasi distribusi morfologi permukaan yang berbeda. Abu
sekam padi mengandung komposisi senyawa yang sama dengan senyawa pada kaolin
yaitu kandungan silika yang lebih dominan. Sehingga diharapkan abu sekam padi
dapat dijadikan sebagai bahan alternatif atau bahan tambahan pada bahan dasar
keramik. Distribusi morfologi permukaan secara sederhana dengan mikroskop optik
dari campuran kaolin-abu sekam padi yang diabukan pada suhu 600
0
C dengan
ditunjukkan pada gambar 4.8 sebagai berikut:



a b
Gambar 4.8 Hasil Karakterisasi Dengan Mikroskop Optik (SMZ 1500) Pada
Campuran Kaolin-Abu Sekam Padi 600
0
C (a), Hasil Pengulangan
Pada Campuran Kaolin-Abu Sekam Padi 600
0
C (b)


Dari hasil pengamatan dengan mikroskop optik pada campuran kaolin-abu sekam
padi diketahui bahwa warna campuran tidak jauh berbeda dengan warna kaolin yang
ditunjukkan pada gambar 4.7 karena warna abu sekam padi yang dihasilkan pada
suhu pengabuan 600
0
C berwarna putih sehingga sulit dibedakan antara kaolin yang
juga berwarna putih dan berbutir halus. Namun hasil karakaterisasi dari campuran
tersebut menunjukkan warna yang lebih putih daripada kaolin atau blanko. Demikian
juga pada campuran kaolin-abu sekam padi yang diabukan pada suhu 700
0
C dan 800
0
C hasil karaterisasi dengan mikroskop optik ditunjukkan pada gambar 4.9 dan 4.10
sebagai berikut :




a b
Gambar 4.9 Hasil Karakterisasi Dengan Mikroskop Optik (SMZ 1500) Pada
Campuran Kaolin-Abu Sekam Padi 700
0
C (a), Hasil Pengulangan
Pada Campuran Kaolin-Abu Sekam Padi 700
0
C (b)




a b
Gambar 4.10 Hasil Karakterisasi Dengan Mikroskop Optik (SMZ 1500) Pada
Campuran Kaolin-Abu Sekam Padi 800
0
C (a), Hasil Pengulangan
Pada Campuran Kaolin-Abu Sekam Padi 800
0
C (b)



Berdasarkan kedua gambar di atas dapat diketahui bahwa penambahan 10 % abu
morfologi partikel yang hampir sama. Hasil karakterisasi secara sederhana dari
campuran kaolin dan abu sekam padi yang diabukan pada suhu 600
0
C, 700
0
C dan
800
0
C dengan mikroskop optik tidak dapat menunjukkan secara jelas dari distribusi
partikel morfologi dari masing-masing sampel, hal ini karena keterbatasan dari
perbesaran pada mikroskop optik SMZ 1500 dan ukuran butiran dari kaolin dan abu
sekam padi yang sangat halus dan kecil. Distribusi partikel dari suatu material akan
dapat diketahui dengan jelas apabila menggunakan instrument SEM.

4.5 Kaolin Dalam Perspektif Islam
Berdasarkan hasil penelitian tentang kajian penambahan abu sekam padi dari
berbagai suhu pengabuan terhadap plastisitas kaolin menunjukkan bahwa abu sekam
padi yang diabukan pada variasi suhu pengabuan 600
0
C, 700
0
C dan 800
0
C dapat
menurunkan indeks plastisitas kaolin hingga mencapai 10,77. Plastisitas diartikan
sebagai kemampuan tanah dalam menyesuaikan perubahan bentuk atau volume tanpa
terjadinya retak-retak yang disebabkan oleh penyerapan air di sekeliling permukaan
partikel lempung. Pada kadar air yang sangat rendah, tanah menjadi padat (Muntohar,
2007). Kaolin merupakan salah satu jenis lempung/tanah yang disebutkan dalam Al
quran dengan at-thin dan shalshal, hal ini berdasarkan pendapat Ibnu Abbas
menafsirkan mengenai firman Allah dalam surat Ash-Shaffat 11 > yang
artinya Dari tanah liat ia berkata , Maksudnya adalah tanah liat yang panas, baik
mutunya, dan lengket. Firman Allah, Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka
dari tanah liat, Ibnu Abbas menafsirkan bahwa manusia diciptakan dari tanah dan
air, sehingga menjadi tanah liat yang lengket. Menurut Ath-Thabari maksud dari surat
Ash-Shaaffaat 11 adalah, sesunguhnya Kami menciptakan mereka dari tanah liat yang
lengket. Allah memberinya sifat -` karena tanah tersebut bercampur dengan air.
Kata -` menurut Ikrimah artinya ' (melekat), maksudnya yang melekat kepada
apa yang dikenainya (Rida dkk, 2009: 164).
Teori yang ada menyebutkan bahwa zat-zat koloid yang sangat halus dan
berbagi merata sebagai agregat-agregat pada tanah/lempung mempunyai kemampuan
untuk menyerap air selanjutnya dapat mengembangkan seperti bunga karang
(sponge). Sifat koloid yang terjadi dalam lempung dikarenakan adanya lapisan air
yang mengelilingi butiran silika dan alumina. Sehingga dengan semakin banyak
kadar silika yang ditambahkan akan menaikkan kadar air pada lempung.
Suatu lempung menunjukkan daya adsorpsi yang kuat terhadap air. Hasil
adsorpsi ini menimbulkan plastis yang permanen, tetapi lempung ini kemudian akan
pecah jika lempung dipanaskan di atas suhu tertentu. Keadaan inilah yang
merupakan karakterisasi untuk zat koloid. Kaolin merupakan bahan dasar dalam
pembuatan keramik, porselen dan lain sebagainya. Kaolin merupakan salah satu
lempung yang mudah menyerap air dan akan mengeras jika dikeringkan. Berdasarkan
sifat yang dimiliki kaolin maka dalam Al quran kaolin bisa disebut dengan istilah
shalshal. Kata-kata shalshal disebutkan oleh Allah dalam surat Al-Hijr 26.
)9 $)=z }# = *q ``
Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering
(yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk (QS. Al-Hijr 26).



Istilah Arab, shalshal merujuk pada jenis tanah liat kering, yang jika dibentuk
menjadi peliut dan ditiup akan menimbulkan suara (Faqih, 2005: 346). Menurut
pendapat jumhur ulama Tanah Bersuara adalah tanah yang bersuara jika dipukul
sebagaimana memukul besi. Sehingga dia menjadi tanah yang gembur, maksudnya
bagian-bagiannya mudah terpisah yang kemudian dibasahi sehingga menjadi tanah
liat. Lalu dibiarkan membusuk dan menjadi lempung yang berbentuk, yakni yang
berubah. Kemudian mengering sehingga menjadi keramik (Asmuni, 2008: 52).
Ibnu Abbas menafsirkan Dari lumpur hitam yang diberi bentuk sebagai
tanah liat yang dibasahi dan telah berbau, lalu dikeringkan seperti tembikar (Misbah,
2009). Asmuni (2008: 52) menyatakan bahwa menurut Ibnu Abbas shalshal adalah
tanah panas yang dicampur dengan pasir sehingga menjadi liat jika dikeringkan. Jika
dibakar dengan api maka dia menjadi keramik. Sehingga shalshal adalah tanah
kering yang apabila dipukul akan berbunyi dan apabila dimasak atau dipanggang dia
akan menjadi bentuk yang mengeras (Ash-Shabuny, 2001: 352).









BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
a) Tingkat kecerahan warna dari abu sekam padi semakin tinggi seiring kenaikan
suhu pengabuan 600
0
C, 700
0
C dan 800
0
C yaitu 60,8; 61,4; 66,5. Kadar air abu
sekam padi dari hasil pengabuan pada suhu 600
0
C, 700
0
C dan 800
0
C sebesar
0,596 %; 0,895 %; dan 0,296 %. Kadar karbon (termasuk kontribusi kadar air) dari
masing-masing abu sekam padi sebesar 0,045%; 0,048%; 0,037%, jumlah
kualitatif SiO
2
dari abu sekam padi hasil pengabuan pada suhu pengabuan 600
0
C
< 700
0
C < 800
0
C, untuk komposisi kimia dari abu sekam padi yang dominan
adalah Si hingga mencapai 91,2 %. Difraktogram dari masing-masing abu sekam
padi menunjukkan pola difraksi sinar X dengan kristalinitas yang rendah dan
cenderung amorf.
b) Indeks plastisitas kaolin semakin turun dengan penambahan abu sekam padi yang
diabukan pada variasi suhu 600
0
C, 700
0
C dan 800
0
C yaitu; 21,49; 18,45; 10,77.
c) Penggambaran distribusi partikel dan morfologi permukaan dari campuran kaolin-
abu sekam padi secara sederhana dengan menggunakan mikroskop optik didapat
distribusi secara merata.



5.2 Saran
a. Proses pengabuan sebaiknya dilakukan pada suhu tinggi dan waktu optimum agar
diperoleh pola difraksi sinar X yang tajam dan kristal.
b. Karakterisasi untuk mengetahui distribusi partikel dan morfologi permukaan dari
campuran kaolin-abu sekam padi sebaiknya dilakukan dengan SEM.
































DAFTAR PUSTAKA


Abdulloh. 2004. Evaluasi Teknik Uji Geser dan Uji Tekan dalam Kajian Pengaruh
Kadar Air dan Penambahan Zai Imbuh Terhadap Karakteristik Plastisitas
Lempung Asal Dsn. Pandisari Ds Sawo Kec. Kutorejo Kab. Mojokerto.
Tesis. Tidak diterbitkan. Bandung: Fakultas MIPA ITB.

Aineto, M., Acosta, A., and Iglesias, I. 2006. The role of a coal gasification fly ash
as clay additive in building ceramic. Journal of the European Ceramic
Society 26. 2006.

Aina, H. Nuryono, dan Tahir, I. 2007. Sintesis Aditif Semen -Ca2SiO4 Dari Abu
Sekam Padi Dengan Variasi Temperatur Pengabuan. Seminar Nasional
Aplikasi Sains dan Matematika Dalam IndustriUKSW. Salatiga: Jurusan
Kimia Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada. 1

Al-Jaizi, S.A.J. 2007. Tafsir Al-Quran AL-AISAR. Jakarta: Darus Sunnah.

Al-Maraghi, A.M. 1992. Tafsir Al-Maraghi. Semarang: Toha Putra.

Anonymous. 2009. Difraksi Sinar X. http://difraksi-sinar-X.html. Diakses pada
tanggal 16 November 2009.

Arfi, W. 2009. Spektra Silika Gel. http:/arfi.blogspot.com/2009/05/Spektra Silika
Gel.html. Diakses tanggal 03 Juni 2010.

Ash-Shabuny, M.A. 2001. Cahaya Al-Quran Tafsir Tematik Surat Huud-Al-Isra.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Asmuni. 2008. Tafsir Al-Qurthubi. Jakarta: Pustaka Azzam.

Astuti, A. 1997. Pengetahuan Keramik. Yogyakarta: Gadjah Mada University-Press.

Austin, G.T. 1996. Industri Proses Kimia. Jakarta: Erlangga.

Badan Penelitian Pascapanen Pertanian. 2001. Peluang Agribisnis Arang Sekam.
Jakarta: balitpasca@deptan.go.id balitpasca2001@hotmail.com.Diakses
pada tanggal 9 Maret 2010.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2009. Sekam Padi Sebagai Sumber
Energi Alternatif dalam Rumah Tangga Petani. Departemen Pertanian.
Bakri R. 2008. Kaolin Sebagai Sumber SiO
2
Untuk Pembuatan Katalis Ni/SiO
2
:
Karakterisasi Dan Uji Katalis Pada Hidrogenasi Benzena Menjadi
Sikloheksana. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta:
Universitas Indonesia.

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2008. Deskripsi Padi Varietas IR 64.
http://www.pustaka-deptan.go.id. Diakses pada tanggal 1 Maret 2010.

Bali, I., dan A, Prakoso. 2002. Beton Abu Sekam Padi Sebagai Alternatif Bahan
Konstruksi. Jurnal Sains dan Teknologi EMAS. Jakarta: Universitas
Kristen Indonesia.

Bahreisy, S., Bahreisy, S. 1990. Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir. Jilid VI.
Surabaya: Bina Ilmu Offset.

Brian, A.S. 2002. Methods for The Determination of Total Organic Carbon (TOC) in
Soils and Sediments. Las Vegas: United States Environmental Protection
Agency Environmental Sciences Division National.
Chen, J-M and Chang, F-W. 1991. The Chlorination Kinetics of Rice Hull, Ind. Eng.
Chem. Res.
Das. B.M. 1998. Mekanika Tanah (Prinsip-prinsip) Geoteknis. Jakarta: Erlangga.

Della, V.P., Kuhn, I., dan Hotza, D. 2002. Rice Husk Ash as An Alternate Source for
Active Silica Production. Mat. Lett.

Endro, J., Suud, Z., dan Eko, C. B. 2004. Rancang Bangun Spektroskopi Cahaya
Tampak Untuk Penentuan Kualitas Susu Dengan Menggunakan Jaringan
Syaraf Tiruan. Berkala Fisika ISSN : 1410 9662. Jurusan Fisika FMIPA
Universitas Diponegoro. Vol. 7 No. 2. April 2004.

Faqih, A.K. 2005. Tafsir Nurul Quran. Jakarta: Al-Huda.
Ginting, Ilias., Hermawan, S. dan Encey, T. 2005. Pembuatan Perangkat Lunak
Analisis Kualitatif Difraksi Sinar-X dengan Metode Hanawalt. Prosiding
Seminar Nasional Sains dan Teknik Nuklir. Bandung: P3TkN BATAN 14
15 Juni 2005.

Gusmini., Darmawan., Asmar, dan Putri, S. 2009. Perbedaan Pemanasan Sekam
Padi Terhadap Ketersediaan Si (Silika) pada Pertumbuhan dan Hasil
Tanaman Padi (Oryza Sativa L.). Jurusan Tanah Fakultas Pertanian.
Universitas Andalas.
Hara. 1986. Utilization of Agrowastes for Buildinng Materials. Japan: International
Research and Development Cooperation Division, AIST, MITI.
Hariyadi, I. 2004. Pengaruh Penambahan Abu Sekam Padi (RHA) Pada Campuran
Beton Terhadap Laju Korosi Tulangan Baja. Jurnal Teknik SKALA.
Mataram: Universitas Muhammadiyah Mataram.

Harsono, H. 2002. Pembuatan Silika Amorf dari Limbah Sekam Padi (Syntesis of
Amorphous Silicon from Outer Shell of Rice Seeds). Jurnal Ilmu Dasar.
Vol. 3 No.2, 2002: 98-103 98.

Hartaya, K. 2002. Pengaruh Pemadatan dan Kandungan Binder Terhadap Porositas
Kaolin Teknis. Skripsi. Tidak diterbitkan. Pusat Dirgantara Terapan
Lapan.

Hayati, E.K. 2007. Buku Ajar Dasar-Dasar Analisa Spektroskopi. Malang: UIN-
press.

Herina, S. 2005. Kajian Pemanfaatan Abu Sekam Padi Untuk Stabilisasi Tanah
Dalam Sistem Pondasi di Tanah Ekspansif. Kolokium dan Open House.
Bandung: Pusat Penelitian dan Perkembangan Permukiman Badan
Penelitian dan Pengembangan Departemen Pekerjaan Umum 8 9
Desember 2005.

Houston, D.F. 1972. Rice Chemistry and Technology. Minnecosta: America
Association of Cereal Ceramic. Inc.

Hunter, R.S. 2008. Colorimeter Versus Spectrophotometers. Virginia: Hunter
Associates Laboratory, Inc. www.hunterlab.com. Diakses pada tanggal 17
April 2010.
Jamaluddin, A. 2007. Penggunaan Sinar-X untuk Analisa Sampel. http://anif
jamaluddin.blogspot.com/2007/06/ Penggunaan-Sinar-X-untuk-
Analisa Sampel.html. Diakses pada tanggal 26 Januari 2010.
Jaya, A.T., Ariwibowo, D.S. 2002. Pengaruh Penambahan Abu Sekam Padi Pada
Tanah Ekspansif. http://dewey.petra.ac.id/jiunkpe_dg_201. Diakses pada
tanggal 14 Desember 2009.

Javed, S.H., Naveed,S., Feroze, N., dan Zafar, M. 2008. Quality Improvement of
Amorphous Silica by Using KMnO
4.
Lahore: Pakistan. Journal of Quality
and Technology Management. Vol.IV,Issue II, Desember.

Joelianingsih. 2004. Peningkatan Kualitas Genteng Keramik Dengan Penambahan
Sekam Padi Dan Daun Bambu. Makalah Pribadi Falsafah Sains (PPS 702)
Sekolah Pasca Sarjana / S3. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Jumaeri, Astuti,W., Lestari, W.T.P. 2007. Preparasi Dan Karakterisasi Zeolit Dari
Abu Layang Batubara Secara Alkali Hidrotermal. Semarang: Jurusan
Kimia Fakultas MIPA UNNES.
Kurnia, R. F. dan Gander, T. 2005. Kajian Pemanfaatan Abu Sekam Padi Sebagai
Bahan Campuran Mortar Pasangan Bata. Bandung: ITB-Press.
Maskuro, H. 1986. Keplastisan Lempung. Bandung: Informasi Teknologi Keramik
dan Gelas No. 29 Tahun VII.

Misbah. 2009. Tafsir Ath-Thabari. Jakarta: Pustaka Azzam.

Muntohar, A.S. 2007. Pengantar Rekayasa geoteknik.
http://muntohar.files.wordpress.com/2007/04/sample-bab3.pdf.Diakses
pada tanggal 31 Juli 2009.

Nugraha, S. dan Setiawati, J. 2006. Peluang Bisnis Arang Sekam. Jakarta: Balai
Penelitian Pascapanen Pertanian.

Nurhakim. 2005. Draft Modul BGI Teknik Kimia.
http://nurhakim.files.wordpress.com/2005/04/bahan galian industri.pdf.
Diakses pada tanggal 15 Desember 2009.

Ory. 2009. Prinsip Dasar Spekstroskopi Difraksi
http://orybun.blogspot.com/2009/05/prinsip-dasar-spekstroskopi
difraksi.html. Diakses pada tanggal 16 November 2009.

Oxtoby, D.W. 2001. Prinsip-prinsip Kimia Modern. Jakarta: Erlangga.

Pasaribu, R.P. 2007. Analisis Kemampuan Beton Ringan-Abu Sekam Padi. Skripsi.
Tidak Diterbitkan. Jakarta: Universitas Tarumanegara.

Prasetyo, A. 2004. Kajian Mekanika dalam Penentuan Plastisitas Lempung Secara
Uji Geser dan Tekan-Tidak-Terkunkung. Bandung: Fakultas MIPA ITB.

Prasetyo, A. Avisena, N. 2007. Lempung Menguak Rahasia Keagungan Allah.
Malang: UIN-Press.

Pontikes. Y., Esposito, L., Tucci. A., and Angelopoulos. G.N. 2007. Thermal
behaviour of clay for traditional ceramics with soda-lime-silika waste glass
admixture. Journal of the European Ceramic Society.

Purwandari, R.D. 2006. Studi Sifat Fisis Abu Sekam Padi Hasil Perlakuan dengan
Asam Klorida Sebagai Bahan Pozzolon. Tesis S-2. Tidak Diterbitkan.
Yogyakarta: Program Studi Fisika, Kelompok Bidang Studi Ilmu
Matematika dan Pengetahuan Alam, Sekolah Pasca Sarjana. UGM.

Putro, A.L. dan Prasetyoko, D. 2007. Abu Sekam Padi Sebagai Sumber Silika Pada
Sintesis Zeolit ZSM-5 Tanpa Menggunakan Templat Organik. Surabaya:
Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Ratnasari, D. 2009. Tugas Kimia Fisik X-Ray Diffraction (XRD). Surakarta:
Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Rida, M.M., Mengala, M.R., Mansur, A.A. 2009. Tafsir Al-Qurthubi. Jakarta:
Pustaka Azzam.

Rompas, R.M. 1998. Kimia Lingkungan 1.Bandung: Tarsito.

Saksono, N. 2002. Analisis Iodat Dalam Bumbu Dapur Dengan Metode Iodometri
dan X-Ray Fluorescence. Makara Teknologi. Depok: Universitas
Indonesia. Volume 6 No 3.

Sarkawi, S.S., Aziz, Y. 2003. Ground Rice Husk As Filler In Rubber Compounding.
Jurnal Teknologi, 39(A) Keluaran Khas. Dis. 2003: 135148. Malaysia:
Universiti Teknologi Malaysia.

Shihab, M.Q. 2002. Tafsir Al- Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran.
Jakarta: Lentera Hati.

Shirley, I.R. 1994. Geoteknik dan Mekanika Tanah. Bandung: NOVA.
Sitorus, T.K. 2009. Pengaruh Penambahan Silika Amorf Dari Sekam Padi Terhadap
Sifat Mekanis Dan Sifat Fisis Mortar. Skripsi.Tidak Diterbitkan. Medan:
Departemen Fisika Fakulyas MIPA Universitas Sumatra Utara.

Soesilowati. 2006. Penyempurnaan Badan Keramik untuk Industri Kecil
Keramik di Plered . http://www.dprin.go.id/data/industry/abstech/. diakses
pada tanggal 12 November 2009.

Sulaeman., Suparto, dan Eviati. 2005. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air Dan
Pupuk. Bogor: Balai Penelitian Dan Pengembangan Pertanian Departemen
Pertanian.

Sukamta., Budiman, A., Sutijan., Bening, A.W., Budiharto, S. 2009. Pemecahan
Senyawa Kompleks Dalam Kaolin Dan Pengambilan Alumina Dengan
Metode Kalsinasi Dan Elutriasi. Jurnal Teknologi Technoscientia.
Yogyakarta: Jurusan Teknik Kimia Institut Sains & Teknologi AKPRIND
Vol. 1 No. 2 Februari 2009.
Sumantry, T. 2000. Aplikasi XRF untuk Identifikasi Lempung Pada Kegiatan
Penyimpanan Lestari Limbah Radioaktif. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Pengelolaan Limbah VII. Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-
BATAN.
Suwanti, V.C. 2004. Penggunaan NaOH dan Na
2
CO
3
Pada Pembuatan Silika Gel dari
Abu Sekam Padi. Skripsi tidak diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Gajah
Malang.

Socrates, G. 1994. Infrared Characteristic Group Frequencies.England: The
University of West London.

Syaikh, A. 2007. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 5. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafii.

Toya. T., Yoshikazu. K, Nakajima, A., Okada, K. 2005. Preparation and properties of
glass-ceramics from kaolin clay refining waste (Kira) and paper sludge ash.
Journal of the Ceramics International 32 (2006) 789796.
www.elsevier.com/locate/jeurceramsoc.

Traore, T. Ouedraogo, G.V., Blanchart, P., Jernot, P., Gomina. M. 2007. Influence
of calcite on the microstructure and mechanical properties of pottery
ceramics obtained from a kaolinite-rich clay from Burkino Faso. Journal of
the European Ceramic Society. www.elsevier.com/locate/jeurceramsoc.

West, R.A. 1984. Solid State Chemistry and its Applications. Great Britain: Courier
International Ltd. East Klbride Scotland.

Yuniarti, R., Suarini, G.A., Ismawati. 2008. Perbandingan Nilai Daya Dukung Tanah
Dasar Badan Jalan yang Distabilisasi Semen dan Abu Sekam Padi. Media
Teknik Sipil. Lombok: Jurusan Teknik Sipil Universitas Mataram, Januari
2008.







































Lampiran I: Diagram Alir

L.I.1 Pembuatan Abu Sekam Padi


-dibersihkan dari batu, tanah dan kotoran lainnya
-dicuci dengan air
-dikeringkan di bawah sinar matahari
- dipanaskan pada suhu 300
0
C selama 30 menit
-arang sekam padi diabukan pada variasi suhu pengabuan 600
0
C, 700
0
C, dan 800
0
C selama 4 jam



L.I.2 Karakterisasi Abu Sekam Padi
L.I.2.1 Warna


-masing-masing hasil abu sekam padi dari variasi pengabuan
dimasukkan dalam plastik bening
-dihidupkan color reader
-ditentukan L, a* dan b*


Keterangan :
L : Warna cerah (0-100)
a* : Warna jingga sampai merah
b* : Warna kuning sampai biru

L.I.2.2 Kadar Karbon (Sulaeman, 2005)
L.A Pembuatan Kurva Standar


-diambil 0 mL, 2,5 mL, 7,5 mL dan 12,5 mL
-dimasukkan dalam labu ukur 25 mL
-ditambahkan 1,25 mL K
2
Cr
2
O
7
-ditambahkan 1,75 mL H
2
SO
4
-dikocok dan didiamkan 30 menit
-ditambahkan aquades hingga tanda batas
-didinginkan dan dihitung absorbansinya pada =561 pada
keesokan harinya


Sekam Padi
Hasil
Larutan 10 ppm
Abu Sekam Padi
Hasil
Hasil
L.B Penentuan Kadar Karbon Abu Sekam Padi


-diambil 0,125 gram
-dimasukkan dalam labu ukur 25 mL
-ditambahkan 1,25 mL K
2
Cr
2
O
7
-ditambahkan 1,75 mL H
2
SO
4
-dikocok dandidiamkan 30 menit
-ditambahkan aquades hingga tanda batas
-didinginkan
-dihitung absorbansi pada =561 pada keesokan harinya



L.C Penentuan Kadar Air Abu Sekam Padi


-diambil 1 gram
-dimasukkan dalam cawan
-dipanaskan dalam oven selama 2 jam pada suhu 105
0
C
-dimasukkan dalam desikator selama 30 menit
-ditimbang dan dicatat beratnya
-dipanaskan kembali dalam oven selama 1 jam pada suhu 105
0
C
-didinginkan
-ditimbang beratnya hingga konstan



L.1.2.3 Penentuan Kualitatif Jumlah Silika



-dihaluskan dalam mortar
-ditambah KBr
-dipress
-dianalisa







Abu Sekam Padi
Hasil
Abu Sekam Padi
Hasil
Sampel
Hasil
Lanjutan Lampiran 1

L.1.2.4 Komposisi Kimia


-dihaluskan
-dimasukkan dalam sampel holder
-disinari sinar X
-dianalisa



L.1.2.5 Kristalinitas


-sampel dihaluskan
-diletakkan dalam sample holder
-disinari sinar X
-dianalisa



L.I.3 Pembentukan Campuran kaolin-abu sekam padi


-diayak dengan ayakan 40 mesh
-diambil sebanyak 50 gram
-ditambahkan 5 gram abu sekam padi dari hasil pengabuan pada suhu
600
0
C, 700 C, dan 800
0
C dengan ukuran 40 mesh sehingga
diperoleh 3 campuran.
- dicampur hingga homogen












Kaolin
Hasil
Hasil
Sampel
Sampel
Hasil
Lanjutan Lampiran 1

L.1.4 Penentuan Batas Cair (Abdullah, 2004)


-ditambahkan air hingga terbentuk pasta
-diaduk hingga homogen
-pasta campuran kaolin-abu sekam padi dimasukkan dalam
mangkuk ( 8 mm tegak lurus dari dasar mangkuk) yang ada
pada alat Atterberg
-pasta lempung pada mangkuk dibelah menjadi dua bagian
dengan alat pengalur, kemudian engkol kecepatan (1 ketukan/
detik) sampai kedua bagian lempung menyatu minimal
sepanjang 12,7 mm
-dicatat jumlah ketukannya dan
-ditentukan kadar airnya
-hubungan antara kadar air dan jumlah pukulan ini selanjutnya
digambarkan dalam grafik semi-logaritma



L.1.5 Penentuan Batas Plastis (Abdullah, 2004)


-ditambahkan air dengan jumlah tertentu hingga berbentuk pasta
-diambil pasta
-dibentuk menjadi silinder (d= 1/8 inch)
-digulung-gulung perlahan-lahan sampai timbul retak - retak
-ditentukan kadar airnya



L.1.6 Penentuan Kadar Air


-diletakkan dalam cawan yang telah ditimbang pada keadaan
kosong
-ditempatkan dalam oven pada suhu 105
0
C selama 3 jam
-kemudian cawan didinginkan dalam desikator
-ditimbang dan beratnya dicatat

Kaolin-Abu Sekam Padi
Hasil
Kaolin-Abu Sekam Padi
Hasil
Sampel
Hasil
Lanjutan Lampiran 1
L.1.7 Karakterisasi dengan Mikroskop Optik


-dihaluskan dengan mortar hingga halus
-dipres hingga berbentuk pellet yang tipis
-pellet press dihubungkan ke pompa vakum selama 15 menit.
-diamati dalam mikroskop optik pada perbesaran 115x sampai
morfologi permukaan sampel terlihat jelas.




Lampiran 2: Pembuatan Reagen
L.2.1 Kalium Dikromat 1 N
Larutkan 2,45 gram kalium dikromat dengan 15 mL aquades dalam gelas
kimia, kemudian tambahkan 2,5 mL asam sulfat, panaskan hingga larut sempurna,
setelah dingin diencerkan dalam labu ukur 25 mL dengan aquades sampai tanda
batas.

L.2.2 Larutan Standar
Larutkan 0,25 mg glukosa dengan aquades di dalam labu ukur 25 mL hingga
tanda batas. Hasil larutan kemudian diambil sebanyak 2,5 mL, 7,5 mL dan 12,5 mL
untuk pembuatan kurva standar dan diencerkan dalam labu ukur 25 mL.

Lampiran 3: Perhitungan
L.3.1 Kurva Standar
L.3.1.1 Pembuatan Larutan 10 ppm
ppm =
10 ppm =
mg = 0,25
Massa glukosa yang diambil sebanyak 0,25 mg


L3.1.2 Pembuatan Larutan 1 ppm
M
1
X V
1
= M
2
X V
2

V
1
10 = 1 X 25
V
1
10 = 25
V
1
=
V
1
= 2,5 mL

Sampel
Hasil
Lanjutan Lampiran 3

L.3.1.3 Pembuatan Larutan 3 ppm
M
1
X V
1
= M
2
X V
2

V
1
10 = 3 X 25
V
1
10 = 75
V
1
=
V
1
= 7,5 mL

L.3.1.4 Pembuatan Larutan 5 ppm
M
1
X V
1
= M
2
X V
2

V
1
10 = 5 X 25
V
1
10 = 125
V
1
=
V
1
= 12,5 mL

L.3.1.5 Pembuatan Larutan 7 ppm
M
1
X V
1
= M
2
X V
2

V
1
10 = 7 X 25
V
1
10 = 175
V
1
=
V
1
= 17,5 mL

L.3.2 Penentuan Kadar Air Abu Sekam Padi
L.3.2.1 Abu Sekam Padi 600
0
C
Abu Sekam Padi 600
0
C
Berat Cawan kosong (a): 34,536 gr
Berat Sampel (b) : 1,006 gr
Berat cawan setelah dipanaskan (c) : 1. 35,540 c rata-rata : 35,536
2. 35,536
3. 35,536
Kadar air (%) = x 100
Kadar air (%) = x 100
Kadar air (%) = x 100
Kadar air (%) = x 100
Kadar air (%) = 0,596 %


Lanjutan Lampiran 3

L.3.2.2 Abu Sekam Padi 700
0
C
Abu Sekam Padi 700
0
C
Berat Cawan kosong (a): 29,508 gr
Berat Sampel (b) : 1,005 gr
Berat cawan setelah dipanaskan (c) : 1. 30,506 c rata-rata : 30,504
2. 30,504
3. 30,504
Kadar air (%) = x 100
Kadar air (%) = x 100
Kadar air (%) = x 100
Kadar air (%) = x 100
Kadar air (%) = 0,895 %

L.3.2.3 Abu Sekam Padi 800
0
C
Abu Sekam Padi 800
0
C
Berat Cawan kosong (a): 34,536 gr
Berat Sampel (b) : 1,011 gr
Berat cawan setelah dipanaskan (c) : 1. 35,5448 c rata-rata : 35, 5445
2. 35,5445
3. 35, 5445
Kadar air (%) = x 100
Kadar air (%) = x 100
Kadar air (%) = x 100
Kadar air (%) = x 100
Kadar air (%) = 0,296 %

L.3.3 Penentuan Kadar Karbon
L.3.3.1 Faktor Koreksi (FK)
a. Abu Sekam Padi 600
0
C
FK =
FK =
FK =
FK = 1,0059
Lanjutan Lampiran 3

b. Abu Sekam Padi 700
0
C
FK =
FK =
FK =
FK = 1,0090

c. Abu Sekam Padi 800
0
C
FK =
FK =
FK =
FK = 1,0029

L.3.3.2 Penentuan Konsentrasi Sampel
A. Persamaan Kurva Standart
Y = 0.018X 0.016
Konsentrasi (ppm) Absorbansi
1 0,015
3 0,03
5 0,06
7 0,13

















Sampel Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-Rata
ASP 600
0
C 0,025 0,025 0,020 0,025
ASP 700
0
C 0,028 0,026 0,028 0,028
ASP 800
0
C 0.018 0.017 0.017 0.017

a) Abu Sekam Padi 600
0
C
Y = 0,018x 0,016
0,025 + 0,016 = 0,018x
0,041 = 0,018x
x =
x = 2,27 ppm
b) Abu Sekam Padi 700
0
C
Y = 0,018X 0,016
0,028 + 0,016 = 0,018x
0,044 = 0,018x
x =
x = 2,4 ppm
c) Abu Sekam Padi 800
0
C
Y = 0,018X 0,016
0,017 + 0,016 = 0,018x
0,033 = 0,018x
x =
x = 1.83 ppm

B. Penentuan Kadar Karbon
1. Abu Sekam Padi 600
0
C
Kadar C (%) = ppm kurva x L ekstrak x x fk
Kadar C (%) = 2,27 x 0,025 x x 1,0059
Kadar C (%) =
Kadar C (%) = 0,045 %

2. Abu Sekam Padi 700
0
C
Kadar C (%) = ppm kurva x L ekstrak x x fk
Kadar C (%) = 2,4 x 0,025 x x 1,0090
Kadar C (%) =
Kadar C (%) = 0,048 %

Lanjutan Lampiran 3

3. Abu Sekam Padi 800
0
C
Kadar C (%) = ppm kurva x L ekstrak x x fk
Kadar C (%) = 1.83 x 0,025 x x 1,0029
Kadar C (%) =
Kadar C (%) = 0,037 %

L.3.4 Penentuan Indeks Plastisitas
L.3.4.1 Batas Cair
L.A Kaolin
No. Cawan 1 2 3 4
Jumlah Ketukan 17 18 26 20
Berat Cawan 6,36 6,75 6,66 6,27
Berat Cawan + S.Basah 5,4 5,67 5,69 5,41
Berat Cawan + S.Kering 0,96 1,08 0,97 0,86
Berat Air 3,87 3,87 3,94 3,93
Berat Contoh Kering 1,53 1,8 1,75 1,48
Kadar Air 62,74 60 55,42 58,1
Kadar Air kaolin pada 25 ketukan = 55,67 %

L.B Kaolin Abu Sekam Padi 600
0
C
No. Cawan 1 2 3 4
Jumlah Ketukan 15 20 23 30
Berat Cawan 3,75 3,82 3,89 3,83
Berat Cawan + S.Basah 4,33 4,19 6,12 5,70
Berat Cawan + S.Kering 4,10 4,05 5,37 5,10
Berat Air 0,23 0,14 0,75 0,60
Berat Contoh Kering 0,35 0,23 1,48 1,27
Kadar Air 65,71 60,87 50,67 47,24
Kadar Air camp.kaolin abu sekam padi 600
0
C pada 25 ketukan = 52,24 %









L.C. Kaolin Abu Sekam Padi 700
0
C
No. Cawan 1 2 3 4
Jumlah Ketukan 18 20 24 27
Berat Cawan 4,63 3,73 4,60 3,93
Berat Cawan + S.Basah 5,27 4,55 5,30 4,75
Berat Cawan + S.Kering 5,05 4,27 5,07 4,50
Berat Air 0,22 0,28 0,23 0,25
Berat Contoh Kering 0,42 0,54 0,47 0,57
Kadar Air 52,38 51,85 48,93 43,86
Kadar Air camp.kaolin abu sekam padi 700
0
C pada 25 ketukan = 45,705 %

L.D Kaolin Abu Sekam Padi 800
0
C
No. Cawan 1 2 3 4
Jumlah Ketukan 21 23 24 28
Berat Cawan 3,79 3,78 3,90 3,85
Berat Cawan + S.Basah 4,30 4,25 4,50 4,31
Berat Cawan + S.Kering 4,12 4,12 4,34 4,20
Berat Air 0,18 0,13 0,16 0,11
Berat Contoh Kering 0,33 0,34 0,44 0,35
Kadar Air 54,54 38,23 36,36 31,43
Kadar Air camp. kaolin abu sekam padi 800
0
C pada 25 ketukan = 37,2 %

L.3.4.2 Batas Plastis
L.A Kaolin
No. Pengulangan 1 2
Berat Cawan 29,509 3,828
Berat Cawan + Sampel Basah 30,406 4,113
Berat Cawan + Sampel Kering 30,213 4,049
Berat Air 0,193 0,064
Berat Contoh Kering 0,704 0,221
Kadar Air 27,41 28,95
Kadar Air Rata-rata 28,18










L.B Kaolin Abu Sekam Padi 600
0
C
No. Pengulangan 1 2
Berat Cawan 3,85 3,79
Berat Cawan + Sampel Basah 4,30 4,07
Berat Cawan + Sampel Kering 4,19 4,01
Berat Air 0,11 0,06
Berat Contoh Kering 0,34 0,21
Kadar Air 32,35 29,16
Kadar Air Rata-rata 30,75

L.C Kaolin Abu Sekam Padi 700
0
C
No. Pengulangan 1 2
Berat Cawan 3,793 3,670
Berat Cawan + Sampel Basah 4,224 3,950
Berat Cawan + Sampel Kering 4,125 3,891
Berat Air 0,099 0,059
Berat Contoh Kering 0,332 0,221
Kadar Air 29,81 26,69
Kadar Air Rata-rata 28,25


L.D Kaolin Abu Sekam Padi 800
0
C
No. Pengulangan 1 2
Berat Cawan 29,51 4,522
Berat Cawan + Sampel Basah 29,93 4,732
Berat Cawan + Sampel Kering 29,84 4,688
Berat Air 0,091 0,043
Berat Contoh Kering 0,329 0,166
Kadar Air 27,66 25,9
Kadar Air Rata-rata 26,78

L.3.4.3 Indeks Plastisitas
L.A Kaolin
Indeks Plastisitas = Batas Cair (LL) Batas Plastis (PL)
= 55,67 28,18
= 27,49

L.B Kaolin Abu Sekam Padi 600
0
C
Indeks Plastisitas = Batas Cair (LL) Batas Plastis (PL)
= 52,24 30,75
= 21,49

L.C Kaolin Abu Sekam Padi 700
0
C
Indeks Plastisitas = Batas Cair (LL) Batas Plastis (PL)
= 46,705 28,25
= 18,45

L.D Kaolin Abu Sekam Padi 800
0
C
Indeks Plastisitas = Batas Cair (LL) Batas Plastis (PL)
= 37,20 26,78
= 10,42


Lampiran 4: Gambar Alat dan Bahan

Gambar 4.1 Alat Atterberg pada Uji Batas Cair


Gambar 4.2 Spektronik Gambar 4.3 Tanur


Gambar 4.4 Oven Gambar 4. 5 Timbangan Analitik


Gambar 4.6 Desikator Gambar 4.7 Color Reader

Gambar 4.8 Mikroskop Optik Gambar 4.9 XRF


a b c

Gambar 4.10. Pembuat Pellet (a), Difraktometer Sinar X (Bagian Luar)
(b),Difraktometer Sinar-X (Bagian Dalam) (c)


Gambar 4.11 Sekam Padi IR 64 Gambar 4.13 Arang Sekam Padi IR 64


a b c
Gambar 4.14 Abu Sekam Padi 600
0
C (a), Abu Sekam Padi 700
0
C (b)Abu Sekam
Padi 800
0
C (c)



Gambar 4.15 Larutan Standart Gambar 4.16 Larutan Sampel


Gambar 4.17 Pasta Sampel pada Uji Batas Plastis

Lampiran 5: Grafik Batas Cair
5.1 Kaolin
Jumlah Ketukan Kadar Air
17 62,74
18 60,00
20 58,10
26 55,42


Regression Analysis: C2 versus C1

The regression equation is
C2 = 73.5 - 0.713 C1

Predictor Coef SE Coef T P
Constant 73.506 4.059 18.11 0.003
C1 -0.7131 0.1976 -3.61 0.069

S = 1.37935 R-Sq = 86.7% R-Sq(adj) = 80.0%

Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 1 24.792 24.792 13.03 0.069
Residual Error 2 3.805 1.903
Total 3 28.597

C1
C
2
26 24 22 20 18 16
63
62
61
60
59
58
57
56
55
54
S 1.37935
R-Sq 86.7%
R-Sq(adj) 80.0%
Grafik Batas Cair Kaolin
C2 = 73.51 - 0.7131 C1

5.2 Campuran Kaolin-Abu Sekam Padi 600
0
C
Jumlah Ketukan Kadar Air
15 65,71
20 60,87
23 50,67
30 47,24
Lanjutan Lampiran 6
Regression Analysis: C2 versus C1

The regression equation is
C2 = 84.7 - 1.30 C1

Predictor Coef SE Coef T P
Constant 84.670 7.286 11.62 0.007
C1 -1.2976 0.3215 -4.04 0.056

S = 3.49248 R-Sq = 89.1% R-Sq(adj) = 83.6%

Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 1 198.69 198.69 16.29 0.056
Residual Error 2 24.39 12.20
Total 3 223.09


C1
C
2
30.0 27.5 25.0 22.5 20.0 17.5 15.0
65
60
55
50
45
S 3.49248
R-Sq 89.1%
R-Sq(adj) 83.6%
Grafik Batas Cair Campuran Kaolin-Abu Sekam Padi 600 0C
C2 = 84.67 - 1.298 C1


5.3 Campuran Kaolin-Abu Sekam Padi 700
0
C
Jumlah Ketukan Kadar Air
18 52,38
20 51,85
24 48,93
27 43,86

Regression Analysis: C2 versus C1

The regression equation is
C2 = 69.9 - 0.930 C1


Predictor Coef SE Coef T P
Constant 69.937 4.321 16.18 0.004
C1 -0.9295 0.1919 -4.84 0.040
Lanjutan Lampiran 6
S = 1.33964 R-Sq = 92.1% R-Sq(adj) = 88.2%

Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 1 42.122 42.122 23.47 0.040
Residual Error 2 3.589 1.795
Total 3 45.711


C1
C
2
27 26 25 24 23 22 21 20 19 18
53
52
51
50
49
48
47
46
45
44
S 1.33964
R-Sq 92.1%
R-Sq(adj) 88.2%
Grafik Batas Cair Campuran Kaolin-Abu Sekam Padi 700 0C
C2 = 69.94 - 0.9295 C1


5.4 Campuran Kaolin-Abu Sekam Padi 800
0
C
Jumlah Ketukan Kadar Air
21 54,54
23 38,23
24 36,36
28 31,43

Regression Analysis: C2 versus C1

The regression equation is
C2 = 110 - 2.93 C1

Predictor Coef SE Coef T P
Constant 110.41 29.61 3.73 0.065
C1 -2.928 1.227 -2.39 0.140

S = 6.25484 R-Sq = 74.0% R-Sq(adj) = 61.0%

Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 1 222.91 222.91 5.70 0.140
Residual Error 2 78.25 39.12
Total 3 301.16


C1
C
2
2 8 2 7 2 6 2 5 2 4 2 3 2 2 2 1
5 5
5 0
4 5
4 0
3 5
3 0
S 6. 25 484
R- S q 74 . 0%
R- S q ( a d j ) 61 . 0%
G r a f i k B a t a s C a i r C a mp ur a n K a o l i n-A b u S e k a m P a d i 8 0 0 0 C
C 2 = 1 1 0 . 4 - 2 . 9 2 8 C 1

Anda mungkin juga menyukai