Anda di halaman 1dari 11

Solusi Konflik Palestina & Israel Harus Negosiasi

JAKARTA Konlfik Palestina dan Israel tidak dapat diselesaikan dengan jalan kekuatan militer. Kedua negara harus menyelesaikan melalui jalan negosiasi. Setidaknya hal tersebut tersebut diusahakan oleh kalangan politisi di Palestina. Kondisi ini diceritakan Duta Besar Palestina untuk Indonesia Fariz Mehdawi dalam lanjutan petikan wawancara dengan wartawan okezone di ruang kerjanya, Kedubes Palestina, Jakarta, Rabu (2/6/2010). Bagaimana situasi politik di Palestina sendiri dan apa yang akan dilakukan politisi Palestina terhadap insiden Mavi Marmara? Seperti Anda ketahui Konflik Antara palestina dan Israel tidak dapat diselesaikan dengan kekuatan militer, karena kami tidak bisa menyaingi kekuatan militer Israel. Seperti diketahui Israel sangat ini sangatkuat saat berkaitan dengan militer. Negara itu memiliki lebih dari 200 hulu ledak nuklir bahkan dijual ke Rusia dan China. Konflik kami dengan Israel tidak lebih dari perebutan wilayah. Alhamdulilah secara historis masih ada lima juta warga Palestina tetap tinggal di tanahnya, 1,5 jiwa di antaranya berada di Gaza sisanya di Tepi Barat. Jadi sulit bagi Israel untuk mengusir kami. Apa yang dunia minta adalah membagi tanah yang diperebutkan menjadi dua. Satu wilayah untuk Israel dan wilayah lainnya tentunya untuk Palestina, dan kami pun menyetujui usul tersebut. Negara arab dan negara muslim serta dunia internasional bahkan mendukung proposal ini. Tetapi untuk meraih kesepakatan untuk meraih Kebijakan dua negara ini diperlukan adanya negosiasi mengenai perbatasan, serta masalah-masalah lain yang mengikuti kesepakatan. Seperti pembagian sumber daya, penentuan ibu kota dan tentunya masalah pengungsi yang ingin kembali pulang. PBB bahkan juga mendukung pembagian wilayah ini, tetapi Israel berusaha sekuat tenaga agar semua itu tidak terjadi. Palestina pun telah menetapkan langkah agar proses pembagian wilayah ini dapat terjadi. Pertama, tetap melakukan langkah politik untuk meloloskan solusi dua negara ini. Kedua, melakukan konsolidasi agar semua rakyat Palestina tetap tinggal di tanahnya sendiri. Tantangan sebenarnya adalah menjaga soliditas dan bertindak cepat dalam mengatasi maslah di Palestina. Hal ini sudah dilakukan oleh Perdana Menteri Sallam Fayyed. Selain itu, pemerintah Palestina berusaha untuk membangun infrastruktur yang nantinya akan digunakan oleh warga Palestina. Tahun lalu pemerintah telah menjalankan 1.000 proyek yang terdiri dari berbagai macam bidang.

Jadi inilah kondisi politik yang terjadi di Palestina. Kini pemerintah terus melaksanakan proyek seperti halnya membangun sebuah pusat perbelanjaan. Kami terus melakukan perkembangan di segala bidang. Di saat bersamaan secara politis kami terbuka untuk melakukan pembicaraan untuk meraih kemerdekaan melalui negosiasi. Apa respons Anda tentang dukungan yang diberikan Indonesia kepada Palestina? Dunia biasa melihat penderitaan Palestina melalui televisi. Beberapa warga Indonesia sepertinya banyak yang tersentuh, beberapa dari mereka mungkin banyak yang pergi ke masjid untuk berdoa atau langsung mendonasi bantuan kepada kami. Solidaritas warga sipil, khususnya Indonesia terus berkembang. Soladiritas ini bukan hanya mengikuti demonstrasi ataupun mengeluarkan kecaman. Solidaritas tersebut berupa kerelaan mereka mengeluarkan uang sendiri untuk mengikuti misi kemanusian. Jika memang siap untuk pergi berjuang, mereka akan berangkat untuk berjuang. Solidaritas yang ditunjukan dunia internasional, bukan hanya Indonesia tentunya amat membantu warga Palestina. Mereka berkoordinasi, berkumpul mengumpulkan bantuan dan berangkat dengan konvoi untuk warga Palestina. Kami bangga atas perhatian yang diberikan, kami merasa tidak sendirian dalam perjuangan ini. Kemenangan Palestina tentunya menjadi kemenangan dunia internasional karena terus menerus memberikan dukungan. Seperti contoh Afrika Selatan (Afsel), dunia mengatakan, tidak untuk rezim apartheid di Afsel. Rezim saat itu dikucilkan karena dunia internasional tidak ingin membuka internasional. Israel harus memperhatikan pergerakan yang serupa saat ini. Dunia mulai menunjuk ke arah sana, kampanye isolasi Israel bisa saja dimulai kapanpun. Terbukti hingga saat ini ada sekitar 57 negara yang menolak untuk membuka hubungan diplomasi dengan Israel, selama Israel terus menduduki wilayah Palestina. Hal ini menunjukan bersatunya dunia internasional yang setuju standar perilaku negara jika ingin diterima di pergaulan internasional, tentunya harus disiplin dan patuh terhadap hukum internasional. Jika Israel tidak mau mengikuti, maka mereka harus membayar atas perilakunya.(rhs)

Yang Penting Punya Rencana Aksi


Jakarta (ANTARA News) Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau ASEAN yang pada 8 Agustus lalu berusia 43 tahun bertekad membentuk masyarakat ASEAN, tidak hanya di bidang politik, sosial dan budaya, tapi juga ekonomi dalam bentuk pasar bebas. Secara bertahap sejak 1992 negara-negara di kawasan Asia Tenggara telah sepakat melaksanakan perdagangan bebas intra-ASEAN (AFTA) secara bertahap, dimulai dari perdagangan bebas untuk barang, kemudian jasa, sampai investasi, sebelum akhirnya kelak terintegrasi dalam masyarakat ekonomi ASEAN pada 2020. Potensi pasar ASEAN mencapai sekitar 591 juta jiwa yang 80 persen di antaranya berusia produktif yaitu di bawah 45 tahun. Selain itu, GDP per kapita juga terus meningkat dari 960 dolar AS pada 1998 menjadi 2.521 dolar AS pada 2009, dan total GDP mencapai 1,5 triliun dolar AS tahun lalu. Indonesia sebagai salah satu negara pendiri ASEAN bersama Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, dan Brunei Darussalam memainkan peranan sangat penting, tidak hanya di bidang politik, tapi juga ekonomi mengingat Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk paling besar di kawasan Asia Tenggara. Apakah Indonesia sebagai pasar terbesar siap menghadapi pasar bebas ASEAN pada 2015 baik untuk barang, jasa, dan investasi? Bagaimana kemampuan Indonesia menangkap peluang ekonomi sejak ditandatanganinya AFTA pada 1992? Di sela-sela jadwalnya yang sangat padat Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu memaparkan secara khusus kepada ANTARA mengenai pencapaian manfaat ekonomi ASEAN bagi Indonesia dan komitmen Indonesia terhadap terbentuknya masyarakat ekonomi ASEAN, serta strategi dalam menghadapinya. Mantan pengamat ekonomi CSIS itu menyebut AFTA merupakan arena uji coba Indonesia sebelum melangkah ke persaingan global. Ia mengakui tidak semua sektor siap menghadapi persaingan bebas, terutama di sektor jasa. Memang ada satu atau dua bagian dari sektor itu yang belum siap. Yang penting kita punya rencana aksi, ujarnya optimis. Adanya rencana aksi itu pula yang membuat ia optimis masalah lonjakan harga kebutuhan pokok selama puasa dan menjelang maupun setelah Lebaran bisa diatasi. Soal harga yang penting gejolaknya, kalau lonjakannya di atas 20 persen tentu kita harus melakukan sesuatu, katanya.

Budaya Pelayanan Jepang


Kolom Ketika saya kuliah S2 Jurusan Manajemen dalam pembahasan Etika Bisnis, Manajemen Internasional dan Pemasaran Internasional selalu ada bab khusus tentang perusahaan Jepang dan budaya bangsanya yang sangat spesifik. Bab khusus ini membahas kemampuan penelitian dan pengembangan Jepang yang memang sangat maju dan unggul. Teknologi produksi yang canggih, efisien dan manajemen yang kuat. Namun pada puncaknya pembahasan akan sampai pada masalah pengaruh budaya yang sangat kuat yang melatarbelakangi praktek bisnis di Jepang. Salah satu budaya di Jepang dan telah kita pelajari sejak SD adalah praktik bisnis dumping, yaitu menjual barang produk sendiri dengan harga lebih mahal di dalam negeri dibanding harga ketika barang yang sama dijual di luar negeri. Dumping adalah wujud nasionalisme konkret dan sekaligus strategi bisnis memenangkan persaingan di pasar internasional bangsa Jepang. Terbukti, selama berpuluh tahun, praktek dumping mampu meningkatkan kemakmuran bangsa Jepang, karena warganya sangat mencintai produk dalam negeri. Raksasa elektronik asal Korea yaitu Samsung, mengakui tidak sukses menaklukkan pasar di Jepang walaupun mereka sudah memberikan harga netto. Masalahnya adalah karena pasar di Jepang secara budaya telah terdidik untuk mencintai produk lokal dan memahami bahwa semurah apapun harga produk asing maka sebagian besar uangnya akan mengalir ke luar negeri, memperkaya bangsa lain. Artinya bangsa Jepang rugi. Sebaliknya, semahal apapun harga produk lokal sejenis, namun 100% uangnya akan kembali ke bangsa Jepang sendiri. Semua itu berlaku untuk produk apapun bukan hanya elektronik. Produk China yang sangat murah dan berusaha masuk ke pasar konsumer kelas bawah pun kesulitan memenangkan pasar di China. Misalnya, walaupun harga produk pakaian di Jepang sangat mahal, tetapi di toko-toko tradisional yang melayani masyarakat bawah sekalipun, produk pakaian China yang sangat murah tetap kurang laku. Selain karena nasionalisme tadi juga karena alasan kualitas. Bangsa Jepang memang sudah terbiasa menggunakan produk berkualitas yang akan mereka gunakan selama bertahun-tahun dengan setia loyalitas. Karena loyalitas pasar yang demikian tinggi, maka semua perusahaan di Jepang menjadi punya ikatan dan tanggung jawab moral serta penghormatan yang luar biasa kepada para konsumennya. Sehingga terbentuklah budaya pelayanan yang tidak tertandingi oleh bangsa lainnya di dunia ini. Bahkan sedemikian tertanamnya budaya ini sehingga menjadikan isu pelayanan sebagai urusan pribadi para eksekutif perusahaan Jepang yang menyangkut harga diri dan integritas.

Tidak jarang top eksekutif perusahaan Jepang mengundurkan diri karena gagal memberikan pelayanan terbaiknya kepada konsumen atau cedera janji dan sejenisnya. Salah satu kasus terbaru adalah permintaan maaf eksekutif tertinggi sekaligus pemilik brand Toyota kepada masyarakat China akibat kegagalan produknya mobil RAV4 yang mengalami gangguan pada pedal gas ini juga mengakibatkan kecelakaan tragis beberapa waktu lalu di Jakarta. Tidak cukup hanya menarik produk, sang pemilik sampai memerlukan datang dan memberikan pernyataan terbuka di China, membungkuk berkali-kali di depan media serta tidak berhenti meminta maaf dan menyatakan, dalam setiap produk Toyota terdapat nama keluarga saya. Artinya walau itu masalah bisnis, namun bagi mereka itu menjadi tanggung jawab moral dan harga diri (integritas) sebagai pribadi mewakili keluarga besar klan Toyota. Kegagalan memberikan pelayanan terbaik adalah cacat, dosa yang tidak tertanggungkan. Bulan Januari yang lalu, kebetulan saya dan sejumlah rekan kerja mengikuti training di AOTS Tokyo, Jepang, selama dua minggu. Ada satu pengalaman berkesan ketika berbelanja di OIOI yaitu salah satu jaringan department store terbesar di Jepang. Ketika itu rekan kami membeli sejumlah barang, sepasang setelan blazer untuk acara penutupan, koper tambahan karena pembengkakan barang bawaan, beberapa CD untuk merekam foto kenangan dan sasaran yang terakhir sepasang sepatu boots. Maklum winter sale hingga 70% membuat rekan kami jadi susah tidur kalau belum belanja. Yang tidak kami sadari adalah, pada saat kami sibuk memilih dan mencoba aneka barang di mal tersebut, ternyata waktu telah menjelang pukul 22.00 waktu setempat. Sementara mal itu seharusnya tutup pukul 20.30. Anehnya, walaupun seluruh lantai dimana kami masih sibuk berbelanja sudah sepi pengunjung, namun ternyata petugas sales di semua counter bukan hanya di counter tempat kami belanja tetap siap sedia melayani. Tak ada satupun petugas yang menegur kami untuk sekedar mengingatkan bahwa mal telah tutup dan kami bahkan telah melewatkan injury time dan perpanjangan waktu sekaligus. Mereka tetap tersenyum menunggu kami selesai bahkan membawakan barang belanjaan sembari mengantarkan, menunjukkan arah kemana harus keluar karena semua pintu telah ditutup. Lebih berkesan lagi, justru sepanjang jalan si sales tidak berhenti meminta maaf dan berterima kasih, termasuk kasirnya, sales lain sepanjang koridor yang kita lewati dan bahkan satpamnya. Luar biasa. Belum pernah seumur hidup kami mendapatkan pelayanan semacam itu. Tanpa diminta, karena mengetahui kami adalah orang asing, mereka juga menunjukkan pintu dan

arah yang terdekat untuk menuju stasiun Metro Subway dan Bus-Taxi stop padahal kami sebenarnya cuma jalan kaki saja. Suatu pertunjukan dedikasi penuh yang kalau dipikirkan barangkali ulah kami tersebut bakal menimbulkan kesulitan bagi semua karyawan yang tadi melayani kami. Sales, kasir, satpam, semuanya kebanyakan adalah kaum urban yang tinggal jauh di pinggiran Tokyo. Mereka harus menumpang Metro Subway selama sedikitnya dua jam dalam cuaca dingin menggigit yang malam itu saya cek mencapai minus 4 derajat celcius. Saya jadi membandingkan dengan budaya pelayanan kita. Seandainya kita berbelanja lewat waktu di salah satu mal termewah di Jakarta sekalipun, pasti kita akan berhadapan dengan situasi yang sebaliknya, tidak menyenangkan. Jangankan dilayani, bahkan mungkin kita akan diperingatkan setengah diusir. Sudah pasti kalau belanja lewat waktu, tidak akan ada sales yang mau melayani bahkan saya pernah ditolak kasir saat akan membayar karena mesinnya telah dimatikan sehingga harus berputar jauh ke kasir yang masih on. Lebih parah lagi tidak jarang lampu telah dipadamkan sehingga harus kesulitan dan kebingungan berjalan dalam gelap. Ketika ingin keluar, semua pintu telah ditutup, tidak ada yang mau menunjukkan ke mana jalan yang harus dilalui sehingga akhirnya terpaksa ikut rombongan karyawan yang pulang melewati lorong darurat. Penderitaan belum berakhir, dengan barang bawaan yang cukup banyak terpaksa masih harus berjalan jauh melewati jalur tikus lainnya menuju ke tempat parkir. Masih untung kalau lokasi parkirnya juga belum digembok oleh satpam. Ketika kami berkunjung ke sebuah lokasi wisata Kamakura dua jam dari Tokyo, beberapa kesan pelayanan juga kami alami. Di sebuah toko kelontong, pemiliknya sepasang suami isteri yang sudah sangat berumur terlihat masih bersemangat dan dengan tekun melayani pengunjung. Tanpa diminta mau menjelaskan berbagai macam benda aneh yang dijual di tokonya, seperti jam pasir kayu ukuran mini yang betul-betul berfungsi (durasi 1 menit). Penjelasan dengan bahasa inggris terbata-bata tetap mereka berikan dengan senyuman. Kemudian pada saat makan malam kami memilih sebuah rumah makan sederhana di dekat stasiun. Ternyata seluruh awaknya adalah pemuda-pemuda yang dengan sigap bersemangat dan ramah melayani pengunjung. Jenis makanan yang kami pesan adalah sejenis martabak telor, namun harus dimasak sendiri. Karena kami kebingungan bagaimana cara masaknya, para pemuda yang melayani itu tidak segan membantu kami memberikan contoh bagaimana cara memasaknya bahkan memberikan beberapa trik. Dia bahkan menunggui kami sampai berhasil membuat masakan itu dan mau menyediakan tambahan telur yang kami minta.

Ilustrasi di atas adalah contoh nyata bagaimana budaya pelayanan sudah sedemikian dalam dihayati dan diamalkan oleh bangsa Jepang. Bukan hanya department store besar tetapi juga toko kelontong. Sikap ini ternyata diturunkan dari warga senior hingga ke generasi muda. Maka ketika minggu lalu Sony AK, sahabat saya, menyampaikan keluhan karena mendapat somasi dari Sony Corp salah satu ikon raksasa elektronik asal Jepang, saya merasa kaget. Bukan karena masalah substansi kasusnya karena sebenarnya sengketa domain itu biasa namun saya kaget mengingat ancaman tindakan hukum bukanlah budaya bisnis Jepang. Bahkan sangat bertentangan dengan etika yang mereka anut. Mereka memilih pendekatan kekeluargaan dan lebih baik memberikan kompensasi daripada cari ribut. Terutama para manajemen senior, umumnya tidak menyukai kontroversi apalagi sampai di ranah publik. Mereka lebih khawatir cedera kehormatan dan mendapat malu daripada kerugian. Karena itu, permasalahan hukum sengketa bisnis sangat jarang terjadi di Jepang. Apalagi kepada pihak konsumen atau individu yang dianggap merugikan. Tindakan hukum jelas bukan pilihan. Dunia bisnis Jepang selalu mengingat pengalaman buruk di masa lalu dan mengambil suatu sikap yang tegas dan antisipatif untuk mencegah hal sama terulang. Kasus Aji No Moto yang diduga mengandung lemak babi menjadi pelajaran yang sangat berharga. Sony Corp sendiri punya pengalaman buruk ketika produknya sempat diboikot beberapa tahun yang lalu saat menutup pabriknya di Indonesia. Apalagi secara emosional, seringkali pada akhirnya produk Jepang akan dikaitkan dengan praktek imperialisme di masa lalu yaitu ketika Perang Dunia II dan sebelumnya. Perusahaan Jepang sepenuhnya menyadari sentimen psikologis ini di semua negara kawasan Asia Pasifik. Hal ini akan selalu menjadi pertimbangan serius apalagi Indonesia adalah salah satu pasar utama dan terpenting ditengah persaingan dengan China. Secara spesifik, dalam kasus sengketa domain, walaupun Sony Corp dalam beberapa tahun belakangan telah menghadapi 19 kasus hukum sejenis, namun mereka tetap memperhatikan dampak yang diakibatkan oleh kasus Nissan vs Nissan di Amerika. Kemerosotan penjualan produk Nissan di Amerika tidaklah sebanding dengan kepentingan atas domain dan merek tersebut. Fakta bahwa Nissan tidak sepenuhnya diakui sebagai brand Jepang tidaklah serta merta menghilangkan dampak sentimen psikologis beban sejarah masa lalu bangsa Jepang. Artinya dalam kasus Sony vs Sony ini, bisa jadi Sony Corp tidak ingin mengulang blunder yang dilakukan Nissan apalagi secara hukum kemungkinan menang sangat kecil. Potensi risiko yang akan dialami seperti kemungkinan mendapat somasi perlawanan, boikot produk hingga tekanan internal dari pebisnis Jepang lainnya seandainya kasus ini meluas menjadi gerakan anti produk Jepang, akan jauh lebih besar dan tidak sebanding dengan nilai nama domain itu sendiri, apalagi Sony Corp sudah memiliki domain resmi sendiri.

Beda situasi dengan Nissan yang belum memiliki domain resmi dan terlanjur digunakan oleh pihak lain. Maka tindakan Sony Corp yang langsung meminta maaf kepada Sony AK dan menghentikan kuasa hukumnya sesungguhnya adalah sikap yang sejati, sesuai dengan budaya bisnis yang dianut oleh bangsa Jepang. Walau seharusnya tindakan itu dapat dilakukan lebih cepat yaitu akhir pekan lalu sebelum kerusakan serius benar-benar terjadi. Saat ini, ketika lebih dari 15 ribu dukungan terhadap Sony AK telah diperoleh di Facebook dan internet, juga diberitakan luas oleh semua media nasional, maka sebenarnya untuk memulihkan kredibilitas Sony Corp sudah sepantasnya apabila disampaikan permintaan maaf yang lebih terbuka kepada publik. Pelajaran terpenting dari kasus ini adalah sudah sepatutnya kita meniru budaya malu serta integritas bangsa Jepang dalam memberikan pelayanan dan penghormatan terhadap pasar. Termasuk penghargaannya terhadap karya bangsa sendiri dan kecintaannya menggunakan produk lokal, betapapun mahalnya. Sebab dengan cara itulah bangsa Jepang mampu untuk bangkit dari keterpurukan masa lalu. Karena loyalitas konsumennya maka semua produsen Jepang bisa melakukan improvement terhadap produknya yang semula berkualitas rendah menjadi terpacu semakin baik hingga tak tertandingi. Karena kepercayaan segenap bangsa.

Presiden Yudhoyono dan PM Jepang Bertemu

Nusa Dua, (ANTARA News) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Jepang Yukio Hatoyama, Kamis pagi, mengadakan pertemuan di Nusa Dua, Bali, untuk membicarakan peningkatan hubungan bilateral serta membahas masalah-masalah regional dan internasional. Presiden Yudhoyono tiba di ruangan sebuah hotel di Nusa Dua pada pukul 08.30 Wita, sementara itu PM Hatoyama tiba di ruangan pertemuan pada pukul 08.45 Wita. Sebelum mengadakan pembicaraan, kedua kepala pemerintahan tersebut berfoto bersama di depan puluhan wartawan foto serta juru kamera televisi. Dalam pertemuan itu, Kepala Negara didampingi Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Gumelar, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring, Menteri Negara Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta serta Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh. Yudhoyono dan Hatoyama berada di Bali untuk menjadi ketua bersama pertemuan dua hari Forum Demokrasi Bali (Bali Democratic Forum). Presiden Yudhoyono pada pukul 10.00 Wita akan membuka Forum Demokrasi Bali di Nusa Dua yang akan berlangsung hingga Jumat (11/12). Pertemuan di Bali itu diikuti 36 negara antara lain Portugal, Amerika Serikat, Maladewa, dan sembilan negara ASEAN kecuali Kamboja. Pertemuan Forum Demokrasi Bali itu merupakan yang kedua setelah pertemuan pertama pada Desember 2008. Dalam pertemuan itu para peserta akan membahas upaya-upaya peningkatan demokrasi di negara-negara mereka. Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan kepada pers bahwa di antara negara-negara peserta ada yang sudah memiliki aspirasi untuk mengembangkan demokrasi di negara mereka, namun perwujudan peningkatan demokrasi belum berjalan secara maksimal. Di antatara negara-negara peserta ada yang sudah aspiratif untuk meningkatkan demokrasi di negara mereka, kata Marty sambil memberi contoh Maladewa. Usai pertemuan tingkat tinggi antara Presiden Yudhoyono dengan PM Hatoyama, Menlu Marty dan Dubes Jepang Kojiro Shiojori akan menandatangani tiga nota kesepahaman (MoU) yang merupakan perwujudan dari bantuan resmi pembangunan (Official Development Assistance).

Berdasarkan tiga MoU tersebut, pemerintah Jepang akan memberikan bantuan kepada Indonesia bagi pembangunan sejumlah jembatan di Pulau Nias dan Nusa Tenggara Barat, serta menyalurkan pinjaman yang merupakan stimulus bagi pembangunan ekonomi Indonesia.

Apa Soto Hawai Juga Mau Diklaim?


Kelompok Kiai Kanjeng pimpinan Emha Ainun Nadjib mengajak tiga biarawati dari Gereja Albertus Agung Jetis, Yogyakarta. GRESIK, KOMPAS.com- Budayawan Emha Ainun Nadjib menilai tindakan Malaysia mengakui beberapa budaya asli Indonesia sebagai miliknya itu salah klaim. "Ironisnya pemerintah Indonesia hingga kini belum memiliki kebijakan untuk menyelesaikannya," kata Cak Nun sapaan akrab Emha Ainun Nadjib, seusai tampil di alunalun Gresik bersama grup musik Kiai Kanjeng, Rabu (9/9). Cak Nun kemudian memberi contoh sederhana. Ada orang asli Lamongan menjual soto di Hawai. Ketika diidentifikasi secara hukum, sah lah apabila soto tersebut disebut Soto Hawai. Akan tetapi tentu saja salah jika soto tersebut diklaim milik Hawai. Sama kasusnya dengan klaim yang dilakukan Malaysia yang mengaku bahwa reog di Malaysia sah secara hukum apabila disebut Reog Malaysia. "Tidak menjadi masalah ketika Reog Malaysia copyright atau hak ciptanya Malaysia. Salahnya, ketika reog tersebut diklaim milik Malaysia. Reognya itu tetap milik Ponorogo," kata Cak Nun. Lebih lanjut Cak Nun menjelaskan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak memiliki kemampuan menyelesaikan kasus ini. Terbukti, ketika Cak Nun bertandang ke kediaman SBY di Cikeas Kabupaten Bogor, Jawa Barat, beberapa waktu lalu, SBY belum memiliki kebijakan. "Sudah saya cek ke Cikeas, Presiden menjawab, pihaknya belum mempunyai policy (kebijakan), sebab ini masalah hukum internasional," kata Cak Nun menirukan ucapan SBY. Cak Nun menilai kasus ini lebih dari sekadar hukum internasional, tapi masalah martabat bangsa Indonesia yang telah diinjak-injak. "Seorang lelaki menyatakan cintanya kepada seorang wanita saja ada puluhan cara, kenapa negara kita menghadapi kasus ini tidak punya cara," katanya. Menurut Cak Nun, setiap masalah harus merefleksikan kecerdasan untuk menentukan formula solusinya. Sayangnya, Cak Nun enggan ketika dimintai contoh kongkrit cara tersebut. "Jika saya diberi wewenang untuk menyelesaikan kasus Malaysia, saya bakal ngomong kepada pemberi wewenang tersebut bukan di forum ini," katanya

Anda mungkin juga menyukai