Anda di halaman 1dari 2

PIDANA MATI VS HAK ASAI MANUSIA

Efek jera yang kerap menjadi pertimbangan bukan alasan tepat pidana mati. Sistem pemidanaan modern harus mengarah pada kondisi perbaikan, bukan semangat balas dendam. Tidak ada studi empiris yang menunjukkan hukuman mati mengurangi angka kejahatan. Begitu juga sebaliknya. KONTROVERSI pidana mati di Indonesia akan terus menjadi perdebatan yang tiada henti. Pro dan kontra penerapan hukuman mati selalu bertarung di tingkatan masyarakat, antara kalangan yang setuju dengan alasan memberikan efek jera, maupun yang tidak setuju dengan argumentasi pelanggaran terhadap hak hidup seseorang. Dalam RUU KUHP masih dipertahankan hukuman mati karena lebih didasarkan pada pertimbangan mencari jalan tengah untuk pendukung dan penentang pidana mati di Indonesia, yang sama kuatnya. Penerapan hukuman mati di Indonesia merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda. Dasarnya adalah KUHP yang dulu bernama Wetboek van Strafrecht (W.v.S). Sejak 1870, Belanda telah menghapus hukuman mati di negaranya. Indonesia yang merupakan bekas jajahan, justru masih menerapkan hukuman mati. Secara hukum, hukuman mati tidak saja diatur dalam KUHP sebagai bagian dari tindak pidana umum, Pemerintah menerbitkan pula peraturan perundang-undangan lain, misalnya, UU tentang Pengadilan HAM, UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, UU tentang Narkotika, UU tentang Psikotropika, dan UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bagaimana relevansi penerapan hukuman mati dengan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM)? Pasalnya, Indonesia telah meratifikasi kovenan internasional Hak-Hak Sipil Dan Politik atau International Covenan on Civil an Political Rights (ICCPR) yakni diundangkan pada 28 Oktober 2005. Suatu negara yang telah meratifikasi kovenan internasional, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penegakan HAM harus disesuaikan dengan aturan yang ada di kovenan yang telah diratifikasi itu. Berdasarkan isi ICCPR, hak hidup seseorang adalah hak dalam jenis non-derogable, yaitu hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara peratifikasi. Dengan pengecualian, seseorang yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan crime againts humanity, dalam hal ini seperti genosida, trafficking, pembajakan dan terorisme dapat diterapkan hukuman mati bagi pelakunya, dan hukuman mati tidak boleh diterapkan kepada anak-anak dan perempuan yang sedang hamil. Merujuk batasan dalam menerapkan hukuman mati yang diatur dalam kovenan ICCPR, pidana mati tidak sesuai jika diterapkan pada tindak pidana narkotika, psikotropika, pembunuhan maupun terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Pidana mati dalam praktiknya sangat bertentangan dengan HAM, bila seseorang telah mendapatkan vonis hukuman mati tapi tidak segera dieksekusi, malah menjalani hukuman penjara selama 20 puluh tahun baru dieksekusi mati. Efek jera yang kerap menjadi pertimbangan bukan alasan tepat pidana mati. Sistem pemidanaan modern harus mengarah pada kondisi perbaikan, bukan semangat balas dendam. Tidak ada studi empiris yang menunjukkan hukuman mati mengurangi angka kejahatan. Begitu juga sebaliknya.

Oleh MN Misbahuddin Mahasiswa Fakultas Hukum Jurusan Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Anda mungkin juga menyukai