Anda di halaman 1dari 2

Pada suatu hari, seekor ular muda nan jelita mandi di tepi sebuah danau.

Usai ma ndi, dia berbaring di sebuah karang yang hangat untuk mengeringkan tubuhnya dan mulai bersolek. Seekor lalat yang sedang terbang memandang ke bawah, melihatnya dan berkomentar, Duhai, cemerlang benar sisik di tubuhmu diterpa sinar matahari. Engkau nampak begitu mengkilap dan bersih. Kau sungguh ular yang cantik. Karena merasa malu dan jengah, dengan cepat sang ular menggeser tubuhnya untuk b ersembunyi. Ketika dilihatnya tidak jauh dari situ ada sebuah gubuk, dia menghil ang melewati rumput ilalang. Dia tidak sadar bahwa gubuk tersebut adalah rumah p enyihir desa itu. Karena merasa takut dengan kedatangan seekor ular, penyihir te rsebut meraih genderangnya dan mulai menabuhnya bertalu-talu bermaksud menakut-n akuti ular tersebut. Sementara itu, seekor kura-kura sedang berlenggang menyeberangi lapangan dekat g ubuk sang penyihir. Mendengar irama genderang yang berirama tersebut, sang kurakura mulai menari. Seekor gajah, yang melihat kelakuan tidak wajar sahabatnya it u, yang biasanya diam, segera berdiri di atas punggung kura-kura. Kura-kura ters ebut mengeluarkan api, dan api tersebut menyulut gubuk sang penyihir yang terbua t dari rumput-rumput kering. Asap hitam membubung ke angkasa, menutupi desahingg a menjadi gelap. Dan dengan cepat turunlah hujan yang amat deras yang hanya berl angsung sekejap, dan digantikan sinar matahari yang hangat dan kering. Ibu semut, yang melihat cuaca menjadi cerah setelah diguyur hujan, merasa inilah kesempatan yang baik untuk mengeringkan telur-telurnya. Dia menaburkan telur-te lurnya dibawah hangatnya mentari. Seekor trenggiling, begitu melihat ada kesempa tan makan besar, segera melahap telur-telur semut tersebut. Ibu semut memjahijaukan trenggiling. Dalam upayanya mendapatkan ganti rugi dibaw ah hukum setempat, dia mendatangi hakim hutan, sang raja hutan, dan menjelaskan masalahnya. Singa, sang raja hutan, mengadakan sidang. Dia memanggil semua pihak yang terlibat. Pertama-tama, dia bertanya pada trenggiling, Wahai trenggiling, mengapa engkau me makan telur-telur ibu semut ini? Begini, jawab trenggiling, makanan saya ini semut, Yang Mulia. Itulah peran saya, t akdir saya, saya Cuma melakukan apa yang sudah menjadi sifat saya. Alternatif ap a lagi yang ada bagi saya ketika ibu semut menebarkan telur-telurnya yang menggi urkan di depan saya? Siapa yang tidak tergoda?. Kemudian singa berbalik kepada ibu semut, sambil berkata, Ibu, mengapa Anda meneb arkan telur di tempat yang menggoda trenggiling? Saya tidak bermaksud menggoda Trenggiling, wahai Raja Hutan. Anda tentu paham bah wa saya takan begitu tega melakukan hal seperti itu terhadap telur-telur saya. A kan tetapi, apa lagi yang bisa saya lakukan untuk merawat anak-anak saya? jawab i bu semut. Mereka basah kuyup setelah hujan turun dengan derasnya. Mereka harus di keringkan dan matahari saat itu bersinar dengan hangatnya. Sambil menatap matahari, Singa meneruskan penyelidikannya, Wahai matahari, kenapa kamu bersinar? Lha Saya bagaimana? tanya matahari. Itu sudah tugas saya, sebelumnya hujan turun den gan derasnya, seperti sudah umum diketahui, matahari harus mengikuti hujan. Jan, hujan, kenapa kamu turun saat itu? tanya singa dalam upayanya mencari kebenar an. Saya ini bisa apa, yang mulia? jawab hujan. Gubuk sang penyihir terbakar, dan selur uh desa terancam binasa. Saya ingin menolong. Wahai gubuk, kenapa kenapa kamu kok terbakar segala? Saya tidak bisa berbuat apa-apa begitu kur-kura mengeluarkan api pada saya, jawab arang bekas gubuk yang terbakar. Saya terbuat dari rerumputan. Saya sudah berdiri di sini bertahun-tahun. Tubuh saya sangat kering dan saya tidak berdaya melakuk an perlawanan. Nah, kura-kura, mengapa engkau mengeluarkan apimu? tanya sang raja hutan. Hanya itu yang saya bisa, tuan hakim. Si gajah berdiri di atas punggung saya, den gan tubuhnya yang berat itu nyawa saya terancam. Saya harus melakukan sesuatu un tuk menyelamatkan diri. Singa mendongak memandang gajah, Coba katakan padaku Jah, mengapa engkau menginja k kura-kura? Saya harus bagaimana lagi? tanya gajah. Kura-kura ini menari seperti orang gila. Ke

lakuannya sungguh tidak pantas dan tidak cocok untuk seekor kura-kura. Saya piki r dia sudah gila. Saya tidak bermaksud menyakiti sahabat saya. Saya hanya ingin menenangkan suasana hatinya yang kacau. Singa menoleh kembali kepada kura-kura. Apa yang menyebabkan engkau menari bak or ang kesurupan? Saya harus bagaimana lagi? Penyihir desa menabuh genderangnya dengan irama yang i ndah. Saya tidak punya pilihan, saya harus bergoyang. Jawab kura-kura. Penyihir, mengapa engkau menabuh genderangmu? tanya sang raja hutan kepada penyihi r. Sang penyihir menjawab, Apa yang bisa saya lakukan ketika seekor ular masuk ke gu buk saya?ular itu membuat saya takut. Ia berbahaya. Binatang melata adalah repre sentasi kekuatan jahat dan alamat buruk. Saya harus mengusir kehadiran kekuatan jahat dari rumah saya. Ular, tanya tanya raja hutan, yang dengan sabar menyanyai begitu banyak saksi. Meng apa engkau memasuki gubuk penyihir? Apa yang bisa saya lakukan? jawab ular. Lalat membuat saya malu dengan pujian yang dia lontarkan kepada saya. Bagaimanapun saya harus bersembunyi di suatu tempat, dan gubuk penyihir adalah tempat terdekat. Akhirnya, Singa beralih ke lalat. Wahai lalat, mengapa engkau memuji ular? Lalat tidak menjawab pertanyaan raja hutan, tetapi malah menengok kepada ular da n berkata : Apa ? Tidak tahukah kamu bagaimana cara menerima pujian ?

Anda mungkin juga menyukai