Anda di halaman 1dari 17

BAB I PENDAHULUAN

Tuberkulosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis. Basil ini ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada tahun 1882. TB adalah penyakit infeksi kronis menular yang masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Dunia termasuk Indonesia. (Global epidemic). WHO menyatakan terdapat 22 negara dikategorikan sebagai negara dengan resiko tinggi terhadap TB. Laporan WHO dalam Global Report 2009, menyebut Indonesia tahun 2008 berada pada peringkat 5 dunia penderita TB (Tuberkulosis) terbanyak setelah India, China, Afrika Selatan dan Nigeria. Indonesia berhasil melepaskan diri dari ancaman persebaran penyakit Tuberculosis (TB). Setelah 10 tahun menduduki peringkat ketiga dunia untuk jumlah penderita TB, pada 2011 Indonesia masih pada peringkat kelima. Estimasi insiden TB menular (BTA +) di Indonesia adalah 107 per 100.000 penduduk untuk tahun 2004 sedangkan untuk tahun yang sama prevalensi TB adalah 110 per 100.000 penduduk (survey Prevalen Nasional 2004) (1). Dari hasil evaluasi bersama Indonesia - WHO pada tahun 1994, disimpulkan bahwa di Indonesia terdapat 500.000 penderita TB-Paru-baru setiap tahunnya dengan kematian 175.000 penderita per tahun dan terdapat 260.000 penderita yang tidak terdiagnosis setiap tahunnya. Karena pengobatan yang tidak adekuat, diperkirakan terdapat 560.000 penderita TBP kronik yang merupakan sumber penularan di masyarakat. Pengobatan penderita yang tidak adekuat merupakan salah satu penyebab M. tuberculosis menjadi resisten terhadap satu atau lebih OAT. Kuman yang resisten atau resisten multipel sulit diobati dengan kombinasi OAT biasa. Untuk penderita demikian kombinasi OAT sebaiknya didasarkan pada hasil uji kepekaan. Salah satu faktor penting dalam keberhasilan pengobatan tuberkulosis adalah ada tidaknya resistensi kuman terhadap obat anti tuberkulosis (OAT). Penilaian terhadap kemungkinan resistensi obat harus dilakukan pada semua pasien yang beresiko tinggi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, pajanan terhadap kasus obat yang sudah resisten dan prevalensi resistensi obat pada masyarakat. Pada pasien dengan kemungkinan MDR, pemeriksaan biakan dan uji sensitifitas terhadap INH, Rifampisin dan etambutol harus
1

dilakukan secara tepat. Gambaran resistensi primer dan sekunder juga akan ikut berpengaruh baik pada keberhasilan terapi sampai kemungkinan penentuan rejimen obat dalam suatu kelompok masyarakat.. Untuk memulai pengobatan diperlukan diagnosis yang akurat. Pengobatan yang tidak berdasarkan pada diagnosis yang akurat akan merugikan semua pihak. Pada saat ini, diagnosis TB paru dewasa masih bertumpu pada penmeriksaan mikroskopik dan kultur M. Tuberculosis. World Health Organization and United States Centers fo Disease Control and Prevention menyatakan pada maret 2006 bahwa XDR-TB sebagai masalah serius dan membutuhkan tindakan penanggulangan segera karena berdampak besar terhadap masyarakat dan kontrol TB dunia.1

BAB II PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI RESISTENSI OBAT Menurut Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru 2010 Departemen Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR-RSUD Dr. Soetomo2

Mono-resitance: kekebalan terhadap salah satu OAT lini pertama Polyresistance: kekebalan terhadap lebih dari satu OAT lini pertama, tapi tidak resisten terhadap INH dan Rifampisin secara bersama-sama Multidrug-resistance (MDR): kekebalan terhadap sekurang-kurangnya

isoniazid dan rifampicin. Secara singkat MDR-TB adalah resistensi terhadap INH dan rifampisin secara bersama dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain. Extensive drug-resitance (XDR): selain MDR-TB, juga terjadi kekebalan terhadap salah satu obat golongan florokuinolon sebagai OAT lini kedua (kapreomisin, amikasin dan kanamisin). Totally drug resistance : resistensi total ini dikenal dengan istilah super XDRTB, yaitu didefinisikan dengan kuman yang sudah resisten dengan seluruh OAT lini pertama (INH, rifampisin, etambutol, streptomisin, pirazinamid) dan OAT lini kedua (amikasin, kanamisin, kapreomisin, florokuinolon, tionamid, PAS).

Menurut WHO

dalam Multidrugs and Extensively Drug Resistant

Tuberculosis 2010 Global Report on Surveillance and Response3

MDR-TB (multidrug-resitant tuberculosis) didefinisikan sebagai tuberculosis yang disebabkan kuman strain mycobacterium tuberculosis yang resisten paling sedikit terhadap isoniazid dan rifampisin

XDR-TB (extensively drug-resistant tuberculosis) didefinisikan sebagai MDR TB (multidrug resistant tubercolis) ditambah resistensi terhadap golongan
3

floroquinolone dan paling sedikit satu obat injeksi lini kedua (amikasin, kanamisin dan atau kapreomisin)

2.2 EPIDEMIOLOGI

Dari Januari 2010, 58 negara telah melaporkan kepada WHO setidaknya terdapat 1 kasus XDR-TB. Di tahun 2008, 963 kasus XDR-TB dilaporkan pada WHO secara global dari 33 negara dibandingkan dengan 772 kasus dari 28 negara di tahun 2007. Banyak kasus XDR-TB diyakini tidak pernah terdiagnosa dihubungkan dengan lemahnya kapasitas laboratorium untuk menguji resistensi terhadap obat lini kedua. Dari 27 negara yang tinggi MDR-TB, hanya 2 (Estonia ddan Latvia) yang rutin menguji kasus MDR-TB untuk kerentanan obat lini kedua. 11 negara belum melaporkan kasus XDR-TB, dikarenakan kurangnya kapasitas laboratorium dibandingkan ketiadaan strain XDR-TB.3 Dulu, MDR juga dimulai dengan hanya terjadi di Sovyet saja, sekarang di dunia ada 425.000 kasus baru MDR setahunnya, termasuk di Indonesia. Sekarang XDR baru ada di beberapa negara, kita tidak tahu bagaimana perkembangannya kelak, apakah akan masuk negara kita juga atau tidak. Juga dilaporkan ada kuman TBC strain Beijing yang ternyata mudah MDR, dan mungkin juga mudah XDR.1

2.3 PENYEBAB RESISTENSI OBAT-TB

Penyebab resistensi obat TB atau drug-resistant TB (DR-TB) secara umum dapat terbagi menjadi 3 faktor, yaitu yang pertama faktor kuman, kedua klinis dan ketiga program. Bagaimanapun DR-TB pada dasarnya adalah suatu fenomena yang terjadi oleh karena perbuatan manusia sendiri (man made phenomenoa). Pada perspektif kuman, DR-TB terjadi oleh karena adanya mutasi genetik yang menimbulkan obat tidak efektif melawan kuman yang mengalami mutasi. Dari perspektif klinis dan program, DR-TB terjadi karena terapi yang tidak memadai/ adekuat atau kurang baik.4

Pada awalnya, resistensi obat TB dapat terjadi oleh karena kesalahan manusia (human error) yaitu meliputi kesalahan dalam penatalaksanaan kasus, manajemen logistik, peresepan obat. Beberapa human error yang sering terjadi terjadi antara lain ialah: a. b. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan TB Pemberian obat yang tidak adekuat (tidak teratur, dosis kurang, waktu yang tidak tepat) c. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya dilakukan tidak dengan baik sehingga mengganggu biovaibilitas obat d. e. Penyediaan obat yang tidak teratur Pengetahuan penderita yang minimal tentang penyakit TB akibat tidak ada/ kurangnya KIE dari provider terhadap penderita tersebut4

Jadi terdapat 3 faktor utama penyebab terjadinya pengobatan TB yang tidak adekuat yang pada akhirnya memudahkan terjadinya kasus resistensi obat TB, yaitu: 1. 2. 3. Faktor penyedia sarana dan prasarana kesehatan Faktor obat Faktor pasien sendiri2

Penyebab terapi OAT tidak adekuat2 Penyelenggara kesehatan: Obat: (ketersediaan/kualitas Pasien: konsumsi obat yang yang tidak adekuat) adanya yang adanya Kualitas yang buruk Ketidaktersediaan beberapa obat Penyimpanan buruk Kesalahan kombinasi dosis/ yang tidak adekuat Kepatuhan buruk Kurangnya informasi Kurangnya biaya Kekurangan transportasi Efek samping obat Hambatan sosial malabsorbsi yang

regimen yang tidak adekuat Pedoman yang tidak sesuai Tidak pedoman Pelatihan kurang Tidak pengawasan pengobatan

2.4 MEKANISME RESISTENSI OBAT

Antimikroba membutuhkan suasana optimal saat bakteri bereplikasi sehingga pada keadaan inaktif terdapat resistensi. Organisme dalam keadaan resisten ini tidak dapat dibasmi dengan antimikroba namun jika berkembang biak menjadi peka. Penyebab resistensi obat secara umum bisa dibedakan secara genetik dan non genetik. Secara genetik resistensi dibagi menjadi resistensi kromosomal dan

ekstrakromosomal. Resistensi kromosomal terjadi akibat mutasi spontan dalam lokus yang mengontrol kepekaan terhadap obat yang diberikan. Resistensi

ekstrakromosomal berhubungan dengan plasmid. Gen plasmid dapat mengontrol pembentukan enzim yang mampu merusak antimikroba. Mekanisme berbagai OA T diterangkan secara singkat sebagai berikut:4

Rifampisin Rifampisin memiliki efek bakterisid kuat saat bakteri aktif membelah maupun saat tidak aktif. Rifampisin bekerja secara spesifik mengikat subunit enzim RNA

polimerase menyebabkan hambatan pada proses transkipsi. Mekanisme resistensi terhadap rifampisin didasari terjadinya mutasi spesifik gen rpo ( penyandi unit

enzim RNA polimerase) sehingga terjadi perubahan konformasi protein sub unit menurunkan afinitas ikatan rifampisin terhadap enzim polimerase. Resistensi ini terjadi pada 1 dalam 107- 108 populasi dan saat ini ditemukan pada lebih 95% isolat klinis M.Tb. Data di Inggris menyebutkan lebih 90% resistensi tehadap rifampisin disertai resistensi INH. Mutasi umumnya terjadi pada high level resistance (Minimum Inhibitory Concentration (MIC) > 32g/ml) dan umumnya berhubungan dengan resistensi terhadap semua golongan rifampisin (rifampin, rifapentin dan rifabutin). Isoniazid Obat ini merupakan OAT lini yang mulai diperkenalkan tahun 1952 dan merupakan OAT utama karena memiliki efek bakterisid yang kuat. Isoniazid dapat masuk ke dalam sel M.Tb dengan MIC 0,02 0,2 g/ml. Zhang dkk berhasil mengkloning gen Kat G dari M.Tb dan memperlihatkan bahwa mutasi pada Kat G akan menimbulkan resistensi terhadap INH. Delesi gen Kat G terjadi pada 2 dari 8 isolat klinis M.Tb. Resistensi terhadap INH juga dipengaruhi oleh gen lain yaitu Inh A, kasa A, ndh dan ahpc serta banyak gen lain. Mutasi InhA terdapat pada 15-34%

strain dengan low level MIC (0,2-1g/ml) dan juga berhubungan dengan resistensi terhadap etambutol dan etionamid. Pirazinamid Pirazinamid aktif hanya terhadap M.Tb dan M. africanum. Mekanisme kerja pirazinamid belum sepenuhnya dimengerti. Pirazinamid memasuki M.Tb dengan cara difusi pasif, diubah menjadi pyrazinoic acid oleh enzim pirazinamidase kemudian dieksresi dengan efek pump lemah. Protonated pyrazinoic acid kemudian diabsorpsi ke dalam basil dalam kondisi asam dan terjadi akumulasi karena ekskresi tidak efisien menyebabkan kerusakan sel basil. Resistensi terhadap pirazinamid berhubungan dengan mutasi gen pncA (penyandi enzim piramidase yang menghiddrolisis pirazinamid menjadi bentuk aktif). Etambutol Obat ini menghambat arabinogalaktan, polisakarida penting dinding sel mikobakterium. Mutasi paling sering terjadi pada kodon 306 dari Emb (penyandi arabinoyltransferase) meskipun hal ini juga terjadi pada residu asam amino Asp328, Gly 406 dan Glu 49. Penelitian di Rusia menunjukkan bahwa mutasi Emb 406 tidak hanya terdeteksi pada 48,3% strain resisten namun juga pada 31,2% strain sensitif. Meskipun telah banyak ditemukan gen baru yang berhubungan dengan resistensi terhadap etambutol namun 24% diantaranya tidak didapatkan mutasi. Diperlukan penelitian genetik dan biokimia lebih lanjut untuk konfirmasi berbagai gen lain yang mungkin terlibat. Streptomisin Obat injeksi utama OAT adalah streptomisin dan pilihan selanjutnya adalah kanamisin dan amikasin. Mekanisme kerja ketiganya adalah dengan mengganggu proses translasi sehingga terjadi gangguan sintesis protein yang berakhir dengan kematian organisme. Streptomisin berkaitan langsung dengan proses pembentukan protein tetapi juga berefek pada kerusakan membran sel, inhibisi pada proses respirasi sel serta merangsang pembentukan RNA. Streptomisin dapat menyebabkan miscoding kode genetik. Tempat kerja streptomisin DNA pada ribosom subunit S12 terutama protein ribosom 12S dan 16S rRNA. Florokuinolon Florokuinolon generasi akhir yaitu gafloksasin dan moksifloksasin

mempunyai aktivitas invitro dan invivo yang baik terhadap M.Tb. Aktivitas awalnya tidak berbeda bermakna dengan INH dan secara keseluruhan aktivitas dapat
7

menyamai rifampisin. Beberapa penelitian melaporkan fklorokuinolon tidak memiliki efek letal sebagai OAT dan lebih efektif bila dikombinasi dengan OAT lain. Target kerja florokuinolon pada enzim yang berperan untuk masih topologi DNA yaitu DNA topoisomerase terutama gyrase. Resistensi sering terjadi akibat mutasi pada gen gyr A, gyr B yaitu penyandi DNA gyrase subunit A dan B serta gen ifr A.

2.5 PENULARAN

XDR-TB dapat ditularkan melalui bakteri yang disebarkan oleh orang yang sudah terkena resistensi obat. Jalan kedua perkembangan MDR atau XDR-TB adalah dari pasien sendiri yang berkembang menjadi resisten. Hal ini dapat terjadi pada putus obat OAT atau pengobatan tidak terkontrol. Ditemukan juga apabila program kontrol TB tidak dikelola dengan baik, contohnya saat pasien tidak didukung untuk mendapatkan pengobatan yang tuntas, penyedia sarana kesehatan memberi pengobatan yang salah, dosis yang salah atau periode pengobatan yang terlalu singkat, ketersediaan obat yang terbatas, atau kualitas obat yang buruk. Tidak ada perbedaan penyebaran XDR-TB dengan bentuk TB yang lain. Penyebaran bakteri TB bergantung dari beberapa faktor yaitu jumlah dan konsentrasi orang terinfeksi hidup di lingkungan yang sama dengan terdapatnya orang yang beresiko terkena TB (misalnya orang dengan HIV-AIDS) Resiko penyebaran kuman TB meningkat dimana terdapat konsentrasi bakteri TB yang tinggi, misalnya di lingkungan tertutup dan padat, rumah sakit, atau penjara. Resiko akan lebih tinggi dengan ventilasi yang buruk.5

2.6. DIAGNOSIS Resistensi obat berhubungan dengan riwayat pengobatan sebelumnya. Kemungkinan terjadi resistensi pada pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah sebesar 4 kali lipat, sedangkan untuk terjadinya MDR-TB sebesar 10 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan pasien yang belum pernah diobati. Diagnosis MDRTB ditegakkan dengan uji sensitiviti obat atau drug susceptibility testing (DST), bukan sekedar berdasarkan gambaran foto toraks dan adanya faktor resiko yang ada pada seseorang. Pemilihan pasien yang akan dilakukan DST di negara dimana sumber daya tersedia, maka semua pasien TB akan dilakukan DST pada saat pengobatan TB
8

dimulai. Akan tetapi, di negara dengan sumber daya yang terbatas, pemilihan pasien yang akan dilakukan DST untuk menegakkan diagnosis MDR-TB didasarkan indikasi. Pasien suspek MDR-TB akan dilakukan kultur dan DST. Untuk itu WHO 2008 guidelines mengindikasikan kelompok populasi yang dicurigai sebagai penderita MDR-TB adalah pasien dengan faktor resiko resisten terhadap obat TB sebagai berikut: Di Indonesia, mengadopsi dari WHO 2008 guidelines di atas, saat ini kelompok individu yang diperlukan DST sebagai pasien suspek MDR-TB adalah kelompok yang beresiko tinggi, yaitu: 1. Individu yang mengalami gagal terapi setelah retreatment dan kasus kron ik, dimana kelompok ini memiliki angka tertinggi (80%) menempati kasus MDRTB 2. Individu yang gagal terapi dengan OAT kategori 2 (sputum tetap positif pada bulan ketiga) 3. Individu yang diterapi OAT tetapi sputum tetap positif pada bulan ketiga setelah pemberian sisipan pada kategori 1 4. Individu yang kembali setelah drop out pada pengobatan kategori 1 atau kategori 2 5. Memiliki riwayat pengobatan TB yang tidak adekuat, bukan DOTS atau managemen yang buruk. 6. 7. 8. Tinggal di daerah yang kasus MDR-TB tinggi Kasus TB kambuh (kategori 1 atau kategori 2) Individu yang memiliki keluhan TB dan kontak erat dengan penderita MDRTB, termasuk petugas kesehatan yang kontak erat dengan penderita MDR-TB. 9. Memiliki kondisi ko-morbid dengan MDR-TB, malabsorbsi atau rapid transit diare. 10. Individu dengan infeksi HIV.2

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya.2

PENATALAKSANAAN

Resistensi terhadap OAT merupakan masalah besar dalam penanggulangan TB saat ini. Pemberian OAT yang benar dan terawasi secara baik merupakan salah satu kunci keberhasilan mencegah dan mengatasi masalah ini. Konsep Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) yang kemudian dikembangkan menjadi DOTS-plus merupakan salah satu upaya penting dalam menjamin keteraturan berobat dan menanggulangi masalah resistensi M.Tb terhadap OAT. Saat ini belum terdapat rekomendasi rejimen OAT yang direkomendasikan untuk kasus XDR-TB. 4 Dalam pengobatan MDR-TB teruitama untuk keperluan membuat regimen obatobat anti TB, WHO guidelines membagi obat MDR-TB menjadi lima group berdasarkan potensi dan efikasinya, sebagai berikut. Klasifikasi OAT yang dipergunakan dalam pengobatan TB MDR dibagi dalam 5 kelompok berdasarkan potensi dan efikasinya, yaitu: a. Group pertama : semua obat oral lini pertama yang terbukti sensitif seyogyanya digunakan, karena paling efektif dan dapat ditoleransi dengan baik. Obat ini sebaiknya digunakan dengan dosis maksimal. Pirazinamid dan etambutol, karena paling efektif dan dapat ditoleransi dengan baik b. Kelompok kedua : obat injeksi bersifat bakterisidal, kanamisin atau amikasin, jika alergi diganti kapreomisin, viomisin. Golongan obat ini merupakan komponen yang krusial dalam regimen pengobatan MDR-TB. Semua pasien diberikan injeksi sampai jumlah kuman dibuktikan rendah yaitu melalui hasil kultur negatif. Penelitian ini di peru dibuktikan selama 6 bulan pengobatan. c. Kelompok ketiga : florokuinolon, merupakan obat bakterisidal tinggi. Semua pasien yang sensitif terhadap group ini , harus mendapat kuinolon dalam regimennya. Kelompok ini misalnya: levofloksasin, moksifloksasin, ofloksasin. d. Kelompok keempat : merupakan obat bakteriostatik lini kedua. Golongan obat ini mempunyai toleransi tidak sebaik obat-obat oral lini pertama dan kuinolon e. Kelompok kelima : obat yang belum jelas efikasinya, amoksisilin + asam klavulanat, makrolide baru (klaritromisin), dan linezolid WHO guidelines 2008 membuat pentahapan dalam membuat regimen untuk pengobatan MDR-TB Tahap 1 : gunakan obat dari lini pertama yang manapun yang masih menunjukkan efikasi
10

Tahap 2 : tambahkan obat di atas dengan salah satu golongan obat injeksi berdasarkan hasil uji sensititivitas dan riwayat pengobatan Tahap 3: tambahkan obat-obat di atas dengan salah satu obat golongan florokuinolon Tahap 4 : tambahkan obat-obat tersebut diatas dengan satu atau lebih dari obat golongan 4 sampai sekurang-kurangnya sudah tersedia 4 obat yang mungkin efektif Tahap 5: pertimbangkan menambahkan sekurang-kurangnya 2 obat dari golongan 5 (melalui proses konsultasi dengan pakar MDR-TB) apabila dirasakan belum ada 4 obat yang efektif dari golongan 1 sampai 4. 2 Rekomendasi strategi penatalaksanaan XDR-TB berdasarkan pedoman WHO adalah: 1. Memperkuat penatalaksanaan dasar TB untuk mencegah resistensi 2. Menjamin diagnosis dan pengobatan yang tepat untuk kasus resistensi OAT untuk mencapai penyembuhan dan mencegah penularan strain resisten 3. Meningkatkan kolaborasi antara program kontrol TB dan HIV supaya didapatkan program pencegahan dan dan pengobatan yang tepat untuk kasus ko -infeksi TB dan HIV. 4. Meningkatkan infrastuktur laboratorium supaya didapatkan deteksi dan

penatalaksanaan kasus resisten yang lebih baik. Berdasarkan protokol standar jika seorang pasien resisten terhadap semua OAT kecuali hanya 2 atau 3 OAT yang relatif lemah maka direkomendasikan tindakan bedah. Tindakan bedah tidak bisa dilakukan pada pasien keadaan tertentu seperti pasien dengan fungsi paru yang buruk atau kavitas yang sangat besar. Keadaan problematik seperti ini belum memiliki solusi yang efektif sampai saat ini. The WHO Global Task Force for XDR-TB di Jenewa 9-10 Oktober 2006 merumuskan 7 butir rekomendasi pencegahan dan kontrol XDR-TB sebagai berikut: 1. Pencegahan XDR-TB dengan memperkuat kontrol dasar terhadap TB dan HIV. Strategi baru dan perencanaan global stop TB sangat penting sebagai pedoman

intervensi utama ini 2. Peningkatan penatalaksanaan terhadap pasien suspek XDR-TB dengan

memperbanyak fasilitas laboratorium yang memadai, termasuk uji sensitivitas OAT yang cepat untuk mendeteksi strain MDR-TB baik di area prevalensi HIV tinggi maupun rendah.

11

3. Memperkuat penatalaksanaan XDR-TB dan rancangan pengobatan HIV positif dan negatif. Intervensi ini akan didasarkan atas penerapan protokol baru WHO untuk kasus TB resisten dengan OAT lini kedua yang adekuat dan pendekatan dan pengawasan individual. 4. Standarisasi definisi XDR-TB dan diharapkan penggunaan definisi baru secara global akan meningkatkan validasi data dan perbandingannya. 5. Peningkatan kontrol dan proteksi terhadap infeksi HIV. Intervensi ini dicapai melalui pencegahan penularan MDR-TB terutama pasien positif HIV terutama pada daerah prevalensi HIV tinggi. 6. Pelaksanaan surveillance XDR-TB segera sehingga dibutuhkan laboratorium rujukan nasional dan internasional untuk mencapai terselenggaranya survei global secepatnya mulai awal 2007. 7. Inisiasi aktivitas advokasi komunikasi dan mobilisasi sosial karena hal yang sangat penting adalah meningkatkan informasi dan kewaspadaan terhadap TB khususnya XDR-TB. 4

12

BAB III KESIMPULAN


TB adalah penyakit infeksi kronis menular yang masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Dunia termasuk Indonesia. (Global epidemic). Sebuah kategori baru telah diusulkan, resistan terhadap obat TB secara ekstensif (XDR-TB) didefinisikan sebagai MDR (resistensi paling tidak terhadap INH dan RMP) dalam kombinasi dengan resistensi terhadap Fluoroquinolones dan sedikitnya salah satu dari agen injeksi lini kedua Penyebab resistensi obat TB atau drug-resistant TB (DR-TB) secara umum dapat terbagi menjadi 3 faktor, yaitu yang pertama faktor kuman, kedua klinis dan ketiga program. . Mekanisme resistensi obat secara umum bisa dibedakan secara genetik dan non gen etik. Secara genetik resistensi dibagi menjadi resistensi kromosomal dan ekstrakromosomal. Resistensi kromosomal terjadi akibat mutasi spontan dalam lokus yang mengontrol kepekaan terhadap obat yang diberikan. Resistensi ekstrakromosomal berhubungan dengan plasmid. Gen plasmid dapat mengontrol pembentukan enzim yang mampu merusak antimikroba. XDR-TB dapat ditularkan melalui bakteri yang disebarkan oleh orang yang sudah terkena resistensi obat. Jalan kedua perkembangan MDR atau XDR-TB adalah dari pasien sendiri yang berkembang menjadi resisten. Diagnosis MDR-TB ditegakkan dengan uji sensitiviti obat atau drug susceptibility testing (DST), bukan sekedar berdasarkan gambaran foto toraks dan adanya faktor resiko yang ada pada seseorang. Saat ini belum terdapat rekomendasi rejimen OAT yang direkomendasikan untuk kasus XDR-TB.

13

DAFTAR PUSTAKA
1. Yusida, Niniek. Resistensi M. Tuberculosis terhadap Obat Anti Tuberkulosi. Jakarta : Balai Besar Pengobatan Paru Masyarakat. Surakarta. 2009. 2. Soedarsono. Multidrug-Resistant (MDR)-TB. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair RSUD Dr.Soetomo : 2010 : 27-36. 3. World Health Organization, Multidrug and extensively drug-resistant TB (M/XDRTB) . The WHO global report on surveillance and response. Genewa, World Health Organization, 2010. 4. Viska, Oke. Extensively drug-resistant tuberculosis (XDR-TB). Jurnal Tuberkulosis Indonesia. Vol. 5. Jakarta : PPDS I Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK UI R.S. Persahabatan : 2007. 5. Stop TB partnership, World Health Organization. Extensively drug-resistant tuberculosis (XDR-TB). World TB Day. 2007

14

REFARAT

XDR-TB

OLEH:

PUTRI AJENG AYU LARASATI 0561050039

PEMBIMBING: dr. JOHANNES, SpP

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA-RSU UKI PERIODE 7 MARET 30 APRIL 2011

JAKARTA

15

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul XDR-TB. Ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada dr. Johannes, SpP atas bimbingan dalam penulisan referat ini. Tujuan penulisan referat ini adalah dalam rangka memenuhi salah satu syarat kelulusan pada Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia-Rumah Sakit Umum Universitas Kristen Indonesia. Penulis menyadari referat ini masih memiliki kekurangan, untuk itu kritik dan saran penulis harapkan dalam rangka penyempurnaan penulisan referat ini. Semoga referat ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Jakarta, Maret 2011

Penulis

16

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................. ..........................................................i BAB I PENDAHULUAN......................................... ............................................................1 BAB II PEMBAHASAN...................................... .................................................................3 II.1. DEFINISI............................................................. ...............................................3 II.2. EPIDEMIOLOGI................................................................................................4 II.3. PENYEBAB RESISTENSI OBAT TB.......................................................... .....4 II.4.MEKANISME RESISTENSI OBAT TB.............................................................6 II.5. PENULARAN.....................................................................................................8 II.6. DIAGNOSIS.................... ....................................................................................8 II.7.PENATALAKSANAAN.....................................................................................10 BAB III. KESIMPULAN........................................... ............................................................13 DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................14

17

Anda mungkin juga menyukai