Anda di halaman 1dari 6

ANALISIS DENGAN KONSEP FILSAFAT HUKUM UNDANG-UNDANG 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK ---------------------------------------------------------------------untuk memenuhi tugas

semester Genap mata kuliah Filsafat Hukum Dosen Pengampu : Saru Arifin; Indah Sri Utari

oleh : Khanina 8111 409 171

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2011

Analisis dengan konsep filsafat hukum UU nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik :

A. ANALISIS FILOSOFIS

Undang-Undang No. 14 tahun 2008, tentang Keterbukaan Informasi Publik adalah salah satu produk hukum Indonesia yang dikeluarkan dalam tahun 2008 dan diundangkan pada tanggal 30 April 2008 dan mulai berlaku dua tahun setelah diundangkan. Undang-undang yang terdiri dari 64 pasal ini pada intinya memberikan kewajiban kepada setiap Badan Publik untuk membuka akses bagi setiap pemohon informasi publik untuk mendapatkan informasi publik, kecuali beberapa informasi tertentu. Undang-Undang ini bertujuan untuk : 1. menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik; 2. mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik; 3. meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik; 4. mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan; 5. mengetahui alasan kebijakan publik yang memengaruhi hajat hidup orang banyak; 6. mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/atau 7. meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas. Informasi yang dikecualikan dalam Undang-undang ini antara lain adalah Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat menghambat proses penegakan hukum;

Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat; Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara; Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia; Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik, dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional; Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik, dapat merugikan kepentingan hubungan luar negeri; Informasi Publik yang apabila dibuka dapat mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang;

Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengungkap rahasia pribadi; memorandum atau surat-surat antar Badan Publik atau intra Badan Publik, yang menurut sifatnya dirahasiakan kecuali atas putusan Komisi Informasi atau pengadilan; informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan Undang-Undang.

Sesungguhnya proses advokasi UU ini adalah perjalanan panjang yang cukup melelahkan. Setelah hampir 8 tahun sejak awal 2000, 42 koalisi LSM mendorong UU ini. Adalah Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), sebuah LSM yang bergerak di bidang kebijakan lingkungan, yang mengawali gagasan perlunya mendorong sebuah undang-undang yang mengadopsi prinsip-prinsip freedom of information.

B. Analisis Yuridis

Analisis Yuridis Dalam UU nomor 14 tahun 2008 terdapat pertentangan mengenai materi muatannya. Satu pihak yang mewakili penguasa informasi berkeingi nan agar materi informasi publik harus sesedikit mungkin (menganut regim pembatasan). Sementara dipihak lain publik masyarakat sebagai pihak yang berkepentingan atau berkeperluan dengan informasi menghendaki dapat memperoleh informasi sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya (regim kebebasan). Informasi publik, apabila mengambil pengertian yang diberikan oleh undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 2 adalah Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu Badan Publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan Badan Publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik. Namun apabila difahami dari sisi lain menurut pendapat saya istilah informasi publik berarti adalah informasi yang apabila dinilai dari kandungan materinya dan atau tempat darimana informasi diperoleh adalah memang informasi yang sudah menjadi milik publik. Tentunya dalam persoalan ini tidak diperlukan adanya pengaturan dan bahkan pembatasan untuk bagaimana publik dapat memperoleh atau mendapatkannya dan atau mempergunakannya. Kalau informasi sudah menjadi milik publik, tentunya tidak diperlukan pengaturan bagaimana cara memperoleh atau mempergunakan atau bahkan pemberian sanksi (apalagi sanksi dalam bentuk pidana) untuk persoalan yang terkait memperoleh atau mempergunakan. Sekalilagi karena informasi tersebut sudah milik publik, tentunya tidak perlu mempersoalkan mengapa dan untuk apa dipergunakan. Sehingga menjadi pertanyaan adalah keberadaan dari Pasal 51

Pasal 51 Setiap Orang yang dengan sengaja menggunakan Informasi Publik secara melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). Karena yang dipergunakan sudah merupakan informasi publik, milik publik dan diketahui publik. Sehingga yang diperlukan adalah pengaturan mengenai informasi-informasi apa yang tidak dapat di publikan, padahal masuk dalam kriteria informasi publik sehingga berakibat publik tidak dapat memperoleh atau mengaksesnya.

C. ANALISIS SOSIOLOGIS

Informasi publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan atau diterima oleh suatu badan publik. Sementara badan publik yang dimaksudkan di sini adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lembaga yang mendapat dana dari APBN atau APBD, sumbangan masyarakat, dan mendapatkan dana dari luar negeri. Karena kenyataan itu, praksis demokrasi di Indonesia minus transparansi. Pada satu sisi, kebebasan berpendapat dan berserikat mendapatkan aksentuasi baru untuk diwujudkan di tengah kancah praksis demokrasi. Tetapi pada lain sisi, ketertutupan tetap mewarnai keberadaan sektor publik. Selama lebih dari 10 Tahun, rezim ketertutupan hadir secara bersamaan dengan pelaksanaan demokrasi. Tak bisa tidak, inilah ironi yang mewarnai praksis demokrasi di Indonesia. Realitas inilah sesungguhnya yang turut serta mendorong lahirnya suatu format demokrasi tanpa kejujuran, demokrasi yang dilumuri ketidakpercayaan. Terdapat Kesimpulan, Bahwa terhitung sejak Indonesia merdeka badan-badan publik telah sedemikian rupa mencederai dirinya sendiri dengan berbagai macam penyimpangan. Tanpa bisa dielakkan, badan-badan publik tak memiliki kecanggihan mengarusutamakan kepentingan rakyat. Justru, badan-badan publik menumbuhsuburkan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). ketertutupan informasi justu mengondisikan badan-badan publik tumbuh sebagai persemaian subur KKN.

Memang, pengawasan rakyat terhadap badan-badan publik merupakan latar belakang yang mendeterminasi kelahiran UU KIP. Karena itu pula, secara skematik UU KIP memiliki keterbatasan berdasarkan alasan-alasan logis dan strategis. UU KIP tak bisa menyentuh informasi mengenai proses penanganan perkara dalam bidang hukum, informasi kekuatan militer, serta informasi berkenaan dengan hak intelektual. Namun di luar batas-batas itu, UU KIP leluasa dijadikan instrumen untuk mengawasi keberadaan badan-badan publik. Secara demikian, badan-badan publik berada dalam sebuah kondisi untuk melakukan apa yang disebut uji konsekuensi: apakah betul informasi yang dinyatakan tertutup masuk ke dalam cakupan perkara hukum, informasi kekuatan militer, dan atau informasi berkenaan dengan hak intelektual. Beberapa Kontroversi tentang KIP adalah : Pertama, UU KIP merupakan sebuah kerangka kerja legal formal yang mengusung spirit keterbukaan informasi di lembaga-lembaga publik. Sejauhmana UU KIP digdaya mendorong lahirnya keterbukaan informasi sektor publik dalam maknanya yang hakiki, amat sangat ditentukan oleh penegakan hukum (law enforcement). Di sinilah lalu sebuah masalah menyeruak ke permukaan. Hingga hari ini, pelaksanaan sistem hukum di Indonesia justru diharu-biru oleh compang-campingnya law enforcement. Resume terhadap keberadaan sistem hukum di negeri ini justru membawa kita pada kesimpulan yang mencengangkan. Kita memang canggih mengonstruksi hukum. Tapi kontras dengan itu, kita sangat rapuh saat harus masuk ke dalam agenda penegakan hukum. UU KIP ini bukanlah perkecualian dalam konteks rapuhnya law enforcement. Kedua, telah sejak lama rezim ketertutupan di Indonesia termapankan oleh dukungan kultur dan mentalitas pengelola negara di berbagai lini. Kultur dan mentalitas tersebut berwatak korup dan manipulatif. Sudah dalam keadaan demikian, kultur dan mentalitas itu hegemonik. Itulah mengapa, dari waktu ke waktu, seakan tak lekang oleh gilasan zaman, korupsi dan manipulasi digerakkan sebagai terpedo oleh para pengelola negara untuk tujuan pokok memaksakan kehendak yang bersifat subyektif, sehingga benar-benar dirasakan sebagai beban oleh rakyat. Hampir pada berbagai lini pengelolaan negara, begitulah situasinya. Diakui atau tidak, kultur dan mentalitas semacam ini telah hadir seacara utuh sebagai masalah besar kebangsaan. Laksana gunung karang, masalah ini sulit dibongkar hingga ke akar-akarnya.

Jelas pada akhirnya, UU KIP penting tapi tak memadai. Implementasi UU KIP akan berbenturan dengan status qou berbagai cabang kekuasaan di negeri ini.

Anda mungkin juga menyukai