Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN UMUM HAK MENGUASAI NEGARA, HAK-HAK ATAS TANAH MENURUT UUPA, PP NO. 40 TAHUN 1996, DAN PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT BUKU III KUHPERDATA

2.1. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Menguasai Negara Penguasaan tanah adalah suatu hak. Suatu hak hanya dimungkinkan diperoleh apabila orang atau badan yang akan memiliki hak tersebut cakap secara hukum untuk menghaki objek yang menjadi haknya. Pengertian yang termasuk pada hak meliputi, hak dalam arti sempit yang dikorelasikan dengan kewajiban, kemerdekaan, kekuasaan dan imunitas. Negara adalah salah satu subjek hukum. Dalam hal ini organisasi negara dipandang sebagai badan hukum publik yang memiliki otoritas mengatur warganya maupun menyelenggarakan seluruh kedaulatan yang melekat pada dirinya sesuai mandat yang diberikan oleh konstitusi atau perundang-undangan. Penyelenggaraan kedaulatan yang dimiliki oleh Negara adalah sempurna dalam arti kedaulatan tersebut bersumber dari dirinya sendiri, tidak dapat dipecahpecah, asli dan sempurna.1 Kedaulatan yang melekat pada negara, terbatas pada yurisdiksi hukum kekuasaannya, dan kekuasaan itu berakhir manakala ada negara lain yang memulai kekuasaan atasnya. 2

. L.J van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, alih bahasa Oetarid Sadino, Pradnya Paramita, Jakarta 2005, hal. 296 2 . Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Imunitas Kedaulatan Negara di Forum Pengadilan Asing, PT. Alumnni, Bandung, 1999, hal. 46

Subjek hukum adalah sesuatu yang disebut sebagai pembawa hak, yaitu yang mampu mendukung hak dan kewajiban. Negara dipandang sebagai subjek hukum, dalam konsep hukum adalah karena negara tersebut dipersonifikasi serta dianggap sebagai pembawa hak, yang disebut rechtspersoon, dan secara khusus lagi publiek rechts-person, yakni pendukung hak dan kewajiban publik yang padanya melekat kewenangan untuk menyelenggarakan kepentingan publik. 3 2.2 Hak-hak Atas Tanah Menurut UUPA UUPA, seperti pada namanya hanya mengatur mengenai hal-hal pokok mengenai keagrariaan. Undang-undang lainnya yang mengandung kewenangan atau otoritas Pemerintah untuk mengatur peruntukan tanah tersebar pada berbagai Undang-undang, namun secara umum selalu menjadikan Undang-undang nomor 5 tahun 1960 sebagai salah satu dasar hukum atau konsiderans dalam undangundang yang bersangkutan. Tanah termasuk ke dalam kelompok benda. Hak-hak atas tanah dengan demikian dapat juga ditinjau dari hak-hak kebendaan pada umumnya. Hukum benda adalah bagian dan sub dari hukum kekayaan. Sepanjang menyangkut hakhak atas tanah, pada dasarnya pengaturan pokoknya dapat direferensi ke UUPA. Namun mengingat tanah, adalah juga merupakan sub bagian dari hukum benda dan hukum kekayaan pada umumnya, maka mempelajari hak atas tanah tidak cukup hanya dengan mengacu kepada UUPA. Hal lainnya, yang menjadi pertimbangan adalah, bahwa hukum benda sebagai bagian dari hukum kekayaan bersifat netral.
3

. R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal. 228

Menurut Djuhaendah Hasan 4, pengaturan hak-hak atas tanah dalam UUPA adalah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan agak sensitif atau kurang netral, mengingat rumusan yang dalam UUPA sendiri menyatakan bahwa hubungan antara bangsa Indonesia dengan tanah adalah abadi. Asas hukum agraria adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara. Hukum adat sendiri dalam pertumbuhannya tidak terlepas dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalistis dan masyarakat swapraja yang feodal. Hal tersebut mengandung makna bahwa otoritas yang dimiliki negara untuk pengaturan tanah tidak semata-mata dapat didasarkan pada bunyi pasalpasal perundang-undangan yang mengaturnya tetapi harus dengan memperhatikan konteks kekinian maupun suasana kebatinan yang timbul dalam pembuatan pasalpasal aturan tersebut. 2.3 Jenis-jenis hak menguasai tanah yang dimiliki Negara : Hak menguasai tanah oleh Negara, dijabarkan dalam bentuk kewenangan tertentu untuk penyelenggaraan hak tersebut. Kewenangan yang diberikan oleh UUPA digolongkan dalam tiga bagian, yaitu pengaturan peruntukan, pengaturan hubungan hukum antara orang dengan bagian-bagian tanah, dan pengaturan hubungan hukum antara orang dan perbuatan hukum. 5 Ketiga hal tersebut adalah merupakan intisari dari pengaturan UUPA pasal 2 ayat 2 yang menyangkut kewenangan yang diturunkan oleh Negara kepada Pemerintah.

. Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan benda Lain yang melekat pada tanah dalam konsepsi penerapan asas pemisahan horisontal, PT. Citra Aditiya Bakti, Bandung 1996, hal. 105. 5 . Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Universitas Trisakti, Jakarta, 2007 ,hal. 46-47

Penggolongan hak menguasai negara pada tanah yang ada pada UUPA adalah meliputi : a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah. Hak-hak yang mengenai pengaturan peruntukan tersebut dijabarkan dalam berbagai produk peraturan dan perundang-undangan lainnya, dalam bidangbidang seperti : 1. Penatagunaan tanah 2. Pengaturan Tata ruang 3. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah. Hak-hak yang mengenai pengaturan hubungan hukum tersebut dijabarkan dalam berbagai produk peraturan dan perundang-undangan lainnya, dalam bidang-bidang seperti : 1. Pembatasan jumlah bidang dan luas tanah yang boleh dikuasai (landreform) 2. Pengaturan hak pengelolaan tanah c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum atas tanah. Pasal 1 ayat 1 PP 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan bahwa : Hak-hak yang mengenai pengaturan hubungan hukum dan perbuatan hukum dijabarkan dalam berbagai produk peraturan dan perundang-undangan lainnya, dalam bidang-bidang seperti pendaftaran tanah, yaitu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang

tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. 2.4 Hak-hak Atas Tanah Dalam Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang UUPA J.O PP No.40 tahun 1996 Dalam Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang UUPA disebutkan bahwa negara memiliki hak-hak atas tanah, hak-hak atas tanah tersebut terdapat dalam Pasal 16 ayat (1), yaitu : (1) Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 ialah : a. hak milik, b. hak guna usaha, c. hak guna bangunan, d. hak pakai, e. hak sewa, f. hak membuka tanah, g. hak memungut hasil hutan, h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53. Pasal 16 ini merupakan pasal yang pertama dari bab II UUPA, bab yang mengatur tentang hak-hak yang diletakkan di atas tanah, air dan ruang angkasa. Dalam Pasal 16 ini hanya disebut hak-hak atas tanah. Dalam pasal-pasal berikutnya akan diadakan ketentuan-ketentuan lebih jauh tentang apa yang dimaksudkan dengan hak-hak atas tanah itu dan apakah isi dan luasnya dari hakhak atas tanah tersebut.

2.4.1

Hak Milik Atas Tanah

1. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Milik Pasal 20 ayat (1) UU No.5 Tahun 1960 memberikan pengertian atas hak milik, yaitu : Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6. 6 Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki orang atas tanah dengan mengingat fungsi sosial yang melekat pada kepemilikan tanah tersebut. 2. Subjek Hak milik Atas dasar Pasal 21 UU No.5 Tahun 1960 Hak Milik dapat diberikan kepada: a. Hanya kepada Warga Negara Indonesia, b. Badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah, misalnya: Bank Pemerintah, Badan keagamaan dan badan sosial yang ditunjuk Pemerintah. 3. Jangka waktu berlakunya Hak Milik Hak milik memiliki jangka waktu yang tidak ditentukan oleh Undang-undang, jadi jangka waktu dari hak milik tidak terbatas oleh ketentuan Undang-undang. 4. Cara Perolehan Hak Milik Atas dasar Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1960 Hak milik dapat diperoleh : (1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hak milik terjadi karena : a. penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
6

. Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, cetakan ke-sembilan, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal. 124.

b. ketentuan undang-undang. Sebagai contoh terjadinya hak milik menerut hukum adat disebut pembukaan tanah. 7 5. Hapusnya Hak Milik Atas dasar Pasal 27 UU No.5 Tahun 1960 Hak Milik hapus karena : a. b. c. d. e. karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya karena diterlantarkan beralih kepada orang asing tanahnya musnah UUPA yang mengatur mengenai hak-hak atas tanah, ternyata tidak mengatur lebih jelas dan rinci mengenai pemabahasan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah tentang subjeknya, objeknya, jangka waktu, cara perolehan dan hapusnya hak-hak tersebut, dan pengaturannya yang lebih jelas itu tertuang dalam perapuran tersendiri yaitu diatur dalam PP No.40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah. 2.4.2 Hak Guna Usaha Menurut UU No.5 Tahun 1960 J.O PP No.40 Tahun 1996 1. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Guna Usaha Pasal 28 ayat (1) UU No.5 Tahun 1960 memberikan pengertian Hak Guna Usaha, yaitu : Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.

. Ibid, hal. 130

Pada Hak Guna Usaha ini kita dihadapkan dengan tanah yang langsung dikuasai oleh negara, pihak negaralah yang dapat memberikan tanah dengan Hak Guna Usaha ini. 8 2. Subjek Hak Guna Usaha Yang dapat mempunyai Hak Guna Usaha berdasarkan Pasal 2 ayat (1) PP No.40 Tahun 1996 adalah : a. Warga Negara Indonesia. b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. 3. Objek Hak Guna Usaha Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) dan (2) PP No.40 Tahun 1996, objek Hak Guna Usaha adalah : (1) Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah tanah Negara. (2) Dalam hal tanah yang akan diberikan dengan Hak Guna Usaha itu adalah tanah negara yang merupakan kawasan hutan, maka pemberian Hak Guna Usaha dapat dilakukan setelah tanah yang bersangkutan dikeluarkan dari statusnya sebagai kawasan hutan. 4. Jangka Waktu Hak Guna Usaha Pasal 8 ayat (1) PP No.40 Tahun 1996 mengatur jangka waktu dari Hak Guna Usaha, yaitu : Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun . Untuk dapat memperpanjang jangka waktu dari Hak Guna Usaha atas permohonan pemegang hak, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu :

. idem, hal. 137

a. Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut ; b. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak ; dan c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak. 5. Cara Perolehan Hak Guna Usaha Pasal 6 PP No.40 Tahun 1996 menyebutkan bahwa Hak Guna Usaha dapat diperoleh, dengan cara : (1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hak milik terjadi karena : a. Penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah; b. Ketentuan undang-undang. 6. Hapusnya Hak Guna Usaha Pasal 17 ayat (1) PP No.40 Tahun 1996 menjelaskan hal-hal yang dapat menyebabkan hapusnya Hak Guna Usaha, yaitu : a. berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangan; b. dibatalkan haknya oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktunya berakhir karena : 1) Tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/ atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13 dan/ atau Pasal 14; 2) putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; c. dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; d. dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961; e. diterlantarkan; f. tanahnya musnah; g. ketentuan Pasal 3 ayat (2).

2.4.3

Hak Guna Bangunan Menurut UU No.5 Tahun 1960 J.O PP No.40 Tahun 1996

1. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Guna Bangunan Pasal 35 ayat (1) UU No.5 Tahun 1960 memberikan pengertian Hak Guna Bangunan, yaitu : Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Berlainan dengan Hak Guna Usaha maka tanah yang bersangkutan ini tidak mengenai tanah pertanian, perikanan, dan peternakan. Karena Hak Guna Bangunan ini tidak mengenai tanah pertanian, maka hak ini dapat diberikan atas tanah yang langsung dikuasai oleh negara maupun tanah milik perseorangan. 9 2. Subjek Hak Guna Bangunan Pasal 19 ayat (1) PP No.40 Tahun 1996 menyebutkan yang dapat memperoleh Hak Guna Bangunan, adalah : a. Warga Negara Indonesia; b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. 3. Objek Hak Guna Bangunan Berdasarkan Pasal 21 PP No.40 Tahun 1996 tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan adalah : a. Tanah Negara; b. Tanah Hak Pengelolaan; c. Tanah Hak Milik. 4.
9

Jangka Waktu Hak Guna Bangunan

. Idem, hal. 145

Pasal 25 ayat (1) dan (2) PP No.40 Tahun 1996 memberikan jangka waktu untuk Hak Guna Bangunan, yaitu : (1) Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun. (2) Sesudah jangka waktu Hak Guna Bangunan dan perpanjangannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakhir, kepada bekas pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna bangunan di atas tanah yang sama. Hak Guna Bangunan dapat diperpanjang jika memenuhi syarat : a. tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan,sifat dan tujuan pemberian hak tersebut; b. syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; dan c. pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19. d. tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang bersangkutan. 5. Cara Perolehan Hak Guna Bangunan Beradasarkan Pasal 22 ayat (1) PP No.40 Tahun 1960 Hak Guna Bangunan dapat diperoleh dengan cara : (1) Hak Guna Bangunan atas tanah Negara diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (2) Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan. (3) Ketentuan mengenai tata cara dan syarat permohonan dan pemberian diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

6. Hapusnya Hak Guna Bangunan Pasal 35 ayat (1) PP No.40 Tahun 1996 menyebutkan hal-hal yang dapat terjadinya hapusnya Hak Guna Usaha, yaitu :

a. Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya; b. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak MiIik sebelum jangka waktunya berakhir, karena: 1) 2) tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggamya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31 dan Pasal 32; atau tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan antara pemegang Hak Guna Bangunan dan pemegang Hak Milik atau perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan ; atau putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap; c. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir; d. Dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961; e. Ditelantarkan; f. Tanahnya musnah; g. Ketentuan Pasal 20 ayat (2). 2.4.4 Hak Pakai Menurut UU No.5 Tahun 1960 J.O PP No.40 Tahun 1996

3)

1. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Pakai Pasal 41 UU No.5 Tahun 1960 memberikan pengertian Hak Pakai atas tanah, yaitu : Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuanketentuan Undang-undang ini. Dengan istilah Hak Pakai ini diartikan berbagai hak-hak untuk menggunakan dan memungut hasildari tanah yang bukan kepunyaan sendiri. Tanah yang bersangkutan adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau

adalah milik orang lain. Prjanjian sewa menyewa dan perjanjian pengelolaan tanah tidak termasuk dalam istilah hak pakai ini. 10 1. Subjek Hak Pakai Pasal 39 PP No.40 Tahun 1996 menyebutkan subjek dari Hak Pakai, yaitu: a. Warga Negara Indonesia; b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; c. Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah; d. Badan-badan keagamaan dan sosial; e. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia; f. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia; g. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Intemasional. 3. Objek Hak Pakai Pasal 41 PP No.40 Tahun 1996 menyebutkan tanah yang dapat diberikan Hak Pakai, adalah : a. Tanah Negara; b. Tanah Hak Pengelolaan; c. Tanah Hak milik. 4. Jangka Waktu Hak Pakai Pasal 45 ayat (1) PP No.40 Tahun 1996 memberikan jangka waktu untuk Hak Pakai, yaitu : (1) Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun atau diberikan, untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Apabila jangka waktu dari Hak Pakai habis, maka dapat diperpanjang dengan syarat :
10

. Idem, hal. 149

a. tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut; b. syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; dan c. pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39. 5. Cara Perolehan Hak Pakai Hak pakai dapat diperoleh, berdasarkan Pasal 42 PP No. 40 Tahun 1996 perolehan Hak Pakai terjadi : (1) Hak Pakai atas tanah Negara diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (2) Hak Pakai atas Hak Pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan. (3) Ketentuan mengenai tata cara dan syarat permohonan dan pemberian Hak Pakai atas tanah Negara dan tanah Hak Pengelolaan diatur Iebih lanjut dengan Keputusan Presiden. 6. Hapusnya Hak Pakai Berdasarkan Pasal 55 ayat (1) PP No.40 Tahun 1996,disebutkan hal-hal yang menyebabkan hapusnya Hak Pakai, yaitu : a. berakhimya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam janjian pemberiannya; b. dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sebelum jar waktunya berakhir, karena : 1) tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang dan/ atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagai dimaksud dalam Pasal 50, Pasal 51 dan Pasal 52; atau 2) tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang terutang dalam perjanjian pemberian Hak Pakai antara pemegang Hak Pakai dan pemegang Hak Milik atau perjanjian penggunaan Hak Pengelolaan; atau 3) putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yanag tetap; c. dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir; d. dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961;

e. ditelantarkan; f. tanahnya musnah; g. ketentuan Pasal 40 ayat (2). 2.5 Hak Pengelolaan Menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 dan Nomor 9 Tahun 1999 1. Lahirnya Istilah Hak Pengelolaan dalam Hukum Agraria di Indonesia Munculnya istilah hak pengelolaan ini pada mulanya ditemui dalam Peraturan Menteri Negara (PMA) No.9 Tahun 1965, tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan Ketentuan-Ketentuan Kebijaksanaan Selanjutnya, yang isinya antara lain menyebutkan bahwa : 1. Jika hak penguasaan tersebut dipergunakan untuk keperluan sendiri dari Departemen / Direktorat atau Daerah Swantantra dikonversi menjadi hak pakai. 2. Jika selain untuk dipakai sendiri oleh instansi yang bersangkutan, juga dimaksudkan untuk diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ke tiga, maka hak penguasaan itu dikonversi menjadi hak pengelolaan dan berlangsung selama tanah tersebut dipergunakan untuk keperluan instansi tersebut. Sebelum berlakunya UUPA pada zaman penjajahan Hindia Belanda kepada Kotapraja/Kabupaten dapat diberikan hak eigendom sebagaimana disebutkan dalam Ketentuan Domeinverklaring. Setelah Indonesia merdeka Pemerintah bertekad untuk tidak mempertahankan hak eigendom tersebut, terutama untuk daerah-daerah yang dikuasai sebagai tanah-tanah eigendom partikulir. 11

11

. Yan Sumekar, Hak Pengelolaan, Mekar Jaya, 26 Agustus 2009, http://yantju.blogspot.com/2009/08/hak-pengelolaan.html.

Pada zaman Jepang sebagai akibat dari urbanisasi banyak tanah-tanah yang digarap dan diperjualbelikan oleh/untuk rakyat termasuk eigendom kota yang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Sementara berhubung karena perkembangan kota dimana pemerintah kota memerlukan tanah untuk keperluan tugasnya maka untuk mencegah tidak terjadinya penyalahgunaan hak

eigendomnya, perlu dihentikan pemberian hak eigendom tersebut. Oleh sebab itulah dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Atas Tanah-Tanah Negara. Pasal 2 PP No. 8 Tahun 1953 menyebutkan bahwa : Jawatan atau Daerah Swatantra dengan Undang- Undang atau Peraturan lain pada waktu berlakunya peraturan ini, maka hak penguasaan atas tanah Negara ada pada Menteri Dalam Negeri. Hak Penguasaan tersebut meliputi : a. Menyerahkan penguasaan itu kepada suatu Kementerian, Jawatan atau Daerah Swatantra untuk kepentingan tugasnya. b. Mengawasi supaya tanah Negara tersebut dipergunakan sesuai dengan peruntukannya. (Pasal 3) Istilah Hak Penguasaan (Beheer) kemudian disebutkan dalam Surat Kehakiman Menteri Agraria No. SK VII/5/Ka. tanggal 20 Juni 1962 dan Surat Edaran Menteri Agraria No. Ka 3/1/1 tanggal 1 Maret 1962. 12 Untuk tidak menimbulkan keragu-raguan tentang pengertian hak menguasai dari Negara sebagai wewenang Pemerintah Pusat dengan hak penguasaan yang diberikan kepada daerah Swatantra dan Kotapraja, maka hak penguasaan tersebut

12

. Maria S.W. Sumardjono, Tanah dalam perspektif hak ekonomi, sosial, dan budaya, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2008, hal. 200.

dengan PMA No. 9 Tahun 1965, dikonversi menjadi hak pakai dan hak pengelolaan. Dengan di konversinya hak penguasaan Kotapraja ini menjadi hak pakai dan hak pengelolaan, maka SK VI/5/Ka., tanggal 20 Januari 1963 dihapuskan dan diganti dengan Peraturan Menteri Agraria No. 1 Tahun 1966, tentang Pendaftaran Hak Pakai dan Hak Pengelolaan. Dengan lahimya PMA No. 1 Tahun 1966 ini maka hak-hak yang harus didaftarkan adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan hak pengelolaan. 13 Hak pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam PMDN No. 5 Tahun 1974, tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah Untuk Keperluan Perusahaan memberi wewenang untuk : a. merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan. b. menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya. c. menyerahkan bagian-bagiannya kepada pihak ke tiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak tersebut. yang meliputi segisegi peruntukannya, penggunaan, jangka waktu dan keuangannya. d. pemberian hak kepada pihak ke tiga dilakukan oleh pejabat yang berwenang, sesuai dengan PMDN No. 6 Tahun 1972, tentang Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah yang kemudian diganti dengan Peraturan Menteri Agraria/Ka. BPN No. 3 Tahun 1999. Dibandingkan dengan PMA No.9 Tahun 1965, pembahasan lebih rinci diberikan dalam Peraturan Menteri dalam Negeri (PMDN) No. 1 Tahun 1977, Tentang Tata cara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas BagianBagian Tanah, Hak Pengelolaan serta Pendaftarannya, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak pengelolaan adalah : a. merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan. b. menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya.
13

. Ibid, hal 201

c. menyerahkan bagian-bagian dari tanah itu kepada pihak ke tiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak tersebut, yang meliputi segi peruntukan, penggunaan, jangka waktu dan keuangannya. d. pemberian hak atas tanah dilakukan oleh pejabat yang berwenang. Hak pengelolaan dan hak-hak yang diberikan berdasarkan hak pengelolaan juga harus didaftarkan. Di dalam pemberian hak-hak kepada pihak ke tiga yang berasal dari hak pengelolaan hams didahului dengan suatu perjanjian antara pemegang hak pengelolaan dengan penerima hak yang memuat : a. b. c. d. e. identitas pihak-pihak, letak dan batas tanah, jenis penggunaannya, hak atas tanah yang akan diberikan pada pihak ke tiga dan jangka waktunya, jenis bangunan yang akan didirikan dan pemilikan bangunan, jika hak atas tanahnya berakhir, f. jumlah uang pemasukan dan syarat-syarat pembayarannya. 14 Dari hak pengelolaan dapat diberikan kepada pihak ke tiga, hak milik, hak guna bangunan, hak pakai. Dengan pemberian hak-hak tersebut kepada pihak ke tiga, tidak mengakibatkan putusnya hubungan pemegang hak pengelolaan terhadap tanah tersebut. 2. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Pengelolaan Menurut Pasal 1 ayat (3) Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999, pengertian dari Hak Pngelolaan, yaitu : Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Sedangkan berdasarkan Penjelasan Pasal 2 ayat (3) huruf f Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 menyebutkan pengertian dari hak Pengelolaan, yaitu :
14

. Ibid, hal. 203

Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya, antara lain berupa perencanaan dan peruntukan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerjasama dengan pihak ketiga. Bagianbagian tanah Hak Pengelolaan tersebut dapat diberikan kepada pihak lain dengan Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai. Pemberiannya dilakukan oleh Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang berwenang, atas usul pemegang Hak Pengelolaan yang bersangkutan. 15 3. Subjek Hak Pengelolaan Dalam Pasal 67 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 diatur mengenai siapa saja yang dapat diberikan Hak Pengelolaan, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah Badan Usaha Milik Negara Badan Usaha Milik Daerah PT. Persero Badan Otorita Badan-badan hukum Pemerintah lainnya yang ditunjuk Pemerintah.

Pada Pasal 67 ayat (2) ditambahkan ketentuan pemberian haknya yaitu : Badan-badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan Hak Pengelolaan sepanjang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya berkaitan dengan pengelolaan tanah. Sedangkan subjek dari Hak Pengelolaan adalah badan-badan hukum, disebutkan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. bank-bank yang didirikan oleh Negara perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian badan-badan keagamaan badan-badan sosial. Cara Perolehan Hak Pengelolaan Mengenai tatacara peralihan hak diatas tanah HPL kepada pihak ketiga dulu diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 Tentang
15

. Effendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia (Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum). Cetakan ke-3, CV. Rajawali, Jakarta, 1991, hal. 230.

Tatacara Permohonan Dan Penyelesaian Pemberian Bagian-Bagian Tanah Hak Pengelolaan Serta Pendaftarannya (sudah dicabut dengan Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tetapi disertakan dalam penulisan ini karena apa yang diatur di dalamnya belum ada ketentuannya dalam peraturan penggantinya), yaitu : a. Pasal 3 ayat (1) menyatakan : Setiap penyerahan penggunaan tanah yang merupakan bagian dari tanah Hak Pengelolaan kepada pihak ketiga oleh pemegang Hak Pengelolaan, baik yang disertai dengan pendirian bangunan diatasnya, wajib dilakukan dengan pembuatan perjanjian tertulis antara pihak pemegang Hak Pengelolaan dengan pihak ketiga yang bersangkutan. b. Pasal 5 menyatakan : Hubungan hukum antara Lembaga, instansi, dan atau Badan atau Badan Hukum (milik) Pemerintah pemegang Hak Pengelolaan, yang didirikan atau ditunjuk untuk menyelenggarakan penyediaan tanah untuk berbagai jenis kegiatan yang termasuk dalam bidang pengembangan pemukiman dalam bentuk perusahaan, dengan tanah Hak Pengelolaan yang telah diberikan kepadanya, tidak menjadi hapus dengan didaftarkannya hak-hak yang diberikan kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan ini pada Kantor Sub Direktorat Agraria setempat. c. Pasal 7 menyatakan : Bagian-bagian tanah Hak Pengelolaan yang diberikan kepada Pemerintah Daerah, Lembaga, Instansi, Badan atau Badan Hukum Indonesia yang seluruh modalnya dimiliki oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah untuk pembangunan, dan pengembangan wilayah industri dan pariwisata, dapat diserahkan kepada pihak ketiga dan diusulkan kepada Menteri Dalam Negeri atau Gubernur / Kepala Daerah yang bersangkutan untuk diberikan dengan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai, sesuai dengan rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang telah dipersiapkan oleh pemegang Hak Pengelolaan yang bersangkutan. d. Pasal 9 menyatakan :

Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai sebagaimana termaksud dalam Pasal 7 tunduk pada ketentuan-ketentuan tentang hak-hak tersebut, sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan peraturan pelaksanaannya yang mengenai hak-hak itu serta syaratsyarat khusus yang tercantum di dalam surat perjanjian yang dimaksudkan dalam Pasal 3 dan Pasal 8. e. Pasal 11 menyatakan : Terhadap tanah untuk keperluan Lembaga, Instansi Pemerintah atau Badan /Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia yang seluruh modalnya dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, yang bergerak dalam kegiatan usahausaha sejenis dengan Perusahaan Industri dan Pelabuhan yang diberikan dengan Hak Pengelolaan dapat diperlakukan ketentuan- ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 10, yang ditegaskan di dalam surat keputusan pemberian Hak Pengelolaan yang bersangkutan. 16 5. Jangka waktu Hak Pengelolaan Jangka waktu berlakunya Hak Pengelolaan, tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.

2.6

Hak-hak Atas Tanah Bagi Warga Negara Asing Berkenaan dengan permasalahan dalam penelitian ini bahwa Warga Negara

Asing yang berperan sebagai subjek hukum dalam kasus jual beli pulau, maka hak-hak yang dapat dimiliki oleh warga negara asing diatur dalam UndangUndang No.5 Tahun 1960 tentang UUPA JO PP No.40 Tahun 1996, hak-hak tersebut, yaitu: a. Hak Guna Usaha Pasal 28 ayat (1) UU.No 5 th 1960

. Stephanie Gunawan, Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan, http://notarisgracegiovani.com/Agraria/HPL1.html.


16

Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan. b. Hak Guna Bangunan Pasal 35 ayat (1) UU. No 5 th 1960 Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. c. Hak Pakai Pasal 41 ayat (1) UU No.5 th 1960 Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuanketentuan Undang-undang ini. 17 Dari ketentuan diatas jelas ditegaskan bahwa Warga Negara Asing tidak dapat memperoleh Hah Milik atas tanah di Indonesia,ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 jo pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang Pokok-pokok Agraria menyebutkan, bahwa : Pasal 9 : (1) Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan Pasal 1 dan 2 . Pasal 21: (1) Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hak milik. (2) Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya. hukum yang dapat

17

. dapat dilihat dalam Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria.

(3) Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warganegara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung. (4) Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat 3 pasal ini. Setelah jelas mengenai hak-hak yang dapat dimiliki oleh Warga Negara Asing, maka berkaitan dengan kasus jual beli pulau,dapat diartikan bahwa hak milik dengan jelas dan tegas diatur dalam UUPA tidak dapat diberikan kepada Warga Negara Asing. Salah satu ketentuan lain yang mempertegas pelarangan jual beli atas tanah kepada Warga Negara Asing disebutkan pula dalam Pasal 26 ayat (1) dan (2) UUPA tentang pengasingan tanah. Pasal 26 : (1) Jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warganegara yang disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat 2, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa pihak-pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 26 ayat (1) dan (2) diatas bahwa apabila terjadi jual beli yang dilakukan untuk memindahkan hak milik kepada Warga Negara Asing akibat hukumnya adalah batal demi hukum, dan kemudian tanah / lahan / pulau yang diperjual-belikan jatuh kepada negara. 2.7 Perjanjian Jual Beli Berdasarkan Buku III KUHPerdata Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) terdiri dari empat bagian, yaitu: 1. Buku I : berisi tentang Orang Mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

2. Buku II : berisi tentang Kebendaan Mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris, dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda adalah segala sesuatu yang dapat menjadi obyek hak milik. Macam-macam benda, antara lain :

(i) (ii) (iii)

benda berwujud yang tidak bergerak, misalnya tanah, bangunan, dan benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang benda tidak berwujud, misalnya hak tagih atau piutang. Khusus untuk bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU tentang hak tanggungan. 2. Buku III : berisi tentang Perikatan/Perjanjian Mengatur tentang hukum perikatan atau kadang disebut juga perjanjian, yaitu

kapal dengan berat tertentu. dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak.

hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan yang terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian, syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian.

4. Buku IV : berisi tentang Pembuktian dan Kadaluarsa Mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian. Sistematika yang ada pada KUHP tetap dipakai sebagai acuan oleh para ahli hukum dan masih diajarkan pada fakultasfakultas hukum di Indonesia.

Pengertian Subyek Hukum

Subyek hukum adalah segala sesuatu yang memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Dalam menjalankan perbuatan hukum, subyek hukum memiliki wewenang. Wewenang subyek hukum ini dibagi menjadi dua, yaitu : 1. Wewenang untuk mempunyai hak (rechtsbevoegdheid) 2. Wewenang untuk melakukan/menjalankan perbuatan hukum dan faktorfaktor yang mempengaruhinya. Selanjutnya subyek hukum terdiri dari : 1. Orang/manusia (naturlijke person) Pengertian secara yuridisnya ada dua alasan yang menyebutkan alasan manusia sebagai subyek hukum, yaitu manusia mempunyai hak-hak subyektif dan kewenangan hukum. Dalam hal ini kewenangan hukum berarti kecakapan untuk menjadi subyek hukum, yaitu sebagai pendukung hak dan kewajiban. 2. Badan hukum (recht person) Menurut sifatnya badan hukum dibagi menjadi dua, yaitu : a. Badan hukum publik, yaitu badan hukum yang didirikan oleh pemerintah. Contoh : Provinsi, kotapraja, lembaga-lembaga, dan bank-bank negara b. Badan hukum privat, yaitu badan hukum yang didirikan oleh privat pemerintah) Contoh : Perhimpunan, Perseroan Terbatas, Firma, Koperasi, Yayasan (bukan

Perjanjian Jual Beli Merupakan Peristiwa Hukum Mengenai transaksi jual beli pulau, tidak terlepas dari konsep perjanjian secara mendasar sebagaimana termuat dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang menegaskan bahwa :

Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Rumusan tersebut selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja. Sangat luas karena dengan dipergunakannya perkataan perbuatan tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. 18 Sehubungan dengan itu perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai definisi tersebut, yaitu : 1) 2) 3) Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu Menambahkan perkataan atau saling mengikatkan dirinya dalam Tidak hanya orang tapi ada badan hukum.

perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum. pasal 1313 KUHPerdata.

Sehingga perumusannya menjadi : Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Ketentuan yang mengatur tentang perjanjian terdapat dalam Buku III KUHPerdata, yang memiliki sifat terbuka artinya ketentuan-ketentuannya dapat dikesampingkan, sehingga hanya berfungsi mengatur saja. Sifat terbuka dari KUHPerdata ini tercermin dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang mengandung asas Kebebasan Berkontrak, maksudnya setiap orang bebas untuk menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kesusilaan dan

18

. R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, cetakan ke-6, Putra A Bardin, Bandung, 1999, hal. 49.

ketertiban umum, serta selalu memperhatikan syarat sahnya perjanjian sebagaimana termuat dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatakan bahwa : Syarat sahnya sebuah perjanjian adalah sebagai berikut : 1. Kesepakatan para pihak dalam perjanjian 2. Kecakapan para pihak dalam perjanjian 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal Kesepakatan berarti adanya persesuaian kehendak dari para pihak yang membuat perjanjian, sehingga dalam melakukan suatu perjanjian tidak boleh ada paksaan, kekhilapan dan penipuan. Suatu sebab yang sah, berarti perjanjian yang di buat harus dilakukan berdasarkan itikad baik. Berdasarkan Pasal 1335 KUH Perdata, suatu perjanjian tanpa sebab tidak mempunyai kekuatan. Sebab dalam hal ini adalah tujuan dibuatnya sebuah perjanjian. Yang dimaksud dengan peristiwa hukum atau kejadian hukum (rechtsfeit) adalah peristiwa kemasyarakatan yang akibatnya diatur oleh hukum. Pada peristiwa transaksi jual beli pulau, didalamnya terdapat akibat yang diatur oleh hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban, sebagaimana Pasal 1457 dalam buku III KUHPerdata memberi pengertian mengenai Jual-beli, yaitu : jual-beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Jual-beli termasuk perbuatan subjek hukum yang merupakan perbuatan hukum, artinya perbuatann subjek hukum yang akibat hukumnya dikehendaki pelaku. Jadi unsur kehendak merupakan unsur esensial dari perbuatan tersebut. 19
19

. Kurnia Ningsih, SUbjek Hukum dalam KUHPerdata,

http://kurnianingsih31207335.wordpress.com/2009/10/25/subyek-hukum-dalam-kuhperdata/

Anda mungkin juga menyukai