Anda di halaman 1dari 9

Peningkatan Pembauran Bangsa melalui Manajemen Resolusi Konflik

disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan semester genap, tahun akademik 2010/2011

disusun oleh : 1. 2. 3. 4. 5. Raden Dafi Dinansyah Wiradimadja NPM :

Universitas Parahyangan Bandung 2011

PENDAHULUAN

Tulisan ini akan membahas tentang Peningkatan Pembauran Bangsa melalui manajemen resolusi konflik. Konsep-konsep yang dibahas dalam tulisan ini ialah mengenai kondisi nyata kehidupan kebangsaaan yang berkaitan dengan proses pembauran bangsa, dilihat dari ada atau tidaknya diskriminasi yang terjadi terutama pada aspek sosial budaya, politik dan agama di Indonesia. Kajian lain yang dibahas dalam tulisan ini ada mengenai konsepsi yang disarankan untuk meningkatkan rasa kebangsaan, menghilangkan diskriminasi serta meningkatkan persatuan dan kesatuan. Pada dasarnya setiap masyarakat bersifat pluralistik karena di dalamnya selalu terdapat perbedaan-perbedaan. Perbedaan-perbedaan itu disebabkan beberapa kenyataan. Kenyataan-kenyataan itu adalah perbedaan dalam hal agama yang dianut, ciri fisik, kebudayaan (etnik), profesi dan perbedaan jenis kelamin. Secara etnik, perbedaan semakin beragam karena terpisah-pisah menurut perbedaan bahasa, adat istiadat, sejarah, nilai dan norma dan wilayah masing-masing etnis. Setiap orang yang memiliki kesamaan dalam hal unsur-unsur di atas cenderung mengelompok menjadi satu. Akibatnya terbentuklah kelompok-kelompok sosial yang berbeda latar belakangnya. Perbedaan-perbedaan yang ada dapat menimbulkan konflik antar suku (bangsa) jika tidak disikapi secara arif dan bijaksana. Fenomena konflik dengan kekerasan sudah terjadi sejak zaman sebelum Kolonial masuk ke Indonesia, hingga sekarang konflik kekerasan tersebut masih sering terjadi terutama di wilayah perkotaan. Perkembangan zaman, turut berpengaruh pula terhadap model-model konflik. Berbagai konflik kekerasan yang berkaitan dengan separatisme, pembagian kekuasaan dan sumber-sumber daya berkembang menjadi konflik komunal, konflik antar suku, konflik sosial, konflik politik dan konflik agama. Di Indonesia, konflik sosial yang terjadi didahului oleh gejala-gejala tertentu yang ditandai oleh adanya struktur masyarakat yang bersifat multidimensional yang memungkinkan timbulnya konflik sosial secara horizontal maupun vertikal. Ketika runtuhnya pemerintahan Orde Baru, fenomena konflik kekerasan yang terjadi di Indonesia (dan diikuti oleh konflik di beberapa daerah) semakin meningkat. Bagaimanapun bentuknya,

kekerasan adalah kenyataan yang tidak dapat dipisahkan antara kekerasan satu dengan yang lain dan dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, konflik kekerasan merupakan sesuatu yang dapat berdampak pada integritas nasional secara vertikal dan horizontal. Konflik vertikal dan konflik horizontal memiliki keterkaitan, sebab dari konflik vertikal merupakan hasil akumulasi kasus kekerasan yang berkembang di berbagai daerah dalam hubungannya antara rakyat dan pemerintah. masyarakat. Akar permasalahan dari konflik biasanya berawal dari perbedaan pendapat, terutama seperti yang biasa terjadi pada masayarakat majemuk di Indonesia. Perbedaan pendapat yang menimbulkan konflik tersebut merupakan sesuatu yang melekat dari kehidupan sosial setiap masyarakat. Konflik juga sering merupakan prasyarat yang diperlukan dalam mencapai kesepakatan bersama menuju proses perubahan sosial. Namun, persoalan akan menjadi lain jika perbedaan pendapat yang ada hanya terjadi melalui konflik yang tak berujung. Maka, keadaan chaos pada masyarakat akan menjadi pemandangan yang biasa. Konflik menjadi lebih parah akibat hilangnya kepercayaan masyarakat pada kata-kata perdamaian dan cenderung menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan konflik. Hal yang demikian tidaklah sesuai dengan kepribadian Bangsa Indonesia yang terkenal dengan perilaku yang santun dan cinta perdamaian. Untuk membangun masyarakat yang harmoni sesuai dengan situasi dan perkembangan masyarakat, maka konflik yang termasuk bagian tak terpisahkan dari masyarakat perlu disikapi dengan arif bijaksana. Sikap terhadap konflik tidak harus diselesaikan dengan cara kekerasan juga, malah cara-cara penyelesaian konflik tanpa kekerasan menjadi lebih elegant dan dapat menghasilkan kondisi yang lebih tertib dan terarah. Thung (2005) dalam Nulhaqim (2007) menyebutkan bahwa dalam usaha penyelesaian konflik, dikenal konsep tentang resolusi konflik yang selama ini dilakukan melalui tiga cara yaitu mekanisme litigasi, non litigasi dan pendekatan pranata adat. Selanjutnya, konflik horizontal dapat mengakibatkan disintegrasi

TEORI PEMBAURAN DAN MANAJEMEN RESOLUSI KONFLIK

PEMBAURAN NASIONAL Pengertian Pembauran Nasional Pembauran Nasional Indonesia adalah kondisi Bangsa Indonesia yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional yang terintegrasi. Pembauran Nasional berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam dan untuk menjamin identitas, integritas, kelangsungan hidup bangsa dan negara, serta perjuangan mencapai tujuan nasionalnya. Pada hakekatnya, pembauran nasional Indonesia terjadi pada bentuk-bentuk Asimilasi, Akulturasi dan Amalgamasi. Asimilasi ialah pembauran dua kelompok sosial yang berbeda sehingga melahirkan kelompok sosial baru. Akulturasi merupakan pertukaran unsur-unsur kebudayaan dua kelompok sosial atau lebih. Amalgamasi adalah pembauran dua ras manusia yang berbeda sehingga menghasilkan satu rumpun Dalam proses pembauran, dibutuhkan Asas kekeluargaan. Dalam asas kekeluargaan terkandung sifat keadilan, kearifan, kebersamaan, kesamaan, gotong royong, tenggang rasa dan tanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Asas ini mengakui adanya perbedaan yang harus dikembangkan secara serasi dalam hubungan kemitraan agar tidak berkembang menjadi konflik yang bersifat saling menghancurkan. RESOLUSI KONFLIK KEKERASAN Terbagi dua cara dalam konflik kekerasan, yaitu Litigasi dan Non Litigasi Resolusi Konflik Melalui Litigasi Penyelesaian konflik dengan cara ini ialah menggunakan jalur pengadilan. Dalam penyelesaian ini, berbagai proses harus ditempuh, dimulai dari penyidikan yaitu

mengumpulkan bukti-bukti dan keterangan. Selanjutnya, dilakukan penangkapan dan pemanggilan saksi-saksi dan kemudian diproses lebih lanjut di pengadilan. Resolusi Konflik Non Litigasi Resolusi konflik tanpa kekerasan ialah dengan menggunakan cara Alternative Despute Resolutin (ADR). Dalam cara-cara ini, meliputi tindakan : negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrasi serta resolusi dengan menggunakan pendekatan tradisional masyarakat lokal. Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah. Mediasi merupakan suatu cara penyelesaian konflik melalui atau dengan pihak ketiga yang netral dan independen. Tugas utama mediator dalam menyelesaikan suatu sengketa adalah mencari suatu kompromi yang diterima para pihak. Konsiliasi dalam prosesnya sangat mirip dengan mediasi yaitu ada keterlibatan pihak ketiga dalam perundingan yang dilaksanakan. Perbedaan konsilisasi dengan mediasi adalah pihak ketiga dapat mengusulkan suatu kesepakatan agar para pihak yang bertikai tidak dapat merumuskan suatu kesepakatan dan usulan tersebut disepakati oleh para pihak yang bertikai. Manajemen Resolusi Konflik Penyelesaian konflik kekerasan yang termasuk dalam kategori efektif tidak hanya dilakukan oleh salah satu atau kedua belah pihak yang terkait saja. Mutlak dibutuhkan pihak-pihak luar yang membantu mempercepat penyelesaian konflik kekerasan agar tidak semakin melebar. Dalam hal ini, pihak-pihak luar bertindak sebagai stakeholder yang saling bahu membahu mengatasi konflik kekerasan.

STUDI KASUS MENGENAI UPAYA PEMBAURAN BANGSA MELALUI MANAJEMEN KONFLIK


Perbedaan yang beragam pada masyarakat Indonesia hendaklah disikapi secara arif sebagai kekayaan bangsa yang tidak ternilai. Sayangnya, segala perbedaan yang ada seringkali menimbulkan pemisahan dan cenderung menjadikan diskriminasi bagi pihak-pihak yang bukan bagian dari kelompoknya. Diskriminasi di Indonesia jelas masih ada. Salah satu contohnya adalah diskriminasi terhadap agama. Antara agama satu dengan yang lainnya sering terjadi kesalahpahaman. Contoh nyata adalah pada fenomena yang terjadi pada diskriminasi terhadap kelompok Agama Islam yang beraliran Ahmadiyah. Kelompok tersebut sering mengalami diskriminasi bahkan sampai terjadi konflik hingga mengakibatkan korban jiwa. Penyebabnya pada umumnya karena keegoisan dalam pemikiran tentang agama. Banyak pihak yang tidak paham tentang toleransi atau saling menghormati antar umat beragama dan pembauran bangsa. Pembauran bangsa dalam hal ini ialah pembauran berbagai aspek kehidupan tanpa membeda-bedakan suku, agama maupun ras yang secara nyata adalah berbeda. Pembauran bangsa baik secara asimilasi, akulturasi maupun amalgamasi dapat diupayakan melalui manajemen resolusi konflik yang mapan, terstruktur secara matang dalam penyelesaiannya. Munculnya pikiran yang egois merasa bahwa dirinya selalu yang paling benar adalah contoh-contoh yang pernah terjadi akibat kurang matangnya resolusi konflik yang ada. Contoh lain adalah berita tentang komunitas FPI ( Front Pembela Islam ) yang menyerang sekelompok Aliran Islam Ahmadiyah sehingga mengakibatkannya korban luka-luka dan sampai ada yang tewas. Inilah yang disebut keegoisan . merasa dirinya paling benar,agamanya paling benar,dan tindakannya paling benar.padahal tiap agama mengajarkan untuk saling menghargai dan menghormati agama lain. Tidak ada ukuran yang lebih tinggi atau lebih rendah pada suatu agama, semua agama adalah baik, hanya berbeda jalan atau cara nya saja. Tidak ada aturan atau ajaran dalam agama untuk mengajarkan melukai seseorang apalagi membunuh hanya dikarenakan agama seseorang tersebut berbeda dengan agama yang dianut. Agama tidak bisa dipaksakan,kepercayaan dan batin tidak bisa diikat oleh peraturan dan

undang undang yg berlaku. Pemerintah memang telah menetapkan beberapa agama yang berlaku di Indonesia, namun bukan berarti agama yg belum ditetapkan pemerintah adalah agama yg sesat. Kita tidak bisa berbicara agama baru adalah sesat. Kita harus bisa menghargai kepercayaan orang lain. Dalam Undang-Undang pasal 281 ayat 2 yang menolak perlakuan bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan tersebut. Perlu mengadakan kajian lebih mendalam perihal agama lokal yang banyak di masyarakat. Permerintah harus menyadari. Secara geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan yang berdampak pada kekayaan budaya, juga agama. Sehingga, pemerintah perlu membuat data base mengenai agama-agama lokal, dengan catatan agama-agama yang berdiri dari sebuah penistaan agama, agar tidak lagi terjadi diskriminasi. Solusi lainnya adalah kesadaran tiap orang untuk menghilangkan rasa keegoisan agar tidak muncul asumsi yang dapat menyimpulkan agama yang baru (tidak resmi dikeluarkan pemerintah) adalah sesat. Segenap masyarakat beserta pemerintah senantiasa berkewaiban untuk taat kepada aturan, termasuk terhadap undang-undang yang telah ditentukan. Oleh sebab itu, ketaatan terhadap aturan merupakan salah satu upaya resolusi konflik secara litigasi dan dan menciptakan pembauran bangsa. Pembauran yang terjadi antar umat manusia di dunia hendaknya disikapi secara arif dan bijaksana sehingga berbagai perbedaan yang ada tidak dijadikan sebagai suatu hal yang dapat merusak hubungan antar bangsa.

Alangkah indahnya jika perbedaan baik yang nampak secara fisik maupun yang tersembunyi dipandang sebagai keanekaragaman bangsabangsa di dunia yang akan menambah semarak kehidupan umat manusia - 2011-

DAFTAR PUSTAKA

Nulhaqim, Soni A., Manajemen Kolaborasi Resolusi Konflik Dalam Perkelahian Antar Warga di Daerah Perkotaan (Studi Kasus : Palmeriam dan Berland di Jakarta Timur), PPs.UNPAD, 2007, tidak dipublikasikan. Sumarsono, dkk., Pendidikan Kewarganegaraan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta : 2002.

Anda mungkin juga menyukai