Anda di halaman 1dari 295

STRATEGI NASIONAL MEWUJUDKAN PERDAMAIAN DAN HARMONISASI NASIONAL DI INDONESIA

Saudara-saudara sekalian

11 G-a

peserta seminar yang berbahagia, Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Selamat pagi dan Salam Sejahtera bagi kita semua,

11 G-a

Pertama-tama perkenankan saya secara tulus mengucapkan terima kasih atas undangan Moslem Statisticians and Mathematicians Society in South Eats

11 G-a

Asia untuk memberikan sambutan pada acara The First International Conference on Mathematics and Statistics (ICoMS-1).

11 G-a

Cita-cita perdamaian mungkin sudah berumur sama dengan usia manusia itu sendiri. Namun demikian, kegagalan -kegagalan menciptakan perdamaian

11 G-a

juga sama usianya dengan cita-cita damai sepanjang zaman. Hal itu menyebabkan berbagai konsekuensi, antara lain pesimisme bahwa perdamaian

11 G-a

abadi dianggap merupakan sebuah utopia belaka, mengingat kenyataan bahwa kodrat manusia yang ditakdirkan heterogen dalam cita -cita kelompok, keyakinan,

11 G-a

1 serta kepentingan sosial politik, sudah mengandung implikasi bahwa potensi

11 G-a

konflik adalah sebuah keniscayaan di muka bumi ini. Kalau demikian halnya, mengapa manusia modern di awal millennium ke -3 ini, masih terus mencoba

11 G-a

tidak kehabisan akal untuk mencari cara dalam mengupayakan terciptanya perdamaian bagi diri, keluarga, kelompok, bangsa, serta perdamaian global?

11 G-a

Salah satu jawabannya adalah bahwa selain kodrat manusia yang berbedabeda dan bertentangan berdasarkan suku, bangsa, ras, agama, dan perbedaan

11 G-a

kelompok-kelompok secara primordial maupun pertentangan kepentingan politik dan ideologi, maka merupakan kodrat/naluri (instinct) manusia pula untuk

11 G-a

mempertahankan jenisnya agar tidak mengalami kemusnahan total oleh saling menghancurkan dan memusnahkan. Itulah sebabnya, dalam sejarah, setelah

11 G-a

peperangan demi peperangan, kekerasan demi kekerasan dilakukan oleh sesama manusia, maka manusia secara akumulatif selalu berusaha

11 G-a

menciptakan mekanisme-mekanisme untuk mewujudkan pemulihan keadaan damai.

11 G-a

Perang dan damai yang silih berganti, serta konflik dan konsensus yang mewarnai kehidupan manusia dalam sejarahnya, masih terus berlanjut dalam

11 G-a

kehidupan modern ini. Alat persenjataan dan peralatan militer yang diciptakan untuk memenangkan suatu konflik ataupun peperangan skala besar antar

11 G-a

negara, sudah sampai pada suatu tingkat yang mampu melakukan pemusnahan total seluruh spesies manusia ini dalam waktu hanya beberapa jam saja, apabila

11 G-a

kecanggihan peralatan perang, seperti nuklir, dikuasai oleh pihak-pihak yang salah. Selain itu, peperangan dan konflik yang pada awalnya berskala lokal,

11 G-a

seringkali mengundang intervensi di luar lingkungan konflik semula, sehingga meluas menjadi peperangan berskala besar, didorong oleh berbagai hal, antara

11 G-a

lain oleh solidaritas pada latar belakang agama, etnik, keyakinan politik, ideologi, ras dan bangsa. Kompleksitas konflik d an peperangan di masa sekarang, baik

11 G-a

ditinjau dari sebab-sebabnya maupun pihak-pihak yang mungkin terlibat, menyebabkan upaya-upaya perdamaian pun menjadi makin tidak mudah

11 G-a

perwujudannya. 2 Pada perkembangannya, semangat manusia untuk hidup damai dan

11 G-a

tenteram telah menyebabkan munculnya upaya-upaya bersama yang terus menerus untuk mencari jalan melanggengkan atau memelihara situasi damai

11 G-a

sesuai cita-cita bersama. Penelitian perdamaian (peace researchs) dilakukan, strategi perdamaian (strategy of peace) dirumuskan dan diperbaiki, lembagalembaga

11 G-a

internasional, regional dan lokal -pun didirikan sepanjang sejarah modern ini, untuk merealisasikan keinginan akan perdamaian dan

11 G-a

menghindarkan peperangan yang memusnahkan dan mengundang penderitaan dahsyat bagi umat manusia. Di zaman modern ini, setelah Perang Dunia ke -II berakhir dan

11 G-a

menyebabkan penderitaan serta kesengsaraan yang sangat dalam, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dibentuk oleh beberapa negara sebagai

11 G-a

lembaga internasional terbesar yang diciptakan untuk menciptakan, mendorong, dan memelihara tata tertib serta perdamaian dalam kehidupan internasional.

11 G-a

Betapapun sudah begitu banyak yang dilakukan PBB beserta organ-organ yang ada di dalamnya selama beberapa dasawarsa keberadaannya, masih begitu

11 G-a

banyak pekerjaan rumahnya dalam menciptakan dan mendorong perdamaian dunia.

11 G-a

Perdamaian dalam pengertian negatifnya adalah suatu kondisi tidak adanya peperangan, konflik kekerasan, ketegangan dan huru hara kerusuhan berskala

11 G-a

besar, sistematis dan kolektif. Namun demikia n, berlanjutnya tindak kekerasan seperti terorisme, diskriminasi dan penindasan terhadap minoritas dan kaum

11 G-a

wanita serta anak-anak, kekerasan struktural oleh sebab-sebab kimiskinan dan pengangguran, intoleransi agama, dan rasisme serta sentimen kesukuan, bisa

11 G-a

dikatakan merupakan keadaan tidak adanya situasi damai bagi mereka yang menjadi korban. Oleh karena itu, perdamaian harus dirumuskan pula secara

11 G-a

lebih positif, tidak hanya dengan meniadakan peperangan dan konflik bersenjata berskala besar, melainkan juga memberantas berbagai tindak kekerasan,

11 G-a

ketidakadilan, kriminalitas, penindasan dan eksploitasi manusia oleh manusia lainnya yang lebih kuat serta berkuasa. 3

11 G-a

Berbagai konflik bersenjata, kekerasan, kerusuhan dan huru hara dan konflik sosial dalam berbagai jenisnya yang meningkat selama beberapa tahun

11 G-a

terakhir menunjukkan adanya pergeseran -pergeseran politik, sosial budaya kemasyarakatan yang tidak mampu diidentifikasi secara lengkap dan

11 G-a

komprehensif akar-akarnya untuk kemudian dikelola dan dicari solusinya secara memadai, baik oleh mekanisme kelembagaan politik, maupun kelembagaan

11 G-a

sosial tradisional yang sudah ada. Perubahan sistemik dari sistem politik otoriter menuju sistem politik

11 G-a

demokrasi, menciptakan suatu keadaan transisi sosial, yang merupakan suatu situasi keadaan yang serba menggelisahkan karena ketidakpastian yang

11 G-a

diciptakannya. Di satu pihak, masyarakat sudah meninggalkan sistem politik otoriterisme. Di lain pihak, sistem demokrasi belum terbentuk secara solid,

11 G-a

karena lemahnya lembaga-lembaga demokrasi dan belum berpengalamannya masyarakat dalam memasuki sistem politik demokrasi. Warisan ketidakadilan,

11 G-a

diskriminasi, ketertutupan, KKN, dan berbagai ketidakberesan pengelolaan pemerintahan dan birokrasi, meledakkan ekspresi ketidakpuasan dan penolakan

11 G-a

terhadap apa saja yang berhubungan dengan kekuasaan dan pengaturan di segala bidang kehidupan publik. Padahal sebelumnya berbagai aspirasi,

11 G-a

keinginan dan cita-cita politik masyarakat tidak mampu atau tidak berani diekspresikan secara terbuka apa adanya, karena ancaman kekerasan oleh

11 G-a

aparat-aparat negara keamanan dan intelijen. Setiap warga negara yang berpikir sehat tentu tidak menghendaki berbagai konflik sosial yang berdimensi

11 G-a

kekerasan dewasa ini akan menjadi awal bagi kerusakan sosial, perpecahan bangsa, dan disintegrasi nasional.

11 G-a

Strategi nasional untuk perdamaian barangkali merupakan suatu tema yang paling mendesak untuk dibahas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara

11 G-a

dewasa ini. Kajian tentang strategi ini akan menyangkut begitu banyak faktor dan berbagai sub-sistem kehidupan nasional. Selain itu, seperti yang sudah

11 G-a

diuraikan, strategi nasional untuk perdamaian tidak mungkin terwujud perumusan dan implementasinya, tanpa suatu hubungan timbal balik antara

11 G-a

perkembangan dunia internasional deng an situasi nasional. Hal yang paling baik 4

11 G-a

untuk dilakukan adalah, menemukan dan memanfaatkan faktor faktor positif yang ada dalam sistem hubungan internasional secara optimal, melalui

11 G-a

diplomasi pro-aktif, untuk membangun dan memantapkan perdamaian domestik pada tingkat nasional. Suatu konsep strategi nasional untuk perdamaian akan

11 G-a

gagal apabila tidak memperhitungkan faktor -faktor strategis, perkembangan konstelasi, dan dinamika hubungan internasional.

11 G-a

Sebagai suatu ilustrasi adalah penanganan masala h Timor Timur, yang memisahkan diri sebagai salah satu propinsi Republik Indonesia, setelah

11 G-a

kelompok pro-kemerdekaan memenangkan jajak pendapat penentuan nasib Timtim pada tahun 1999. Kekeliruan memahami perubahan konstelasi politik

11 G-a

internasional dan lingkungan strategis, menyebabkan segala pengorbanan dan upaya mempertahankan Timor Timur mengalami kegagalan yang menyakitkan.

11 G-a

Bahkan, walaupun Indonesia telah mengalami kegagalan mempertahankan integrasi, masih saja mendapatkan tudingan internasional, karena dianggap

11 G-a

gagal juga dalam menjamin proses transisi pasca jajak pendapat, karena dianggap tidak mampu mencegah terjadinya pertumpahan darah, terutama yang

11 G-a

dialami oleh kelompok pro-kemerdekaan. Berdasarkan kondisi-kondisi sosial politik yang berkembang dalam transisi

11 G-a

sistemik yang terjadi di Indonesia yang sudah berlangsung selama beberapa tahun belakangan ini, maka kajian akan membahas dua strategi nasional pokok

11 G-a

untuk perdamaian di Indonesia. Rekonsiliasi Nasional Gagasan utama dari rekonsiliasi nasional d apat disimpulkan pada dua hal.

11 G-a

Pertama, penyelenggaraan dialog nasional dan kerjasama pada tingkat nasional maupun daerah, yang melibatkan semua komponen bangsa, baik

11 G-a

formal maupun informal, yang mewakili kemajemukan agama, suku dan kelompok masyarakat lainnya untuk menampung berbagai sudut pandang guna

11 G-a

mencari titik-titik persamaan pandangan dalam rangka mencari solusi dari berbagai konflik kekerasan dan krisis sosial politik yang ada. 5

11 G-a

Kedua, penyelenggaraan suatu program terlembaga dalam rangka mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak azasi

11 G-a

manusia pada masa lampau, dan menegakkan keadilan serta kebenaran, berlandaskan hukum serta perundang -undangan yang berlaku; untuk

11 G-a

selanjutnya melakukan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan nasional. Langkah-langkah setelah pengungkapan kebenaran, dapat dilakukan dengan

11 G-a

pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau cara -cara lain, dengan

11 G-a

memperhatikan rasa keadilan yang hidu p dalam masyarakat dan persatuan nasional.

11 G-a

Menghargai Keberagaman . Indonesia yang terdiri dari berbagai unsur dan bermacam-macam kelompok, hanya akan terpelihara eksistensinya, apabila ada

11 G-a

kerelaan untuk saling menerima keberagaman dari setiap komponen bangsa terhadap komponen atau kelompok lainnya. Setiap warganegara mesti

11 G-a

menyadari, tidak mungkin kedamaian dibangun secara hakiki, apabila suatu kelompok agama tertentu menganggap dirinya adalah kelompok agama yang

11 G-a

lebih istimewa dibandingkan dengan yang lainnya. Salah satu potensi besar dalam menyumbang terhadap perdamaian adalah

11 G-a

dengan kembali kepada ajaran -ajaran pokok setiap agama, karena mayoritas sangat besar dari bangsa Indonesia adalah umat beragama. Agama melalui

11 G-a

para pemeluknya harus belajar meninggalkan sikap memutlakkan ajaran agama (absolutisme agama) sendiri sebagai satu -satunya kebenaran yang ada di

11 G-a

dunia, dan sebaliknya dapat berbagi ruang hidup secara lapang dada dengan menerima keanekaragaman agama-agama (pluralisme agama) di Indonesia.

11 G-a

Dialog Perdamaian. Dalam dialog perdamaian ini, sekali lagi harapan dibebankan kepada para pemeluk -pemeluk agama. Hal ini didasarkan oleh

11 G-a

kenyataan, bahwa sudah begitu banyak kekejaman dan kekerasan yang dilakukan oleh manusia terhadap manusia lainnya di seluruh dunia, termasuk di

11 G-a

Indonesia, justru dengan justifikasi yang berasal atas ajaran agama-agama tertentu. Apalagi agamalah tampaknya yang paling sering menjadi alat politik

11 G-a

6 untuk membenarkan kelompok sendiri, serta menyalahkan kelompok lainnya.

11 G-a

Padahal, setiap orang beragama umumnya sepakat, bahwa pesan inti agama adalah memelihara kehidupan damai serta saling mengasihi antar sesama

11 G-a

manusia. Apabila yang terjadi adalah sebaliknya dari pesan pesan pokok setiap agama, tentulah telah terjadi kesalah pah aman antar pemeluk agama. Untuk

11 G-a

itulah dialog perdamaian antar agama perlu dilakukan secara terus-menerus. Momentum dialog antar agama mulai dirasakan keperluannya dan

11 G-a

kemungkinan-kemungkinan keberhasilannya di zaman modern ini, setelah para uskup agama Katolik seluruh dunia menyelenggarakan Konsili Vatikan II, tahun

11 G-a

1964. Pada waktu itu antara lain dibahas agar soal umat Katolik menjalin dialog dengan pemeluk agama dan berbagai kebudayaan lain yang ada di dunia ini.

11 G-a

Inisiatif dialog ini kemudian disambut d engan baik oleh kalangan Islam. Dewasa ini sudah cukup banyak organisasi dan forum -forum dialog agama-agama

11 G-a

internasional, tidak hanya antara Islam dan Kristen, melainkan juga antara Kristen dengan Yahudi, Kristen dengan Hindu, juga yang bersifat multilateral

11 G-a

antara berbagai agama. Hal ini kalau dilakukan secara terus menerus dengan semangat saling menghargai serta sikap yang dilandasi ketulusan dan kejujuran,

11 G-a

diharapkan besar kemungkinan akan memberikan sumbangan berarti bagi perdamaian.

11 G-a

Menegakkan Kebenaran dan Keadilan . Satu hal yang tidak boleh dilupakan dalam proses awal menciptakan perdamaian yang hakiki adalah

11 G-a

dengan upaya melakukan upaya pengungkapan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Tidak akan mungkin tercipta

11 G-a

perdamaian yang hakiki dengan tindakan menutup -nutupi atau menyembunyikan berbagai tindakan kekerasan terhadap HAM di masa lalu, dan

11 G-a

melepaskan para pelaku penyalahgunaan kekuasaan politik atas nama negara terhadap masyarakat yang lemah yang seharusnya dil indungi oleh negara.

11 G-a

Secara struktural sesungguhnya gagasan rekonsiliasi nasional melalui penegakan kebenaran dan keadilan ini sudah diakomodasikan dasar hukumnya

11 G-a

melalui pembentukan Tap MPR No.V/MPR/2000 tentang pemantapan Persatuan 7

11 G-a

dan Kesatuan Nasional. Secara eksplisit Tap MPR No. V/MPR/2000 mengamanatkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dalam

11 G-a

mengupayakan rekonsiliasi nasional secara komprehensif. Ini adalah sebuah lembaga ekstra-yudisial yang dimaksudkan untuk menciptakan perdamaian

11 G-a

tanpa harus melalui prosedur-prosedur hukum yang standar, agar sebuah bangsa mampu menciptakan rekonsiliasi dan perdamaian atas perselisihan,

11 G-a

konflik dan permusuhan, serta pelanggaran -pelanggaran HAM di masa. Salah satu asumsi dari pembentukan badan e kstra-yudisial KKR ini adalah adanya

11 G-a

keterbatasan jangkauan prinsip -prinsip dan asas-asas hukum positif yang ada untuk menyelesaikan berbagai konflik kekerasan dan pelanggaran HAM masa

11 G-a

lalu. Keterbatasan ini disebabkan baik karena kekurangan bukti bukti konkret yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan suatu peradilan umum, maupun karena

11 G-a

sudah kadaluwarsanya suatu kasus kejahatan dan pelanggaran HAM tertentu. Di berbagai negara pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,

11 G-a

antara lain bertugas mengungkapkan be rbagai kejahatan terhadap HAM, serta mendorong pengakuan yang jujur dari para aktor pelanggar HAM di masa lalu,

11 G-a

dengan berbagai tawaran keringanan bahkan pengampunan. Pengungkapan dan pengakuan dari para pelanggar HAM masa lalu, dapat diikuti oleh berbagai

11 G-a

langkah, sesuai dengan kasus dan cara -cara pengungkapan yang dilakukan, termasuk permintaan maaf, pemberian maaf, amnesti, dan rehabilitasi.

11 G-a

Selanjutnya harus dibangun konsensus bahwa peristiwa peristiwa pelanggaran HAM dan penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu, tidak akan diulangi kembali

11 G-a

di masa mendatang, diikuti oleh komitmen untuk menghapuskan diskriminasi dan sikap-sikap intoleransi terhadap setiap kelompok atas dasar agama,

11 G-a

budaya, politik, ideologi, dan etnisitas. Konsolidasi Demokrasi Umum. Demokrasi erat kaitannya dengan perdamaian, karena demokrasi,

11 G-a

seperti halnya perdamaian sangat menjunjung tinggi persamaan hak antar warganegara, menjunjung tinggi hukum dan keadilan, mengutamakan dialog,

11 G-a

dan menghindari kekerasan. Oleh karena itu konsolidasi demokrasi adalah salah 8

11 G-a

satu cara yang sangat penting dalam upaya mewujudkan perdamaian yang hakiki, yang muncul dari kesadaran dan partisipasi masyarakat, bukan

11 G-a

perdamaian yang semu hasil rekayasa dan intimidasi oleh kekuasaan negara. Demokrasi dapat didorong dengan memperkuat struktur politik dan infrastruktur

11 G-a

demokrasi, memperbaiki mekanisme proses politik, serta dengan membangun budaya politik yang menjunjung tinggi persamaan di muka hukum.

11 G-a

Demokrasi akan berhasil atau mengalami kegagalan, tergantung dari berbagai hal. Tidak ada jaminan bahwa suatu proses demokrasi akan

11 G-a

menghasilkan demokrasi yang sungguh -sungguh. Demokrasi juga tidak mungkin berhasil hanya dengan itikad baik suatu kelompok tertentu. Proses menuju

11 G-a

demokrasi sama pentingnya dengan tujua n-tujuan mulia dari demokrasi itu sendiri. Mencapai suatu demokrasi, tidak mungkin dicapai dengan cara-cara

11 G-a

otoriter, dengan tindakan -tindakan kekerasan yang direkayasa serta pelanggaran hukum secara sistematis.

11 G-a

Dalam kenyataan di lapangan, bukan tidak mun gkin, suatu proses demokrasi menciptakan ketidaksabaran, sehingga menciptakan godaan-godaan

11 G-a

untuk melakukan percepatan yang seringkali berarti pemaksaan, intimidasi, diskriminasi, pembredelan, dan terorisme. Hal -hal terakhir ini justru akan

11 G-a

menciptakan suatu situasi yang bersifat kontraptoduktif, baik terhadap proses demokrasi, maupun terhadap upaya perdamaian, karena menciptakan lingkaran

11 G-a

kekerasan yang tidak ada kesudahannya. Demokrasi yang sungguh-sungguh hanya mampu diwujudkan melalui proses -proses dialog, musyawarah, tukarmenukar

11 G-a

dan proses jual beli gagasan -gagasan, untuk menemukan solusi dan cara terbaik bagi keselamatan rakyat. Dan ini adalah suatu proses yang

11 G-a

memakan waktu berpuluh-puluh tahun, bagaikan spiral menaik, makin lama makin tinggi tahapnya. Dan makin tinggi struktur, proses dan budaya demokrasi,

11 G-a

akan makin sedikit penggunaan cara -cara kekerasan dalam masyarakat. Struktur Politik dan Infrastruktur Demokrasi. Penguatan struktur politik

11 G-a

yang penting adalah penyempurnaan dan penyusunan perundangan-undangan. Salah satu langkah penting yang perlu segera dilakukan adalah finalisasi dan

11 G-a

pemberlakuan RUU tentang Rekonsiliasi Nasional (RUU/RK) yang merupakan 9

11 G-a

dasar bagi pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Aktivitas ini bernilai strategis bagi pengembangan iklim politik yang demokratis. Komisi

11 G-a

Kebenaran dan Rekonsiliasi ini diharapkan mampu bekerja secara efektif sebagai sarana untuk menyembuhkan luka -luka yang disebabkan oleh berbagai

11 G-a

konflik politik dan pelanggaran kemanusiaan di masa lalu, termasuk ekses-ekses dari penumpasan G30S/PKI beserta penyelidikan latar belakang peristiwanya.

11 G-a

Selain itu, UU tentang Pengadilan HAM perlu ditindaklanjuti dengan pelaksanaan pengadilan bagi para pelanggar HAM. Apabila Komisi Kebenaran

11 G-a

dan Rekonsiliasi ini mampu bekerja dengan prosedur standar internasional, maka salah satu langkah rekonsiliasi nasional untuk mewujudkan perdamaian

11 G-a

yang hakiki akan berhasil dilakukan. Selanjutnya, ada jaminan politik dan hukum yang tegas, bahwa pelanggaran -pelanggaran politik dan kemanusiaan serupa

11 G-a

tidak akan terjadi lagi di masa depan, dalam sistem politik demokrasi. Infrastruktur demokrasi dan perdamaian seperti yang sudah diuraikan pada

11 G-a

bagian sebelumnya, mencakup sistem penting lain di luar sistem politik, yang diduga amat berpengaruh terhadap proses terciptanya perdamaian yang hakiki.

11 G-a

Konsolidasi yang menyangkut sistem hukum haruslah memperhatikan pembenahan kelembagaan hukum, materi hukum serta reorientasi tugas-tugas

11 G-a

para penegak hukum. Kesemuanya ditujukan untuk kembalinya kewibawaan hukum, yang dapat menjamin adanya mekanisme penyelesaian konflik secara

11 G-a

damai. Sistem ekonomi mestilah menjamin adanya alokasi sumber daya perekonomian secara adil, menjamin persaingan yang fair dan terbuka antara

11 G-a

pelaku-pelaku ekonomi. Sistem pertahanan keamanan haruslah menjamin bagi berlanjutnya redefinisi, reorientasi, dan reaktualisasi peran Polri dan TNI dalam

11 G-a

kehidupan berbangsa dan bernegara menuju demokrasi. Sistem informasi, komunikasi dan media massa, harus memberikan jaminan berlanjutnya

11 G-a

kebebasan pers dan lancarnya lalu lintas informasi dan komunikasi secara terbuka. Masyarakat harus dijamin haknya untuk melakukan kontrol terhadap

11 G-a

negara, untuk menghindarkan kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan politik dan pelanggaran HAM seperti yang pernah terjadi pada masa lalu. Hubungan

11 G-a

luar negeri dan diplomasi Indonesia haruslah diabdikan untuk menunjang kesejahteraan umum. Politik luar negeri haruslah diimplementasikan dengan

11 G-a

10 pendekatan yang bersifat rasional dan moderat d engan mengandalkan prinsipprinsip

11 G-a

kerjasama internasional, saling menghargai kedaulatan nasional, serta menghormati prinsip-prinsip non-intervensi dalam pergaulan internasional.

11 G-a

Diplomasi Indonesia dilaksanakan dengan menjauhi sikap konfrontatif dan reaktif, melainkan melalui diplomasi proaktif dalam upaya penyelesaian konflik

11 G-a

dengan kekerasan, peperangan pemeliharaan perdamaian dunia. Dunia internasional yang damai mempunyai andil bagi penciptaan dan pemeliharaan

11 G-a

perdamaian di dalam negeri. Proses dan Budaya Politik. Hal strategis yang mendesak dilakukan adalah

11 G-a

menyempurnakan, memantapkan dan menciptakan mekanisme pemilihan umum demokratis. Termasuk dalam strategi ini adalah penyempurnaan proses

11 G-a

politik demokrasi melalui penyelenggaraan pemil ihan Presiden RI secara langsung mulai tahun 2004. Konsekuensinya adalah, dipisahkannya antara

11 G-a

proses Pemilu untuk memilih Presiden dengan Pemilu untuk memilih wakil-wakil rakyat, sehingga diharapkan kemungkinan terjadinya distorsi dalam proses

11 G-a

artikulasi politik aspirasi rakyat dapat dihindarkan secara optimal. Hal ini diharapkan akan mampu menghindarkan sejauh mungkin potensi konflik politik

11 G-a

di masa depan, baik di kalangan elite politik maupun pada tingkat massa. Di negara-negara demokrasi yang sudah mapa n, pemilihan kepala

11 G-a

pemerintahan (eksekutif) diadakan dalam kerangka yang terpisah dengan pemilihan anggota-anggota dewan perwakilan rakyat (legislatif). Dengan

11 G-a

demikian, presiden tidak perlu merasa terganggu dalam pelaksanaan tugastugas eksekutifnya, karena mempunyai legitimasi yang sama kuatnya dengan

11 G-a

legislatif. Terkait dengan agenda penyempurnaan struktur politik melalui amandemen UUD 1945, maka perlu dibangun secara terus menerus proses dan

11 G-a

budaya politik yang mendorong hubungan saling mendukung dan mengoreksi (check and balance) antara Presiden dan DPR. Sistem oposisi politik yang

11 G-a

menghadapkan partai yang membentuk pemerintahan dengan partai yang mengimbangi kekuatan pemerintah perlu diperkenalkan dan dibangun, agar

11 G-a

pemerintah selalu memberikan yang te rbaik dari potensi yang dimilikinya. 11

11 G-a

Budaya oposisi untuk memastikan adanya proses politik yang transparan dan bertanggung jawab pernah menjadi tradisi politik di Indonesia pada masa

11 G-a

demokrasi parlementer. Oleh karena itu, sesungguhnya, Indonesia sudah mempunyai pengalaman, dalam upaya membangun kembali budaya opisisi di

11 G-a

masa mendatang. Dalam jangka pendek sistem oposisi ini tampaknya akan menciptakan suasana transisi yang serba menggelisahkan. Namun demikian,

11 G-a

dalam jangka panjang akan memberikan kontribusi besar bagi upaya mewujudkan perdamaian hakiki di kalangan masyarakat.

11 G-a

Dalam upaya menciptakan proses dan budaya politik demokrasi, diperlukan adanya perbaikan mutu pendidikan nasional di semua tingkat dan bidang.

11 G-a

Keprihatinan yang besar atas mut u pendidikan dewasa ini, harus mampu mendorong terciptanya wacana kurikulum pendidikan nasional yang mendukung

11 G-a

kemandirian, memupuk budaya demokrasi, serta berorientasi pada pembangunan bangsa yang berkarakter ( nation and character building). Selain

11 G-a

itu, budaya menghormati HAM dan menjunjung tinggi hukum perlu ditanamkan pada generasi muda, sebagai dasar pembentukan masyarakat warga yang

11 G-a

modern (civil society), yang mengerti dan berkesadaran tinggi terhadap hak-hak dan kewajibannya sebagai warganegara.

11 G-a

Demikianlah, semoga Allah Yang Maha Kuasa memberi rahmat dan karunia-Nya bagi semua itikad baik kita bagi bangsa dan tanah air tercinta.

11 G-a

Terima kasih Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Jakarta, 11 April 2006 Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas

11 G-a

H. Paskah Suzetta 12

11 G-a

11 G-a

11 G-a

11 G-a

11 G-a

11 G-a

11 G-a

11 G-a

11 G-a

11 G-a

11 G-a

11 G-a

B AB XV PERTAHANAN PAN KEAMANAN NASIONAL

11 G-a

.e

.e

.e

.e

.e

BAB XV PERTAHANAN DAN KEAMANAN NASIONAL (HANKAMNAS) UMUM.

Pembangunan Pertahanan dan Keamanan Nasional (Hankamnas) tidak dapat dipisahkan daripada Pembangunan Nasional dalam kese luruhannja. Pada satu pihak Pembangunan Nasional diarahkan pada tertjapainja peningkatan kesedjahteraan bangsa, pada pihak lain tingkat kesedjahteraan bangsa itu wadjib diannankan terhadap segala bentuk antjaman jang dapat mengganggu, bahkan dapat menghantjur kannja dalam bentuk satu perang terbuka. Oleh sebab itu perlu adanja kekuatan jang pada satu pihak mempunjai pengaruh pentjegahan terhadap mereka-mereka jang hendak mengantjam kelangsungan hidup bangsa, pada pihak lain mampu menggagalkan antjaman tersebut de ngan kekuatan sendjata.. Kekuatan inti daripada Pertahanan dan Keamanan Nasional adalah Angkatan Bersendjata, oleh sebab itu meski pun unsur-unsur daripada kekuatan Hankamnas adalah beraneka-ragam tjoraknja, namun unsur Angkatan Bersendjata-lah jang memegang peranan terpenting jang perlu dibangun dan dikembangkan dalam rangka perlindungan dan pengamanan bangsa dan negara terhadap segala antjaman, dalam segala bentuk dan manifestasinja.

HANKAMNAS 1. Politik Pertahanan dan Keamanan Nasional. Pada. dasarnja. Politik Pertahanan dan Keamanan Nasional kita (Hankamnas) diarahkan pada sasaran-sasaran pokok sebagai berikut: a. Kedalam, mentjiptakan suasana dan. keadaan aman, tenteram, tertib dan dinamis, jang merupakan landasan dan iklim bagi tiap usaha dalam pelaksanaan pembangunan disegala bidang. b. Keluar, ikut - serta mendjamin adanja perdamaian dunia, dan mewudjudkan kestabilan di Wilajah Asia Tenggara.
117

c. Siap menghadapi: segala kemungkinan.antjaman dalam segala bentuk dan manifestasinja baik dari luar maupun dari dalam, jang dapat menghambat, mengganggu serta dapat memba hajakan kelangsungan hidup bangsa dan negara. 2. Strategi Pertahanan dan Keamanan Nasional. Strategi Pertahapan..dan .Keamanan Nasional diarahkan kepada pembentukan, pengembangan serta penggunaan kekuatan-kekuatan

118

dan unsur - unsur Hankam untuk mendjamin tertjapainja dan terwu djudnja Politik Pertahanan dan Keamanan Nasional. 3. Fungsi-fungsi Pertahanan dan Keamanan Nasional. a. Membentuk suatu kekuatan Hankamnas jang berintikan po tensi Angkatan Bersendjata Republik Indonesia, disamping potensi-potensi jang lain. b. Memelihara dan mempertinggi Ketahanan Nasional disegala bidang, baik dalam bidang mental-ideologi, politik, sosial, budaja maupun militer. c. d. Memelihara serta mempertinggi kewaspadaan serta kesiapsiagaan nasional. Mengembangkan integrasi Angkatan Bersendjata Republik Indonesia dengan Rakjat, integrasi intern Angkatan Bersendjata Republik Indonesia, serta integrasi intern Angkatanangkatan.

KE-KARYA-AN ANGKATAN BERSENDJATA REPUBLIK INDONESIA : Sebagai akibat daripada perdjoangan Angkatan Be rsendjata Republik Indonesia dalam rangka perdjoangan bangsa untuk menegak kan kemerdekaan dan nilai -nilai kehidupan, maka Angkatan Bersendjata Republik Indonesia memperoleh kedudukan dan peranan se bagai Golongan Karya jang berwenang untuk bersama-sama dengan kekuatan-kekuatan sosial lainnja menentukan haluan perdjoangan Bangsa. Tugas pokok kekaryaan Angkatan Bersendjata Republik Indone sia dalam masa pembangunan adalah setjara aktif ikut -serta dalam . segala usaha, daj a-upaja dan kegiatan Negara dan Bangsa dalam bidang pembangunan, sesuai dengan kemampuan jang ada pada Ang katan Bersendjata Republik Indonesia.

PENILAIAN KEADAAN : Keadaan Ekonomi-Keuangan Negara pada dewasa ini mendjadi faktor pembatas utama bagi pengembangan kekuatan-kekuatan Hankamnas, sampai pada tahun 1973/74 baru mampu untuk mendukung
118

usaha-usaha pembangunan bagi kepentingan kesedjahteraan Bangsa, sedangkan bagi kepentingan pertahanan dan keamanan hanja dapat disediakan dana-dana jang sangat terbatas.

Namun demikian perlu adanja kemampuan untuk dapat melindungi dan mengamankan usaha-usaha pembangunan terhadap antjam-

119

an-antjaman jang hendak menggagalkan usaha pembangunan Bangsa. Kemungkinan adanja antjaman bahaja jang berbentuk serangan terbuka terhadap kelangsungan hidup Bangsa dan Negara, dalam djangka waktu dckat jang akan datang ini adalah sangat ketjil kemungkinannja. Antjaman bahaja jang dapat mengganggu pelaksanaan pem bangunan akan berbentuk tindakan spionase, sabotase, infiltrasi, sub versi dan pemberontakan-pemberontakan, baik jang bersumber pada kekuatan-kekuatan asing maupun jang berasal dari kekuatan -kekuatan dalam negeri sendiri. Oleh sebab itu setjara optimal kekuatan -kekuatan Hankamnas harus mampu menghadapi segala antjaman tersebut diatas dan dapat meeniadakan efek-efek negatif daripadanja, tanpa melupakan persiapan persiapan jang diperlukan untuk dapat dan mampu menghadapi ke mungkinan serangan jang bersifat terbuka. Angkatan Bersendjata Republik Indonesia sebagai kekuatan inti HANKAMNAS memerlukan waktu untuk mengadakan konsolidasi dan stabilisasi kedalam, sebagai akibat daripada pelaksanaan tugas dalam rargka TRIKORA dan DWIKORA serta penjelesaian Keamanan dan Ketertiban dalam negeri. Konsolidasi dan stabilisasi ini merupa kan landasan bagi pengembangan kekuatan lebih landjut. Angkatan Bersendjata Republik Indonesia sebagai Kekuatan Sosial -Golongan Karya, sesuai dengan kondisi dan situasi dewasa ini baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial maupun budaja, wadjib mengadakan penin djauan setjara menjeluruh tentang pelaksanaan peranan dan fungsi nja sebagai Golongan Karya tersebut, agar lebih dapat bermanfaat bagi usaha pembangunan Bangsa disegala bidang. POKOK-POKOK KEBIDJAKSANAAN Realisasi pembangunan sektor Hankam sangat dibatasi oleh keadaan Ekonomi-Keuangan Negara dewasa ini, oleh sebab itu Pem bangunan Hankam disesuaikan dengan kondisi dan situasi tersebut. Dalam babakan Pembangunan Lima Tahun jang akan datang ini, aksentuasi pembangunan Hankam akan diletakan kepada :

1. Hal-hal jang bersifat konsepsionil. a. Penjelesaian Undang-undang Pokok Pertahanan dan Keamanan Nasional, beserta Undang-undang lainnja jang diperlukan.
120

b. Penjelesaian lebih landjut daripada Konsep Strategi Nasional kita. c. Penentuan dan penetapan Rentjana : Kekuatan didarat, laut,

121

Udara dan kepolisian , serta komposisi masing - masing katan. d. Pengembangan

Ang-

Sistim Sendjata baik sosial maupun tehnologi,

Industri Militer serta wewenang pembinaannja. e. Penetapan sistim Komando dan Pengendalian. f. Penetapan didikan. g. Penetapan sistim Pemeliharaan Daja Tahan. h. Penentuan tingkat-tingkat kesiap-siagaan pada suatu taraf waktu tertentu, chususnja dalam djangka waktu Realisasi Pembangunan Lima Tahun (Rentjana Pembangunan Lima Tahun). i. Penetapan program Konsolidasi - Stabilisasi. Landasan-landasan jang bersifat konsepsionil tersebut diatas diperlukan bagi penentuan arah pembangunan Hankam selandjutnja. 2. Dalam rangka konsolidasi stabilisasi kekuatan - kekuatan Hankam, serta dalam rangka mendjamin, keamanan usaha - usaha pembangunan Bangsa, djuga dalam rangka Konsepsi Strategi Nasional kita, diadakan RE - GROUPING Kekuatan Penggantian - penggantian (Replacement) baik personil maupun materiil setjara selektif, dan peningkatan mutu Pradjurit pada umumnja. 3. Dalam rangka Kekaryaan Angkatan Bersendjata Republik Indonesia diadakan penindjauan setjara menjeluruh terhadap segala persoalan jang bersangkutan dengan fungsi Angkatan Bersendjata Republik Indonesia sebagai Kekuatan Sosial. 4. Meletakkan kembali pengertian dan pelaksanaan CIVIC - ACTION dalam rangka CIVIC - MISSION Angkatan Bersentjata Republik Indonesia dalam proporsi jang sebenarnja. 5. Usaha - usaha pembangunan disektor sektor lain jang dilakukan oleh Angkatan Bersentjata Republik Indonesia dibatasi pada bidang - bidang jang belum atau belum tjukup mampu dikerdjakan oleh potensi sipil.
120

sistim

Administrasi,

Logistik,

Personil

dan

Pen-

LANGKAH-LANGKAH 1969/70 1970/71 1971/72 1972/73 1973/74 Penjelesaian Rentjana-rentjana jang bersifat Konsepsionil 2. Realisasi tingkat kesiap-siagaan jang telah ditentukan. 3. Realisasi konsolidasi-stabilisasi Kekuatan. 1. Realisasi tingkat kesiap-siagaan jang telah ditentukan. 2. Realisasi Rentjana-rentjana jang bersifat Konsepsionil. 1.

121

3. 4.
5

Realisasi alih-tugas Pradjurit setjara bertahap, kan dengan usaha-usaha pembangunan pada sektor jang lain. Siap menghadapi Realisasi Pembangunan Hankam

dikait sektor-

dalam Rentjana Pembangunan Lima Tahun jang ke -II. Melandjutkan reailisasi konsolidasi-stabilisasi kekuatan. 1970/71 1971/72 1972/73 1973/74 1974/ 75 Realisasi Pembangunan Lima Tahun < -------------------------------------------------- > Sekaligus adalah Realisasi Pembangunan Infra-Struktur Hankam Penjelesaian hal-hal < --------------------------- > < 1. Legalistis/konsepsionil. dan stabilisasi kekuatan. Realisasi Rentjana-Rentjana < -------------------------------> 1. Struktur kekuatan serta sistim komando dan pe2. Sistim Logistik serta Pembinaan Sistim Sendjata Tehnologi. 3. Replacement PersonilMateriil (selektif-terbatas) 4. Realisasi Alih-Tugas Pradjurit. sepsionil. 8. Realisasi Kekaryaan AB RI setjara fundamentilkonsepsionil. < ---------------- > Persiapan menghadapi pembangunan Hankam 121 RENTJANA PEMBANGUNAN LIMA KE-II 1969/70

1
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

MONOGRAPH No-3 KAJI ULANG STRATEGI PERTAHANAN NASIONAL


26 Maret 2004

PROPATRIA
Working Group on Security Sector Reform
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

Pengantar
Reformasi lekat dengan ketidakjelasan, karena era transisi di dalamnya berpotensi memiliki sifat yang kontradiktif. Di satu sisi, reformasi bertujuan pada suatu tatanan negara yang demokratis. Sifat yang identik dengan demokrasi adalah masyarakat sipil yang kuat dan mampu memerintah dirinya sendiri. Namun di sisi lain, transisi dari negara otoriter menyebabkan masyarakat sipil lemah dan cenderung untuk memahami reformasi hanya sebagai ajang untuk benar -benar membebaskan dirinya. Hal tersebut seringkali mengakibatkan perbenturan kepentingan, baik berupa konflik vertikal (masyarakat dengan negara) ataupun konflik horisontal (antarkomponen masyarakat). Berbagai konflik tersebut sudah tentu mengakibatkan peningkatan derajat ancaman terhadap keamanan nasional. Melihat dari kondisi di atas, maka menjadi wajar apabila ancaman yang paling nyata dihadapi oleh Indonesia sampai dengan sepuluh tahun ke depan lebih berasal dari dalam negeri. Ancaman dari luar yang paling mungkin terjadi adalah persengketaan wilayah, pencurian sumber daya laut, infiltrasi kapal/pesawat asing, dan perompakan. Invasi dari luar dinilai kecil

121

kemungkinannya terjadi. Walau demikian, berbagai ancaman dari dalam dan dari luar tersebut harus mampu diatasi oleh aktor -aktor keamanan, TNI dan Polri, sebagai alat negara. Agar aktor-aktor keamanan dapat mengatasi berbagai ancaman di atas, maka diperlukan suatu kebijakan negara yang menyeluruh, jelas, dan terukur, berdasarkan pada definisi ancaman yang dihadapi. Sebagai turunannya, pengembangan postur pertahanan ditujukan untuk suatu kemampuan pertahanan -keamanan yang tangguh, profesional, dan akuntabel, dalam kerangka negara demokrasi yang kuat. Namun pada kenyataannya, postur pert ahanan Indonesia sekarang ini masih jauh dari yang diharapkan. Ironisnya lagi, kondisi ini disebabkan oleh kebijakan pertahanan keamanan yang ada sampai dengan sekarang lebih bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan otoritarian. Oleh sebab itu, reformasi se ktor keamanan menjadi mendesak. Agenda penting dalam reformasi sektor ini adalah kaji ulang strategis sistem pertahanan ( strategic defense review SDR), yang secara keseluruhan memuat pengkajian definisi ancaman, kebijakan yang dibutuhkan untuk mengatasinya, serta postur pertahanan yang akan dikembangkan. Berkaitan dengan konteks di atas, monograph ini menjadi relevan karena penyusunannya mencerminkan pergulatan pemikiran yang muncul dalam berbagai forum yang difasilitasi oleh ProPatria. Monograph ini merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban publik dalam upaya ProPatria memberikan kontribusi dalam reformasi sektor pertahanan dan keamanan selama lima tahun belakangan ini. Terakhir, monograph ini juga dimaksudkan untuk memicu pemikiran dan tanggapan yang dapat memenuhi kekurangan yang tentu saja dimilikinya,

121

yang pada akhirnya dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi reformasi sektor pertahanan dan keamanan ke depan. Jakarta, Maret 2004 ProPatria 3
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

DAFTAR ISI
I. DETERMINAN DASAR STRATEGI PERTAHAHAN NASIONAL......... 1 II. DINAMIKA LINGKUNGAN STRATEGI........................... .......... 5 III. KEBIJAKAN PERTAHANAN INDONESIA...... ............ .......... 12 IV. DOKTRIN PERTAHANAN INDONESIA . ... ..... 25 V. RULES OF ENGAGEMENT........................................................... 34 VI. POSTUR PERTAHANAN INDONESIA........................................... 37 VII. PENUTUP................................................................................ 45
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

4 Transformasi militer di Indonesia harus menyentuh perubahan postur pertahanan negara. Perubahan postur pertahanan ini terkait erat dengan kebijakan pertahanan nasional yang dirumuskan oleh pemerintah serta kemampuan negara untuk mencukupi kebutuhan pertahanan Indonesia. Keterkaitan antara kebijakan pertahanan, postur pertahanan dan ekonomi pertahanan merupakan inti dari proses Kaji Ulang Strategis Sistem Pertahanan (Strategic Defense Review). Kaji ulang ini dilakukan untuk mengetahui dan mengevaluasi struktur pertahanan, kekuatan pertahanan, kemampuan pertahanan, gelar pertahanan, dan anggaran pertahanan dalam menghadapi ancaman masa depan. Saat ini, Indonesia belum memiliki kebijakan pertahanan negara yang lengkap. Berdasarkan UU No.3/2002 tentang Pertahanan

121

Negara, kebijakan pertahanan negara terdiri dari lima rantai kebijakan. Pertama, pemerintah merumuskan Kebijakan Umum Pertahanan Negara. Perumusan ini dilakukan oleh Presiden dengan melibatkan Dewan Pertahanan Nasional (yang anggotanya terdiri dari Wakil Presiden, Menteri Pertahanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Panglima TNI, Pejabat -pejabat pemerintah dan non -pemerintah) serta Departemen Pertahanan. Kedua, kebijakan Umum Pertahanan Negara ini dioperasionalisasikan oleh Menteri Pertahanan dengan merumuskan Kebijakan Penyelenggaraan Pertahanan Negara dan Kebijakan Umum Penggunaan Kekuatan TNI. Pasal 16 UU No.3/2002 menyatakan bahwa Departemen Pertahanan mempunyai kewajiban untuk membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan umum pertahanan negara dan kemudian menuangkannya ke dalam keb ijakan penyelenggaran pertahanan. Ketiga, sebagai penyelenggara kebijakan pertahanan, Departemen Pertahanan berwenang merencanakan pengembangan kekuatan pertahanan dan merumuskan kebijakan umum tentang penggunaan kekuatan komponen-komponen pertahanan. Pasa l ini juga menyebutkan bahwa Menteri Pertahanan bekerja sama dengan pimpinan departemen dan instasi pemerintah lain untuk menyusun dan melaksanakan perencanaan strategis pengelolaan sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan . Keempat, oleh Panglima TNI, seluruh kebijakan politik tentang pertahanan negara tersebut dijadikan pedoman untuk merencanakan pengembangan strategi -strategi militer.

121

Terakhir, perumusan dan pelaksanaan rangkaian kebijakan pertahanan negara ini secara berkala diawasi oleh DPR. Kelima rantai kebijakan tersebut belum dimiliki oleh Indonesia. Departemen Pertahanan baru memiliki Buku Putih Pertahanan dan Program Pengembangan Kekuatan Pertahanan. Markas Besar TNI dan Angkatan memiliki rencana pengembangan kekuatan untuk jangka meneng ah. DPR telah melakukan pertemuan rutin dengan Departemen Pertahanan dan Mabes TNI.

SATU
Determinan Dasar Strategi Pertahanan Nasional
5
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004
Pertahanan Nasional Strategi Raya

Nilai Dasar Bangsa Indonesia Tujuan Nasional Dinamika Ancaman


Sumber Daya Pertahanan Teknologi Persenjataan

Lingkungan Strategis

Namun, Kebijakan Umum Pertahanan Negara dan Kebijakan Penyelenggaran Pertahanan yang menjadi acuan bagi perencanaan, penyelenggaraan, dan pengawasan sistem pertahanan negara belum dibuat ketetapannya oleh Presiden. Ketiadaan dua kebijakan induk ini mempengaruhi pengelolaan sistem pertahanan negara. Dua kebijakan induk tersebut dapat dirumuskan jika pemerintah memiliki Strategi Raya Pertahanan Nasional. Strategi Raya ini dibentuk dengan memperhatikan enam determinan dasar keamanan nasional. Enam

121

determinan dasar tersebut merupakan variabel-variabel penjelas yang menentukan dinamika strategi raya pertahana n Indonesia. Variabel-variabel tersebut harus dianalisa secara berkala agar kebijakan pertahanan Indonesia selalu relevan dengan perubahan yang terjadi di dalam dan di sekitar Indonesia. Enam determinan dasar tersebut tampak dari bagan 1 di bawah ini. Bagan 1. Enam Determinan Dasar Strategi Determinan pertama adalah nilai -nilai ideal yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Nilai-nilai tersebut secara legal formal tertera di pembukaan UUD 1945 yang memandatkan negara untuk memperjuangkan keamanan dan kesejahteraan bangsa. Untuk Strategi Raya, keamanan bangsa yang menjadi prioritas. Keamanan bangsa yang harus diperjuangkan negara meliputi tugas -tugas untuk mempertahankan kemerdekaan, melindungi keselamatan bangsa, menjaga integritas teritorial, dan menciptakan perdamaian dunia. Determinan kedua adalah tujuan nasional yang ingin dicapai dalam kurun waktu tertentu. Pemerintah membagi tujuan nasional dalam bentuk kepentingan nasional yang meliputi survival interest, core values, dan vital interest . Tujuan nasional ini tertera dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang menentukan prioritas -prioritas program pembangunan yang ingin dilakukan pemerintah selama lima tahun ke depan. Determinan ketiga adalah dinamika ancaman. Ancaman didefinisikan sebagai segala sesuatu yang membahayakan kedaulatan nasional, integritas wilayah, keselamatan warga negara dan kehidupan demokrasi

121

di Indonesia, serta membahayakan ketertiban dan perdamaian regional dan internasional, baik yang bersifat konvensional maupun non-konvensional. Ancaman merupakan suatu konsep multidimensional yang memiliki empat dimensi utama: militer-non-militer; konvensional-non-konvensional; langsungtidak langsung; eksternal-internal. Perpaduan dari empat dimensi tersebut secara teoretik menghasilkan 16 tipologi ancaman. Berdasarkan 16 tipologi tersebut dapat dirumuskan otoritas penangkal yang akan mengantisipasinya. Walaupun ancaman bersifat multi Kaji
Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

6 dimensional dan secara teoretik memiliki 16 tipologi, namun tidak berarti TNI harus mengantisipasi seluruh tipologi ancaman. TNI yang profesional hanya akan menangani tipologi ancaman yang menjadi spesialisasinya. Tipologi ancaman yang harus diantisipasi oleh TNI adalah (1) ancaman yang bersifat militer, (2) berasal dari lingkungan eksternal, (3) menggunakan strategi -strategi militer konvensional, dan (4) langsung mengancam integritas teritorial Indonesia. TNI juga dapat dilibatkan untuk menangani tipologi ancaman lain seperti, ancaman militer -internal-konvensionallangsung, ancaman militer-eksternalnonkonvensional-langsung, ancaman nonmiliter eksternal-non-konvensional-langsung, dan ancaman non-militer-internal-nonkonvensionallangsung. Untuk ancamanancaman non-militer dan tidak langsung, TNI dikerahkan dalam tugas perbantuan kepada institusi lain seperti POLRI, pemerintah, dan atau intelijen strategis. Ancaman militer yang

121

harus ditangani oleh TNI adalah ancaman yang menggunakan keku atan bersenjata yang terorganisasi yang dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman militer ini dapat berbentuk antara lain: agresi, pelanggaran wilayah yang dilakukan ol eh negara lain, baik yang menggunakan kapal maupun pesawat non-komersial, spionase, sabotase, aksi teror bersenjata, pemberontakan bersenjata, dan perang saudara. Determinan keempat adalah sumber daya nasional. Upaya negara untuk membangun suatu kekuatan pertahanan yang tangguh, profesional, dan modern membutuhkan alokasi sumber daya nasional yang tidak kecil. Pemerintah harus dapat memutuskan trade-off yang akan dilakukan untuk melakukan distribusi pendapatan negara ke sektor pertahanan sehingga distribusi tersebut (1) tidak mengganggu program-program pemerintah di sektorsektor non-pertahanan; dan (2) tidak diinterpretasikan oleh negara -negara lain sebagai upaya untuk melakukan military build-up . Determinan kelima adalah perubahan teknologi di bidang pertah anan. Perubahan teknologi yang pesat harus diantispasi dengan mengembangkan suatu rencana sistematis untuk membangun industri -industri pertahanan yang mampu mengantisipasi revolusi di bidang militer. Rencana ini akan menjadi dasar dari transformasi teknolo gi militer yang akan memodifikasi paradigma strategik TNI dari strategi yang didasarkan pada evaluasi ancaman ke strategi pengembangan

121

kapasitas pertahanan. Modifikasi ini juga harus diikuti dengan suatu program mobilisasi ekonomi yang bersifat jangka panj ang yang berupaya untuk menyerap secara proporsional sumber daya nasional untuk kepentingan pembangunan kekuatan pertahanan. Masalah utama yang dihadapi Indonesia untuk mengembangkan industri pertahanan dalam negeri adalah ketidakmampuan sektor industri dan pendidikan untuk menyerap aspek-aspek fundamental dari Revolution in Military Affairs (RMA). Ketidakmampuan ini tidak memungkinkan Indonesia untuk mengalami terobosan berarti dalam pengaplikasian RMA. Solusi jangka panjang dari masalah ini adalah denga n menginisiasi kerjasama di bidang penelitian dan teknologi pertahanan antara lembaga -lembaga kajian dan industri strategik. Solusi ini menuntut adanya komitmen politik dari pemerintah untuk memberikan subsidi yang signifikan untuk mengembangkan industri p ertahanan. 7
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

Determinan keenam adalah dinamika lingkungan strategis global dan regional. Analisa dinamika lingkungan strategis menunjukkan bahwa ancaman akan termanifestasi dalam tiga jenis konflik. Tiga konflik itu adalah inter-state, intra-state, dan transnational conflicts . Konflik pertama adalah konflik-konflik antar negara yang terutama mengancam kedaulatan teritorial Indonesia. Manifestasi konflik ini adalah invasi militer dari negara lain. Kemungkinan merebaknya konflik ini bisa diperkecil jika Indonesia dapat (1) menggelar kekuatan

121

penangkalan (deterrence) yang memadai; dan (2) mengoptimalkan diplomasi sebagai garis depan pertahanan Indone sia untuk menghilangkan intensi dan situasi yang akan memicu konflik. Konflik kedua adalah konflikkonflik internal yang bisa berupa gerakan separatis bersenjata dan/atau konflik komunal yang melibatkan kekerasan bersenjata. Konflik ini akan termanifestasi menjadi konflik bersenjata jika terjadi kegagalan beruntun dari pemerintah dan masyarakat sipil untuk mengelola konflik secara konstruktif. Konflik ketiga adalah konflik-konflik transnasional seperti terorisme, penyelundupan senjata, dan bajak laut. Konflik-konflik ini memiliki karakter baru seperti optimalisasi jejaring internasional, intensitas konflik yang cenderung kecil, dan daerah sebaran konflik yang luas. Kekuatan pertahanan Indonesia tidak dirancang untuk menghadapi konflik-konflik transnasional sehingga perlu ada proses transformasi kekuatan yang signifikan.
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

8 Perkiraan tentang dinamika lingkungan strategis merupakan pijakan penting untuk menyusun sebuah strategic defense review . Lingkungan itu, baik internal maupun eksternal, merupakan peluang dan sekaligus kendala untuk memperjuangkan apa yang dianggap sebagai kepentingan nasional. Seperti halnya dengan politik luar negeri, pertahanan negara perlu dibuat untuk menjawab dan/ atau mengantisipasi perubahan -perubahan lingkungan strategis. Meski demikian tentu tidak semua fenomena yang berkembang

121

pada lingkungan strategis mempunyai bobot yang sama dalam strategic defense review . Dalam konteks itu pula juxta-posisi antara karakter dan kecenderungan perubahan dapat memberi kontribusi untuk menyusun strategic defense review yang lebih obyektif dan realistik. Dimensi yang disebut terdahulu, karakter perubahan, lebih mengacu pada perubahan struktur dan pola hubungan kekuatan antar negara -negara di Asia Pasifik. Dimensi kedua, kecenderungan, hanya menekankan pada beberapa aspek penting yang diduga mempunyai implikasi signifikan, dan oleh karenanya layak menjadi pertimbangan penting dalam penyusunan strategic defense review . Hingga hampir 15 tahun setelah berakhirnya Perang Dingin, perubahan struktur hubungan internasional belum menemukan pola yang mantap. Setelah tumbangnya Uni Soviet, Amerika Serikat menjadi superpower tunggal yang mempunyai dampak bagi kehidupan internasional pada tingkat global, regional dan nasional. Keinginan Amerika untuk menegakkan kepemimpinan Amerika dengan bertumpu pada kekuatan militer dan kejelasan moral , sesuatu yang berkembang di Amerika Serikat sejak 199 2 dan mencapai titik puncak pada 1997, pada akhirnya menimbulkan berbagai masalah. Sulit disangkal jika saat ini Amerika merupakan kekuatan militer paling tangguh. Dan di tengah ketidakjelasan mengenai ukuran kejelasan moral , kemungkinan besar Amerika akan tetap mengandalkan pada kekuatan militer itu untuk memaksakan kepemimpinannya melalui cara-cara unilateral. Kecenderungan itu menjadi semakin kuat

121

sejak tahun 2003 setelah Washington merumuskan doktrin bela diri preemtif (preemptive self defense) atau beladiri antisipatorik (anticipatory self defense). Berdasarkan doktrin itu pula Amerika melakukan serangan terhadap Afghanistan dan Iraq. Di kawasan Asia Pasifik, aliansi Amerika dengan Jepang dan Korea Selatan dan orientasi politik luar negeri Cina merupakan kunci stabilitas kawasan. Untuk jangka waktu yang dapat diperhitungkan ke depan, kemungkinan besar Cina masih tetap hanya menjadi kekuatan regional dan preoccupied dengan reformasi internal dan menjalin hubungannya dengan bagianTimur Rusia, Jepang, dan Korea Selatan. Suasana

DUA
Dinamika Lingkungan Strategis
9
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

liberalisasi perdagangan dan keniscayaan bagi penanaman modal asing langsung (foreign direct investment) menyebabkan Cina harus berpikir ulang untuk menjadi agresif, kecuali terhadap Taiwan. Keadaan itu hadir bersama-sama dengan meningkatnya kemampuan Cina yang, berbeda dari masa pertumbuhan industri militer Soviet di tahun 1940-an, ditopang oleh sustainabilitas pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Hampir dapat dipastikan Cina akan tampil sebagai kekuatan militer yang semakin kuat. Reorientasi doktrin militer Cina tahun 1980an, yang kemudian dilanjutkan dengan modernisasi, melalui rasionalisasi dan/atau penyesuaian struktur kekuatan (force structure) pertahanan Cina yang semakin

121

intensif pada dasawarasa 1990an, mencerminkan keinginan Cina untuk menjadi kekuatan global. Namun keinginan itu tampaknya masih teredam oleh keterbatasannya melakukan gelar kekuatan (power projection). Dalam hal ini Cina masih terbelenggu oleh banyak hal, termasuk diantaranya keharusan untuk mengakomodasi kepentingan negara luar untuk mengamankan aliran penanaman modal asing. Sebab itu, dalam 10 tahun mendata ng Cina kemungkinan besar belum mampu menjadi kekuatan laut (naval power) yang mampu menangkal kekuatan global Amerika. Sekalipun demikian, pada tingkat regional Cina tampil sebagai kekuatan militer yang memiliki kemampuan bukan hanya untuk sekedar menangkal (deterrence) tetapi memaksa (compellence). Sengketa Laut Cina Selatan, yang melibatkan beberapa negara ASEAN, misalnya, akan menjadi tumpuan utama politik luar negeri Cina di Asia Tenggara. Sebelum akhir dasawarsa silam, Washington telah merumuskan kembali kerjasama keamanannya dengan Jepang dan Korea Selatan. Mereka tetap akan melakukan koordinasi dalam kebijakan keamanan dan luar negeri. Di Jepang, perubahan generasional dan intensi natural untuk tampil sebagai negara normal (normal state) kemung kinan besar akan semakin memperkuat desakan bagi Jepang untuk membangun kekuatan militer. Secara konstitusional, artikel 9 Konstitusi Jepang masih akan menjadi pembatas bagi Jepang untuk tampil sebagai kekuatan militer. Namun, sulit disangkal bahwa sejak

121

dasawarsa silam Jepang semakin meningkatkan keikutsertaannya dalam misi-misi perdamaian di bawah naungan PBB. Stabilitas Semenanjung Korea dan hubungannya dengan Amerika Serikat akan merupakan kunci masa depan Jepang. Dalam 5 -10 tahun kedepan, mungkin Jepan g akan sanggup tampil sebagai kekuatan militer pada tingkat regional di Asia Timur/Pasifik Utara, selain menjaga partisipasinya dibawah naungan PBB. Namun ketergantungan Jepang pada pasokan energi dan bahan mentah tampakya akan menjadi stabilising factor, sekurangkurangnya sampai Jepang menemukan alternatif, misalnya sumber gas di Siberia yang sebagian besar diantaranya akan sangat tergantung pada pasang-surut hubungan TokyoMoskow. Pada lingkaran kedua adalah negaranegara seperti Australia dan India yang masing-masing mempunyai obsesi dan/atau komplikasi internal dalam rumusan politik luar negeri mereka terhadap Asia Pasifik. India mungkin tetap akan memusatkan perhatiannya untuk semakin memantapkan kedudukan
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

10 sebagai kekuatan sub-regional Asia Selatan. Pertikaiannya dengan Pakistan, yang dalam perang melawan terorisme semakin dekat dengan Amerika Serikat, menyebabkan India terbelenggu di kawasan itu. Namun pada saat yang sama, gejolak fundamentalisme Islam di Asia Tengah dan negara -negara Islam di bagian Barat akan menyebabkan India secara natural berusaha untuk memperkuat kehadirannya dalam politik di Asia Tenggara.

121

Australia merupakan negara ya ng mempunyai politik identitas. Letak geografisnya di Asia tetapi orientasi kulturnya yang Anglo-Saxon menjadikan negara itu selalu berada dalam kebimbangan dalam merumuskan politik luar negeri dan pertahanannya. Sebagai insular state, tanpa ada ancaman militer riil dari arah Selatan dan Timur, secara natural perhatian Australia adalah ke sebelah Utara. Indonesia dan Asia Tenggara akan menjadi penting dalam prioritas politik luar negeri Australia. Salah satu variabel kontrol kecenderungan ini adalah hubun gan Australia dengan negara-negara Barat. Terlepas dari kecenderungan itu, Australia akan tetap menjadi bagian penting dari strategi pertahanan Barat. Merupakan tandatanya apakah perkembangan perkembangan seperti itu dapat dikelola dalam ARF (ASEAN Region al Forum), selain dalam fora sekunder seperti APEC dan ASEAN Plus. Didalam fora itu sendiri, negaranegara maju tampaknya akan tetap memusatkan perhatiannya pada masalah -masalah konvensional. ARF tetap menjadi wahana utama untuk membahas soal-soal konvensional, seperti nuklir Semenanjung Korea dan isu-isu yang berkaitan dengan legitimasi pembangunan kekuatan militer. Kecil kemungkinan ARF akan membahas agenda transnasional, selain terorisme yang menjadi agenda utama Washington. Kedudukan ASEAN sebagai driving force dalam ARF hingga tingkat tertentu justru menyebabkan ASEAN terbelenggu dalam agenda seperti itu. Sebagai akibatnya, ancaman -ancaman transnasional yang menjadi tantangan utama mereka tetap menjadi isu sekunder.

121

Di dalam ASEAN sendiri kecil kem ungkinan terjadinya konflik bersenjata berkepanjangan. Berbagai norma dan kesepakatan, misalnya Treaty of Amity and Cooperation , telah menjadi aturan main di antara sesama negara ASEAN untuk menyelesaikan pertikaian di antara mereka melalui cara diplomatik . Kalaupun terjadi konflik bersenjata sebagian besar diantaranya tidak lebih dari sekedar low intensity conflict atau skirmish di perbatasan. Bagi Indonesia, ancaman agresi militer secara langsung yang kemudian diikuti oleh pendudukan dalam waktu relatif l ama kecil kemungkinannya akan terjadi. Persoalan paling serius adalah keamanan maritim dan yang penting bukan hanya karena alasan sumber daya (maritime resources) tetapi juga kedudukannya sebagai jalur pelayaran (sea lane of communication) yang semakin pen ting seiring dengan meningkatnya liberalisasi perdagangan. Gangguan -gangguan terhadap batas wilayah maritim, baik yang berasal dari perompakan (high-sea piracy), terorisme laut (maritime terrorism), maupun sekedar sebagai jalur perdagangan gelap dan penyelundupan, merupakan tantangan serius terhadap kedaulatan negara. Dari segi kecenderungan, dapat dilihat beberapa gejala penting. Globalisasi terbukti sebagai tantangan yang sulit dihindari 11
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

sehingga yang dapat dilakukan adalah bagaimana mengelola agar globalisasi tidak menimbulkan, atau sekurang-kurangnya meminimalisasi, dampak yang tidak dikehendaki.

121

Dalam hubungan antarnegara, globalisasi itu menampilkan dirinya dalam berbagai bentuk, misalnya interdependensi dan relativisasi kedaulatan nasional. Sebagai fenomena yang ditandai dengan luluhnya perbatasan (boundary eroding), ketidakamanan bagi suatu negara dapat menjadi sumber ketidakamanan bagi negara lain. Kedaulatan negara menjadi semakin relatif, meski mungkin terbatas pada efektivitas pemerintahan, bukan pada soal keutuhan wilayah. Suatu negara tidak lagi dapat memutuskan segala sesuatu hanya berdasarkan pada apa yang mereka anggap sebagai kepentingan nasional, tetapi juga harus mempertimbangkan kepentingan negara-negara lain. Beberapa isu yang secara langsung berkaitan dengan interdependensi adalah ancaman transnasional. Semakin kuat kesadaran bahwa ancaman terhadap kedaulatan negara yang semula bersifat konvensional (fisik) dan saat ini berkembang menjadi multidimensional (fisik dan nonfisik). Dapat bersumber pada berbagai dimensi non -militer permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya maupun permasalahan keamanan yang terkait dengan kejahatan internasional seperti terorisme, imigran gelap, bahaya narkotika, pencurian kekayaan alam, bajak laut, dan perusakan lingkungan tantangan itu dapat menjadi ancaman serius terhadap keamanan nasional. Dimensi eksternal-internal menjadi tidak lagi absolut. Universalisme nilai dan transnasionalitas ancaman menyebabkan luluhnya batas-batas antar negara. Keamanan menjadi isu bukan hanya pemerintahan nasional tetapi juga global dan transgovernmental .

121

Pada saat yang sama keharusan untuk reassert kedaulatan pemerintahan semakin mendesak, karena keharusan untuk early warning dan mencegah eskalasi agar ancaman non-fisik tidak berubah menjadi ancaman fisik. Alternatif untuk itu, membangun norma baru mengenai kedaulatan interdependen (interdependence sovereignty) tidak terlalu mudah. Masalah lain adalah menguatnya upaya penerapan nilai -nilai yang dianggap universal, mulai dari sesuatu yang bertumpu pada nilai keagamaan sampai dengan hakhak asasi manusia, nilai demokrasi, dan penadbiran (governa nce). Globalisasi nilainilai universal itu belum tentu dapat diterima oleh beberapa negara, khususnya bagi mereka yang karena alasannya masingmasing menggunakan argumen relativisme kultural. Nilai universal lain adalah fundamentalisme agama yang kini tampil sebagai kekuatan yang luar biasa. Sebagian dari usaha itu muncul dalam bentuk retrogresi; sebagian yang lain justru muncul dalam bentuk militansi. Di beberapa negara, fundamentalisme Islam dipandang sebagai alternatif terhadap rejim-rejim sekuler yang selama beberapa puluh tahun dianggap tidak mampu menyediakan kesejahteraan kepada masyarakatnya. Di kalangan yang terpinggirkan (marginalised), fundamentalisme itu dapat muncul dalam bentuk radikalisme dan militansi segmen masyarakat tertentu. Lebih dari itu, faktor kunci dalam hal ini adalah pelaku bukan -negara (non-state actors). Perkembangan lingkungan global
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional

121

Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

12 pasca Perang Dingin juga mensyar atkan dikedepankannya cara pandang keamanan yang berorientasi pada upaya mewujudkan kesejahteraan dan menjamin keamanan manusia (human security). Selain itu, aktor non-pemerintah menjadi semakin penting. Pada tingkat global maupun societal, aktoraktor non-pemerintah memainkan peranan semakin penting. Persoalannya, negara nasional tidak sepenuhnya mampu atau tidak mengendalikan aktor -aktor seperti itu. Negara-negara Barat tidak memiliki kapasitas hukum untuk melarang aktivitas pelakupelaku non-negara di negaranya. Pelaku non-negara yang lain adalah lembaga-lembaga internasional seperti PBB. Di satu sisi, gagasan tentang responsibility to protect mencerminkan kepedulian yang semakin besar terhadap keamanan manusia (human security). Namun di sisi lain, gagasan tersebut juga dapat merupakan tantangan baru bagi konsep-konsep tradisional tentang kedaulatan negara. Dibingkai dengan prinsip kedaulatan negara merupakan tanggungjawab negara untuk melindungi, bukan semata-mata menuntut kesetiaan, warganegaranya, tanggung jawab untuk melindungi itu dapat menjadi dalih bagi intervensi militer atas dasar kemanusiaan (humanitarian intervention). Asumsinya adalah bahwa masyarakat internasional mempunyai kewajiban untuk melakukan campur tangan ke wilayah nasional suatu negar a ketika negara tersebut dianggap tidak sanggup lagi melindungi keselamatan dan kesejahteraan warga negaranya. Ketidakdemokrasian dalam pengambilan

121

keputusan dalam Dewan Keamanan dan/atau tiadanya unit militer tetap (stand by forces) di PBB menyebabkan beberapa pihak menganggap intervensi itu tidak lebih dari sekedar imperialisme negara -negara kuat. Pendek kata, perubahan struktur hubungan kekuatan itu hadir bersama dengan fenomena kedua, yaitu meningkatnya interdependensi dalam hubungan antar negara, membengkaknya ancaman transnasionalitas, dan globalisasi nilai -nilai lintasnasional, baik nilai universal seperti hak -hak asasi manusia atau nilai -nilai fundamentalisme agama. Ketiga-tiganya merupakan fenomena yang langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan boundary eroding . Dalam kaitan itu, persoalan terbesar adalah bagaimana mengelola batas bersama (common border). Padahal border dalam beberapa hal, khususnya di Asia Tenggara, acapkali mengaburkan konsep frontier, boundary dan border. Revolusi dibidang teknologi komunikasi, informasi, dan persenjataan semakin mempersulit upaya untuk merumuskan response terhadap ancamanancaman. Kombinasi paling serius dari beberapa unsur tersebut menjelma dalam bentuk ancaman terorisme internasional. Berbeda dengan terorisme tradisional yang pada umumnya berkaitan dengan tujuan pembebasan nasional, terorisme modern seringkali mempunyai tujuan terlalu luas dan tidak dapat dibingkai dalam ranah konvensional. Kehadiran mereka dalam jaringan internasional dan potensi mereka untuk menguasai senjata-senjata pemusnah menjadi persoalan serius. Setelah insiden World Trade Center (11 September 2001) ancaman semacam itu

121

mendorong berbagai negara untuk melakukan kaji ulang strategis mereka, termasuk yang kemudian muncul dalam bentuk hak suatu negara untuk melakukan serangan berdasarkan pada doktrin beladiri preemtif ketika suatu negara merasa terancam. 13
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

Di dalam negeri, lingkungan strategis tetap akan ditandai dengan ketidakpastian. Otonomi daerah telah mengakibatkan menguatnya politik identitas dan menimbulkan berbagai masalah, mulai dari ketegangan pusat-daerah sampai pada konflik komunal. Bersamaan dengan itu, refo rmasi masih menyisakan banyak agenda, mulai dari stagnasi pembangunan ekonomi, reinstitusionalisasi sistem politik, sampai masalahmasalah yang berkaitan dengan reformasi birokrasi dan perubahan perilaku masyarakat. Dalam transisi politik, sistem belum sepenuhnya terbentuk. Involusi organisasi, kelangkaan ketentuan perundangan yang memadai, dan tidak adanya kebijakan yang komprehensif menyebabkan terbatasnya kapasitas negara untuk menyelesaikan masalahmasalah tersebut. Yang terjadi kemudian adalah security deficit. Daerah-daerah pinggiran, seperti Papua dan Aceh akan menjadi hot-spots bagi politik identitas dan masalah residual dari pemerintahan pusat yang terlalu kuat pada masa Orde Baru. Penindasan politik pada masa Orde Baru, bersama dengan deprivasi relatif (relative deprivation) dan persepsi tentang ketidakadilan dalam pembagian

121

keuntungan sumber daya menyebabkan menguatnya keinginan untuk merdeka. Lebih seperempat abad Aceh telah menjadi ajang bagi kaum separatis bersenjata. Papua kemungkinan akan menempuh garis yang sama kalau pemerintah pusat tidak segera dapat meredam gejolak di provinsi itu. Di beberapa tempat lain, program transmigrasi ternyata membawa serta berbagai persoalan, mulai dari segregasi pemukiman dan pembagian kerja menurut garis etnik. Bersamaan dengan pergeseran sirkulasi elit, unsur-unsur itu dengan mudah memicu potensi menjadi konflik komunal di beberapa tempat, seperti Maluku, Poso (Sulawesi Tengah), Sampit (Kalimantan Tengah), dan Mataram (Nusa Tenggara Barat). Risiko terbesar yang ditimbulkan oleh konflik komunal adalah rusaknya ikatan persatuan dan kesatuan bangsa, serta menyebabkan gelombang pengungsian dalam skala besar. Di samping itu, akibat kerusakan berbagai infrastruktur, fasilitas sosial dan fasilitas umum dalam skala besar, menyebabkan terganggunya kegiatan pemerintahan. Gugatan terhadap legitimasi pemerintah pusat di Aceh dan Papua serta gugatan terhadap otoritas pemerintahan di tempattempat yang mempunyai potensi kuat terjadinya konflik komunal merupakan ancaman serius terhadap kredibilitas pemerintah pusat. Ketidakmampuan aparat keamanan meredam suasana akan semakin memperbesar security deficit. Kegagalan pemerintah pusat dalam menyusun response yang tepat bisajadi justru memperkuat kecenderungan untuk terjadinya konflik dikelak kemudian hari.

121

Di masa lalu, ancaman didefinisikan secara longgar sebagai segala sesuatu yang membahayakan kedaulatan nasional, integritas wilayah, keselamatan warga negara dan kehidupan demokrasi di Republik Indonesia, serta membahayakan kete rtiban dan perdamaian regional dan internasional, baik yang bersifat konvensional maupun non -konvensional. Ancaman tersebut dapat multidimensional dan berdifusi secara eskalatif dan secara teknis dapat dihadapi oleh seluruh kekuatan nasional, mulai dari diplomasi sampai dengan kekuatan militer.
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

14 Dalam semua itu terdapat persoalan relevansi sumber daya yang digunakan dan kontekstualisasi ancaman sehingga hanya ancaman bersenjata, yaitu ancaman yang menggunakan kekerasan secara sistematik dan teorganisir, yang dapat dijawab dengan kekuatan militer. Ancaman-ancaman itu dapat berupa, antara lain, agresi, pelanggaran wilayah yang dilakukan oleh negar a lain, baik yang menggunakan kapal maupun pesawat non-komersial, spionase, sabotase, aksi teror bersenjata, pemberontakan bersenjata, dan perang saudara. Kalaupun ancaman lain akan dijawab dengan kekuatan militer tentu memerlukan rincian dan ketentuan ter sendiri. Sebagai operasi yang melibatkan kalangan non-militer dan tidak menghadapi musuh yang memiliki status combatant , operasi militer selain perang (OMSP) memerlukan pengaturan yang sama sekali berbeda dari perang konvensional. Meski sebagian besar ancaman yang

121

akan dihadapi Indonesia berupa separatis bersenjata, eskalasi konflik internal yang tidak dapat diatasi dengan cara normal, berbagai bentuk ancaman transnasional, dan/atau penegakan hukum di laut, tidak berarti bahwa Indonesia tidak perlu meng embangkan kekuatan militer sebagai kekuatan penangkal (deterrence), penindak, dan/atau semata-mata untuk menopang upaya diplomasi dan politik luar negeri Indonesia. Pertanyaan pokok adalah bagaimana pengembangan kekuatan dapat dilakukan secara efektif tanpa mengabaikan legitimasi pembangunan kekuatan itu sendiri. Bersamaan dengan itu adalah keharusan untuk mengandalkan pada kerjasama dengan negara-negara ASEAN dan menunjukkan komitmen pada upaya global dalam menghadapi ancaman transnasional serta ancaman terhadap keamanan manusia. Dalam suasana seperti itu tidak mudah merumuskan kebijakan pertahanan yang dapat diterima oleh publik, bahkan sekedar komitmen nasional. Hingga kini kebijakan pertahanan dan keamanan tetap hanya merupakan persoalan bagi sekelompok orang. Bahkan di lingkungan DPR, tidak banyak anggota parlemen yang menganggap pertahanan sebagai persoalan serius. Agenda DPR dalam 5 tahun belakangan lebih didominasi oleh agenda jangka pendek. Pendek kata, bagi sebagian orang, perencanaan pertahanan bukan merupakan prioritas baik karena tergeser oleh agenda transisi politik yang lain, budaya strategis yang tetap beranjak dari prinsip kontinental, maupun karena ketidakpahaman terhadap risiko keamanannya.

121

15
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

Regulasi politik di bidang pertahanan merupakan masalah mendasar dalam pengelolaan negara karena beberapa hal. Pertama, dilihat dari substansinya, masalah pertahanan adalah masalah survival of the state, survival of the nation , dan untuk itu harus memberi perhatian pada upaya ketertiban dunia. Ketiga hal tersebut menggarisbawahi makna keberadaan negara baik dalam konteks domestik dengan segala aspeknya terutama aspek pertanggungjawaban politik maupun dalam hubungan eksternal dalam interaksinya dengan negara lain. Kedua, regulasi politik menjadi penting untuk menjamin kepastian hukum dan kepastian politik tentang pelaksanaan fungsi pertahanan dalam sistem penyelenggaraan negara. Di dalamnya diatur tidak hanya kedudukan, kewenangan, dan interaksi antara antar institusi politik pertahanan, melainkan juga hubungan mereka dengan instrumen pelaksana kebijakan pertahanan, terutama TNI. Aspek kedua ini pada dasarnya menyangkut masalah tataran kewena ngan dalam pengelolaan pertahanan negara. Dalam konteks ini regulasi politik bidang pertahanan dimaksudkan untuk menata penyelenggaraan fungsi pemerintahan di bidang pertahanan dalam sistem demokrasi dengan batas-batas wewenang dan tanggung jawab (akuntabilitas) yang jelas. Ketiga, dengan kepastian hukum dan politik tentang hubungan institusional seperti itu, regulasi politik dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan institusi dan instrumen pertahanan untuk kepentingan

121

politik atau kekuasaan kelompok terten tu. Dengan demikian, pembentukan dan perumusan regulasi politik yang tegas ditujukan untuk melindungi instrumen pertahanan negara dari permainan -permainan politik. Pengalaman selama Orde Baru, ketika TNI dan POLRI menjadi alat kekuasaan, adalah contoh tepat yang menggambarkan hal itu. Keempat, regulasi politik bidang pertahanan sangat fundamental karena tugas untuk menjaga kelangsungan hidup negara dan bangsa yang menjadi tujuan dasar upaya pertahanan mensyaratkan upaya diplomasi dan interaksi dengan ne gara lain. Ini berarti regulasi politik bidang pertahanan harus memberikan ruang bagi keikutsertaan Indonesia dengan menggunakan instrumen pertahanan dalam upaya perdamaian dan ketertiban dunia. Keempat hal di atas menjadi sangat relevan pada saat ini keti ka pengaturan legal dan konstitusional bidang pertahanan masih saling tumpang tindih yang sering membuat instrumen pertahanan dan keamanan raguragu dalam bertindak dalam menghadapi berbagai persoalan atau ancaman saat ini. Atau, karena regulasi politik yan g tumpang tindih seperti itu, kontrol terhadap instrumen pertahanan menjadi tidak efektif atau lemah. Regulasi politik dengan demikian mempunyai dimensi legal-konstitusional dan dimensi politik baik ke dalam maupun dalam hubungannya dengan masyarakat internasional. Dilihat dari substansi yang diatur, regulasi politik bidang pertahanan pada dasarnya memuat tiga hal pokok yaitu kewe -

TIGA
Kebijakan Pertahanan Indonesia

121

Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

16 nangan dalam kebijakan pertahanan, upaya pembinaan kekuatan pertahanan, dan penggunaan kekuatan pertahanan, dan pembinaan potensi pertahanan. Hubungan antar institusi dalam bidang pertahanan memberi batas tegas antara kewen angan politik dan aspek operasional yang masingmasing mempunyai wilayah akuntabilitas yang berbeda. Tetapi perlu digarisbawahi bahwa persoalan-persoalan di atas tidak bisa dilepaskan dari cara pandang/filosofi, nilai, atau ideologi, serta konteks sejarah, meskipun juga diakui terdapat prinsip -prinsip umum pengelolaan pertahanan negara, baik aspek kebijakan maupun pelaksanaannya. Oleh karena itu menjadi penting membahas kerancuan pemahaman antara pertahanan dan keamanan, yang sering berimplikasi pada kerancuan penataan institusional dalam menata sistem keamanan nasional, termasuk pertahanan. Dengan pemahaman ini, terlihat bahwa ketidakjelasan regulasi politik bidang pertahanan bahkan keamanan nasional dalam konteks yang lebih besar, tidak hanya karena saat ini Indonesia berada dalam periode transisi yang diwarnai oleh beberapa ketidakjelasan penataan sistem politik, melainkan juga karena terdapat beragam ketidakkonsistenan dan cara pandang yang tidak dapat diakomodasi oleh sistem politik. Dalam konteks ini, faktor sejarah sering menimbulkan ketidakjelasan regulasi politik pertahanan. Sejarah sering dipahami sebagai sesuatu yang given yang memberikan

121

legitimasi permanen kepada instrumen pertahanan untuk memainkan peran di luar expertise mereka. Bahkan lebih bu ruk lagi, sejarah sering juga membentuk cara pandang di kalangan politisi sipil tentang berbagai persoalan, terutama hubungan sipilmiliter yang menghambat upaya pembentukan sistem politik demokratis yang ditandai oleh supremasi otoritas politik terhadap institusi militer. Dwifungsi ABRI di masa lalu dan sistem pertahanan semesta ditafsirkan secara keliru dengan menggunakan legitimasi sejarah. Demikian pula halnya dengan dominannya peran militer dalam institusi pertahanan, terutama Departemen Pertahanan, adalah karena pemahaman yang keliru bahwa masalah pertahanan adalah domain kewenangan militer. Pada tingkat operasional dan taktikal juga menunjukkan hal yang sama. Sistem pertahanan yang bertumpu pada pengembangan kekuatan darat dengan strategi pertahanan pulau besar merupakan warisan cara pandang tentang perang gerilya atau perang kemerdekaan. Sementara perkembangan internasional, sifat dan bentuk perang, serta sumber ancaman telah melampaui batas-batas politik dan wilayah tradisional. Seharusnya, sejarah dilihat sebagai proses atau perkembangan yang mempunyai kekhususan untuk jamannya. Di sinilah pemahaman tentang ketentuan konstitusi mengenai pertahanan harus dilihat. Sangat jelas bahwa UUD 1945 adalah konstitusi yang sangat sederhana dan dibuat pada jam an revolusi kemerdekaan dalam situasi perang, suatu konstitusi perang. Dilihat dari proses penyusunannya pada awal -awal tahun 1940an, tampak sekali bahwa UUD 1945 berwatak

121

konstitusi perang. Karena itu rumusanrumusannya tentang pertahanan negara tampak menggantung, umum, dan kabur. Rumusan konstitusional tentang pertahanan hanya terbatas pada pasal 10 -12 dan 30. Pasal-pasal ini menunjukkan bahwa para perancang UUD 1945 telah memperhitungkan bahwa negara baru Indonesia akan ber17
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

ada dalam situasi perang. Menjadi wajar yang dimuat adalah ketentuan tentang kewajiban warganegara dalam upaya bela negara dan wewenang presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dengan negara lain, dan kedudukan presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Meskipun pasal-pasal ini masih relevan, mereka tidak cukup menjadikan UUD 1945 seperti sekarang sebagai fondasi peletak dasar-dasar hubungan sipil-militer dalam pengelolaan pertahanan negara. Tetapi, perkembangan selanjutnya menunjukkan pasal-pasal UUD 1945 hasil amandemen tentang pertahanan juga masih bertentangan satu sama lain. Bab XII tentang pertahanan, yaitu Pasal 30, berjudul Pertahanan dan Keamanan Negara. Tetapi pada ayat (4) dinyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat yang bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan menegakkan hukum. Harus dipikirkan ulang apakah rumusan fungsi dan tugas kepolisian seperti itu masuk dalam kategori pertahanan dan keamanan negara sebagaimana dimaksud

121

dalam Bab XII Pasal 30 UUD 1945 hasil amandemen. Kerancuan lain adalah tentang kedudukan TNI sebagai alat negara yang bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Tidak hanya pasal ini sangat state-centric karena memusatkan pertahanan pada aspek pertahanan negara, bukan pertahanan nasion al, melainkan juga karena pasal ini tidak menjelaskan peran dan fungsi TNI sebagai komponen utama dalam pertahanan negara untuk menghadapi bentuk dan jenis ancaman seperti apa. Mungkin agak berbeda jika fungsi-fungsi itu dilihat sebagai fungsi negara secara umum. Tetapi, ketika fungsi seperti itu diberikan kepada suatu instrumen, dalam hal ini TNI, maka bisa muncul interpretasi bahwa TNI akan memasuki wilayah-wilayah di luar expertise nya dan kewenangannya atas nama pertahanan negara. Selain itu, masih terdapat kekaburan makna sishankamrata (sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta). Kekaburan pertama adalah pada aspek substansi. Jika yang dimaksudkan adalah pertahanan dan keamanan negara, maka fungsi polisi seperti dirumuskan pada ayat (4) harusnya tidak termasuk pada sishankamrata. Paling tidak, bisa lahir perdebatan panjang tentang posisi polisi dalam sishankamrata, sementara rumusan tentang fungsi kepolisian dalam Bab yang sama adalah hanya untuk keamanan dan ketertiban masyarakat yang kemudian d irinci menjadi melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Bab ini juga sangat aneh karena Han dan Kam yang telah dipisah oleh Tap MPR Nomor VI dan VII tahun 2000 digabung lagi menjadi

121

Pertahanan dan Keamanan Negara di mana baik TNI dan POLRI menjadi komponen utama dalam sishankamrata tersebut. Ini berarti bahwa fungsi TNI dan polisi menjadi kabur dalam sistem penyelenggaraan negara. Masalah lain adalah apakah makna dari sishankamrata? Apakah ini doktrin ataukah suatu sistem pertahanan dan keamanan yang menunjukkan hubungan -hubungan kewenangan dalam pengelolaan pertahanan dan keamanan negara yang menggariskan aturan-aturan tentang pengerahan kekuatan pertahanan, termasuk potensi pertahanan? Sementara itu, jika sishankamrata adalah doktrin, maka tidak tepat pengaturannya di Kaji
Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

18 masukkan pada tingkat konstitusi. Jika sishankamrata dilihat sebagai sistem dalam pengertian di atas, maka harus ada penjelasan atau ketentuan lebih lanjut tentang sistem yang dimaksud. Sementara UUD 1945 hasil amandemen tidak mengatur hal itu, peraturan perundang-undangan di bawah tingkat konstitusi juga tidak menjawab pertanyaanpertanyaan di atas. Pertanyaan-pertanyaan siapa yang harus mengembangkan dan bertanggung jawab atas pelaksanaan sishankamrata, TNI dan POLRI, Presiden, ataukah Departemen Pertahanan? Karena faktor sejarah dan pengalaman, pendapat umum menyatakan bahwa ini adalah tanggung jawab TNI bersama-sama dengan POLRI. Jadi secara umum, terdapat ketidaksinkronan antara Tap MPR dan konstitusi dalam masalah pertahanan dan keamanan negara. Lebih fundamental dari masalah di

121

atas adalah perlunya meletakkan kembali maksud Pasal 30 UUD 1945. Pasal 30 UUD 1945 sebenarnya dimaksudkan sebagai pengaturan tentang hak dan kewajiban warganegara dalam pertahanan negara. Terlepas dari persoalan bahwa hak bela negara oleh warganegara masih menjadi perdebatan atau paling tidak harus dirumuskan dalam kebijakan pertahanan negara yang dirinci ke dalam suatu undang -undang mobilisasi atau undang-undang bela negara, adalah rancu meletakkan hak dan kewajiban warganegara dalam bidang pertahanan dalam suatu Bab yang mengatur negara dan instrumennya dalam bidang pertahan an. Ketentuan yang mengatur negara dan instrumennya dalam bidang pertahanan, sesuai dengan tujuan didirikannya negara Indonesia harus diatur tersendiri dalam konstitusi yang intinya menggarisbawahi pemberian wewenang kepada yang berdaulat yaitu negara atas dasar mandat rakyat. Jadi, kewenangan bidang pertahanan tidak diserahkan kepada salah satu instrumen negara yaitu TNI. Hal ini makin jelas jika Alinea ke 4 Pembukaan UUD 1945 dilihat lebih dalam. Pada alinea ini, aspek pertahanan dan keamanan negara dinya takan dalam rumusan ... untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan ikut melaksanakan ketertiban dunia . Ketiga hal ini adalah fungsi politik negara. Pembukaan UUD 1945 ini berbenturan dengan Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara. Seharusnya, fungsi kepolisian dalam bidang keamanan dan ketertiban masyarakat tidak termasuk aspek

121

yang diatur oleh Alinea 4 Pembukaan UUD 1945. Karena alinea 4, khususnya pertahanan dan keamanan negara merupakan politik negara, maka ia memasuki mandat politik rakyat. Untuk itu bab tentang pertahanan dan keamanan negara harus menjadi bab tersendiri dalam konstitusi dengan rumusan yang lebih komprehensif dari pada sekedar rumusan seperti sekarang ini. Persoalannya adalah bagaimana menempatkannya dalam struktur kekuasaan negara? Jika pertahanan dan keamanan negara adalah politik negara atas dasar mandat rakyat, maka kekuatan pertahanan dan keamanan negara tidak dapat ditempatkan dalam salah satu kekuatan dari trias politika . Kekuatan pertahanan dan keamanan negara tidak boleh diletakkan di bawah eksekutif, legislatif, atau yudikatif saja. Mereka harus diletakkan dalam hubungan -hubungan antara ketiga lembaga negara tersebut yang mencerminkan mekanisme checks and balances . Melihat masalah-masalah di atas, maka sa19
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

ngat mendesak dilakukan penafsiran ulang (reinterpretasi) dan konstruksi tentang isi Pembukaan UUD 1945, perubahan UUD 1945, dan perbaikan perundang -undangan organik tentang pertahanan dan keamanan negara. Sementara itu pada tingkat undangundang, UU No. 3/2002 mengandung inkonsistensi atau mengandung beberapa hal yang mengundang perdebatan. Pertama tentang kesan atau persepsi bahwa pertahanan menjadi jurisdiksi eksklusif TNI. Ataukah hanya ancaman militer saja? Selain itu,

121

pengerahan kekuatan militer dalam keadaan mendesak juga harus dilihat lebih komprehensif. Memang, dalam situasi tertentu Presiden berwenang mengerahkan kekuatan militer, tanpa otorisasi dari DPR. Persoalannya adalah syarat pengerahan kekuatan militer tanpa otorisasi tersebut tidak mempunyai landasan konstitusional, kecuali hanya dinyatakan dalam konstitusi bahwa Presiden berwenang menyatakan keadaan darurat. Jika hal ini dipandang sebagai hal yang sangat mendasar, akan lebih tepat secara politik memperdebatkan atau memasukkan masalah ini ke dalam konstitusi, bukan pada tingkat undang-undang. Undang-undang No. 3 Tahun 2002 juga tidak secara definitif memilah antara pembinaan kekuatan dan penggunaan kekuatan. Masing-masing angkatan mempunyai kekhasan berdasarkan masing-masing matra. Oleh karena itu, pembinaan masing -masing angkatan harus diserahkan kepada Kepal a Staf Angkatan. Kepala Staf Angkatan dengan demikian bertanggung jawab atas kesiapan dan expertise militer di setiap angkatan yang pada situasi tertentu dibutuhkan oleh panglima untuk melakukan suatu operasi militer. Artinya, wewenang penggunaan kekuatan militer setelah ada keputusan dari otoritas politik, ada pada panglima. Sementara itu, Pasal 18 UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menyatakan bahwa Panglima TNI menyelenggarakan pembinaan profesi dan kekuatan militer. Memang pada akhirnya masalah ini tergantung dari pilihan -pilihan, apakah akan memilih model panglima seperti sekarang yang mempunyai kedudukan kuat terhadap masing-masing angkatan, ataukah

121

model Kepala Staf Gabungan. Dalam hal ini, UU No. 3/2002 tidak tegas di dalam menentukan kompetensi internal otoritas militer. Hal ini akan melahirkan perdebatan panjang di kalangan internal militer. Kontroversi lain tentang panglima adalah kedudukannya setingkat menteri langsung di bawah presiden. Muncul dua persoalan. Pertama, hal ini akan m enyulitkan perwujudan supremasi Departemen Pertahanan terhadap TNI. Departemen Pertahanan seharusnya tidak hanya merumuskan kebijakan pertahanan negara dan kewenangan -kewenangan lain sebagaimana telah dirumuskan dalam Undang-undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, melainkan juga mempunyai kewenangan melakukan kontrol terhadap TNI, sebab pertanggungjawaban politik tentang TNI melekat pada Departemen Pertahanan atau Menteri Pertahanan. Persoalan kedua berkaitan dengan makna Presiden sebagai pemegan g kekuasaan tertinggi atas angkatan -angkatan. Beberapa kejadian empirik dan ketentuan politik -legal menunjukkan keraguan -keraguan terhadap legitimasi presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas angkatan -angkatan. Perdebatan di sekitar pasal 19 RUU TNI adalah contoh mutakhir tentang hal ini.
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

20 Jadi, regulasi politik bidang pertahanan dan keamanan masih simpang siur baik secara substansi maupun dalam hal hubungan antar institusi dan instrumen pertahanan. Masalah ini sangat krusial dan harus menjadi salah satu agenda reformasi sektor

121

keamanan pada periode -periode yang akan datang yang memerlukan komitmen dari semua pihak yang berpentingan (sta keholders) yaitu otoritas politik, TNI, dan masyarakat secara umum. Tujuan utama dari agenda ini adalah membentuk supremasi otoritas politik dalam pengelolaan masalah pertahanan dan keamanan negara dalam suatu sistem politik demokratis untuk mencegah terjadinya sentralisasi kekuasaan dan penyalahgunaan kekuatan pertahanan yaitu TNI untuk kepentingan politik tertentu. Tujuan kedua adalah menciptakan suatu kekuatan TNI yang profesional yang memiliki akuntabilitas operasional dan akuntabilitas kompetensi masalah-masalah militer. Melihat bahwa fungsi pertahanan dan keamanan negara adalah fungsi politik penyelenggaraan negara atas dasar mandat atau kedaulatan rakyat yang menjadi salah satu alasan pembentukan (eksistensi) negara, maka reformasi sektor keamanan untuk menata semua institusi yang mem-bidangi masalah ini dan meletakkannya dalam mekanisme checks and balances yang universal tidak bisa tawar-tawar lagi. Salah satu bentuk regulasi politik di bidang pertahanan adalah buku putih pertahanan. Buku putih putih pertahanan adalah suatu pernyataan tentang kebijakan pertahanan negara untuk menciptakan saling percaya antara Indonesia dengan negara lain. Dilihat dari sisi internal, buku putih mengandung beberapa beberapa aspek. Pertama, buku putih yang merupakan pe rnyataan kebijakan pertahanan negara adalah bentuk pertanggungjawaban politik pemerintah kepada masyarakat. Sebagai pernyataan

121

kebijakan pertahanan negara, buku putih dimaksudkan untuk memberi ruang kepada masyarakat melalui mekanisme sistem politik demokratis untuk mengontrol kebijakan pertahanan. Kedua, buku putih memberikan arah bagi pengembangan dan pembinaan kekuatan pertahanan dan penggunaan kekuatan pertahanan. Untuk menumbuhkan saling percaya, sebagai pernyataan kebijakan pertahanan negara yang berimplikasi pada pengembangan, pembinaan, dan penggunaan kekuatan pertahanan, buku putih pertahanan memuat secara garis besar tentang siapa kita, who are we, dari berbagai sudut pandang. Misalnya menjelaskan posisi Indonesia sebagai negara kepulauan denga n berbagai tantangan keamanan yang dihadapi sebagai negara yang berada di persimpangan dunia. Penting juga dikemukakan dalam buku putih filosofi politik pertahanan Indonesia, misalnya sebagai bangsa yang cinta damai dan kemerdekaan, kepentingan nasional ap a yang hendak diperjuangkan, dan masalah -masalah pertahanan dan keamanan apa yang dihadapi saat ini dan beberapa waktu yang akan datang. Masalah kedua yang penting dimuat dalam buku putih pertahanan adalah penjelasan tentang bagaimana memperjuangkan kepentingan pertahanan dan keamanan negara. Di sini perlu penjelasan tentang komitmen Indonesia untuk mempertahankan keamanan regional atau keamanan internasional secara umum. Bagaimana mempertahankan Indonesia juga berarti menjelaskan seberapa besar kekuatan 21

121

Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

pertahanan yang akan dibangun, bagaimana kekuatan ini hendak digunakan. Komitmen terhadap keamanan regional dan upaya untuk membangun kekuatan pertahanan berarti bahwa Indonesia tidak akan membangun kekuatan yang bisa ditafsirkan ke arah perlombaan senjata. Untuk itu, dalam waktu yang sama Indonesia harus juga memberikan kontribusinya pada upaya perdamaian dunia melalui operasi militer untuk peacekeeping operations . Aspek eksternal dari buku putih dengan demikian sangat sarat dengan upaya membangun saling percaya. Untuk itu, menjelaskan kepada masyarakat internasional besaran anggaran pertahanan dan penggunaannya sangat membantu upaya membangun saling percaya tersebut. Akan menjadi lebih baik, seperti yang dilakukan Jepang dan Australia, jika dipaparkan juga rencana pengembangan kekuatan pertahanan di masa depan dan untuk tujuan dari pengembangan tersebut. Secara normatif, tidak banyak perbedaan pandangan tentang tujuan buku putih pertahanan. Perbedaan pandangan tentang buku putih biasanya berkisar pada masalah seberapa jauh data tentang pertahanan dan keamanan negara dipaparkan ke masyarakat dalam negeri dan masyarakat internasional. Beberapa pihak mengatakan bahwa aspek tertentu dari pertahanan sangat sensitif. Sementara pihak lain mengatakan bahwa saat ini dengan keterbukaan informasi data tentang kekuatan pertahanan, bahkan termasuk anggaran, sudah tidak bisa ditutupi lagi. Sumber-sumber informasi sangat

121

beragam. Dengan demikian sensitivitas atau kerahasiaan dalam masalah pertahanan pada dasarnya berkisar pada taktik dan strategi, dan beberapa aspek non -fisik, yang sering dirumuskan sebagai senjata sosial kekuatan pertahanan Indonesia. Masalah lain di sekitar buku putih pertahanan adalah tidak adanya komitmen terhadap beberapa ketentuan kebijakan pertahanan yang tertuang dalam buku putih yang dikeluarkan oleh Departemen Pertahanan itu. Masih ada pemahaman bahwa buku putih pertahanan adalah urusan Departemen Pertahanan. Padahal, buku putih pertahanan adalah kebijakan negara dalam bidang pertahanan yang mengasumsikan koordinasi antar departemen dan melibatkan DPR, sehingga buku putih dapat disebut sebagai pernyataan komitmen nasional terhadap masalah-masalah pertahanan yang dihadapi oleh Indonesia. Akibatnya buku putih pertahanan sampai sekarang belum menjadi kerangka acuan bagi pembangunan dan pembinaan pertahanan ke depan. Bahkan, dalam lingkungan internal TNI sendiri, buku putih masih sering hanya sebatas kertas, tidak mempunyai kekuatan politik untuk diimplementasikan oleh TNI. Masih sering dipahami bahwa buku putih hanya melaksanakan amanat Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Banyak faktor dapat menjelaskan kelemahan implementasi kebijakan pertahanan oleh TNI. Tetapi yang paling krusial adalah dominannya struktur komando TNI terhadap para perwira TNI yang berada di Departemen Pertahanan, ketidakmampuan sipil dalam mengelola kebijakan pertahanan negara, dan ketidakmamp uan

121

negara memberikan anggaran yang cukup kepada TNI yang menyulitkan kontrol terhadap TNI. Buku putih pertahanan secara lebih khusus kemudian menjelaskan beberapa kebijakan penggunaan TNI baik untuk operasi militer perang maupun untuk operasi militer selain perang. Pada satu sisi masih timbul kekhawatiran bahwa penggunaan TNI untuk operasi militer selain perang bisa melahirkan
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

22 militerisme kembali karena ini memberikan justifikasi peran TNI di luar urusan militer dalam menjalankan fungsinya dalam bidang pertahanan negara. Kekhawatiran ini sangat wajar karena pengalaman masa lalu dan juga karena reformasi yang sekarang bergulir tidak menunjukkan kemampuan otoritas politik dalam mengontrol TNI. Selain itu, dengan maraknya isu terorisme dan penguatan state dalam melakukan kontrol terhadap kebebasan sipil menjadikan persepsi penguatan peran TNI dalam bidang non -pertahanan merupakan sesuatu yang da pat dipahami. Persepsi seperti ini bisa salah. Memang tidak banyak masyarakat umum bahkan politisi memahami tugas-tugas militer selain perang. Padahal, tugas militer baik perang maupun non-perang tidak diputuskan oleh TNI sendiri. Penjelasan tentang operas i militer baik perang maupun non -perang diperlukan untuk meluruskan salah paham terhadap Tap MPR Nomor VI dan VII Tahun 2000 tentang fungsi TNI dan POLRI dan terhadap UU No. 2 tentang Kepolisian Republik Indonesia dengan interpretasinya mengenai keamanan dalam

121

negeri. Tap MPR VI dan VII sering dipahami secara salah yang menyebabkan kesemerawutan manajemen pertahanan dan keamanan nasional. Pemahaman atas tap -tap tersebut adalah bahwa TNI menjalankan fungsi pertahanan, sedangkan POLRI menjalankan fungsi keamanan dalam pengertian keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Tetapi, berdasarkan ketentuan ini muncul persepsi bahwa TNI mengurusi pertahanan dari ancaman militer/bersenjata eksternal, sedangkan POLRI membidangi keamanan dalam negeri. Padahal keam anan dalam negeri jelas berbeda dari ketertiban masyarakat (public order). Karena pemahaman seperti ini, dalam menghadapi GAM TNI diperbantukan pada POLRI, padahal masalah Aceh adalah masalah darurat yang kini berada di bawah status darurat militer. Bahkan dasar legal memberlakukan keadaan darurat militer di Aceh salah satunya adalah Undang -undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bukan Undangundang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Jika demikian, bagaimana memberikan justifikasi pengerahan TNI ke Aceh? Di sinilah konsep operasi militer selain perang menjadi relevan. Dengan mengikuti logika Tap VI dan VII dan penafsiran yang tidak tepat seperti itu, maka perang adalah situasi ketika menghadapi musuh bersenjat a dari luar atau negara lain. Jadi, setiap operasi militer selain menghadapi kekuatan bersenjata dari luar disebut sebagai operasi militer selain perang, termasuk di dalamnya operasi militer untuk menghadapi pemberontakan bersenjata di dalam negeri. Pember ontakan bersenjata

121

dalam negeri dan separatisme adalah masalah keamanan dalam negeri, tetapi bukan dalam konteks ketertiban masyarakat sebagaimana dimaksud dalam fungsi kepolisian. Buku putih pertahanan juga telah mengakui spektrum ancaman yang beragam, suatu pengakuan bahwa masalah -masalah pertahanan tidak hanya menyangkut masalah militer. Kebijakan dan instrumen untuk menghadapi ancaman yang beragam dan dalam eskalasi yang berbeda juga sangat penting. Dalam buku putih dijelaskan eskalasi situasi dari tertib sipil, darurat sipil, darurat militer, sampai dengan darurat perang. Sekali lagi karena perbedaan pandangan tentang pembagian fungsi TNI dan fungsi kepolisian berdasarkan Tap MPR No. VI dan VII, muncul 23
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

perdebatan dalam situasi apa TNI akan dikerahkan? Satu pandangan menyatakan bahwa situasi keamanan pada tingkat tertib sipil dan darurat sipil masih dapat diatasi oleh polisi, sementara itu militer hanya dikerahkan ketika keadaan dinyatakan darurat militer dan darurat perang. Pandangan lain menyatakan bahwa militer bisa saja dikerahkan dalam situasi darurat sipil, seperti yang terjadi di Maluku, atau bahkan dalam keadaan tertib sipil untuk melaksanakan tugas non-perang. Menurut pandangan ini, adalah keputusan politik yang menentukan kapan dan untuk apa militer dikerahkan. Sumber-sumber ancaman yang diidentifikasi sangat beragam, mulai dari kerusuhan massa, konflik komunal, separatisme,

121

terorisme (termasuk pembajakan), radikalisme, illegal fishing, illegal logging, illegal migration dan human trafficking , kejahatankejahatan lintas negara (trans-national crimes), serta ancaman-ancaman keamanan yang berdimensi maritim. Adalah menarik terdapat suatu kesepakatan pandangan bahwa invasi militer dari negara lain sangat kecil kemungkinanannya terjadi pada Indonesia. Tidak hanya dalam perhitungan Indonesia hal itu sangat mahal secara politik dan ekonomi, tetapi juga karena akan membawa konsekuensi negatif luar biasa terhadap kawasan secara keseluruhan. Identifikasi ancaman akan membawa implikasi pada strategi pertahanan dan pengembangan kekuatan pertahanan. Tentu ancaman bukan satu-satunya faktor yang harus diperhitungkan dalam mengembangkan kekuatan pertahanan. Posisi geostrategisnya di antara dua benua dan dua lautan dan menjadi jalur utama lalu lintas internasional akan menjadi faktor penting dalam merumuskan kebijakan dan strategi pertahanan Indonesia. Masalah ini harus dipahami dalam konteks internal dan eksternal. Secara internal, karena geostrategisnya yang yang terdiri dari ribuan pulau dan terdiri dari tiga wilayah ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) yang terbuka bagi masyarakat internasional didasarkan tuntutan dan kewajiban hukum laut internasional, Indonesia harus menciptakan sistem pertahanan nasional yang kredibel yang didasarkan atas konsep unified approach atau a single all-encompassing strategy yang meng-cover 17 ribu lebih pulau dengan luas 7.7 juta Km2 (termasuk wilayah zona ekonomi eksklusif) dengan panjang

121

pantai sekitar 80 ribu kilometer. Strategi pertahanan bagi negara kepulauan seperti Indonesia berarti juga mempertahankan kedaulatan maritim dan sumber daya yang berada di dalamnya. Keluar, untuk menciptakan faktor penangkal yang kuat kepada pihak eksternal, paling tidak melalui pengembangan kemampuan surveillance dan reconaissance. Strategi pertahanan juga harus memperhatikan perubahan-perubahan dunia internasional, terutama perubahan sifat perang, sifat dan bentuk ancaman dalam dunia yang digerakkan oleh perkembangan pesat di bidang teknologi dan komunikasi. Perang modern, dengan pengecualian perang untuk menggulingkan suatu rejim, tidak lagi didominasi perang teritorial yang dilakukan dengan konsep-konsep perlawanan bersenjata secara gerilya, melainkan merupakan perang yang menekankan penghancuran infrastruktur vital atau center of gravity . Perkembangan ini mau tidak mau haruslah mengubah cara pandang/paradigma pertahanan negara Indonesia sebagai negara kepulauan.
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

24 Jika ancaman yang akan dihadapi oleh Indonesia adalah ancaman -ancaman nontradisional seperti itu yang berada dalam lingkup geostrategis yang sangat terbuka, dan dengan adanya perubahan sifat perang, bagaimana pengembangan strategi yang cocok bagi Indonesia dan implikasinya bagi pengembangan kekuatan pertahanan? Pertanyaan ini sangat penting karena pada akhirnya setiap strategi harus memperhatikan

121

sumber-sumber nasional yang tersedia yang harus dikelola secara efektif untuk pertahanan negara. Dalam waktu yang sama keterbatasan sumber menjadi sumber perdebatan sengit dalam pemilihan strategi pertahanan yang cocok bagi Indonesia. Sampai sekarang strategi pertahanan yang bertumpu pada kekuatan darat (landbased strategy) masih dominan. Banyak hal menjelaskan mengapa demikian. Pertama adalah karena warisan sejarah yang bertumpu pada strategi perang gerilya selama perang kemerdekaan. Warisan sejarah ini kemudian melahirkan konsep-konsep pertahanan dan keamanan rakyat semesta dan pengembangan kemampuan TNI untuk menjalankan fungsi teritorial yang dijalankan oleh struktur kewilayahan yaitu KODAM, KOREM, KODIM, KORAMIL, dan Babinsa pada tingkat desa. Hal kedua yang menjelaskan mengapa Indonesia mengembangkan strategi yang bertumpu pada kekuatan darat adalah karena keterbatasan sumber-sumber nasional, terutama kemampuan finansial. Pengembangan kekuatan Udara dan Laut untuk mempertahankan Indonesia yang sangat luas ini memerlukan biaya yang tinggi. Harga satu pesawat tempur atau kapal perang, biaya perawatan, dan biaya operasinya bisa digunakan untuk mengembangkan kemampuan beberapa batalyon tempur kekuatan darat. Faktor ketiga adalah karena persepsi ancaman masih didominasi oleh ancamanancaman internal yang memerlukan kemampuan penginderaan dini dan pembinaan teritorial. Ancaman-ancaman internal tersebut adalah separatisme, pemberontakan bersenjata, konflik komunal, dan kerusuhan massal

121

yang tidak terkendali (chaotic). Kemampuankemampuan ini paling efektif dilakukan oleh kekuatan darat sesuai dengan ancaman yang dihadapi. Melihat ketiga faktor di atas, menjadi jelas bahwa pendukung strategi yang bertumpu pada kekuatan darat membangun argumennya dari prinsip ef isiensi dan efektivitas dalam pengembangan kekuatan pertahanan atas dasar keterbatasan sumber -sumber nasional, terutama keuangan, sesuai dengan kebutuhan pertahanan yang dibentuk oleh persepsi ancaman internal. Tetapi, suatu strategi tidak statis. Ia memerlukan kajian ulang sesuai dengan perkembangan dalam negeri dan perkembangan internasional. Pertama, kajian ulang berdasarkan pada strategi zona pertahanan berlapis. Indonesia menganut pertahanan tiga wilayah yaitu zona pertahanan luar yang berfungsi sebagai daerah penangkalan; zona pertahanan yaitu teritori luar Indonesia termasuk zona ekonomi eksklusif; dan zona perlawanan yaitu wilayah darat. Pembangunan kekuatan militer yang bertumpu pada kekuatan darat tampak didasarkan pada asumsi ketidakberdayaan zona dan pertama dan kedua, dan karena itu yang menjadi tumpuan untuk berperang melawan musuh adalah zona ketiga melalui pertahanan teritorial/wilayah atas dasar sishankamrata. Ini sama saja dengan membiarkan musuh memiliki keleluasaan memasuki wilayah Indonesia, sebuah pilihan yang sangat berisiko. Ini pun dengan catatan bahwa 25
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

musuh akan menerapkan perang teritorial.

121

Jika musuh hanya bertujuan untuk menghancurkan obyek vital strategis dan hanya berusaha untuk mengontrol kawasan strategis yang berada di zona pertama dan kedua, misalnya Sea Lanes of Communication , maka sulit bagi strategi pertahanan darat menghadapi ancaman seperti itu. Selain itu, kaji ulang diperlukan untuk melihat apakah struktur teritorial efisien dalam pengembangan kekuatan tempur dan pelaksanaan operasi TNI. Misalnya saja saat ini terdapat sekitar 66 batalyon tempur yang berada di kompartemen -kompartemen strategis Kodam, ditambah dengan grup -grup tempur Kopassus dan 2 divisi Kostrad. Ini merupakan 40% dari seluruh kekuatan darat. Enam puluh persen sisanya menduduki jabatan-jabatan di struktur teritorial dan staf yang tidak bisa digerakkan untuk keperluan tempur karena tidak mempunyai struktur tempur. Masalah kedua adalah sekitar 55 65% dari anggaran pembangunan yang diberikan oleh Departemen Pertahanan kepada TNI-AD dialokasikan ke Kodam, tidak kepada unit-unit atau batalyon tempur yang ditugaskan untuk menjalankan operasio perasi militer penting. Masalah ketiga adalah bahwa batalyon-batalyon yang berada di struktur Kodam atau batalyon teritorial tersebut tidak mempunyai struktur atau unit di atasnya yang bisa menggerakkan batalyonbatalyon tersebut. Jadi, mereka tidak mempunyai brigade dan divisi di atasnya. Struktur seperti ini hanya dimiliki oleh Indonesia. Akibatnya, bisa terjadi tidak ada koordinasi dalam menjalankan suatu operasi militer. Masih menjadi pertanyaan apakah hal ini memang merupakan strategi khas

121

Indonesia. Jika demikian, apakah tidak ada alternatif? Secara teoretik ada beberapa pilihan alternatif. Pertama, tetap mempertahankan struktur teritorial yang ada, tetapi fungsi teritorialnya dalam membina potensi kekuatan darat, laut, dan udara menjadi tanggung jawab otoritas politik. Pada tingkat pusat kendali pembinaan teritorial untuk kepentingan pertahanan berada di bawah kendali menteri pertahanan bekerjasama dengan departemen departemen terkait, terutama departemen dalam negeri. Sedangkan di tingkat daerah pembinaan teritorial di bawah kendali pemerintah daerah sesuai dengan kebijakan pembinaan potensi daerah untuk kepentingan pertahanan negara. Pilihan kedua adalah kembali pada Kowilhan. Wilayah Indonesia dibagi ke dalam beberapa komando wilayah pertahanan yang masing-masing dilengkapi dengan kemampuan untuk melakukan suatu operasi gabungan. Jadi masing -masing kowilhan akan mempunyai kekuatan divisi darat, skuadron tempur, dan armada laut. Pilihan ketiga yang agak rumit adalah menggabungkan strategi pertahan an masingmasing matra/angkatan sedemikian rupa sehingga ada gambaran jelas tentang strategi militer gabungan antara ketiga angkatan. Sering dikemukakan bahwa Angkatan Darat mempunyai struktur teritorial atau kompartemen strategis Kodam-Kodam. Sedangkan Angkatan Laut mempunyai ALKI, sedangkan Angkatan Udara mempunyai corong barat dan corong timur. Jika pembagian wilayahwilayah tersebut dilihat sebagai strategi masing-masing angkatan, dan kemudian digabungkan menjadi satu bagaimanakah

121

sebenarnya strategi pertahahan Indonesia? Ini belum bisa dijawab. Bahkan doktrin gabungan TNI juga belum ada. Yang terjadi adalah Angkatan Darat masih dengan strategi
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

26 kewilayahannya, Angkatan Laut dengan 3 ALKI, dan Angkatan Udara dengan dua corong di wilayah Barat dan Timur Indonesia. Ketidaksinkronan strategi ini bisa jadi merupakan akibat tidak adanya guidance dari otoritas politik. Sebuah strategi, apa pun ting katannya, sebenarnya adalah suatu seni untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan berdasarkan keterbatasan sumber -sumber atau kemampuan. Hal ini yang tidak dijelaskan oleh otoritas politik pusat, terutama dalam hal apa yang hendak dicapai oleh kepentingan nasional dan bagaimana kekuatan pertahanan digunakan untuk mencapai tujuan/kepentingan nasional tersebut. Karena hal ini masih belum bisa dijawab, strategi pertahanan apa yang akan dipilih menjadi sulit ditentukan. Pada saat yang sama, situasi ini justru membuka ruang untuk memikirkan ulang beberapa aspek penting dari strategi pertahanan nasional. Ketika rumusan political guidance belum bisa ditentukan, maka tidak ada pihak yang berhak mengklaim bahwa strategi pertahanan dan militer tertentu sudah sesuai dengan tujuan kepentingan nasional Indonesia. Hal ini menjadi tanggung jawab dan tugas pemerintah yang dibantu oleh suatu badan tertentu yang membidangi masalah keamanan, misalnya Dewan Keamanan Nasional, dan legislatif.

121

Oleh karena itu mutlak otoritas poli tik menentukan prioritas kepentingan nasional dan bagaimana mencapainya melalui pilarpilar strategi: yaitu strategi politik, strategi pertahanan militer, dan strategi ekonomi. Inilah yang disebut sebagai strategi raya atau grand strategy . Semua pilar ini a dalah hasil suatu keputusan politik bersama antara eksekutif dan legislatif. Grand strategy dengan demikian adalah suatu rumusan politik tentang kepentingan nasional dan bagaimana mencapainya. Pilar pertahanan dan militer dari grand strategy berisi tiga hal yaitu: (1) penilaian lingkungan strategis, termasuk di dalamnya penilain tentang potensi, bentuk, dan eskalasi konflik antar negara, konflik internal, dan konflik internasional; (2)penilaian potensi ancaman yang akan dihadapi oleh Indonesia; (3) penilaian kapabilitas pertahanan yang harus dikembangkan oleh Indonesia. Setelah melakukan penilaian -penilaian ini, perlu disusun strategi militer yaitu suatu ilmu dan seni untuk mengkoordinasikan pengembangan, penggelaran, dan penggunaan kekuatan militer untuk mencapai tujuan keamanan nasional. Dari pengertian ini maka strategi militer berisi 4 elemen dasar yaitu pengembangan kekuatan, penggelaran kekuatan, penggunaan kekuatan; dan koordinasi antara ketiga hal di atas. Muara dari strategi militer adalah un tuk menjawab dua pertanyaan: (1) Dimana kekuatan militer digelar dan; (2) ditujukan untuk melawan siapa atau untuk menghadapi apa? Ketika kekuatan militer akan digelar untuk suatu operasi, maka diperlukan suatu strategi operasional yang berisi tentang bagaimana

121

merencanakan, menyusun, dan mengarahkan kampanye militer di suatu mandala operasi. Tapi ini bukan jaminan keberhasilan sutau operasi militer. Strategi operasional akan tergantung dari penerapan strategi pertempuran di lapangan yang sering disebut sebagai taktik pertempuran. Masingmasing strategi memerlukan doktrin sebagai guidance pelaksanaan strategi tersebut. Doktrin yang berisi guidance dan strategi yang berisi bagaimana mencapai suatu 27
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

tujuan, sangat dipengaruhi oleh falsafah, nilai, sejarah, posisi geopolitik dan geostrategi, dan budaya. Dengan melihat strategi sebagai proses berjenjang yang bermula dari suatu kebijakan politik tent ang kepentingan keamanan nasional dan bagaimana mencapainya, maka menjadi wajar untuk mengkaji kembali strategi pertahanan yang dianut oleh Indonesia saat ini. Apa pun pilihan strategi pertahanan Indonesia, pertanyaannya adalah apakah strategi tersebut didasarkan atas kepentingan keamanan nasional, analisa lingkungan strategis dan analisa ancaman, dan analisa tentang bagaimana mencapai keamanan nasional tersebut yang kemudian dijabarkan pada pengembangan kekuatan pertahanan, strategi militer, operasional da n pertempuran. Semua hal di atas harus koheren satu sama lain.
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

28 Perubahan struktur dan tata nilai pergaulan internasional, revolusi di bidang

121

kemiliteran, dan perubahan politik dalam negeri menghadapkan militer pada tantangan yang teramat kompleks, termasuk keharusan untuk merumuskan kembali doktrin dan strategi pertahanannya. Tanpa itu sulit dibayangkan Indonesia dapat membangun kekuatan militer yang profesional, tangguh, dan handal. Tanpa semua itu, militer tidak akan menjadi kekuatan yang efektif untuk mengemban fungsinya, baik fungsi pertahanan maupun fungsi perbantuan. Hingga saat ini reformasi internal yang sedang berlangsung di lingkungan TNI terjadi terutama pada dimensi politik -militer dan hanya sedikit mempunyai relevansi dengan profesionalitas militer, termasuk sejauh menyangkut doktrin militer. Mulai dari paradigma baru (1998) sampai dengan pewacanaan tentang draft RUU TNI (2003) perso alan utama adalah persoalan yang berkaitan dengan politik, misalnya netralitas TNI dalam pemilihan umum dan kewenangan panglima dalam keadaan mendesak, bukan tentang arah pembangunan kekuatan militer dan penyesuaian organisasi TNI. Hingga tingkat tertentu, sesungguhnya persoalan tersebut bukan hanya terjadi di lingkungan militer. Pada tingkat nasional sekalipun Indonesia tidak memiliki kebijakan keamanan nasional yang tersusun secara jelas. Sulit untuk mencari rujukan tentang, misalnya, bagaimana Indonesia melihat dan menafsirkan, dan memperhitungkan hakikat, sumber dan bentuk ancaman. Rumusan yang paling populer adalah semboyan cinta damai, tetapi lebih cinta kemerdekaan dan kedaulatannya . Semboyan itu mencerminkan bahwa perang diyakini sebagai jalan

121

terakhir setelah kegagalan upaya damai dan hanya dilakukan untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan. Dengan alasan yang manapun, semboyan itu lebih mencerminkan doktrin politik negara tentang perang [dan damai] daripada doktrin militer. Dengan memperhat ikan kondisi geografi Indonesia, diktum tersebut justru menempatkan diplomasi dan politik luar negeri dalam konteks pertahanan negara sebagai kepentingan nasional yang vital (vital national interests). Pada tingkat nasional ini pula seharusnya dirumuskan prinsip diplomasi sebagai garis depan pertahanan , sehingga pada tataran strategis pemerintah Indonesia akan selalu mengupayakan jalan damai sebelum menempuh jalan kekerasan. Prinsip itu pula yang akan mengikat seluruh komponen negara untuk lebih menitikberatkan pada, antara lain, upaya penyelesaian konflik secara demokratik. Rumusan seperti itu seharusnya tertuang dalam doktrin pertahanan nasional yang berisi tentang bagaimana pedoman bagi pemerintah untuk menyusun kebijakan pertahanan, termasuk diantaran ya perencanaan postur (gelar, kemampuan, dan kekuatan) militer. Beranjak dari doktrin

EMPAT
Doktrin Pertahanan Indonesia
29
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

pertahanan nasional itu pula negara merumuskan tugas-tugas militer dan prinsipprinsip dasar penggunaan kekuatan militer. Pada tingkat nasional ini pula doktrin perlu memuat tentang komitmen pada pemerintahan

121

demokratis, perdamaian internasional, dan penggunaan kekuatan milite r hanya sebagai pilihan terakhir (last resort). Baru berdasarkan pada doktrin pertahanan nasional itu kemudian disusun doktrin strategis militer. Pada level ini, doktrin dirumuskan dalam konteks keharusan untuk memenangkan perang, menghalau musuh dan/atau mempertahankan integritas dan kedaulatan wilayah. Dengan kata lain, doktrin strategis militer merupakan operasionalisasi dari doktrin pertahanan negara dan sekaligus memberi guidance bagi doktrin operasi militer. Pada level doktrin strategis militer ini pula seharusnya terdapat rujukan pada bagaimana strategi memenangkan peperangan, apakah akan menggunakan defence in-depth, layered defence atau pertahanan pulau besar. Termasuk dalam kategori ini pula adalah doktrin operasi gabungan dan berbagai pernyataan y ang pada hakikatnya merupakan doktrin profesional tentara, seperti Sumpah Prajurit dan Sapta Marga. Tingkatan berikutnya adalah doktrin operasional yang menjabarkan prinsip -prinsip doktrin strategis ke tindakan militer dengan menguraikan bagaimana pengguna an kekuatan militer dengan tujuan yang jelas, kemampuan militer yang dimiliki, macam atau jenis misi yang dilaksanakan, dan kemungkinan lingkungan operasional yang dihadapi. Doktrin operasional juga menguraikan organisasi yang diperlukan didalam penggunaan aset militer. Pada level ini pula diperlukan doktrin angkatan yang lebih spesifik, sesuai dengan kompetensi teknis matra dan karakter dasar operasi matra. Pendek kata, doktrin operasional lebih banyak bertumpu

121

pada komitmen untuk memiliki kompetensi dalam menyangga operasi gabungan dan, tentu saja, penegasan mengenai ciri kecabangan, misalnya Kartika Eka Paksi (Angkatan Darat), Eka Sasana Jaya (Angkatan Laut), dan Swa Buana Paksa (Angkatan Udara). Berbeda dari doktrin pada tataran strategis yang menjembata ni kebijakan pertahanan negara dengan strategi militer, doktrin operasional militer dimaksudkan untuk memberi landasan agar operasi militer dapat menopang tujuan doktrin strategis militer dan sekaligus memberi peluang bagi fleksibilitas doktrin taktis. Sebab itu, pada tataran berikutnya, doktrin taktis mengaplikasikan doktrin strategis dan doktrin operasional kedalam tindakan militer dengan menguraikan secara lebih rinci bagaimana penggunaan sistem senjata dan sistem lain untuk mencapai tujuan. Didalamnya tertuang berbagai taktik perang, seperti bagaimana tentara akan digunakan dalam operasi. Dengan rumusan itu menjadi lebih jelas apa yang akan dilakukan, termasuk dalam merancang postur pertahanan dan gelar kekuatan. Postur satuan tempur udara yang mengandalkan pada strategi Swa Buana Paksa, misalnya, akan memberikan arahan pentingnya superioritas kekuatan udara, baik untuk memenuhi tuntutan control of the air . Angkatan Laut yang memerlukan banyak dukungan untuk dapat memenangkan pertempuran di laut. Angkatan Darat akan dirancang untuk lebih menitikberatkan pada mobilitas ketimbang kekuatan kuantitatif.
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

30

121

Namun rincian stratifikasi doktrin s eperti itu belum terbentuk. Selama ini berbagai diskusi mengenai doktrin, strategi dan cara pertahanan tidak pernah mendapat tempat yang cukup luas dalam wacana publik. Sering terjadi tidak ada perbedaan yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan doktrin , strategi, atau kebijakan pertahanan. Han[kam]rata (pertahanan [dan keamanan] rakyat semesta), misalnya, sering menjadi atributif bagi doktrin, strategi, maupun sistem pertahanan. Demikian pula halnya dengan Dwifungsi dan teritorial. Dalam website Departemen Pertahanan, sampai pertengahan bulan Agustus 2001, doktrin meliputi subyek yang sangat luas, mulai dari Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, Sapta Marga, Sumpah Prajurit, Sebelas Asas Kepemimpinan TNI, dan Delapan Wajib TNI. Dengan kata lain, doktrin menjadi sesuatu yang sifatnya terlampau politikal dan tidak secara langsung menyentuh aspek operasional. Doktrin yang memiliki kandungan normatif, sebenarnya lebih pantas dianggap sebagai etika profesional, seperti terlihat dari Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. Sebelas Doktrin militer mengatakan bahwa mereka adalah bhayangkari negara. Doktrin-doktrin militer menafsirkan peran kebhayangkaraan militer dalam konstruksi negara [kesatuan], ideologi negara, dan konstitusi negara. Sangat kuat pandangan para elit militer bahwa keterlibatan mereka dalam politik adalah suatu hak sejarah , keharusan untuk mempertahankan keamanan nasional , dan mewujudkan profesionalisme . Persepsidiri yang paling sering muncul adalah identifikasi militer sebagai penyelam at

121

bangsa , penjaga konstitusi negara , dan penjaga persatuan dan kesatuan . Tak heran jika kemudian persoalan ini menyebabkan tiadanya doktrin yang dapat menjadi pengarah/petunjuk (guidance) mengenai bagaimana strategi pertahanan dan/atau perlawanan harus dilakukan serta bagaimana menyusun kebijakan postur kekuatan dan struktur organisasi militer. Ada yang timpang, misalnya ketika strategi hanya melulu dirumuskan sebagai efisiensi penggunaan sumberdaya, tanpa mempersyaratkan adaptabilitas pada perubah an situasi. Penting dikemukakan bahwa doktrin akan pula sangat menentukan berapa biaya yang layak ditebus dalam sebuah upaya pertahanan dan/atau perlawanan. Di lingkungan tentara sendiri mengakui bahwa TNI, khususnya pada masa Orde Baru, tidak memiliki doktrin dasar. Mereka hanya memiliki doktrin induk dan doktrin pelaksanaan, yaitu, berturut-turut, Catur Dharma Eka Karma dan Sad Daya Dwi Bhakti yang bukan hanya tidak lagi relevan, karena masih merujuk pada dwi-fungsi, tetapi juga tidak mempunyai nilai str ategi pada tingkat operasional. Seperti halnya sebagian doktrin yang lain, Catur Dharma Eka Karma, atau kini, setelah pemisahan kepolisian negara dari komando militer, lebih merujuk pada pernyataan politik kesatuan antar angkatan daripada karakter dalam bagaimana doktrin itu harus diwujudkan dalam bentuk strategi. Selama bertahun-tahun TNI menggunakan stratifikasi doktrin dengan membedakannya menjadi doktrin induk, doktrin dasar dan doktrin operasional. Kalaupun

121

secara teoretis dapat dimengerti, persoalan pokok dari stratifikasi seperti itu terletak pada unsur-unsur yang diidentifikasi sebagai 31
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

doktrin. Apa yang selama ini dianggap sebagai doktrin induk, yaitu Pancasila dan UUD 1945, bukan merupakan sesuatu yang khusus untuk monopoli profesi militer. Lebih dari itu, penempatan Pancasila dan UUD 1945 sebagai doktrin TNI tampaknya justru akan memperkuat konservativisme di lingkungan tentara. Pada masa Orde Baru, kecenderungan seperti itu pula yang menyebabkan reduksionisme di lingkungan ABRI (TNI pada waktu itu) mengidentifikasi kepentingan pemerintah dengan kepentingan negara . Kecenderungan statis semacam ini dapat menyebabkan tentara melupakan kewajiban mereka untuk melindungi warganegara. Retorika ikan dan air yang dianggap menjiwai hubungan tentara dengan rakyat hanya tercermin pada sikap-sikap sosial seorang prajurit, sebagaimana tertuang dalam Delapan Wajib TNI. Seharusnya, doktrin hanya dipandang sebagai (a) prinsip-prinsip pokok yang memuat pengetahuan dan pemikiran yang relevan pada suatu masa tertentu; (b) kristalisasi pandangan bangsa mengenai sifat dan bentuk-bentuk konflik dan ancaman masa kini dan masa depan serta bagaimana negara akan menghadapi ancaman dan konflik-konflik itu, dan (c) metode-metode pelibatan kekuatan militer untuk mencapai keberhasilan dalam operasi perang dan non

121

perang. Dalam kaitannya dengan kebijakan, doktrin TNI menjadi panduan instrumental bagi proses pencapaian sasaran-sasaran berdasarkan ruang, waktu, dan prioritasprioritas kepentingan yang ditetapkan dalam sebuah kebijakan pertahanan negara. Salah satu faktor yang harus dipertimbangkan untuk merumuskan Doktrin TNI adalah prediksi tentang karakter perang modern yang akan dialami oleh bangsa Indonesia. Prinsip dasar yang harus dipegang adalah walaupun kecil kemungkinan pecahnya perang di masa depan, TNI harus tetap membina kekuatan pertahanan yang tangguh yang dapat melaksanakan strategi pertahanan nasional yang telah dirumuskan oleh pemerintah. Prinsip lainnya adalah dalam mempersiapkan kekuatan personilnya, TNI harus dapat mengakomodasikan pengembangan strategi perang yang didapat dari pengalaman perang masa lalu dan proyeksi tentang karakter perang modern yang akan terjadi di masa depan. Penilaian potensi dan aktualisasi ancaman ke depan menunjukkan bahwa sangat kecil kemungkinan Indonesia akan menghadapi ancaman agresi dari negara lain. Saat ini tidak ada negara -negara tetangga Indonesia yang menunjukkan suatu pola permusuhan yang kental. Keterlibatan Indonesia dalam konflik-konflik eksternal sangat ditentukan oleh stabilitas sistem internasional. Stabilitas sistem ini dipengaruhi oleh perubahan dinamika power negara-negara besar di tingkat regional dan gl obal. Peran internasional yang dapat dimainkan Indonesia di level ini lebih bersifat diplomasi dari pada militer. Keterlibatan langsung militer Indonesia

121

di konflik tingkat regional dan global cenderung dilakukan dengan menggunakan bendera organisasi internasional melalui keputusan politik pemerintah. Ancaman potensial dan aktual terbesar yang mungkin dihadapi Indonesia di masa depan berasal dari lingkungan internal
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

32 terutama kemungkinan munculnya gerakan separatisme yang menggunakan strategi pemberontakan bersenjata sebagai strategi utamanya. Ancaman lain berasal dari kemungkinan dari penyusupan yang dilakukan oleh kelompok terorisme dan org anisasi kejahatan internasional ke wilayah Indonesia. Kelompok terorisme dan organisasi kejahatan internasional ini adalah aktor -aktor non-negara yang cenderung akan menggunakan strategi-strategi militer dan nonmiliter non-konvensional untuk mencapai tujuannya. Oleh karena itu, TNI harus bergandengan tangan dengan aktor -aktor keamanan lain untuk menghadapi ancaman kedua kelompok ini. Prediksi tentang ancaman potensial dan aktual masa depan tersebut memang tidak mengindikasikan adanya kebutuhan yang sangat besar untuk menggelar kekuatan TNI. Walaupun demikian, kekuatan TNI tetap harus dikembangkan dan dibina untuk (1) menggelar kemampuan penangkal (deterrent) yang tangguh; dan (2) digunakan dalam rangka penerapan strategi pertahanan nasional yang telah dirum uskan oleh pemerintah. Perang di masa depan akan melibatkan jenis-jenis persenjataan baru yang memanfaatkan

121

perkembangan teknologi paling mutakhir. Penggunaan teknologi pengindraan mutakhir dalam pertempuran akan membuat perang di masa depan cenderung bers ifat continuous battle yang tidak lagi dibatasi oleh kendala-kendala strategis yang dimunculkan oleh faktor lingkungan fisik. Aplikasi dari teknologi persenjataan mutakhir juga memungkinkan penyerangan sasaran-sararan militer spefisik dengan tingkat ketepatan dan kecermatan yang tinggi. Perkembangan teknologi militer yang berlangsung cepat juga memungkinan aktor militer untuk mengembangkan strategi -strategi perang baru yang belum pernah diaplikasikan dalam perang-perang terdahulu. Strategi-strategi baru ini akan memberikan keuntungan relatif bagi aktor militer yang mengembangkannya. Oleh karena itu, keberhasilan suatu negara untuk memenangkan perang di masa depan tidak lagi sematamata ditentukan oleh kuantitas personil angkatan bersenjata dan instrumen militer yang dimilikinya tetapi juga oleh kemampuan negara tersebut untuk mengadopsi perkembangan teknologi militer modern. Selain doktrin pertahanan, doktrin angkatan memainkan peran kunci keandalan angkatan bersenjata suatu negara. Pada tingkat angkatan pula pembinaan kemampuan dan kekuatan militer dilakukan; dan dalam kaitan itu doktrin yang bersifat kematraan dituntut bukan hanya untuk menopang doktrin strategis militer tetapi juga untuk memberi guidance pada pembangunan kekuatan matra. Sebagian besar modernisasi doktrin matra mungkin akan berada pada tataran operasional dan taktis. Asumsi ini

121

tentu berdasarkan pada asumsi bahwa doktrin kematraan mengadopsi doktrin operasional, khususnya tentang operasi gabungan, dan doktrin etikal seperti Sumpah Prajur it dan Sapta Marga. Banyak alasan yang dapat disebut mengapa tuntutan untuk melakukan pembaruan doktrin matra itu sebagian besar terjadi untuk Angkatan Darat. Pertama, berpisahnya Polri dari komando TNI menyebabkan militer mengemban tugas utama untuk pertahanan negara. Padahal dalam konteks tertentu, misalnya kemungkinan untuk menghadapi eskalasi konflik komunal serta berbagai 33
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

bentuk ancaman transnasional, kemungkinan besar Angkatan Darat tetap memainkan peran dalam cakupan yang lebih luas dibanding dengan Angkatan Udara dan Angkatan Laut. Kedua, keharusan untuk mewujudkan paradigma baru TNI (reposisi, redefinisi dan reaktualisasi) juga lebi h besar berada pada Angkatan Darat, sebagian karena kedudukan dominan dalam politik pada masa Orde Baru sebagian yang lain karena struktur teritorial dalam bentuknya yang sekarang akan bersinggungan dengan dinamika masyarakat. Kalaupun ada persamaan porsi keharusan pembaharuan doktrin matra di tiga angkatan, kemungkinan besar itu lebih banyak berkaitan dengan aspek reaktualisasi. Pada garis besarnya secara bottom up , doktrin militer perlu direvisi untuk disesuaikan dengan perkembangan lingkungan strategis dan tantangan masa depan. Reaktualisasi doktrin matra perlu dilakukan untuk menegaskan

121

kekhususan kompetensi dan karakter operasi matra. Melihat pada karakter perang modern, kecil kemungkinan jika agresor akan untuk menguasai suatu daerah sudah tidak denga n menduduki. Perang lebih bersifat sebagai information warfare . Kalaupun perang terjadi dalam bentuk konvensional, dapat diperkirakan bahwa perang itu akan diwarnai dengan penggunaan teknologi modern dan upaya untuk memperebutkan centre of gravity . Pada saat yang sama peperangan yang melibatkan kekuatan transnasional lebih sulit dilakukan. Logika penangkalan tidak sepenuhnya dapat diwujudkan dalam bentuk perimbangan kekuatan yang statis tetapi lebih pada berbagai aspek dinamis seperti mobility, agility dan versatility . Latar belakang dan pertimbangan utama penyusunan doktrin militer pada Orde Baru lebih ditujukan ke arah integrasi dan kebersamaan antar-angkatan dan Polri. Pertimbangan profesionalisme belum menjadi prioritas yang diutamakan. Hal ini disebabka n karena sebelum tahun 1965, telah terjadi persaingan yang tidak sehat antar angkatan. Masing-masing angkatan pada saat itu memiliki anggaran sendiri dan panglima angkatan yang mempunyai wewenang menggunakan kekuatan. Dengan kondisi seperti itu akhirnya doktrin ABRI disusun sedemikian rupa untuk dijadikan acuan bagi penyusunan doktrin yang ada di angkatan. Gejala itu tidaklebih dari sekedar perubahan pendulum. Bisajadi yang pada waktu itu seharusnya dilakukan adalah, misalnya, penataan aliran anggaran dan perencanaan pertahanan, bukan penyeragaman doktrin.

121

Persoalan yang menyebabkan anggaran mandiri dan kewenangan panglima angkatan untuk menggunakan kekuatan adalah persoalan hirarki komando, bukan persoalan doktrinal. Dengan kata lain, persoalan itu dapat diselesaikan dengan kebijakan dan regulasi, bukan penyeragaman doktrin. Doktrin tersebut lebih dimaksudkan untuk tujuan integrasi dan kebersamaan daripada peningkatan profesionalisme. Sehingga, wajar apabila doktrin kekuatan laut dan doktrin kekuatan udara sampai saat ini dinilai belum bisa mengakomodasikan kekuatan inti, kekhasan, dan peran matra yang lebih proporsional. Akibatnya profesionalisme TNI secara keseluruhan dinilai kurang. Sementara peran kekuatan darat dinilai berlebihan, karena hampir seluruhnya terakomodasi pada doktrin ABRI (yang lama) dan justru dijadikan acuan bagi doktrin kekuatan matra laut dan
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

34 udara. Sedangkan peran k ekuatan laut dan kekuatan udara dinilai tidak proporsional. Besar kemungkinan bahwa pembaharuan doktrin itu akan sulit dilakukan. Di masa lalu, keterlibatan kekuatan bersenjata Indonesia dalam perang antara lain berlangsung selama Perang Kemerdekaan (1945 1949), Perang untuk melawan gerakan separatisme bersenjata (1950-an), Perebutan Irian Barat (1961-1963), Konfrontasi Malaysia (1963-1966), Aneksasi Timor Lorosa e (1976 1999), dan Perang untuk melawan gerakan separatisme bersenjata (1980 -an dan 1990an). Semua itu menunjukkan bahwa tentara militer Indonesia tidak pernah menghadapi

121

agresi militer yang dilakukan oleh negara lain ke wilayah Indonesia. Selain itu, dalam masa 20 tahun terakhir, mereka disibukkan hanya untuk menghadapi gerakan bersenjata yang menggunakan strategi gerilya. Pengalaman perang masa lalu yang didominasi oleh perang -perang internal tersebut mengarahkan aktor pertahanan merumuskan suatu strategi pertahanan nasional yang mengandalkan konsepsi pertahanan landas darat (land-based defence). Dominasi angkatan darat sangat besar selama Orde Baru. Dalam dua dasawarsa pertama rejim Orde Baru, pembangunan kekuatan dititikberatkan pada pembangunan kekuatan darat. Kecenderungan ini terlihat dari beberapa gejala. KKO berubah menjadi marinir , dan dengan demikian kehilangan identitas komando nya. Selain itu, kekuatannya juga dikurangi dari 18 ribu menjadi 5 ribu. Anggaran negara lebih banyak dipakai untuk membentuk lebih banyak batalyon infanteri daripada membentuk skuadron tempur atau pembelian kapal perang baru. Dalam periode itu, kekuatan Angkatan Darat meningkat hampir dua kali lipat, sementara Angkatan Udara hanya berhasil membentuk 5 skuadron tempur, jauh lebih sedikit dari masa awal Orde Baru ketika Angkatan Udara memiliki 15 skuadron tempur). AL hanya bisa memiliki 13 fregat dan 2 kapal selam (padahal sebelumnya punya 23 fregat dan 12 kapal selam). Lebih dari itu, pada tahun 1983, Komando kewilayahan AL (Kodaeral) dan Angkatan Udara (Kodau) dihapus. Akibatnya, kekuatan AU dan AL hanya bersifat operasional,

121

dan hanya AD lah yg memiliki kekuatan ganda (operasional dan teritorial). Karena itu, secara tidak langsung AU dan AL sebenarnya telah di tempatkan dibawah kompartemen AD. Doktrin pertahanan nasional yang dirumuskan 1983 bahkan deng an terangterangan menyatakan TNI AU dan TNI AL berfungsi sebagai pendukung operasi AD. Dari sudut pandang kemampuan militer, sistem pertahanan Indonesia harus mampu menyangga fungsi pertahanan pada garis batas terluar, di darat, laut dan udara; kemampuan sea-denial di seluruh perairan RI; penguasaan atas teritorial darat laut dan udara; kemampuan mematahkan serangan agresor; dan kemampuan melindungi pusatpusat ekonomi dan produksi. Untuk tujuan tersebut dibutuhkan doktrin militer yang jelas. Dengan melihat potensi ancaman yang ada, dapat dipertimbangkan solusi postur militer yang cukup untuk melakukan tugastugas tersebut. Dalam perumusan ulang doktrin angkatan itupun stratifikasi doktrin tetap dapat dilakukan, yaitu pada tingkat strategis, operasional, 35
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

dan taktis. Bagi matra, doktrin strategis memberi kerangka tentang bagaimana kemampuan dan kekuatan matra dapat digunakan secara efektif. Selanju tnya, doktrin operasional harus mengoperasionalisasikan prinsip-prinsip doktrin strategis itu menjadi tindakan militer dengan menggambarkan kegunaan kemampuan dan kekuatan matra dalam berbagai tugas, kemampuan, dan misi umum dan lingkungan operasi. Peranan teknologi,

121

struktur organsiasi berada pada tingkat ini. Sementara itu, doktrin taktis harus mampu mencerminkan keharusan doktrin pada tingkat strategis dan operasional tersebut pada tindakan militer, khususnya berkaitan dengan kegunaan jenis persenjataan tertentu untuk mencapai tujuan militer. Doktrin taktis lebih banyak relevansinya dengan bagaimana peran dan tugas dilakukan. Salah satu kekurangan serius dari doktrin angkatan adalah tiadanya sesuatu yang spesifik. Kecenderungan pokok dari rumusanrumusan yang terdapat dalam doktrin Angkatan Darat (Kartika Eka Paksi), Angkatan Laut (Eka Sasana Jaya) dan Angkatan Udara (Swa Buwana Paksa) adalah derivasi dari doktrin pertahanan dan keamanan, penjabaran dari ketentuan perundanganundangan, dan/atau pengejawanta han dari doktrin-doktrin normatif. Karena itu tidak mengherankan jika rumusan yang ada terlalu longgar, jika tidak takrelevan dengan apa yang seharusnya terkandung pada sebuah doktrin matra. Angkatan Darat, misalnya, merumuskan tugas pokoknya untuk menegak kan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah darat, serta menyelenggarakan diklat wamil bala darat. Padahal, tugas untuk mempertahankan kedaulatan masih bersentuhan dengan tugas-tugas diplomasi maupun aparat-aparat lainnya untuk menjaga kedaulatan dan keutuh an wilayah. Seharusnya tugas tentara tidak lebih dari sekedar memenangkan perang; dan tugas Angkatan Darat, dalam konteks itu, adalah untuk memenangkan peperangan di darat untuk

121

menopang tujuan militer yang terangkum dalam doktrin strategis militer. Doktrin Kartika Eka Paksi secara detail membahas fungsi TNI AD, mulai dari fungsi organik militer, pembinaan sampai ke fungsi khusus. Pertanyaannya adalah bagaimana fungsi-fungsi ini menjelma menjadi gelar kekuatan dan menjadi support pertahanannya sehingga kesemua fungsi ini bisa dijalankan oleh Angkatan Darat. Dari segi hakikat ancaman kelihatan TNI AD melihat adanya 2 jenis ancaman: konflik antar bangsa dan konflik internal bangsa. TNI AD tidak memasukkan konflik yang sifatnya transnasional. Selain itu, hingga kini belum ada satu penjelasan yang cukup operasional tentang apa yang dimaksud dengan defensif aktif maupun alternatifnya. Prinsip lainnya adalah pertahanan semesta, dan juga disebut sebagai pertahanan yang sifatnya nonprovokatif, non provocative defence. Istilah-istilah itu bukan merupakan istilah baku dalam kajian kemiliteran yang merumuskan non-provocative defence sebagai strategi untuk mencegah perang yang tak-disengaja. Meskipun demikian, rumusan tentang defensive active sekurang-kurangnya mencerminkan komitmen Angkatan Darat untuk melakukan perang hanya untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan, serta kepentingan nasional.
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

36 Operasi masih dianggap sebagai suatu kemanunggalan operasi TNI dengan masyarakat, dengan rakyat, yaitu jiwa operasi darat adalah kemanunggalan TNI dengan

121

rakyatnya. Kemudian karena operasi darat, wilayah darat kita ini, atau konfigurasi wilayah nusantara kita terdiri dari kepulauan -ada pulau besar, ada rangkaian pulau -pulau kecilmaka mau tidak mau, itu jiwa dari doktrin Kartika Eka Paksi ini harus bersifat kewilayahan, artinya bahwa wilayah itu harus mampu melakukan suatu perlawanan secara mandiri masing-masing wilayah, dengan tahapantahapan yang sudah disampaikan tadi , dalam defence in depth . Hingga kini perumusan ulang doktrin TNI masih menghadapi beberapa kendala. Pertama, sebagian kalangan menganggap bahwa perumusan doktrin militer harus menunggu UU TNI yang baru. Kecenderungan untuk memasukkan kerangka legal memang besar, sebagian diantaranya karena tugastugas TNI yang tertuang dalam ketentuan perundangan merupakan sesuatu yang doktrinal dalam TNI. Padahal seharusnya, kecenderungan seperti itu tidak perlu terjadi. Doktrin militer, yang selalu bersifat aspiratif dan disusun secara bottom-up , dapat dirumuskan lebih dahulu tanpa menunggu legalisasi suatu ketentuan perundangan. Kedua, terdapat perbedaan penekanan antara doktrin Angkatan Darat, Angkatan Udara, dan Angkatan Laut. Misalnya doktrin Angkatan Darat cenderung membuat rincian tentang hakikat ancaman. Kecenderungan yang sama tidak terjadi di lingkungan Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Angkatan Laut dan Angkatan Udara lebih menonjolkan kemampuan dan Alutsistanya; sedang Angkatan Darat lebih merinci operasi perangnya, termasuk ketika menjelaskan tentang operasi perang gabungan dan operasi matra

121

tunggal. Seperti telah dikemukakan di bagian lain monograph ini, doktrin matra memainkan peranan penting ba gi doktrin militer. Angkatan bersenjata Indonesia terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Ketiga -tiganya merupakan cabang kematraan yang memainkan peran spesifik untuk menghadapi ancaman militer. Karena sifat teknologinya dan apa ya ng menjadi misi utamanya, masing-masing cabang mempunyai kekhususannya sendiri. Integrasi mereka dapat dilakukan pada tingkat operasional dengan komando dan menekankan pada aspek operasi gabungan. 37
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

Di tingkat operasional, pelaksanaan operasi militer memerlukan suatu aturan pelibatan yang dikenal sebagai rules of engagement . Rules of engagement (ROE) adalah aturan tentang pelaksanaan operasi militer untuk misi-misi tertentu. ROE mencakup dua hal. Pertama yang bersifat politik -strategis yaitu yang mengatur tentang wewenang untuk memerintahkan pelibatan/penggunaan kekuatan militer. Ini bisa dirumuskan dalam perundang-undangan atau kebijakankebij akan negara tentang penggunaan kekuatan militer. Aspek kedua adalah aspek militer yaitu ROE dalam pengertian aturan use of force dalam situasi tertentu yang mencakup doktrin, taktik, dan segala hal yang berkaitan dengan penggunaan kekuatan militer di lapan gan. Yang juga sangat penting dari ROE adalah faktor judgement atas situasi yang berkembang di lapangan operasi. ROE

121

sangat vital bagi kesuksesan sebuah misi operasi militer. Ketika misi operasi militer ditentukan, komandan dan mereka yang bertanggung jawab atas pelaksanaan operasi militer harus segera membuat ROE dan mengintegrasikannya ke dalam perencanaan operasi militer. Dengan demikian, planning dan ROE harus berjalan bersama -sama. Sebagian kalangan masih sulit membedakan antara ROE dengan hukum pe rang atau konflik bersenjata. Hukum perang atau konflik bersenjata adalah hukum dan kebiasaan internasional tentang penggunaan senjata selama perang atau konflik bersenjata yang mempunyai implikasi legal/hukum terhadap komandan dan prajurit di lapangan. Sedangkan ROE secara sederhana adalah bagaimana operasi militer akan dilakukan. ROE dengan demikian tidak bisa lepas dari hukum internasional tentang konflik bersenjata, terutama yang mengatur tentang prisipprinsip proporsionalitas dan non -diskriminasi dalam penggunaan senjata. ROE lebih merupakan turunan dari hukum perang/hukum humaniter, tetapi ROE bukanlah hukum perang itu sendiri. Sebagai arahan/aturan untuk melaksanakan operasi militer, ROE mempunyai fungsi untuk melakukan kontrol atas perkembangan yang terjadi di lapangan. Paling tidak ada empat (4) tujuan pembentukan ROE yaitu: (1) memberi guidance di masa damai. Biasanya ini ditentukan atau didasarkan atas prioritas kebijakan keamanan nasional dan prinsip-prinsip pengembangan, pembinaan dan penggunaan kekuatan; (2) penguasaan situasi dari masa damai ke

121

arah konflik. Artinya, ROE yang jelas akan memberikan informasi yang jelas sebagai dasar untuk menentukan sikap dan mendefinisikan perkembangan situasi. Misalnya, kapan sebuah situasi atau tindakan dianggap sebagai hostile intention atau hostile act. Serangan di masa damai hanya ditujukan untuk selfdefence, dan di masa konflik harus didasarkan pada keputusan/kebijakan pemerintah.

LIMA
Rules of Engagement
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

38 (3) Penguasaan/kontrol operasi tempur selama konflik. Ketika situasi memaksa untuk dihadapi dengan menggunakan kekuatan militer, durasi, besaran, dan kerusakan haruslah proporsional hanya untuk menghancurkan kekuatan lawan atau yang dianggap melakukan hostile act. Jika terjadi eskalasi konflik, penghancuran terhadap kekuatan lawan hanya dilakukan terhadap mereka yang masih menunjukkan dan bertindak bermusuhan. Dilihat dari sudut pandang ini, ROE memberi batasan kekuatan militer yang digunakan untuk mengontrol situasi/tingkat konflik. (4) Penguasaan/kontrol atas masa transisi dari situasi konflik ke masa damai. ROE yang jelas mendefinisikan situasi kapan bagaimana kekuatan lawan harus diberikan warning untuk menyerah atau menarik dari tindakan bermusuhan. Dengan demikian ROE memberikan

121

definisi tentang perkembangan situasi dengan ukuran-ukuran tertentu yang dapat dipakai untuk menentukan kapan konflik sudah bisa diakhiri Perlu digarisbawahi ba hwa ROE tentang aturan penggunaan kekuatan militer baik pada tingkat politik maupun tingkat operasional tidak membatasi para komandan dan prajurit di lapangan untuk menggunakan hak mempertahankan diri (unit self -defence dan individual self-defence). Bahkan, ROE tidak mencabut hak mempertahankan diri suatu negara (national self -defence). Memperhatikan beberapa aspek ROE seperti dijelaskan di atas, beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan ROE: 1. Apa tujuan operasi militer yang ditent ukan oleh Presiden, Menteri Pertahanan atau otoritas politik? (misalnya pembebasan sandera, mengamankan jalur pasokan logistik, atau yang lain?) 2. Apa misinya untuk mencapai tujuan di atas? Misalnya, apakah misi operasi militer tersebut hanya menangkal de ngan memperingatkan, menghancurkan musuh, atau yang lain? 3. Apa ancamannya? Sifat, bentuk, dan besaran ancaman menentukan berapa besar kekuatan militer dibutuhkan dan senjata apa yang akan dipakai. Masalah ini telah menjadi semangat hukum humaniter internasional. 4. Apakah ada institusi atau pihak lain yang terlibat? (negara tetangga, PBB?) Jika ya, maka sangat mungkin ROE harus dinegosiasikan dengan pihak lain tersebut. 5. Apakah ada hal-hal khusus yang harus

121

diperhatikan? (kekhawatiran tentang penyanderaan, atau kerawanan penduduk dan obyek sipil?) 6. Siapa yang harus membuat ROE? 7. Sumber-sumber untuk menyusun ROE? (PBB, kebijakan keamanan nasional, doktrin pertahanan, dan doktrin TNI, sejarah, komponen lokal sesuai dengan tempat/medan operasi), bahkan sifat dan bentuk ancaman itu sendiri?). Jepang, misalnya, tidak dapat mengerahkan kekuatan militernya untuk tujuan ofensif. Melihat beberapa hal disekitar ROE tersebut, tampak bahwa ROE pada hakikatnya mempunyai tiga tujuan sekaligus yaitu: tujuan politik untuk menjamin bahwa operasi militer harus didasarkan atas keputusan politik dan tidak melewati batas tujuan politik yang telah ditentukan. Di sini ROE bisa me 39
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

ngontrol tingkat perang, mengisolasi konflik, dan mencegah eskalasi konflik menjadi perang yang lebih besar. Sedangkan tujuan militernya adalah untuk melaksanakan tugastugas militer. Tujuan legal ROE adalah untuk memenuhi beberapa ketentuan hukum tentang penggunaan senjata untuk mencegah pelanggaran hukum nasional dan hukum internasional (hukum humaniter) atas dasar prinsip-prinsip HAM. ROE tidak ditujukan untuk memenangkan perang. Pemenangan perang didasarkan atas besaran kekuatan dan strategi yang digunakan. ROE adalah aturan tentang penggunaan kekuatan militer baik pada tingkat politik maupun operasional yang ditujukan untuk mengurangi kesalahan penggunaan

121

senjata yang tidak sesuai dengan tujuan perang atau tidak mempunya i makna keuntungan militer.
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

40 Kebijakan Pertahanan dioperasionalkan oleh pemerintah dengan merumuskan postur pertahanan Indonesia. Untuk merumus kan postur pertahanan Indonesia, ada empat aspek yang perlu dipertimbangkan: revolusi di bidang tekonologi militer, logistik, gelar pangkalan, serta medan tempur. Perkembangan teknologi militer terkini yang mengarah kepada optimalisasi teknologi informasi sehingga tercipta integrateddigitalized battlefield perlu diperhatikan dalam rancangan postur pertahanan Indonesia yang modern. Selain itu, konsep dukungan logistik dan gelar pangkalan perlu disesuaikan dengan kondisi geografis Indonesia. Dispersi kekuatan logistik dan pangkalan yang strategis diharapkan dapat mengatasi masalah transportasi dan kesejahteraan prajurti. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah medan tempur. Medan tempur bisa bergeser dari fisik ke non -fisik (cyberwar) dimana kemampuan Information Warfare dan Information Operations dalam konsep C4ISR dapat diaplikasikan untuk merusak pusat-pusat kendali alat utama sistem persenjataan lawan. Berdasarkan empat aspek tersebut, ada lima pokok bahasan yang harus dianalisa dalam rangka mewujudkan postur pertahanan Indonesia abad 21. Pokok bahasan pertama adalah kemampuan pertahanan negara. Kemampuan

121

pertahanan negara ini dioperasionalkan dengan membentuk tiga komponen pertahanan. Komponen pertama adalah komponen utama pertahanan negara y ang meletakkan TNI sebagai aktor utama yang akan mengembangkan kemampuan intelijen, tempur, operasi militer selain perang, dan dukungan. Kemampuan intelijen dibentuk dengan mengembangkan kemampuan K3I menjadi komando, kendali, komunikasi, komputer, intelijen, pengamatan dan pengintaian (K4IPP). Kemampuan bertempur dikembangkan dengan skala prioritas disesuaikan dengan jenis dan eskalasi ancaman 5 -20 tahun ke depan. Kemampuan operasi militer selain perang (OMSP) dikembangkan untuk mengatasi ancaman-ancaman non-militer yang membutuhkan bantuan TNI. Kemampuan dukungan dikembangkan dengan menyediakan kebutuhan dasar dan infrastruktur penunjang yang akan mendukung terbentuknya unit-unit pasukan yang profesional. Komponen pertahanan kedua adalah komponen cadangan yang diarahkan untuk memiliki kemampuan OMSP terbatas. Komponen ketiga adalah komponen pendukung yang disiapkan oleh pemerintah berdasarkan kebutuhan operasional yang muncul. Komponen cadangan dan pendukung ini belum dapat dikembangkan secara optima l karena Indonesia belum memiliki UU Komponen Cadangan yang mengatur prinsip-prinsip mobilisasi sumber daya pertahanan serta tata ruang wilayah pertahanan. Pokok bahasa kedua adalah pengembangan kekuatan pertahanan negara. Kekuatan pertahanan ini ditentukan dari

ENAM 121

Postur Pertahanan Indonesia


41
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

tingkat kesiapan alat utama sistem persenjataan, yang meliputi KRI, Pesawat Udara, Pangkalan Laut dan Udara, serta unit-unit pasukan dari tingkatan Divisi hingga Batalyon, termasuk kesiapan personilnya. Kondisi saat ini belum memenuhi kebutuhan pertahanan dan harus dirancang proses transisi agar tercapai kebutuhan kekuatan minimal (minimal required essential forces). Pokok bahasan ketiga adalah kebijakan umum pertahanan negara. Hingga tulisan ini dibuat, pemerintah belum merumuskan kebijakan umum pertahanan negara dan kebijakan penyelenggaran pertahanan negara seperti yang dimandatkan di UU No.3/20 02 tentang Pertahanan Negara. Dua kebijakan induk ini perlu segera dirumuskan untuk menjadi acuan bagi perencanaan, penyelenggaraan, serta pengawasan sistem pertahanan nasional. Kedua kebijakan ini perlu mendapat persetujuan formal dari DPR agar didapat komitmen politik untuk mendukung pemenuhan kebutuhan pertahanan negara untuk rencana pengembangan 5 tahunan. Oleh Departemen Pertahanan, rencana tersebut dijabarkan dalam bentuk Buku Putih Pertahanan, Kaji Ulang Sistem Pertahanan, Rencana Strategis Pertahanan Negara, Program Pengembangan Kekuatan, dan programprogram kegiatan Departemen Pertahanan dan TNI untuk jangka menengah. Pokok bahasan keempat adalah Doktrin Pertahanan Negara. Secara umum, doktrin pertahanan adalah prinsip -prinsip

121

dasar yang memberikan arah bagi pengelolaan sumber daya pertahanan untuk mencapai tujuan nasional. Ada enam muatan doktrin pertahanan, yaitu (1) perspektif bangsa tentang perang; (2) komponen negara yang terlibat perang; (3) pemegang kendali perang; (4) mekanisme pertanggungja waban; (5) strategi perang; dan (6) terminasi perang. Doktrin profesional TNI perlu disusun dalam beberapa strata yang konsisten dari tingkatan politik, militer, hingga profesional. Di tingkatan politik, prinsip politik dari doktrin berisi beberapa hal yan g berkaitan dengan tugas angkatan bersenjata untuk menghadapi ancaman militer bersenjata. Di tingkatan militer, doktrin lebih banyak menjawab pertanyaan tentang bagaimana kekuatan militer akan digunakan untuk menghadapi ancaman. Penggunaan kekuatan militer ini dapat saja mengakomodasi kebutuhan untuk melakukan strategi pencegahan dini agar perang -perang berskala kecil tidak meluas. Di Indonesia, strategi tertuang dalam strategi defensif aktif. Di tingkatan militer, doktrin perlu mengembangkan persyaratan dan taktik yang diperlukan untuk menggelar operasi militer. Prinsip-prinsip dasar doktrin pertahanan mencakup nilai, etika, dan moral yang dalam khasanah kemiliteran Indonesia disebut sebagai doktrin induk. Doktrin induk merumuskan apa hakikat kepentingan pertahanan nasional, jati diri/identitas TNI, dan tugas TNI secara umum. Di bawah doktrin induk adalah doktrin dasar yang pada intinya berisi rumusan strategi untuk memaksimalkan pelaksanaan tugas pokok militer untuk mencapai tujuan pertahanan

121

nasional. Doktrin ini kemudian dijabarkan ke dalam postur, struktur, dan gelar kekuatan. Lapis berikutnya adalah doktrin operasional yang merujuk pada doktrin militer yang memberikan arah bagi penggunaan secara efektif dan efisien kekuatan militer dalam melaksanakan operasi militer baik gabungan maupun matra tunggal. Pada lapis ini, doktrin operasional mengidentifikasi karakteristik
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

42 dasar kekuatan masing-masing matra yang mempunyai implikasi bagi pengembangan strategi dan operasi militer. Lapis terbawah adalah tingkatan taktis yang dikembangkan langsung untuk pelaksanaan operasi militer di lapangan. Pokok bahasan kelima adalah gelar kekuatan pertahanan nega ra. Dalam konteks ini, perhatian utama diberikan kepada masalah apakah penempatan kekuatan pertahanan (dispersi kekuatan) di seluruh wilayah Indonesia sudah memadai dan telah mempertimbangkan empat aspek yaitu: (1) proporsionalitas dengan kepentingan nasio nal atau proporsionalitas dengan titik -titik rawan; (2) konstelasi geografi; (3) dampak strategi penangkalan yang ingin dicapai; dan (4) moral prajurit dan prinsip-prinsip humanitarian. Kelima pokok bahasan diatas dioperasionalisasikan dalam suatu strategi jangka menengah (mid-term strategy) yang berisi rencana-rencana terukur tentang pengembangan postur pertahanan Indonesia yang meliputi: bentuk organisasi TNI, elemen kekuatan pertahanan, kemampuan pertahanan, gelar kekuatan, serta kebutuhan anggaran.

121

Dalam rencana pengembangan bentuk organisasi TNI, departemen pertahanan perlu secara jelas merumuskan bentuk organisasi Mabes TNI dan Mabes Angkatan, tataran kewenangan antara organisasi yang ada, serta kesiapan penyiapan komponen cadangan. Dalam rencana elemen kekuatan, departemen pertahanan harus mengembangkan unit-unit pasukan yang akan dikembangkan oleh masing-masing angkatan yang akan menghadapi tugas-tugas militer yang spesifik. Dalam rencana kemampuan pertahanan, Departemen Pertahanan mengimplementasikan elemen kekuatan dalam bentuk kemampuan intelijen pertahanan, kemampuan tempur, kemampuan operasi militer selain tempur, serta kemampuan dukungan yang harus dimiliki masingmasing unit pasukan. Dalam rencana gelar kekuatan, departemen pertahanan menjaba rkan gelar kekuatan AD, AL, AU yang disesuaikan dengan kondisi geografis serta potensi konflik yang dihadapi Indonesia. Dalam rencana anggaran, Departemen Pertahanan merancang besarnya kebutuhan anggaran TNI dalam bentuk rencana pengembangan jangka menengah dan jangka panjang. Postur pertahanan yang dibentuk melalui pengembangan bentuk organisasi TNI, elemen kekuatan pertahanan, kemampuan pertahanan, gelar kekuatan, serta anggaran pertahanan tersebut pada akhirnya diuji melalui kemampuan TNI untuk me laksanakan tugas-tugas militer yang diberikan oleh negara. Jika variasi -variasi jenis ancaman yang tertera dalam UU No.3/2002 tentang Pertahanan Negara dijadikan dasar perumusan tugas-tugas militer, maka UU

121

tersebut mengharuskan TNI untuk mengembangkan suatu postur pertahanan yang dapat melaksanakan 16 tugas militer yang tertera dalam tabel 1.
Tabel 1. 16 Tugas Militer Indonesia
Tugas Militer Indonesia Mengatasi invasi/agresi militer negara lain Mengatasi pemberontakan bersenjata/ gerakan separatis bersenjata Melaksanakan pertahanan obyek vital Melaksanakan penegakan hukum di laut dan di udara Menjaga kedaulatan wilayah perbatasan dengan negara lain No. 1. 2. 3. 4. 5.

43
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

Untuk melaksanakan 16 tugas militer tersebut, TNI perlu melakukan sinkronisasi persepsi tentang postur pertahanan Indonesia. Saat ini, format postur antara Mabes TNI dan Mabes AD, AL, AU masih berbeda -beda. Perbedaan tersebut tampak dari Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Format Postur Pertahanan Indonesia

Pertanyaan yang muncul dari tabel di tersebut adalah (1) apakah perlu ada sinkronisasi format postur pertahanan antara Mabes TNI dan Mabes AD, AL, AU; dan (2) bagaimana format ba ku postur pertahanan Indonesia. Upaya sinkronisasi dan pencarian format baku tersebut akan menentukan metode penyusunan doktrin dan strategi pertahanan Indonesia. Salah satu usulan yang berkembang

121

di forum Kaji Ulang Strategi Pertahanan adalah postur pertahanan Indonesia disusun berdasarkan lima komponen baku. Kelima komponen tersebut adalah bentuk organisasi TNI, elemen kekuatan pertahanan, kemampuan pertahanan, gelar kekuatan, serta kebutuhan anggaran. Dalam rencana pengembangan bentuk organisasi TNI , departemen pertahanan perlu secara jelas merumuskan bentuk organisasi Mabes TNI dan Mabes Angkatan, tataran kewenangan antara organisasi yang ada, serta kesiapan penyiapan komponen cadangan. Dalam rencana elemen kekuatan, departemen pertahanan harus meng embangkan unit-unit pasukan yang akan
Mabes TNI

Kemampuan
(Pertahanan, Intelstra, Dukungan) Doktrin Organisasi Sumber Daya Pertahanan Kekuatan AD, AL, AU Gelar Kekuatan Alat Utama Sistem Persenjataan Mabes AD Kemampuan (Intelijen, Tempur, Dukungan) Kekuatan (Organisasi, Personil, Alutsista) Gelar Kekuatan (Mabes AD, Terpusat, Kewilayahan) Mabes AL Kemampuan (Intelijen, Maritim, Pertahanan,

121

Keamanan, Dukungan)

Struktur Kekuatan
(KRI, Pesud, Marinir, Pangkalan) Gelar Kekuatan (Permanen, Penindakan) Mabes AU Organisasi Kemampuan (Inti, pengganda, pendukung) Kekuatan (Pemukul udara, pertahanan udara, intai udara, lintas udara, paskhas, survei dan peta) Gelar Kekuatan 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. Melaksanakan fungsi intelijen militer Mengatasi ancaman perang elektronika dan peperangan informasi Melaksanakan pengamanan VVIP Mengatasi terorisme Mengatasi pembajakan dan atau perompakan bersenjata Melakasanakan pembinaan wilayah pertahanan Melaksanakan diplomasi militer sesuai kebijakan pertahanan dan politik luar negeri Indonesia Melaksanakan tugas perdamaian dunia Menyelenggarakan wajib militer Memberikan bantuan kepada otoritas sipil Melaksanakan kegiatan kemanusiaan (civic

121

mission)
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

44 dikembangkan oleh masing-masing angkatan yang akan menghadapi tugas -tugas militer yang spesifik. Dalam rencana kemampuan pertahanan, departemen pertahanan mengimplementasika n elemen kekuatan dalam bentuk kemampuan intelijen pertahanan, kemampuan tempur, kemampuan operasi militer selain tempur, serta kemampuan dukungan yang harus dimiliki masing-masing unit pasukan. Dalam rencana gelar kekuatan, departemen pertahanan menjabark an gelar kekuatan AD, AL, AU yang disesuaikan dengan kondisi geografis serta potensi konflik yang dihadapi Indonesia. Dalam rencana anggaran, Departemen Pertahanan merancang besarnya kebutuhan anggaran TNI dalam bentuk rencana pengembangan jangka menengah dan jangka panjang. Rencana-rencana terukur tersebut akan mengharuskan TNI untuk berkonsentrasi mengembangkan kemampuan dirinya sebagai aktor pertahanan negara yang profesional. Kompetensi dan kapabilitas yang perlu dikembangkan terutama adalah yang berkaitan dengan kebutuhan untuk mengatasi konflik antar negara, konflik internal, dan konflikkonflik transnasional baik yang berdimensi maritime-based, land-based, technologicalbased , maupun human-based. Namun, rencana-rencana terukur pengembangan postur pertahanan Indonesia perlu diikuti dengan komitmen pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pertahanan Indonesia. Pemenuhan kebutuhan pertahanan

121

Indonesia ini dilakukan pemerintah dengan mengembangkan sistem pengelolaan pertahanan nasional. Dalam sistem ini, pe merintah merancang program pengembangan kekuatan pertahanan, alokasi sumber daya pertahanan, pengembangan industri pertahanan, serta prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas pengelolaan sumber daya pertahanan. Perumusan rancangan program pengembangan kekuatan dapat dilakukan dengan dua metode: metode bottom-up review dan metode perencanaan terpusat. Dua metode ini harus dikombinasikan sehingga tercapai titik temu antara kekuatan pertahanan sesungguhnya dan kekuatan pertahanan yang ingin dikembangkan. Bottom-up review dilakukan terutama untuk mengetahui element cost masingmasing unit pasukan. Kaji ulang ini dilakukan dalam empat tahap. Di tahap pertama, setiap unit pasukan diminta untuk melaporkan kondisi terkini unitnya yang meliputi empat komponen: (1) sistem persenjataan, (2) kekuatan personil, (3) infrastruktur pertahanan, serta (4) fasilitas pendukung yang dimilikinya. Di tahap kedua, unit pasukan tesebut melaporkan kemampuan pertahanan yang dimiliki oleh unit tersebut. Di tahap ketiga, empat komponen di tahap pertama dikonversikan ke anggaran untuk mengetahui biaya operasional nyata masingmasing unit. Di tahap keempat, unit pasukan tersebut membuat rencana jangka menengah (mid-term plan) untuk mengembangkan kemampuan pertahan unit tersebut. Hasil d ari bottom-up review di tingkat unit ini adalah actual force yang jika digabungkan dengan

121

hasil kaji ulang unit -unit lain akan menghasilkan postur aktual. Postur aktual yang terdiri dari struktur pertahanan, kekuatan pertahanan, kemampuan pertahanan, gelar kekuatan, serta anggaran pertahanan. Di tingkat perencanaan terpusat, Depertemen Pertahanan menggunakan hasil 45
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

bottom-up review di atas untuk menetapkan anggaran rutin pemeliharaan serta operasional pertahanan yang dibutuhkan untuk mempertahankan postur pertahanan yang ada. Upaya untuk sekedar mempertahankan postur pertahanan aktual ini dikombinasikan dengan upaya untuk secara sistematis mengembangkan kekuatan pertahanan Indonesia. Pengembangan kekuatan pertahanan ini dirancang secara terpusat berdasarkan strategi raya pertahanan yang disusun oleh pemerintah. Hasil dari rancangan ini adalah suatu objective force yang akan selesai dibentuk 5 -25 tahun ke depan. Di atas telah dijabarkan bahwa bottom -up review akan menghasilkan suatu actual force dan perencanaan terpusat akan menghasilkan objective force . Titik temu antara actual force dan objective force adalah suatu interim force . Interim force ini merupakan postur pertahanan peralihan yang dibentuk untuk mengantisipasi kemunculan konflik-konflik selama masa transisi pertahanan. Status interim force ini bisa saja diberikan secara tetap kepada unit -unit yang memang tidak akan lagi ditransformasi. Untuk konteks Indonesia, unit-unit tersebut adalah kekuatan terpusat AD (KOSTRAD), Marinir,

121

serta pasukan-pasukan khusus yang dimiliki masing-masing angkatan. Dalam masa transisi 5-25 ke depan, unit -unit pasukan inilah yang akan diandalkan untuk mengatasi potensi konflik yang muncul. Bagan 2. Actual-Interim-Objective Force Pembentukan interim dan objective force harus didukung oleh alokasi sumber daya pertahanan yang memadai. Masalah klasik yang muncul untuk pemenuhan kebutuhan pertahanan di Indonesia adala h minimnya anggaran negara yang dialokasikan ke sektor pertahanan. Untuk tiga tahun terakhir, rencana anggaran yang diajukan Departemen Pertahanan ke pemerintah tidak pernah dipenuhi 100%. Di APBN 2004, hanya 58% dari total anggaran Departemen Pertahanan yang dipenuhi oleh negara. Di APBN 2003, anggaran pertahanan hanya dapat memenuhi 64,7% kebutuhan pertahanan tahun tersebut. Di tahun 2002, negara bahkan hanya mampu menutupi 21,9% anggaran pertahanan yang diajukan oleh Departemen Pertahanan. Masalah ini bertambah parah karena anggaran yang diajukan Departemen Pertahanan hanya disusun untuk menutupi kebutuhan minimal pertahanan Indonesia. Ini berarti Indonesia hanya dapat memelihara 30% dari actual force yang ada, dan setiap tahun hanya dapat mengalokasika n 3-5% anggaran untuk mengembangkan interim force . Pengembangan objective force yang dirancang sulit untuk dicapai karena 70 -80% anggaran pertahanan habis dipakai untuk anggaran rutin dan hanya 3 -5% anggaran pertahanan yang dialokasikan untuk kebutuhan modernisasi pertahanan.

121

Ketidakmampuan negara untuk memenuhi kebutuhan pertahanan Indonesia juga disertai dengan tidak adanya landasan yang kuat untuk mengembangkan industri pertahanan. Indonesia saat ini tidak memiliki industri militer dalam arti perusahaan -perusahaan yang dapat memberikan kontribusi untuk ikut membantu militer melaksanakan
Actual Force Interim Force Objective Force

Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

46 tugasnya. Perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh yayasan-yayasan dalam naungan institusi TNI cenderung bergerak di sektorsektor non pertahanan seperti normalnya perusahaan swasta. Masalah utama yang dihadapi Indonesia untuk mengembangkan industri pertahanan dalam negeri adalah ketidakmampuan sektor industri dan pendidikan untuk menyerap aspek-aspek fundamental dari Revolution in Military Affairs (RMA). Ketidakmampuan ini tidak memungkinkan Indonesia untuk mengalami terobosan berarti dalam pengaplikasian RMA. Solusi jangka panjang dari masalah ini adalah dengan menginisiasi kerjasama di bidang penelitian dan teknologi pertahanan antara lembaga -lembaga kajian dan industri strategik. Solusi ini menuntut adanya komitmen politik dari pemerintah untuk memberikan subsidi y ang signifikan untuk mengembangkan industri pertahanan. Pemberian subsidi ini mengangkat kembali masalah bagaimana cara menentukan besarnya alokasi sumber daya nasional

121

untuk sektor pertahanan. Di lihat dari situasi ekonomi makro, Indonesia tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pertahanan Indonesia. Banyak kalangan menduga kesenjangan antara anggaran pertahanan dengan kebutuhan pertahanan diatasi oleh TNI melalui anggaran -anggaran khusus di luar anggaran pertahanan negara (off-budgetary income). Anggaran-anggaran khusus ini bisa berasal dari kontribusi perusahaan-perusahaan yang ada dimiliki oleh yayasan-yayasan di bawah kendali institusi TNI, atau kontribusi dari pemerintah daerah, atau kontribusi perusahaanperusahaan tertentu atas jasa pengaman an yang dilakukan TNI, atau praktek -praktek ilegal yang dilakukan prajurit seperti pemberian jasa pengamanan terhadap kegiatan prostitusi dan illegal lodging . Namun, anggaran-anggaran khusus tersebut tidak memberikan kontribusi signifikan untuk kemungkinan terbentuknya TNI yang otonom, swadana, yang tidak lagi tergantung dari anggaran belanja negara. Pernyataan tentang kemungkinan adanya institusi TNI yang otonom dan swadana adalah pernyataan yang tidak memiliki dasar yang kuat. Jika seluruh keuntungan kelompok-kelompok bisnis yang dimiliki oleh TNI adalah antara US$60 -120juta per tahun, maka seluruh pendapat off -budget TNI hanya memberi kontribusi 3% - 5% dari total anggaran pertahanan negara. Data ini menunjukkan bahwa pendapatan TNI tersebut tidak akan dapat menjadi subsitusi anggaran pertahanan negara. Tanpa adanya suatu peningkatan anggaran pertahanan negara, TNI tetap akan menjadi suatu institusi tidak

121

menikmati posisi finansial yang mapan. Dengan demikian, satu-satunya cara bagi pemerintah untuk meme nuhi kebutuhan pertahanan Indonesia adalah dengan melakukan mobilisasi sumber daya pertahanan. Dari sisi angaran pertahanan, mobilisasi ini bisa dilakukan dengan membentuk anggaran pertahanan mobilisasi yang terdiri dari tiga kemungkinan ekspansi. Ekspansi pertama adalah pemerintah menggunakan seluruh anggaran kontingensi (Dana Cadangan Umum) yang ada dalam APBN untuk memperkuat anggaran belanja pertahanan. Ekspansi kedua adalah pemerintah memotong anggaran-anggaran di luar sektor pertahanan untuk memperkuat anggaran pertahanan. Ekspansi ketiga adalah pemerintah mengambil proporsi yang lebih besar 47
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

dari kapasitas produksi nasional untuk kebutuhan pertahanan negara. Namun, ketiga ekspansi anggaran ini membutuhkan suatu legalitas politik yang kuat agar keinginan pemerintah untuk memperbesar anggaran pertahanan mendapat legitimasi yang kuat. Hal ini bisa dicapai jika mobilisasi yang dilakukan pemerint ah mendapat persetujuan dan dukungan kuat dari DPR. Dukungan dari DPR ini tentunya akan dicapai jika seluruh prosedur legalformal untuk melakukan mobilisasi dipenuhi oleh pemerintah. Keberadaan dan kepatuhan aktor pertahanan atas prosedur legal -formal di sektor anggaran pertahanan memberikan peluang bagi konsolidasi demokrasi di

121

Indonesia. Sistem penganggaran memainkan peran penting dalam kaitannya dengan kinerja maupun akuntabilitas fungsi pemerintahan negara. Dari sisi proses kebijakan, penganggaran harus melibatkan tiga tahap: formulasi, persetujuan, dan pelaksanaan. Dua tahap pertama melibatkan eksekutif dan legislatif; tahap ketiga memasukkan unsur birokrasi sebagai aktor utama di dalamnya. Tiga tahap ini diciptakan untuk meningkatkan akuntabilitas proses penganggaran pertahanan sehingga tercipta horizontal accountability antar departemen, dan juga vertical accountability antar bagian dalam Departemen Pertahanan. Keberadaan sistem pengelolaan pertahanan negara ini akan memperkuat upaya untuk menularkan prinsip-prinsip good governance ke sektor pertahanan. Jika prinsip-prinsip tersebut ada di sektor pertahanan maka proses kaji ulang sistem pertahanan (strategic defense review) akan jauh lebih mudah dilakukan. Ini terjadi karena militer di Indonesia akan berada dalam suatu program pengembangan kekuatan yang baku yang memungkinkan departemen pertahanan untuk meneliti secara akurat biaya -biaya operasional bagi pemeliharaan dan pengembangan elemen -elemen pertahanan negara.
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

48 Kaji ulang strategi pertahanan dilakukan untuk menentukan apakah postur pertahanan yang ada dapat diandalkan untuk melaksanakan strategi raya pertahanan nasional. Strategi raya pertahanan nasional

121

dirumuskan oleh pemerintah dengan memperhatikan relasi antara enam determinan dasar, yaitu: nilai-nilai dasar bangsa, tujuan nasional, dinamika ancaman, perkembangan teknologi persenjataan, sumber daya pertahanan, serta dinamika lingkungan strategis. Keenam determinan dasar tersebut harus dikaji ulang secara berkala oleh pemerintah agar strategi raya pertahanan nasional selalu relevan dengan dinamika nasional, regional, serta internasional. Saat ini, Indonesia belum memiliki strategi raya pertahanan nasional. Hal ini terlihat dari belum lengkapnya kebijakankebijakan induk pertahanan yang mengatur pola-pola umum penyelenggaraan, pengelolaan, pembinaan, serta penggunaan kekuatan pertahanan Indonesia. Kebijakan -kebijakan induk ini harus segera dibuat oleh Departemen Pertahanan sehingga ada suatu pedoman dasar untuk mengembangkan postur pertahanan Indonesia. Pengembangan postur pertahanan Indonesia merupakan bagian dari transformasi militer di Indonesia. Transformasi ini tidak hanya men untut adanya perubahan karakter TNI menuju ke tentara profesional, namun juga menuntut dikembangkannya suatu rencana-rencana terukur jangka menengah tentang modernisasi pertahanan Indonesia. Titik awal pengembangan rencanarencana terukur tersebut adalah kaji ulang strategi pertahanan Indonesia. Kaji ulang ini dilakukan untuk mengevaluasi komponenkomponen dasar postur pertahanan Indonesia, yaitu struktur pertahanan, kemampuan pertahanan, elemen kekuatan pertahanan,

121

gelar kekuatan, serta anggaran pertahanan . Evaluasi lima komponen ini akan menghasilkan postur pertahanan masa depan. Adanya postur pertahanan masa depan ini memungkinkan Departemen Pertahanan untuk menentukan kesenjangan strategik yang muncul antara postur pertahanan saat ini dengan postur pertahanan masa depan. Kesenjangan strategik ini diatasi dengan membentuk kekuatan pertahanan interim di masa transisi. Kekuatan pertahanan interim ini merupakan garda depan pertahanan Indonesia untuk mengatasi konflik -konflik yang mungkin muncul selama proses transformasi militer dilakukan. Pada akhirnya, kaji ulang strategi pertahanan Indonesia mengharuskan Departemen Pertahanan untuk memainkan peran lebih besar dalam menentukan arah pengembangan postur pertahanan Indonesia. Peran ini dapat dimainkan oleh Departemen Pertahanan jika Departemen Pertahanan dilengkapi dengan perangkat-perangkat teknis, infrastruktur, serta sumber daya yang memiliki kompetensi teknis yang tepat untuk merumuskan proses transformasi militer di Indonesia.

TUJUH
Penutup
49
Kaji Ulang Strategi Pertahanan Nasional Working Group on Security Sector Reform, Monograph No-3, 26 Maret 2004

Gambaran Singkat tentang ProPatria dan Working Group


ProPatria adalah organisasi nirlaba yang bertujuan membantu dan memperkuat masyarakat Indonesia dalam membangun tatanan masyarakat baru yang lebih demokratis, berkeadilan,

121

dan beradab, khususnya saat Indonesia kini tengah berada dalam masa transisi demokrasi. ProPatria didirikan pada 10 Desember 1998, bertepatan hari HAM sedunia. Kehadiran ProPatria merupakan aktualisasi kegelisahan sekelompok orang muda terhadap masa depan reformasi di Indonesia yang berjalan terseok -seok sejak tumbangnya rejim Orde Baru. ProPatria mengemban visi dan misi: Memperjuangkan kebijakan politik dan pembangunan dalam rangka m endorong proses demokratisasi yang berlandaskan keterbukaan, kesetiakawanan, keadilan, dan penghormatan terhadap nilai -nilai HAM. Menjembatani kesenjangan sosial masyarakat untuk mencapai keseimbangan struktur masyarakat yang lebih adil dan beradab. Untuk mewujudkan visi dan misinya tersebut, ProPatria melakukan strategi penguatan kelompok masyarakat sipil, dengan salah satunya membentuk kelompok kerja. Salah satu kelompok kerja yang difasilitasi ProPatria adalah Working Group on Security Sector Reform, yaitu suatu kelompok kerja yang secara khusus memberikan perhatian tentang masalah -masalah pertahanan dan keamanan. Kelompok kerja ini beranggotakan para akademisi, intelektual, dan aktivis HAM. Kelompok kerja ini dirintis sejak Desember 1999, melalui k egiatan rangkaian diskusi yang bertujuan melakukan pemetaan masalah Indonesia dalam masa reformasi. Hasil -hasil dari rangkaian diskusi selanjutnya dibahas dalam workshop yang kemudian menghasilkan cetak biru tentang reformasi sektor pertahanan keamanan Ind onesia. Dalam kiprahnya selama ini, kelompok kerja ini banyak memberikan masukan kepada pihak pemerintah menyangkut berbagai langkah strategis dalam proses reformasi pertahan dan keamanan. Berbagai ide dan pemikiran kelompok kerja ini disalurkan berupa kon sep alternatif

121

untuk penyusunan RUU Pertahanan dan RUU Polri pada tahun 2000 sampai 2002. Menyusul kemudian konsep alternatif RUU TNI, konsep alternatif RUU Anti Terorisme, konsep alternatif Revisi UU Peradilan Militer, konsep alternatif RUU Cadangan Perta hanan, konsep alternatif Redefinisi Doktrin TNI dan perubahan struktur TNI masa depan, naskah usulan perubahan konstitusi tentang keamanan nasional, serta berbagai ide dan gagasan yang dituangkan dalam working papers . Penerbitan ProPatria didedikasikan unt uk semua upaya membangun masa depan Indonesia yang lebih baik.

121

121

Anda mungkin juga menyukai