Anda di halaman 1dari 5

A. Pengertian Sumber dan dalil Kata sumber dalam literatur fiqh adalah terjemahan dari lafadz .

Lafadz ini hanya terd pat dalam literatur kontemporer sebagai ganti dari sebutan " atau lengkapnya iasanya digunakan dalam kitab-kitab literatur klasik (turats). Mereka menggunaka n kata sebagai ganti kata tentu beranggapan kedua kata itu sama artinya Secara etimologis kata itu tidaklah sama. Alasannya adalah Kata sumber ( bentuk jamaknya adalah ) dapat diartikan sebagai wadah yang dariny itemukan suatu norma hukum. Sedangkan dalil berarti sesuatu yang memberi petunju k dan menuntun kita dalam menemukan hukum Allah. Karena itu kata sumber hanya dapat digunakan jika dikaitkan dengan al-Quran dan asSunnah, karena memang keduanya merupakan wadah yang darinya dapat ditimba hukumhukum syara. Tetapi kata ini tidak dipergunakan untuk ijma dan qiyas. Keduanya bukanl ah sumber, tetapi hanya metode (cara) dalam menemukan hukum Dengan demikian al-Quran dan as-Sunnah, disamping sebagai sumber, keduanya juga m erupakan dalil bersamaan dengan ijma dan qiyas Lebih Jauh Tentang Dalil-Dalil Syariat Secara bahasa dalil; Sesuatu yang memberi petunjuk kepada sesuatu baik yang namp ak, tidak nampak, atau baik dan buruk. Sedangkan dalam istilah ilmu ushul fiqh, dalil adalah:

Sesuatu yang menyampaikan kepada tuntutan khabari dengan pemikiran yang Shahih Contohnya: Firman Allah , ini adalah dalil. Dengan pemikiran yang shahih y ari teks ayat itu kita melihat bahwa di dalam ayat itu terdapat suatu kata kerja perinta (Fiil Amr); yaitu Aqimu, dimana kata kerja perintah itu menunjukkan wajib, sehingga mendirikan sholat itu hukumnya wajib. Kesimpulan hukum wajib mendirika n sholat berdasarkan Petunjuk kata Aqimu dalam ayat tersebut. Adapun yang dimaksud dengan Dalil-Dalil Syariat ( )adalah: , , , Segala sesuatu yang darinya dihasilkan hukum agama yang bersifat praktis, sama sa ja penunjukannya dengan cara yang qathi (dalam disiplin ilmu ushul fiqh disebut Q athiyyud Dalalah) ; yaitu dengan ilmu dan yakin, atau dengan cara dzhan; suatu du gaan (dalam disiplin ilmu ushul fiqh disebut Dzanniyatud Dalalah Jadi dalil itu ada dua; Qathiyyud Dalalah (dalil-dalil yang pasti) dan Dzanniyatu d Dalalah (dalil-dalil yang belum pasti, masih ambigu dan multi tafsir) Klasifikasi (Pembagian) Dalil Dalil syara ditinjau dari segi disepakati dan tidaknya, terbagai kepada dua macam : 1. Dalil-dalil yang disepakati oleh jumhur ulama (mayoritas ulama), yaitu: al-Qu ran, As-Sunnah, Ijma dan Qiyas 2. Dalil-dalil yang diperselisihkan, yang terkenal ada tujuh macam, yaitu: al-Is tihsan, maslahah mursalah, istishab, urf, syarun man qablana, mazhab shahabi, dan saddud dzari Dalil-dalil yang disepakati wajib diikuti, walaupun ada perbedaan dalam struktur dan derajat kekuatan penggunaan dan penunjukannya. Landasannya: 1. Firman Allah QS. An-Nisa: 59. Hai orang-orang yang beriman Taatilah Allah, Taatilah Rasul dan pemimpin diantara kalian, dan jika kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikan-lah ke pada Allah dan Rasul...... Tafsir Ayat 1. Perintah taat kepada Allah dan Rasul adalah isyarat perintah berdalil/mengiku ti al-Quran dan as-Sunnah 2. Perintah taat kepada dan ittiba kepada ulil amri dalam masalah ilmu dan agama adalah isyarat perintah mengikuti apa yang menjadi kesepakatan (konsensus) para mujtahid terhadap suatu hukum. (Ijma)

3. Perintah mengembalikan suatu realitas (kenyataan) atau hukum yang diperselisi hkan kepada Allah dan Rasul adalah perintah kepada Qiyas, dimana tidak ada nash ( al-Quran dan as-Sunnah) dan ijma dalam persoalan tersebut. 2. Sabda Rasul Saw seperti yang diriwayatkan oleh al-Baghawi: : : , : : , : , : : Dari Muadz bin Jabal, bahwa Rasulullah Saw pernah mengutusnya ke Yaman. Nabi ber sabda Bagaimana kamu memutuskan apabila kamu dihadapkan pada satu masalah? Muadz menjawab Aku memutuskan berdasarkan kitabullah. Nabi bertanya lagi Jika kamu tidak mendapati dalam kitabullah?, Muadz menjawab Aku memutuskannya dengan Sunnah Rasul -Nya. Nabi bertanya lagi Jika kamu tidak mendapatkannya di dalam as-Sunnah? Muadz menjawab Saya akan berijtihad dengan nalar saya dan tidak akan berbuat kelengahan Maka Rasulullah Saw memegang dadanya sambil berkata Segala puji bagi Allah yang m emberi taufiq kepada utusan Rasul Allah menurut apa yang direlakannya

Penjelasan Hadits Hadits ini juga menjadi dasar tentang HIRARKI DALIL (dimana al-Quran menempati ur utan yang pertama, kedua adalah as-sunnah, ketiga adalah ijma dan yang terakhir adalah Qiyas)

Dalil ditinjau dari segi asal muasalnya, terdiri dari dua macam 1. Dalil Naqli ( ), antara lain: al-Quran, as-Sunnah, Ijma Urf, Syaron min habat. 2. Dalil Aqli ( ), antara lain: qiyas, maslahah mursalah, istihsan, istishab, Kedua dalil tersebut saling membutuhkan karena Ijtihad dalam memutuskan satu masa lah hukum tidak dapat diterima (legal formal) tanpa bersandar kepada dalil naqli , sementara dalil naqli itu sendiri membutuhkan pemahaman, penalaran, perenungan , pendalaman dan analisa di mana hal ini merupakan kerja-kerja akal (dalil aqli) Hanya saja perlu dipertegas juga bahwa dalil-dalil itu ada yang bersifat ASHLAN MUSTAQILLAN BI NAFSIHI (indefenden dalam tasyri hukum), seperti al-Quran, ijma dan hal-hal yang berkaitan dengannya yaitu istihsan, uruf dan mazhab sahabat. Ada juga dalil yang bersifat defendent (selalu bergantung dan merujuk pada asaln ya) seperti Qiyas. Qiyas selalu membutuhkan kepada asal pokok rujukannya baik di dalam al-Quran, sunnah dan ijma dalam penetapan hukum, sebagaimana qiyas juga mem butuhkan pemahaman kepada illat (sebab) hukum asli.

B. AL-QURAN SEBAGAI SUMBER DAN DALIL Definisi Al-Quran Secara etimologi (bahasa), al-Quran adalah bentuk mashdar dari kata . Kata al-Quran ajan dengan , yang maknanya: bacaan, berbicara tentang apa yang tertulis padanya, m laah. Secara terminologi, para ulama ushul mendefinisikannya sebagai berikut: , , , Al-Quran adalah firman Allah, baik lafadz dan manknanya, yang diturunkan kepada R asulullah Saw dalam bentuk bahasa Arab, merupakan mujizat dalam setiap surah-sura hnya, yang ditulis dalam mushaf, yang dinukilkan secara mutawatir, merupakan iba dah bagi yang membacanya, dimulai dari surah al-Fatihah dan ditutup dengan surah an-Nas Karakteristik al-Quran Berangkat dari definisi di atas, maka karakteristik al-Quran: 1. Bahwa dia adalah firman Allah yang berbentuk lafadz (bukan sekedar makna an s ich). Artinya bahwa apa yang disampaikan oleh Allah melalui Jibril kepada Rasulu llah Saw. Bila hanya sekedar makna sementara lafadznya diredaksikan sendiri oleh Nabi tidaklah dinamakan al-Quran. Seperti hadits Qudsi. Hadits Qudsi adalah makn anya dari Allah yang redaksinya disusun sendiri oleh Nabi. Derajat hadits tidakl ah sama dengan al-Quran. Sholat tidak shah bila membaca hadits, dan bukan merupak

an ibadah jika membacanya. 2. Al-Quran itu adalah bahasa Arab. Tidak ada sedikitpun bahasa asing yang masuk ke dalam al-Quran. Karena itu, al-Quran yang dialihbahasakan kepada bahasa lain bu kanlah al-Quran. 3. Al-Quran itu diturunkan kepada nabi Muhammad Saw. Ini mengandung arti bahwa wa hyu Allah yang disampaikan kepada nabi-nabi terdahulu bukanlah al-Quran. Sekaligu s ini juga menjadi dasar bahwa al-Quran tidak akan pernah diterima oleh siapapun lagi 4. Al-Quran diturunkan secara mutawatir dari generasi ke generasi. Mutawatir menu njukkan kualitas keyakinan dan kepastiaan kebenaran suatu riwayat. Dengan demiki an, qiraah Syadz tidaklah dikategorikan bagian dari al-Quran Yang dimaksud dengan qiraah syadz adalah bacaan yang sampai kepada kita dengan kh abar Ahad. Contohnya bacaan Ubay bin Kaab tentang qadha puasa. Tambahan tidaklah mutawatir dan karena tidak dihitung bagian dari al-Quran 5. Kata-kata yang tertulis di dalam mushaf. Hal ini mengandung arti bahwa apa-ap a yang tidak tertulis di dalam mushaf, meskipun pernah diturunkan kepada Nabi Sa w, seperti ayat-ayat yang dinasakh, tidak lagi disebut al-Quran Penunjukan Aya-Ayat Terhadap Hukum ( ) Al-Quran yang mulia ini bersifat QATHYYATUT TSUBUT; bahwa penukilan al-Quran hingga sampai kepada kita berjalan secara mutawatir yang menunjukkan validitas, otensit as dan oriesinalitas al-Quran yang tidak mengandung kesalahan, kekeliuran, penyim pangan dan hal-hal yang tidak ilmiah lainnya. Al-Quran adalah firman Allah dalam semua kebenarannya secara mutlak. Akan tetapi, penunjukannya terhadap suatu hukum kadang bersifat Qathiyyatud Dalal ah dan Dzanniyyatud Dalalah 1. Teks yang Qathiyyud Dalalah ( ) Lafadz yang termaktub dalam al-Quran yang pasti pemahamannya (tidak ambigu) dan ti dak mengandung kemungkinan kecuali satu makna saja Contohnya: Ayat-ayat yang berbicara tentang hukum had bagi pelaku zina. Firman Allah: Pezina perempuan dan pezina laki-laki maka dera-lah keduanya sebanyak 100 kali de raan (QS. An-Nur: 2) Kata perintah dera-lah keduanya sebanyak 100 kali merupakan penunjuk yang pasti, jelas dan tidak akan punya kemungkinan makna yang lain selain itu. 2. Teks yang Dzanniyyud Dalalah ( )

Lafadz yang termaktub dalam al-Quran yang mengandung lebih dari satu makna dalam k onteks tawil (punya kemungkinan diartikan menurut makna yang lain). Seperti lafadz musytarak dalam firman Allah QS. Al-Baqarah 228. Dan perempuan-perempuan yang dicerai oleh suaminya hendaklah menahan (untuk tidak menikah) diri-diri mereka sebanyak tiga kali quru Kata quru adalah lafadz musytarak yang mengandung kemungkinan di antara dua makna yaitu bersih atau haidl. Maka kondisi yang menunjukkan kepada salah satu dari d ua makna adalah bersifat DZHANNI bukan QATHI Dari penjelasan di atas, ayat-ayat al-Quran dari segi kejelasan artinya ada dua m acam. Keduanya dijelaskan oleh Allah dalam surah Ali Imran: 7; yaitu ayat-ayat mu hkam dan mutasyabih 1. Ayat Muhkam adalah ayat yang jelas maknanya, tersingkap secara terang, sehing ga menghindarkan keraguan dalam mengartikannya dan menghila-ngkan beberapa kemun gkinan pemahaman. Ayat-ayat muhkan inilah yang menjadi qathiyyud dalalah 2. Ayat mutasyabih adalah ayat yang tidak pasti arti dan maknanya, sehingga dapa t dipahami dengan beberapa kemungkinan. Ayat mutasyabih inilah yang menjadi dzan niyyatud dalalah Gaya Penjelasan al-Quran terhadap Hukum ( )

Al-Quran adalah kitab suci umat Islam yang mendapatkan jaminan pemeliharaan di si si Allah. Dia bersifat kekal dan eternal. Al-Quran adalah kitab undang-undang hidup yang bersifat abadi, senantiasa adaptab le dengan dinamika jaman. Hal ini karena gaya penjelasan hukum al-Quran bersifat universal bukan partikular, bersifat global kadang juga terperinci. Dengan karak teristik dan model penjelasan ini, al-Quran senantiasa terbuka untuk selalu ditel aah, ditadabburi dan dianalisa. Sederhananya, al-Quran membuka ruang ijtihad kepa da manusia. Karena gaya penjelasan al-Quran yang bersifat global, maka ia membutuhkan as-Sunn ah yang berfungsi menjelaskan dan merinci apa-apa yang belum jelas. Misalnya jum lah rakaat sholat, kadar zakat, syarat-syarat nikah dan hukum muamalah lainnya y ang tidak mungkin diketahui kecuali dengan sunnah Rasulullah yang shahih dan tsa bit Al-Quran memiliki gaya dan ibarat yang beraneka ragam dalam menjelaskan suatu huk um; yaitu tuntutan untuk wajib atau larangan. Dalam menjelaskan hukum perintah wajib, terkadang al-Quran mengunakan kata kerja perintah, misalnya: ( : Dan berinfaqlah), ( : Dan Perangilah), ( : Dan Pada kesempatan yang lain mengungkapkannya dengan lafadz FARDHU atau KITABA, KUTIB A, misalnya: Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dari su mpahmu (QS. At-Tahrim: 2) Diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa (QS. Al-Baqarah: 183) Sesungguhnya sholat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-oran g yang beriman (QS. An-Nisa: 103) Pada bagian yang lain, kadang juga dikaitkan dengan akibat perbuatan itu yang be rbuah kebaikan dan kebajikan. Misalnya: Dan pakaian taqwa, itulah yang paling baik. (QS. Al-Araf: 26) Demikian juga dengan tuntutan untuk meninggalkan atau sebuah larangan, ibarat ya ng digunakan oleh al-Quran menggunakan fiil nahiy (kata kerja larangan). Misalnya: Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian (QS. An-Nisa: 29) Kadang juga menggunakan ibarat bahwa tindakan itu akan berbuah keburukan atau di anggap bukan sebuah kebaikan. Misalnya firman Allah. , Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kep ada mereka dari karunia-Nya, menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Te tapi kebaikhilan itu adalah buruk bagi mereka (QS. Ali Imran: 180) Kadang juga diungkapkan bahwa akibat perbuatan tersebut dapat mendatangkan kebur ukan, laknat, kerusakan dan kemafsadatan. Misalnya firman Allah. Mereka itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (QS. Ar-Radu: 25) Firman Allah Kemudian akibat orang-orang yang mengerjakan kejahatan adalah (azab) yang lebih b uruk, karena mereka mendustakan ayat-ayat Allah. (QS. Ar-Rum: 10)

Dari beberapa karakteristik ibarat yang biasa digunakan oleh al-Quran, berikut in i adalah sebagian dari prinsip-prinsip penetapan hukum) (

1. Setiap perbuatan yang diagungkan, dicintai, dipuji dan dijanjikan kebaikan at au disifati dengan sifat-sifat istiqamah maka perbuatan itu disyariatkan; yaitu mem iliki hukum wajib atau sunnah 2. Setiap perbuatan yang dituntut oleh Allah untuk ditinggalkan, atau Allah menc ela, melaknat, atau Allah menyerupakan pelakunya dengan binatang, syetan, atau p erbuatan itu diancam oleh Allah dengan siksa neraka, atau disifati dengan rijs, atau kefasikan, maka perbuatan itu tidak disyariatkan; yaitu memiliki hukum haram atau makruh 3. Segala yang dihalalkan atau diizinkan oleh Allah, atau tidak dianggap dosa ma ka perbuatan itu berhukum mubah. Hukum yang terkandung dalam Al-Quran ( ) Hukum yang terkandung di dalam al-Quran sesuai dengan risalah Islam yang mencakup dimensi kehidupan dunia dan akhirat, tanpa memandang remeh salah satu di antara keduanya. Secara garis besar dapat dibagi kepada tiga kategori, yaitu: 1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan keyakinan ( ) Masalah ini berkaitan dengan hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan A llah Swt. mengenai apa yang harus mereka ketahui tentang eksistensi dan wujud Al lah dan meng-esakannya. Di dalamnya juga termasuk keyakinan dan keimanan kepada para malaikat, kitab-kitab, para rasul dan hari kiamat. 2. Hukum yang menyangkut etika manusia( ) Masalah ini berkaitan dengan sifat apa saja yang harus dimiliki dan sifat yang h arus dihindari oleh manusia 3. Hukum-hukum yang berkaitan dengan aktivitas manusia yang telah mendapatkan pe mbenanan syariat (mukallaf) ( )

Anda mungkin juga menyukai