Anda di halaman 1dari 55

ANATOMI PERINEUM DAN ANOREKTUM

Dr. Budi Iman Santoso, SpOG Divi Uroginekologi Rekonstruksi Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Anatomi Perineum
Menurut para ahli anatomi, perineum adalah wilayah pelvic outlet di ujung diafragma pelvic (levator ani). Batasannya dibentuk oleh pubic rami di bagian depan ligament sacro tuberous di belakang. Pelvic outletnya di bagi oleh garis melintang yang menghubungkan bagian depan ischial tuberosities ke dalam segitiga urogenital dan sebuah segitiga belakang anal.

Segitiga Urogenital1
Otot-otot di wilayah ini dikategorikan de dalam kelompok superficial (dangkal) dan dalam bergantung pada membrane perineal. Bagian bulbospongiosus, perineal melingtang dangkal dan otot ischiocavernosus terletak dalam bagian terpisah yang dangkal. Otot bulbospongiosus melingkari vagina dan masuk melalui bagian depan corpora cavernosa clitoridis. Di bagian belakang, sebagian serabutnya mungkin menyatu dengan otot contralateral superficial transverse perineal (otot melintang contralateral di permukaan perineal) juga dengan cincin otot anus (sfingter).

Segitiga Urogenital2
Kelenjar Bartholin merupakan struktur berbentuk kacang polong dan bagian ductnya membuka introitus jus di permukaan selaput dara pada persimpangan duapertiga bagian atas dan sepertiga bagian bawah labia minora. Pada wanita, otot perineal dalam melintang antara bagian depan dan belakang fascia membrane perineal yang membentuk diafragma urogenital berbentuk tipis dan sukar untuk digambarkan; karena itu kehadirannya tidak diakui oleh sebagian ahli. Di bagian yang sama terletak juga otot cincin external uretra.

Segitiga Anal
Wilayah ini mencakup otot luar anus dan lubang ischiorectal.

Badan Perineal
Bagian perineal merupakan wilayah fibromuskular (berotot serabut) antara vagina dan kanal anus. Pada dataran saggita berbentuk segitiga. Pada sudut segitiganya terdapat ruang rectovaginal dan dasarnya dibentuk oleh kulit perineal antara bagian belakang fouchette vulva dan anus. Dalam badan perineal terdapat lapisan otot fiber bulbospongiosus, dataran perineal melintang dan otot cincin anus bagian luar. Di atas bagian ini terdapat otot dubur membujurdan serat tengah otot puborectalis. Karena itu sandaran panggul dan juga sebagian hiatus urogenitalis antara otot levator ani bergantung pada keseluruan badan perineal. Bagi ahli kesehatan ibu dan anak, istilah perineum merujuk sebagian besar pada wilayah fibromuskular antara vagina dan kanal anus.

Anatomi Anorektum
Anorektum merupakan bagian paling jauh dari traktus gastrointesninalis dan terdiri dari dua bagian : kanal anus dan rektum. Kanal anus berukuran 3,5 cm dan terletak di bawah persambungan anorectal yang dibentuk oleh otot puborectalis. Otot cincin anus terdiri dari tiga bagian (subcutaneous/bawah kulit), superficial (permukaan) dan bagian dalam dan tidak bias dipisahkan dari bagian permukaan puborectalis. Cincin otot anus bagian dalam merupakan lanjutan menebal otot halus rektum yang melingkar. Bagian ini dipisahkan dari bagian luar cincin otot anus oleh otot penyambung yang membujur yang merupakan kelanjutan dari otot halus membujur rektum.

FISIOLOGI ANOREKTAL
Definisi
Studi respon reflex atau respon terpelajari pada bagian panggul dan otot cincin anus dalam hubungannya dengan rangsangan kolon (usus besar) dan rektum menghasilkan pembatasan (makan) dan pengeluaran feses. Luka abnormal luka regangan pada N. Pudendus

ii) Manometri anus


Mengukur lama tekanan, dan tekanan anus saat istirahat dan kontraksi IAS memberikan tekanan sampai 70% saat istirahat. EAS memberikan tekanan sampai 30% saat istirahat dan sebagian besar tekanan saat kontraksi tetapi harus relaksasi selama regangan

iii) Recto-anal inhibitory reflex (RAIR)


Menggunakan balon yang dihubungkan dengan syringe IAS secara normal relaksasi dengan tegangan rektum Tidak terdapat pada penyakit Hirschsprung

iv) Pudendal nerve terminal motor latency ( PNTML)


Mengukur hantaran serat nervus pudendus Abnormalitas tidal selalu sama pada neuropati Dalam beberapa penelitian peningkatan PNTML berhubungan dengan keluaran yang suboptimal setelah repair sekunder sfingter ani

v) Studi EMG
Merekam kerja kontraksi serat otot secara umum Perubahan dapat terjadi jika terdapat penyakit pada serat otot atau perubahan [ada inervasi Tidak dapat mengukur denervasi secara langsung dan oleh karena itu re inervasi diukur

vi) Elektrosensitivitas mukosa


Mengunakan plat elektroda yang diletakan di folleys catheter Reflek sensitivitas anus yang terlambat merusak serat-serat kecil nervus pudendus Gangguan reflek autonomic sensititas yang terlambat ( parasimpatetik)

vii) Endosonografi anus


Membutuhkan gambaran interpretasi yang dinamik Saat ini merupakan baku emas dalam mendiagnosis defek sfingter ani Defek histopatologi membuktikan adanya fibrosis

Kesimpulan
Respon fisiologi anorektal adalah komplek Tidak ada satu tes tunggal untuk menegakan diagnosis definitif Berbagai tes sangat dibutuhkan dan saling mendukung Endosonografi anus dan manometri merupakan tes yang esensial.

Latar belakang masalah

Ruptur sfingter ani obstetri akut1


Robekan m. sfingter ani saat persalinan diketahui merupakan penyebab mayor inkontinensia fekal dalam perkembangannya. Walaupun demikian repair sfingter primer secara konvensional pada kerusakan obstetri akut inkontinensia dilaporkan 20 sampai 59% wanita (Sultan 2002). Sehingga Kamm (1994) menyatakan repair robekan perineum derajat tiga yang inadekuat adalah normal dan bukan merupakan suatu malpraktek. Alasan dari keluaran yang kurang ini dapat disebabkam operator yang kurang berpengalaman atau teknik yang jelek.

Ruptur sfingter ani obstetri akut2


Sultan dkk (1995) mewawancarai 75 dokter yang melakukan praktik obstetri minimal 6 bulan dan mencatat bahwa sangat sdikitnya pengetahuan tentang anatomi perineum dan sfingter ani.Lebih jauh lagi hanya 6% yang mendapat pelatihan yang adekuat saat pertama kali memperbaiki sfingter.. Lebih baru lagi, Dalam banyak studi yang melibatkan konsultan obsteri di Inggris, hanya sepertiganya yang merasa mendapat pelatihan yang baik dalam repair sfingter ani. ( Fernando dkk 2002).Pelatihan yang inadekuat dapat disebabkan kurangnya kejadian robekan m sfingter ani. Di Inggris (dimana episiotomi mediolateral dilakukan ) insiden robekan m. sfingter 1% dibandingkan 11% di Amerika dimana episiotomi mediana lebih sering dilakukan (Sultan 1997).

Ruptur sfingter ani obstetri akut3


Teknik repair primer sfingter ani secara konvensional yang dilakukan oleh ahli obstetri adalah dengan pendekatan end to end pinggir luka sfingter dengan jahitan satu-satu atau jahitan angka 8. Ahli bedah kolorektal melakukan repair sekunder sfingter ani pada inkontinensia fekal, lebih sering dengan teknik overlapdengan tindak lanjut perbaikan pada 76% pasien (Jorge dan Wexnr 1993) . Oleh karena hasil yang tidak memuaskan dengan teknik end to end , Sultan dkk(1999) mencoba melakukan teknik overlap dalam repair primer 27 wanita dan juga pada robekan sfingter interna. Mereka menemukan bahwa pada teknik ini kejadian inkontinensia berkurang dari 41% menjadi 8% dan defek m. sfingter ani persisten berkurang dari 85% menjadi 15% jika dibandingkan dengan teknik end to end pada studi lain( Sultan dkk 1994). Walaupun ini bukan merupakan suatu RCT hasil yang baik dapat mempengaruhi operator.. Walau demikian studi menunjukan bahwa teknik overlap memungkin menjadi prosedur primer dalam situasi akut dan juga menentang pernyataan Kamm.Fizpatrick dkk( 2000) melakukan RCT antara teknik overlap dengan end to end pada 112 primpara dam melaporkan tidak ada perbedaan dalam keluaran, walau terdapat kecenderungan teknik overlap lebih baik ( inkontenensia anus 58% vs 49%, fekal soiling 9% vs 4%, urgensi 30% vs 20%, defek EAS yang besar 11% vs 5%, aparania 11% vs 25%).

Ruptur sfingter ani obstetri akut4


Terdapat beberapa perbedaan metode antara deskripsi oleh Sultan yang mendeskripsikan dengan tidak menidentifikasi sfingter ani secara terpisah, penggunaan laxative (codeine phosphate) yang diberikan tiga hari setelah perinerafi dan penggunaan benang Maxon 2.0. Fernando dkk 2004, melakukan penelitian secara random pada 64 pasien dan di follow up selama 12 bulan didapat 24 % dari end-to-end group mengeluh faecal incontinensia dibandingkan dengan overlap group tidak didapat keluhan. (P= 0,01). Hal ini digambarkan dari kuesioner yang dikirimkan ke konsultan obstetri dan traini dimana separuhnya menggunakan teknik overlap dan sebagian besar bedah kolorektal mengunakan teknik ini ( Fernando dkk2002). Tujuan kursus ini adalah mendemonstasi dan mengajarkan anatomi dan teknik repair sfingter keduanya.

Kejadian trauma sfingter ani1


Hinggga digunakannya ultrasonogarfi anus, perkembangan inkontinensia ani dihubungkan dengan neuropati pelvis. Walaupun studi prospektif sebelum dan sesudah bayi lahir menunjukan hingga sepertiga wanita tidak mengetahui kerusakan sfingter saat persalinan. (Donellly dkk 1998), Sultan dkk 1993). Walau hanya sepertiga wanita yang memiliki defek yang simptomatik dalam waktu singkat, hal ini menunjukan bahwa wanita ini akan meiliki risiko yang tingggi untuk terjadinya inkontinensia di kemudian hari.

Kejadian trauma sfingter ani2


Yang lebih penting lagi defek ini terjadi tanpa disadari atau terlewatkan karena dokter atau bidan tidak mendapat pelatihan untuk memdeteksi kerusakan sfingter.Bahwa hanya 16% dokter dan 39% bidan yang merasa mendapat pelatihan yang adekuat untuk mengidentifikasi robekan sfingter (Sultan 1995). Dengan kata lain mungkin saja robekan diketahui namun diklasifikasi dalam robekan derajat dua.. Dalam kuesioner yang dikirimkan ke konsultan di inggris (Fernando dkkk 2002) dan traini (Sultan dkk 1995) menunjukan 40% masih mengklasisifikasikan robekan parsial atau komplit sfingter ani ke derajat dua. Alasan kejadian ini adalah pengajaran sebelumnyua (Sultan & Thakar 2002), dan oeh karena itu demi klarifikasi dan konsistensi Sultan (1999) mengajukan klasifikasi yang komprehensif ( saat ini telah diterima RCOG dan WHO ) :

Kejadian trauma sfingter ani3


Derajat satu Derajat dua Derajat tiga : robekan hanya mengenai epitel vagina dan kulit : robekan sampai otot perineum tapi tidak sfingter ani : robekan sampai sfingter ani : 3a. < 50 % ketebalan sfingter ani 3b. > 50 % ketebalan sfingter ani 3c. hingga sfingter interna Derajat empat: robekan hingga epitel anus Robekan mukosa rektum tanpa robekan sfingter ani sangat jarang dan tidak termasuk dalam klasifikasi diatas.

EPISIOTOMI1
Episiotomi merupakan tindakan yang paling sering dilakukan di bidang obstetri (setelah pemotongan tali pusat) dan masih belum banyak bukti yang menunjukkan kegunaannya bila dilakukan secara rutin. (Woolley, 1995). Saat ini terdapat bukti yang menunjukkan bahwa tindakan tersebut berhubungan dengan peningkatan risiko trauma pada kompartemen posterior termasuk ruptur sfingter ani. Namun pencegahan ruptur sfingter ani merupakan alasan yang sering digunakan untuk melakukan episiotomi. Terdapat data observasi yang menunjukkan bahwa mengurangi tindakan episiotomi tidak berhubungan dengan peningkatan angka ruptur sfingter ani (Woolley, 1995).

EPISIOTOMI2
Namun terdapat dua keadaan dimana umumnya dokter dan bidan melakukan episiotomi. Pertama, untuk mempercepat proses persalinan, seperti gawat janin dan distosia bahu; kedua, untuk meminimalkan robekan multipel yang dapat timbul saat crowning kepala pada perineum yang tebal dan kaku. Dokter pada umumnya melakukan episiotomi saat persalinan dengan forcep walau beberapa mempertanyakan manfaatnya. Indikasi lain yang umum termasuk malpresentasi seperti presentasi bokong, presentasi ganda dan malposisi seperti oksiput posterior persisten.

EPISIOTOMI3
Keputusan untuk melakukan tindakan episiotomi ini sangat bergantung pada tenaga penolong persalinan. Henrikssen et al (1992, 1994) melakukan penelitian pada bidan yang sebelumnya memiliki angka episiotomi yang tinggi dan kemudian menguranginya, prevalensi RSA juga berkurang. Namun hal ini tidak berlaku pada bidan yang telah memiliki angka episiotomi yang rendah dan kemudian menguranginya lagi. Berdasarkan bukti ini, angka ideal untuk tindakan episiotomi adalah antara 20 30%. Hanya masalah waktu yang menentukan sebelum seluruh dokter dan bidan yang melakukan episiotomi membutuhkan persetujuan tertulis dan alasan yang jelas.

PERSALINAN DENGAN INSTRUMEN1


Persalinan dengan instrumen berhubungan dengan risiko yang lebih besar untuk terjadinya trauma perineum. Walau hanya 4% wanita yang melahirkan dengan forcep mengalami robekan derajat 3 / 4, sampai 50% yang mengalami robekan ini melakukan persalinan dengan instrumen (Sultan et al 1994a). MacArthur et al (1997) menunjukkan bahwa persalinan dengan instrumen merupakan satu-satunya faktor risiko independen dalam timbulnya inkontinensia fekal. Mereka melaporkan 33% wanita yang baru mengalami inkontinensia fekal memiliki riwayat persalinan dengan instrumen dibanding 14% yang tidak memiliki riwayat ini. Ekstraksi vakum berhubungan dengan angka robekan derajat 3 / 4 yang lebih rendah dibanding forceps dan pandangan ini didukung oleh 2 penelitian besar yang dilakukan acak. Penelitian pertama dilakukan di Inggris (Johansen et al, 1993) dengan melakukan episiotomi mediolateral dan dilaporkan bahwa laserasi vagina yang parah didapatkan sebanyak 17% untuk forceps dibanding 11% untuk vakum. Penelitian kedua dilakukan di Kanada (Bofill et al 1996) dengan melakukan episiotomi mediana dan dilaporkan robekan derajat 3 / 4 pada 29% yang dengan forceps dibanding 12% pada vakum.

PERSALINAN DENGAN INSTRUMEN2


Tidak terdapat perbedaan bermakna pada morbiditas neonatal jangka pendek antara penggunaan keduanya walau terdapat lebih banyak laserasi fasial pada grup forceps dan lebih banyak perdarahan retina dan sefalhematoma pada grup vakum. Namun jumlah yang memerlukan fototerapi tidak berbeda untuk keduanya. Trauma yang tidak terlihat juga ditemukan lebih sering pada persalinan dengan forceps sampai dengan 80% (Sultan et al 1993). Hal ini sesuai dengan penelitian acak kecil yang menunjukkan bahwa defek sfingter ani tersembunyi pada 79% untuk forceps dibanding 40% pada vakum (Sultan et al 1998). Pada salah satu pusat dari beberapa penelitian acak yang dilakukan sebelumnya untuk persalinan forceps dan vakum dengan melakukan follow up selama 5 tahun pada anak menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan perkembangan neurologis dan ketepatan visual anak antara persalinan dengan kedua alat tersebut (Johanson et al 1999). Hal ini meringankan bagi ibu dan dokter yang mungkin merasa khawatir akan gejala sisa neurologis jangka panjang akan adanya sefalhematoma setelah persalinan dengan vakum.
MAYDAY HEALTHCARE NHS TRUST PETUNJUK KAMAR BERSALIN

PENATALAKSANAAN ROBEKAN PERINEUM GRADE 3 ATAU 4

Pasca prosedur
1. Ketidaknyamanan perineum yang berat terutama setelah persalinan instrumenal adalah penyebab yang diketahui sebagai penyebab retensio urin dan setelah anestesi regional dapat sampai 12 jam sebelum sensasi vesika kembali. Oleh karenanya kateter folley seharusnya digunakan sekurangnya 24 jam. 1. Antibiotic intravena (Cefuroxime 1,5 g dan Metronidazol 500 mg) harus diberikan intraoperatif dan diteruskan secara oeral selama 1 minggu. 1. Semua wanita harus diberikan pelunak feses (laktulose 15 cc bd) dan agen penggumpal (Fybogel 1 sachet bd) selama 2 minggu, karena mengedan untuk mengeluarkan feses yang keras dapat merusak jahitan. Hal ini perlu dijelaskan kepada pasien dan ia tidak boleh dipulangkan sebelum aktivitas BAB kembali normal. Karena kerusakan sfingter ani dapat mempunyai konsekuensi litigasi (tuntutan), pencatatan medik yang hati-hati dan lengkap adalah sangat penting. Diagram yang menunjukkan sejauh mana cidera dan teknik penjahitan akan membantu menjelaskan bahwa pemeriksaan yang dilakukan secara cermat telah dilakukan. Kamera instant tersedia di kamar bersalin untuk pengambilan gambar. 1. Para wanita harus diberikan penjelasan yang mendetail tentang trauma tersebut dan diberitahukan bahwa bila ada masalah seperti infeksi atau control BAB yang sulit, mereka sesegera mungkin menemui bidan atau dokter umum yang kemudian dapat merujuk ke rumah sakit bila diperlukan.

Penatalaksanaan persalinan pada riwayat robekan derajat 3 atau 4


Telah disetujui oleh semua konsultan bahwa pada semua wanita yang mempunyai riwayat robekan derajat 3 atau 4 harus dirujuk ke klinik perineum untuk follow up dan penatalksanaan pada persalinan berikutnya. Seluruh wanita tersebut akan dilakukan USG anus dan manometri di klinik perineum Secara umum, wanita yang kontinen dan tidak terbukti memiliki kerusakan sfingter ani, diperbolehkan partus pervaginam dengan bidan senior atau dokter. Pada wanita dengan inkontinensia fekal ringan dengan bukti kerusakan sfingter ani akan diberikan konseling dan ditawarkan untuk operasi SC. Pada wanita dengan inkontinensia fekal yang bermakna perlu diberikan konseling mengenai risiko persalinan normal (Risiko 5% robekan berulang) setelah penjahitan sfingter ani sekunder Tidak ada bukti literatur yang menunjukkan bahwa episiotomi profilaksis akan mencegah kejadian ruptur sfingter ani berulang dan oleh karenanya episiotomi hanya dilakukan bila ada faktor predisposisi seperti bayi besar, posisi oksiput posterior, distosisa bahu, tali fibrosis atau perineum yang tidak elastis.

Klasifikasi luka perineum:


Tingkat 1 Tingkat 2 : laserasi pada epitel vagina atau pada kulit perineum. : termasuk yang terkena epitel vagina kulit perineum, otot, dan fasia, tetapi tidak mengenai sfingter ani. Tingkat 3 : kerusakan pada epitel vagina, kulit perineum, perinel body, dan otot sfingter ani , lebih lanjut dibagi dalam tiga bagian :
3a: luka perieum mengenai m. sfingter ani eksternal sampai dengan ketebalan < 50 % 3b. luka perieum mengenai m. sfingter ani eksternal sampai dengan seluruh ketebalan 3c: luka perieum mengenai m. sfingter ani internal tingkat 4 : luka tingkat tiga dengan kerusakan epitel anal

note : luka pada mukiosa rektum tanpoa diikuti kerusakan pada sfingter ani sangat jarang dan tidak termasuk dalam klasifikasi diatas.

Peran Bidan
Semua tindakan dilakukan di kamar operasi Harus mendapat persetujuan tindakan Diperlukan anastesi spinal dan epidural yang efektif Perlu dukungan emosional untuk ibu selama tindakan dan perwatan, sumai dapat memilih mendampingi atau tidak. Yakinkan analgesia diberikan adekuat Tindakan harus tercatat dalam bukub register kamar operasi dan buku luka perineum.

Prinsip tindakan
Tindakan harus dilakukan oleh orang sudah berpengalaman dan terdaftar, jika ragu dapat konsultasi ke konsultan, dengan melakukan jahitan situasi berupa jahitan satu-satu sampai konsultan datang. Semua tindakan dilakukan dikamar operasi yang memiliki pencahayaan yang baik, peralatan yang lengkap dan kondisi yang asepiik. Gunakan paket perineorafi untuk menunjang tindakan aseptik. Semua tindakan dilakukan dalam anestesi regional dan umum, ini penting untuk repair m. sfingter ani agar otot relaksasi.

Prosedur
Lakukan pemeriksaan vagina dan rektal pada posisi litotomi, pastikan klasifikasi luka perineum. Luka epitel anus harus dijahit dengan jahitan satu-satu dengan benang vicryl 3.0 dengan ikatan pada lumen anus. Luka sfingter ani diperbaiki secara terpisah dengan cara end-toend aproksimasi dengan jahitan satu-satu denagn benang PDS 3.0, benang ini adalah benang monofilamen untuk mengurangi terjadinya infeksi dibanding benang polifilamen. Jika m. sfingter ani < 50% jahitan end to end dilakukan dengan jahitan matras, jika komplit lakukan jahitan overlap. Ujung otot harus dapat identifikasi dan dipegang dengan benar.

Repair Obstetric anal aphincter injuries ( OASIS)


1. Tindakan repair OASIS harus dilakukan oleh orang sudah berpengalaman dan terdaftar, jika ragu dapat konsultasi ke konsultan, dengan melakukan jahitan situasi berupa jahitan satusatu sampai konsultan datang. 2. Semua tindakan dilakukan dikamar operasi yang memiliki pencahayaan yang baik , peralatan yang lengkap dan kondisi yang asepik.Gunakan paket perineorafi untuk menunjang tindakan aseptik. 3. Semua tindakan dilakukan dalam anestesi regional dan umum, ini penting untuk repair m. sfingter ani agar otot relaksasi. 4. Lakukan pemeriksaan vagina dan rektal pada posisi litotomi, pastikan klasifikasi luka perineum.

1. Luka epitel anus harus dijahit dengan jahitan satu-satu dengan benang vicryl 3.0 dengan ikatan pada lumen anus. 1. Luka sfingter ani diperbaiki secara terpisah dengan cara end-toend aproksimasi dengan jahitan satu-satu denagn benang PDS 3.0, benang ini adalah benang monofilamen untuk mengurangi terjadinya infeksi dibanding benang polifilamen. 1. Jika m. sfingter ani < 50% jahitan end to end dilakukan dengan jahitan matras, jika komplit lakukan jahitan overlap. 1. Ujung otot harus dapat identifikasi dan dipegang dengan benar

1.

Ujung robekan pada sfingter ani eksterna diidentifikasi dan dipegang dengan pinset jaringan Allis. Dalam melakukan penumpang tindihan, otot perlu dimobilisasi dengan cara diseksi untuk memisahkan dengan jaringan lemak iskio anal ke lateral dengan menggunakan gunting Mcindoe. Pada waktu melakukan penjahitan teknik overlap, sfingter eksterna harus dipegang menggunakan pinset Allis dan ditarik menyilang untuk ditumpangtindihkan dengan cara double breast. Ujung robekan sfingter eksterna dapat dijahit tumpangtindih dengan benang PDS 3/0 (Ethicon). Teknik tumpang tindih yang benar hanya dapat dilakukan bila panjang penuh dari ujung robekan sfingter ani eksterna telah diidentifikasi. Teknik tumpang tindih akan memberikan area kontak permukaan yang lebih luas di antara otot. Secara kontras teknik jahitan ujung-ujung dapat dilakukan tanpa identifikasi penuh keseluruhan panjang sfingter ani eksterna yang akan memungkinkan terjadinya penyambungan tidak sempurna. Sebagai akibatnya pasien akan kontinen tetapi akan mempunyai risiko untuk terjadinya inkontinensia fekal di belakang hari pada kehidupannya. Panjang anal dilaporkan lebih pendek merupakan predictor terbaik untuk terjadinya inkontinensia fekal setelah pembedahan sfingter sekunder. Tidak seperti pada teknik ujung-ujung, apabila terjadi penarikan pada ujung otot pada teknik tumpangtindih, sangat memungkinkan kontinuitas otot akan bertahan. Bagaimanapun bila ahli bedah tidak biasa dengan teknik tumpang tindih atau bila sfingter ani eksterna hanya robek sebagian (derajat 3b), teknik penjahitan ujung-ujung seharusnya dilakukan. Jahitan sebaiknya dilakukan dengan 2 atau 3 jahitan matras, dan bukan dengan jahitan hemostasis angka 8.

1. Setelah penjahitan sfingter, otot perineum harus dijahit untuk membentuk rekonstruksi badan perineum. Perineum yang pendek akan mengakibatkan sfingter ani lebih rentan terhadap trauma pada proses persalinan pervaginam berikutnya. Akhirnya kulit vagina dijahit dengan teknik subkutikular menggunakan Vicryl 3/0. 2. Pemeriksaan vagina dan rektum harus dilakukan untuk mengkonfirmasi penjahitan yang lengkap dan meyakinkan semua tampon dan kasa telah dikeluarkan. 3. Antibiotik spektrum luas seperti Cefuroxim 1,5 g dan Metronidazol 500 mg IV dimulai intraoperatif dan kami lebih memilih meneruskan dengan antibiotik oral selama 5 sampai 7 hari. Walaupun tidak ada data RCT untuk mendasari kebiasaan ini, tetapi infeksi akan mengakibatkan kerusakan hasil dan inkontinensia serta pembentukan fistula. 4. Ketidaknyamanan perineum berat, terutama yang mengikuti persalinan dengan instrumen merupakan penyebab utama retensio urin dan setelah anesthesia regional, sensasi pada vesika baru diharapkan pulih sampai sekitar 12 jam. Kateter folley harus dimasukkan sekitar 24 jam kecuali staf perawat dapat meyakinkan bahwa pasien akan berkemih sekurangnya setiap 3 jam.

1. Catatan medik harus tercatat lengkap tentang temuan dan proses penjahitan. Gambar yang representatif akan robekan terbukti merupakan bukti yang berguna saat status diperiksa untuk keperluan komplikasi, audit atau penuntutan. 1. Bolus feses yang keras melalui luka akan menyebabkan risiko kerusakan jahitan dan pelunak feses (lactulose 15 mg bd) dan agen penggumpal seperti Fybogel (Ispahula Husk) 1 sachet bd, diberikan sekurangnya 10 sampai 14 hai post operatif. Pengeluaran isi usus juga dilakukan oleh beberapa klinisi yang merasa khawatir akan pembentukan feses akan merusak jahitan epital anal dan otot sfingter yang masih beru. Walaupun demikian sebuah uji prospektif dan acak, ahli bedah yang tertutup (n=54) menunjukkan hasil akhir operasi anorektal rekonstruksi tidak dipengaruhi oleh pengabaian proses pengeluaran isi usus dan diasosiasikan dengan episode impaksi feses yang lebih sedikit. 1. Sangatlah penting bagi wanita untuk mengerti implikasi meneruskan OASIS dan harus diberitahu bagaimana mencari pertolongan apabila terdapat gejala infeksi atau inkontinensia. 1. Idealnya para wanita tersebut dilakukan follow up di klinik khusus perineum oleh tim yang mempunyai minat pada OASIS. Semua wanita harus diberikan nasihat tentang latihan dasar panggul dan pada wanita tertentu dengan kontraksi sfingter ani yang minimal, mungkin akan diperlukan stimulasi elektrik.

Pada wanita yang menderita cedera sfingter anal, diperlukan suatu konseling yang baik mengenai tatalaksana pada kehamilan berikutnya. Diketahui bahwa angka risiko cedera sfingter ani berulang pada pusatpusat yang mempunyai praktek standar episiotomi mediolateral, adalah 4,4 % (Harkin et al 2003). Oleh karena itu pada wanita asimptomatik yang tidak mempunyai tanda fungsi sfingter ani yang berkurang (idealnya dikonfirmasi dengan USG dan manonetri anus) seharusnya dianjurkan untuk rencana partus pervaginam pada kehamilan berikutnya. Karena seksio sesarea diasosiasikan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas, dianjurkan operasi ini hanya dilakukan pada wanita yang simptomatik dan pada mereka yang telah menjalani operasi sfingter ani sekunder untuk inkontinensia fekal.

MAYDAY PERINEAL REPAIR PACK


Instrumen
Retractor Weislanders Forceps gigi (fine & strong) Needle holder (small and large) Forceps Allis (4) Forceps arteri (6) Gunting McIndoe Gunting pemotong jahitan Spekulum Sims Retraktor dinding samping dalam vagina Forceps pemegang kasa Tampon Kapas besar Diatermi

Benang jahit
Anal epithelium
Ethicon Vicryl 3-0, 26 mm round bodies needle W9120

Internal Anal Sfingter


Ethicon PDS 3-0, 26 mm round bodies needle W9124T

External Anal Sfingter


Ethicon PDS 3-0, 26 mm round bodies needle W9124T

Perineal Muscles
Ethicon Vicryl rapide 2-0, 35 mm tappercut needle W9124

Perineal skin
Ethicon Vicryl rapide 2-0, 35 mm tappercut needle W9124

(dapat digunakan untuk subkutikuler atau jahitan interrupted).

PENCEGAHAN TRAUMA PERINEUM


Trauma perineum pada proses persalinan sering terjadi dan dapat mempunyai konsekuensi berat. Sayangnya banyak wanita yang menderita tapi berdiam saja, sehingga dalam pencatatan tidak terlaporkan semua. Trauma perineum dapat diasosiasikan dengan angka morbiditas jangka pendek dan lama. Komplikasi lain yang terkait termasuk infeksi perineum, fistula dan endometriosis di luka perineum. Aktivitas maternal dan proses menyusui dapat terpengaruh oleh hal ini. Oleh karenanya pencegahan, walaupun hanya sebagian, akan memberikan keuntungan bagi banyak wanita. Hal ini juga akan mempengaruhi penghematan biaya, dengan mempengaruhi jumlah obat, benang dan penatalaksanaan yang lebih sedikit dan juga waktu yang diberikan oleh penyedia jasa kesehatan dalam membantu para ibu dalam menghadapi kendala pada masalah trauma ini.

Walaupun pencegahan trauma perineum diketahui sangat penting tetapi bagaimana melakukannya masih belum terlalu jelas. Beberapa faktor risiko antenatal seperti status nutrisi, indeks berat tubuh, etnis dan berat lahir tidak dapat diubah pada saat persalinan, tetapi hal tersebut diketahui modifikasi terhadap penatalaksanaan perlu diterapkan. Usaha-usaha antenatal untuk mengubah letak sungsang ke presentasi kepala dan oksipito posterior ke oksipito anterior dapat secara tidak langsung menurunkan angka trauma perineum. Sedangkan faktor-faktor yang tidak dapat dikontral pada saat persalinan adalah episiotomi, robekan perineum sebelumnya, persalinan instrumenal, posisi maternal, cara persalinan, dan gaya saat meneran.

Rekomendasi untuk pencegahan trauma perineum

STRATEGI PENCEGAHAN PRIMER Seksio Sesarea Elektif STRATEGI PENCEGAHAN SEKUNDER

Modifikasi faktor risiko obstetri


Persalinan spontan daripada persalinan dengan instrumen Ekstraksi vakum daripada ekstraksi forcep Episiotomi mediolateral daripaa episiotomi mediana Mengurangi tindakan episiotomi Posisi persalinan Teknik persalinan Malposisi Anestesi epidural Cara mengedan Partus kala II memanjang Identifikasi dan reparasi luka obstetri pada sfingter ani

Metode lainnya
Masase perineum Persalinan di air Persalinan di rumah

STRATEGI PENCEGAHAN TERSIER


Cara persalinan pada kehamilan berikutnya : Seksio sesarea pada wanita dengan riwayat perineorafi Seksio sesarea pada wanita dengan defek pada sfingter ani

KLINIK PERINEUM DAN TATALAKSANA KEHAMILAN BERIKUTNYA1


Sementara banyak kemajuan yang didapat pada penanganan antenatal dan intrapartum, morbiditas maternal postnatal masih tetap banyak diabaikan. Permasalahan yang tidak diduga setelah persalinan dapat membuat seorang wanita merasa terganggu dan tidak adekuat. Karena masalah ini bersifat sensitif, idealnya seorang wanita sebaiknya melakukan kontrol ke klinik khusus dibandingkan ke klinik umum lainnya. Selanjutnya lingkungan khusus tersebut akan memfasilitasi pengasuhan anak dan menyusui. Karenanya dibuat sebuah one-stop clinic untuk menangani masalah postpartum yang disebut sebagai klinik perineum.

KLINIK PERINEUM DAN TATALAKSANA KEHAMILAN BERIKUTNYA2


Klinik perineum memiliki staf yang terdiri dari konsulen uroginekologi (terlatih untuk anal manometry dan ultrasonografi), bidan/perawat terlatih dan rekan peneliti dari bidang klinikus. Terdapat kemudahan untuk menghubungi spesialis perawat kontinensia, spesialis perawat kolorektal, ahli bedah kolorektal dan konselor psikoseksual. Klinik ini juga dilengkapi dengan scan endoanal dan fasilitas manometri. Rujukan primer dan sekunder dilakukan langsung oleh bidan, dokter umum dan spesialis obstetri. Rujukan tersier dilakukan oleh dokter spesialis dari bidang lain. Klinik ini terbatas pada masalah yang berkaitan dengan persalinan sampai dengan 16 minggu postpartum dan termasuk di dalamnya dispareuni, nyeri perineum, infeksi, prolaps, inkontinensia urin dan anal, dan luka yang terbuka kembali. Wanita yang mengalami luka obstetric sfingter ani melakukan kontrol dalam waktu tiga bulan postpartum. Selain itu, dilakukan evaluasi dan konseling pada wanita dengan riwayat luka obstetri sfingter ani mengenai cara persalinan.

KLINIK PERINEUM DAN TATALAKSANA KEHAMILAN BERIKUTNYA3


Hanya ada 2 publikasi dari klinik perineum pada literatur di Inggris. Fitzpatrick et al melakukan ulasan wanita dengan masalah postpartum dan inkontinensia anal untuk seluruh pasien (rentang usia 18 77 tahun). Pretlove et al membatasi klinik perineum mereka untuk wanita dengan luka obstetri sfingter ani primer dan inkontinensia anal yang berhubungan dengan persalinan. Sebaliknya, klinik perineum kami dibuat bagi yang memiliki masalah perineum dan dasar panggul postpartum sampai dengan 16 minggu. Wanita yang memiliki gejala setelah 16 minggu postpartum melakukan kontrol pada klinik dasar panggul kombinasi (uroginekologi dan kolorektal).

Follow up dan penanganan kehamilan selanjutnya1


Semua wanita harus diberitahu akan kemungkinan gejala sisa dari luka pada sfingter ani dan idealnya melakukan kontrol setelah 6 12 minggu postpartum serta melakukan tes fisiologi dan ultrasonografi anus (Sultan dan Thakar 2002). Wanita asimptomatik dengan tekanan pendorongan yang rendah dan defek yang melebihi kuadran memiliki peningkatan risiko terjadinya inkontinensia anal pada persalinan pervaginam berikutnya (Fynes 1999) dan untuk itu pada konseling sebaiknya disertakan pilihan untuk melakukan seksio sesarea. Bila manometri dan ultrasonografi anal tidak tersedia di daerah setempat maka semua wanita dengan gejala harus dirujuk kepada pusat spesialistik untuk pemeriksaan tersebut. Pada wanita yang asimptomatik dan tanpa gejala klinis adanya defek perineum atau penurunan tonus anal, dibolehkan untuk melakukan persalinan pervaginam yang ditolong oleh dokter atau bidan senior. Tindakan episiotomi profilaksis yang tidak terbukti memberikan manfaat untuk mencegah robekan lain, hanya dilakukan atas indikasi klinis yang jelas seperti perineum yang tebal dan kaku.

Follow up dan penanganan kehamilan selanjutnya2


Wanita simptomatik dengan luka yang parah sebaiknya ditawarkan untuk dilakukan repair sekunder sfingter dan pada kehamilan selanjutnya sebaiknya dilakukan seksio sesarea. Wanita dengan gejala ringan sebaiknya ditatalaksana dengan mengatur jenis makanan dan menghindari makanan yang memproduksi gas, pengaturan aktivitas usus, bulking agents, zat yang memiliki khasiat konstipasi seperti loperamide dan kodein fosfat, dan biofeedback. Wanita grup ini memiliki risiko yang meningkat pada persalinan pervaginam berikutnya dan sebaiknya ditawarkan untuk dilakukan seksio. Risiko terjadinya robekan derajat 3 yang berulang sebanyak 3 kali rendah, namun tidak terdapat penelitian acak yang telah dilakukan untuk mengevaluasi keuntungan dari tindakan seksio sesarea secara rutin.

Morbiditas dan mortalitas maternal lebih tinggi pada persalinan pervaginam walau dibandingkan dengan kehamilan risiko rendah dan seksio sesarea elektif (Sultan & Stanton, 1996). Dengan seksio sesarea terjadi peningkatan risiko adenomiosis, plasenta previa, plasenta akreta dan histerektomi obstetri, trombosis vena dalam dan emboli paru, yang sebaiknya juga dicantumkan dalam melakukan konseling. Saat ini harus terdapat kesadaran untuk membuat persalinan pervaginam lebih aman dengan memusatkan pada tindakan pelatihan dan edukasi, kecenderungan penggunaan vakum, membatasi tindakan episiotomi, perbaikan teknik persalinan pervaginam dan seksio sesarea yang lebih selektif.

Anda mungkin juga menyukai