akibat pemasangan pipa, kabel, dan sebagainya, maka responden menilai Hongkong hanya pantas berada di urutan kedua dengan nilai rata-rata 1,53. Kualitas infrastruktur Jepang merupakan yang terbaik ketiga setelah Singapura dan Hongkong dengan nilai rata-rata 2,73. Nilai kualitas infrastruktur terendah untuk Jepang adalah Bandara Narita yang dianggap tidak sebanding dengan bandara Changi, Singapura atau bandara internasional Hongkong. Bandara Narita dinilai kurang nyaman dan lokasinya kurang menyenangkan untuk penerbangan internasional atau untuk transit. Kekurangan Jepang lainnya di bidang infrastruktur telekomunikasi, terutama pada sistem internet. Fasilitas memadai, tetapi biaya dan ongkosnya lebih mahal dibanding Singaupra dan Hongkong. Korsel yang sistem telekomunikasi dan internet lebih baik daripada Jepang serta menyamai Singapura dan Hongkong, menduduki peringkat ke empat dengan nilai ratarata 3,18. Adanya bandara internasional Incheon yang baru, luas, dan canggih juga menempatkan Korsel lebih baik daripada Jepang di bidang infrastruktur bandara. Namun kekurangan Korsel yang paling dirasakan para responden itu adalah jalan yang terlampau padat dan belum memadainya sistem transportasi publik. Padatnya jalan-jalan di Korsel merupakan cermin pesatnya pertumbuhan penjualan mobil domestik yang jauh lebih cepat dibanding dengan kemampuan pemerintah membangun sistem jalan raya yang terencana. Apalagi, pada saat bersamaan permintaan akan transportasi publik tumbuh lebih pesat dibanding kesanggupan pemerintah atau sektor swasta berinvestasi di bidang pembangunan jalan. Konsekuensinya, meski Korsel memiliki jaringan internasional yang kuat, tetapi arus barang dan orang di dalam negeri tidak dapat berlangsung dalam waktu relatif singkat. Situasi berbeda terlihat nyata pada negara-negara berperingkat di bawah keempat negar berperingkat teratas itu. Malaysia menduduki urutan kelima dengan nilai rata-rata 4,19. Keunggulan Malaysia adalah pada fasilitas bandara dan sistem pelabuhan peti kemas yang masing-masing meraih nilai 2,86 dan 3,0. Dari segi daya saing, pelabuhan peti kemas Malaysia di Tanjung Pelapas lebih baik dibanding Bandara internasional Kuala Lumpur yang baru. Alasan utama, biaya yang lebih murah. Apalagi Tanjung Pelapas telah menjalin kerja sama dengan mitra asing strategis, hal yang belum dilakukan pihak bandara. Berdasarkan survai, hanya sedikit negara yang berani mengikuti langkah Malaysia menggandeng investor asing di Tanjung Pelapas. Salah satu negara yang berani seperti itu adalah Hongkong. Sementara di negara lain yang berperingkat lebih rendah
dari Malaysia, investasi dalam skala besar seperti itu jarang diizinkan. Pemerintah dan pemerintah daerah terlalu banyak berkepentingan dengan pelabuhan sehingga terlalu protektif. Selain terlalu protektif, negara-negara berperingkat bawah juga terlalu miskin untuk bekerja sama dengan mitra asing. Sistem finansial mereka belum maju. Lebih parah lagi, mereka tidak mampu menyalurkan simpanan domestik untuk proyek infrastruktur. Selama pemerintahan negara-negara itu belum juga mampu membiayai pembangunan infrastruktur, investor asing akan menolak seluruh resiko finansial dari investasi di bidang infrastruktur yang sudah pasti padat modal untuk jangka waktu lama pula, tanpa ada kepastian kapan uang mereka akan kembali. Terutama sejak hantaman krisis ekonomi 1997, yang menjadikan Kawasan Asia beresiko tinggi untuk investasi. Krisis ekonomi berdampak luas pada sistem politik dan nilai tukar uang lokal dibanding dollar AS. Banyak investor asing yang menarik investasinya dari Filipina, Indonesia, India, dan Thailand, kecuali jika pemerintah setempat mau menanggung resiko investasi yang lebih besar lagi. Setelah 1997, kontrak infrastruktur hanya memberikan pengembalian yang minim seiring dengan melebarnya krisis ekonomi dan krisis politik. Cara paling efektif untuk mengurangi resiko itu adalah dengan meyakinkan para investor atau membuat struktur investasi yang memungkinkan investor dalam negeri berbagi resiko dengan investor asing. Idealnya, kondisi demikian akan sanggup bertahan manakala terjasi perubahan politik secara drastis karena semua pemegang saham menanggung resiko yang sama dan berusaha melindungi investasi demi menjaga tingkat pengembalian investasi. --Negara-negara berperingkat terendah yaitu Filipina (6,56), Vietnam (6,99), India (7,30), dan Indonesia (7,87) menghadapi problem besar dalam mengimplementasikan program perbaikan infrastruktur. Filipina dan India berpeluang lebih besar dalam membenahi infrastruktur sebab pasar modal domestiknya cukup berkembang sehingga simpanan domestik dapat digunakan untuk diprioritaskan pada proyek infrastruktur. Namun, suatu catatan kegagalan Enron pada proyek pembangunan pembangkit tenaga listrik di India tahun 1993 masih saja menghantui investor. Filipina lebih baik sedikit dibanding India, tetapi volume bisnis infrastruktur masih kecil, profit juga minim, masih adanya resiko keamananm dan kemiskinan. Vietnam memang atraktif bagi banyak investor, tetapi bukan untuk pembangunan infrastruktur yang selama ini didanai Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Bank Dunia. Apalagi di Vietnam, badan Usaha Milik Negar (BUMN) masih kuat mengontrol fasilitas
infrastruktur penting. Mereka belum terlihat ingin mengajak investor asing membiayai pembangunan infrastruktur. Jika kondisi itu dipertahankan, Vietnam akan menghadapi masalah infrastruktur serius di masa yang akan datang. Investor asing juga berminat ke Thailand yang sangat memerlukan pembangunan infrastruktur pascakrisis 1997. Walau tidak ada catatan buruk, tetapi ada beberapa insiden besar ketika pemerintah menjalin kontrak dengan investor Jepang dalam proyek pembangunan jalan tol yang kini hampir selesai. Pemerintahan Thailand sudah berubah, tetapi filosofi pemerintahan tidak jauh berbeda dibanding dengan prakrisis. Itu sebabnya investor asing belum merasa aman. Ditambah kecurigaan dari investor asing di bidang yang sudah dapat dikerjakan perusahaan dalam negeri. Terlebih jika BUMN ikut terlibat, biasanya menimbulkan kasus dalam proyek infrastruktur. Korupsi juga mempengaruhi proyek pembangunan infrastruktur. Sekali terlibat, perusahaan atau investor asing akan frustasi dalam upaya menyelesaikan kasus itu. Sis baik Thailand, kualitas infrastruktur membaik dalam satu dekade terakhir. Namun minat investor belum juga positif dalam lima tahun terakhir. Bahkan, belum ada tanda investor akan menanamkan modal di bidang infrastruktur. Pembangunan infrastruktur Cina paling menakjubkan di Asia, meski masalah yang dihadapi luar biasa dahsyat. Kualitas infrastruktur Cina berubah dramatis dalam 10 tahun terakhir. Namun, semua responden tinggal di Shanghai dan Beijing, kota-kota yang pembangunannya pesat. Situasi berbeda terlihat jelas di pelosok Cina lainnya. Terdapat jurang distribusi pendapatan yang sangat lebar dan mendorong arus migrasi penduduk dari desa ke kota yang infrastrukturnya lebih baik. Investor asing banyak yang berminat ke Cina, tetapi bukan untuk sektor infrastruktur. Model Buil-Operate-Transfer (BOT) yang lazim diterapkan investor, sulit dinegosiasikan dan sukar diimplementasikan karena pemerintah daerah dan otoritas finansial sering mengabaikan kontrak yang telah disepakati. Parahnya lagi, sistem hukum Cina belum mendukung kontrak perjanjian tersebut. Di bidang infrastruktur telekomunikasi, Cina enggan membuka pintu bagi investor asing dan hanya memilih investor dalam negeri untuk bermain di bisnis tersebut. Cina cenderung membuka peluang investasi di bidang infrastruktur yang dapat menghubungkan Cina dengan dunia luar, seperti pembangunan pelabuhan. --Bagaimana dengan Indonesia, negara berperingkat terburuk dari semua negara yang disurvei? Persepsi investor kian memburuk seiring dengan ketidakstabilan politik di
negeri ini. Ditambah dengan buruknya catatan perjanjian BOT sebelumnya akibat sistem hukum yang tidak dapat dipercaya dan tercermin pula dalam pelaksanaan kontrak kerja. Belum lagi desentralisasi yang memberikan kekuasaan lebih besar kepada pemerintah daerah. Sebetulnya, pada masa rezim Soeharto, pembangunan infrastruktur di Indonesia mengalami kemajuan meski belum mencapai kualitas dunia. Misalnya bandara internasional Soekarno-Hatta, pembangunan sistem jalan raya, fasilitas telekomunikasi dan fasilitas pembangkit tenaga listrik. Akan tetapi, badai krisis 1997 yang menyeret jatuhnya Soeharto, berdampak pula pada penghentian proyek pembangunan infrastruktur. Jangankan membangun yang baru, memelihara yang ada saja pemerintah tidak sanggup. Pemerintah tidak mempunyai dana yang cukup untuk membangun infrastruktur baru. Walau niali tukar rupiah sudah jauh lebih stabil dibanding tahun 1997, depresiasi rupiah terhadap dollar AS tetap menghantui investor asing. Mereka takut investasi di bidang infrastruktur yang biasanya dalam jangka waktu panjang, sulit kembali karena ancaman kejatuhan nilai rupiah secara radikal. Hingga bertahun-tahun ke depan, defisit infrastruktur akan tetap terjadi di Indonesia. Investor asing di bidang pertambangan dan industri lainnya tidak dapat lagi mengandalkan pemerintah sebagai penyedia kebutuhan infrastruktur. Sebaliknya, investor harus menyediakan sendiri infrastruktur mulai dari pelabuhan, jalan, fasilitas, hingga kebutuhan lainnya. Proyek investasi hanya terfokus di sekitar Jakarta atau Batam yang infrastrukturnya terhitung memadai. Di luar zona itu, investor menghadapi masalah besar di bidang infrastruktur. Semua keharusan tambahan itu berarti tambahan biaya, berarti Indonesia hanya akan mampu menarik investor yang dapat meraih laba besar guna menutup seluruh biaya tambahan itu.
.com/ Reza's Site Infrastructure