Anda di halaman 1dari 3

PENDEKATAN IRFANI MENURUT AL JABIRI Arti Irfani Setelah menjelaskan pendekatan Bayani, al Jabiri dalam kitabnya Bunyatul aql

al arabi mengemukakan tentang kata irfaniy. Kata itu diambil dari kata irfan yang menurut bahasa berasal dari kata arafa (mengerti, mengetahui). Kata irfan searti dengan kata marifah. Dalam kitab Lisanul Arab, al Irfan itu artinya al Ilm. Ilmu itu artinya pengertian atau pengetahuan. Kata marifat terkenal dikalangan ahli tasawwuf. Yakni pengertian yang mendalam pada hati dengan bentuk ilham atau sesuatu yang dapat membuka tabir yang menutup hati dengan istilah Kasyf (menyingkap). Istilah irfan tidak begitu dikenal dikalangan sufi, yang sangat dikenal ialah kata marifat. Marifat ini merupakan tahap akhir dari usaha kaum sufi dalam mencapai yang dituju. Menurut Dzun Nun al Mishri, marifat itu ada tiga tingkat. Tingkat awal disebut marifatut tauhid, kedua marifatul hujjati wal bayan, ketiga marifatu shifatil wahdaniyyah. Tingkat awal yakni marifat tauhid, adalah kemampuan mengetahui bagi orang awam. Tingkat kedua yakni marifat hujjah wal bayan adalah kemampuan mengetahui bagi para ulama dan hukama dan tingkat ketiga yakni marifatu sifatil wah daniyyah adalah kemampuan mengetahui bagi orang yang khusus yang dapat menyaksikan Allah dengan hati yang tidak dapat diketahui oleh orang selainnya. Perbedaan pendekatan bayani dengan irfani adalah bahwa pendekatan bayani dengan jalan khabar yang terdiri dari nash al Quran dan as Sunnah yang pemahamannya dengan pemikiran (ijtihad) sedangkan pendekatan irfani ialah pangetahuan yang dicapai dengan jalan mencari ilham dan kasf (terbukanya hati). Di kalangan ahli tasawwuf menganggap bahwa orang yang telah mencapai sesuatu tingkatan khusus, yang mata hatinya bisa melihat yang tidak bisa dilihat orang-orang biasa. Bagi orang awam tidak nampak tapi bagi mereka nampak. Mereka menganggap bahwa orang sufi itu orang yang mempunyai kemampuan untuk dapat langsung sampai pada yang dituju sedang manusia pada umumnya adalah orang yang mampu sampai pada yang dituju atau memahami sesuatu berdasarkan atas petunjuk atau dalil. Menurut ahli tasawwuf ada tiga tingkatan dalam marifat atau mengetahui sesuatu, berdasarkan pada bukti, keterangan dan pengertian yang bisa menyingkap tabir. Hal itu didasarkan pada firman Allah yang disertai dengan pengertian hak seperti pada surat al Waqiah ayat 95 yang artinya : Sungguh ini adalah kebenaran yang meyakinkan. Dan pada ayat 7 surat at Takatsur kata yakin dihubungkan dengan ain yakni tersebut pada surat at Takatsur ayat 7 yang artinya : Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ainul yakin. Dalam tafsir disebutkan bahwa ainul yaqin itu artinya melihat dengan mata kepala sendiri sehingga menimbulkan keyakinan yang kuat dalam hati. Kalau pengertian irfan adalah kasyf artinya terbukanya mata untuk dapat melihat terbukanya mata untuk dapat melihat sesuatu dengan mata kepala tentu sulit dipahami oleh akal dan keyakinan manusia awam. Marifat terhadap sesuatu yang ghaib apalagi Dzat Tuhan sulit untuk dilakukan bahkan muhal berdasarkan nash, karena Allah itu tidak sama dengan yang ada didunia. Sehingga marifat disitu hanya akan dapat dipahami oleh setiap orang bahwa melihat disitu dengan mata hati. Artinya tidak secara langsung melihat Dzat Tuhan kecuali hanya dengan melihat makhluk yang diciptakan Allah dengan fenomenanya. Sehingga prinsip yang dikemukakan oleh ahli sufi Manarafa nafsahu faqad arafa rabbahu (Barang siapa telah mengetahui dirinya sungguh telah mengetahui akan Tuhannya) dapat difahami. Karena mengetahui

kekuasaan Allah dapat diketahui pula dengan mengetahui hasil ciptaan-Nya yang luar biasa. Dan inilah barang kali yang bisa diterima sebagai obyek ilmu yang dapat ditanggapi oleh setiap fikiran manusia. Dalam uraiannya tentang istilah irfani ini, perlu dibedakan sebagai epistimologi irfan dan ornag yang menggunakan kata irfan sebagai pendekatan bahkan sasaran yang dicapai. Orang-orang Islam yang menggunakan kata irfan sebagai pendekatan dan pencapaian sasaran marifat, nampak adanya pengaruh filosof sebelum Islam. Berdasarkan penelitian dan analisa al Jabiri dikalangan ahli filsafat ada yang mengungkapkan bahwa pemikiran yang dalam akan sampai kepada pengaruh atau kesamaan dengan pemikiran atau pandangan aliran syiah, dengan manyamakan bahwa Nabi dapat menerima wahyu, yang harus disampaikan kepada ummat, sedangkan Imam juga dapat mendapatkan wahyu seperti itu. Hanya para Imam tidak diwajibkan menyampaikan kepada ummat. Jadi kedudukan Imam itu seperti kedudukan Nabi, tetapi bukan Nabi yang Rasul yang wajib menyampaikan kepada ummatnya. Dalam ushul fiqih syiah, memang Imam itu mashum seperti Nabi, mendapat Nur Nubuwah (kenabian). Dalam kepercayaan syiah dan juga pengikut tashawwuf ada dua nur (cahaya), pertama Nur Muhammad yang menjadi awal kejadian wujud; yang kedua Nur (cahaya) kenabian yang dapat dimiliki para Nabi dan para Imam dan orang-orang yang sufi. Faham mereka itu didasarkan pada pemikiran mereka, yang ahli sufi memasukkan pada istilah maqam (kedudukan). Maksudnya adalah kedudukan bagi orang yang memang berusaha untuk itu dengan melaksanakan kewajiban untuk mendapatkan yang dituju itu dan dengan usaha yang keras dan niat yang benar. Dan ini disebutkan dalam surat ash Shafat ayat 64. Menurut mereka Nabi-nabi itu mempunyai kedukukan seperti Adam itu maqamnya adalah taubat, Nabi Nuh mempunyai maqam zuhud, dan Nabi Ibrahim mempunyai maqam penyerahan diri dan Nabi Musa mempunyai maqam inabah, Nabi Daud maqamnya adalah hazan, dan Nabi Isa maqamnya rajak, Nabi Muhammad maqamnya dzikir. Pemahaman dan penafsiran seperti itu mendapatkan kritikan tajam dari ulama tafsir maupun hadits. Seperti az-Zarkasy : mengkritik panafsiran mereka terhadap surat Taubah ayat 123; Perangilah orang yang dekat kamu dari orang kafir, ditafsirkan dengan perintah memerangi yang dekat dengan manusia yaitu nafsunya. Oleh Ibnu Shalah penafsiran yang demikian tidaklah benar. Disamping itu dikalangan syiah dalam menafsirkan ayat-ayat sangat dipengaruhi oleh keyakinan mereka seperti surat ar Rahman ayat 19 dan 20 yang dikalangan ulama syiah kata bahraini itu artinya fatimah dan barzakhun itu Nabi Muhammad sedangkan al luklu u wal marjan ayat 22 adalah hasan dan husein. Penafsiran demikian adalah sangat dipengaruhi oleh pemikiran dan keyakinan mereka yang nampak dicari-cari. Demikian pula kalau dilihat tafsir bathini atau tafsir sufi yang menafsirkan al Quran yang menafsirkan surat al Anfal ayat 41 yang bertalian dengan ghanimah. Dalam arti dhahir ghanimah adalah harta yang diambil dari harta orang kafir dalam peperangan. Apabila tidak dalam peperangan maka harta didapati dari orang kafir bernama Fai. Jihad dapat dibagi menjadi dua pertama jihad dhahir memerangi orang kafir dan jihad bathin memerangi nafsu syetan seperti dalam hadits. Orang yang melakukan jihad besar akan mendapatkan ghanimah (berdasarkan pada tafsir bathini) yaitu penguasaan diri dihadapan musuh yaitu hawa nafsu dan syetan. Inilah gambaran irfani menurut merka. Pamahaman pengertian makna irfan yang demikian sebagian bisa diterima tetapi sebagian sukar untuk diterima, sehingga istilah irfan yang dapat diterima adalah yang menuju kepada pengertian yang dicapai oleh hasil pemikiran yang dalam yang

barangkali sama dengan marifat dalam pengertian bahasa Yunani Gnosis yang bermakna marifat. Jadi irfan yang dapat diterima adalah irfan sebagai hasil berfikir yang itu menurut al Jabiri adalah berfikir yang digunakan dalam arti ilmu dan hikmah, tetapi bukan ilmu yang tidak didasarkan pada panca indera dan akal yang dinamai kasyf yang semata-mata. Kasyf yang didapati dalam fikiran dan hati tanpa mendasarkan pada pemikiran istidlal baik dengan nash maupun kenyataan-kenyataan yang disebut burhani yakni kenyataan sebagai hasil pemikiran dan percobaan-percobaan (tajribiah). Untuk selanjutnya akan kita bicarakan burhani ini. Sumber: Suara Muhammadiyah Edisi 08 2002

Anda mungkin juga menyukai