Anda di halaman 1dari 12

I Tidak ada kitab suci yang demikian besar pengaruhnya terhadap masyarakat dan begitu penting perannya dalam

sejarah peradaban manusia selain Al-Quran. Dari abad ke abad, kitab suci ini menjadi sumber inspirasi penuntut ilmu, pemburu hikmah dan pencari hidayah. Para pujangga bertekuk lutut dihadapannya, para ulama tak habis-habis membahasnya. Dialah satu-satunya kitab suci yang menyatakan dirinya bersih dari keraguan (laa rayba fiihi), dijamin kesuluruhan isinya (wa innaa lahu lahaafizuun) dan tiada mungkin dibuat tandingannya (la yatuuna bimitslihii). Ia ibarat kompas pedoman arah penunjuk jalan, laksana obor penerang di kegelapan. Barangkali sifat-sifat inilah yang membuat kalangan non-Muslim - khususnya orientalis-mssionaris Yahudi dan Kristen iri dengki (hasadan min indi anfusihim). Disamping fakta bahwa mengenai keaslian, kebenaran, dan kemukjizatan Al-Quran sebagai Kalamullah, seluruh umat Islam sepakat dan sependapat dari dulu sampai sekarang dari Maroko sampai Merauke. Dinyatakan dalam Al-Quran bahwasanya orang Yahudi dan kristen memang tidak tak akan pernah berhenti, dengan segala macam cara, membpengaruhi umat Islam agar mengikuti agama mereka. Mereka ingin umat Islam melakukan agar mengikuti agama mereka. Mereka ingin umat Islam melakukan seperti yang mereka lakukan, menggugat, dan mempersoalkan yang sudah jelas dan mapan, sehingga timbul keraguan terhada yang sahih dan benar. Untuk memberi kesan seolah-olah objektif dan otoritatif, orientalis-misionaris ini biasanya berkedok sebagai pakar bahasa, sejarah, agama dan tamadun Timur, baik

Jauh (Far Eastern, seperti Jepang, Cina dan India) maupun yang Dekat (Near Eastern, seperti Persia, Mesir, dan Arabia). Edward Said, Orientalism, dalam Syamsudin Arief, Orientalis & Diabolis Pemikiran, Gema Insani, Jakarta, 2008: 2-3 II Orientalisme dalam arti kata kajian terhadap kebudayaan dan peradaban Timur telah bermula ribuan tahun yang lalu, paling tidak semenjak terjadi kontak dan interaksi antara orang Yunani (Greek) dengan orang Mesir kuno, Babylonia, dan Persia. Di abad pertengahan, orientalisme adalah upaya mempelajari karyakarya ilmuwan Islam. Ex Oriente Lux, kata mereka : Cahaya berasal dari Timur. Lalu semenjak zama Renaisance , orientalisme meluas skupnya, tapi menyempit tujuannya. Sejak itu yang mereka pelajari tidak hanya bahasa, agama dan dan peradaban Mesir kuno, Parsi, Zoroaster, Arab dan Islam (yang mereka namakan timur dekat), tapi juga bahasa dan peradaban India dan Cina (yang mereka sebut Timur Jauh) dengan agama Hindu dan Buddha-nya. Namun motif dan tujuannya menyempit: sebagai alat dan senjata untuk menjajah, menguasai, dan memengaruhi objeknya, yakni bangsa peradaban Timur. Slogan mereka tersimpul dalam 3G: gold, God, and glory. Jadi ada motif ekonomi, politik, dan agama disana. Maka lahirlah orang semacam Hurgronje, Goldziher, Noeldeke, Caetani, Schact, Wansbrough, Jeffery dan Luxenberg. Mereka take and give dengan penguasa dan gereja. halaman 282) (Ibid,

Barat Hingga kini masih menyimpan gambaran suram dan jelek tentang Islam dan umatnya: suatu warisan hitam yang meracuni pemikiran dan hati mereka sejak Perang Salib dan belum memupusnya hingga saat ini. Ini diakui oleh sendiri oleh pemikir mereka., Seperti Gustav Lebon, Filosof Perancis dan

moyangnya kaum sosiaolog dan sejarawan barat abad ke sembilan belas, yang menerangkan dalam bukunya Peradaban Islam bahwa peneliti-peneliti Barat

dalam mengkaji masalah yang berhubungan dengan Islam, akan meninggalkan sikap netral dan objektivitas. Peneliti Barat, tanpa disadarinya, akan memihak dan intoleran. Buku inilah kalau boleh dibilang moderat yang paling moderat ditulis oleh Ilmuwan Barat tentang Islam dan peradabannya. Oleh karena itu, Gustav Lobon tidak dihargai, bahkan di benci oleh Orientalis Barat. III .Berbeda dengan kitab suci lain, Al-Quran bukan hanya di yakini sebagai Kalamullah tapi juga tidak diragukan lagi otensitasnya, status bibel masih di perdebatkan, karena sejarah penulisan dan proses transmisinya yang cukup complicated. Karena itu tidak mengherankan bila kemudian timbul studi kritik teks, hermeunetika dan sebagainya. Ini diikuti dengan gagasan sekularisasi, yang muncul sebagai reaksi terhadap dominasi dan intervensi gereja, gerakan reformasi yang di pelopori Luther, dan aliran liberalis yang mengkritik dogmatisme iman Kristiani, menyerukan perlunya mencari historical Jesus dan menolak doktrin ke-serbasempurnaan-an (impeccability) Paus. (Lihat: Kenneth S. Latourette, A History Of Christiany. San Fransisco: Harper & Row, 1975)

Tema dalam dalam suatu tulisan mereka adalah sesuatu yang diwahyukan empat belas abad yang lalu itu pasti tidak relevan dengan peradaban teknologi sekarang. Dengan penolakan mereka terhadap nilai-nilai transendental

perubahan dianggap sebagi kebaikan tertinggi dan segala sesuatu yang kuno harus dibuang sebagi sesuatu yang tidak berguna bila manusia ingin maju. Premis yang menyatakan bahwa Islam adalah ketinggalan zaman dianggap oleh orang ini sebagai bukti yang memadai atas kekurangan dan ketidakrelevansiannya bagi manusia kontemporer. Bila hal ini benar, mengapa mereka dengan pengetahuan dan kemampuan intelektual mereka mengenai setiap argumen logik yang didasrkan atas tradisi keilmuan yang tegar sama sekali tidak mampu? Islam dikutuk hanya karena ia bertentangan dengan pandangan materealis yang berlaku. Karena itu, mereka berkesimpulan, bila Al-quran dan Sunnah serta Syariah yang bersumber pada kedua sumber ini tidak dapat didamaikan dengan pemikiranpemikiran filosofik baru sekarang, berarti Islam itu tidak benar. (Maryam Jamilah, Islam Dan Orientalisme,di terjemhkan Drs, Machnun Husein, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997, halaman 193-4) Al-Quran merupakan target utama serangan misionaris dan orientalis Yahudi-Kristen, setelah mereka gagal menghancurkan sirrah dan sunah Rasulullah. Mereka mempertanyakan status kenabian beliau, meragukan kebenaran riwayat hidup beliau dan menganggap sirah beliau tidak lebih dari legenda dan cerita fiktif belaka. Demikianlah pendapat Caetani, Wellhausen, dan lain-lain karena itu mereka sibuk merekontruksi biografi Nabi Muhammad khhususnya dan sejarah Islam umumnya. Misionaris-orientalis ini tidak

menyadari bahwa sesungguhnya tulisan mereka hanyalah menunjukan kebusukan hati dan kebencian mereka terhadap tokoh dan agama yang mereka kaji (op. cit. Syamsudin arief, halaman 7-8). Memang benar bahwa korpus kesarjanaan Barat mengenai Al-Quran cukup beragam. Juga tidak salah jika dikatakan tidak semua orientalis berniat jahat, bahwa tidak semuanya hendak menghancurkan Islam dengan menebarkan keraguan terhadap Al-Quran dan Hadits. Membaca korpus orientalis seputar Al-Quran memang tidak mudah. Disamping penguasaan berbagai penguasaan berbagai bahasa (Eropa maupun Semitik), terutama sekali diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang menyeluruh dan mendalam atas khazanah intelektual Islam itu sendiri, bukan asal mengetahui sepotong-sepotong atau setengah-setengah. Jika modal kita pas-pasan, amat besar kemungkinan terpukau oleh pendapat yang sekilas meyakinkan, namun sesungguhnya rapuh secara metodologis maupun epistemologis. (Ibid, halaman 22-3) III Apakah ini berarti kita tidak boleh menafsirkan atau kembali A-Quran? Jawabannya tentu saja negatif. Interpretasi dan reinterpretasi dibolehkan asalkan dengan ilmu dan tidak berdasarkan opini semata-mata. Buktinya khazanah intelektual Islam sangat kaya dengan pelbagai kitab tafsir hasil ijtihad para ulama dari abad ke abad. Diriwayatkan bahwa Nabi pernah mendoakan Ibn Abbas aga dianugerahkan ilmu untuk memahami Al-Quran. Memang terbukti akhirnya

saudara sepupu beliau ini dikenal palin banyak tahu dan ahli dalam menafsirkan

Al-Quran. Dalam hadis lain dikatakan bahwa Al-Quran itu dzu wujuhin, mengandug banyak aspek, makna, intensi, pendekatan dan susut pandang, sehingga bisa dipahami dan ditafsirkan macam-macam. Ada juga riwayat yang mengatakan bahwa setiap lafazh dari Al-Quran itu beraspek ganda: zahir dan batin, tersurat dan tersirat, literal dan non-literal. Semua keterangan ini menunjukan bahwa pada prinsipnya Al-Quran boleh saja ditafsirkan. Jika menafsirkan Al-Quran tidak dilarang, pertanyaan yang muncul

kemudian adalah: Apa batasan prasyarat harus dengan ilmu dan tidak dengan opini dalam hadits tersebut diatas? Kapan seseorang dianggap layak untuk menafsirkan Al-Quran? Dan kapan suatu interpretasi dikatakan atas dasar opini? Mengenai kualifikasi apa saja yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, literaratur ulumul Quran dan ushul fiqih sudah cukup menjelaskannya. Untuk layak menafsirkan Al-Quran, Anda harus mengusai bahasa Arabdan literatur hadits secar mendalam dan komprehensif, tidak setengah-setengah atau sepotongsepotong. Jika prasayarat ini sudah terpenuhi, Anda disarankan mengikuti prosedur yang berlaku: menafsirkan suatu ayat dengan ayat lain, dan atau menfsrkan ayat Al-Quran dengan Sunah/haidts Rasulullah, dan atau

menafsirkannya dengan keterangan para mufassirin dari kalangan sahabat, tabiin, dan para ulama salaf. Demikian di tegaskan oleh Imam as-Suyuti dalam kitabnya, at- Tahbir fi Ilmi at-Tafsir (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), halaman 128-9. (Ibid, halaman 149-150)

IV Ambil sebagai contoh hermeunetika yang sekarang ini tengah digandrungi dan nyaris dinobatkan sebagi manhaj tafsir alternatif, tanpa memahami asal-usul dan seluk beluknya. Akhir-akhir ini gerakan impor pemikiran memang semakin gencar dilakukan, terutama oleh kalangan yang menggeluti Islamic Studies. Tidak sedikit yang kurang menyadari bahwa gagasan-gagasan impor itu sebenarnya bertentangan dengan dan berpotensi menggerogoti sendi aqidah seorang Muslim. Hermeneutika telah dipasarkan dimana-mana, dalam berbagi forum diskusi dan seminar. Alasannya antara lain untuk mencari dan merumuskan sebuah Hermeneutika Al-Quran yang relean bagi konteks umat Islam di era globalisasi saat ini umumnya dan di Indonesia khususnya. (Ibid, halaman 177-178) V Secara etimologi, istilah hermeneutics berasal dari bahasa Yunani kuno yang berarti hal-hal yang berkenaan dengan pemahaman dan penerjemahan suatu pesan. Maka menurut ahli pembakuan istilah hermeneutics sebagai suatu ilmu, metode dan tehnik memahami suatu pesan atau teks, sesungguhnya baru terjadi di kemudian hari, yakni pada sekitar abad ke-18 Masehi, menyusul terjadinya gerakan Reformasi yang dicertuskan oleh Martin Luther di Jerman. Para teolog Protestan menolak klaim otoritas Gereja Katolik dalam pemaknaan dan penjabaran kitab suci. Bagi kaum Protestan, setiap orang berhak menafsirkan Bibel, asalkan tahu bahasa dan konteks sejarahnya. Berdasrkan prinsip

kegamblangan (perspicuitas) dan sola scriptura (cukup kitab suci saja, tak perlu tradisi), dubangunlah metode ilmiah bernama hermeneutika. Ulasan pengantar dapat dilihat dalam Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics; Hermeneutics as Method, Filosophy and Critique, London: Routledge & Kegan Paul, 1980. (Ibid, halaman 177-9). Hermeneutika bertujuan membongkar motif-motif tersembunyi dan kepentingan terselubung yang melatar belakangi lahirnya sebuah teks. Sebagai kritik ideologi, hermeneutika harus bisa mengungkapkan manipulasi, dominasi dan propaganda dibalik bahasa sebuah teks, segala sesuatu yang mungkin telah mendistorsi pesan atau makna secara sistematis.Jurgen Habermas, Der Universalitatanspruch der Hermeneuik, dalam Karl-Otto Apel (ed.) Hermeneutik und Ideologiekritik (Frankfurt/Main: Surkamp,1971). (Ibid, halaman 181) Dengan latar belakang seperti itu, hermeneutika jelas tidak bebas nilai, ia mengandung sejumlah asumsi dan konsekuensi. Pertama, hermenutika menganggap semua teks adalah sama, semuanya merupakan karya manusia. Asumsi ini lahir dari kekecewaan mereka terhadap bibel. Teks yang semula dianggap suci itu belakangan diragukan keasliannya. Kedua, hermeneutika menganggap setiap teks sebagi produk sejarah. Hal ini tidak berlaku untuk Al-Quran, yang kebenarannya melintasi batas-batas ruang dan waktu dan pesan-pesannya ditujukan kepada seluruh umat manusia. Selanjutnya, praktisi hermeneutika dituntut untuk bersikap skeptis, selalu meragukan kebenaran darimana pun datangnyadan terus terperangkap dalam apa yang disebut sebagai lingkaran hermeneutis, dimana makna selalu berubah.

Lebih lanjut mengenai konsep siklus hermeneutis ini lihat Jurgen Bolten, Die Hermeneutische Spirale. Uberlegungen zu einer integrativen Literaturtheorie, Dalam jurnal Poetica 17 (1985) Heft , hlm. 355-371. Terakhir, hermenutika menghendaki pelakunya untuk menganut

relativisme epistemologis. Tidak ada tafsir yang mutlak benar, semuanya relatif. Yang benar menurut seseorang boleh jadi salah menurut orang lain. Josef van Ess, profesor emeritus dan pakar sejarah teologi Islam dari Universitas Tuebingen Jerman bependapat: Perlu diketahui bahwa hermeneutika yang berasal dari Jerman itu sebenarnya memang bukan ditujukan untuk kajian keislaman. Pada asalnya ia merupakan produk teologi Protestan. Dipakai untuk mengkaji Bibel oleh Schleiermacher, dan belakangan oleh Heidegger dan Gaddamer dalam kajian kesusasteraan Jerman maupun klasik. Yang mereka maksud dengan istilah teks ialah karya buatan manusia, sesuatu yang indah lagi menarik, biasanya naskah kuno yang hanya terdapat dalam satu versi, seperti kisah tragedi karangan Sophocles, dialog-dialog karya Plato, ataupun puisi yang ditulis oleh holderlin. Ini jelas tidak sama dengan konsep teks dalam kajian Islam. Lihat Irene A. Bierman (ed), Text &Context in Islam Societies, Reading, UK: Ithaca Press, 2004, halaman 7. (Ibid, halaman 181-3) VI Muhammad Arif menulis alasan yang mendasari keotentikan Al-Quran yaitu Pertama, Al-Quran pada dasarnya bukanlah tulisan (rasm atau writing) tetapi merupakan bacaan (qiraah atau recitation) dalam arti ucapan dan sebutan. Proses pewahyuannya maupun cara penyampaian, pengajaran dan periwatannya

dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Sejak zaman, yang dimaksud dengan membaca Al-Quran adalah membaca dari ingatan. Tulisan hanya berfungsi sebagai penunjang semata. Sebabnya karena ayat-ayat A-Quran dicatat yakni, dituangkan menjadi tulisan ke atas tulang, kayu, kertas, daun dan lain sebagainya, berdasarkan hafalan, bersandarkan apa yang sebelumnya telah tertera daam ingatan sang Qari/Muqri. Proses transmisi semacam ini, dengan isnad secara mutawatirdari generasi ke generasi, terbukti berhasil menjamin keutuhan dan keaslian A-Quran sebagaimana diwahyukan oleh Malaikat Jibrril kepada Nabi, dan diteruskan kepadapara sahabat, demikian hingga hari ini. Kedua, meskipun pada prinsipnya diterima dan diajarkan melalui hafalan, AlQuran juga dicatat dengan menggunakan berbagai medium tulisan. Sampai wafatnya Rasulullah, hampir seluruh catatan catatan awal tersebut milik pribadi para sahabat Nabi dan karena itu berbeda kulaitas dan kuantitasnya satu sama lain. Baru di kemudian hari, ketika jumlah penghafal A-Quran menyusut karena banyak yang gugur di medan perang, usaha kodifikasi (jam) Al-Quran mulai dilakukan oleh sebuah tim yang dibentuk atas inisiatif Khalifah Abu Bakr asSiddiq segingga Al-Quran dikumpulkan menjadi sebuah mushaf, berdasarkan periwayatan langsung (first-hand) dan mutawatir dari Nabi. Setelah wafatnya Abu Bakr r.a (13 H/634 M), mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah Umar r.a sampai beliau wafat ( 23H/644 M), lalu disimpan oleh Hafshah, sebelum kemudian diserahkan kepada Khalifah Utsman r.a. Pada masa beliaulah, atas desakan permintaan sejumlah sahabat, sebuah komisi ahli sekali lagi dibentuk dan diminta mendata ulang semua qiraat yang ada, serta memeriksa dan menentukan nilai

keshahihan periwayatannya untuk kemudian melakukan standarisasi bacaan demi mencegah kekeliruan dan mencegah perselisihan. Hasilnya dibukukan dalam beberapa mushaf standar yang masing-masing mengandung qiraat-qiraat mutawatir yang disepakati kesahihahan periwayatannya dari Nabi. (Ibid, Halaman 9-12) VII Menurut Daud Rasjid, Para pengamat studi orientalis berpendapat terdapat beberapa kelemahan orientalis yang sulit dipungkiri siapapun yaitu: 1. Mereka tidak menguasai bahasa Arab yang baik, sense bahasa yang

lemah dan pemahaman yang sangat terbatas atas konteks bahasa Arab yang sangat variatif. 2. Perasaan superiotas sebagai orang Barat. Ilmuwan Barat,

khususnya orientalis, senantiasa merasa bahwa Barat adalah guru dalam segala hal, khususnya dalam logika dan peradaban. Mereka menganggap bahwa sejarah bermula dari Barat dan bermuara ke Barat. 3. Orientalis barat sangat memegang teguh doktrin-doktrin mereka

yang tak boleh di kriktik, bahkan sampai ke tingkat fanatis buta. Diantaranya dua doktrin inti, yaitu bahwa Al-Quran dalam pandangan insan Barat bukan kalam Allah dan Muhammad bukan Rasul Allah sudah lebih dulu tertanam dalam pikiran mereka sebelum meneliti (prakonsepsi) sebab itu merupakan doktrin agama mereka yang ditanamkan sejak kecil. Akibatnya, penelitiannya diarahkan hanya untuk mendukung asumsinya saja, bukan ingin mencari kebenaran secara objektif dan bebas. Karena itulah, peneliti barat menelan

mentah-mentah riwayat palsu, memercayai kebohongan, membesar-besarkan masalah kecil, menganggap syubhat (tuduhan palsu) sebagai hujjah (argumentasi), serta beralasan dengan sesuatu yang tidak diakui sebagai dalil. Mereka menolak semua pendapat yang berbeda dengan pikirannya , sekalipun itu benar dan argumentatif. 4. Banyak dari kajian kajian orientalisme yang terkait erat dengan

kepentingan-kepentingan negara tertentu yang mendanai kajian tersebut. Target tersebut bisa bersifat politis, strategis, dan Misi. (Daud Rasyid, Pembaruan Islam & Orientalisme Dalam Sorotan, Bandung: Syaamil, 2006, halaman 125-7)

DAFTAR PUSTAKA 1. Jamilah, Maryam, Islam Dan Orientalisme,di terjemhkan Drs, Machnun Husein, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997. 2. Arief, Syamsudin, Orientalis & Diabolis Pemikiran, Gema Insani, Jakarta, 2008. 3. Rasyid, Daud, Pembaruan Islam & Orientalisme Dalam Sorotan, Bandung: Syaamil, 2006

Anda mungkin juga menyukai